PERAN ORIENTASI DOMINANSI SOSIAL DAN PERSEPSI KELANGKAAN LAWAN JENIS DALAM MEMPREDIKSIKAN SIKAP TERHADAP RISIKO PADA TENAGA KERJA WANITA Innes Zia Rizkytha
[email protected] Dosen Pembimbing : Juneman, S.Psi, M.Si. Binus University : Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530. Telp. (62-21) 535 0660 Fax. (62-21) 535 0644
ABSTRACT This study aimed to examine the role of social dominance orientation and perception of operational sex ratio in predicting risk attitude among women migrant workers. This research used quantitative non-experimental method and correlational-predictive by using the likert scale as a measuring tool. The study involved 258 Labor Women (TKW) at Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) and other shelters who are not married. The results showed that social dominance orientation and perceived of the operational sex ratio are able to predict attitudes toward risk on women workers (TKW). Social dominance orientation could positively predict attitude towards risk (β=0,618) and perception of operational sex ratio has a negative direction in predicting attitudes toward risk (β= -0,159)
Keywords: social dominance orientation, the perception of operational sex ratio, risk attitude, women in the workforce.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis dalam memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif non-eksperimental dan korelasional-prediktif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat ukur. Penelitian ini melibatkan 258 Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang belum menikah di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) dan tempat penampungan. Hasil penelitian menunjukan bahwa orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap resiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW). Orientasi dominansi sosial mampu memprediksikan sikap terhadap resiko dalam arah positif (β=0,618) dan persepsi kelangkaan lawan jenis memiliki arah negatif dalam memprediksikan sikap terhadap resiko (β= -0,159).
Kata kunci: Orientasi dominansi sosial, persepsi kelangkaan lawan jenis, sikap terhadap resiko, tenaga kerja wanita.
PENDAHULUAN Dari tahun ke tahun, jumlah tenaga kerja wanita meningkat secara signifikan. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Handayani (2012) jika pada periode 1996 terdapat 44 persen migran laki-laki dan 56 persen migran perempuan dari setiap 100 persen tenaga kerja migran yang meninggalkan Indonesia, pada 2007 jumlah pekerja migran perempuan meningkat menjadi 78 persen. Pekerjaan menjadi seorang tenaga kerja wanita di luar negeri selain persyaratan yang tidak mudah, ancaman risiko yang harus dihadapi pun beraneka ragam. Menurut Handayani (2012) pekerjaan menjadi seorang tenaga kerja wanita bukanlah pekerjaan tanpa risiko. secara sederhana risiko adalah kemungkinan menderita kerugian yang diakibatkan oleh suatu perbuatan atau suatu peristiwa tertentu (Utami, 2012). Berbagai berita mengenai tenaga kerja wanita di luar negeri telah banyak diberitakan oleh media cetak maupun elektronik, mulai dari penganiayaan, pemulangan, pelecehan seksual, bahkan hingga hukuman penjara atas tenaga kerja wanita Indonesia yang terjadi di Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, Hongkong, dan negara lainnya. Wanita Indonesia yang bekerja diluar negeri terkait dengan sikap mereka terhadap risiko atau biasa disebut dengan Risk Attitude. Risiko adalah situasi dimana terdapat hal negatif atau hasil yang tidak menguntungkan, seperti kehilangan, kecelakaan, luka pada tubuh, atau kematian yang tidak dapat diketahui. Seseorang tidak mengetahui kapan hal itu dapat terjadi, tetapi seseorang juga tidak bisa memastikan bahwa hal tersebut akan terjadi (Crozier & Svenson, 2002). Sikap terhadap risiko mempunyai pertimbangan yang melibatkan antara kerugian dan keuntungan (Jhonson, 2009). Sikap terhadap risiko memiliki dua kemungkinan yaitu sangat baik atau menguntungkan (gain frame) dan tidak baik atau merugikan (loss frame). Mengambil risiko yang menguntungkan (gain frame) dan mengambil risiko yang tidak menguntungkan (loss frame) memiliki karakteristik sebagai pencari risiko dan penolak risiko (Tversky & Kahneman, 1981 dalam Johnson, 2009).
