PERAN JASA NOTARIS DALAM PENYELESAIAN WARISAN Oleh: H. Syahril Sofyan Direktur Sekolah Pascasarjana UNPAB ABSTRAK Secara moral dalam menjalankan jabatannya seorang Notaris bertanggung-jawab menurut kode-etik jabatannya dan kelak akan dipertanggung-jawabkannya di hadapan Dewan Kehormatan Daerah Dalam ajaran atau doktrin hukum Eropa Kontinental, seorang Notaris berkewajiban untuk mencegah terjadinya sengketa dalam setiap pembuatan akta-akta dihadapannya (anti trial role), Pasal-16 ayat (1) huruf-a UUJN dalam menjalankan jabatannya mewajibkan Notaris untuk bertindak jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak serta menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum dalam menjalankan jabatannya PENGANTAR Kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia dengan tetesan darah, keringat dan air mata anak-anak bangsa ternyata menyisakan hukum peninggalan kolonial Belanda berupa penggolongan penduduk sekaligus penggolongan hukum bagi bangsa Indonesia sejak proklamasi dan yang hingga kini memaksa para praktisi hukum untuk senantiasa berpikir terkotak-kotak sesuai dengan penggolongan hukum dari WNI yang kepentingan hukumnya hendak diurus dan dilayani. Khusus dalam bidang pewarisan, tidak dapat disangkal bahwa sistem hukum waris menurut Hukum Adat, Hukum Perdata BW dan Hukum Islam yang ketiganya hingga kini masih berlaku ternyata cukup membingungkan para praktisi hukum, termasuk para Notaris yang sehari-hari berkecimpung dalam bidang pembuatan akta (akta-akta) yang berhubungan dengan penyelesaian warisan menurut hukum waris berdasarkan ketiga system hukum itu, apalagi bagi para “end-user” dari hukum itu sendiri. Dalam dunia kenotariatan, dikenal apa yang disebut dengan Undang Undang tentang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 yang mulai berlaku tang gal 6 Oktober 2004 yang menggantikan Reglement op het Notarisambt in Indone sie menurut Stb. 1860/3, mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860, dan sebagai konsekwensi dari lahirnya Undang-Undang baru itu dimulailah paradigma baru dalam hukum kenotariatan di Indonesia menggantikan paradigma lama yang sebelumnya sudah dikenal.dalam praktik hukum kenotariatan, khususnya dalam hal teknis penyelesaian masalah warisan di Indonesia, Orientasi penulisan makalah ini lebih menjurus kepada pelaksanaan tugastugas Notaris dalam praktek, khususnya dalam membuat akta-akta pemisahan dan pembagian harta warisan di Kota Medan, lebih khusus lagi bagi orang-orang yang
Vol. 3 No.1 April 2010
ISSN : 1979 - 5408
tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek), oleh karena itu landasan pijakan dalam membuat uraian dalam makalah ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan semua peraturan tertulis yang berhubungan yang tentu saja hanya berlaku bagi orang-orang yang dinyatakan tunduk kepadanya. Selain itu hukum Islam yang berhubungan dengan uraian itu, sebagaimana dimaksudkan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 juncto Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, demikian juga dengan Hukum Adat. Tujuan akhir penulisan makalah ini adalah untuk memicu lahirnya wacana bagi pembentukan hukum nasional yang akan berlaku bagi WNI di masa depan, khususnya dalam bidang penyelesaian warisan dalam kerangka mencapai kepastian hukum, kepastian hak dan kepastian kewajiban bagi subjek yang terkait. TUGAS NOTARIS SECARA UMUM Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat PJN) di Indonesia mengatakan bahwa para Notaris adalah pejabat-pejabat umum, khusus berwenang membuat akta-akta otentik mengenai semua perbuatan, persetujuan dan ketetapanketetapan, yang untuk itu diperintahkan oleh suatu Undang-Undang umum atau yang dikehendaki oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan terbukti dengan tulisan otentik, menjamin hari dan tanggalnya, menyimpan akta- akta dan mengeluarkan grosse-grosse, salinan-salinan dan kutipan-kutipannya, semuanya itu sejauh pembuatan akta-akta tersebut oleh suatu Undang-Undang umum tidak juga ditugaskan atau diserahkan kepada pejabat-pejabat atau orangorang lain. Dari rumusan Pasal 1 PJN itu jelaslah bahwa tugas Notaris antara lain adalah membuat akte-otentik. Penggunakan anak kalimat :”…antara lain…” untuk menjelaskan bahwa selain membuat akte otentik, masih ada lagi tugas-tugas Notaris yang lain, yaitu melegalisasi tanda-tangan dan menerima pendaftaran dari surat-surat di bawah tangan serta tugas lain yang tidak ada relevansinya dalam uraian dan pembahasan dalam tulisan ini. Selanjutnya Pasal-1868 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akte-otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya. Sedangkan Pasal-1870 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu akta otentik memberikan di antara para pihak atau ahli-waris ahli-warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Yang dimaksud dengan “bukti yang sempurna” itu adalah bahwa akta otentik itu, bila dibuat menurut prosedur yang ditentukan oleh PJN, UUJN dan peraturan lain yang ada sudah menjadi alat bukti yang sempurna di antara para pihak dalam suatu perkara tanpa perlu lagi dibuktikan keberadaan dan kekuatannya.
