PERAN PENOLAKAN SOSIAL DAN KECENDERUNGAN NEUROTIK DALAM MEMPREDIKSIKAN KETIDAKBERDAYAAN YANG DIPELAJARI PADA NARAPIDANA Rigel Adiratna
[email protected] Dosen Pembimbing : Juneman, S.Psi, M.Si. Binus University : Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530. Telp. (62-21) 535 0660 Fax. (62-21) 535 0644
ABSTRACT This study aimed to examine the role of social rejection and neurotic trends in predicting learned helplessness among inmates. This study used quantitative method with a number of samples of 163 inmates from Lapas IA Cipinang and Rutan IIA Pondok Bambu (99 males, 64 females; with an average age 33,14 years old). The measurement tools of this study were adapted and developed from Rejection Sensitivity Questionnaire, Karen Horney’ Social Movement, dan Learned Helplessness Scale. This study used non-probability convenience sampling technique. Research design of this study is predictive correlational with multiple linear regressions as analyzing technique. Social rejection and ‘moving against’ neurotic trend could not predict learned helplessness. ‘Moving away’ neurotic trend could negatively predict learned helplessness. Moving toward could positively predict learned helplessness. (RA)
Keywords : Social rejection, neurotic trends, learned helplessness
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran penolakan sosial dan kecenderungan neurotik dalam memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jumlah sample 163 orang narapidana dari Lapas IA Cipinang dan Rutan IIA Pondok Bambu (laki-laki n=99, perempuan n=64; rata-rata usia 33.14 tahun). Alat ukur penelitian ini diadaptasi dan dikembangkan peneliti dari alat ukur sebagai berikut: Rejection Sensitivity Questionnaire, Social Movement Karen Horney, dan Learned Helplessness Scale. Penelitian ini menggunakan metode nonprobability sampling dengan teknik convenience sampling. Desain penelitian ini adalah korelasional prediktif dengan teknik analisa regresi linier berganda. Hasil penelitian ini adalah penolakan sosial dan tipe kecenderungan moving against tidak mampu memprediksikan ketidakberdayaan. Tipe kecenderungan moving away mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari dengan arah negatif. Tipe kecenderungan moving toward mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari dengan arah positif.
Kata Kunci : Penolakan sosial, kecenderungan neurotik, ketidakberdayaan yang dipelajari
PENDAHULUAN Hasil survey Badan Pusat Statistika (2012) dalam buku Statistika Kriminal Tahun 2012, menunjukkan bahwa tingkat kriminalitas di Indonesia (salah satunya DKI Jakarta) memiliki jumlah yang fluktuatif, yaitu dengan jumlah kejahatan (Crime Total) sebanyak 344.942 kasus pada tahun 2009, menurun menjadi 332.490 kasus pada tahun 2010, dan kembali meningkat pada tahun 2011 dengan jumlah 347.605 kasus. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat kriminalitas di DKI Jakarta tidak semata-mata selalu terjadi peningkatan. BPS meyakini bahwa jumlah kriminalitas (Crime Total) menjadi salah satu indikator untuk mengukur rasa aman masyarakat. Semakin tinggi jumlah kriminalitas berarti semakin banyak kasus kejahatan terjadi, maka masyarakat semakin merasa tidak aman (BPS, 2012). Meskipun begitu pada kenyataannya, perasaan tidak aman dan kepercayaan masyarakat untuk terus waspada terhadap “orang-orang jahat” terus meningkat tidak terpengaruh dengan adanya fluktuasi jumlah kriminalitas yang ada. Banyaknya jumlah kejahatan berdasarkan hasil survey BPS (2012) tersebut cukup mencengangkan, mengingat kapasitas dari setiap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai instansi yang berwenang secara langsung terhadap para pelaku tindak kriminal berada jauh dibawah angka tersebut. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) IA Cipinang merupakan salah satu Lapas yang dianggap memiliki kapasitas ruang dan bangunan yang cukup luas, Berdasarkan data dari Ditjenpas (2013), kapasitas normal yang dimiliki Lapas IA Cipinang adalah menampung tahanan dan narapidana sejumlah 880 jiwa. Pada kenyataannya, hasil data bulan April 2013 (ditjenpas.go.id) menyatakan bahwa terdapat sejumlah 2.822 jiwa total narapidana dan tahanan yang ada di Lapas IA Cipinang. Data tersebut cukup membuktikan isuisu overcapacity yang saat ini sedang marak diberitakan di berbagai media. Kapasitas yang berlebihan ini diduga akibat dari selain bertambahnya pelaku-pelaku tindak kriminal baru, semakin banyak pula ‘pelaku-pelaku lama’ yang terlanjur betah didalam Lapas, sehingga mereka sengaja berlama-lama ingin berada di dalam Lapas atau bahkan ada yang rela keluar masuk Lapas.