Meskipun demikian, ancaman risiko yang mungkin dialami tidak menurunkan minat wanita Indonesia untuk bekerja menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Fenomena migrasi dengan menjadi tenaga kerja wanita dapat dijelaskan dari berbagai aspek dan perspektif (Mashud, 2010). Teori migrasi klasik dari Everett S.Lee (Mantra, 2000 dalam Mashud, 2010) menjelaskan bahwa keputusan bermigrasi ke luar negeri merupakan konsekuensi atas perbedaan keuntungan antara tempat asal dan tempat tujuan baru. Daerah asal yang dinilai kurang menguntungkan menjadi faktor pendorong (push factor). Kondisi daerah asal yang dilihat kurang baik dinilai menyebabkan stress dan tekanan kuat untuk bermigrasi. Sementara itu, menjadi tenaga kerja wanita ke luar negeri menjadi faktor penarik (pull factor) karena dinilai menjanjikan. Penelitian yang dilakukan oleh Weber et al (dalam Harris & Jenkins, 2006) mengatakan bahwa wanita memiliki kecenderungan yang besar untuk terlibat dalam perilaku yang mengandung risiko dimana secara keseluruhan mereka merasakan manfaat yang besar dari perilaku yang mengandung risiko tersebut. Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mashud (2010), Pekerjaan sebagai tenaga kerja wanita diambil dengan mempertimbangkan untung rugi serta apa yang terbaik bagi dirinya, menjadi tenaga kerja wanita diambil juga karena individu yang otonom dan hasil kalkulasi rasionalnya. Dorongan untuk bermigrasi menjadi tenaga kerja wanita selain tekanan kemiskinan dan kelangkaan kesempatan kerja, juga dirangsang oleh keberhasilan para tenaga kerja wanita yang pulang dari luar negeri (Mashud, 2010). Sementara itu, menurut Supriyoko (1990) adapun faktor-faktor yang menyebabkan para wanita Indonesia memilih manca negara sebagai lahan pekerjaannya dapat diklasifikasikan menjadi faktor intriksik dan faktor ekstrinsik. Keinginan untuk lebih memerankan dirinya dalam upaya mengangkat harkat martabat diri beserta keluarga merupakan faktor intriksik. Menjadi tenaga kerja wanita lebih dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan status sosial ekonominya, dimana para tenaga kerja wanita lebih berorientasi kepada upaya untuk meningkatkan gengsi status sosial. Dampak menjadi tenaga kerja wanita untuk sebagian besar para tenaga kerja wanita telah menjadi simbol fenomenal hadirnya kehidupan baru yang lebih baik dan kesuksesan. Hasil jerih payah menjadi tenaga kerja wanita, sebagian besar diperuntukan untuk kebutuhan produktif seperti modal untuk berdagang, membeli tanah, dan membeli motor untuk mengojek. Selain itu, banyak dari mereka membelanjakan penghasilannya untuk kebutuhan konsumtif seperti membeli perhiasan, pakaian, dan alat-alat rumah tangga. Para tenaga kerja wanita ini memiliki kecenderungan untuk memamerkan kekayaan yang mereka peroleh dari hasil jerih payah mereka bekerja di luar negeri (Mashud, 2010). Orientasi dominansi sosial dikonseptualisasikan sebagai pengukuran dari perbedaan individu dalam tingkatan yang didasarkan pada perbedaan kelompok atau perbedaan yang dimiliki individu. Orientasi dominansi sosial mengukur preferensi individu untuk hirarki dalam setiap sistem sosial dan dominansi terhadap kelompok atau individu yang inferior (Sidanius & Pratto, 2001). Teori dominansi sosial mendalilkan bahwa faktor signifikan adalah perbedaan individu yang dikatakan sebagai Orientasi Dominansi Sosial (ODS) atau sejauh mana individu berkeinginan untuk mendominasi dan menjadi unggul (Pratto, Sidanius, Stallworth, & Bertram, 1994). Orang dengan dominansi sosial yang tinggi adalah orang yang percaya bahwa kehidupan terbagi ke dalam struktur yaitu yang di atas dan yang di bawah. Mereka yang di atas adalah mereka yang menang, memiliki kekuasaan, atau memiliki seluruh nilai-nilai yang positif. Individu dengan level orientasi dominansi sosial tidak hanya mendukung mereka dalam sosial, politik dan ideologi, tapi juga bagaimana mereka menjalani kehidupan (Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Sebagai contoh, jenis pekerjaan yang mereka cari dan dapatkan atau bidang yang mereka pilih untuk dipelajari (Haley & Sidanius, 2005 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Seperti apa yang disampaikan oleh Supriyoko (1990), menjadi tenaga kerja
