STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH AGROINDUSTRI DI KABUPATEN BOGOR
MEIDINA TRIJADI LAMADLAUW
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri di Kabupaten Bogor adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2006
Meidina Trijadi Lamadlauw NIM F325010151
ii
SUMMARY MEIDINA TRIJADI LAMADLAUW. Development strategy of Agroindustry-Based Small and Medium Enterprises in Bogor Regency. Under supervision of TAJUDDIN BANTACUT, FAQIH UDIN, and WAWAN IRAWAN. There are many expectations attached by policy makers and the society at large on the development of agroindustry-based small medium enterprise (SME). First and foremost of these expectations is the hope that SME will contribute significantly in the generation of employment and income opportunities for the population and thus help alleviate poverty and promote more equitable income distribution in the population. For agroindustry-based SME to meet these expectations and fulfill their contributions to the development process, it is absolutely important that they are of high productivity. It is essential that these industries provide productive and remunerative employment and, for their survival and growth, offer products and services at competitive quality and price. The agroindustry-based SME is very potential to develop in Bogor Regency. It is an industrial activity which utilize agricultural products as raw material, design and provide equipments and also service for its activity. Agroindustry is the dominant manufacturing that can generate earning sources and gives role of economics which was very significant. Unfortunately, the existence of the agroindustry-based SME is not as good as most people expected, because there are many constraints faced. In the mean time, the infrastructure and access information concerning capital, technology, management and marketing are limited. Therefore, it is essential to formulated strategy to develop agroindustry-based SME based on internal and external factors. The objectives of this research were to identify the characteristics of agroindustry-based SME in Bogor Regency to have actual conditions, and to analyze the SME’s internal-external environment and to select the alternatives strategy for development. The development strategies of agroindustry-based SME are proposed according to external and internal factors. These factors influence and determine the development dynamic and growth of agroindustry-based SME. The combination of strength and weaknesses together with external situation will determine the development posibility of SME. The score analysis method was used to analyze the internal external environment used for generating strategy using analytical Hierarchy Process (AHP) method. Hierarcy decisions was on interpretation secondary data of concerning external and internal factors which influence the growth of SME and early discussion with experts from the SME entrepeneurs, academics, and local government. The prioritation of alternatives strategy was determined synchronization of literature and opinion of expert responder, then the result was processed with AHP. The results of this research show that the characteristics of agroindustry-based SME in Bogor Regency are: using traditional management, simple record-keeping administration, having local market and regional sale, utilize local or regional raw material, perform continous production system, having good quality awareness, using self or family capital resource, utilize simple equipments and technology and also having good innovation capability.
iii
Pursuant to internal external analysis relate to development strategy, the position of agroindustry-based SME in Bogor Regency is on co-ordinate (0,21; 0,13) and first quadrant of cross impact matrix. This position indicates that policy development of SME should be aggresive strategy. Pursuant to the score assessment of AHP, the main strategy for the development of agroindustry-based SME in Bogor Regency is give more or better attention for policy formulation. This strategy means that the government policy should enhance or at least not constraining the development of agro-based SME. The policy should also accommodate the necessity of all stakeholders related to agro-based SME
iv
RINGKASAN MEIDINA TRIJADI LAMADLAUW. Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan TAJUDDIN BANTACUT, FAQIH UDIN dan WAWAN IRAWAN.
Para pengambil keputusan dan masyarakat pada umumnya berpandangan bahwa usaha kecil menengah (UKM) dapat berperan maksimal dalam penyerapan tenaga kerja serta berperan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Untuk memenuhi harapan tersebut sangatlah penting bagi UKM untuk mempunyai produktivitas yang tinggi, menghasilkan produk dan pelayanan yang bermutu sehingga nantinya dapat membuka peluang untuk maju serta memberikan kesempatan kerja baru yang pada akhirnya akan menjadi penggerak dinamika perekonomian di daerah. UKM agroindustri merupakan jenis UKM yang potensial dikembangkan di Kabupaten Bogor. UKM agroindustri merupakan suatu kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Agroindustri merupakan usaha manufaktur yang dominan dan sumber pendapatan yang utama yang secara umum memberikan peran ekonomi yang sangat berarti. Namun demikian sampai saat ini keberadaannya masih belum sesuai harapan karena masih banyak kendala-kendala yang dihadapi seperti terbatasnya infrastruktur dan akses informasi mengenai pasar, teknologi, modal dan manajemen bagi pelaku usaha kecil. Oleh karena itu, perlu dirumuskan strategi untuk mengembangkan UKM agroindustri berdasarkan faktor internal dan eksternal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik UKM agroindustri di Kabupaten Bogor agar dapat diketahui gambaran atau kondisi aktual yang dihadapi pelaku usaha UKM kemudian dilanjutkan dengan menganalisis kondisi lingkungan internal dan eksternal UKM agroindustri dan pemilihan beberapa alternatif strategi pengembangan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pelengkap bagi pemerintah daerah dalam usaha perumusan kebijakan serta program-program pengembangan usaha kecil serta peningkatan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat pelaku usaha kecil dan menengah. Strategi pengembangan UKM agroindustri disusun berdasarkan diagnosis lingkungan eksternal dan internal. Kedua faktor ini mempengaruhi dan menentukan dinamika pengembangan dan perkembangan UKM agroindustri. Kombinasi kekuatan dan kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi eksternal akan menentukan seberapa besar kemungkinan UKM dapat berkembang. Teknik analisis skor digunakan dalam menganalisis lingkungan internal dan eksternal UKM agroindustri. Penyusunan strategi pengembangan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor menggunakan konsep Proses Hirarki Analitik (PHA). Hirarki keputusan disusun berdasarkan hasil interpretasi data sekunder mengenai faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi perkembangan UKM di Kabupaten Bogor dan diskusi awal dengan pakar dari kalangan pengusaha (UKM) dan instansi pemerintah daerah. Penetapan prioritas alternatif strategi dilakukan melalui penyelarasan studi literatur dengan pendapat responden ahli, kemudian hasilnya diolah dengan mengunakan teknik analisis PHA.
v
Berdasarkan hasil penelitian, karakterisitik yang melekat pada UKM agroindustri di Kabupaten Bogor yaitu, manajemen tradisional, sistem administrasi dengan pencatatan sederhana, pasar penjualan lokal dan regional, bahan baku lokal umumnya regional, sistem produksi kontinyu, kepedulian akan kualitas meningkat, sumber permodalan dari sendiri atau keluarga, teknologi dan peralatan sederhana dan kemampuan inovasi yang cukup baik. Berdasarkan analisis internal eksternal, posisi UKM agroindusti di Kabupaten Bogor berkaitan dengan strategi pengembangan terletak pada koordinat (0,21; 0,13) dan menempati kuadran I cross impact matrix. Posisi tersebut mengindikasikan bahwa dalam pengembangan kebijakan UKM agroindustri dapat menggunakan strategi yang bersifat agresif. Berdasarkan hasil penilaian skor dengan menggunakan konsep PHA, strategi yang tepat untuk pengembangan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor adalah memberikan perhatian yang lebih besar pada proses formulasi kebijakan. Strategi ini dimaksudkan agar berbagai kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor yang dihasilkan baik yang ditujukan khusus kepada usaha kecil baik langsung dan atau tidak langsung berpengaruh terhadap usaha kecil kiranya dapat lebih memihak kepada kepentingan usaha kecil atau minimal tidak menghambat pengembangan usaha kecil di wilayah ini serta harus mampu menjawab kebutuhan atau mengakomodir kebutuhan stakeholder lain yang berhubungan dengan pengembangan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor.
vi
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH AGROINDUSTRI DI KABUPATEN BOGOR
MEIDINA TRIJADI LAMADLAUW
Tesis Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
vii
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri di Kabupaten Bogor Meidina Trijadi Lamadlauw F325010151
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, MSc. Ketua
Ir. Faqih Udin, MSc. Anggota
Ir. Wawan Irawan, MM. Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc.
Tanggal Ujian : 26 Januari 2006
Tanggal Lulus :
viii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan bimbingan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang diangkat dalam karya ilmiah ini adalah “Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri di Kabupaten Bogor”. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 sampai dengan Desember 2005. Strategi yang dikembangkan dalam karya ilmiah ini didasarkan pada penelitian mendalam dan komprehensif tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada umumnya, dan secara khusus pada UKM agroindustri di Kabupaten Bogor sebagai studi kasusnya. Tujuan penelitian secara makro adalah merumuskan strategi yang tepat dalam mengembangkan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor, sehingga nantinya diharapkan mampu menjadi wadah pemberdayaan masyarakat dan penggerak perekonomian di daerah. Karya ilmiah ini diselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak. Penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing yang telah memberikan pemahaman dan arahan bagi kesempurnaan tesis ini, yaitu Dr.Ir. Tajuddin Bantacut, MSc. sebagai Ketua, serta Ir. Faqih Udin, MSc. dan Ir. Wawan Irawan, MM masing-masing sebagai Anggota. Terimakasih dan penghargaan yang tulus juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor yang telah memfasilitasi kelancaran penelitian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor serta Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor yang banyak memberikan arahan dalam penelitian, serta kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Segala kritik dan saran akan selalu penulis harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2006 Meidina Trijadi Lamadlauw
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Mei 1976 dari ayah Keppe Lamadlauw dan ibu Tati Soekarti. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di Bogor mulai tahun 1981 hingga 1994. Sejak tahun 1994, penulis melanjutkan pendidikan pada Universitas Pancasila Jakarta, Fakultas Teknik, Jurusan Mesin dengan minat utama pada teknologi manufaktur. Gelar kesarjanaan teknik diraih penulis pada tahun 2000. Sejak tahun 1999 penulis bekerja pada beberapa perusahaan manufaktur dan pertambangan sebagai staf produksi. Pada tahun 2002 penulis bekerja sebagai staf pelaksana di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Cipta Karya, Pemda Kabupaten Bogor. Sejak tahun 2001 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR................................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xiv I.
PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 Latar Belakang.......................................................................................................... 1 Tujuan ....................................................................................................................... 4 Manfaat ..................................................................................................................... 4 ............................................................................................................... R uang Lingkup .................................................................................................. 4
II.
USAHA KECIL MENENGAH DALAM PROSPEKTIF PEMBANGUNAN ......... 6
Definisi UKM ........................................................................................................... 6 Potensi dan Kedudukan UKM dalam Pembangunan ............................................... 7 Faktor Penguat dan Penghambat UKM .................................................................... 9 Arah Pengembangan UKM .................................................................................... 10 Penyusunan Strategi Pengembangan ...................................................................... 11 Faktor yang berpengaruh dalam pengembangan UKM .......................................... 13 ............................................................................................................... A ktor yang berperan dalam pengembangan UKM.......................................... 15 III. METODOLOGI ................................................................................................ 18 Kerangka Pemikiran ............................................................................................... 18 Metode Pengumpulan Data .................................................................................... 20 Metode Pengolahan Data ........................................................................................ 20 Proses Hirarki Analitik (PHA) ............................................................................... 25 ............................................................................................................... R esponden Ahli ............................................................................................... 32 IV. IDENTIFIKASI STRATEGI ........................................................................... 33 Faktor Lingkungan Internal ................................................................................... 33 Faktor Lingkungan Eksternal ................................................................................. 34 ............................................................................................................... P enentuan Strategi .......................................................................................... 43 V.
STRATEGI PENGEMBANGAN UKM .......................................................... 41 Pemilihan faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan UKM .............. 41 Pemilihan aktor yang paling berperan dalam Pengembangan UKM ..................... 42 Pemilihan Tujuan Pengembangan UKM ................................................................ 43 ............................................................................................................... P erumusan Alternatif Strategi Pengembangan UKM ..................................... 44
VI. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ....................................................... 48 Kebijakan di dalam pengembangan UKM ............................................................. 48 Kebijakan yang diterapkan saat ini......................................................................... 49 ............................................................................................................... U sulan Kebijakan ............................................................................................ 53
xi
VII. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 57 Kesimpulan ............................................................................................................. 57 Saran ....................................................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 59 LAMPIRAN ................................................................................................................. 66
DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai Skala Banding Berpasangan ....................................................................... 27 2. Nilai Indeks Acak (RI) Matriks Berorde 2 s/d 8 ................................................. 30 3. Internal Factors Evaluation (IFE)....................................................................... 35 4. External Factors Evaluation (EFE)..................................................................... 36 5. Analisis SWOT .................................................................................................... 39 6. Prioritas tujuan pengembangan UKM di Kabupaten Bogor. ............................... 43 7. Prioritas alternatif pengembangan UKM di Kabupaten Bogor. .......................... 46
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram Alir Penelitian ....................................................................................... 19 2. Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal ....................................................... 21 3. Matriks Dampak Pengaruh Menyilang ................................................................ 22 4. Penyusunan Strategi Pengembangan UKM Agroindustri ................................... 23 5. Diagram Alir Pengolahan Data AHP .................................................................. 24 6. Matriks Pendapat Individu .................................................................................. 28 7. Matriks Pendapat Gabungan ................................................................................ 28 8. Matriks Dampak Pengaruh Menyilang ................................................................ 37
xiii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor perekonomian melalui pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan hal utama yang perlu diprioritaskan agar menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan di wilayah Kabupaten Bogor di era otonomi daerah.
UKM sendiri merupakan suatu kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh perseorangan maupun sebuah badan usaha dengan tujuan untuk memproduksi barang atau jasa guna diperniagakan secara komersial.
UKM
sebagai kegiatan ekonomi dan sekaligus bagian integral dunia usaha regional maupun nasional mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan pembangunan daerah pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. UKM merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas pada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan stablitas ekonomi. Menurut survai yang telah dilakukan di Kabupaten Bogor oleh Badan Pusat Statistik dan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, usahausaha kecil pada tahun 2001 meliputi 93,83 % dari jumlah total usaha-usaha yang bergerak di Kabupaten Bogor, sedangkan usaha-usaha menengah meliputi 3,08 % dari jumlah total usaha-usaha. Dengan demikian maka jumlah total UKM sebagai keseluruhan meliputi 96,91 % dari jumlah total usaha-usaha yang bergerak di wilayah ini. Dalam hal tenaga kerja, UKM mampu menyerap 65,18% (97.302 orang) dari total angkatan kerja pada tahun bersangkutan. Posisi tersebut menunjukkan bahwa UKM berpotensi menjadi wadah pemberdayaan masyarakat dan penggerak dinamika perekonomian di daerah.