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu
337
Vol. 3 No.1 April 2010
ISSN : 1979 - 5408
TUGAS DAN PERAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN WARISAN Sesuai dengan tugasnya membuat akta otentik atau melegalisasi tandatangan para pihak dalam surat-surat dibawah tangan, ataupun mendaftarkan surat di bawah tangan, maka pembuatan akta boedelscheiding juga mengikuti kewenangan yang melekat kepada Notaris disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan hukum dari para penghadap yang bersangkutan. Sejak kemerdekaan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan untuk memperoleh pelayanan hukum bagi setiap WNI guna memperoleh akta-otentik sebagai bukti perbuatan hukum yang telah dilakukannya, maka sentuhan jasa Notaris mulai merambah kepada para WNI tanpa mempersoalkan ke dalam golongan hukum manakah termasuk WNI yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan Hukum Islam yang berlaku universal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, tugas-tugas sebagai Notaris itu sudah diintrodusir oleh ayat 282 dari Al-Quran Surat Al-Baqarah, jadi perintah Allah SWT kepada ummat manusia untuk menuliskan transaksi (muamalah) yang mereka lakoni sudah turun 14 abad yang lalu. Jadi bagi WNI muslim yang bertugas sebagai Notaris dan yang menyadari bahwa tugasnya melaksanakan jabatannya sesuai perintah Al-Quran itu sebenarnya sudah beribadah menurut agama Islam dan jelas akan memperoleh ganjaran pahala dari Allah manakala ia benar-benar melaksanakan tugasnya sesuai aturan main yang ada, sebaliknya ia akan mendapat laknat dan murka Allah SWT sekaligus dosai apabila ia melaksanakan tugasnya menyimpang dari ketentuan yang ada, apalagi kalau sebagai akibat dari penyimpangan yang dilakukannya mengakibatkan terjadinya kerugian bagi pihak lain. Praktis teknik membuat akta yang diintrodusir oleh PJN dan UUJN sesuai dengan kehendak KUHPerdata dapat diterapkan untuk melaksanakan pemisahan dan pembagian harta warisan bagi yang ingin melaksanakan pembagian harta warisan dari seorang muslim yang telah meninggal dunia di hadapan Notaris. Hanya saja bagi WNI yang termasuk golongan Bumiputra yang beragama Islam tak tunduk kepada ketentuan perwalian pengawas bila ada anak dibawah umur yang berhak atas warisan dimaksud sehingga praktis mengurangi peran Balai Harta Peninggalan selaku Wali Pengawas Bagi yang tunduk kepada BW, khususnya bila menyangkut dengan keberadaan (salah seorang atau beberapa orang) ahli-waris yang masih di bawah umur, orang yang pailit, orang yang diletakkan dibawah curatele maupun orang yang tak hadir, maka pembuatan akta boedelscheiding yang melibatkan kepentingan mereka senantiasa harus dihadiri oleh Wali atau Pengampu Pengawas yang dalam system hukum di Indonesia dijabat oleh Balai Harta Peninggalan. Tugas sebagaimana yang diemban oleh Balai Harta Peninggalan menurut norma yang ada di Indonesia ini sebenarnya tak dikenal dalam Hukum Adat asli di Indonesia, juga tak dikenal oleh Hukum Islam Indonesia atau Kompilasi Hukum Islam. Tugasnya yang jelas sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal-370 KUHPerdata, yaitu mengamat-amati dan seberapa perlu mewakili dan membela 338
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu
Vol. 3 No.1 April 2010
ISSN : 1979 - 5408
kepentingan ahli-waris yang tak bebas menyatakan kehendaknya itu apabila ternyata kepentingan sang ahli-waris bertentangan dengan kepentingan subjek yang mewakilinya. WEWENANG PEMBUATAN SURAT KETERANGAN HAK WARIS Surat Keterangan Hak Waris (verklaring van erfrecht) pembuatannya disesuaikan dengan kewenangan pejabat yang berwenang membuatnya dan kewenangan pejabat yang menerbitkannya disesuaikan pula menurut penggo longan hukum dan penggolongan penduduk yang berlaku bagi WNI yang bersangkutan. Untuk WNI yang termasuk ke dalam golongan hukum Eropa dan Timur Asing China, pembuatan surat keterangan hak warisnya dilakukan oleh Notaris, bagi yang termasuk ke dalam golongan Pribumi (tunduk kepada Hukum Adat) dibuat oleh Camat dan bagi penduduk yang tergolong ke dalam golongan Timur Asing Bukan China dibuat oleh Balai Harta Peninggalan. Tetapi tak dapat dimungkiri fenomena kesadaran WNI yang mencari kepastian hukum sekaligus kepastian hak serta kepastian kewajiban mereka dengan memintakan peran Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama untuk menerbitkan keterangan hak warisnya, dan dalam praktik jasa Pengadilan lazimnya diterbitkan dalam bentuk penetapan (beschikking) dan pada umumnya Notaris menerima penetapan atau keputusan hakim (vonnis) yang bersangkutan untuk dilaksanakan dengan atau melalui aktanya dalam pembagian warisan yang bersangkutan, tentu saja sesudah Notaris meyakinkan dirinya bahwa beschikking atau vonnis tadi sudah mempunyai kekuatan pasti (in kracht van gewijsde). Daftar Pusat Wasiat Tak dapat dimungkiri bahwa sudah banyak WNI yang berwasiat sebelum meninggal dunia dan sesuai dengan aturan yang ada, surat wasiat itu oleh Notaris yang bersangkutan pada awal dari bulan berikutnya dari bulan yang telah berjalan wajib dilaporkan ke Daftar Pusat Wasiat di Depkumham dan setiap orang yang berkepentingan dengan warisan si peninggal harta di Indonesia dapat menanyakannya lewat surat resmi ke Depkumham tentang apakah si Almarhum atau Almarhumah yang bersangkutan semasa hayatnya ada membuat wasiat yang diduga dibuat dihadapan salah seorang Notaris di Indonesia, juga dapat dipertanyakan apakah ada membuat wasiat di hadapan Pejabat Bidang Konsuler yang ada di KBRI kita di luar negeri. Semua surat wasiat yang dibuat dihadapan pejabat tersebut dapat dipertanyakan eksistensinya dan dimintakan salinan otentiknya dari Notaris yang bersangkutan atau pemegang protokolnya. Pengecheckan terhadap eksistensi surat wasiat ini untuk memastikan bagi Notaris dalam menentukan apakah solusi atau penyelesaian atas harta peninggalan (boedel afwikkeling) itu dilakukan secara ab-intestato atau secara testamentair. Menurut pengamatan penulis, dalam praktik banyak pejabat yang berwenang membuat Surat Keterangan Hak Waris, termasuk Pengadilan, sangat jarang menggunakan jasa Instansi ini guna mencari tahu apakah si mendiang yang hendak diselesaikan hartanya itu ada meninggalkan wasiat atau tidak. Jawaban Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu
339
Vol. 3 No.1 April 2010
ISSN : 1979 - 5408
tertulis dari instansi ini sangat diperlukan untuk menentukan cara penyelesaian boedel-warisan yang bersangkutan, apakah secara ab-intestato atau secara testamentair. Berpedoman dari jawaban tertulis yang diterbitkan oleh instansi tersebut Notaris yang akan membuat akta guna menyelesaikan boedel si Mendiang dapat menghubungi ahli-waris, atau minta ahli-waris menghubungi Notaris pemegang protokolnya untuk minta menerbitkan salinan akta wasiat itu untuk dipedomani dalam menyelesaikan boedel yang bersangkutan. Dalam Islam berwasiat ini sangat dianjurkan, apalagi kalau telah terdapat tanda-tanda akan datangnya maut atas diri seseorang, demikian juga dianjurkan bagi orang yang akan menempuh perjalanan jauh dalam rangka menunaikan ibadah haji. Dalam kaitannya dengan ayat 282 Al Quran Surat Al-Baqarah idealnya wasiat itu sebaiknya dilakukan tertulis, tetapi sejak kemerdekaan kewajiban untuk membuat wasiat secara tertulis ini belum terlihat norma hukum positifnya bagi WNI muslim yang tunduk kepada Hukum Adat . PERANAN BALAI HARTA PENINGGALAN Sesuai dengan Pasal-366 jo. Pasal-1072 jo Pasal-417 KUHPerdata lazimnya di Indonesia pembuatan akta boedelscheiding yang menyangkut orang yang tunduk kepada BW, khususnya yang melibatkan anak yang maih dibawah umur (minderjarige), senantiasa dihadiri oleh Balai Harta Peninggalan i.c. termasuk juga jika melibatkan ahli-waris lain yang tidak bebas menyatakan kehendaknya seperti orang yang dinyatakan pailit, tak-hadir (afwezig), dibawah kuratele (onder curatele gesteld). Semua konsep yang menyangkut dengan akta boedelscheiding itu terlebih dahulu wajib diketahui