Peran Pengalaman Multiindra Dalam Ruang Interior Komersil Neysha Adzhani, Enira Arvanda 1. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Pada era costumer-focused dalam dunia bisnis saat ini, penciptaan pengalaman konsumen yang positif dan berkesan menjadi bagian dari strategi pemasaran yang utama, termasuk pada ruang interior komersil yang mewadahi interaksi antara konsumen dengan perusahaan. Dalam mengalami ruang, manusia memiliki beragam indra sebagai penangkap informasi dari lingkungan fisik di sekitarnya. Namun, adanya paradigma okularsentris membuat visual dianggap sebagai pembentuk utama pengalaman manusia. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada pengalaman multiindra yang menyeluruh dalam ruang interior komersil dan perannya terhadap pembentukan pengalaman konsumen yang positif dan berkesan sebagai nilai tambah bagi perusahaan. Kata kunci: pengalaman multiindra, elemen interior, ruang interior komersil, experiential marketing
The Role of Multisensory Experience in Commercial Interior Spaces Abstract In the era of customer-focused in today's business world, the creation of a positive and memorable customer experience is part of a major marketing strategy, including in the commercial interior spaces that facilitate interaction between the consumer and the company. In the context of experiencing spaces, we acquire information of the surrounding physical environment through various senses. However, the ocularcentric paradigm has regarded visual as the centre point of human experience. This writing focuses on the analysis of the multi-sensory experience as a whole in commercial interior spaces and its role in generating a positive and memorable consumer experience as an added value for the company. Keywords:
space, spatial experience, film
Pendahuluan Dalam dunia bisnis selalu ada desakan kompetisi yang terus memicu perkembangan metode pemasaran untuk menciptakan nilai ekonomi yang lebih berarti. Perubahan era product-focused menjadi era customer-focused pada saat ini membuat experience (pengalaman) konsumen terhadap perusahaan yang bersangkutan menjadi pusat perhatian strategi bisnis yang disebut dengan experiential marketing. Pendekatan ini dilakukan dengan upaya menciptakan pengalaman konsumen yang positif dan berkesan sebagai kemasan dari proses konsumsi barang dan jasa utama yang ditawarkan perusahaan. Dengan fokus seperti ini, pengalaman yang dialami konsumen pada tiap kontak dengan perusahaan yang 1 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
bersangkutan tentu memiliki peran penting, termasuk pada ruang yang mewadahi terjadinya transaksi bisnis sebagai ruang interior komersil perusahaan terkait. Pada dasarnya, ruang memang memiliki pengaruh untuk membentuk pengalaman manusia (E.V. Walter dalam Malnar dan Vodvarka, 2004). Ketika berbicara mengenai pengalaman ruang, aspek visual selama ini selalu dijadikan parameter utama dalam mengalami dan memahaminya. Menurut Pallasmaa, kecenderungan ini merupakan bagian dari paradigma okularsentris yang terus berkembang dengan sangat kuat sepanjang sejarah, membuat aspek visual dianggap sebagai pembentuk persepsi utama manusia di dunia. Kita sebagai makhluk hidup memiliki indra-indra lain selain mata dimana kita juga sebenarnya mengalami dunia ini, termasuk ruang arsitektural, melalui seluruh indra tersebut. Selain karena manusia memang merupakan makhluk indrawi, dunia di sekitar kita juga merupakan lahan pembentuk sensasi yang berpotensi ditangkap oleh berbagai indra. Indra-indra ini juga tidak bekerja sendiri namun memiliki sifat dasar untuk saling berasosiasi membentuk pengalaman manusia yang menyeluruh (Pallasmaa, 2012). Berangkat dari permasalahan di atas, muncul pertanyaan bagaimana pengalaman multiindra sebagai kecenderungan alami manusia dalam mengalami lingkungan fisiknya sehari-hari mampu membentuk pengalaman konsumen dalam ruang interior komersil sesuai tujuan perusahaan? Tujuan penulisan adalah menganalisis bagaimana pengalaman konsumen sesuai tujuan pembentukan pengalaman yang ingin dicapai perusahaan dalam ruang interior komersil dialami tidak hanya secara visual terhadap berbagai elemen ruang dengan mengkaji berbagai sensasi multiindra konsumen. Pengalaman Multiindra Manusia dalam Ruang Manusia dihubungkan dengan dunia luar melalui tubuhnya, tepatnya melalui berbagai reseptor indra. “[...] we can never be aware of the world as such, but only of [...] the impingement of physical forces on the sensory receptors.” (Kilpatrick dalam Hall, 1966, p. 41). Berdasarkan pengetahuan umum, terdapat lima indra dasar yang dimiliki oleh manusia, yaitu indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra pengecap, dan indra peraba yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai dunia di sekitarnya (Dunn, 2008). Namun, selama ini telah berkembang paradigma okularsentris yang dalam konteks arsitektural membuat penglihatan dianggap sebagai tumpuan utama dalam mengalami dan memahami ruang serta menjadi pertimbangan utama dalam desain (Pallasmaa, 2012). Dalam dunia desain, okularsentrisme didukung dengan adanya prinsip-prinsip desain yang cenderung 2 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