2
Potensi pengembangan UKM dalam rangka pemberdayaan dicirikan dengan sifat dan bentuk UKM sendiri yaitu: (1) berbasis pada sumber daya lokal sehingga dapat memanfaatkan potensi secara maksimal dan memperkuat kemandirian, (2) dimiliki
dan
dilaksanakan
oleh
masyarakat
lokal
sehingga
mampu
mengembangkan sumber daya manusia, (3) menerapkan teknologi lokal sehingga dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal dan (4) tersebar dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan yang efektif (Polman, 2000; Bantacut et. al, 2001). Walaupun berpotensi yang sedemikian banyak, kenyataan menunjukan bahwa UKM masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara maksimal dalam perekonomian maupun dalam fungsi sosial. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa UKM masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal maupun internal, dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia dan teknologi serta iklim usaha yang belum mendukung bagi perkembangannya (Hicks, 2000; Polman 2000; Azrin, 2004). Berdasarkan kondisi yang kurang menguntungkan tersebut, masih ada upaya pengembangan UKM akhir-akhir ini tetap dilakukan karena (a) pengembangan UKM masih dipercaya sebagai salah satu instrumen pemerataan pendapatan, (b) usaha skala besar yang semula diandalkan sebagai pemasok dana pembangunan terbesar mulai menampakan gejala inefisiensi dan terlalu banyak kebocoran dan ekonomi biaya tinggi dan (c) UKM memiliki beberapa kekuatan yang masih dapat diandalkan untuk menyelamatkan perekonomian karena UKM menyediakan lapangan kerja, penyedia barang-barang murah untuk konsumsi masyarakat luas. Efisiensi dan fleksibiltasnya terbukti menjadi kekuatan untuk tetap bertahan hidup dan UKM sebagai sumber penghasil etrepreneur baru. Alasan tersebut diatas merupakan dasar upaya-upaya pengembangan UKM. Menurut Polman (2000) di dalam upaya pengembangan UKM perlu adanya kebijakan yang benar-benar mendukung iklim usaha dan konsisten dalam
3
penerapannya (faktor eksternal). Ditambahkan oleh Hicks (2000), kebijakan tersebut juga harus mencakup pemecahan masalah keuangan yang dihadapi UKM. Selain faktor eksternal, ditambahkan pula oleh Tolentino (2000) faktor internal juga perlu dipertimbangakan dalam rangka pengembangan UKM, antara lain perlu adanya perumusan indikator untuk memonitor dan mengevaluasi produktivitas UKM. Selain faktor keuangan seperti yang dikemukakn oleh Hicks (2000), Hermanto (2001) menyimpulkan bahwa pada umumnya permasalahan yang dihadapi terkonsentrasi selain pada faktor modal adalah faktor pemasaran. Sarana (2001) dalam peneltiannya menemukan hasil bahwa faktor internal perusahaan seperti pendidikan pengusaha, lama usaha, umur dan lain sebagainya relatif kurang berpengaruh terhadap pertumbuhan skala usaha kecil, tetapi faktor kewirausahaan sangat berpengaruh. Sementara faktor eksternal seperti pasar, teknologi dan kemitraan ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan skala usaha, sedangkan bantuan pemerintah bukan merupakan hal yang terpenting yang mempengaruhi keberhasilan usaha mereka. Sedangkan menurut Sofyar (2004) yang perlu dilakukan
dalam
pengembangan
UKM
terutama
dalam
hal
perkuatan
kelembagaan dan teknologi yang dituangkan dalam konsep SUKLIS yaitu sentra usaha kecil berbasis produksi bersih, dimana pertimbangan aspek sosial dan lingkungan sangat diutamakan. Berbagai studi mengenai UKM sudah banyak dilakukan, sikap atau pandangan umum para perumus kebijakan maupun peneliti yang berkaitan dengan situasi yang dihadapi UKM haruslah melahirkan misi dan perlakuan yang tepat bagi UKM. Adanya anggapan bahwa UKM adalah homogen dan masalah utama mereka adalah modal misalnya, justru akan melahirkan perlakuan yang kurang tepat. Di sisi lain, banyaknya pihak yang peduli terhadap tumbuh dan berkembangnya UKM seperti Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga penelitian dan lainnya merupakan bukti bahwa ternyata tersimpan banyak potensi yang dapat digalang untuk mendorong pertumbuhan UKM lebih dinamis lagi. Pihak yang peduli ini dapat disebut sebagai mitra pendukung bagi perkembangan UKM.
4
Sebagai suatu area usaha dimana banyak orang menekuninya, UKM harus tumbuh dan berkembang atau sekurang-kurangnya bertahan. Tekad untuk bertahan dan tumbuh menuntut kemampuan UKM dan mitra pendukungnya untuk memahami situasi internal (kekuatan dan kelemahan) maupun situasi eksternalnya (peluang dan tantangan). Berdasarkan atas misi tersebut serta informasi mengenai faktorfaktor internal dan eksternal, sangat penting untuk diformulasikan isu-isu dan rencana strategis bagi perumusan pengembangan UKM. Isu-isu dan rencana strategis penting untuk melihat peluang pengembangan UKM terutama dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang muaranya bersifat politisekonomis sehingga tercapai perlakuan yang tepat bagi UKM. 1.2. Tujuan Penelitian (a)
Mengidentifikasi karakteristik UKM di Kabupaten Bogor.
(b)
Menganalisis kondisi lingkungan internal dan eksternal UKM di Kabupaten Bogor.
(c)
Merumuskan strategi pengembangan UKM di Kabupaten Bogor.
1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pelengkap bagi pemerintah daerah dalam usaha perumusan kebijakan serta program-program pengembangan usaha kecil serta peningkatan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). 1.4. Ruang Lingkup (a)
UKM yang diteliti adalah UKM yang mengolah hasil pertanian (UKM agroindustri) di Kabupaten Bogor.
(b)
Kondisi eksisting UKM agroindustri mencakup karakteristik UKM (jenis, jumlah UKM, tenaga kerja, permodalan), program-program pengembangan yang ada selama ini, kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh UKM agroindustri.
(c)
Analisis lingkungan internal mencakup faktor-faktor kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh UKM agroindustri, sedangkan analisis
5
lingkungan eksternal mencakup peluang dan ancaman yang dihadapi UKM agroindustri. (d)
Strategi pengembangan UKM agroindustri akan menggunakan pendekatan PHA yang mencakup faktor-faktor yang berpengaruh, aktor yang berperan, tujuan pengembangan, dan alternatif strategi yang akan dilakukan.
6
2. USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN
2.1. Definisi UKM Di beberapa negara, definisi UKM hanya memakai satu kriteria, yaitu jumlah tenaga kerja saja atau ada juga yang menambah kriteria dengan besarnya hasil penjualan (Rietveld, 1989). Usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta status kepemilikan. Dalam Pasal 5 Bab III Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, secara spesifik ditetapkan kriteria usaha kecil, seperti berikut: (a)
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
(b)
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 miliar;
(c)
Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia;
(d)
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau yang berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;
(e)
Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan maupun suatu badan, dengan tujuan untuk memproduksi barang dan jasa guna diperniagakan secara komersial; yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta dan mempunyai nilai penjualan (omzet) per tahun sebesar Rp.1 miliar atau kurang. LIPI (2001) memakai definisi tentang Usaha Kecil, yaitu sebagai: setiap jenis industri yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 5 hingga 19 orang, sedangkan usaha- usaha menengah yaitu usaha-usaha dengan jumlah total penjualan tahunan yang berkisar antara Rp. 1 milyar dan Rp. 50 milyar.
7
2.2. Potensi dan kedudukan UKM dalam pembangunan. Upaya pengembangan UKM sangat relevan dan sejalan dengan arus pemikiran global yang sedang berkembang saat ini yaitu tema pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan sendiri berarti memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting dalam menanggapi proses pembangunan yang dianggap semakin menjurus kepada situasi yang unsustainable dan inequitable. Mengembangkan UKM merupakan suatu keharusan untuk pembangunan yang berkelanjutan karena memajukan UKM sama juga dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat mengingat UKM merupakan kegiatan ekonomi rakyat dan jumlahnya lebih dari 90% dari unit usaha di Indonesia. Ditambahkan oleh Sjaifuddian et. al (1997), sektor UKM ini memiliki peran yang strategis baik secara ekonomi maupun sosial politis. Fungsi ekonomi sektor ini antara lain menyediakan barang dan jasa bagi konsumen berdaya beli rendah sampai sedang, menyumbang lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi serta kontribusi dalam perolehan devisa negara. Secara sosial politis, fungsi sektor ini juga sangat penting terutama dalam penyerapan tenaga kerja serta upaya pengentasan kemiskinan Survai yang telah dilakukan Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, usaha-usaha kecil, termasuk usaha-usaha rumah tangga atau mikro pada tahun 2003 meliputi 98.67 persen dari jumlah total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia, sedangkan usaha-usaha menengah meliputi 0.13 persen dari jumlah total usaha-usaha. Dengan demikian maka jumlah total UKM sebagai keseluruhan meliputi 98,80 persen dari jumlah total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, jumlah Usaha Kecil mencapai 99,85% dari total pengusaha nasional (42.326.520 unit) serta memberikan kontribusi pada PDB sebesar 40,55%. Dalam hal tenaga kerja, usaha kecil mampu menyerap 88,40% (70.282.178 orang) dari total angkatan kerja pada tahun bersangkutan. Posisi tersebut menunjukkan, bahwa usaha kecil berpotensi
8
menjadi penyangga sekaligus penggerak dinamika perekonomian nasional. UKM juga menjadi pilihan yang tepat bagi pembangunan daerah otonom karena selain menciptakan
lapangan
kerja,
meningkatkan
pendapatan
daerah
dan
mensejahterakan masyarakat juga dapat memperkuat kemandirian ekonomi daerah (Hardjomidjojo, 2004). Terkait dengan pembangunan daerah otonom, survai yang telah dilakukan di Kabupaten Bogor oleh Badan Pusat Statistik dan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, usaha-usaha kecil pada tahun 2001 meliputi 93,83 % dari jumlah total usaha-usaha yang bergerak di Kabupaten Bogor, sedangkan usaha-usaha menengah meliputi 3,08 % dari jumlah total usaha-usaha. Dengan demikian maka jumlah total UKM di Kabupaten Bogor secara keseluruhan meliputi 96,91 % dari jumlah total usaha-usaha yang bergerak di wilayah ini. Dalam hal tenaga kerja, UKM mampu menyerap 65,18% (97.302 orang) dari total angkatan kerja pada tahun bersangkutan. Posisi
tersebut
menunjukkan
bahwa
UKM
berpotensi
menjadi
wadah
pemberdayaan masyarakat dan penggerak dinamika perekonomian di daerah. Sebagai sektor usaha yang dominan di Kabupaten Bogor pada umumnya, UKM perlu dikembangkan terus perekonomian.
karena potensi dan kontribusinya terhadap
Hal ini diperkuat pula oleh komitmen pemerintah daerah
Kabupaten Bogor untuk mengembangkan UKM di wilayahnya mengingat posisi daerah Kabupaten Bogor yang strategis dan dekat dengan pusat perdagangan dan perekonomian nasional yaitu DKI Jakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengembangan UKM adalah mutlak dilakukan dalam upaya meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat, meningkatkan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
rakyat,
meningkatkan
pemerataan
pendapatan
maupun
pembangunan regional dan pada akhirnya menuju pembangunan yang berkelanjutan.
9
2.3. Faktor penguat dan penghambat UKM. Karakteristik yang melekat pada UKM bisa merupakan kelebihan atau kekuatan yang potensial. Di sisi lain pada kekuatan tersebut implisit terkandung kekurangan atau kelemahan yang justru menjadi penghambat perkembangannya. Kombinasi kekuatan dan kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi eksternal akan menentukan seberapa besar kemungkinan usaha kecil dapat berkembang. Kemampuan bertahan hidup yang tinggi dan kemampuan menggunakan pasokan secara efisien merupakan faktor penguat UKM. Motivasi pengusaha yang sangat kuat untuk mempertahankan kelangsungan usahanya karena merupakan satusatunya sumber penghasilan keluarganya. Sekalipun nilai tambah yang diperolehnya sangat rendah, permintaan pangsa pasar menegah ke bawah yang dimasukinya sangat tinggi. Pelaku UKM sangat pandai memanfaatkan pasokan produksi yang murah secara efisien untuk menghasilkan produk dan jasa yang murah bagi konsumen khususnya yang berpenghasilan rendah. Efisiensi usaha dapat dicapai karena memanfaatkan sumber daya lokal dan mudah didapat. Produk produk olahan seringkali dibuat dari bahan-bahan berkualitas rendah. Kemampuan UKM dalam meramu bahan-bahan tersebut dan mengolahnya akan sangat menentukan tingkat keuntungan yang akan mereka raih. Dengan karakteristiknya yang lentur, UKM sangat adaptif dalam menghadapi perubahan situasi dalam lingkungan usahanya.
UKM sangat mudah berubah
menyesuaikan dengan kondisi yang berkembang dalam lingkungan usahanya.. Baik yang berkembang akibat perubahan fungsi pasar itu sendiri maupun akibat intervensi dari pihak tertentu. Kelenturan usaha bisa merupakan kelemahan atau kekuatan tergantung dari sudut mana kelenturan itu dilihat. Dari segi positif kelenturan bisa dipandang sebagai kekuatan karena dengan cara itu UKM bisa terus bertahan. Tetapi di sisi lain kelenturan bisa juga dianggap sebagai faktor yang menghambat. Pergantian usaha yang terlalu sering dalam waktu singkat akan menghambat akumulasi keterampilan dan modal, dua faktor yang biasanya diukur sebagai pendorong pertumbuhan usaha.
10
Faktor penghambat lain yang potensial merupakan ancaman besar bagi UKM yaitu adanya rekayasa tatanan sistem perekonomian bebas internasional. Dalam situasi arus masuk kapital semakin tidak terbendung, UKM semakin menjadi tidak berdaya. Banyak jenis UKM yang tutup karena tidak mampu bersaing dengan usaha swasta besar baik domestik maupun asing. Beberapa jenis komoditi yang tadinya dikuasai dan diusahakan oleh pengusaha kecil kini dilakukan oleh usaha besar. Komoditi yang selama ini diusahakan oleh UKM kini telah disaingi oleh usaha besar yang membuatnya dengan bahan baku sintetis atau dengan desain yang dimodofikasi dan kemudian diproduksi secara massal. 2.4. Arah pengembangan UKM.. UKM harus mampu merespon berbagai perubahan pada lingkungannya yang seringkali tidak dapat diprediksikan seperti perubahan harapan baru dari masyarakat terhadap keberadaannya serta produk dan jasa yang dihasilkannya, kecenderungan dalam hubungan perdagangan nasional dan internasional. Perubahan-perubahan dalam sistem dimana UKM beroperasi tidak saja sulit diprediksikan tetapi juga sering mengancam dirinya. Untuk itu perlu ditentukan arah pengembangan agar UKM mampu mengambil keuntungan dari peluang yang ada, meminimalkan kelemahan yang dimiliki serta mampu menghadapi tantangan yang ada. Pengembangan UKM diarahkan pada menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnnya UKM. Agar dapat bertahan dan maju UKM harus mampu berkompetisi dengan pelaku ekonomi lain. Adanya kenyataan bahwa situasi bisnis tidak selalu menguntungkan bahkan seringkali merugikan UKM. Dengan
demikian
diperlukan
adanya
kebijakan-kebijakan
yang
mampu
memperbesar partisipasi golongan ekonomi lemah dalam kegiatan ekonomi, menciptakan situasi yang lebih distributif sehingga pembangunan yang cenderung padat modal bergeser kepada situasi yang lebih memperluas kesempatan kerja bagi rakyat banyak.
