Peran dewan pengawas syariah terhadap pengawasan aspek syariah di baitul maal wa tamwil (bmt) Safinah Klaten
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Anik Arofah E 0003077
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP PENGAWASAN ASPEK SYARIAH DI BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT) SAFINAH KLATEN
Disusun oleh ANIK AROFAH NIM. E 0003077
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
AGUS RIYANTO, SH. MHum. NIP. 131 842 682
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP PENGAWASAN ASPEK SYARIAH DI BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT)
SAFINAH KLATEN Disusun oleh ANIK AROFAH NIM. E 0003077
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : Sabtu Tanggal : 29 Maret 2008
TIM PENGUJI
1. Mohammad Adnan, SH.,MHum. Ketua
: .............................................
2. Mohammad Jamin,SH.,MHum. Sekretaris
: .............................................
3. Agus Rianto,SH.,MHum. Anggota
: .............................................
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, SH.,MHum NIP. 131 570 154
MOTO DAN PERSEMBAHAN “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Ad-Dzariyat : 56)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.S. Muhammad : 7)
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasibnya sendiri" (Q.S. Ar-Ra'd : 13)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-‘Ankabut : 69)
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada: ALLAH SWT.; Ayah dan Ibu tercinta, beserta keluarga; Fakultas Hukum UNS; Pejuang-pejuang ekonomi Islam; Saudara-saudara seperjuangan di jalan Islam.
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillaahirobbil’aalamiin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas kehendak dan pertolongan-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum ini guna melengkapi syarat kelulusan pendidikan Sarjana Hukum. Salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sang murobbi sejati yang memberikan cinta yang tulus kepada umatnya dan suri teladan yang sempurna. Meningkatnya kesadaran umat Islam untuk menerapkan syariat, khususnya di bidang ekonomi menjadi salah satu faktor pendukung prospek perkembangan Lembaga Keuangan Syariah, terlebih setelah keluar fatwa MUI tahun 2003 yang menyatakan bahwa bunga haram hukumnya. Munculnya Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di tengah-tengah masyarakat ekonomi mikro selain menjadi alternatif bagi pengusaha-pengusaha mikro untuk lepas dari jeratan rentenir beralih pada lembaga keuangan yang aman, halal dan memberikan keringanan serta kemudahan mendapatkan modal usaha kecil. Namun belakangan muncul opiniopini dan berita serta beberapa penelitian yang mengungkapkan adanya praktek BMT yang ternyata menyimpang dari prinsip-prinsip syariah, alasan yang paling banyak diutarakan karena ketidakoptimalan peran Dewan Pengawas Syariah. Berangkat dari latar belakang tersebut penulis mencoba memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi syariah dengan melakukan penelitian mengenai peran DPS terhadap pengawasan syariah di BMT dengan mengambil studi pada BMT Safinah Klaten, karena BMT ini sudah berbadan hukum dan merupakan BMT terbesar di Klaten. Dalam penelitian ini penulis mengkaji permasalahan mengenai bagaimana peran DPS terhadap pengawasan aspek syariah di BMT Safinah Klaten, bagaimana pelaksanaan tugasnya dalam melakukan pengawasan syariah, serta apa hambatan yang dihadapi dalam menjalankan tugas serta solusi yang pernah diupayakan. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran untuk perkembangan ekonomi syariah khususnya dalam hal pengawasan aspek syariah pada lembaga keuangan syariah Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Terselesaikannya penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dorongan semangat, dan do’a dari banyak pihak. Atas konstribusi tersebut penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, SH.,MHum. selaku dekan Fakultas Hukum UNS dan telah memberikan banyak masukan untuk kesempurnaan laporan penulisan hukum ini. 2. Bapak Suranto, SH.,MH. selaku pembimbing akademik penulis, yang telah memberikan arahan dan dorongan untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 3. Bapak Agus Rianto, SH.,MHum selaku pembimbing penulisan hukum yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat bagi penulis.
4. Bapak Mohammad Adnan, SH.,MH. selaku kepala bagian Hubungan Masyarakat Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak dan Ibu Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS. 6. Bapak Samadi dan Ibu Tumiyem atas kasih sayangnya telah membesarkan dan mendidik penulis dengan segenap cinta, kesabaran, dan pengorbanan yang tak akan pernah dapat penulis membalasnya kecuali oleh Allah semata. 7. Devi Nur Vita Sari, terimakasih atas motivasi dan do’anya. Wujudkan citacitamu untuk menjadi muslimah yang sholekhah, dalam perjuangan dibutuhkan kesungguhan dan pengorbanan yang dilandasi oleh keikhlasan (mbak yakin kamu bisa, Ayo Semangat!), 8. Keluarga Besar P3KHAM LPPM UNS yang telah memberikan banyak hal berarti bagi penulis: Bapak Sunarno Danusastro yang memberikan nasihatnasihat bermanfaat; Ibu Sunny Ummul Firdaus yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk menimba ilmu di P3KHAM dan mengajarkan tentang aktualisasi diri, optimis dan survive; Pak Hendri yang memberikan cermin kesabaran; Ibu Aminah yang mengajarkan tentang kepercayaan dan ketelitian; serta adik-adik magang (Faisal, Rosyid, Tri dan Toni) terimakasih atas kebersamaan, kekeluargaan dan ilmu yang penulis dapatkan selama di P3KHAM. 9. Sahabat dan saudara seperjuangan terkhusus akhwat FH 2003 jazakillah khoir atas cinta dan ukhuwahnya, kalian telah menjadi sumber inspirasiku: Dayu (inspirasi Ketulusan & Kesetiakawanan); Ebta (inspirasi Cinta dan Keyakinan); Mila (inspirasi Keceriaan & Keberanian); Rosita (inspirasi Perjuangan dan Keistiqomahan); Atik & Jannati (inspirasi Syukur dan Kesabaran); Irma, Amik, & Devica (inspirasi Kegigihan & Harapan); Uchie, Rizka, Sholikhah dan akhwat ’03 lainnya jazakillah khoir atas spirit motivasinya. Semoga tali ukhuwah ini terus terjaga hingga akhirnya kita bertemu lagi di Surga, Uhibbuki Fillah! 10. Ikhwan seperjuangan dalam Jambrood (Jamaa’ah Muslim Brotherhood) 2003: Bambang, Cholid, Anas, Junaidi, Dwi, Taufik, Lutfi dan yang lainnya dalam keluarga besar Jambrood 2003, kebersamaan di Jambrood telah memberi pelajaran berharga bagi penulis, semoga rajutan benang brotherhood yang pernah disulam tidak terputus dengan semboyan ‘satu perjuangan satu arah tujuan’. 11. Generasi pembina, akhwat fillah angkatan 2000-2002: Mbak Androe, Mbak Lutfie, Mbak Nurul, Mbak Vita, Mbak Di-di, Mbak Lia, Mbak Ira, Mbak Wiwik, Mbak Andien dan yang lainnya, yang telah terlibat dalam proses tarbiyah penulis. Syukron Jazakillah khoir atas bimbingannya. 12. Generasi penerus 2004: Athina, Puteri, Nani, Fi’ah, Umi dan lain-lain, jaga dan bina ikatan hati kalian, ‘bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’ (Kalian adalah Generasi Luar Biasa! Jangan sia-siakan potensi yang ada). Spesial kepada Lina terimakasih banyak atas motivasi yang selalu diberikan, dan