hanya berbicara dalam konteks visual. Menurut Ching (1996) prinsip-prinsip yang terdiri dari proporsi, skala, keseimbangan, keserasian, kesatuan dan keragaman, ritme, penekanan dan penegasan, merupakan pedoman untuk mencapai pola dalam ruang (fungsi, estetika, dan kebutuhan) dimana elemen ruang saling berpengaruh satu sama lain. Dalam buku Sensory Design (2004) disebutkan bahwa terdapat aspek-aspek haptic yang perlu diperhatikan. Pertama adalah active touch yang banyak berkaitan dengan materiality dan dapat dieksplorasi secara sentuh. Kulit yang berdasarkan pembagian Gibson merupakan bagian dari haptic system, menurut Pallasmaa (2012) berperan dalam memahami tekstur, berat, kepadatan, dan suhu dari suatu objek. Aspek selanjutnya, yaitu kinesthesia juga dibahas dalam oleh Malnar dan Vodvarka (2004) sebagai bagian lain dari sistem haptic yang mendapatkan informasi dari pergerakan otot-otot manusia. Selain active touch dan kinesthesia, terdapat dua aspek lain, yaitu temperatur (suhu yang dirasakan oleh kulit) dan plasticity (efek dari kompresi dan ekspansi spasial pada kesadaran manusia). Pallasmaa mengungkapkan keutamaan dari haptic dalam mengalami ruang melalui beberapa pernyataannya. Salah satunya adalah “Our culture of control and speed has favoured the architecture of the eye, with its instantaneous imagery and distant impact, whereas haptic architecture promotes slowness and intimacy, appreciated and comprehended gradually as images of the body and the skin. The architecture of the eye detaches and controls, whereas haptic architecture engages and unites. (Pallasmaa, 2000, p.1) Selanjutnya, aspek lain yang disebutkan oleh Van Kreijk (2010) adalah synaesthesia yang mengutip pernyataan Ernst Gombrich merupakan percikan kesan dari satu indra ke indra lainnya. Malnar dan Vodvarka (2007) menambahkan bahwa synaesthesia merupakan pengalaman fisik dari asosiasi timbal-balik indra yang terjadi tanpa sadar dan memiliki peran yang positif. Seperti disebutkan dalam kutipan ini, “[...] the stimulation of one sensory modality reliably causes an involuntary perception in another modality. Such percepts are, moreover, durable, discrete, stable, and memorable.” (Malnar dan Vodvarka, 2004, p. 221). Dengan adanya karakter synaesthesia yang pada dasarnya dimiliki oleh indra-indra ini, visual sebagai indra terkuat juga memiliki tendensi untuk berasosiasi dengan indra lainnya. Salah satu bentuk integrasi antarindra yang melibatkan mata sehingga tidak mengarah ke okularsentrisme, yaitu antara sistem visual dengan sistem haptic. Haptic ternyata dapat terintegrasi dengan visual dalam mengalami ruang melalui berbagai fenomena. “Even the eye touches, the gaze implies an unconscious touch, bodily mimesis and identification.” (Pallasmaa, 2012, p. 45). Dalam buku The Eyes of The Skin (2012), terdapat sebuah pernyataan mengutip George Berkeley dimana ia mengaitkan touch dengan vision dan 3 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
menganggap bahwa pemahaman visual dari materialitas (tekstur, kekerasan, berat, temperatur, kelembaban, dsb.), jarak, serta kedalaman spasial tidak mungkin tercapai tanpa kerja sama dari memori haptic (unconscious touch). Selain itu, terdapat suatu fenomena yang didasari oleh kualitas “empati” pada manusia yang terjadi saat tubuh kita berhadapan dengan suatu objek atau lingkungan sekitar. Dalam buku Body, Memory, and Architecture (1977) mengutip pernyataan filsuf Robert Vischer, ungkapan “empati” ini berkaitan erat dengan perasaan. Pallasmaa (2012) mendukung konsep ini dalam konteks arsitektural dengan menyatakan “When experiencing a structure, we unconsciously mimic its configuration with our bones and muscles [...] the structures of a building are unconsciously imitated and comprehended through the skeletal system.” (p. 72). Dari sini, dapat terlihat suatu hubungan antara informasi visual yang terintegrasi dengan haptic berupa sensasi pada sistem otot dan skeletal sebagai bagian dari insting manusia (bodily mimesis). Pendukung lain untuk mengalami ruang yang bersifat non-visual adalah indra pendengaran dan penciuman/perasa. Bagi Van Reijk (2010), suara yang dihasilkan dalam ruang dapat memberi informasi bentuk dan ukuran ruang, serta tingkat kelembutan dan struktur material yang digunakan. Selanjutnya, Pallasmaa mengungkapkan bahwa memori yang paling bertahan lama terhadap suatu ruang sering kali adalah aromanya. Hidung kita mampu membangkitkan image yang sudah terlupakan (Pallasmaa, 2012).