11
Dimensi lain yang perlu ditekankan pada arah pengembangan UKM adalah kerjasama. Berbagai bentuk kerjasama kolektif seperti asosiasi UKM, ataupun pusat pelayanan sektoral dapat memainkan peranan besar dalam pengkoordinasian dan penyampaian informasi-informasi terbaru, memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama, membantu meningkatkan efisiensi produksi dan sekaligus mewakili kepentingan UKM dalam hubungannya dengan pihak lain seperi usaha besar, lembaga penelitian dan pemerintah.
2.5. Penyusunan Strategi Pengembangan Identifikasi strategi merupakan proses kajian yang dilakukan untuk membantu merumuskan atau menyusun strategi pengembangan UKM di dalam lingkup yang bersifat umum. Untuk menentukan posisi dan menetapkan sasaran dari pengembangan UKM ini, sebelumnya perlu dilakukan evaluasi terhadap berbagai faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal UKM yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja UKM itu sendiri. Faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal ini perlu diperhatikan didalam merumuskan strategi pengembangan. Faktor-faktor ini sangat mempengaruhi dan menentukan dinamika pengembangan dan perkembangan UKM. Kombinasi kekuatan dan kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi eksternal akan menentukan seberapa besar kemungkinan UKM dapat berkembang. Sebelum melakukan penyusunan strategi pengembangan, terlebih dahulu dilakukan identifikasi mengenai kondisi aktual, tipologi atau karakterisitik usaha kecil serta kendala dan peluang di dalam pengembangannya. Menurut Hubeis (1997) tipologi atau karakteristik industri kecil dapat pula dinyatakan secara umum menurut aspek usaha (kelembagaan) dan aspek pengusaha (pelaku). Aspek usaha ditinjau dari indikator seperti aspek hukum, lokasi usaha, jam kerja, jumlah dan sumber modal, omzet penjualan, jumlah dan sumber serta kebutuhan tenaga kerja, dan masalah yang dihadapi (manajemen, pemasaran, produksi dan pengembangan produk, permodalan dan sumber daya manusia); dan aspek
12
pengusaha dilihat dari lama usaha, kebutuhan pengembangan keahlian dan rencana pengembangan usaha. Cara lain untuk menjabarkan tipologi industri kecil adalah melihat dari jenis informasi yang dimilikinya, yaitu atas informasi umum (kepemilikan, tenaga kerja, jam kerja/shift, luas bangunan, investasi, biaya produksi dan lama usaha) untuk mengetahui keragaan suatu unit usaha; informasi teknis (bahan baku, kapasitas alat produksi, jenis produk, volume produksi dan harga jual) yang mendukung pengambilan keputusan dalam kegiatan produksi; dan informasi bisnis beserta pendukungnya (pemasaran, pangsa pasar, promosi, merek, mutu produk, persaingan, sasaran usaha dan perluasan usaha, perizinan dan fasilitas litbang). Kesemua informasi tersebut dapat dijadikan profil usaha, dengan indikator dari komponen yang terdapat pada masing-masing informasi yang bersangkutan. Disamping menurut jenis informasi yang dimiliki, juga dapat dilakukan pembuatan tipologi industri kecil atas komponen penilaian bisnis
seperti
keuangan (permodalan: sendiri dan luar; asset, omzet/bulan atau per tahun, persediaan barang: barang jadi. barang setengah jadi dan bahan baku; laba ratarata/bulan atau per tahun), administrasi/manajemen (organisasi, jumlah karyawan, peralatan kantor, kendaraan, bangunan dan peralatan lainnya), pemasaran (penjualan dan distribusi secara lokal, regional, nasional dan internasional), teknis (tata letak pabrik/usaha, sumber bahan baku, produksi dan penyimpanan), yuridis (akte notaris, badan hukum, SIUP, TDP, dll) dan jaminan (nilai dan status). Lebih lanjut menurut Hubeis (1997), berbagai konsep tipologi yang diungkapkan, pada hakekatnya adalah untuk memudahkan identifikasi industri kecil atas pengertian mampu (papan atas), berkembang (papan menengah) dan tertinggal (papan bawah) sesuai dengan kemampuannya dalam memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Hal ini pada gilirannya akan membantu penyusunan kebijakan dan strategi penanganan di berbagai tingkat pengambil keputusan yang berkepentingan terhadap pengembangan industri kecil.
13
2.6. Faktor yang Berpengaruh Dalam Pengembangan UKM Kontribusi UKM yang nyata dalam perekonomian nasional menjadikan sedemikian pentingnya suatu penyusunan strategi maupun program-program pengembangan UKM sebagai sarana dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan UKM perlu dilakukan. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengembangan UKM yaitu : (a)
Kebijakan pemerintah. Kebijakan merupakan pengaturan yang sifatnya berlaku umum, bila dikaitkan dengan pengertian publik hal itu akan mencakup upaya pengaturan bagi semua dimensi kegiatan manusia dalam suatu wilayah. Kebijakan pemerintah terhadap suatu usaha atau aktor ekonomi lain (perkreditan, perpajakan, perijinan, kemitraan, perundangundangan, kebijakan mengenai perkembangan teknologi serta kebijakan mengenai perdagangan dapat berdampak pada kegiatan usaha UKM (Parsson, 1995, Sjaifudian et al, 1997; Mead dan Liedholm, 1998).
(b)
Pemasaran. Keberhasilan program pengembangan usaha kecil sangat dipengaruhi oleh situasi pasar yang dihadapi oleh UKM. Situasi permintaan terhadap produk UKM tidak saja melalui permintaan efektif, tetapi juga pada peningkatan akses terhadap informasi pasar serta akses kepada pasar ekspor (Hubeis, 1997; Sjaifuddian et al, 1997; Thoha, 2000)
(c)
Teknologi. Peran teknologi semakin penting pada saat ini. Kemakmuran suatu bangsa, kinerja ekonomi, keamanan nasional dan keserasian sosial berkaitan
erat
dengan
perkembangan
teknologi.
Teknologi
dapat
memberikan altrnatif untuk efektifitas dan efisiensi kerja manusia. (Hubeis, 1997; Sjaifuddian et al, 1997; Berry et al, 2000). (d)
Pendapatan per kapita. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita di suatu negara semakin kecil pangsa tenaga kerja UKM (Anderson, 1982; Biggs dan Oppenheigin, 1986).
14
(e)
Permodalan. Pada umumnya UKM memulai usaha dari tingkat yang sangat sederhana dan menggunakan modal yang relatif kecil. Sebagian pengusaha memulai usahanya dengan memanfaatkan modal sendiri seperti tabungan atau penjualan hartanya. Keterbatasan permodalan seringkali menjadi penghambat usaha kecil untuk meningkatkan skala usahanya (Sjaifudian et al, 1997).
(f)
Akses ke lembaga keuangan/permodalan. Perkembangan dan
kemajuan
UKM sangat dipengaruhi oleh terciptanya akumulasi modal yang seringkali tidak bisa dipenuhi hanya dengan mengandalkan sumber modal sendiri ataupun lingkungan pribadi. Lembaga keuangan sebenarnya dapat diharapkan untuk mendukung UKM melalui penyediaan dana kredit. Akses usaha kecil terhadap sumber modal dari perbankan masih relatif kecil. (Liedholm, 1993; Tambunan, 1999). (g)
Sistem informasi. Informasi adalah sumber daya pendukung yang vital bagi kegiatan suatu usaha. Tidak hanya informasi tentang pasar, pasokan, produksi dan teknologi tapi juga tentang pasar produk yang ditawarkan. Ketimpangan informasi (media dan materi) bagi UKM perlu dibenahi dengan memberikan porsi yang lebih seimbang dibandingkan dengan usaha besar. Penyediaan pusat informasi yang mudah dijangkau dengan informasi aktual merupakan sumber daya yang penting bagi pengembangan UKM (Hubeis, 1997).
(h)
Lokasi usaha. Penentuan lokasi sangat berperan penting dalam kemajuan perkembangan usaha. Dekat dengan jaringan transportasi adalah yang paling utama. Biaya transportasi mempunyai pengaruh terhadap biaya pemasaran. Akibatnya konsumen akan memasukan biaya transportasi dalam fungsi permintaan. Untuk jenis produk tertentu pada tingkatan eceran, konsumen cenderung lebih efisien membeli produk yang dekat dengan lokasi tempat tinggalnya daripada yang jauh. Ini akan berakibat bahwa ukuran perusahaan yang lebih kecil akan mendapatkan peluang untuk lebih eksis.
15
(i)
Gender. Pria umumnya lebih berani dalam mengambil resiko yang merupakan faktor penting dalam pengelolaan usaha. Disamping itu dari segi sosial budaya, kesempatan untuk berusaha bagi pria lebih besar. Namun demikian, mengembangkan usaha kecil menjadi sangat relevan dengan isu perempuan mengingat usaha kecil merupakan sumber pendapatan dan peluang berusaha utama bagi kebanyakan perempuan dan masayarakat kecil pada umumnya. Sebagian besar perempuan terkonsentrasi pada unit usaha kecil termasuk usaha keluarga (Syaifuddian et all, 1997).
(j)
Umur pengusaha. Motivasi yang tinggi dari pengusaha kecil usia produktif (15-55 tahun) dalam mengembangkan usahanya menjadi lebih baik adalah modal dasar dan faktor penting dalam pengembangan UKM. Dari perspektif perluasan kesempatan kerja, adanya kelompok usia produktif di dalam struktur demografis pengusaha UKM menggambarkan bahwa UKM dapat menjadi sektor alternatif untuk mengurangi jumlah pengangguran.
(k)
Kemampuan manajemen. Perencanaan usaha jangka pendek maupun jangka panjang merupakan salah satu kuputusan awal penting yang harus dibuat UKM agar mudah menyesuaikan dengan keadaan yang selalu berubah. Hal ini pada gilirannya akan membuat UKM mampu memasuki dan menguasai pasar baik yang terbuka maupun yang tersegmentasi di era globalisasi bisnis (Hubeis, 1997).
2.7. Aktor yang Berperan Dalam Pengembangan UKM Pada saat ini setiap aktor memainkan peranan tertentu melalui pendekatannya masing-masing sehingga diantara aktor pendukung diperlukan adanya koordinasi sehingga pelayanan-pelayanan kepada UKM nantinya tidak akan bersifat sementara dan terfragmentasi. Aktor yang terlibat dalam pengembangan UKM antara lain (Hubeis, 1997; Sjaifuddian et. al, 1997; Rasyid, 1997; Polman, 2000; Haris, 2002; 2004):
Hardjomidjojo, 2004; Sofyar, 2004; Tambunan dan Ubaidilah,
16
(a)
Pemerintah daerah. Dengan dukungan staf dan anggaran yang dikuasainya, Pemerintah memiliki potensi sekaligus kapasitas yang besar untuk menjangkau kelompok sasaran yang luas hingga ke pelosok-pelosok desa yang terpencil sekalipun.
(b)
Perguruan tinggi. Berfungsi sebagai penyedia informasi iptek dan dukungan pelatihan serta litbang.
(c)
KADIN, sebagai lembaga perwakilan
resmi
pihak
swasta,
dapat
menyuarakan kepentingan swasta dalam hubungannya dengan pemerintah. Diharapkan KADIN dapat menjadi representasi usaha kecil. (d)
Koperasi, sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat memiliki potensi besar dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan UKM karena dianggap sebagai lembaga yang dapat merepresentasikan anggotanya. Selain menjadi kekuatan politik dalam negosiasi dengan pemerintah juga dalam hubungannya dengan usaha besar.
(e)
Lembaga swadaya masyarakat, LSM dapat berperan penting dalam pengembangan UKM. Dengan kondisinya yang sangat dekat dunia usaha LSM berpotensi dalam pengembangan kelembagaan (institution bulding) melalui pembentukan organisasi atau kelompok-kelompok usaha.
(f)
Asosiasi pengusaha kecil. Potensi asosiasi terletak pada penguasaan informasi tentang situasi usaha serta peluang-peluang usaha yang ada. Mempunyai pengaruh terhadap perumusan kebijakan pemerintah.
(g)
Pers. Mempunyai peranan dalam menyebarluaskan informasi mengenai UKM dari berbagai sisi.
(h)
Organisasi masyarakat. Mempunyai potensi untuk memahami persoalan serta kebutuhan UKM. Mampu memobilisir dana lokal maupun sumber daya lokal lainnya dari masyarakat.
17
(i)
Lembaga keuangan. Lembaga keuangan/bank dapat diharapkan mendukung usaha kecil melalui penyediaan dana kredit. Secara umum, baru sebagian kecil usaha kecil yang memiliki akses terhadap pelayanan bank-bank formal. Dalam struktur pengambilan kebijakan lembaga perbankan memiliki pengaruh yang kuat khususnya dalam hal kebijakan industri termasuk industri kecil dan perdagangan.
(j)
Lembaga penelitian dan pengkajian. Berbagai studi empiris yang detail dan komprehensif sangat diperlukan. Selain itu juga diperlukan dukungan data statistik, jaringan kerja antar individu maupun lembaga sebagai ajang pertukaran ide, pengetahuan dan hasil-hasil penelitian. Termasuk juga masalah metodologi yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Forum-forum formal maupun informal yang melibatkan praktisi (termasuk usaha kecil itu sendiri), pembuat kebijakan dan peneliti perlu dibangun sebagai lembaga kerja sama triparti.
18
3. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengambil posisi bahwa untuk melakukan pengembangan UKM di Kabupaten Bogor perlu memperhatikan faktor internal dan eksternal. Kedua faktor inilah yang mempengaruhi dan menentukan dinamika pengembangan dan perkembangan UKM. Dari sisi eksternal kecenderungan dalam aspek kebijakan, pengembangan teknologi dan kecenderungan internasional merupakan beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Sementara sisi internal lebih difokuskan pada aspek dinamika internal UKM, karakteristik usaha dan fleksibilitas usaha. Ditinjau dari karakteristiknya UKM tentu memiliki kelebihan maupun kekurangan. Kombinasi kekuatan dan kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi eksternal
akan
menentukan
seberapa
besar
kemungkinan
UKM
dapat
berkembang. Proses penyusunan strategi pengembangan UKM di kabupaten Bogor meliputi beberapa proses utama yaitu: (1) mengidentifikasi karakteristik UKM, programprogram pengembangan yang ada selama ini, kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh UKM. (2) menganalisis lingkungan internal mencakup faktor-faktor kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh UKM agroindustri di Kabupaten Bogor, sedangkan analisis lingkungan eksternal mencakup peluang dan ancaman yang dihadapi UKM. (3) merumuskan dan memilih strategi pengembangan UKM agroindustri menggunakan pendekatan PHA yang mencakup faktor-faktor yang berpengaruh, aktor yang berperan, tujuan pengembangan, dan alternatif strategi yang akan dilakukan. (4) menyusun rekomendasi kegiatan yang merupakan pilihan aktivitas yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang berperan didalam pengembangan UKM dalam rangka menjalankan strategi terpilih.