Fenomena kebetahan narapidana di dalam Lapas tersebut dibenarkan oleh seorang narapidana bernama Supriyadi, 20 tahun, (dalam lintascafe.com, 2013). Supriyadi merupakan narapidana dengan kasus pencurian yang baru saja ditahan 5 bulan yang lalu. Namun, tidak seperti layaknya seorang narapidana yang ingin mengajukan banding untuk memperingan masa hukuman, Supriyadi justru mengajukan banding karena ingin memperlama masa hukuman. Menurut pengakuan Supriyadi, sebelum dipenjara hidupnya nomaden, selalu berpindah-pindah dari rumah teman yang satu ke teman yang lain. Pekerjaannya pun seminggu hanya mendapat upah Rp. 35 ribu. Di Lapas, Supriyadi mengaku selain mendapat makanan gratis juga mendapatkan pekerjaan sebagai tukang cuci. Supriyadi mencucikan baju narapidana lain setiap hari dengan upah Rp1.000,00/pasang pakaian. Dari pekerjaan inilah Supriyadi bahkan dapat menabung untuk menyambung hidup (lintascafe.com, 2013). Menurut beberapa sumber yang diperoleh peneliti, tidak sedikit orang seperti Supriyadi. Banyak mantan narapidana yang sudah dinyatakan bebas tidak berapa lama setelah kebebasannya justru ditemukan kembali di dalam Lapas. Berbagai alasan dikemukakan oleh mereka, diantaranya adalah desakan faktor ekonomi di luar Lapas karena sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang halal karena gelar yang disandangnya sebagai mantan narapidana, atau perasaan nyaman karena tanpa harus bekerja dan berusaha mereka dapat hidup di dalam Lapas dengan segala fasilitasnya. Penulis menduga fenomena tersebut diatas merupakan manifestasi dari ketidakberdayaan (learned helplessness). Maier dan Seligman (1976, dalam Smallheer, 2011) menyatakan bahwa learned helplessness terjadi ketika seorang individu menganggap sebuah situasi sebagai stress atau tantangan yang tidak menguntungkan. Lebih lanjut Smallheer (2011) menyatakan bahwa individu akan memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk memanipulasi situasi tersebut menjadi suatu hal yang tidak membuat stress, kurang menantang dan bahkan menjadi lebih menyenangkan atau menguntungkan. Penelitian mengenai Helpless Behavior oleh Peterson (1993) mengidentifikasi bahwa seorang yang tidak berdaya (helpless) akan merefleksikan ketergantungan interpersonal, yaitu dengan bergantung pada sesuatu yang lain (orang lain) ketika tidak dapat mencapai tujuannya. Hal ini merefleksikan perilaku betah pada narapidana dimana narapidana merasakan ketergantungan dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) karena merasa ketika di luar Lapas, narapidana tersebut tidak dapat mempertahankan hidup layaknya orang normal. Namun, tidak berarti individu dengan perilaku ini dapat secara otomatis diasumsikan dapat selalu hidup di dunia yang pasif (Peterson, 1993). Peneliti melihat perilaku ketidakberdayaan (learned helplessness) terjadi karena dua faktor pendorong, yaitu faktor situasional dan faktor kepribadian. Faktor situasional dilihat dari keinginan untuk keluar dan bebas serta bertemu dan kembali bergabung dengan masyarakat agaknya menjadi hal yang sulit dilakukan mantan narapidana akibat adanya sikap penolakan oleh masyarakat. Penolakan merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak diterima, diusir bahkan dihalau dari lingkungannya. Sikap penolakan dari masyarakat ini seringkali membuat para mantan narapidana merasa diperlakukan tidak manusiawi, seperti pernyataan dari mantan narapidana bernama Endi Kuntono, ''Sebagian masyarakat tidak memanusiakan kami, padahal kami juga butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidup” (suaramerdeka.com, 2005). Sumber lain