Gambar 1. Diagram Pengelompokkan dan Karakter Indra Sumber: Olahan Pribadi
4 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Ruang Interior Komersil sebagai Media Experiential Marketing Strategi marketing pada zaman sekarang yang berbasiskan experience (pengalaman) untuk dapat menghibur, memberi kesan, serta sudut pandang dan makna tersendiri sebagai aspek tambahan pada barang dan jasa yang ditawarkan (Benedikt, 2001 ; Beverland, Lindgreen, & Vanhamme, 2009), juga melibatkan ruang interior komersil sebagai bagian dari lingkungan fisik perusahaan untuk menjadi media pembentuk pengalaman pada konsumen tersebut. Ruang interior komersil merupakan ruang interior dari segala jenis fasilitas yang mewadahi tujuan bisnis yang mengundang kaum publik untuk masuk ke dalamnya. Dalam mendesain ruang interior komersil, pemahaman akan tujuan dan target dari bisnis itu sendiri menjadi aspek yang esensial (Piotrowski dan Rogers, 2007). Keutamaan ruang komersil ini menurut Bitner (1992) khususnya adalah pada perusahaan di bidang jasa karena pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan dalam fasilitas fisik perusahaan tersebut sehingga proses dan pengalaman yang berlangsung di dalam ruang komersil tentu menjadi lebih kompleks. Smilansky (2007) menyebutkan bahwa set atau ruang komersil yang baik didesain sebagai lingkupan sensory environment yang merujuk ke pengalaman menyeluruh oleh tubuh agar dapat melekat pada memori partisipannya. Sesuai dengan pernyataan Bloomer dan Moore (1977), ``To at least some extent every place can be remembered, partly because it is unique, but partly because it has affected our bodies and generated enough associations to hold it in our personal world.`` (p.107). Proses Pengalaman Indra Manusia dalam Memaknai Ruang Persepsi manusia pada dasarnya adalah sensasi yang terproses. Manusia tidak merespon lingkungan nyatanya secara langsung, namun yang direspon adalah representasi atau gambaran mental terhadapnya berdasarkan hasil penyaringan informasi secara cognitive (Malnar dan Vodvarka, 2004). Henriette Christrup dalam buku “Creating Experiences in the Experience Economy” (2008) menyatakan, ekspektasi, pengetahuan, serta memori memang memiliki pengaruh terhadap experience dan mekanisme penyaring pada memori itu sendiri. Dalam konteks ruang, menurut Pallasmaa (2012) manusia memiliki kapasitas yang hebat dalam menangkap dan memahami seketika wujud keseluruhan lingkungan maupun atmosfernya yang kompleks secara tidak sadar. Padahal, jika dijabarkan sebenarnya respon manusia terhadap lingkungan, termasuk ruang komersil, menurut Greenland dan McGoldrick yang dikutip dari kajian Katelijn (2008), dari terdiri dari beberapa tahap. 5 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Tahap cognitive merupakan tahap mengetahui dan memahami lingkungan ruang sekitar yang sudah dialami oleh indra-indra manusia dengan segala karakteristiknya. Informasi dari tahap ini akan direspon secara affective yang melibatkan perasaan hasil picuan lingkungan tersebut (contoh: kesenangan, ketertarikan, gairah). Faktor emosional ini selanjutnya akan mempengaruhi tahap perilaku dan attitude konsumen terhadap ruang tersebut dalam konteks yang disebut conative. Namun, baik itu faktor emosional maupun conative sulit untuk dipisahkan dan akan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan pengalaman sensori sebagai awal dari seluruh respon konsumen terhadap lingkungannya, berarti keterlibatan indra dengan integrasinya ketika konsumen beraktivitas mengalami ruang, akan mempengaruhi tahap-tahap setelahnya, yaitu tahap pemahaman, perasaan, hingga akhirnya reaksi dalam ruang tersebut.