Secara
skematis, diagram alir penelitian strategi pengembangan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor dapat ditunjukkan pada Gambar 1.
19
Mulai
Identifikasi karakteristik UKM agroindustri di Kabupaten Bogor
Kondisi aktual yang dihadapi
Analisis lingkungan internal eksternal
Pemilihan strategi pengembangan
Cross Impact Matrix, SWOT
AHP Proses Hirarki Analitik
Rekomendasi pengembangan
Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
20
3.2. Metoda Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif.
Data primer diperoleh dari hasil kuesioner,
observasi di lapangan, dan wawancara dengan praktisi dan pakar di bidang UKM. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dalam rangka memperoleh landasan teoritis dan data penunjang yang berkaitan dengan materi penelitian. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bogor. Data penunjang lainnya diperoleh dari, laporan hasil penelitian terkait, jurnal, buletin, internet, dan sumber-sumber lainnya. 3.3. Metoda Pengolahan Data Analisis lingkungan internal dan eksternal UKM agroindustri menggunakan teknik analisis skor (Rangkuti, 2002). Diagram alir pengolahan data untuk analisis lingkungan internal dan eksternal UKM agroindustri dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil analisis skor tersebut kemudian dapat divisualisasikan ke dalam matriks sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Penyusunan strategi pengembangan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor menggunakan konsep AHP.
Hirarki keputusan disusun berdasarkan hasil
interpretasi data sekunder mengenai faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi perkembangan UKM di Kabupaten Bogor dan diskusi awal dengan pakar dari kalangan pengusaha (UKM) dan instansi pemerintah daerah. Tata laksana penyusunan strategi pengembangan UKM di Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 4. Metoda pengolahan data untuk menentukan vektor prioritas setiap hirarki keputusan disajikan pada Gambar 5.
21
Mulai
Identifikasi Faktor Eksternal dan Internal Diskusi dengan Pakar Tidak Faktor Sesuai?
Revisi
Ya Pengambilan Data untuk Penilaian (Skor) Pengolahan Data
Plotting ke dalam Matriks IE
Interpretasi Hasil
Selesai
Gambar 2. Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal
22
Peluang
Kw IV mendukung strategi turn around
Kw I mendukung strategi agresif WT
Kw III mendukung strategi defensif
SO
Kw II mendukung strategi diversifikasi
WO
ST
Ancaman Gambar 3. Matriks Dampak Pengaruh Menyilang
23
Mulai
Analisis dan Diagnosis
Penentuan Hirarki Awal Diskusi dengan Pakar
Sesuai
T
Revisi
Y Penyusunan Hirarki Keputusan
Pengambilan Data untuk Penilaian
Pengolahan Data
Pemilihan Alternatif Strategi
Interpretasi Hasil Selesai
Gambar 4. Penyusunan Strategi Pengembangan UKM Agroindustri
24
Mulai
Penilaian Matriks Pendapat oleh Pakar
Rasio Konsistensi sesuai?
Tidak
Ya Menghitung Vektor Prioritas Individu Menyusun Matriks Gabungan Pengolahan Horizontal
Vektor Prioritas
Selesai
Gambar 5. Diagram Alir Pengolahan Data AHP
25
3.4. Proses Hirarki Analitik (PHA) Proses analisis yang dikembangkan tahun 1970-an ini dimaksud untuk dapat mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan secara rasional (jugdement) agar dapat memilih alternatif yang paling disukai. Metode ini dimaksudkan untuk membantu memecahkan masalah kualitatif yang komplek dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah dimaksud dalam kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Metode ini memiliki keunggulan tertentu karena mampu membantu menyederhanakan persoalan yang komplek menjadi persoalan yang berstruktur, sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan terkait. Kerangka kerja PHA terdiri dari delapan langkah utama (Saaty, 1993) adapun penjelasan dari setiap langkah adalah sebagai berikut: (a)
Mendefinisikan persoalan dan
merinci pemecahan persoalan yang
diinginkan. Hal yang perlu diperhatikan dalam langkah ini adalah penguasaan masalah secara mendalam, karena yang menjadi perhatian adalah pemilihan tujuan, kriteria dan elemen-elemen yang menyusun struktur
hirarki.
Tidak
terdapat
prosedur
yang
pasti
untuk
mengidentifikasikan komponen-komponen sistem, seperti tujuan, kriteria dan aktivitas-aktivitas yang akan dilibatkan dalam suatu sistem hirarki. Komponen-komponen
sistem
dapat
diidentifikasikan
berdasarkan
kemampuan pada analisa untuk menemukan unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam suatu sistem. (b)
Membuat struktur hirarki dari sudut pandang
manajemen
secara
menyeluruh. Struktur hirarki ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari sasaran utama, sub-sub tujuan, faktor-faktor pendorong yang mempengaruhi sub-sub sistem tujuan tersebut, pelaku-pelaku yang memberi dorongan, tujuan-tujuan pelaku dan akhimya ke alternatif strategis, pilihan atau skenario. Penyusunan hirarki ini berdasarkan jenis keputusan yang akan diambil Pada tingkat puncak hirarki hanya terdiri dan satu elemen yang disebut dengan fokus, yaitu sasaran keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat
26
dibawahnya dapat terdiri dari beberapa elemen yang dibagi dalam kelompok homogen, agar dapat dibandingkan dengan elemen-elemen yang berada pada tingkal sebelumnya. (c)
Menyusun matriks banding berpasangan. Matriks banding berpasangan dimulai dan puncak hirarki yang merupakan dasar untuk melakukan pembandingan berpasangan antar elemen yang terkait yang ada dibawahnya. Pembandingan berpasangan pertama dilakukan pada elemen tingkat kedua terhadap fokus yang ada di puncak hirarki. Menurut perjanjian, suatu elemen yang ada di sebelah kiri diperiksa perihal dominasi atas yang ada di sebelah kiri suatu elemen di puncak matriks.
(d)
Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil melakukan perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah 3. Setelah itu dilakukan perbandingan berpasangan antar setiap elemen pada kolom ke-i dengan setiap elemen pada baris ke-j. Pembandingan berpasangan antar elemen tersebut dilakukan dengan pertanyaan : "Seberapa kuat elemen baris ke-i didominasi atau dipengaruhi, dipenuhi, diuntungkan oleh fokus di puncak hirarki, dibandingkan dengan kolom ke-i ?". Apabila elemen-elemen yang diperbandingkan merupakan suatu peluang atau waktu, maka pertanyaannya adalah : "Seberapa lebih mungkin suatu elemen baris ke-i dibandingkan dengan elemen kolom ke-j sehubungan dengan elemen di puncak hirarki ?". Untuk mengisi matriks banding berpasangan, digunakan skala banding yang tertera pada tabel 1. Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen dibanding dengan elemen lainnya sehubungan dengan sifat atau kriteria tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari kiri ke kanan bawah.
(e)
Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan sepanjang diagonal utama. Angka 1 sampai 9 digunakan bila F; lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus puncak hirarki (X) dibandingkan dengan Fj. sedangkan bila F, kurang mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat X
27
dibandingkan F maka digunakan angka kebalikannya. Matriks di bawah garis diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya. Contoh: bila elemen F24 memiliki nilai 7, maka nilai elemen F42 adalah 1/7. Tabel 1. Nilai Skala Banding Berpasangan Intensitas Pentingnya
Definisi
Penjelasan
1
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat itu
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya
5
Elemen yang satu sangat penting dari pada elemen yang iainnya
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya
Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalarn praktek.
9
Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya
Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang tertinggi yang mungkin menguatkan.
Nilai-nilai antara diantara dua pertimbangan yang beruekatan
Kompromi diperlukan di antara dua pertimbangan
2,4,6,8
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktlvitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
(f)
Melaksanakan langkah 3, 4 dan 5, untuk semua tingkat dan gugusan dalam hirarki tersebut. Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hirarki, berkenaan dengan kriteria elemen diatasnya. Matriks pembandingan dalam metode PHA dibedakan menjadi : (1) Matriks Pendapat Individu (MPI) dan (2) Matriks Pendapat Gabungan (MPG). MPI adalah matriks hasil pembandingan yang dilakukan individu. MPI memiliki elemen yang disimbolkan dengan aij yaitu elemen
28
matriks pada bans ke-i dan kolom ke-j. Matriks pendapat individu dapat dilihat pada gambar 6.
X A1 A2 A3 .... An
A1 A11 A21 A31 .... an1
A2 A12 A22 A32 .... an2
A3 A13 A23 A33 .... an3
…. .... .... .... .... ....
An a1n a2n a3n .... ann
Gambar 6. Matriks Pendapat Individu MPG adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 10 persen dan setiap elemen pada baris dan kolom yang sama dari MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. Persyaratan MPG yang bebas dari konflik adalah: (1)
Pendapat masing-masing individu pada baris dan kolom yang sama memiliki selisih kurang dari empat satuan antara nilai pendapat individu yang tertinggi dengan nila yang terendah.
(2)
Tidak terdapat angka kebalikan (resiprokal) pada baris dan kolom yang sama. MPG dapat dilihat pada gambar 7. X G1 G2 G3 .... Gn
G1 g11 g21 g31 .... gn1
G2 g12 g22 g32 .... gn2
G3 g13 g23 g33 .... gn3
…. .... .... .... .... ....
Gambar 7. Matriks Pendapat Gabungan
Gn g1n g2n g3n .... gnn
29
Rumus matematika yang digunakan untuk memperoleh rata-rata geometrik m
adalah : g ij = m π (aij )k .................................................................................... (3.1) k =1
Dimana :
gij
= elemen MPG baris ke-i kolom ke-j.
(aij)k
= elemen baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-k.
m
= jumlah MPI yang memenuhi persyaratan.
m
π
= perkalian dari elemen k = l sampai k = m.
k =1 m
(g)
= akar pangkat m.
Mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor-vektor prioritas. Menggunakan komposisi secara hirarki untuk membobotkan vektor-vektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya dan seterusnya.
Pengolahan matriks pendapat terdiri dari dua tahap, yaitu (1) pengolahan horisontal dan (2) pengolahan vertikal. Kedua jenis pengolahan tersebut dapat dilakukan untuk MPI dan MPG. Pengolahan vertikal dilakukan setelah MPI dan MPG diolah secara horisontal, dimana MPI dan MPG harus memenuhi persyaratan Rasio Inkonsistensi. a. Pengolahan Horisontal, terdiri dari tiga bagian, yaitu penentuan Vektor Prioritas (Vektor Eigen), uji konsistensi dan revisi MPI dan MPG yang memiliki Rasio Inkonsistensi tinggi. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horisontal ini adalah : (1)
Zi =
Perkalian baris (Z) dengan rumus : n
π aij
k =1
(i, j = 1, 2, 3, ... n) ..............................................(3.2)
30
(2)
Perhitungan Vektor Prioritas (VP) atau Eigenvektor adalah : n
π aij
n
VPi =
k =1 n
∑ i =1
(3)
VP = (Vpi), untuk i = 1, 2, 3, ... n) ...................(3.3)
n
n
π aij
k =1
Perhitungan Nilai Eigen Maks (Maks) dengan rumus :
VA = (aij)x VP
dengan VA = (vai) .............................................(3.4)
VB = VA/VP
dengan VB = (vbi) .............................................(3.5)
λmaks =
1 n ∑ vbi n i=k
untuk i = 1, 2, 3, ... n .........................................(3.6)
(4)
Perhitungan Indeks Inkonsistensi (CI) dengan rumus
CI =
λmaks − n
(5)
Perhitungan Rasio Inkonsistensi (CR) adalah
n −1
.......................................................................................(3.7)
CR = CI/RI ...........................................................................................(3.8) Nilai rasio inkonsistensi (CR) yang lebih kccil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dikarenakan CR merupakan tolok ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty, 1993). Tabel 2. Nilai Indeks Acak (RI) Matriks Berorde 2 s/d 8 Orde (n) 2 3 4 5 6 7 8
Indeks Acak (RI) 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41
Sumber : Dyer, 1993 dalam Rimadini (1998)
31
Pengolahan Vertikal, yaitu menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Apabila Cvij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke~ i terhadap sasaran utama, maka : CVij =
∑ CH (t; i − 1) × VW (a − 1) .......................................................(3.9) ij
Untuk ;
t
I = 1, 2, 3...n ; J = 1, 2 ,3,...n ; T = 1, 2, 3,...n
Dimana; CHij (t; i-1) = nilai prioritas elemen ke-i terhadap elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i-1), yang diperoleh dari
hasil pengolahan
horisontal. VWt (i-1)
= Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-t) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil perhitungan horisontal.
P
= jumlah tingkat hierarki keputusan.
r
= jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i
s
= jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-(i-t)
b. Mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hirarki. Pada pengisian judgement pada tahap MPB (Matriks Banding Berpasangan) terdapat kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam membandingkan elemen satu dengan elemen yang lainnya, sehingga diperlukan suatu uji konsistensi. Dalam PHA penyimpangan diperbolehkan dengan toleransi Rasio Inkonsistensi dibawah 10 persen. Langkah ini dilakukan dengan mengalikan setiap indeks konsistensi
dengan
prioritas-prioritas
kriteria
yang
bersangkutan
dan
menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masingmasing matriks. Untuk memperoleh hasil yang baik, rasio inkonsistensi hirarki harus bernilai kurang dari atau sama dengan 10 persen.
32
3.5. Responden Ahli
Seseorang dapat dikatakan ahli apabila mampu melaksanakan sesuatu dengan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu, yaitu berupa kemampuan mengumpulkan data dan informasi kompleks, serta kemampuan menginterpretasikan data sebagai suatu kegiatan terencana seperti proses pengambilan keputusan (Han & Kim, 1989). Seorang pakar dikategorikan berdasarkan kriteria : (1) Efektifitas dengan derajat kesuksesan yang memadai. (2) Efisiensi dalam menyelesaikan persoalan secara cepat. (3) Kesadaran akan keterbatasan dimana seorang pakar mengetahui apa yang dia ketahui (kompetensi). (4) Pengakuan secara obyektif terhadap kemampuan profesional yang dimiliki oleh lingkungan akademik dan masyarakat luas. (5) Produktivitas yang tinggi di dalam bidang ilmiah yang ditekuninya. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemilihan pakar. Pakar yang dilibatkan dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu : (1) Pakar yang mendapatkan pendidikan formal S2/S3 pada bidang yang dikaji. (2) Pakar yang berpengalaman pada bidang yang dikaji tetapi memiliki pendidikan formal di bidang lain. (3) Pakar yang berpendidikan formal dan berpengalaman pada bidang yang dikaji. (4) Pakar yang berasal dari praktisi di dalam kehidupan sehari-hari (kaya akan pengalaman empiris di suatu sektor kegiatan (ekonomi, politik sosial dsb). Klasifikasi pakar ini lebih didasarkan pada lama kerja dan kewenangannya (dapat terdidik secara formal maupun otodidak) di suatu posisi kegiatan teknik tertentu. Sumber-sumber pengetahuan yang tidak terdokumentasi di dapatkan dari para pakar. Dalam pemilihan ahli diperlukan kriteria-kriteria tentang ahli. Ahli yang akan diwawancarai untuk penyerapan pengetahuan adalah (1) Praktisi, orang yang bekerja dan berpengalaman dalam bidang tertentu secara otodidak maupun terdidik secara akademis (tidak melanjutkan karir di bidang akademik. (2) Ilmuwan, orang yang mempelajari dan mendalami pengetahuan bidang misalnya pengembangan karir, penilaian prestasi, dan penentuan kenaikan gaji lewat jalur formal (melalui
pendidikan tinggi) dan memperdalam karirnya di bidang
akademis (perguruan tinggi atau lembaga penelitian).