bantuannya kepada penulis untuk menyelesaikan proposal penelitian, semoga Allah membalas dengan memberi kemudahan dalam segala urusan. 13. Generasi ‘Tangguh’ 2005 : Nunik, Aisyah, Wiwiek, Farin dan lain-lain. Setiap masa memiliki ujian dan cobaan yang sesuai dengan kemampuan rijal penghasungnya. Semoga keikhlasan, kesabaran dan ketawadhu’an senantiasa ada di hati kalian untuk menghadapi segala ujian dan cobaan. Keep Istiqomah! 14. Generasi ‘Harapan’ 2006 : Ade, Yeni, Mega, Pipin, Nia, Yaya, Nonie dan lainnya. Kontribusi kalian menjadi harapan dan telah dinantikan (Akan menjadi biasa atau luar biasa? Kita sendirilah yang memilih dan menentukannya!) Kuncinya adalah ‘Peka dan Peduli’. 15. FOSMI FH UNS, DEMA FH UNS, JN UKMI UNS, DEMA UNS, BEM UNS dan lembaga mahasiswa lainnya yang telah memberikan pengalaman berharga bagi penulis tentang arti perjuangan, pengorbanan dan keyakinan akan harapan. 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah memberikan kontribusi pada penulis baik langsung maupun tidak langsung, hingga dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. Penulis sadar bahwa penulisan hukum ini mungkin belum sempurna, sebagaimana kata pepatah ‘tiada gading yang tak retak’, namun demikian masukan yang bermanfaat penulis harapkan untuk perbaikan kedepan. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat. Surakarta, 05 Februari 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ................................................. iii HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................ v KATA PENGANTAR .............................................................................. vi DAFTAR ISI.............................................................................................. ix BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................ 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6 D. Manfaat Penelitian ............................................................... 7 E. Metode Penelitian ................................................................ 8 F. Sistematika Skripsi ............................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 15 A. Kerangka Teori .................................................................... 15 1. Tinjauan Umum Tentang Ekonomi Islam....................... 15 2. Tinjauan Umum Tentang Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) ......................................................... 22 3. Tinjauan Umum Dewan Pengawas Syariah.................... 34 B. Kerangka Pemikiran ............................................................. 40 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 43 A. Hasil Penelitian ..................................................................... 43 1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten ................................................................ 43 2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT ) Safinah Klaten .................................................. 57 3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten ................................................................ 64 B. Pembahasan........................................................................... 66 1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten ................................................................ 66 2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten .................................................. 76 3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten ................................................................ 81 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 84 A. Simpulan .............................................................................. 84 B. Saran ..................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 telah mengakibatkan banyak penderitaan dan kesengsaraan yang berat bagi rakyat Indonesia. Umat Islam merupakan penduduk terbesar di Indonesia, maka umat Islam lah yang paling terkena dan paling menderita akibat ambruknya ekonomi Indonesia tersebut. Oleh karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah umat Islam, maka kebangkitan ekonomi umat Islam di Indonesia dapat dikatakan sebagai kebangkitan perekonomian Indonesia. Umat Islam dalam usaha mengembangkan ekonomi, telah diperintahkan oleh Allah agar berusaha atau berikhtiar sekuat tenaga dan semaksimal mungkin dengan mengerahkan segala fasilitas dan potensi yang ada dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan hidup menjadi lebih layak dan sejajar dengan orang-orang yang hidupnya berkecukupan. Hal ini karena Allah tidak akan merubah nasib seseorang atau suatu kaum tanpa adanya upaya orang atau kaum tersebut untuk merubah nasib mereka sendiri, sebagaimana diFirmankan Allah SWT dalam Al Qur’an yang artinya sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan (nasib) suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan (malapeteka) terhadap sesuatu kaum, maka tidak akan ada yang dapat merubahnya dan sekali-kali tidak ada perlindungan bagi mereka selain Dia (Allah).” (Q.S Ar Ra’du ayat 11). “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah pada Allah sebanyakbanyaknya supaya engkau beruntung.” (Q.S Al Jum’ah ayat 10). dan juga didukung oleh sabda Rosulullah SAW yang artinya, “ Berusahalah untuk kehidupan duniamu, seolah-olah engkau akan hidup abadi (selama-lamanya) dan berbuatlah untuk akhiraatmu, seolah-olah engkau akan mati esok.”