Gambar 2. Skema Proses Respon Manusia terhadap Lingkungan oleh Greendland dan Mcgoldrick Sumber: Katelijn, Quartier (2008)
Studi Kasus Pada tinjauan kasus di skripsi ini, analisis difokuskan pada peran dari pengalaman multiindra dalam ruang komersil perusahaan, khususnya di bidang jasa, dalam menstimulasi, memperkaya, dan memberi pengalaman yang berbeda pada konsumen atau pengunjungnya. Pemilihan studi-studi kasus ruang komersil ini didasari oleh adanya pendekatan desain ruang interior yang berbeda dari ruang-ruang komersil sejenis pada umumnya yang sudah memiliki stereotip berdasarkan anggapan konsumen (dari hasil wawancara), yaitu bank dan klinik dokter. 6 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Studi Kasus Bank BTPN Sinaya
Gambar 3. Ruang Interior Bank BTPN Sinaya, Gedung Cyber 2 Sumber: Dokumentasi Pribadi
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) merupakan suatu bank publik di Indonesia yang memiliki cabang bisnis pendanaan bernama BTPN Sinaya (Sinar yang Memberdayakan). Produk yang ditawarkan adalah deposito sehingga fokus utamanya adalah mencari dana simpanan (deposito) sehingga kegiatan dalam ruang perusahaan lebih terfokus pada upaya penjelasan yang lebih mendetail, negosiasi, dan penjualan yang bersifat intim. Tujuan yang diharapkan dalam ruang komersil ini adalah mampu memberi pengalaman negosiasi dan penjelasan produk secara “intim” antara konsumen dengan petugas bank sehingga dibutuhkan penyediaan kualitas nyaman dan perasaan menyenangkan di dalamnya. Ruang interior komersil juga sengaja dibuat unik untuk membentuk citra tersendiri agar mampu menarik simpati konsumen. Konsep desain yang diangkat adalah nilai sejarah BTPN yang berasal dari Jawa Barat (terkenal dengan penggunaan material bambu dalam arsitektur tradisional maupun kerajinannya) beserta unsur-unsur lokal lainnya yang juga sejalan dengan kepedulian dan kerinduan generasi terkini akan konsep back to nature. Berdasarkan hasil wawancara dengan nasabah dan pengunjung bank BTPN Sinaya dari berbagai jenis kelamin dan usia, terdapat perbandingan kesan secara umum mengenai pengalaman di Bank BTPN Sinaya dengan bank-bank lain pada umumnya yang juga pernah mereka kunjungi. Kesan-kesan yang disebutkan dapat dikelompokkan berdasarkan tahapantahapan proses respon manusia terhadap lingkungan sesuai teori yang dikaji oleh Greendland dan Mcgoldrick.
7 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Tabel 1. Hasil Wawancara – Kesan Bank secara Umum dan BTPN Sinaya*
Bank-bank Lain
Bank BTPN Sinaya
Elemen
- Tempat duduk bench tidak
- Bambu
interior
nyaman berjejer memanjang
- Dealing room melingkar dengan partisi kain lunak
yang berkesan
(bahkan berdiri mengantri)
- Vertical garden, tanaman
(sesuai urutan
- Ruang terkotak-kotak
- Sofa santai dan nyaman
dari yang paling
- Kaca, stainless steel
- Cahaya remang-remang
berkesan)
- Polosnya elemen ruang
- Aroma
- Terang
- Lantai batu, parket - Aksesori (tempat permen)
Cognitive
- Standar bank; konservatif
- Unik, back to nature
- Monoton, datar
- Berbeda dengan bank pada umumnya - Memori di beragam tempat rekreasi atau bersantai (spa, restoran sunda, cafe, lobi hotel, gallery, lounge) - Memori “rumah” atau kampung asal
Feeling
Feeling
Conative
Tingkat
- Kaku, dingin, tegas, formal,
- Friendly, welcomed
serius, misterius
- Homey, “warm”
- Ingin cepat keluar
- Santai, tenang, nyaman
- Tidak nyaman di mata
- Private (khususnya dealing room dan teller)
- Elegan (high-class)
- Dalam dealing room ada rasa tidak ada batasan tegas
- “Berjarak” dengan ruang dan
dengan pegawai bank, suasana lebih luwes, engaged.