33
4. IDENTIFIKASI STRATEGI
Analisis SWOT digunakan dalam mengidentifikasi berbagai faktor-faktor internal dan eksternal dalam rangka merumuskan strategi pengembangan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi UKM melalui evaluasi nilai faktor internal dan evaluasi nilai faktor eksternal. 4.1. Faktor Lingkungan Internal
Faktor lingkungan internal terdiri atas faktor-faktor kekuatan dan kelemahan. Faktor kekuatan yang teridentifikasi meliputi : (1) sumber penciptaan wirausaha baru; (2) memiliki tingkat fleksibilitas tinggi dalam menghadapi dinamika perubahan pasar; (3) menggunakan teknologi sederhana sampai madya; (4) tidak memerlukan skill yang tinggi. Faktor kelemahan yang teridentifikasi meliputi (1) SDM yang handal sesuai kebutuhan terbatas, (2) akses terhadap sumber-sumber dana terbatas (3) masih terbatasnya institusi pemasaran bagi produk UKM, sehingga produknya kurang dikenal. (4) mutu produk belum mencapai kualitas ekspor. Untuk mengevaluasi faktor-faktor internal, yaitu: faktor kekuatan dan kelemahan tersebut digunakan metode analisis Evaluasi Faktor Internal (Internal Factors Evaluation - IFE). Dalam metoda analisis IFE, masing-masing faktor kekuatan tersebut diberikan bobot dan peringkat. Pembobotan masing-masing faktor kekuatan tersebut diperoleh dengan teknik perbandingan berpasangan (Saaty, 2993). Sedangkan dalam menentukan peringkat masing-masing faktor digunakan skala 1-5 berdasarkan tingkat pengaruh atau peran strategis faktor terhadap kondisi UKM atau proses pencapaian sasaran. Dari keempat faktor kekuatan tersebut, faktor fleksibilitas tinggi dan penggunaan teknologi sederhana diasumsikan lebih berpengaruh dibandingkan faktor skill dan faktor penciptaan kewirausahaan baru. Dengan cara yang sama, ditentukan bobot dan peringkat
34
untuk masing-masing faktor kelemahan. Hasil total perkalian bobot dan peringkat untuk kedua faktor internal organisasi, yaitu: kekuatan dan kelemahan, menghasilkan selisih nilai sebesar 0,21 seperti yang terlihat pada Tabel 21. Nilai sebesar 0,21 merupakan angka yang bernilai positif yang berada pada sumbu X matriks dampak pengaruh menyilang dan hampir pasti berada pada kuadran I atau kuadran II yang selanjutnya akan diketahui strategi tipe apa yang perlu di rumuskan dalam pengembangan UKM di Kabupaten Bogor. 4.2. Faktor Lingkungan Eksternal
Setelah melakukan identifikasi dan evaluasi terhadap faktor-faktor internal, selanjutnya dilakukan juga identifikasi faktor-faktor eksternal yang meliputi faktor peluang dan ancaman, terutama yang berkaitan dengan pengembangan usaha kecil. Dari hasil identifikasi diperoleh 6 (enam) faktor yang merupakan peluang bagi pengembangan usaha kecil yang mencakup (1) Dukungan dan komitmen pemerintah semakin tinggi terhadap pengembangan UKM; (2) SDA lokal cukup tersedia (3) Peluang pasar lokal/dalam negeri besar. (4) Tersedianya SDM angkatan kerja yang cukup besar (5) Semakin banyak komoditi yang dapat dikembangkan seiring dengan terbukanya akses pasar (6) Dukungan fasilitas telekomunikasi yang semakin baik dapat mempermudah akses pemasaran. Faktor-faktor ancaman yang teridentifikasi: (1) Tingkat kepercayaan konsumen akan kualitas dan keandalan produk dalam negeri terlebih lagi UKM belum juga membaik (2) Globalisasi memaksa produk UKM langsung harus berbenturan dengan
produk-produk
perusahaan
multinasional.
(3)
Tuntutan
masyarakat/konsumen akan mutu produk/hasil produksi yang kian tinggi dengan benchmark pada produk-produk luar negeri. (4) Pengusaha dagang kecil terpinggirkan sebagai akibat munculnya pedagang eceran skala besar nasional dan internasional di sekitar pasar tradisional.
35
Tabel 3. Internal Factors Evaluation (IFE) Bobot KEKUATAN (S) 1 Sumber Penciptaan Wirausaha Baru
Rating Nilai
0,103
2
0,21
2 Memiliki tingkat fleksibilitas tinggi dalam menghadapi dinamika perubahan pasar
0,339
4
1,36
3 Menggunakan teknologi sederhana sampai madya (Barriers to entry rendah)
0,106
4
0,42
4 Tidak memerlukan skill yang tinggi
0,452
3
1,36 3,34
KELEMAHAN (W) 1 SDM yang handal sesuai kebutuhan terbatas
0,110
3
0,33
2 Penguasaan teknologi terbatas
0,138
3
0,41
3 Akses terhadap sumber-sumber dana terbatas
0,023
4
0,09
4 Mutu produk belum mencapai kualitas ekspor
0,097
3
0,29
5 Rendahnya jwa kewirausahaan 6 Masih terbatasnya institusi pemasaran bagi produk IKM, sehingga produk IKM kurang dikenal 7 Kesadaran dalam menerapkan HaKI masih rendah 8 Kemampuan mengakses pasar terbatas, khususnya dengan pemanfaatan teknologi informasi 9 Batasan/kriteria tentang UKM masih beragam
0,078 0,236
2 4
0,16 0,94
0,004
3
0,01
0,288
3
0,86
0,028
1
0,03
EVALUASI FAKTOR INTERNAL (1) - (2)
3,13 0,21
1
2
Untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal, yaitu: faktor peluang dan ancaman tersebut digunakan metode analisis Evaluasi Faktor Eksternal (External Factors Evaluation - EFE). Sama seperti pada metoda IFE, pembobotan masing-masing faktor kekuatan tersebut diperoleh dengan teknik perbandingan berpasangan dalam metoda analisis EFE, masing-masing faktor kekuatan tersebut diberikan bobot dan peringkat.
36
Tabel 4. External Factors Evaluation (EFE) Bobot Rating
Nilai
0,201
4
0,80
0,167
4
0,67
3 Peluang pasar lokal/dalam negeri besar
0,213
4
0,85
4 Tersedianya SDM angkatan kerja yang cukup besar 5 Semakin banyak komoditi yang dapat dikembangkan seiring dengan terbukanya akses pasar khususnya AFTA 6 Dukungan fasilitas telekomunikasi yang semakin baik dapat mempermudah akses pemasaran.
0,198
3
0,59
0,098
3
0,29
0,123
2
0,25
PELUANG (O) 1 Dukungan dan komitmen pemerintah semakin tinggi terhadap pengembangan UKM 2 SDA lokal cukup tersedia
3,46 ANCAMAN (T) 1 Tingkat kepercayaan konsumen akan kualitas dan keandalan produk dalam negeri terlebih lagi IKM belum juga membaik 2 Globalisasi memaksa produk IKM langsung harus berbenturan dengan produk-produk perusahaan multinasional. 3 Tuntutan masyarakat/konsumen akan mutu produk/hasil produksi yang kian tinggi dengan bench-mark pada produk-produk luar negeri 4 Pengusaha dagang kecil terpinggirkan sebagai akibat munculnya pedagang eceran skala besar nasional dan internasional di sekitar pasar tradisional EVALUASI FAKTOR INTERNAL (1) - (2)
0,215
4
0,86
0,275
3
0,825
0,201
2
0,402
0,309
4
1,236
3,323 0,13
Dalam penentuan peringkat masing-masing faktor eksternal, dari keenam faktor peluang, faktor dukungan dan komitmen pemerintah, faktor sumber daya alam dan faktor peluang pasar dalam negeri diasumsikan lebih berpengaruh dibandingkan faktor komoditi dan faktor teknologi telekomunikasi. Sedangkan untuk faktor-faktor ancaman meliputi faktor-faktor: (1) Tingkat kepercayaan konsumen akan kualitas dan keandalan produk. (2) Pengusaha dagang kecil
1
2
37
terpinggirkan sebagai akibat munculnya pedagang eceran skala besar nasional dan internasional di sekitar pasar tradisional diasumsikan lebih berpengaruh dibandingkan faktor-faktor: (1) Globalisasi memaksa produk UKM langsung harus berbenturan dengan produk-produk perusahaan multinasional. (2) Tuntutan masyarakat/konsumen akan mutu produk/hasil produksi yang kian tinggi dengan bench-mark pada produk-produk luar negeri. Hasil total perkalian bobot dan peringkat untuk kedua faktor eksternal, yaitu: peluang dan ancaman, menghasilkan selisih nilai sebesar 0,13 seperti yang terlihat pada Tabel 22. Nilai sebesar 0,13 merupakan angka yang bernilai positif yang berada pada sumbu Y matriks dampak pengaruh menyilang dan hampir pasti berada pada kuadran I atau kuadran IV yang selanjutnya akan diketahui strategi tipe apa yang perlu di rumuskan dalam pengembangan UKM di Kabupaten Bogor. 4.3. Penentuan Strategi
Hasil penentuan bobot dan peringkat melalui metoda analisis Internal-Eksternal Factor Evaluation selanjutnya diplot dalam Matrik Dampak Pengaruh Menyilang (Cross Impact Matrix) untuk menentukan posisi organisasi dan strategi generik (umum) seperti yang terlihat pada gambar 8.
Peluang
(0,21 ; 0,13)
Ancaman
Gambar 8. Matrik Dampak Pengaruh Menyilang
38
Matrik dampak pengaruh menyilang pada Gambar 5 menunjukkan bahwa secara umum posisi UKM agroindusti berkaitan dengan strategi pengembangan terletak pada koordinat (0,21; 0,13) dan menempati kuadran I. Posisi tersebut mengindikasikan bahwa dalam pengembangan kebijakan UKM agroindustri dapat menggunakan strategi yang bersifat agresif dengan mempertimbangkan kendala maupun
sumberdaya
yang
tersedia.
Agresif
dalam
arti
UKM
perlu
memberdayakan dirinya dan diberdayakan melalui penumbuhan iklim usaha yang mendukung bagi pengembangan UKM dan pembinaan serta pengembangan UKM serta kemitraan usaha. Pemberdayaan UKM dilaksanakan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sehingga UKM menjadi tangguh dan mandiri. UKM yang tangguh, madiri dan berkembang dengan sendirinya akan meningkatkan produk daerah/nasional,
kesempatan
kerja,
ekspor
serta
pemerataan
hasil-hasil
pembangunan yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan yang lebih besar terhadap penerimaan negara atau daerah. Dalam konteks internasional dan dalam era persaingan bebas, UKM harus agresif dengan memnbangun persekutuan strategis diantara UKM sendiri. Aliansi yang terbentuk harus dapat memberikan keuntungan kepada pihak yang terlibat di dalamnya. Kerjasama antara UKM harus memusatkan diri pada keunggulan kompetitif yang dimilikinya.
39
Tabel 5. Analisis SWOT
INTERNAL
EKSTERNAL
KEKUATAN (S) KELEMAHAN (W) 1 Sumber Penciptaan Wirausaha Baru 1 SDM yang handal sesuai kebutuhan terbatas 2 Memiliki tingkat fleksibilitas tinggi 2 Penguasaan teknologi terbatas dalam menghadapi dinamika perubahan pasar 3 Menggunakan teknologi sederhana 3 Akses terhadap sumber-sumber dana sampai madya (barriers to entry terbatas rendah) 4 Tidak memerlukan skill yang tinggi 4 Mutu produk belum mencapai kualitas ekspor 5 Rendahnya jwa kewirausahaan 6 Masih terbatasnya institusi pemasaran bagi produk ukm, sehingga produk ukm kurang dikenal 7 Kesadaran dalam menerapkan HaKI masih rendah 8 Kemampuan mengakses pasar terbatas, khususnya dengan pemanfaatan teknologi informasi 9 Batasan/kriteria tentang UKM masih beragam.
PELUANG (O) 1 Dukungan dan komitmen pemerintah semakin tinggi terhadap pengembangan UKM
STRATEGI SO STRATEGI WO 1 Mewujudkan UKM menjadi usaha 1 Memberikan perhatian yang lebih besar yang efisien, sehat, dan memiliki pada proses formulasi kebijakan tingkat pertumbuhan yang tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan ekonomi rakyat dan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan ekonomi daerah.
2 SDA lokal cukup tersedia
2 Mendorong UKM agar dapat berperan maksimal dalam penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan.
3 Peluang pasar lokal/dalam negeri besar
2 Membuka pasar bagi produk dan jasa UKM
3 Meningkatkan akses UKM kepada sumber dana dan modal 4 Pengembangan unit-unit pelayanan pengembangan UPT
4 Tersedianya SDM angkatan kerja yang cukup besar 5 Semakin banyak komoditi yang dapat dikembangkan seiring dengan terbukanya akses pasar khususnya AFTA 6 Dukungan fasilitas telekomunikasi yang semakin baik dapat mempermudah akses pemasaran. ANCAMAN (T) 1 Tingkat kepercayaan konsumen akan kualitas dan keandalan produk dalam negeri terlebih lagi ukm belum juga membaik 2 Globalisasi memaksa produk ukm langsung harus berbenturan dengan produk-produk perusahaan multinasional.
STRATEGI ST 1 Meningkatkan pertumbuhan UKM
STRATEGI WT 1 Memperkuat institusi pendukung gerakan pengembangan UKM
2 Menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM
3 Tuntutan masyarakat/konsumen akan mutu produk/hasil produksi yang kian tinggi dengan benchmark pada produk-produk luar negeri 4 Pengusaha dagang kecil terpinggirkan sebagai akibat munculnya pedagang eceran skala besar nasional dan internasional di sekitar pasar tradisional
2 - Menciptakan bentuk-bentuk kerjasama yang dapat memperkuat kedudukan UKM dalam kompetisi di tingkat daerah, nasional, dan internasional. 3 Pengembangan unit-unit pelayanan pengembangan BDS dan BDC
3 Restrukturisasi strategi pembangunan ekonomi ke arah ekonomi kerakyatan 4 Pengembangan sentra dilaksanakan 4 Pengembangan lembaga pendukung lainnya berdasarkan skala prioritas (Perbankan, transportasi dan jasa lainnya) berdasarkan komoditi dan lokasi,
Hasil penentuan alternatif (pilihan) strategi bagi pengembangan kebijakan UKM, sebagaimana hasil analisis dari dampak silang antar faktor-faktor: internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) pada Tabel 23, dapat diuraikan sebagai berikut:
40
(a)
Mewujudkan UKM menjadi usaha yang efisien, sehat, dan memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan ekonomi rakyat dan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan ekonomi daerah.