wanita di luar negeri dirasa merupakan salah satu bidang pekerjaan yang mendukung mereka dalam menjalani kehidupan sehingga dapat meningkatkan kelas sosial dan harkat martabat diri beserta keluarga. Dalam artikel yang ditulis oleh Julianto (2012) alasan wanita sulit mendapatkan pasangan hidup dikarenakan konsep dan harga diri yang miskin (inferior). Mereka yang kurang percaya diri biasanya suka menghakimi dan menyalahkan diri. Misalnya, "Aku ini bodoh, mana ada yang mau sama aku."Atau menyalahkan diri dan berkata, "Ah, mana mungkin dia mau sama aku yang miskin ini.". Oleh karena itu, banyak wanita yang tetap melajang meskipun telah mencapai kematangan seksual (Kruger, 2009 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Banyak wanita tidak hanya mencari pasangan dalam berhubungan seks tapi juga pasangan yang dapat memberikan kontribusi untuk masa depan mereka serta dapat memberikan keturunan yang baik (Gangestad & Simpson, 2000 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Ketika terjadi kelangkaan pada jenis kelamin laki-laki, para wanita akan mengalami kesulitan dalam menjaga pasangannya yang bersedia dan mampu untuk berinvestasi pada keturunannya di masa depan. Hal ini dijelaskan dalam teori kelangkaan lawan jenis yang berfokus pada ketidakseimbangan antara usia reproduksi pria dan wanita, yang dikatakan sebagai operational sex ratio (Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Kelangkaan jenis kelamin laki-laki menjadi salah satu inspirasi karir wanita, dengan langkanya usia menikah laki-laki mendorong wanita untuk lebih mencari pekerjaan yang menguntungkan (Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriyoko (1990), salah satu faktor ekstrinsik wanita Indonesia menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri adalah karena faktor Rasio Jenis Kelamin (RJK) yang ada di daerah mereka. Dengan menjadi tenaga kerja wanita diharapkan mereka dapat mencari pasangan hidup yang tidak hanya berkualitas tinggi namun juga dapat memberikan keturunan yang baik bagi mereka sehingga mereka tidak harus melajang dalam waktu yang lama. Berdasarkan itu semua, peneliti ingin mengetahui apakah orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri.
METODE PENELITIAN Subjek Penelitian dan Teknik Sampling Partisipan dalam penelitian ini adalah para Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang akan berangkat ke luar negeri dimana para tenaga kerja wanita ini baru pertama kali bekerja di luar negeri dalam sektor informal. Karakteristik usia partisipan adalah usia 18 – 30 tahun. Penelitian ini mengambil partisipan dengan rentang usia tersebut dikarenakan menurut Effendi dan Makhfuldi (2009), usia minimal wanita berdasarkan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, usia minimal bagi wanita untuk menikah adalah 16 tahun. Namun, persyaratan menjadi tenaga kerja wanita minimal adalah 18 tahun. Oleh karena itu, peneliti mengambil usia antara 18-30 tahun. Sebelum melakukan penelitian, dilakukan uji alat ukur yang dilakukan di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) dan tempat penampungan Tenaga Kerja Wanita.Untuk uji coba alat ukur dilakukan oleh 90 partisipan. Sampel untuk penelitian dilakukan di tempat yang sama dan populasi yang sama sebanyak 258 partisipan. Teknik nonprobability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan kemudahan.
Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian noneksperimental dan korelasional-prediktif. Penelitian korelasi tidak bisa ditentukan secara pasti sebab dan akibat nya. Penelitian ini hanya ingin melihat apakah variabel bebas (prediktor) mampu memprediksikan variabel terikat (kriteria) dan ingin melihat arah prediksinya.
Alat Ukur Penelitian Setiap alat ukur menggunakan skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen berupa pernyataan (Sugiyono, 2012). Alat Ukur Orientasi Dominansi Sosial Untuk mengukur tingkat orientasi dominasi sosial para Tenaga Kerja Wanita (TKW) menggunakan adaptasi dari Social Dominance Orientation (SDO) scale atau skala pengukuran orientasi dominasi sosial dari Sidanius dan Pratto (1994). Sosial Dominance Orientation (SDO) telah dikembangkan untuk dapat mengukur orientasi dominansi sosial. Skala ini terdiri dari 14 atau 16 butir tergantung dari versi manakah yang digunakan (Pratto, Sidanius, Stallworth, & Malle, 1994 dalam Moss,2008). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan SDO versi ke enam dengan banyaknya butir 16 item pertanyaan. Contoh butir dari dimensi dominansi berbasis kelompok yaitu, “Agar sukses, kadangkala kita perlu untuk menginjak atau mengorbankan orang lain, Untuk mendapatkan sesuatu yang Anda inginkan, kadangkala perlu untuk menggunakan paksaan terhadap orang lain, Beberapa orang memang lebih rendah mutunya dibandingkan dengan orang lain”. Contoh dari dimensi oposisi terhadap kesetaraan yaitu, “Akan lebih baik apabila setiap orang memiliki posisi yang setara, Tidak apa-apa jika beberapa orang mempunyai kesempatan atau peluang yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain, Kita semua harus bekerja keras agar semua orang memperoleh penghasilan yang setara”. Pilihan skala dalam alat ukur ini menggunakan 6 skala yaitu, Sangat Tidak Suka (STS), Tidak Suka (TS), Agak Tidak Suka (ATS), Agak Suka (AS), Suka (S), Sangat Suka (SS). Alat Ukur Persepsi Kelangkaan Lawan Jenis Alat ukur yang digunakan untuk melihat persepsi Tenaga Kerja Wanita (TKW) terhadap kelangkaan lawan jenis akan disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang membahas mengenai kelangkaan lawan jenis. Dalam penelitian ini hanya terdapat 1 butir pertanyaan, “Saat ini jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan”. Hal ini dikarenakan, peneliti hanya ingin mengetahui bagaimana persepsi para tenaga kerja wanita mengenai jumlah laki-laki yang ada saat ini. Pada penelitian ini menggunakan 6 pilihan skala yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Agak Tidak Setuju (ATS), Agak Setuju (AS), Setuju (S), Sangat Setuju (SS). Alat Ukur Sikap Terhadap Risiko Pada penelitian ini untuk mengukur keputusan berisiko (risky decision making), peneliti menggunakan alat ukur Domain-Specific Risk-Taking (DOSPERT) Scale versi pertama tahun 2002 dan versi pendek tahun 2006 yang dibuat oleh Weber, Blais, & Betz tahun 2002. Penelitian ini menggunakan gabungan dari dua versi DOSPERT, 30 butir pernyataan dari versi pendek (2006) dan 9 pernyataan dari versi pertama (2002). Setiap orang berbeda dalam cara mereka menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan atau keputusan personal yang melibatkan risiko dan ketidakpastian.
Skala DOSPERT terdiri dari tiga skala respon yang berbeda, yaitu risk taking (Pengambilan risiko), risk perception (persepsi terhadap risiko), dan expected benefit (harapan keuntungan). DOSPERT adalah skala psikometri yang menilai pengambilan risiko dalam lima domain konten yaitu, keputusan keuangan dengan contoh butir “Mempertaruhkan penghasilan sehari untuk berjudi”, kesehatan atau keselamatan dengan contoh butir “Banyak minum miras agar dapat bergaul secara sosial”, rekreasi dengan contoh butir “Pergi kemping atau berkemah di tengah-tengah alam liar”, etika dengan contoh butir “Tidak membayarkan pajak penghasilan”, dan sosial dengan contoh butir menunjukan ketidaksetujuan terhadap pimpinan mengenai persoalan besar”. Responden menilai kemungkinan bahwa mereka akan terlibat dalam kegiatan berisiko domain-spesifik (Bagian I). Bagian opsional II menilai persepsi responden terhadap besarnya risiko dan manfaat yang diharapkan dari kegiatan yang dilakukan pada bagian I. Cara menghitung Risk Attitude adalah : “Preferensi = a(Expected Benefit) + b(Perceived Risk) Skor a diperoleh dengan menjumlahkan skor-skor tingkat manfaat sedangkan skor b diperoleh dengan cara menjumlahkan skor-skor tingkat risiko. Skor b yang tinggi menunjukkan kecenderungan perilaku mencari risiko sedangkan skor b yang rendah menunjukkan kecenderungan perilaku terhadap risiko. Domain keputusan yang mana para responden menunjukan derajat yang berbeda dalam mengambil risiko termasuk permainan akan kesempatan atau perjudian, investasi keuangan, keputusan bisnis, dan keputusan pribadi (MacCrimmon & Wehrung, 1986, 1990 dalam Weber, Blais, & Betz, 2002). Menurut teori dari Slovic et al tahun 1986 (dalam Weber, Blais, & Betz, 2002), keputusan pribadi lebih lanjut dapat dibagi lagi menjadi kategori yang berbeda, variabel yang diketahui mempengaruhi persepsi risiko dan pengambilan risiko yaitu keputusan kesehatan atau keselamatan, keputusan rekreasi, keputusan sosial (menghadapi anggota keluarga atau rekan kerja), dan keputusan etika.
Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Uji validitas isi dilakukan pada tanggal 15 dan 16 Juli 2013, dengan ahli yaitu dosen pembimbing, Juneman S.Psi., M.Si. Ahli diminta pendapatnya tentang instrumen yang telah disusun sebelumnya (Sugiyono, 2012).. Dalam pengujian alat ukur tiap variabel, menggunakan expert judgement dan validitas konstruk. Setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu. Uji korelasi butir total (corrected item total correlation) untuk uji validitas konstruk dan uji reliabilitas melalui teknik Alpha Cronbach. Kedua analisis tersebut menggunakan program computer Statitiscal Packages for Social Science (SPSS) versi 20. Validitas konstruksi dikatakan kuat apabila korelasi dari tiap butir dengan skor totalnya memiliki nilai yang positif dan besarnya 0,25 ke atas. Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran. Untuk itu, peneliti melakukan uji reliabilitas dengan menggunakan metode Alpha Cronbach yang diukur berdasarkan skala Alpha Cronbach 0 sampai 1. Apabila nilai dari Alpha Cronbach yang diperoleh lebih dari 0,60 maka dapat dikatakan bahwa item reliabel.