menambahkan bahwa tidak heran kemudian banyak mantan narapidana, misalnya kasus teroris, kembali masuk ke jaringannya akibat dari penolakan sosial oleh masyarakat. "Jadi jangan salahkan semata-mata mereka. Masyarakat kurang mengapresiasi mereka, sehingga kembali ke teman-temannya yang lama," ujar Nasir (news.detik.com, 2010). Fenomena ini memunculkan adanya sesitivitas penolakan (rejection sensitivity) dari para mantan narapidana. Rejection Sensitivity menurut Downey & Feldman (1996) merupakan karakteristik seseorang berharap dengan cemas, mudah menerima, dan sesekali bereaksi terhadap penolakan. Ketika seseorang mengalami penolakan sehingga mengalami terisolasi dan kesepian, cara yang baik untuk mengatasinya adalah mencari teman atau lingkungan yang dapat menerima, sehingga memberikan perasaan aman dan nyaman (Feist & Feist, 2009). Penulis berasumsi reaksi mantan narapidana yang kembali pada kelompok dan tindakan kriminalnya merupakan salah satu wujud dari perasaan kepekaan terhadap penolakan akibat dari sikap penolakan yang dilakukan oleh masyarakat.
Secara alamiah setiap orang memiliki sifat baik dan tidak baik dalam diri masing-masing. Perbedaannya adalah bagaimana cara seseorang tersebut dapat mengolah sifatnya menjadi sesuatu yang produktif atau tidak, sehingga dapat dinilai berdasarkan perilaku yang muncul. Adanya penolakan sosial yang diukur melalui perasaan kepekaan individu terhadap penolakan dapat diperoleh respons perilaku yang berbagai macam bergantung pada sisi kepribadian masing-masing individu. Hal ini tercermin dari pendapat Horney (1950, dalam Feist & Feist, 2009) bahwa setiap orang dalam hidupnya berpotensi untuk memiliki perkembangan hidup yang sehat, namun seperti makhluk hidup lain, setiap orang membutuhkan kondisi-kondisi yang mendukung pertumbuhan tersebut. Peneliti memilih teori kepribadian Karen Horney karena barangkali teori ini merupakan teori yang paling baik mengenai neurosis. Karen Horney menyajikan sudut pandang yang berbeda mengenai neurosis. Secara spesifik, Karen Horney melihat neurosis sebagai upaya untuk membuat hidup lebih bermakna dan patut untuk dipertahankan, merupakan salah satu cara untuk mengontrol dan mengatasi hubungan interpersonal dengan lingkungan sekitar (Boeree, 2006). Horney (1950, dalam Feist & Feist, 2009) mengemukakan pandangan yang lebih optimis tentang kekuatan-kekuatan budaya yang mendorong adanya perubahan perilaku individu. Horney (1939, dalam Feist & Feist, 2009) menyatakan bahwa manusia diatur bukan hanya dari prinsip kesenangan saja, namun juga dari dua prinsip pendorong lainnya, yaitu rasa aman dan kepuasan. Rasa aman dan kepuasan yang didapatkan seorang individu dari lingkungannya menjadi faktor pendorong perilaku yang muncul dari individu tersebut, padahal setiap individu mendapatkan porsi rasa aman dan kepuasan yang berbeda-beda. Karen Horney (dalam Feist & Feist, 2009) mencetuskan terdapat tiga jenis kepribadian sebagai bentuk respons bagi penderita neurotik, yaitu: (1) Bergerak menuju orang lain (Moving toward others), (2) Bergerak menghindari orang lain (Moving Away Others), (3) Bergerak melawan orang lain (Moving against others). Moving toward others mengindikasikan individu yang penurut (compliant personality) karena orientasi individu tipe ini adalah menjalin hubungan baik dengan orang lain. Moving away others mengindikasikan individu yang terpisah (detach) karena tipe ini merefleksikan tipe individu yang menghindari orang lain. Moving against others mengindikasikan tipe individu yang agresif karena individu ini selalu menganggap orang lain merupakan ancaman. Peneliti berasumsi bahwa perbedaan faktor situasional berupa pengalaman-pengalaman penolakan selama hidup tiap individu lah yang mempengaruhi perbedaan respons mantan narapidana yang muncul di setiap situasinya berdasarkan tipe kecenderungan neurotik Karen Horney. Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang peran penolakan sosial dan tipe kecenderungan neurotik (moving toward, moving away, moving against) terhadap ketidakberdayaan yang dipelajari para narapidana.