(b)
Mendorong UKM agar dapat berperan maksimal dalam penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan.
(c)
Memberikan perhatian yang lebih besar pada proses formulasi kebijakan.
(d)
Membuka pasar bagi produk dan jasa UKM.
(e)
Meningkatkan akses UKM kepada sumber dana dan modal.
(f)
Pengembangan unit-unit pelayanan pengembangan UPT.
(g)
Meningkatkan pertumbuhan UKM.
(h)
Menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM
(i)
Restrukturisasi strategi pembangunan ekonomi ke arah ekonomi kerakyatan.
(j)
Pengembangan sentra dilaksanakan berdasarkan skala prioritas berdasarkan komoditi dan lokasi.
(k)
Memperkuat institusi pendukung gerakan pengembangan UKM.
(l)
Menciptakan bentuk-bentuk kerjasama yang dapat memperkuat kedudukan UKM dalam kompetisi di tingkat daerah, nasional, dan internasional.
(m) Pengembangan
unit-unit
pelayanan
pengembangan
BDS
(Business
Development Services) dan BDC (Business Development Center) (n)
Pengembangan lembaga pendukung lainnya (Perbankan, transportasi dan jasa lainnya).
Alternatif strategi kebijakan pengembangan UKM yang dihasilkan berdasarkan analisis SWOT selanjutnya dipilih 4 strategi yang penting dan kemudian ditetapkan satu prioritas yang paling utama dengan menggunakan metode PHA.
41
5. STRATEGI PENGEMBANGAN UKM
Kontribusi UKM yang nyata dalam perekonomian nasional menjadikan sedemikian
pentingnya
suatu
penyusunan
strategi
maupun
program
pengembangan UKM sebagai sarana dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan UKM perlu dilakukan. Faktor-faktor tersebut diperoleh dari data sekunder maupun primer serta wawancara dengan responden. Selanjutnya pemilihan prioritas strategi pengembangan UKM dilakukan dengan menggunakan teknik AHP. Penentuan prioritas strategi merupakan pendapat gabungan dari 4 responden ahli yang mewakili pihak pemerintah (1 orang), pihak pengusaha atau praktisi UKM (2 orang) dan perguruan tinggi (1 orang). 5.1. Pemilihan faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan UKM
Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan UKM dilakukan diskusi dengan responden ahli serta analisis situasi UKM di Kabupaten Bogor maka didapatkan 4 (empat) faktor dominan yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor yaitu: (1) kebijakan pemerintah, (2) kemampuan teknologi, (3) pemasaran dan (4) akses permodalan. Dengan menggunakan penilaian pendapat gabungan dari responden ahli, keempat faktor dominan ini teridentifikasi bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah merupakan faktor yang paling berpengaruh (0,519) disusul oleh akses permodalan (0,215), pemasaran (0,195) dan kemampuan teknologi (0,071). Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sofyar (2004) bahwa kebijakan pemerintah adalah faktor yang paling berpengaruh. Selain dari pada itu, hasil ini juga menunjukan bahwa pendapat para responden ahli serta urutan prioritas tersebut sejalan dengan keadaan serta gambaran kondisi aktual pelaku usaha UKM di Kabupaten Bogor sebagaimanan dijelaskan pada bab IV antara lain bahwa menurut pelaku usaha kecil, perhatian dari pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk ikut membantu mengatasi permasalahan-permasalahan yang
42
dihadapi. Selain itu akses untuk mendapatkan bantuan permodalan dari lembaga keuangan juga sangat dibutuhkan mengingat selama ini sumber permodalan dan keuangan dari kebanyakan UKM berasal dari sumber-sumber permodalan konvensional seperti kredit dari pemasok atau pinjaman dari keluarga sehingga berpengaruh terhadap akselerasi perkembangan skala usaha UKM. 5.2. Pemilihan aktor yang paling berperan dalam pengembangan UKM
Berdasarkan diskusi dengan responden ahli dan analisis situasi aktual UKM di Kabupaten Bogor maka didapatkan 4 (empat) aktor dominan yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor. Dengan menggunakan penilaian pendapat gabungan dari responden ahli, keempat aktor dominan ini teridentifikasi bahwa pemerintah daerah merupakan aktor yang memiliki bobot relatif atau memiliki pengaruh paling dominan (0,469) kemudian disusul oleh lembaga keungan (0,211), asosiasi pengusaha kecil (0,184) dan perguruan tinggi (0,136). Hal ini menunjukan bahwa peran pemerintah daerah menempati posisi paling tinggi mengingat perannya sebagai regulator yang berwenang untuk menyusun kebijakan bagi pelaku usaha yang ditujukan untuk merangsang dalam usaha dan mencegah terbentuknya struktur pasar yang dapat melakukan persaingan tidak sehat antara pengusaha besar, menegah dan kecil di daerah.
Namun demikian
akan sangat sulit bila suatu program pengembangan usaha kecil dilaksanakan oleh satu institusi tertentu saja, termasuk pemerintah sekalipun. Institusi-institusi yang ada harus bekerja sama satu sama lain dengan konsep koordinasi dan pembagian kerja yang jelas. Pembagian peran yang dibarengi dengan pembagian tanggungjawab harus didasarkan kepada pengalaman, penguasaan sumberdaya serta kekuatan dan kelemahan masing-masing institusi itu sendiri.
43
5.3. Pemilihan tujuan pengembangan UKM.
Perumusan tujuan merupakan hal yang cukup penting untuk mengarahkan strategi pengembangan sehingga dapat mengikuti dinamika perubahan-perubahan yang terjadi.
Dengan perumusan maupun pernyataan tujuan tersebut diharapkan
seluruh aktor yang berpengaruh dapat mengenal serta mengetahui alasan keberadaan dan perannya dengan lebih baik. Selain itu pemahaman mengenai tujuan pengembangan dirasakan cukup penting karena dapat melihat peluangpeluang yang dapat dimanfaatkan dan meletakan prioritas untuk menfokuskan arah strategi pengembangan. Berdasarkan kajian literatur, referensi serta diskusi dengan responden ahli dirumuskan empat tujuan pengembangan yaitu : (a)
Menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya usaha kecil (IKLIM).
(b)
Mewujudkan usaha kecil menjadi usaha yang efisien, sehat dan memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan ekonomi rakyat dan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan ekonomi nasional (EFISIEN).
(c)
Mendorong usaha kecil agar dapat berperan maksimal dalam penyerapan tenaga kerja dan surnber pendapatan (PROFIT).
(d)
Menciptakan bentuk-bentuk kerjasama yang dapat memperkuat kedudukan usaha kecil dalam kompetisi di tingkat nasional maupun internasional (ALIANSI).
Pendapat gabungan dari empat responden ahli menghasilkan penilaian seperti disajikan pada tabel 24. Tabel 24 menyajikan hasil prioritas tujuan strategi pengembangan UKM di Kabupaten Bogor. Tabel 6. Prioritas tujuan pengembangan UKM di Kabupaten Bogor. Tujuan Pengembangan IKLIM EFISIEN PROFIT ALIANSI
Bobot 0,311 0,162 0,301 0,266
Prioritas 1 4 2 3
44
Berdasarkan analisis PHA, dihasilkan tingkat kepentingan tujuan terhadap aktor dengan prioritas pertama yaitu menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya usaha kecil (IKLIM). Agar dapat bertahan dan maju usaha kecil di Kabupaten Bogor harus mampu berkompetisi dengan pelaku ekonomi lain di wilayah ini maupun di wilayah lain sekitarnya. Situasi dan iklim bisnis secara keseluruhan dapat menjadi peluang sekaligus penghalang. Yang perlu diperhatikan adalah sebuah
kenyataan bahwa situasi bisnis tidak selalu
menguntungkan, bahkan seringkali merugikan usaha kecil, walaupun dalam situasi dimana pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Dari faktor internal UKM sendiri, inovasi dan peningkatan produktivitas sebenarnya merupakan prasyarat untuk menciptakan perlindungan yang baik bagi mereka yang terlibat dalam usaha kecil di Kabupaten Bogor. Selain itu dalam menghadapi situasi atau iklim persaingan saat usaha ini perlu juga dibentuk berbagai bentuk kerjasama kolektif seperti asosiasi usaha kecil, dan membangun pusat pelayanan pengembangan UKM yang dapat memainkan peranan besar dalam pengkoordinasian dan penyampaian informasi-informasi terbaru, memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama, membantu meningkatkan efisiensi produksi dan sekaligus merepresentasikan kepentingan usaha kecil dalam hubungannya dengan pihak-pihak lain termasuk usaha besar dan pemerintah daerah Kabupaten Bogor. 5.4. Perumusan alternatif strategi pengembangan UKM.
Penetapan prioritas alternatif strategi dilakukan melalui pendapat responden ahli, kemudian hasilnya diolah dengan mengunakan teknik analisis AHP. Teknik analisis AHP digunakan karena dapat membantu meyederhanakan permasalahan yang komplek dengan menata rangkaian variabel dalam suatu hirarki tertentu. Berdasarkan struktur hirarki selanjutnya dilakukan penentuan tingkat kepentingan (importance) antar satu variabel dengan variabel yang lain berdasarkan prinsip perbandingan
berpasangan
(pairwise
comparisons).
Penentuan
tingkat
kepentingan atau pembobotan tersebut dilakukan oleh responden ahli secara subyektif dan intuitif.
Penyusunan struktur hirarki pengembangan UKM
45
berdasarkan keterkaitan elemen-elemen yang menjadi bagian dari lingkup permasalahan merupakan hal yang pertama dilakukan.
Struktur hirarki yang
disusun terdiri dari 5 (lima) level, yaitu: sasaran (goals), faktor, aktor (pelaku), tujuan pengembangan dan alternatif strategi kebijakan. Level pertama merupakan sasaran (goals) dari permasalahan yang akan diselesaikan, yaitu penyusunan strategi pengembangan UKM. Berdasarkan pendapat responden, pada level kedua diposisikan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kebijakan UKM, yaitu: (1) kebijakan pemerintah; (2) akses permodalan; (3) pemasaran; (4) kemampuan teknologi. Aktor (pelaku) menempati level ketiga. Aktor utama yang dominan, yaitu: (1) pemerintah ternasuk pemerintah daerah; (2) asosiasi pengusaha; (3) lembaga keuangan dan (4). perguruan tinggi.
Pada level keempat didefinisikan tujuan
pengembangan. Yaitu: (1) IKLIM, menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnnya UKM, (2) EFISIEN, manjadikan UKM sebagai uaha yang efisien, sehat dan memiliki pertumbuhan yang tinggi, (3) PROFIT, berperan maksimal dalam penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan. (4) ALIANSI, menciptakan betuk-bentuk kerjasama usaha yang berdaya saing. Level kelima didefinisikan alternatif (pilihan) strategi pengembangan yaitu : (1) KEBIJAKAN, memberikan perhatian lebih besar pada proses formulasi kebijakan. (2) STRUKTUR, restrukturisasi strategi pembangunan ekonomi ke arah ekonomi kerakyatan. (3) TUMBUH, meningkatkan pertumbuhan UKM. (4). LEMBAGA, memperkuat institusi pendukung gerakan pengembangan UKM. Setelah tujuan dan sasaran ditentukan selanjutnya disiapkan strategi yang meliputi kebijakan program ataupun kegiatan. Pendapat gabungan dari empat responden ahli menghasilkan penilaian seperti disajikan pada tabel 25. Tabel 25 menyajikan hasil prioritas alternatif strategi pengembangan UKM di Kabupaten Bogor.
46
Tabel 7. Prioritas alternatif pengembangan UKM di Kabupaten Bogor. Tujuan Pengembangan
Bobot
Prioritas
KEBIJAKAN
0,281
1
STRUKTUR
0,232
4
TUMBUH
0,254
2
LEMBAGA
0,233
3
Prioritas pertama adalah memberikan perhatian yang lebih besar pada proses formulasi kebijakan (KEBIJAKAN). Alternatif strategi ini dimaksudkan agar berbagai kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor yang dihasilkan baik yang ditujukan khusus kepada usaha kecil baik langsung dan atau tidak langsung berpengaruh terhadap usaha kecil kiranya dapat lebih memihak kepada kepentingan usaha kecil atau minimal tidak menghambat pengembangan usaha kecil di wilayah ini. Suatu strategi pembangunan yang lebih memprioritaskan kegiatan ekonomi rakyatlah yang diperlukan, yakni strategi pembangunan yang diarahkan pada pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan penguasaan aset produksi. Fungsi pemerintah daerah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam pendekatan yang bersifat kerakyatan ini adalah untuk menguatkan peranan rakyat banyak karena partisipasi masyarakat adalah mutlak dalam kegiatan pembangunan di wilayah ini. Kegiatan pokok yang dapat dilakukan pemerintah daerah diantaranya adalah mengalokasi sumber daya ekonomi dan sarana produksi yang lebih merata dan tersebar terutama di pedesaan, menjamin adanya kebebasan dan kesempatan bagi lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Kegiatan pokok yang dapat dilakukan antara lain melakukan studi yang mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika usaha kecil di Kabupaten Bogor. Studi-studi ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk perumusan kebijakan pemerintah daerah yang lebih tepat serta sesuai dengan kebutuhan usaha kecil. Berbagai kegiatan penelitian dapat juga dilakukan atas kerjasama dengan asosiasi pengusaha, lembaga penelitian pemerintah maupun non-pemerintah dan
47
perguruan tinggi. Langkah kegiatan lain yaitu memperkuat gerakan advokasi atau pembelaan untuk mengangkat persoalan yang dihadapi usaha kecil agar menjadi agenda dalam penyusunan kebijakan. Kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan peluang agar kepentingan usaha kecil mendapat perhatian yang seimbang dengan kepentingan lain dalam berbagai kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor.
48
6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM
Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama dan kebijakan yang dipilih dan dijalankan akan sangat berpengaruh dalam pengembangan UKM di daerah. Dalam hal kebijakan pengembangan UKM, kebijakan yang diambil haruslah mengandung unsur penguatan struktur UKM sebagai suatu upaya untuk mempersiapkan UKM yang ada didalam menghadapi situasi pasar antara lain penguatan struktur internal melalui permodalan, teknologi, pemasaran, sumber daya manusia dan penghapusan perlakuan diskriminatif terhadap UKM. Kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan UKM merupakan prakondisi untuk menciptakan situasi ideal sebagai prasyarat bagi pengembangan UKM. Dalam kaitan itu diperlukan adanya kejelasan kemauan politik, adanya pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang dinamika serta kebutuhan UKM serta memadainya kapasitas administratif dan dukungan finansial. Peningkatan pemahaman para pembuat kebijakan tentang dinamika UKM dan output kebijakan pengembangan UKM harus berorientasi pada persoalan serta kebutuhan UKM yang beragam. Pengembangan UKM tidak boleh melepaskan diri dari konteks lokal. Koordinasi menjadi penting pula antar institusi pendukung pengembangan UKM agar gerakan pengembangan UKM menjadi gerakan yang terintegratif dan menghindari terjadinya tumpang tindih berbagai kebijakan dan program. Seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 32 tahun 1996 tentang pembinaan dan pengembangan usaha kecil. Pembinaan dan pengembangan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat secara sendiri-sendiri maupun bersamasama dan dilakukan secara terarah dan terpadu serta berkesinambungan untuk mewujudkan UKM yang tangguh dan mandiri.