pihak bank
- Tidak merasa terasing
- Padat dan pergerakan cepat
- Pergerakan tenang
- Tidak ada keinginan
- Tidak masalah menunggu lama
mengeksplorasi ruang
- Ingin mengeksplorasi ruang
2-3 dari skala1-5
4-5 dari skala 1-5
Enjoyment *Komparasi ini didasari oleh beberapa bank yang direferensikan sebagai perbandingan oleh responden Sumber: Olahan Pribadi
Gambar 4. Gambaran Suasana Bank-bank Lain (sesuai hasil wawancara) Sumber: http://www.tempo.co/bca/images/BCA%20KCP%20Supermal%20Karawaci.JPG (kiri atas) ; http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/12/13554535811774515454.jpg (bawah)
8 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Secara umum, terdapat perbedaan tingkat enjoyment yang dirasakan nasabah dan pengunjung di ruang Bank BTPN Sinaya dibandingkan langsung dengan bank-bank lain pada umumnya yang sudah memiliki stereotip. Pada ruang Bank BTPN Sinaya ruang diapresiasi secara lebih positif. Penyebutan elemen-elemen ruang yang berbeda di antara keduanya disertai dengan perbedaan kesan. Pada Bank BTPN Sinaya, dari tahap cognitive lebih banyak membangkitkan kesan unik, lalu pada tahap feeling yang dirasakan secara positif hingga tahap conative sebagai wujud nyata perbedaan pengalaman yang dirasakan responden. Keseluruhan kesan ini juga sejalan dengan kualitas ruang yang ingin dicapai perusahaan, yaitu kenyamanan nasabah yang mendukung keintiman interaksi dengan pihak bank serta konsep tradisional dan natural, khususnya elemen bambu yang ingin diutamakan. Dalam bank BTPN Sinaya ini, terdapat ruang-ruang dengan fungsi serupa pada bank-bank lain pada umumnya. 9 8 7 6
5
4 1
2
3
10
Gambar 5. Layout Ruang Interior BTPN Sinaya Gedung Cyber 2 Sumber: Olahan Pribadi
Gambar 6. Gambar Potongan Ruang Interior BTPN Sinaya Gedung Cyber 2 Sumber: Olahan Pribadi
9 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
1
2
3
4
5
7
6
8
9
10
Gambar 7. Kumpulan Foto Ruang-ruang Interior BTPN Sinaya Gedung Cyber 2 sesuai Urutan Nomor pada Gambar 5 Sumber: Olahan Pribadi
10 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil penjabaran pengalaman multiindra tiga responden (X, Y, Z) secara rinci, ternyata ditemukan suatu korelasi dengan hasil wawancara kepada nasabah dan pengunjung, dimana elemen-elemen ruang dirasakan secara multiindra. Elemen bambu yang disebut sebagai elemen paling berkesan sebagai elemen utama yang ingin diangkat oleh perusahaan memang benar paling banyak dialami secara intensif oleh integrasi berbagai indra, khususnya yang melibatkan indra haptic, yang didasari oleh prinsip-prinsip desain (contoh: kesatuan, penegasan, skala, ritme). Tabel 2. Pengalaman Multiindra pada Ruang Bank BTPN Sinaya
Area
Elemen Ruang
Sensasi
Pengalaman Indra
Area luar
Tanaman Hijau, Bambu
Sejuk
Visual-Haptic
Entrance Awal
Bambu
Keaslian bambu berat, tinggi)
Lantai parket
Derap langkah
Haptic, Auditory
Skala ruang
Lega, lapang
Haptic
Bambu
“Terbawa ke atas”, Lega Pergerakan teriringi Tekstur, kekokohan Aroma bambu
Bodily mimesis
Lantai batu
Padat, bertekstur
Haptic
Sofa
Nyaman, hangat”
Lantai parket Tanaman vertical
Derap langkah “Terbawa ke atas” Sejuk
Lampu kertas Lampu bambu
Ringan, “hangat”
Bambu melingkari
Kokoh
Entrance Utama
Area Duduk
Dealing Room
halus,
rapuh,
Terlingkupi
Galeri
(tekstur,
“empuk”,
Unconscious touch
Unconscious Touch Olfactory-Visual
Unconscious Touch; Haptic
Haptic; Auditory Bodily mimesis Visual-Haptic “dalam”
Unconscious touch Visual-haptic Bodily Mimesis Unconscious Touch Haptic
Kain
Lunak
Unconscious touch Haptic Auditory
Skala ruang
Lega
Haptic
Lantai
Derap langkah
Auditory
Dinding bambu
Aroma bambu
Olfactory
Sumber: Olahan Pribadi
11 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Selain bambu, haptic khususnya (lihat Gambar 3), maupun indra lain juga banyak digunakan dalam mengalami elemen-elemen lain dalam ruang, membentuk pengalaman ini menjadi satu kesatuan yang kaya. Elemen-elemen ini selanjutnya diberi makna melalui proses kognisi dan memicu perasaan serta tanggapan pengunjung di dalamnya hingga akhirnya mampu memberikan pengalaman tradisional dan alami serta rasa nyaman yang sesuai dengan penciptaan kualitas ruang yang menjadi tujuan perusahaan.
Gambar 8. Pemetaan Pengalaman Multiindra pada Ruang Bank BTPN Sinaya Sumber: Olahan Pribadi
Studi Kasus X Clinic
Gambar 9. Lokasi X Clinic dan Fasad Bangunan Sumber: http://www.hmparchitects.com/projects/commercial/detail/?id=6 (kiri); https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150714953256943&set=a.10150714951361943.39 9525.44061536942&type=3&theater (telah diolah kembali) (kanan);
12 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Pada dasarnya X clinic merupakan klinik kesehatan spesialisasi pada kulit. Konsep utama X clinic adalah adanya dermatolog untuk mendampingi pasien secara personal. Dalam kliniknya, X berupaya untuk menghadirkan konsep first class comfort. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh SWA (2006) dengan Manajer Klinik X Nasional pada saat itu, berbeda dengan klinik biasa yang terkesan kaku dan konservatif, memang X Clinic ingin tampil berbeda, seolah menyerupai hotel. Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien dan pengunjung X Clinic dari berbagai jenis kelamin dan usia, terdapat perbandingan umum mengenai pengalaman di klinik-klinik dokter lain pada umumnya dan X Clinic. Kesan-kesan yang disebutkan dapat dikelompokkan berdasarkan tahapan-tahapan proses respon manusia terhadap lingkungan sesuai teori yang dikaji oleh Greendland dan Mcgoldrick.