METODE PENELITIAN Subjek Penelitian dan Teknik Sampling Partisipan dalam penelitian ini adalah para narapidana yang berstatus narapidana baru maupun narapidana residivis dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Karakteristik usia partisipan adalah usia 20 – 40 tahun. Penelitian ini mengambil partisipan dengan rentang usia tersebut dikarenakan menurut Erikson pada usia tersebut terjadi proses keintiman atau proses keterisolasian bilamana individu tidak mampu untuk berkompromi dan berkomitmen dalam hubungannya dengan lingkungan (dalam Papalia & Feldman, 2007). Sebelum melakukan penelitian, dilakukan uji alat ukur yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IA Cipinang dan Rumah Tahanan (Rutan) Klas IIB Pondok Bambu. Uji coba alat ukur dilakukan pada 90 partisipan. Sampel untuk penelitian dilakukan di tempat yang sama dan populasi yang sama sebanyak 253 partisipan. Teknik nonprobability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan kemudahan.
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian noneksperimental dan korelasional-prediktif. Penelitian korelasi tidak bisa ditentukan secara pasti sebab dan akibat nya. Penelitian ini hanya ingin melihat apakah variabel bebas (prediktor) mampu memprediksikan variabel terikat (kriteria) dan ingin melihat arah prediksinya.
Alat Ukur Penelitian Setiap alat ukur menggunakan skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen berupa pernyataan (Sugiyono, 2012). Alat Ukur Penolakan Sosial Untuk mengukur penolakan sosial para narapidana, peneliti mengadaptasi dan mengembangkan instrumen Rejection Sensitivity Questionnaire (RSQ) yang dibuat oleh Downey & Feldman (1996) dengan jumlah 18 butir. RSQ menyajikan berbagai situasi interpersonal dimana partisipan diminta untuk membayangkan apabila mereka berada dalam situasi tersebut dan memperkirakan respons apa yang diharapkan dari orang-orang yang berarti bagi mereka. Pada penelitian ini, pilihan respons yang diberikan adalah 6 poin skala likert dengan pilihan (1) sangat tidak peduli sampai (6) sangat peduli dan pernyataan lain dengan pilihan (1) sangat tidak setuju sampai (6) sangat setuju (Downey & Feldman, 1996). Alat Ukur Kecenderungan Neurotik Untuk mengukur neurotic trends Karen Horney, peneliti memilih untuk mengadaptasi Assessment Instrument Karen Horney’s Social Movement yang dibuat oleh Lynwood Clinton Wheeler (1991) dengan mengadaptasi dari instrumen The Psychological Screening Inventory (PSI) milik Richard Lanyon (1970). Instrumen ini terdiri dari 108 butir, dengan contoh pertanyaan sebagai berikut, “Ketika seseorang menyerang keyakinan kepercayaan saya, saya akan cenderung untuk diam dan menghindari untuk berargumen.” Pilihan respons yang diberikan terhadap setiap butir adalah dengan menggunakan skala likert, yaitu (1) Tidak pernah, (2) Jarang, (3) Kadang-kadang, (4) Sering, (5) Selalu. Alat Ukur Ketidakberdayaan yang Dipelajari Instrumen ini diadaptasi dan dikembangkan oleh peneliti dari Learned Helplessness Scale (LHS) yang dibuat oleh Quinless & Nelson (1988). Dalam LHS terdapat 20 butir pertanyaan dan terdiri