Sebagai cikal-bakal munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia adalah berdirinya Bank Syariah yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia. Pendirian tersebut berawal dari workshop yang diadakan MUI pada tahun 1990 membahas bunga bank. Workshop inilah yang menjadi momentum penting dari pendirian bank syariah di Indonesia, karena dalam salah satu keputusannya dengan jelas merekomendasikan pendirian bank syariah untuk melayani masyarakat yang meyakini bunga bank identik dengan riba, dan oleh karenanya haram. Ide ini terus bergulir dan dengan perjuangan panjang akhirnya pada 1 November 1991 Bank Muamalat Indonesia didirikan dengan kerjasama Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI) dan MUI (Adiwarman A Karim, www.kesultananfansur.com, 2007). Pada
tahun
1999
MUI
mengeluarkan
Surat
Keputusan
No.754/MUI/II/1999 tentang Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bertugas membawahi seluruh Dewan Pengawas Syariah (DPS) / Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) di Indonesia. Fungsi utama dari DSN adalah menggali,
mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip hukum Islam (syariah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan LKS sehingga ada keseragaman fatwa, serta mengawasi implementasinya. Keluarnya Fatwa MUI tentang Dewan Syariah Nasional tersebut semakin menguatkan struktur kelembagaan bank syariah sehingga turut mendorong pertumbuhan bank syariah yang ikut berpengaruh munculnya lembaga-lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah, diantaranya adalah Asuransi Syariah, Transaksi Foreign Exchange Syariah dan Perdagangan Bursa Saham Syariah, Pegadaian Syariah, Bank Perkreditan Syariah (BPRS), serta Koperasi Syariah yang lebih dikenal dengan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Prospek perkembangan Lembaga-lembaga Keuangan Syariah tersebut didukung oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut (Agus Siswanto, 2006: 9): 1. Keluarnya Fatwa bunga haram dari MUI yang di release tanggal 16 Desember 2003.
2. Meningkatnya
kesadaran
umat
Islam
untuk
melakukan
praktek
berekonomi secara syariah. Sebagai indikatornya adalah pesatnya pertumbuhan Bank Syariah, Asuransi Syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. 3. Penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, memberi peluang pasar yang potensial untuk produk-produk berbasis syariah. 4. Tingkat
pendidikan
masyarakat
yang
semakin
baik
sehingga
perkembangan ilmu ekonomi syariah juga semakin baik. 5. Kondisi ekonomi global yang dilanda krisis, menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem alternatif penyelesaiannya. 6. Institusi bisnis syariah yang telah terbukti mempunyai daya tahan tinggi terhadap krisis, dan menerapkan prinsip adil. Menurut data Bapenas tahun 2005 terdapat sekitar 40 juta usaha mikro yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sementara itu keberadaan lembaga keuangan yang mampu menjangkau dan melayani para pengusaha mikro ini sangat terbatas. Selain itu sektor usaha mikro dewasa ini tengah mendapatkan perhatian dunia internasional, bahkan tahun 2005 dicanangkan sebagai tahun internasional pembiayaan mikro oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (www.luqmannomic.wordpress.com, 2007). Keberadaan BMT yang siap memberikan pinjaman modal tanpa agunan, dengan prosedur administrasi yang mudah, rendah biaya transaksi, dan yang tak kalah penting bebas bunga akan menjadi daya tarik bagi pengusaha mikro untuk beralih dari lembaga keuangan informal semacam rentenir kepada lembaga keuangan yang lebih aman, halal dan syar’i yaitu BMT. Hal ini merupakan peluang besar bagi BMT sebagai sebuah lembaga keuangan mikro syariah untuk berkembang dan mendapat dukungan dari pemerintah, baik dukungan dari segi modal, legalitas, pengawasan maupun infrastruktur. Disampaikan ketua Pusat Inkubasi Usaha Kecil PINBUK M. Amin Aziz dalam seminar ekonomi Islam di auditorium UNS pada tanggal 24 Maret 2007 bahwa pertumbuhan BMT cukup baik meskipun ada beberapa hambatan yang
dialami oleh BMT, salah satu diantaranya adalah belum kuatnya dukungan Pemerintah dari segi regulasi. Data dari Asosiasi BMT se-Indonesia (ASBINDO) pada tahun 2005 terdapat sekitar 3000 BMT, dari jumlah tersebut sekitar 1300 sudah berbadan hukum Koperasi sedangkan sisanya masih berupa Lembaga Swadaya Masyarakat. Pada tahun 2010 ditargetkan tercapai 10.000 BMT (M. Amin Aziz, 2007). Pada tahun 2004 Menteri Koperasi dan UKM mengeluarkan Surat Keputusan No. 91/KEP/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Dalam SK ini mengatur bahwa Dewan Pengawas merupakan salah satu syarat koperasi jasa keuangan syariah. Sebagaimana tugas DPS dalam perbankan, tugas DPS Koperasi jasa syariah juga untuk menjaga kepatuhan koperasi terhadap prinsip syariah di samping menerjemahkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sebelum bisa diterapkan. KepMen tersebut ternyata belum juga mampu mengatasi permasalahan hukum BMT. Hal ini karena bagi BMT yang belum berbadan hukum ada kemungkinan tidak ada DPSnya, sebab belum ada payung hukum yang dapat mengikat BMT yang tidak berbadan hukum koperasi harus memiliki DPS, sehingga bisa mengkibatkan lemahnya pengawasan aspek syariah yang seharusnya diterapkan dan dipatuhi. Permasalahan lainnya, meski sama-sama menjalankan fungsi intermediasi dan masa pertumbuhan yang berbarengan, namun produk yang ditawarkan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) lebih inovatif dan variatif dibanding bank syariah. Sebagian besar pengembangan produk BMT belum tersentuh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Direktur
Karim
Business
Consulting,
Adiwarman
A
Karim,
mengomentari 12 akad transaksi yang diajukan pengurus BMT kepada DSN. ''Saya yang pernah kerja di bank syariah saja belum pernah berfikir ada produk seperti arisan. Bagaimana mungkin orang bank bisa memikirkannya,'' kata Adi pada pelatihan pusat inkubasi usaha kecil (Pinbuk), Kamis (13/10/2006). Adiwarman menyayangkan DSN belum memberikan kontribusi dalam
pengembangan BMT. DSN MUI, menurut dia, lebih banyak mengawal perbankan dan asuransi syariah (www.pkes.org, 2006). M. Burhan, pengurus BMT Safinah di Klaten, mengakui inovasi produk pembiayaan BMT muncul dari keterbatasan. BMT tak punya referensi akad DSN MUI. Sementara akad yang ada di perbankan syariah amat terbatas untuk bisa dipraktikkan di BMT. Ia juga mengakui BMT belum dikawal Dewan Pengawas syariah (DPS) yang mumpuni. ''Banyak kyai yang pandai soal ibadah mahdhah, tapi kurang menguasai ilmu muamalah,'' kata Burhan pada pelatihan pusat inkubasi usaha kecil (Pinbuk), Kamis (13/10/2006). Tak heran beberapa praktik BMT akhirnya tidak sesuai syariah akibat ketidaktahuan pengurus dan lemahnya peran DPS. Dia mencontohkan banyak BMT yang mengambil dana program bantuan pemerintah untuk usaha kecil. Padahal pengembalian dana itu berbasis bunga bank. Sebelumnya ada yang berpendapat bahwa mengambil dana itu tidak apa-apa asalkan semua langsung disalurkan ke masyarakat. ''Tapi ternyata oleh DSN itu tetap dianggap haram,'' kata Burhan. Sementara dana pemerintah itu bisa menopang kehidupan BMT (www.pkes.org, 2006). Dalam buku berjudul “Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah”, Makhalul ‘Ilmi menyatakan bahwa sampai saat ini masih terdapat BMT-BMT yang menyalahi prinsip-prinsip syariah baik itu dalam penghimpunan maupun penyaluran dana (Makhalul ‘Ilmi dalam http://ghifamandiri.com, 2005). Pernyataan-pernyataan tersebut menarik untuk dikritisi dan dicermati, sebab BMT sebagai lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat harusnya memiliki perbedaan dan keunggulan tersendiri, yaitu BMT yang dijalankan secara agamis, dalam arti tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah dengan tidak meninggalkan ‘ruh’ profesionalisme dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum tentang sejauh mana peran Dewan Pengawas
Syariah terhadap pengawasan aspek syariah di BMT dengan mengambil studi pada BMT Safinah Klaten, serta hambatan yang dihadapi DPS dalam menjalankan tugasnya dan solusi yang telah diupayakan, dengan judul PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP PENGAWASAN ASPEK SYARIAH DI BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT) SAFINAH KLATEN. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peran Dewan Pengawas Syariah terhadap pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil ( BMT) Safinah Klaten? 2. Bagaimanakah pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah dalam pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten? 3. Hambatan apa saja yang dihadapi oleh Dewan Pengawas Syariah dalam melakukan pengawasan di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten dan Solusi yang telah diupayakan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a) Untuk mengetahui peran Dewan Pengawas
Syariah terhadap
pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten. b) Untuk mengetahui pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah dalam menjalankan perannya terhadap pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten. c) Untuk
mengetahui
hambatan-hambatan
yang
dihadapi
Dewan
Pengawas Syariah dalam melakukan pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten dan upaya praktis yang
telah ditempuh oleh Dewan Pengawas Syariah untuk mengatasi hambatan tersebut. 2. Tujuan Subyektif a) Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang hukum ekonomi Islam khususnya lembaga keuangan syariah Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) sebagai salah satu lembaga keuangan ekonomi mikro. b) Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai kesesuaian antara teori dan praktek di lapangan mengenai peran Dewan Pengawas Syariah dalam pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil. c) Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu Hukum pada umumnya dan dalam bidang Hukum Ekonomi Islam pada khususnya mengenai peran Dewan Pengawas Syariah terhadap pengawasan aspek syariah di lembaga keuangan mikro syariah (Baitul Maal Wa Tamwil) 2. Manfaat Praktis a) Dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman pada pihak-pihak yang terkait mengenai peran Dewan Pengawas Syariah dalam pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil dan permasalahan serta solusi dalam pelaksanaan peran tersebut. c) Memperkaya wacana dalam rangka mengembangkan Hukum Ekonomi Islam. E. Metode Penelitian
Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. “ Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman, cara seseorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi” (Soerjono Soekanto, 1986: 6). 1. Jenis Penelitian Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas hukum yang terdapat dalam masyarakat atau mengkaji hukum dalam realitas / kenyataan di dalam masyarakat (Soerjono soekanto, 1986: 51). 2. Sifat Penelitian Penelitian
ini
bersifat
deskriptif,
yaitu
penelitian
yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986:10). 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata (Soerjono Soekanto, 1986: 10).
4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Baitul Maal Wa Tamwil Safinah Klaten yang beralamat di Jalan Pramuka No. 60 Klaten 57411 telpon (0272) 327701 Fax. (0272) 324369. Pertimbangan penulis dalam
penentuan lokasi penelitian tersebut adalah bahwa BMT Safinah sudah berbadan hukum dan merupakan BMT terbesar di Klaten yang memiliki aset kurang lebih 30 (tiga puluh) milyar rupiah. 5. Jenis Data a) Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan obyek yang diteliti, yaitu peran DPS terhadap pengawasan Syariah di BMT Safinah Klaten. Adapun data penelitian ini diperoleh dari pengelola dan pengawas syariah BMT. Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode purposive sampling, di mana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dalam mengetahui masalahnya. Namun Demikian informan yang dipilih dapat menunjukkan informan lain yang lebih tahu, maka pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti (Patton dalam HB Sutopo, 1988:22). b) Data Sekunder Data sekunder adalah data pendukung data primer yang diperoleh secara tidak langsung melalui bahan kepustakaan dari buku, dokumen, laporan, literatur, Peraturan Perundang-undangan dan sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan masalah yang diteliti.
6. Sumber Data a) Sumber Data Primer Sumber data primer diperoleh dari sumber-sumber lapangan yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala
hal yang dapat berkaitan dengan obyek penelitian. Adapun data penelitian ini diperoleh dari pengelola dan pengawas syariah BMT. b) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder diperoleh dari sejumlah keterangan atau fakta–fakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan Perundang–undangan, laporan, arsip, literatur dan hasil penelitian lainnya. Sumber data sekunder dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu: (1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, diantaranya Al Qur’an, Undang-Undang Koperasi No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Keputusan Menteri Koperasi & UKM No. 91 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah, Keputusan Dewan Syariah Nasional MUI No. 1 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasioanal - Majelis Ulama Indonesia (PD DSN-MUI), Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah, serta Pedoman Akad Syariah Baitul Maal Wa Tamwil (PAS BMT) 002. (2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder sebagai pendukung data sekunder dari bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang berasal dari buku-buku, makalah, laporan penelitian serta artikel dari internet yang terkait dengan obyek penelitian. (3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier ini sebagai pendukung data sekunder dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia. 7. Teknik Pengumpulan Data a) Wawancara Teknik pengumpulan data dengan cara terjun langsung untuk memperoleh data yang valid. Studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara/intervieuw, yaitu suatu kegiatan pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi secara langsung dengan informan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti guna memperoleh data, baik secara lisan maupun tulisan atas sejumlah keterangan dan data yang diperlukan. Informan yang penulis wawancara adalah pengelola diantaranya manajer utama dan karyawan, serta dengan dewan pengawas syariah BMT Safinah. b) Studi Kepustakaan Merupakan pengumpulan data dengan membaca, mengkaji, menganalisis, dan membuat catatan dari buku yang di perlukan, seperti literatur, Peraturan Perundang-undangan, dokumen serta tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 8. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif dengan model interaktif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan prilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh ( Soerjono Soekanto, 1986: 242 ). Model analisis interaktif dilakukan dengan cara bahwa ketiga komponen pengumpulan data aktivitasnya berbentuk interaksi dengan
proses pengumpulan data berbagai proses siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak di antara ketiga komponen dengan komponen pengumpulan data, selama proses pengumpulan data berlangsung, sesudah pengumpulan data, kemudian bergerak di antara data reduction, data display, dan conclusion drawing, dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya (Miles & Huberman dalam HB. Sutopo 1988: 37). Analisis data meliputi tiga tahap komponen pokok pengumpulan data, yaitu: a. Reduksi data (data reduction) Reduksi data merupakan penelitian proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh serta tranformasi dari data “kasar” yang dimuat dari catatan tertulis. Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang menghasilkan kesimpulan riset yang dapat dilakukan. b. Penyajian data (data display) Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun dalam suatu kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigirasi mudah dipakai sehingga memberi kemungkinan pengambilan keputusan. c. Penarikan kesimpulan (conclution drawing) Penarikan kesimpulan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yang perlu diverifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap pengumpulan data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji.
Secara garis besar dapat digambarkan dalam gambar berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan Gambar 1: Analisis Kualitatif Model Interaktif F. Sistimatika Penulisan Hukum Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah,
tujuan
penelitian,
manfaat
penelitian,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan dibahas mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, meliputi: Tinjauan Umum Tentang Ekonomi Islam, Tinjauan Umum Tentang Baitul Maal Wa Tamwil, dan Tinjauan Umum Dewan Pengawas Syariah. Pembahasan yang kedua adalah mengenai kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan hasil penjelasan dari penelitian yang diperoleh di lapangan dan pembahasannya tentang Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten, Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten, serta Hambatan dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten dan Solusi yang telah diupayakan. BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN Bab akhir ini berisi tentang kesimpulan serta saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Ekonomi Islam a. Pengertian Tentang Ekonomi Islam Definisi mengenai ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Dr. Muhammad Abdullah al Arabi, yaitu: ” Ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan merupakan pembangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa” (Muhammad Abdullah al Arabi dalam Gemala Dewi, 2004: 33). Dari definisi tersebut Gemala Dewi membagi ekonomi islam terdiri dari dua bagian (Gemala Dewi, 2004: 34): Pertama adalah yang diistilahkan dengan ”sekumpulan dasardasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al Qur’an dan As Sunnah”, yang ada hubungannya dengan urusan-urusan ekonomi. Prinsip-prinsip dasar yang termasuk dalam bagian pertama ini tidak dapat berubah karena bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Prinsip-prinsip ini terbatas jumlahnya dan pada dasarnya mencakup kebutuhan-kebutuhan
pokok
yang
pasti
dihajati
oleh
setiap
masyarakat, tanpa peduli tingkat kemajuan ekonominya, sehingga cocok untuk setiap saat dan tempat. Kedua yaitu yang diistilahkan dengan ”Bangunan perekonomian yang didirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”. Maksud dari istilah tersebut adalah caracara penyesuaian atau pemecahan masalah ekonomi yang dapat dicapai oleh para ahli dalam negara Islam, sebagai pelaksanaan dari prinsip-
prinsip Al Qur’an dan As Sunnah di atas. Dalam pelaksanaan prinsipprinsip ekonomi, atau pada bidang-bidang lain yang tidak diputuskan hukumnya
oleh
prinsip-prinsip
dasar,
maka
diperbolehkan
menggunakan ijtihad untuk menemukan pendapat bagi pemecahan problem ekonomi menurut situasi dan kondisinya dengan petunjuk dari Al Qur’an dan As Sunnah. Sistem ekonomi Islam adalah bagian dari nilai-nilai dan ajaranajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak terpisahkan dengan aspek-aspek yang lain dari keseluruhan ajaranajaran Islam yang komprehensif dan integral (Tazkia Institut dalam Randy AW, 2005: 2). Sistem ekonomi Islam memiliki banyak keunggulan daripada sistem ekonomi lainnya, hal ini dapat dilihat dari tabel berikut: NO
Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialis Ekonomi Islam Ekonomi Liberal Ekonomi Sosialis
1
Sumber dari Al Qur’an, As Sunah, dan Ijtihad Berpandangan dunia holistik Kepemilikan individu terhadap kapital adalah nisbi
2 3
4
5
Mekanisme pasar bekerja menurut maslahat Kompetisi usaha dikontrol oleh diktum
6
Kesejahteraan fungsi dari jasmani, rohani dan akal
7
Profit motive diakui
Sumber dari pikiran dan pengalaman manusia Berpandangan dunia sekuler Kepemilikan individu terhadap kepemilikan adalah mutlak Mekanisme pasar dibiarkan bekerja sendiri Kompetisi usaha bersifat bebas dan melahirkan monopoli Kesejahteraan ditentukan oleh faktor-faktor jasadiyah Profit motive diakui
Hasil pikiran, filsafat dan pengalaman manusia Berpandangan dunia sekuler ekstrem Membatasi bahkan menghapus kepemilikan individu Mekanisme ekonomi dijalankan melalui perencanaan pusat Tidak ada kompetisi usaha karena semua diatur oleh pusat Kesejahteraan ditentukan oleh faktor-faktor jasadiyah
Profit motive tidak diakui
lewat cara-cara tanpa ada batasan sama sekali halal normatif Mengakui free Mengakui free Negara mengambil alih 8 enterprise dalam enterprise tanpa semua keiatan ekonomi koridor halal batasan apapun Pemerintah aktif Pemerintah sebagai Pemerintah sebagai pemilik, 9 sebagai pengawas, penonton yang pengawas, dan pengusaha pengontrol dan pasif dan netral utama perekonomian wasit yang adil Tidak dikenal, Menyamakan pendapatan 10 Mekanisme redistribusi hanya bila ada dan penghasilan individu pendapatan sangat tekanan dari menonjol dan berbagai kelompok diakui perbedaan pendapatan Tabel 1. Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialis (Tazkia Institut dalam Randy AW, 2005: 3) Perbedaan yang ada antara paham materialis, sosialis dan kapitalis
dengan
konsep
ekonomi
Islam
sangat
signifikan.
Kesejahteraan masyarakat yang diinginkan dalam konsep Islam tercemin dalam Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghoffur, yaitu masyarakat yang sejahtera dalam lindungan dan ampunan Allah SWT. Dengan kata lain kehidupan berekonomi yang baik bukanlah target akhir yang ingin dicapai oleh Islam, melainkan sebagai ibadah untuk mencari keridhoan Allah, sebagaimana diFirmankan dalam Al Qur’an sebagai berikut : ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Ad Dzariyat ayat 56). ”Dan diantara meraka ada orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari rodho Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S Al Baqarah ayat 207).
b. Ciri-ciri Ekonomi Islam Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang memiliki hubungan sempurna dengan agama Islam, yaitu adanya
hubungan antara ekonomi Islam dengan akidah dan syariat. Hubungan ini menyebabkan ekonomi Islam memiliki sifat yang menjadi ciri ekonomi islam yaitu (Gemala Dewi, 2004: 38): 1) Sifat Pengabdian (Ibadah) Pekerjaan ekonomi seseorang akan bernilai ibadah apabila dimaksudkan untuk mencari keridhoan Allah, artinya harus dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan perintah Allah serta dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tidak boleh melanggar laranganNya. Dalam Islam diajarkan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling banyak memberikan kemanfaatan untuk orang lain. 2) Cita-cita Yang Luhur Tujuan dari kegiatan ekonomi Islam bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata, tapi untuk memakmurkan bumi dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai khilafah atau pemimpin di muka bumi, yang nantinya amanah tersebut akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. 3) Memiliki Pengawasan Atas Pelaksanaan Kegiatannya Dalam lingkungan ekonomi Islam, disamping adanya pengawasan syariah yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada juga pengawasan yang lebih ketat dan aktif, yaitu pengawasan hati nurani yang telah terbina di atas kepercayaan akan adanya Allah SWT. Perasaan (pengawasan) hati nurani akan lebih mampu mencegah penyelewengan kegiatan ekonomi jika dibanding dengan pengawasan dari luar. 4) Keseimbangan Antara Kepentingan Individu Dan Masyarakat Islam mengakui kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat selama tidak terjadi pertentangan antara keduanya. Hak milik dan kebebasan individu diakui selama tidak membahayakan kepentingan orang banyak. Namun jika terjadi pertentangan, maka
Islam
mendahulukan
kepentingan
orang
banyak
di
atas
kepentingan individu. c. Asas-asas Ekonomi Islam 1) Kebebasan Berusaha Islam tidak membatasi bentuk dan macam usaha seseorang untuk memperoleh harta sesuai dengan kemampuan, kecakapan, dan ketrampilan masing-masing. Sebagaimana diFirmankan dalam Al Qur’an yang artinya, ”Dialah yang menjadikan bumi ini mudah buat kamu. Oleh karena itu berjalanlah di permukaannya dan makanlah dari rezekinya.” (Q.S. Asy Syu’ara’ ayat 15). 2) Pengharaman Riba Riba menurut pengertian bahasa berarti Az Ziadah yaitu tambahan atau kelebihan. Sedangkan dalam fikih Islam dikenal dalam tiga jenis, yaitu (www.pkes.org, 2006): a) Riba Fadl/riba buyu, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in), dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran ini mengandung gharar (ketidakjelasan) bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Dalam perbankan konvensional riba fadl dapat ditemui dalam jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai. b) Riba Nasi’ah/riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutangpiutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Riba ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Transaksinya mengandung pertukaran kewajiban menanggung
beban. Dalam perbankan konvensional riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, dan giro. c) Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Dalam perbankan konvensional riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit. Al Qur’an menyinggung masalah riba di beberapa surat, yakni surat Al Baqarah ayat 275-280, surat Al Imran ayat 130. surat An Nisaa’ ayat 161, dan surat Ar Ruum ayat 39. 3) Pengaharaman Jual Beli Samar / mengandung Sifat Penipuan (Bai’u Al Gharar) Al Gharar ialah suatu yang tidak ketahui pasti, benar atau tidaknya. Jadi Bai’u Al Gharar ialah jual beli yang tidak pasti hasil-hasilnya, karena tergantung pada hal yang akan datang atau kepada seseuatu yang belum diketahui yang kadang terjadi, kadang-kadang tidak (Gemala Dewi, 2004: 47).
4) Pengharaman Penyalahgunaan Pengaruh untuk Mencari Harta Islam mengharamkan usaha seseorang untuk mendapatkan harta dengan jalan menyalahgunakan kekuasaan atau pengaruh. Dalam hal ini Islam mengahapuskan usaha yang tersembunyi di balik apa-apa yang dapat diperoleh dengan cara ini, dan mengarahkannya kepada perbendaharaan kaum muslimin (Gemala Dewi, 2004: 48). 5) Pengharaman Pemborosan dan Kemewahan
Sebagaimana Islam mengatur mengenai cara-cara berusaha untuk mendapatkan harta, Islam juga mengatur cara-cara pengeluaran dan penggunaan harta. Islam melarang pengeluaran harta dengan cara pemborosan, sebagaimana diFirmankan dalam Al Qur’an: ”Sesungguhnya orang-orang pemboros adalah saudarasaudara setan, dan setan adalah kafir terhadap Tuhannya. ” (Q.S. Surat Al Isra’ ayat 27). ”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantaslah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Q.S. Surat Al Isra’ ayat 16). ”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. surat Al Furqan ayat 67). 6) Pengharaman Penimbunan Harta Pengaharaman terhadap penimbunan harta apabila barang yang ditimbun merupakan kelebihan dan kebutuhannya, karena seseorang diperbolehkan menimbun persediaan nafkah untuk keluarganya selam satu tahun sebagaimana dilakukan oleh Rosulullah, serta apabila penimbunan itu dilakukan untuk dijual pada saat-saat memuncaknya harga dan pada saat manusia sangat membutuhkannya. Dalil Al Qur’an Surat At Tawbah ayat ke 34-35, yang artinya ” Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” 2. Tinjauan Umum Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) a. Pengertian BMT
Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (makna lughawi) Baitul Maal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta (Dahlan dalam Sigit Purnawan Jati, www.msi-uii.net, 2004). Adapun secara terminologis, sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak (al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara, dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al- makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara (Sigit Purnawan Jati, 2004, www.msi-uii.net). Baitul Maal wa Tamwil, berasal dari kata baitul maal dan baitul tamwil. Baitul Maal artinya rumah harta, yaitu tempat penitipan dan penyaluran dana Zakat Infaq Sodaqoh (ZIS), wakaf, dan sumbangan social kemanusiaan. Baitul tamwil artinya rumah, yaitu tempat pengembangan bisnis, pengembangan usaha, balai usaha ekonomi produktif dalam meningkatkan kualitas hidup pelaku usaha mikro melalui kegiatan simpan pinjam sistem bagi hasil (Amin Aziz, 2007). Menurut Heri Sudarsono dalam buku “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi”, BMT terdiri dari dua istilah yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infak, shodaqoh, sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan
dan
penyaluran
dana
komersial
(http://ghifa-
mandiri.com/download/isi.doc, 2005) Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat ditarik pengertian yang menyeluruh bahwa BMT merupakan lembaga bisnis yang berorientasi
sosial
yang
dalam
mengoperasikan
kegiatannya
berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah. Dengan demikian di dalam
BMT terdapat dua peran yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yaitu perannya sebagai lembaga sosial dan juga sebagai lembaga bisnis. Dalam hal ini ketika suatu lembaga menamakan dirinya sebagai BMT maka secara de facto harus memiliki dua unit usaha sekaligus, yaitu usaha dalam bidang pengelolaan ZIS yang mewakili perannya sebagai lembaga sosial dan usaha dalam bidang perbankan syariah yang mewakili perannya sebagai lembaga bisnis, apabila salah satunya tidak ada maka tidak bisa disebut sebagai BMT tetapi baitul maal saja atau baitul tamwil saja. b. Sejarah BMT 1) Sejarah Baitul Maal Era Pemerintahan Islam Kejayaan Islam pada masa lampau, salah satunya ditopang oleh sistem logistik dan keuangannya yang begitu canggih, yaitu ”Baitul Maal”. Melalui inilah proyek-proyek raksasa dan prestisius mendapat backing financial. Islam mendapat simpati dan dukungan di kalangan warga di Jazirah Arab karena melalui sistem Baitul Maal itulah Nabi dan para sahabat membuat suatu sistem ekonomi yang berkeadilan dan membantu dhuafa. Bila Nabi mendapat amanah zakat dari umat Islam di waktu pagi hari, maka ba’da dhuhur, zakat tersebut sudah terbagi habis kepada mustahiq, terutama fakir miskin. Dana Baitul Maal juga banyak dipergunakan untuk memerdekakan budak, sehingga Baitul Maal ini berjasa besar dalam menghapus sistem perbudakan di wilayah Islam. Seorang sahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW menyatakan : “Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya… Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW selalu mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat)
di sisi beliau.” (Zallum dalam Sigit Purnawan, www.msi-uii.net, 2004). Keadaan seperti di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Kemudian pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Maal dalam arti yang lebih luas. Baitul Maal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau kantung (ghirarah) untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M. Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khatthab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Maal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya. Akan tetapi setelah penaklukan-penaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu era Khalifah Umar Ibnul Khatthab, Baitul Maal sudah membiayai sarana dan prasarana umum seperti pembangunan jalan raya, jembatan, dan irigrasi pertanian. Pada fase Umayyah di Damaskus, Baitul Maal membiayai proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Di sinilah gelombang intelektual Islam dimulai. Era Dinasti Abbasiyah di Baghdad, khalifah membangun perpustakaan AlHikmah,
sekolah-sekolah,
dan
perguruan
tinggi
seperti
Nidlomiyah. Baghdad kala itu sudah menjadi kota Metropolitan,
pada saat yang sama di Barat masih ‘gelap gulita’. Meski Khilafah Islamiyah hancur pada era imperialisme Barat, namun praktik Baitul Maal masih diteruskan ummat Islam dalam kelompokkelompok kecil seperti di masjid-masjid dan lembaga umat lainnya. Peran
Baitul
Maal
terus
berlanjut,
seperti
berhasil
membangun Perguruan Tinggi Al-Azhar di Mesir hingga kini memberi beasiswa gratis untuk jurusan yang mengkaji agama Islam di sana. Keberpihakan Baitul Maal terhadap kaum dhuafa juga tetap berlangsung. Bangladesh, misalnya, berhasil mengurangi penduduk miskin dan Malaysia yang mendanai generasi Islam yang hendak mencari ilmu mulai dari SD hingga ke program S3 atau doktor. Bahkan umat Islam mengembangkan tradisi Baitul Maal di negara-negara non-Muslim seperti di Amerika dan Inggris (www.luqmannoic.wordpress.com, 2007). Pelembagaan BMT diilhami oleh sejarah kuatnya posisi lembaga-lembaga ekonomi di masa awal kebangkitan ekonomi umat Islam, yaitu baitul maal (rumah harta) yang lahir di zaman Rasulullah SAW. Lembaga ini berfungsi sebagai badan logistik umat Islam. Namun demikian, baitul maal dan BMT punya banyak perbedaan, baik sejarah maupun perannya. Mengenai hal ini, Dr. Yusuf Qardhawi memaparkan pandangannya, bahwa baitul maal dalam Negara Islam terbagi menjadi
empat
(Dr.