dan disetujui oleh Balai Harta Peninggalan sebelum ditanda-tangani oleh para pihak di hadapan Notaris. Campur tangan Balai Harta Peninggalan tak diperlukan lagi kalau terbukti bahwa semua ahli-waris sudah mencapai usia dewasa, ini berarti terbuka peluang untuk membuat akta boedelscheiding dalam bentuk akta dibawah tangan asalkan tanda-tangan para pihaknya dilegalisasi Notaris guna menjamin kebenaran penanda-tanganannya di belakang hari kelak. PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN Akta pemisahan dan pembagian itu wajib ditanda-tangani oleh segenap ahli-waris tanpa dibenarkan meninggalkan salah seorangpun diantara ahli-waris yang ada. Disini berlaku azas musyawarah untuk mencapai mufakat dalam kebulatan, artinya tak dibenarkan oleh UU bila terjadi ada salah seorang ahliwaris atau beberapa orang ahli-waris yang tertinggal (atau ditinggalkan) dalam penanda-tanganan akta karena akan mengakibatkan berlakunya syarat dapat dibatalkan (vernietigbaar) yang ditentukan dalam Pasal 1112 KUHPerdata terhadap akta yang dibuat dengan cara seperti itu.
340
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu
Vol. 3 No.1 April 2010
ISSN : 1979 - 5408
Bagi para praktisi menjadi perhatian utama apakah segenap ahli-waris benar-benar hadir dalam keadaan sehat dan waras dalam rangka memenuhi kewenangannya guna melaksanakan hak-haknya terhadap kepemilikan bersama atas harta peninggalan dimaksud, yaitu dalam hal penanda-tanganan akta (aktaakta) yang berkenaan dengan perbuatan hukum guna melakukan penyelesaian atas kekayaan yang ditinggalkan si peninggal harta. KESIMPULAN DAN SARAN Lembaga hukum seperti Notaris, Balai Harta Peninggalan (i.c. selaku Wali Pengawas, Pengampu Pengawas, Curator dalam Kepailitan, Pengurus kekayaan orang yang tak hadir dll.), Anak Dibawah Umur dan surat wasiat termasuk juga lembaga perwakilan bagi orang yang tak mampu mengurus diri dan harta serta kepentingannya sendiri serta teknik-teknik penyelesaian warisan pada dasarnya dikenal Islam, tetapi secara normatif sudah dikenal oleh KUHPerdata Indonesia melalui rumusan pasal-pasalnya, meskipun harus pula disadari bahwa lembagalembaga yang dikenal Islam itu belum sepenuhnya memasyarakat (membumi) menjadi norma hukum positif bagi WNI di Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan, oleh karena itu pada tempatnyalah dikemukakan wacana dalam forum ini untuk mulai memikirkan sekaligus meletakkan dasar untuk mewujudkan lembaga-lembaga hukum itu dalam hukum positif yang kelak akan berlaku (ius constituendum) bagi WNI secara unifikasi di Indonesia. PENUTUP Demikianlah gambaran singkat yang dapat disajikan seputar kegiatan notaris dalam melakukan penyelesaian warisan bagi WNI ditinjau dari sudut praktik di Medan dalam kaitannya dengan Hukum Islam. Tulisan ini kami akhiri dengan menyampaikan kutipan dari David Musa Pidcock dalam Foreword yang disampaikannya atas buku Christian Cherfils sebagai berikut : “For muslims this will come as no surprise when they realize that 96 % of the Code Civil i.e. The Code Napoleon is drawn entirely from Islamic Jurisprudence based on fiqh or rulings of Imam Malik” DAFTAR PUSTAKA Vide Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pasca Sarjana, 2003 keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 29 September 1982 No. 308/1982/PT/Pdt Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab-XVII Buku-II Reglement op het Notaris-ambt in Indonesie, ordonansi 11 Januari 1860, Stbld. 1860 Nomor 3, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1989, hal. 912. Stb. 1872/166 tentang Instructie voor de weeskamer in Indonesie juncto Bb. 5849 tentang peraturan rumah tangga Balai Harta Peninggalan. Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu
341
Vol. 3 No.1 April 2010
ISSN : 1979 - 5408
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3/1997 yang merupakan pelaksanaan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
342
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu