IA D MERIEF B
Peran Media dalam Perhutanan Sosial dan REDD+ Selama dua hari di bulan April 2011 di Bogor, Indonesia, peserta jurnalis berdiskusi dengan masukan narasumber dari CIFOR, TNC Indonesia, UN-REDD Indonesia Programme, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), dan Riak Bumi sebagai mitra dari Non-Timber Forest Products Exchange Programme (NTFP-EP), mengenai Perhutanan Sosial dan REDD+, serta peran jurnalisme lingkungan dan rekomendasi langkah ke depan untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan peran media untuk Perhutanan Sosial dan REDD+.
Peran Media Perhutanan Sosial dan REDD+ meliputi pelbagai isu-isu teknis yang tidak mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Kadangkala informasi terkini bukan hanya susah diperoleh, tetapi juga susah diterjemahkan menjadi berita yang bermakna bagi para pembaca. Dalam kaitan ini, peran media menjadi amat penting. Para jurnalis merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam mewujudkan landasan diskusi antara pemerintah and masyarakat. Tidak hanya sekedar memaparkan fakta-fakta, peran media yang lebih penting adalah memperdebatkan fakta-fakta tersebut secara kritis. Dengan mengkritisi isu ini dari sudut pandang masyarakat umum dan menjadikannya lebih terjangkau, para pembaca dapat meneliti and membuat keputusan sendiri berdasarkan informasi yang tepat. Dengan demikian, masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan memperoleh kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
Swiss Agency for Development and Cooperation SDC
Isu-isu Penting dari Paparan Para Narasumber Hadir sebagai Pembicara Utama dalam Media Workshop tersebut adalah Dr. Yetti Rusli, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, sekaligus Ketua Pokja Perubahan Iklim Kementrian Kehutanan, yang memaparkan berbagai aspek yang perlu dicermati, mengenai Masyarakat, Hutan, dan Perubahan Iklim. Dr. Herry Purnomo, Peneliti CIFOR, dalam paparannya berjudul “Forestry Research and REDD+”, antara lain menjelaskan persyaratan utama REDD+ yang telah ditemukan dari hasil riset CIFOR adalah: (i) Property Rights/Hak Milik untuk masyarakat lokal, (ii) Penghargaan dan Insentif untuk masyarakat lokal, (iii) Organisasi sosial untuk penguatan posisi masyarakat lokal, dan (iv) Fasilitasi Negara untuk memperkuat REDD di tingkat lansekap. Sementara sebagaimana dipaparkan dalam presentasi oleh Wardell pada tahun 2011, hubungan antara Hak-Hak Masyarakat dengan REDD+ antara lain adalah: (i) Kepemilikan oleh Negara terus mendominasi, (ii) Hak-hak tenurial yang semakin jelas tidak sertamerta berarti bahwa masyarakat dapat meningkatkan keuntungan mereka; (iii) Masyarakat menghadapi hambatan di dalam menyadari keuntungan dari hak-hak yang mulai diakui; (iv) Kurangnya tenurial yang jelas akan menjadi hambatan yang signifikan pada REDD+; (v) Hak-hak karbon belum jelas; dan (vi) Hubungan yang kompleks antara keadaan pemerintahan, penghidupan, dan hasil-hasil kehutanan. Dr. Dicky Simorangkir, The Nature Conservancy Indonesia menjelaskan dalam presentasinya berjudul “REDD Implementation in Berau, Indonesia: Berau Forest Carbon Program/BFCP, Lessons Learned from the Field”, bahwa status saat ini di lokasi kegiatan REDD di Berau adalah: (i) kapasitas masyarakat rendah dan kelembagaan di tingkat desa lemah, (ii) kurangnya pengakuan hak membatasi akses terhadap sumberdaya dan membuat hubungan dengan pemangku kepentingan lain menjadi rawan konflik, (iii) masyarakat lokal seringkali kalah dalam kompetisi dengan para pendatang. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan untuk masyarakat adalah: (i) Kelembagaan desa, proses pembuatan keputusan dan perencanaan yang kuat, (ii) Meningkatnya aliran dana ke desa-desa dari banyak sumber, (iii) Dana digunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai tinggi untuk peningkatan dukungan dari sumber lain, dan (iv) Transparansi dan monitoring oleh masyarakat terhadap manajemen keuangan. Dr. Machfudh, Chief Technical Advisor UN-REDD Indonesia Programme menyebutkan dalam paparannya berjudul “PADIATAPA: Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan” bahwa banyak kegiatan REDD+ tidak menghiraukan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC atau PADIATAPA), atau melakukannya secara tidak menyeluruh, dan banyak yang menganggap pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) sudah cukup mewakili masyarakat lokal. Oleh karena itu, UN-REDD mengambil inisiatif untuk mewujudkan proses FPIC ini, dan setelah upaya keras UNREDD hasil UNFCCC COP-16 telah meminta semua Negara untuk menerapkan FPIC. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prasyarat untuk menerapkan FPIC dengan benar adalah: (i) Masyarakat harus terorganisir dengan baik, (ii) Dapat mencapai kesepakatan antar mereka sendiri, (iii) Dapat memahami dengan baik usulan-usulan dari luar, dan (iv) Dapat menegaskan pendapat mereka dalam berbagai perundingan. Christine Wulandari, mewakili FKKM dan Universitas Lampung, dalam paparannya berjudul “REDD, Masyarakat dan Kehutanan Sosial” menjelaskan Peluang yang ada bahwa: (i) Melalui skema REDD, masyarakat lokal akan mendapatkan kesempatan pengakuan atas hak mereka secara formal oleh pemerintah. Sebagaimana dijelaskan dalam Permenhut No. 30/Menhut-II/2009, Pasal 9, ayat 1, Persyaratan REDD untuk hutan hak adalah: Memiliki sertifikat hak milik atas tanah atau keterangan kepemilikan tanah dari Pemda; (ii) Melalui skema REDD, wilayah hutan (adat) berpeluang dimasukkan dalam rencana tata ruang wilayah; dan (iii) Dengan asumsi bahwa skema REDD dalam skala global, nasional dan daerah akan berjalan sesuai dengan baik maka masyarakat berpeluang meningkatkan taraf hidup mereka dari sisi finansial. Dijelaskan pula Ancaman yang ada sebagai berikut: (i) Skema REDD berpotensi merusak tatanan sosial dan budaya yang telah terbangun; (ii) Skema REDD berpotensi melahirkan gesekan horizontal di level masyarakat lokal; dan (iii) Skema REDD berpotensi mengancam status tenurial masyarakat atas kepemilikan hutan (adat) mereka. Valentinus Heri, Direktur Riak Bumi, salah satu mitra kerja Non-Timber Forest Products Exchange Programme South and Southeast Asia (NTFP-EP), dalam paparannya berjudul “Ensuring Livelihoods through Climate Change Mitigation and Adaptation (Learning from Danau Sentarum)”, menjelaskan bahwa Pembelajaran Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim antara lain adalah: (i) Danau Sentarum menyediakan semua kebutuhan untuk masyarakat sepanjang musim; (ii) Upayakan berbagai potensi sebagai alternatif pendapatan masyarakat; (iii) Harus ada upaya untuk meningkatkan nilai sumber daya alam yang ada; (iv) Penting untuk mendorong masyarakat membangun usaha dengan tetap mempertimbangkan lingkungan; (v) Jika masyarakat merasakan manfaat dari sumber daya alam yang ada, akan memotivasi mereka menjaganya; dan (vi) Membangun jaringan kemitraan dan dukungan dengan pihak lain.
___++++
Perhutanan Sosial dan Kaitannya dengan Perubahan Iklim dan REDD+ REDD+ - pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada negara berkembang – masih menjadi isu penting, tidak hanya karena diusulkan sebagai mekanisme untuk memperlambat hilangnya hutan, namun juga karena bagaimana mekanisme tersebut nantinya dapat berfungsi pada prakteknya masih menjadi subyek dari perdebatan yang cukup sengit.1 Perhutanan Sosial – di Indonesia - adalah sistem pengelolaan hutan, baik hutan negara maupun hutan hak, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui “pemberdayaaan” dengan memperhatikan aspek kelestarian hutan.2 Ada beberapa istilah yang terkait dengan perhutanan sosial yang seringkali muncul yang kedengarannya mirip tapi definisinya sedikit berbeda. Terdapat tiga jenis hutan dalam sistem Perhutanan Sosial yang berbeda hak pengelolaannya: Hutan Kemasyarakatan yaitu Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik rakyat. Peran Perhutanan Sosial dalam REDD+ dan mengatasi masalah Perubahan Iklim: Rencana Umum pengelolaan hutan selama jangka waktu masa ijin 35 tahun diawali dengan inventarisasi pohon, dan mengandung baseline data. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di dalam Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa masih sangat dibatasi. Pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) mendapatkan pemanfaatan jasa lingkungan dan dapat melakukan aktivitas penjualan karbon, atau mendapat kredit karbon.
“Media perlu mencermati berbagai data yang ada di dalam menyusun pemberitaan untuk dapat menampilkan informasi akurat dalam mengembalikan makna pohon dan hutan yang dapat menyerap emisi karbon dan memperbaiki lahan yang rusak, serta peran masyarakat yang besar di dalam pengelolaan hutan yang lestari.” Dr. Yetti Rusli Staff Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Ketua Pokja Perubahan Iklim Kementrian Kehutanan
“Sebelum berbicara mengenai harga karbon dalam REDD+, penting bahwa negara maju berkomitmen menurunkan emisinya dan memberikan dukungan lebih besar kepada negara berkembang. Perjanjian yang ada harus bersifat mengikat. Masyarakat perlu diajak dalam pengelolaan hutan yang lestari, dan bukan diberikan pemahaman baru mengenai potensi uang dari REDD+.” Dr. Machfudh UN-REDD Indonesia Programme
Jurnalis memerlukan dukungan informasi dan narasumber yang relevan untuk dapat mengolah informasi tersebut agar dapat dicerna oleh berbagai segmen pembaca. Johana Ernawati Majalah BOBO
1, 3
Penulisan mengenai REDD+. Paket untuk Media. November 2009. Climate Change Media Partnership. Didukung CIFOR, UN-REDD, Uni Eropa serta David and Lucile Packard Foundation
2
Direktorat Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran sungai dan Perhutanan Sosial , Kementerian Kehutanan
Tantangan Para Jurnalis Peliputan REDD+3 Untuk para jurnalis, isu REDD+ merupakan sebuah cerita yang rumit. Beberapa hal yang menjadikannya tidak mudah antara lain adalah statistik hutan seringkali tidak dapat diandalkan atau sudah tidak berlaku lagi. Sulit sekali membicarakan tentang hutan bila angkaangka referensinya tidak baku. Penjelasan kesepakatan hutan seringkali bersifat tidak jelas, terbuka untuk interpretasi atau tidak sesuai bagi pembaca. Pada saat yang sama, berbicara kepada masyarakat yang terkena imbas hutan secara langsung merupakan hal yang sulit. Pada tingkat perundingan internasional, bentuk akhir REDD+ bersifat tidak jelas, serta cakupan negosiasi yang sangat luas menyulitkan pemahaman jurnalis yang harus menyampaikan berita ke publik dengan bahasa yang cukup mudah dicerna. Perbedaan kepentingan antara dan di dalam sejumlah negara serta kebijakan kehutanan yang sangat bervariasi di seluruh penjuru dunia juga merupakan kesulitan tersendiri bagi para jurnalis untuk menulis isu ini secara jelas dan berimbang.
Ide-Ide Peliputan Dari berbagai sesi dalam workshop, muncullah beberapa ide untuk peliputan. Beberapa isu mendasar seperti “Peran Hutan dalam Perubahan Iklim”, “Peran Perhutanan Sosial (Social Forestry) di dalam REDD+”, dan “Konflik yang ada di Hutan, Sebab dan Akibat serta Solusi”, masih merupakan topik yang menarik untuk digali lebih dalam mengingat isu ini masih awam bagi banyak kalangan masyarakat. Masih terkait dengan masalah konflik antara masyarakat adat hutan dengan isu “Bagaimana REDD+ dapat memberi dampak terhadap hutan di Indonesia, serta potensi konflik yang ada di dalamnya” dan “Bagaimana REDD+ di Indonesia dapat menjadi solusi untuk mengatasi konflik yang ada di hutan” penting untuk dibahas kalau skema ini akan diterima sebagai solusi dari berbagai permasalahan kehutanan dewasa ini.
“Penting sekali bagi seorang jurnalis di dalam membuat berita untuk bisa terlebih dulu mempunyai “purpose” atau tujuan, dan karena itu mutlak diperlukan “skills” dan pemahaman yang utuh.” Harry Surjadi Fasilitator
“Media perlu memberitakan bahwa akses masyarakat terhadap hutan sudah diberikan oleh Pemerintah, antara lain melalui Hak Kelola (Izin Pengelolaan) yang sama semangatnya dengan tenurial, meskipun belum merupakan Hak Milik, dan komoditasnya berupa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan sambil berjalan sedang disusun prosedurnya untuk menentukan proses dapat diaksesnya Hasil hutan Kayu (HHK).” Erna Rosdiana Direktorat Bina Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementrian Kehutanan
“Sebagai penyelenggara berharap agar melalui Workshop ini dapat dijalin kerjasama lebih dekat dengan Media terutama dalam isu-isu Perhutanan Sosial dan REDD+ yang belum banyak didalami oleh jurnalis kita. “ Yosef Arihadi Program Coordinator RECOFTC Indonesia
Selanjutnya “Bagaimana Perhutanan Sosial (Social Forestry) yang sukses berjalan dapat berkontribusi pada usaha-usaha mengurangi dampak buruk perubahan iklim, dan dapat memberdayakan masyarakat untuk mengelola hutan yang lestari” menjadi pertanyaan pamungkas.
“Kampanye oleh Media diperlukan untuk mempromosikan partisipasi masyarakat di dalam REDD+ sehingga mereka bersedia untuk berkolaborasi dan berkontribusi tidak hanya demi kepentingan harga kredit karbon. “ Dr. Herry Purnomo Peneliti CIFOR
Jurnalisme Lingkungan Peliputan Perhutanan Sosial dan REDD+, karena sifatnya yang kompleks dan berkaitan dengan banyak isu lain, lebih tepat bila menggunakan pendekatan jurnalisme lingkungan. Jurnalisme lingkungan tidak hanya terbatas membahas isu-isu lingkungan saja. Jurnalisme lingkungan juga mencakup pokok bahasan kesehatan, ekonomi, politik, perdagangan, pembangunan, sumber daya alam dan masalah sains. Dengan kata lain, interaksi manusia dengan komponen lingkungan makhluk hidup maupun benda mati, yang mengganggu lingkungan melalui penggunaan, penyebaran, perubahan sumber dayanya, adalah termasuk pokok bahasan jurnalisme lingkungan (Asian Forum of Environmental Journalists, 1998). Michael Frome (2001) dalam bukunya “Green Ink” menulis, “Saya mendefinisikan Jurnalisme Lingkungan sebagai suatu penulisan dengan sebuah tujuan, yang dirancang untuk menyampaikan kepada publik data yang masuk akal, akurat, sebagai landasan keikutsertaan dengan dilengkapi dengan informasi dalam proses pengambilan keputusan isu-isu lingkungan. Penulisan tersebut memerlukan pemahaman mengenai sifat dan tujuan komunikasi massa, suatu kemampuan untuk dapat meneliti dan melaporkan temuan-temuan dengan akurat, dan sebuah kecintaan terhadap bahasa yang memungkinkan penyampaian secara jelas. Diperlukan lebih dari pembelajaran mengenai “bagaimana menulis”, tetapi juga pembelajaran mengenai kekuatan emosi dan pengambaran, untuk berpikir tidak hanya sekedar Siapa, Apa, Kapan, Dimana, dan Mengapa, tetapi juga Keseluruhan, secara meluas dan dengan sudut pandang” (Frome, 2001, hal IX).