Tabel 3. Hasil Wawancara - Kesan Klinik Dokter Secara Umum dan X Clinic*
Klinik Lain*
X Clinic
Elemen-elemen
- Nuansa putih dan stainless
- Area tunggu menyerupai living room (sofa
berkesan
-Tempat duduk bench berjejer
nyaman, karpet)
(Sesuai urutan dari
memanjang
- Kayu-kayu natural
yang paling
- Aroma “obat”
- Batu (bongkahan, dll)
berkesan)
- Terang
- Aroma menyenangkan
- Polosnya elemen ruang
- Cahaya remang-remang
- “Standar klinik”
- Berbeda dengan klinik pada umumnya
- Sederhana, polos, monoton
- Memori di beragam tempat bersantai (spa,
Cognitive
lounge lobi hotel) atau “rumah” - Back to nature Feeling
Conative
- Kaku, dingin, serius
- Santai, tenang, nyaman, “lembut”
-Menegangkan dan sedikit
- Homey, “hangat”, welcomed
mengintimidasi
- Area tunggu private
- Datar
- Menunggu giliran tidak masalah
- Ingin cepat menyelesaikan
- Pergerakan tenang
urusan dan pulang Skala (enjoyment)
1-3 dari skala1-5
4-5 dari skala 1-5
*Komparasi ini didasari oleh beberapa klinik dokter yang direferensikan sebagai perbandingan oleh responden Sumber: Olahan Pribadi
Secara umum, terdapat perbedaan tingkat enjoyment yang dirasakan di ruang X Clinic dibandingkan langsung dengan klinik-klinik dokter lain pada umumnya yang sudah dianggap memiliki stereotip tersendiri. 13 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Gambar 10. Gambaran Suasana Klinik-klinik Lain (sesuai hasil wawancara) Sumber: http://klinikjoydental.com/fasilitas/ (kiri); http://permatahati.net/images/facilities/ruang-dokteranak-phmc.jpg (kanan)
Pada X Clinic, ruang diapresiasi lebih positif oleh pengunjung dengan penyebutan elemen-elemen ruang yang berbeda dengan perbedaan kesan. Berdasarkan pengalaman konsumen dalam X Clinic, tahap cognitive lebih banyak membangkitkan kesan tersendiri, berlanjut pada tahap feeling yang dirasakan secara positif, hingga tahap conative sebagai wujud nyata perbedaan pengalaman yang dirasakan. Keseluruhan kesan ini sejalan dengan konsep pengalaman “first-class comfort”, yaitu kenyamanan yang sangat tinggi yang ingin dihadirkan perusahaan. Dalam X Clinic, terdapat ruang-ruang dengan fungsi serupa pada bank-bank lain pada umumnya pada lantai 2 (lantai 1: ruang transisi) dimana ruang tindakan dan konsultasi dokter berada di lantai yang terpisah. Karena dalam ruang dokter pasien dan pengunjung fokus terhadap pelayanannya dengan segala persyaratan medis, maka pembentukan pengalaman terutama terjadi khususnya pada area lantai 2.
3
3
4
2 1
5
Gambar 11. Layout Ruang Interior X Clinic Sumber: Olahan Pribadi
14
Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
1
3
2
4
5
6
Gambar 12. Kumpulan Foto Ruang-ruang X Clinic sesuai Urutan Nomor pada Gambar 11 (Kecuali No. 6 yang Tidak ada pada Gambar No.11) Sumber: Olahan Pribadi
Berdasarkan hasil penjabaran pengalaman multiindra tiga responden (X, Y, Z) secara rinci, ternyata ditemukan suatu korelasi dengan hasil wawancara kepada pasien dan pengunjung, dimana elemen-elemen ruang dirasakan secara multiindra. Secara keseluruhan, elemen-elemen dirasakan tidak hanya secara visual, namun secara multiindra dimana mampu mendukung prinsip-prinsip desain seperti keragaman, kesatuan, harmoni, atau ritme.