dari lima (5) dimensi, yaitu dimensi Internality-Externality (5 butir), dimensi Globality-Specific (5butir), dimensi Stability-Instability (6 butir), dimensi Ability-Inability to Control (2 butir), dan dimensi Individual’s Choice of Situation (2butir). Contoh pertanyaan pada instrument ini adalah (a) Seberapapun usaha saya, saya merasa tidak dapat mengendalikan hasilnya, (b) .Pilihan respons yang diberikan adalah 6 poin skala likert, yaitu (1) Sangat tidak setuju, (2) Tidak Setuju, (3) Agak Tidak Setuju, (4) Agak Setuju, (5) Setuju, (6) Sangat Setuju.
Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Uji validitas isi dilakukan pada tanggal 16 Juni 2013, dengan ahli yaitu dosen pembimbing, Juneman S.Psi., M.Si. Ahli diminta pendapatnya tentang instrumen yang telah disusun sebelumnya (Sugiyono, 2012).. Dalam pengujian alat ukur tiap variabel, menggunakan expert judgement dan validitas konstruk. Setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu. Uji korelasi butir total (corrected item total correlation) untuk uji validitas konstruk dan uji reliabilitas melalui teknik Alpha Cronbach. Kedua analisis tersebut menggunakan program computer Statitiscal Packages for Social Science (SPSS) versi 20. Validitas konstruksi dikatakan kuat apabila korelasi dari tiap butir dengan skor totalnya memiliki nilai yang positif dan besarnya 0,25 ke atas. Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran. Untuk itu, peneliti melakukan uji reliabilitas dengan menggunakan metode Alpha Cronbach yang diukur berdasarkan skala Alpha Cronbach 0 sampai 1. Apabila nilai dari Alpha Cronbach yang diperoleh lebih dari 0,60 maka dapat dikatakan bahwa item reliabel.
Prosedur Penelitian Dalam proses pembuatan alat ukur penolakan sosial, peneliti mengadaptasi dari alat ukur orisinil RSQ (Rejection Sensitivity Questionnaire) dengan bantuan expert judgement. Dalam alat ukur penolakan sosial menggunakan 6 poin pilihan respons skala likert dengan pilihan (1) sangat tidak peduli sampai (6) sangat peduli dan pernyataan lain dengan pilihan (1) sangat tidak setuju sampai (6) sangat setuju. Proses kedua adalah pembuatan alat ukur tipe kecenderungan neurotik dengan mengadaptasi dan mengembangkan dari alat ukur orisinil Assessment Instrument Karen Horney’s Social Movement dengan bantuan dari expert judgement. Dalam alat ukur tipe kecenderungan neurotik menggunakan skala likert dengan 5 pilihan jawaban yaitu (1) Tidak pernah, (2) Jarang, (3) Kadang-kadang, (4) Sering, (5) Selalu. Proses. Proses terakhir adalah mengadaptasi alat ukur ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) yaitu Learned Helplessness Scale (LHS) terdiri atas 20 butir menggunakan skala likert dengan 6 pilihan jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Agak Tidak Setuju (ATS), Agak Setuju (AS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS) Tahap awal dalam pelaksanaan penelitian peneliti membuat alat ukur dari masing-masing variabel. Setelah itu dilakukan uji validitas isi yang dievaluasi oleh expert judgment. Setelah item dievaluasi, kemudian dilakukan pilot study kepada 90 subjek uji coba. Setelah itu dilihat nilai validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dan reliabilitas pada data yang didapatkan dari hasil uji alat ukur, item yang tidak valid dihapus agar mendapatkan nilai reliabilitas diatas 0,60. Peneliti menyusun item-item kembali setelah penghapusan untuk di penelitian berikutnya. Setelah itu, peneliti menyebarkan kuesioner di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IA Cipinang dan Rumah Tahanan (Rutan) Klas IIB Pondok Bambu.
HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai signifikansi dari kombinasi penolakan sosial dan kecenderungan neurotik ‘moving toward’ adalah 0,572 dimana nilai tersebut >0,05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai penolakan sosial dan kecenderungan neurotik ‘moving toward’ tidak signifikan dalam memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana. Berdasarkan hasil SPSS, nilai signifikan >0,05. Karena nilai signifikan jauh diatas 0,05, maka penolakan sosial dan kecenderungan neurotik ‘moving toward’ secara bersama benarbenar tidak mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari, maka Ho diterima. Nilai signifikansi dari β penolakan sosial adalah 0,427 yang berarti bahwa penolakan sosial tidak signifikan dalam memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari. Selain itu, nilai signifikan dari β kecenderungan neurotik ‘moving away’ sebesar 0,001 dan nilai signifikan dari kecenderungan neurotik ‘moving against’ adalah 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan neurotik ‘moving away’ dan ‘moving against’ secara signifikan mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari. Nilai dari beta (β = -0,266) pada kecenderungan neurotik ‘moving away’ menunjukkan hasil yang negatif (-), maka kecenderungan neurotik ‘moving away’ memiliki arah negatif dalam memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari. Hal tersebut berarti bahwa jika kecenderungan neurotik ‘moving away’ tinggi, maka semakin rendah ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana. Sedangkan nilai beta (β = -0,260) pada kecenderungan neurotik ‘moving against’ menunjukkan arah yang negatif (-), maka kecenderungan neurotik ‘moving against’ memiliki arah yang negatif dalam memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kecenderungan neurotik ‘moving against’ maka semakin rendah ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana. Nilai dari R Square pada kombinasi penolakan sosial dan kecenderungan neurotik ‘moving away’ adalah 0,077, nilai ini dikalikan dengan 100% maka menjadi 7,7%. Hal ini menunjukkan kombinasi penolakan sosial dan kecenderungan neurotik ‘moving away’ berkontribusi sebanyak 7,7% pada ketidakberdayaan yang dipelajari. Nilai dari R Square pada kombinasi penolakan sosial dan kecenderungan neurotik ‘moving against’ adalah 0,073, nilai ini dikalikan dengan 100% maka menjadi
7,3%. Hal ini menunjukkan kombinasi penolakan sosial dan kecenderungan neurotik ‘moving against’ berkontribusi sebanyak 7,3% pada ketidakberdayaan yang dipelajari. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penolakan sosial dan kecenderungan neurotik ‘moving toward’ tidak mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana, maka Ho diterima. Penolakan sosial tidak mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari dan kecenderungan neurotik ‘moving against’ mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana dan memiliki arah korelasi prediktif yang negatif dalam memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana, ini berarti apabila kecenderungan neurotik ‘moving against’ tinggi maka semakin rendah ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana. Penolakan sosial tidak mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari dan kecenderungan neurotik ‘moving away’ mampu memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana dan memiliki arah korelasi prediktif yang negatif, berarti semakin tinggi kecenderungan neurotik ‘moving away’ maka semakin rendah ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana.
Saran Saran Teoritis Data kontrol diperketat untuk menghindari adanya hal-hal lain diluar penelitian yang dapat mempengaruhi hasil penelitian terkait dengan responden yang sama, yaitu tambahan informasi berupa latar belakang pendidikan subjek untuk menghindari pengisian kuesioner yang tidak valid. Sebagai tambahan untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya diberikan kuesioner dalam bentuk short-form untuk menghindari kelelahan pengisian oleh responden. Penelitian dengan kriteria sampel atau spesifikasi kriteria pada sampel yang lain dapat memperluas dan menyempurnakan penelitian pada topik ini. Saran terakhir adalah untuk melakukan back-translation untuk penelitian yang adaptasi dari luar. Saran Praktis Diharapkan bagi institusi yang terkait untuk dapat memberikan pelatihan atau penyuluhan lebih intensif kepada narapidana guna mempersiapkan mereka untuk dapat kembali di tengah masyarakat. Hal ini terkait dengan kesiapan narapidana secara psikis. Bagi masyarakat diharapkan untuk dapat mengubah stigma negatif mengenai pribadi narapidana, hal ini dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan bagi para narapidana untuk kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat tanpa adanya prasangka sehingga narapidana merasa mendapatkan penerimaan dari masyarakat secara langsung.
REFERENSI Boeree, C. G. (2006). Personality Theories: Karen Horney 1885-1952. Retrieved by: http://webspace.ship.edu/cgboer/horney.html Ditjensos. (2011). Supporting Group Bagi Bekas Warga Binaan Lembaga Permasyarakatan. Retrieved by: http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=16623 Ditjenpas. (2013). Retrieved by : http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/kanwil/db5c8f20-6bd1-1bd1-ae4c313134333039/year/2013/month/4 Downey, G. & Feldman, S.I. (1996). Implications of Rejection Sensitivity for Intimate Relationships. Journal of Personality and Social
Psychology. 70 (6), hal. 1327-1343. Retrieved by : http://socialrelations.psych.columbia.edu/images/stories/docs/publications/(14)RS_Intimate_Rel ationships.pdf Feist,J. & Feist, G. J. 2009. Theories of Personality (sixth Edition). McGraw Hill: New York.. Ninik Damiyanti. 5 Januari, 2005. Membina Mantan Napi dengan Prana. http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/08/kot02.htm Peterson, C. (1993). Helpless behavior. Behaviour Research and Therapy . 31(3), hal. 289-295. Retrieved by: http://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/30947/0000619.pdf;jsessionid=DAB99 A4D66F07B9C1A26888CA2796271?sequence=1 Seligman, M.E.P. Roselini, R.A., & Kozal, M.J. Learned Helplessness in the rat: Time course, immunization, and reversibility. Journal of Comparative and Physiological Psychology, 1975(88), hal. 542-547. Smallheer, B.A. (2011). Learned Helplessness And Depressive Symptomps In Patients Following Acute Myocardial Infarction. Dissertation. Vanderbil University, Nashville, Tennessee. Subagja, I. Sabtu, 15/05/2010. Masyarakat Masih Tak Siap Terima Eks Napi Teoris. Retrieved by: http://news.detik.com/read/2010/05/15/123607/1357498/10/masyarakat-masih-tak-siap-terimaeks-napi-teroris Sugiyono. (2012). Metode penelitian kombinasi. Bandung: Alfabeta. Statistik Kriminal 2012. (2012). Jakarta: Badan Pusat Statistika. Retrieved by : http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/stat_kriminal_2012/index3.php?pub=Statistik%20Kriminal %202012 Weeks, Aili, (2011). The Harsh Sting of Rejection: Rejection Sensitivity, Attachment Styles, Autobiographical Memory, and Why Some Feel the Sting More Than Others. Psychology Honors Papers. Paper 14. Retrieved by: http://digitalcommons.conncoll.edu/psychhp/14