49
Berdasarkan hal tersebut di dalam konteks lokal atau otonomi daerah, pengembangan UKM di Kabupaten Bogor perlu adanya kebijakan yang dapat memajukan UKM di wilayah ini dintaranya : a.
Kebijakan dalam pengembangan pemasaran.
b.
Kebijakan dalam pengembangan sumberdaya manusia.
c.
Kebijakan dalam pengaturan dan perizinan.
d.
Kebijakan dalam perencanaan tata ruang.
6.2. Kebijakan yang diterapkan saat ini
Menurut Parson (1995) kebijakan merupakan pengaturan yang sifatnya berlaku umum. Kalau dikaitkan dengan pengertian "publik" hal itu akan mencakup upaya pengaturan bagi semua dimensi kegiatan manusia dalam suatu wilayah. Kebijakan dihasilkan karena ada hal-hal yang memerlukan pengaturan, yang dalam hal ini khususnya oleh pemerintah, sesuai dengan kewenangan dan lingkup kerangka kebutuhan sosial kelompoknya.
Pengaturan tersebut merupakan
bentuk
intervensi atau aplikasi tindakan umum yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. Menurut Eugene dan Morce (1965) dalam Tambunan (2001), terdapat 4 (empat) pilihan tipe kebijakan pemerintah sangat menentukan pertumbuhan UKM : a.
Kebijakan do nothing policy: pemerintah apapun alasannya sadar tidak perlu berbuat apa-apa dan membiarkan UKM begitu saja.
b.
Kebijakan memberi perlindungan (protection policy) terhadap UKM: kebijakan ini bersifat melindungi UKM dari kompetisi dan bahkan memberi subsidi.
c.
Kebijakan
berdasarkan
ideology
pembangunan
(developmentalist):
kebijakan ini memilih industri yang potensial (picking the winner) namun tidak diberi subsidi. d.
Kebijakan yang semakin popular adalah apa yang disebut market friendly policy tanpa subsidi dan kompetisi.
50
Dalam kaitan usaha pengembangan UKM khususnya di daerah, Pemerintah Kabupaten Bogor memilih kebijakan tipe ketiga (developmentalis) dan mengusahakannya dalam program pembagunan daerah tahun 2002-2006 di bidang ekonomi. Program tersebut sebenarnya diciptakan untuk dapat memberdayakan baik langsung dan atau tidak langsung berpengaruh terhadap UKM. Program tersebut antara lain : (1) Program Peningkatan Produktivitas Potensi Ekonomi Daerah. Tujuan program adalah untuk memberdayakan berbagai potensi ekonomi daerah meliputi potensi
sumberdaya
buatan/teknologi
alam,
dalam
sumberdaya
rangka
manusia
mewujudkan
dan
sumberdaya
kemandirian
ekonomi
masyarakat. Sasaran program adalah : (a)
Tercapainya pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan berbagai potensi ekonomi
daerah
berupa
potensi
pertanian,
perikanan,
peternakan,
perkebunan, hutan, tanah dan air, pariwisata, pertambangan dan energi, industri dan perdagangan, serta potensi ekonomi daerah lainnya. (b)
Terwujudnya peningkatan produktivitas potensi ekonomi daerah untuk pemenuhan kebutuhan daerah, regional, nasional maupun untuk tujuan ekspor.
(c)
Terciptanya struktur ekonomi dalam rangka pemantapan keterkaitan bidang ekonomi dengan bidang lainnya untuk meningkatkan nilai tambah dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas.
(d)
Terwujudnya kerjasama dan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), serta antara usaha besar, menengah dan usaha kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi daerah.
(e)
Terbukanya lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
(f)
Tersedianya sarana dan prasarana dalam menujang kegiatan ekonomi.
(g)
Tercapainya peningkatan dan pengembangan sumber daya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
51
Kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah : (a)
Mengembangkan dan menerapkan teknologi berbagai keterampilan, kewirausahaan untuk memanfaatkan berbagai potensi daerah.
(b)
Mengkaji potensi, cadangan dan produktivitas riil dari setiap potensi ekonomi daerah berupa pertanian dalam arti luas, pariwisata, industri dan perdagangan, pertambangan dan energi serta potensi ekonomi daerah lainnya.
(c)
Mengembangkan komoditas unggulan yang kompetitif di tingkat regional dan nasional serta pengembangan sentra-sentra produksi.
(d)
Memperkuat permodalan melalui pola kemitraan antara pemerintah daerah, masyarakat dan swasta.
(e)
Memanfaatkan dan mengembangkan kelembagaan serta prasarana yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menunjang kegiatan ekonomi.
(f)
Melakukan pengawasan terhadap standar, mutu produksi dan sistem usaha.
(g)
Menyusun Rencana Strategis Pengembangan Ekonomi Daerah.
(h)
Mengembangkan potensi Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga.
(2) Program Peningkatan dan Pengembangan Sistem Informasi serta Pemasaran. Tujuan program adalah Mengembangkan jaringan informasi dan sistem pemasaran yang mendorong kemajuan dunia usaha. Sasaran program adalah: a.
Tersedianya sistem informasi pasar beserta jaringannya mencakup informasi di tingkat produsen, distributor hingga ke tingkat konsumen bagi setiap dunia usaha yang beraktifitas di Kabupaten Bogor.
b.
Tersedianya pusat-pusat pelayanan informasi dan pemasaran bagi pengusaha kecil, menengah dan koperasi serta petani kecil.
c.
Tersedianya media informasi potensi sumber daya beserta perangkat aturan lainnya yang dapat dikembangkan dan diperoleh secara mudah.
52
Kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah : (a)
Membangun dan mengembangkan sistem informasi dan pemasaran beserta personil, sarana penunjang dan databasenya.
(b)
Membangun pusat-pusat pelayanan informasi dan pemasaran bagi masyarakat pelaku usaha.
(c)
Melakukan publikasi dalam rangka penyebarluasan sistem informasi pasar dan pemasaran melalui media cetak, media elektronik dan pameran.
(d)
Membangun kepedulian anggota masyarakat untuk memanfaatkan pusat informasi dan pemasaran bagi pengembangan dan kemajuan usahanya.
(e)
Mengembangkan pasar desa, pasar kabupaten dan pusat perdagangan.
(f)
Mendirikan tempat pemasaran hasil produksi usaha kecil, menengah dan koperasi beserta jaringannya.
(g)
Mengembangkan kemajuan lembaga penyedia informasi dan teknologi bagi masyarakat.
(h)
Mengembangkan jaringan produksi dan distribusi serta informasi harga melalui pemanfaatan teknologi informasi (Propeda, 2002) Untuk mencapai hasil yang diharapkan diperlukan suatu payung kebijakan
dalam melaksanakan program-program tersebut. Kebijakan dapat berupa keputusan kepala daerah atau peraturan daerah (perda). Perda-perda yang sudah ada seperti Perda nomor 34 tahun 2004 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja kantor koperasi dan usaha kecil menengah Kabupaten Bogor, Perda nomor 3 tahun 2002 tentang pengelolaan usaha industri dan perdagangan, Perda nomor 7 tahun 2002 tentang retribusi izin usaha industri, perda nomor 8 tahun 2002 tentang retribusi usaha industri masih lebih mengarah pada kegiatan teknis administratif
sehingga
belum
dapat
menjadi
payung
dalam
program
pengembangan UKM. Perda tersebut belum cukup membuat UKM lebih berkembang dan belum mampu menjawab kebutuhan UKM di wilayah ini. Berdasarkan hal tersebut perlu ada peraturan daerah yang mengedepankan UKM lokal, misalnya perda yang mengedepankan UKM dalam ikut serta menjadi mitra usaha besar yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Kebijakan ini diharapkan
53
dapat
memperkuat
perekonomian
daerah
yang
pada
akhirnya
dapat
mensejahterakan masyarakat, mengurangi tingkat pengangguran dan urbanisasi serta mengurangi potensi konflik. 6.3. Usulan Kebijakan
UKM perlu diberdayakan dan diberikan peluang berusaha agar mampu dan sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pembangunan. Atas pertimbangan tersebut pemerintah daerah Kabupaten Bogor dipandang perlu untuk menetapkan kebijakan-kebijakan, dasar hukum atau peraturan daerah yang dapat memberikan peluang usaha UKM agar maju dan berkembang. Pertama, dalam hal pengembangan pemasaran UKM, Pemerintah Kabupaten Bogor perlu juga memberikan dan merancang kebijakan yang sifatnya memberi perlindungan (protection policy) terhadap UKM dalam bentuk peraturan daerah. Hal ini sejalan dengan Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil bahwa pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil melalui penetapan peraturan dan kebijaksanaan meliputi aspek perlindungan. Penyatuan pasar domestik dengan internasional dewasa ini merupakan peluang sekaligus ancaman bagi UKM lokal. Kecenderungan pasar global untuk memanfaatkan kelenturan UKM penting diperhatikan oleh pemerintah. Kebijakan pengembangan pemasaran diantaranya adalah: a.
Menciptakan pola hubungan produksi subkontrak atau promosi. Pola keterkaitan subkontrak lebih diprioritaskan bagi UKM terhadap usaha besar. UKM yang menjadi subkontraktor secara ekonomis diuntungkan karena adanya jaminan pasar dan kontinuitas produksi.
b.
Penutupan sektor tertentu dari investasi seperti bidang pertanian atau agroindustri. Sektor ini diprioritaskan hanya bagi UKM. Ini berarti peluang UKM untuk berkembang menjadi terbuka. Kebijakan ini dapat dituangkan dalam bentuk peraturan daerah yang mengadopsi Keputusan Presiden (Kepres) nomor 127 tahun 2001 tentang Bidang Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang usaha yang terbuka untuk usaha menengah
54
dan besar dengan syarat kemitraan. (Lampiran 1 Kepres nomor 127 tahun 2001 tanggal 14 Desember 2001). Dalam pengembangan pemasaran perlu adanya aturan baik berupa peraturan daerah maupun keputusan kepala daerah sekaligus dengan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis yang dapat menjadi payung dalam melaksanakan program pengembangan pemasaran serta mengatur dan menjamin pola keterkaitan subkontrak dengan mengharuskan usaha besar mempunyai mitra atau subkontrak dengan usaha kecil di wilayah Kabupaten Bogor bila beroperasi di wilayah ini. Kondisi saat ini aturan tersebut belum ada dan perlu segera disusun dalam rangka memajukan UKM di Kabupaten Bogor. Aturan tersebut dapat mengadopsi pada: (1) UU nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil yang menyebutkan bahwa Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek kemitraan dengan menetapkan peraturan untuk mewujudkan kemitraan dan mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan usaha kecil, (2) Peraturan Pemerintah (PP) nomor 44 tahun 1997 tentang kemitraan, bahwa usaha besar berkewajiban untuk membantu akses pasar, (3) Kepres nomor 127 tahun 2001 tentang tentang Bidang Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang usaha yang terbuka untuk usaha menengah dan besar dengan syarat kemitraan, (4) Instruksi Presiden nomor 10 tahun 1999 tentang pemberdayaan usaha menengah. Kedua, dalam hal pengembangan sumber daya manusia. Mengaitkan dunia pendidikan dengan dunia usaha melalui perbaikan sistem link and match. Dalam hal pengembangan SDM diharapkan terjadi melalui perbaikan sistem pendidikan formal, peningkatan keterkaitan dunia pendidikan dengan pasar kerja melalui sistem pemagangan. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang dikemas dalam sebuah peraturan daerah seperti kewajiban usaha-usaha industri untuk menerima pola pendidikan magang. Bagaimana pola pendidikan magang oleh pemerintah maupun swasta tidak memberikan beban biaya bagi usaha-usaha dan industri yang harus menampung tenaga magang tersebut. Kondisi saat ini aturan tersebut belum diformalkan dalam bentuk peraturan daerah. Dalam hal pengembangan sumberdaya manusia dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan di Kabupaten Bogor
55
perlu disusun kebijakan atau peraturan daerah yang mewajibkan usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil untuk menerima siswa sekolah maupun perguruan tinggi dalam pembinaan dan pengembangan SDM dengan pendidikan dan pelatihan maupun program magang. Aturan ini dapat mengadopsi PP nomor 44 tahun 1997 tentang kemitraan dan Kepres nomor 10 tahun 1999 tentang pemberdayaan usaha menengah. Ketiga, dalam hal peraturan dan perizinan. Peraturan dan perizinan secara formal dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur dan memantau perkembangan UKM. Ada empat jenis perijinan yang harus dipenuhi untuk mendirikan usaha kecil yakni Izin Tempat Usaha (Kelayakan usaha, lokasi serta dampak terhadap kesehatan dan lingkungan), Izin Usaha Industri serta Izin perdagangan seperti tertuang dalam PerdaKabupaten Bogor nomor 3 tahun 2002 tentang Pengelolaan Usaha Industri dan Perdagangan. Pada lokasi tertentu usaha kecil tidak wajib memiliki SITU. Namun demikian sertifikasi masih tetap harus dipenuhi antara lain melalui Surat Bebas Izin Tempat Usaha (SBITU) untuk usaha yang berlokasi di lokasi industri kecil (LIK) serta Surat Tanda Pendaftaran Industri Kecil untuk di sentra-sentra industri. Peraturan daerah Kabupaten Bogor nomor 7 tahun 2002 tentang retribusi izin usaha industri dan nomor 8 tahun 2002 tentang retribusi izin usaha perdagangan setidaknya telah membantu UKM dengan biaya retribusi yang rendah. Namun pelibatan institusi lain selain dinas perindustrian dan perdagangan dalam prosedur perijinan menimbulkan konsekuensi birokratis serta beban waktu dan biaya yang mahal, sekalipun secara resmi biaya pengurusan perijinan itu sendiri tidak membutuhkan biaya yang mahal. Untuk itu perlu kebijakan yang mengarah pada pembentukan pelayanan perizinan satu atap seperti yang tertuang dalam pasal (12) UU nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil. Manfaat pemilikan perijinan belum menjamin terbukanya akses ke sumber daya (modal, pelayanan dan pasar) ataupun pengurangan biaya retribusi informal. Bahkan bagi usaha kecil yang menempati lokasi strategis di pusat kota retribusi seringkali dirasakan terlalu tinggi dan tidak seimbang dengan pendapatan yang
56
diperoleh. Perizinan lebih berfungsi sebagai sumber pemasukan bagi keuangan lokal. Agar perizinan menjadi efektif prosedurnya perlu disederhanakan, biaya pengurusannya cepat dan murah serta didasarkan pada prinsip pengakuan terhadap-keberadaan UKM. Penyempurnaan terhadap kebijakan maupun perda yang berhubungan dengan hal ini perlu dilakukan atau bahkan disusun perda baru yang khusus agar perizinan, prosedur dan pengakuan terhadap UKM dapat meningkatkan perkembangan dan kemajuan UKM di Kabupaten Bogor. Keempat, kebijakan pengaturan tata ruang. Penataan kawasan fungsional bahkan pada tingkat mikro (rencana pengembangan bagian wilayah kota) saat ini nyaris tidak mempertimbangkan UKM. Penanganan UKM bukan merupakan bagian integral pengembangan kota yang direncanakan tetapi lebih merupakan bagian dari upaya penertiban kota untuk kebersihan dan keindahan. Lokalisasi UKM seringkali sangat merugikan karena memisahkan UKM dari sistem sosial yang ada. Selain itu keberadaan mereka yang secara nyata menjadi bagian dari perekonomian kota dipertahankan sebagai budaya tradisional yang mempunyai nilai jual untuk pariwisata. Untuk itu perlu sebuah gagasan untuk lebih memperhatikan kepentingan usaha kecil antara lain: (1) pelibatan kepentingan usaha kecil dalam perencanaan kota, (2) proses konsultasi sebagai mekanisme untuk mendapatkan masukan dari pihak-pihak berkepentingan, (3) pergakuan yang sungguh-sungguh terhadap peran dan fungsi usaha kecil bagi lingkungan masyarakat kota.