Prosedur Penelitian Dalam proses pembuatan alat ukur orientasi dominansi sosial, peneliti mengadaptasi dari alat ukur orisinil SDO scale versi ke 6 (Social Dominance Orientation Scale6) dengan bantuan expert judgement. Dalam alat ukur orientasi dominansi sosial menggunakan skala likert dengan 6 pilihan jawaban yaitu Sangat Tidak Suka (STS), Tidak Suka (TS), Agak Tidak Suka (ATS), Agak Suka (AS), Suka (S), dan Sangat Suka (SS). Proses kedua adalah pembuatan alat ukur persepsi kelangkaan lawan jenis dengan mengkonstruk sendiri berdasarkan teori yang ada dengan bantuan dari expert judgement. Dalam alat ukur persepsi kelangkaan lawan jenis menggunakan skala likert dengan 6 pilihan jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak
Setuju (TS), Agak Tidak Setuju (ATS), Agak Setuju (AS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Proses terakhir adalah mengadaptasi alat ukur risk attitude yaitu Domain-Specific Risk-Taking (DOSPERT) dengan 30 item DOSPERT tahun 2006 dan 9 item DOSPERT tahun 2002. Tahap awal dalam pelaksanaan penelitian peneliti membuat alat ukur dari masing-masing variabel. Setelah itu dilakukan uji validitas isi yang dievaluasi oleh expert judgment. Setelah item dievaluasi, kemudian dilakukan pilot study kepada 90 subjek uji coba. Setelah itu dilihat nilai validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dan reliabilitas pada data yang didapatkan dari hasil uji alat ukur, item yang tidak valid dihapus agar mendapatkan nilai reliabilitas diatas 0,60. Peneliti menyusun item-item kembali setelah penghapusan untuk di penelitian berikutnya. Setelah itu, peneliti menyebarkan kuesioner di tempat-tempat penampungan para tenaga kerja wanita yang ada di Jakarta Timur dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI).
HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai signifikansinya adalah 0,000 dimana nilai tersebut <0,05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis secara bersama signifikan dalam memprediksi sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita. Karena nilai signifikan jauh dibawah 0,05, maka orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis secara bersama benar-benar memprediksikan secara signifikan sikap terhadap risiko. Berdasarkan hasil SPSS yang menunjukkan nilai signifikan <0,05, maka Ho ditolak, artinya orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis secara bersama mampu memprediksikan sikap terhadap risiko. Nilai signifikan orientasi dominansi sosial (SDO) adalah 0,000 yang berarti bahwa orientasi dominansi sosial secara signifikan dapat memprediksikan sikap terhadap risiko. Selain itu, nilai signifikan dari persepsi kelangkaan lawan jenis adalah 0,04, nilai tersebut masih dibawah 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa persepsi kelangkaan lawan jenis secara signifikan juga dapat memprediksi sikap terhadap risiko. Nilai dari beta (β = 0,618) pada orientasi dominansi sosial menunjukan hasil yang positif (+), maka orientasi dominansi sosial memiliki arah positif dalam memprediksikan sikap terhadap risiko. Hal ini berarti bahwa jika orientasi dominansi sosial tinggi maka sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita juga tinggi. Sedangkan nilai beta (β = -0,159) pada persepsi kelangkaan lawan jenis menunjukkan arah yang negatif (-), maka persepsi kelangkaan lawan jenis memilihi arah yang negatif dalam memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita. Hal ini berarti bahwa semakin sedikit jumlah laki-laki yang dipersepsikan maka sikap terhadap risiko akan semakin tinggi. Nilai dari R Square adalah 0,343, nilai ini dikalikan dengan 100% maka menjadi 34,3%. Hal ini menunjukkan orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis berkontribusi sebanyak 34,3% pada sikap terhadap risiko SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita dengan nilai signifikansinya <0,05, maka Ho ditolak, artinya orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis secara bersama mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita. Orientasi dominansi sosial mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita, dengan nilai signifikan 0,000 dan memiliki arah korelasi prediktif (β = 0,618) yang positif dalam memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita, ini berarti apabila orientasi dominansi tinggi maka sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita juga akan tinggi. Persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita, dengan nilai signifikan 0,004 dan
memiliki arah korelasi prediktif (β = -0,159) yang negarif, berarti semakin sedikit atau langka jumlah laki-laki maka sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita akan semakin tinggi.