“Menurut pengalaman, tataran administratif pelaksanaan REDD+ yang paling efektif adalah di tingkat Kabupaten, meskipun semuanya masih dalam tahap negosiasi dan kesuksesannya akan sangat bergantung dari pihak-pihak yang berperan di dalamnya. “ Dr. Dicky Simorangkir TNC Indonesia
“Masyarakat sudah semakin sadar lingkungan dan diperlukan lebih banyak lagi informasi mengenai produk-produk ramah lingkungan yang digemari masyarakat. “ Angela Hindriati Wahyuningsih Femina
“Kunci sukses Perhutanan Sosial ada di “Value Chain”; industri mebel adalah industri yang luar biasa dan menyerap banyak tenaga kerja serta tinggi value-added dan tingkat competitiveness-nya. Dr. Dede Rohadi Peneliti Seconded CIFOR
Langkah Ke Depan Dalam diskusi workshop dipetakan beberapa kendala dalam peliputan dan pemahaman perhutanan sosial dan REDD+ serta jalan keluar dalam mengatasi kendala-kendala tersebut. Tindakan proaktif yang dapat diambil para pengambil keputusan, peneliti dan para pegiat lainnya untuk memasyarakatkan isu ini. Untuk mengatasi pemahaman yang kurang di kalangan media, salah satu saran yang dikemukakan adalah dengan mendatangi dewan redaksi media strategis untuk memberikan informasi perkembangan terkini mengenai perhutanan sosial atau REDD+. Menjawab tantangan minat yang kurang terhadap Isu yang kurang populer, para pengambil keputusan dan pegiat dapat mengirimkan satu atau dua lembar informasi terkini yang disusun secara menarik untuk merangsang minat media agar membaca informasi tersebut. Untuk menjawab perlunya pemutakhiran informasi, para pegiat dapat menyusun dan mengirim factsheets atau tips sheets secara berkala kepada media, yang berisi ide-ide peliputan dan data terkini mengenai capaian pelaksanaan program ataupun kebijakan. Pendanaan muncul sebagai salah satu kendala dalam peliputan yang jauh dari kantor pusat media. Untuk mengatasinya, para pegiat dapat bekerjasama dengan pihak yang memiliki minat yang sama, untuk mengundang jurnalis mendapatkan ekspos di lapangan, misalnya dengan tema “Mengenal Indonesia Kembali”. Sebaliknya, untuk menjawab tantangan perlunya ekspos berbagai lapisan masyarakat terhadap perhutanan sosial maupun REDD+ melalui media, diusulkan: Tur untuk mengisi liburan sekolah dengan mengangkat tema perhutanan sosial atau pentingnya kelestarian hutan untuk REDD+; Memberikan rekomendasi narasumber untuk kegiatan tahunan Majalah Bobo yaitu liburan untuk anak-anak berjudul “Potret Negeriku”; Menyediakan informasi untuk kalangan menengah ke atas mengenai produk-produk bersertifikat ramah lingkungan (ekolabel), dll. Selanjutnya berbagai komitmen langkah nyata para pihak: 1. UN-REDD Indonesia Programme segera menyusun Strategi Komunikasi diawali dengan perekrutan International Communication Specialist; 2. Beberapa posisi menangani komunikasi dibuka untuk RECOFTC Indonesia; 3. ASFN Secretariat segera menyelenggarakan diskusi informal mengundang Media mengisi knowledge gap dan menyelenggarakan kegiatan kerjasama relevan lainnya.
Harapan Jurnalis dan Pemangku Kepentingan Sebagian besar peserta jurnalis menyatakan keinginannya untuk mempelajari kaitan REDD+ dengan perhutanan sosial. K. Andrianto dari Masyarakat Persuteraan Alam Indonesia, Mohamad Sahril dari Media Alkhairaat, Agung Marhaenis dari Readers’ Digest dan Margaret Sarita dari Tribun Kaltim menyatakan keinginannya memperoleh pencerahan isu REDD+, dan Margaret terutama tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kegiatan awal di Berau. Johana Ernawati dari Majalah Bobo yang selalu mendapatkan tantangan untuk membuat berita yang dapat dipahami oleh anak-anak dan pada saat yang sama juga menambah wawasan para orang tua, ingin mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang kehutanan dan daftar narasumber. Sementara Lauhil Machfudz dari Kaltim Post dan Veby Mega Indah dari Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) tertantang untuk mengetahui lebih banyak mengenai bagaimana mengatasi masalah yang dihadapi di lapangan. Arsito Hidayatullah dari Jawa Pos National Network mengatakan bahwa ia ingin menambah wawasan tentang isu lingkungan terutama perhutanan sosial dan REDD+ untuk dapat menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Senada dengan Arsito, Yunanto Wiji Utomo dari Kompas.com juga ingin menambah wawasan tentang regulasi terkait dengan Global Warming, REDD+ serta ingin berbagi dengan kawan-kawan peserta dari daerah tentang dampak Global Warming terhadap budaya, dan seterusnya. Satu-satunya peserta dari media regional Zubaidah Nazeer dari The Straits Times mengatakan ia mengikuti workshop agar agar pembaca koran regional paham tentang isu kehutanan dan pada saat yang sama berharap dapat memperkenalkan diri kepada narasumber dan ingin memperoleh inspirasi untuk penulisan. Acara workshop kali ini disambut baik oleh para narasumber antara lain karena menyediakan forum untuk berdiskusi langsung dengan para jurnalis dan meluruskan informasi yang selama ini dianggap kurang lengkap atau bahkan sama sekali keliru. Dr. Machfudh dari UN-REDD Indonesia Programme menganggap ekspresi peserta jurnalis sebagai gayung bersambut karena UN-REDD Indonesia Programme juga memiliki inisiatif yang sama dan sudah menyelenggarakan workshop di Sulawesi. Hal yang sama juga disampaikan oleh Dr. Dicky Simorangkir dari The Nature Conservancy Indonesia bahwa dengan banyaknya pemberitaan yang salah diperlukan adanya saling berbagi wawasan untuk mewujudkan pemahaman yang sama berdasarkan pengalaman. Disebutkan pula bahwa REDD+ sudah menjadi komitmen Pemerintah sehingga harus dijalankan dan akan berdampak pada masyarakat, sehingga diperlukan pemberitaan yang proporsional. Para narasumber dari Kementrian Kehutanan, Ibu Erna Rosdiana dalam kapasitas mewakili pimpinan Sekretariat ASFN dan Ibu Yulinda dari Direktorat Bina Perhutanan Sosial, menyambut baik workshop ini sebagai forum yang sangat strategis untuk berinteraksi lebih baik dengan media dan menjalin komunikasi tentang perhutanan sosial dan REDD+ untuk pemberitaan yang semakin up-to-date dan proporsional. Seorang peneliti seconded CIFOR, Dr. Dede Rohadi sangat tertarik untuk menempatkan diri bersama dengan para jurnalis dan ingin mengetahui bagaimana cara mendapatkan informasi yang dapat dicerna masyarakat sampai ke akar rumput. Ia juga ingin mempelajari strategi jurnalis di dalam mencari dan menemukan informasi, apa yang dibutuhkan. Sementara rekannya Dr. Herry Purnomo yang juga seorang peneliti di CIFOR yang merupakan salah satu narasumber tertarik untuk bertukar pikiran bagaimana perhutanan sosial dan REDD+ dapat diberitakan melalui isu-isu populer yang sedang menjadi pemberitaan saat ini. Ia mencontohkan misalnya: bagaimana perhutanan sosial dan REDD+ dapat mengatasi serangan ulat bulu, dan bagaimana perhutanan sosial dan REDD+ dapat memperkuat industri Indonesia di dalam menghadapi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Seorang narasumber lain yang datang jauh-jauh dari Pontianak dengan membawa segudang informasi langsung dari kegiatan perhutanan sosial di hutan Kalimantan, Valentinus Heri dari Riak Bumi tertarik pula untuk berinteraksi dengan peserta lain dan mengumpulkan serta berbagi pengalaman. Dua orang peserta yang pekerjaan sehari-harinya berhadapan dengan para jurnalis, Elis Nurhayati dari The Nature Conservancy (TNC) Indonesia dan Budhy Kristanty dari CIFOR Blog & REDD-Indonesia Website menyatakan ingin melihat dinamika diskusi dan menyerap informasi sebanyak-banyaknya mengenai trend pemberitaan untuk dapat mengkomunikasikan kembali kepada lembaga penelitian mengenai kebutuhan penelitian. Dan terakhir dari pihak penyelenggara, Sagita Arhidani dari ASFN Secretariat mengatakan dengan posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun ini dan posisi mitra kerjasama yang strategis, kegiatan workshop ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran dan hikmah sebagai referensi di dalam menyelenggarakan kegiatan serupa di tingkat regional. Dari ASEAN Secretariat, Dian Sukmajaya ingin mendapatkan update mengenai isu terkait, berbagi informasi, untuk mendukung ASFN dengan peran jurnalis yang penting dalam ‘awareness raising’ tidak hanya di tingkat nasional namun juga regional serta Pak Yosef Arihadi dari RECOFTC Indonesia menyatakan ingin mempromosikan isu perhutanan sosial yang banyak bisa disoroti, dan ingin memberikan pencerahan kepada media karena banyak isu REDD+ yang membingungkan.
ASEAN Social Forestry Network (ASFN) adalah Network perhutanan sosial yang dikoordinasikan melalui perwakilan pemerintah yang terbentuk pertama kalinya untuk Asia Tenggara. Pembentukannya disahkan oleh ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF) pada bulan Agustus tahun 2005. ASFN menghubungkan para pembuat kebijakan berkaitan dengan kehutanan dengan mitra-mitra Network dari perwakilan masyarakat, lembaga riset, akademisi, pihak swasta dan para ahli di bidangnya. RECOFTC memiliki misi untuk melihat lebih banyak lagi masyarakat yang secara aktif mengelola hutan yang ada di wilayah Asia Pasifik. Selama dua dasawarsa belakangan ini, RECOFTC telah memberikan pelatihan kepada lebih dari 4,000 orang yang berasal dari 20 negara dalam hal pelimpahan pengelolaan hutan dari para pengambil keputusan di tingkat nasional, peneliti dan praktisi langsung ke para pengguna lokal yang memanfaatkan sumberdaya hutan. Program pelatihan dan pembelajaran dilengkapi dengan melakukan kegiatan-kegiatan di lapangan, analisa isu-isu penting dan komunikasi strategis. Informasi lebih lengkap dapat diperoleh melalui: www.recoftc.org Media Workshop on Social Forestry and REDD+ diselenggarakan pada tanggal 14-15 April 2011 di Bogor, Indonesia, oleh Sekretariat ASEAN Social Forestry Network (ASFN) bekerjasama dengan The Center for People and Forests (RECOFTC) dengan dukungan dari ASEAN Secretariat, CIFOR, Program Responsible Asia Forestry and Trade (RAFT), Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) dan UN-REDD Indonesia Program, yang didokumentasikan dalam bentuk Video (Untuk permintaan salinan Video dapat menghubungi ASFN Secretariat). Tulisan ringkas ini dihasilkan atas dukungan masyarakat Amerika Serikat melalui pendanaan USAID. Isi yang dimuat dalam tulisan ini tidak mencerminkan pandangan USAID ataupun pemerintah Amerika Serikat, maupun pandangan pihak penyelenggara dan pendukung pelaksanaan Media Workshop. © ASFN Secretariat & RECOFTC, May 2011. ASEAN Social Forestry Network Secretariat Manggala Wanabhakti Building, Block VII, 4th Floor Jalan Gatot Subroto, Jakarta 10270, Indonesia Tel: +62 (21) 5703246, ext. 478 Fax: +62 (21) 5730136 Email:
[email protected];
[email protected] RECOFTC PO Box 1111, Kasetsart Post Office Bangkok 10903, Thailand Tel: +66 (0)2 940 5700 Fax: +66 (0)2 561 4880 Email:
[email protected]