57
7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
a.
Karakterisitik yang melekat pada UKM agroindustri di Kabupaten Bogor yaitu, masih melakukan manajemen tradisional, melakukan sistem administrasi dengan pencatatan sederhana, pasar untuk penjualan lokal dan regional, menggunakan bahan baku lokal tapi umumnya regional, melaksanakan sistem produksi kontinyu, mempunyai kepedulian yang meningkat akan kualitas, sumber permodalan berasal dari sendiri atau keluarga, menggunakan teknologi dan peralatan sederhana dan dan memiliki kemampuan inovasi yang cukup baik.
b.
Berdasarkan analisis internal eksternal, posisi UKM agroindusti di Kabupaten Bogor berkaitan dengan strategi pengembangan terletak pada koordinat (0,21; 0,13) dan menempati kuadran I cross impact matrix. Posisi tersebut mengindikasikan bahwa dalam pengembangan kebijakan UKM agroindustri dapat menggunakan strategi yang bersifat agresif. Agresif dalam artian UKM perlu memberdayakan dirinya dan diberdayakan melalui penumbuhan iklim usaha yang mendukung bagi pengembangan UKM dan pembinaan serta pengembangan UKM serta kemitraan usaha
c.
Strategi yang tepat untuk pengembangan UKM agroindustri di Kabupaten Bogor adalah memberikan perhatian yang lebih besar pada proses formulasi kebijakan. Strategi ini dimaksudkan agar berbagai kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor yang dihasilkan baik yang ditujukan khusus kepada usaha kecil baik langsung dan atau tidak langsung berpengaruh terhadap usaha kecil kiranya dapat lebih memihak kepada kepentingan usaha kecil atau minimal tidak menghambat pengembangan usaha kecil di wilayah ini serta harus mampu menjawab kebutuhan atau mengakomodir kebutuhan stakeholder
lain
yang
berhubungan
agroindustri di Kabupaten Bogor.
dengan
pengembangan
UKM
58
7.2. Saran
Dalam rangka melaksanakan strategi yang dihasilkan, beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu : a.
Melakukan
studi
yang
mendalam
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi dinamika UKM di Kabupaten Bogor yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk perumusan kebijakan pemerintah daerah yang lebih tepat serta sesuai dengan kebutuhan UKM. b.
Memperkuat gerakan advokasi atau pembelaan untuk mengangkat persoalan yang dihadapi usaha kecil agar menjadi agenda dalam penyusunan kebijakan. Kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan peluang agar kepentingan usaha kecil mendapat perhatian yang seimbang dengan kepentingan lain dalam berbagai kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor.
c.
Dalam rangka menghadapi pasar bebas, di kawasan ini perlu dikembangkan pula unit-unit pelayanan pengembangan Business Development Center (BDC) dan Business Development Services (BDS) yang menjangkau pelaku usaha kecil sampai ke tingkat kecamatan.
59
DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank. 2000. Poverty Assessment of Indonesia. ADB. Jakarta. Austin, J. E. 1992. Agroindustrial Project Analysis: Critical Design Factors. The John Hopkins University Press. Baltimore-London. Azrin, M. 2004. Dampak Ekonomi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Sektor perdagangan terhadap Perekonomian Kota Bogor. Tesis tidak dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Pengukuran dan Analisa Ekonomi Kinerja Penyerapan Tenaga kerja, Nilai Tambah dan Ekspor Usaha Kecil Menengah serta peranannya terhadap tenaga kerja nasional dan Produk Domestik Bruto (menurut harga konstan dan harga berlaku). Kementrian Koperasi dan Usaha kecil menenga. Jakarta. Bantacut, T. Sutrisno, Rawi. D. F .A. 2001. Pengembangan Ekonomi Berbasis Usaha Kecil dan Menengah dalam Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal. Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota Bussiness Inovation Center of Indonesia, Jakarta. Berger, S and Piore, M. J. 1980. Dualism and Discontinuity in Industrial Society. Cambridge University Press, Cambridge. Berry, A; Rodriguez, E. and Sandee, H. 2000, Small Industry Dynamics in Indonesia: A Review of Primary and Secondary Data, Bulletin of Indonesian Economic Studies. Biggs, D and Oppenhegim, W. 1986. "What Drives the Size Distribution of Firms in Developing Countries: EEPA Discussion Paper No. 6, HIID, Harvard University. Brojonegoro, B. P. S. 1992. Analytical Hierarchical Process. PAU Studi Ekonomi UI, Jakarta. Chotim, E.E. dan Sari, Y.I. 1999. "Krisis: Peluang Bagi Usaha Kecil1 Jurnal Analisis Sosial. Vol. 4 No. 1: hal. 1-26 Darwis, A. A. 1983. Pengembangan Agroindustri di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
60
[Deperindag] Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2002. Rencana Induk Pengembangan Industri kecil Menengah 2002-2004. Buku I: Kebijakan dan Strategi Umum Pengembangan Industri Kecil dan Menengah. Jakarta. Fewidarto, P. 1991. Proses Hirarki Analitik. Jurusan Teknologi Industri. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Grizell, S. 1988. Promoting Small Scale Manufacturing in Indonesia. Development Studies Project II. Development Sutudies Project Research, Jakarta. Han, S., Y,. Dan T. J. Kim. 1989. Can expert system help with planning. Simposium Proses Pengambilan Keputusan Secara Komprehensif. PAU FE UI dan STEKPI, Jakarta. Hardjomidjojo, H. 2004. Strategi Pengembangan Usaha Kecil menengah di Indonesia. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor Hermanto, Z. 2001. Karakteristik dan Pertumbuhan Industri kecil dan Rumah Tangga. Studi Kasus Pada Industri Kulit dan Produk Kulit di bali dan D. I. Yogyakarta. LIPI. Jakarta. Harris, M. 2002. Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi: Karakteristik, Kendala dan Alternatif Solusinya. Disampaikan pada Lokakarya nasional Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui Sinergitas Pengembangan Kawasan 4 November 2002. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal BAPPENAS. Jakarta. Hicks, P. A. 2000. Financing Rural-Based Small Scale Industries. Asian Produvtivity Organization Report. Tokyo. Hillebrand, W. 1999.Overview on Public Business Development Service for SMEs in Indonesia. Makalah. Seminar Bank Pembangunan Asia/bank Dunia/ILO/Bappenas tentang Pengembangan UKM di Indonesia (8-9 Des 1999). Jakarta. Hisrich, R.D. dan M.P. Peters. 1992. Entrepreneurship Starting. Developing, and managing. Mass-Lexington Books. Lexington. Hoselitz, B.F. 1959. "Small Industry in Underdeveloped Countries", Journal of Economic History, 19 (4). Hu, M. W. and Chi, S. 1996. The Market Shares of Small and medium Scale Enterprises in Taiwan Manufacturing. Asian Economic Journal.
61
Hubeis, M. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian(IPB). Bogor. Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2003), Pengembangan usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
2001. Dinamika Usaha Kecil. LIPI
Liedholm, H. dan Mead, D. 1988. Small Scale Enterprises. Economic Impact. Vol. 63. Liedholm, C. 1993. Small and Micro-enterprises Dynamic and the Revolving Role of Finance. Dalam Helmsing, A.H.J. dan Kolstee, T. ed. Small Enterprises and Changing Policies Structural Adjustment, Financial Policies and Assistance Prorammes in Africa. Exeter Press. Exeter. Mead, D.C. dan Liedholm, C. 1998. "The Dynamics of Micro and Small Enterprises in Developing Countries". World Development. Vol. 26 No.1. Meredith, G.G. et al. 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktek. Jakarta. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Marimin. 2001. Teori dan aplikasi sistem pakar dalam teknologi manajerial. Jurusan Teknologi Industri pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Parson, W. 1995. Public Policy. An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Aldershot Edward Elgar Publishing United Kingdom. London. Polman, W. 2000. Policies and Institutional Infrastructure in The Promotion of Rural-Based Small Scale Industries. Asian Produvtivity Organization. Tokyo. Poot. et. al. 1990. Industrialization and Trade in Indonesia. Gadjahmada University Press. Yogyakarta. Rangkuti. R. R. 2002. Analisis SWOT membedah Kasus Bisnis. Pustaka Binaman Presindo. Jakarta.
62
Rasyid, M. 1997. Kebijakan Kredit Perbankan Terhadap Usaha Kecil, menengah dan Koperasi. Informasi Kredit Usaha Kecil. Seri Manajemen Bank. LPPM. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Rietveld. P. 1989. Rural Small Scale Industry in Developing Countries. Indonesia Experiences, Small and medium Size Enterproses and Regional Development. Routlidge. London. Rimadini, E. 1998. Analisis Pengambilan keputusan Strategi Marketing Mix Melalui Pendekatan Proses Hiraki Analitik (PHA) pada Perusahaan Rokok PT. BAT Indonesia, Tbk. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Romijn, H. 1999. "Small Enterprise Development in Developing Countries: Innovation or Acquisition of Technological Capability". Paper for the EADI Workshop on the Importance of Innovation for Small Enterprise Development in the Third World. Eindhoven: September 18-19 Ruky, S. 1999. Proposal Penelitian Disertasi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Saaty. T. L. 1993. Pengambilan keputusan bagi para pemimpin : proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang komplek. Terjemahan. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Sadoko, I. 1995. Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan Setengah Hati. Akatiga Bandung. Sarana, J. 2001. Karakteristik dan Pertumbuhan Industri Kecil dan Rumah Tangga. Studi Kasus Pada Industri Kayu dan Produk Kayu di Bali dan D. I. Yogyakarta. LIPI. Jakarta. Sartika, P. T. dan Soedjono, A. R. 2002. Ekonomi Skala Kecil Menengah dan Koperasi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Sengenberger, W. 1990. The Re-emergence of Small Enterprises: Industrial Restructuring in Industrial Countries. International Institute for labour Studies. Geneva. Sjaifudian. H, Haryadi. D, Maspiyati. 1995. Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil. Yayasan Akatiga. Bandung. Sofyar. C. F,. 2004. Pengembangan Kebijakan Usaha kecil yang berbasis produksi bersih. Desertasi tidak dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
63
Stemhoff, D. dan Burgess, J.F. 1989. Small Business Management Fundamentals. Mc Graw Hill Book. Singapore. Suhardi, T. 1992. Kemitraan dan Keterkaitan antara Usaha besar dan Usaha kecil dalam Industri Pengolahan. Direktorat Jendral Industri kecil. Departemen Perindustrian. Jakarta. Sujono, R.A. 1995. "Studi Kasus Industri Kecil Garmen di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat". Dalam Adi, W. ed. Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kecil di Pedesaan Kasus Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. PEP-LIPI. Jakarta. Tambunan, T. 1999. Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia, PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Tambunan, M. dan Ubaidillah. 2004. Memposisikan usaha Kecil Menegah dalam Persaingan pasar global: membangun Kekuatan Usaha sebagai Work Horse. Infokop. Jakarta. The Asia Foundation 1999. Small and Medium Enterprises Development. Jakarta. The Asia Foundation 2000. Small and Medium Enterprises Development. Jakarta. Thee, K.W. 1996. "Mengembangkan Daya Saing Industri Kecil dan Menengah di Era Perdagangan Bebas". Jurnal Analisis Sosial. Jakarta. Thee, K. W. 2001. Peranan dan Perkembangan Usaha-usaha Rumah Tangga, Kecil dan Menengah dalam Ekonomi Indonesia. PEP LIPI. Jakarta. Thoha, M. 2000. "Pengembangan Ekonomi Kerakyatan: Kekuatan Kelemahan, Tantangan, dan Peluang". Dalam Indonesia Menacak Abad 21: Kajian Ekonomi Politik. Kedeputian IPSK-LIPI. Jakarta. Thoha, M. 2001. Perkembangan Industri kecil dan Rumah Tangga di Bali dan D. I. Yogyakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Tolentino, L. A. 2000. Indicators for Monitoring and Evaluating Productivity of Rural-Based Small Industries. Asian Produvtivity Organization. Tokyo. Diermen, P. V. 1999. Small Business in Indonesia, Assesment of technical Assitance Support Program to promote Small and medium enterprises. Asian Development Bank, Jakarta. White, B. 1989. Agroindustri di Jawa barat: Konsep Permasalahan dan Kerangka Analitis di dalam Lokakarya Penelitian Agroindustri. 10-12 Agustus 1989. Bogor.
64
ATURAN PERUNDANGAN
[Kementrian KUKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Undang-Undang RI nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. Jakarta: MenkopUKM. [Kementrian KUKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. Jakarta: MenkopUKM. [Kementrian KUKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 Tentang Kemitraan. Jakarta: MenkopUKM. [Kementrian KUKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. Jakarta: MenkopUKM. [Kementrian KUKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 2002 Tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta: MenkopUKM. [Kementrian KUKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 Tentang Bidang/Jenis usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang terbuka Untuk Usaha menengah Atau besar Dengan Syarat Kemitraan. Jakarta: MenkopUKM. [Kementrian KUKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1999 Tentang Pemberdayaan Usaha Menengah. Jakarta: MenkopUKM. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Depdagri. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta: Depdagri. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Depdagri.
65
[Pemda] Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. [Pemda] Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Koperasi dan Usaha kecil Menengah Kabupaten Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. [Pemda] Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 03 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan Usaha Industri dan Perdagangan. Bogor: Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. [Pemda] Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 07 Tahun 2002 Tentang Retribusi Izin Usaha Industri. Bogor: Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. [Pemda] Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan. Bogor: Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.