Saran Saran Teoritis Data kontrol diperketat untuk menghindari adanya hal-hal lain diluar penelitian yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Sebagai tambahan untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya disertakan ratio jenis kelamin yang ada di setiap daerah di Indonesia. Khususnya daerah yang dijadikan tempat penelitian, tujuannya untuk lebih memperkuat hasil yang diperoleh. Saran terakhir adalah untuk melakukan backtranslation untuk penelitian yang adaptasi dari luar. Saran Praktis Diharapkan bagi para tenaga kerja wanita untuk lebih mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang akan didapatkan dengan menjadi tenaga kerja. Bagi para wanita, tidak ada salahnya untuk mengekpresikan diri maupun berkeinginan untuk meningkatkan kelas sosial, selama hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang benar selain itu kelangkaan jenis kelamin laki-laki sebaiknya tidak menjadikan wanita berkompetisi secara tidak sehat untuk bisa mendapatkan laki-laki yang diinginkan, melainkan lebih kreatif dalam menarik perhatian laki-laki. Saran terakhir bagi BNP2TKI, sebaiknya para calon Tenaga Kerja Wanita tidak hanya dibekali dengan keterampilan teknis (hard skill) tetapi juga dibekali dengan soft skill seperti kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain, bahasa asing, cara berkomunikasi, serta persyaratan bagi para calon TKW lebih diperketat sehingga tidak ada calon TKW yang tidak memenuhi persyaratan atau kriteria.
REFERENSI Crozier, W. R, & Svenson, O. (2002). Decision making: Cognitive models and explanations. London: Routledge. Durante, K. M., Griskevicius, V., Simpson, J. A., Cantu, S. M., & Tybur, J. M. (2012). Sex ratio and women's career choice: does a scarcity of men lead women to choose briefcase over baby. Journal of Personality and Social Psychology, 103 (1), 121-134. Effendi, F., & Makhfuldi. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Handayani, R. (2012, Juni 27). Perempuan dalan pusaran tenaga kerja global. Radar lampung. Diambil pada tanggal 16 Januari 2013, dari www.radarlampung.co.id Harris, C.R., & Jenkins, M. (2006). Gender differences in risk assessment : Why do women take fewer risks than men?. Journal of Judgement and Decision Making 1(1), 48-63.
Ho, A.K.,Kteily, N., Levin, S., Sidanius, J., Skeffington, J.S., Pratto, F., & Thomson, L. (2011). Sosial dominance orientation: Revisiting the structure and fuction of a variable predicting social a political attitudes. Personality and Social Psychology Bulletin, 20(10), 1-24. Diunduh dari http://psp.sagepup.com/
Jhonson, V. (2009). Risk style, regulatory fokus, and situation in risky choise decision making. Journal of Social Psychology, 1-98. Diunduh dari http://search.proquest.com/ Julianto. (2012, April 9). 6 alasan sulit mendapatkan teman hidup. Harian kompas. Diambil pada tanggal 16 Januari 2013, dari http://health.kompas.com Mashud, M. (2010). Perspektif fenomenologi tentang trafficking TKW. Jurnal Sosiologi. Moss, S. (2008, December 21). Social dominance theory. Social. Diambil pada tanggal 2 Januari 2012, dari http://www.psych-it.com.au Pratto, F., Sidanius, J., Stallworth, & L.M., Malle, B.F. (1994). Sosial dominance orientation: A personality variable predicting social and political attitudes. Journal of Personality and Social Psychology 67(4), 741-763. Pratto, F., & Sidanius, J. (2001). Social Dominance: An Intergroup Theory of Social Hierarchy and Oppression. Cambridge: Cambridge University Press. Utami, N. (2012). Tinjauan yuridis pelaksanaan asuransi tenaga kerja dalam memberikan perlindungan terhadap penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Jurnal Hukum. Sugiyono. (2012). Metode penelitian kombinasi. Bandung: Alfabeta. Supriyoko (1990). Tenaga kerja wanita Indonesia latar belakang dan catatannya. Diunduh dari http://journal.amikom.ac.id Weber, E. U., Blais, A. R., & Betz, N. E. (2002). A domain-specific risk-attitude scale: measuring risk perceptions and risk behaviors. Journal of Behavioral Decision Making, 15, 263-290.