15 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Tabel 4. Pengalaman Multiindra dalam Ruang-ruang X Clinic
Area
Elemen Ruang
Sensasi
Indra
Area luar
Tanaman hijau
Sejuk, alami
Visual-haptic
Teras
Batu
Dingin, keras, kasar, kaku Berat Pahit
Unconscious Touch Bodily Mimesis Visual-Olfactory
Pintu kayu
hangat Berat
Visual-haptic Haptic
Ruang Transisi
Batu
Dingin, kaku
Unconscious touch
Tangga
Stainless Steel, kaca
Dingin
Haptic Unconscious Touch
Aroma
Aroma menyenangkan
Olfactory
Elemen-elemen kayu
Hangat
Visual-haptic
Partisi kayu berjejer
“Teriringi”
Bodily mimesis
Pencahayaan
Lembut
Visual-haptic
Tanaman Kayu
Sejuk Hangat, halus
Visual-haptic Unconscious touch
Sofa; Karpet
Lembut, Halus
Unconscious touch Haptic Auditory
Aroma Kayu
Aroma menyenangkan Hangat
Olfactory Visual-Haptic
Area Penerimaan
Area Tunggu
Ruang Dokter
Sumber: Olahan Pribadi
Terdapat pengalaman kontras yang menarik pada studi kasus ini, yaitu ruang transisi dari teras dengan elemen batu yang terasa dingin serta kaku yang mampu meningkatkan kesan hangat dan nyaman pada lantai atas. Hal ini didukung dengan adanya berbagai elemen seperti aroma menenangkan, kayu yang membawa kehangatan, serta sofa yang dialami melalui berbagai indra, khususnya yang melibatkan integrasi indra haptic. Pengalaman ini sesuai dengan penciptaan konsep “first-class comfort” yang ingin disajikan oleh perusahaan. Elemen-elemen ini selanjutnya diproses secara kognitif, memicu perasaan pengunjung di dalamnya, hingga memberikan pengalaman yang direspon berbeda dan positif oleh konsumen.
16 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Gambar 13. Pemetaan Pengalaman Multiindra pada Ruang-ruang X Clinic Sumber: Olahan Pribadi
Kesimpulan Berdasarkan kajian teori, studi kasus, serta analisis yang telah dilakukan, pengalaman multiindra ternyata memiliki peran besar bagi manusia dalam mengalami ruang. Secara keseluruhan, terdapat beragam pengalaman multiindra yang melibatkan berbagai indra, di dalam studi ini khususnya dalam mengalami kedua ruang komersil perusahaan. Namun, pada ruang interior komersil BTPN Sinaya, pengalaman multiindra konsumen di dalamnya lebih kaya dan beragam dibandingkan dengan ruang interior komersil X Clinic, salah satunya 17 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
karena prinsip-prinsip desain seperti contohnya keseimbangan, skala, kesatuan dan keragaman, ataupun ritme lebih banyak terlibatkan pada elemen-elemen interior di dalamnya. Selain itu, ternyata prinsip-prinsip desain ini pun tidak hanya menyediakan pola untuk dipersepsikan secara visual semata, namun juga oleh indra-indra lain yang saling mendukung pembentukan keutuhan pengalaman di dalamnya. Dengan adanya paradigma okularsentris ini kita tidak menyangkal bahwa melalui visual kita dapat dengan cepat menangkap informasi mengenai lingkungan sekitar, namun selanjutnya terjadi suatu bentuk integrasi dengan indra lain dalam proses synesthesia, khususnya haptic (unconscious touch, bodily mimesis). Haptic yang dalam teori disebut sebagai indra yang banyak berpengaruh dalam mengalami ruang terbukti pada studi kasus dengan beragamnya pengalaman yang dirasakan melalui rasa pada tubuh ini, baik secara langsung maupun melalui indra lain terlebih dahulu. Kombinasi pertimbangan antara prinsipprinsip desain dengan sensasi yang
ditimbulkan oleh berbagai indra dapat mendukung
pengalaman konsumen terhadap elemen atau kualitas yang ingin dititikberatkan atau yang menjadi konsep utama. Contohnya dalam kasus BTPN Sinaya adalah elemen bambu yang dirasakan baik secara visual, haptic, auditory, maupun olfactory. Selanjutnya, sensasi-sensasi yang ditangkap oleh berbagai indra ini memicu interpretasi cognitive yang terbagi menjadi dua. Pertama adalah yang faktor indra yang langsung direspon oleh stimulus (contoh: tempat duduk yang nyaman) sehingga informasi langsung masuk dengan cepat ke dalam tahap feeling. Kedua adalah interpretasi cognitive melalui memori atau perbandingan akan pengalaman sebelumnya, seperti contohnya mengingatkan akan suasana tempat relaksasi atau membandingkan dengan pengalaman pada umumnya di ruang komersil yang serupa (contoh: bank kaku, klinik dingin). Walau begitu, pada jenis interpretasi cognitive yang kedua ini, tidak semua menangkap kesan yang persis sama karena faktor latar belakang yang berbeda-beda. Namun, jika pengalaman yang dirasakan sama-sama merupakan pengalaman positif tetap terdapat space atmosphere yang serupa. Interpretasi ini pun kemudian dapat membantu meningkatkan intensitas feeling yang dirasakan (contoh: memori akan suasana tempat relaksasi atau rekreasi meningkatkan rasa nyaman dan damai). Feeling ini kemudian akan merujuk pada reaksi conative yang nyata pada konsumen baik itu yang secara langsung terlihat seperti (contoh: ketenangan konsumen menikmati ruang di dalamnya) maupun yang diungkapkan sendiri oleh konsumen tersebut (tidak ingin terburuburu keluar dari ruang) dimana reaksi ini berkaitan dengan tingkat apresiasi pengunjung terhadap ruang interior komersil tersebut. 18 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia
Melalui tahapan yang telah dilakukan pada skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa kekayaan pengalaman konsumen dengan kesan tertentu sebagai tujuan yang ingin dihadirkan perusahaan dapat dibentuk melalui pengolahan elemen-elemen dengan potensi menimbulkan beragam sensasi, tidak hanya terhadap indra penglihatan, yang selanjutnya diproses melalui beberapa tahap dalam mengalaminya. Kedua studi kasus membuktikan bahwa pada ruang interior komersil yang sudah memiliki stereotip tersendiri tanpa kesan positif yang berarti, dengan pengolahan beragam elemen interior secara multiindra, tetap dapat diciptakan pengalaman dan kesan berbeda sesuai dengan tujuan perusahaan yang lebih diapresiasi secara positif oleh konsumen. Hal ini juga berkaitan dengan keutamaan pengalaman ruang konsumen khususnya di bidang jasa, dimana tidak ada penawaran suatu produk yang dijadikan fokus dalam ruang. Dengan begitu, pengalaman keseluruhan ruang interior komersil perusahaan terkait yang mewadahi konsumen selama proses transaksi bisnis menjadi aspek penting dalam menciptakan pengalaman yang positif dan memiliki makna tersendiri sebagai bagian dari tujuan experiential marketing perusahaan. Walaupun tanpa disengaja seringkali elemen-elemen yang memicu pengalaman multiindra sudah dijadikan bagian dari desain dalam ruang, namun alangkah baiknya jika kualitas ini dikaji dan dijadikan bahan pertimbangan secara lebih peka dan mendalam pada proses perancangan. Dengan begitu, diharapkan desain pada ruang apapun yang menjadi bagian dari kehidupan manusia mampu memberikan pengalaman ruang yang lebih holistik, berkesan, dan diapresiasi dengan baik bagi pengunjungnya. Seperti yang disebutkan oleh Pallasmaa (2012), “It is evident that „life-enhancing‟ architecture has to address all the senses simultaneously” (12).
Daftar Referensi Beverland, Michael; Lindgreen, Adam; Vanhamme, Joelle (Ed.). (2009). Memorable customer experiences: A research anthology. Surrey: Gower Publishing Limited. Bloomer, Kent, & Moore, Charles. (1977). Body, memory, and architecture. Connecticut: Yale University Press. Ching, Francis D.K. (1996). Ilustrasi desain interior. Jakarta: Penerbit Erlangga Dunn, Winnie. (2008). Living sensationally: Understanding your senses. London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers Holl, Steven; Perez Gomez, Alberto; Pallasmaa, Juhani. (2007). Questions of perception: Phenomenology of architecture. San Francisco: William Stout Publishers. Malnar, Joy Monice & Vodvarka, Frank (2004). Sensory design. Minneapolis: University of Minnesota Press Universitas Indonesia 19 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Pallasmaa, Juhani. (2012). The eyes of the skin: Architecture and the senses. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. Piotrowski, Christine M. & Rogers, Elizabeth A. (2007). Designing commercial interiors. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Quartier, Katelijn. (2008, September). Atmospheric tools in commercial spaces: creating experiences which influence consumers‟ mood and behaviour. Proceedings of the International Symposium „Creating an atmosphere‟, Cresson. Smilansky, Shaz. (2009). Experiential marketing: A practical guide to interactive brand experiences. London: Kogan Page Publishers. Sundbo, Jon, & Darmer, Per (Ed.). (2008). Creating experiences in the Experience Economy: Services, Economy and Innovation. Glos: Edward Elgar Publishing Limited. Jurnal: Benedikt, Michael. (2001). Reality and authenticity in the experience economy. Architectural Record, November 2001. Bitner, Mary Jo. (1992). Servicescapes: The impact of physical surroundings on customers and employees. Journal of Marketing, Vol. 56 April 1992: 57-71. Pallasmaa, Juhani (2000). Hapticity and time: Notes on fragile architecture. The Architectural Review, May 2000: 78-84. Wawancara: Helena. (2013, 1 April). Wawancara personal. Publikasi Elektronik: Erha Concept. (n.d.). 12 April 2013. http://www.erha.co.id/ SWA. (2006, 26 Januari). Ekspansi Erha. 23 Mei 2013. http://swa.co.id/listedarticles/ekspansi-erha Van Kreij, Kamiel. (2008). Sensory intensification in architecture. 5 Mei 2013. Den Haag. Technical University Delft , Faculty of Architecture. http://www.zwartzweeds.nl/Kamiel_van_Kreij_Sensory_Intensification_in_Architectur e.pdf
20 Peran pengalaman..., Neysha Adzhani, FT UI, 2013
Universitas Indonesia