Yusuf
Qardhawi
dalam
http://ghifa-
mandiri.com/download/isi.doc, 2005). Pertama, baitul maal khusus untuk zakat. Baitul maal ini mempunyai sistem kerja sendiri dan bertugas mengumpulkan dan menyalurkan zakat kepada beberapa sektor yang sudah dibatasi sesuai dengan tingkat kebutuhan. Kedua, baitul maal khusus untuk menghimpun hasil jizyah (upeti) dan kharaj (pajak hasil bumi) yang diambil dari kalangan
non muslim yang hidup berdampingan dengan umat Islam. Imbalannya, mereka diperlakukan seperti warga muslim biasa. Baik jizyah maupun kharaj, dipungut dari mereka sebagai padanan zakat dan berbagai shodaqoh yang dipungut dari umat Islam, seperti derma, zakat fitrah, dan denda akibat ketidaksempurnaan melakukan ibadah. Atas pajak yang mereka keluarkan, kaum muslimin
wajib
menjaga
dan
mengayomi
mereka
tanpa
membebani dengan wajib militer. Kharaj adalah pajak hasil bumi tahunan seperti yang diterapkan Umar terhadap tanah pertanian di Irak dan lainnya. Ketiga, baitul maal khusus untuk hasil rampasan perang (alGhanimah) dan barang temuan (al-Luqatahah). Kebijaksanaan ini diterapkan bagi mereka yang berpendapat bahwa kedua hal ini tidak dikenai zakat dan tidak pula wajib kepada mereka yang berhak. Keempat, baitul maal khusus untuk barang-barang tidak bertuan (tidak diketahui pemiliknya). Sedangkan Baitul maal pada masa sekarang (BMT), mempunyai peran sebagai lembaga sosial dan usaha dalam bidang perbankan syariah yang mewakili perannya sebagai lembaga bisnis, apabila salah satunya tidak ada maka tidak bisa disebut sebagai BMT tetapi baitul maal saja atau baitul tamwil saja. 2) Sejarah Baitul Maal Wa Tamwil di Indonesia a) Sejarah berdirinya Implikasi nilai-nilai syariah dalam bidang ekonomi adalah
terbentuknya
lembaga-lembaga
keuangan
yang
berlandaskan nilai-nilai syariah. Di Indonesia bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat. BMT mulai lahir sejak tahun 1995, setelah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kelahirannya diprakarsai oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan BMI. Hal ini juga didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam terhadap banyaknya masyarakat miskin (terutama umat Islam) yang terjerat oleh rentenir dan juga dalam rangka memberikan alternatif bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya yang tidak dapat berhubungan secara langsung dengan bank Islam dikarenakan usahanya tergolong kecil dan mikro. Namun demikian, sesungguhnya BMT sudah mulai ada di Indonesia sejak tahun 1992 yang diprakarsai oleh Aries Mufti, dengan mendirikan BMT Bina Insan Kamil di Jalan Pramuka Jakarta Pusat. Jadi, embrionya sejak
1992
tapi
belum
berkembang
(http://subkhan.wordpress.com, 2008). Semakin banyaknya orang-orang yang memiliki perhatian terhadap lembaga kecil ini, maka perlu adanya pembinaan dan pengawasan pada BMT-BMT serta dibutuhkan adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan jaringan antar BMT ataupun penghubung BMT kepada lembaga ekonomi yang lebih besar baik pemerintah atau swasta, dan tentunya juga dalam usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan BMT dimasa depan. Oleh sebab itu berdiri pulalah lembaga pembina BMT yang berupa Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), baik bernama Pusat Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK) maupun Dompet Dhuafa (DD) Republika (www.luqmannomic.wordpress.com, 2007). Menurut
data
Asosiasi
BMT
seluruh
Indonesia
(ABSINDO), hingga akhir Desember 2006 ada 3500 BMT yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah aset mencapai 2 triliun rupiah. Bahkan PINBUK, ICMI dan ABSINDO punya target mengembangkan 10.000 BMT di
tahun 2010. Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa BMT dapat berkembang pesat (http://subkhan.wordpress.com, 2008). Pertama, animo masyarakat bawah cukup besar untuk mendapatkan akses pembiayaan bagi pengembangan usaha mereka yang tidak dapat dipenuhi oleh perbankan dikarenakan prosedur dan administrasi bank yang ketat dan juga bank kurang berminat menyalurkan kredit kecil yang berkisar antara 500.000 rupiah – 5 juta rupiah. Kedua, berkaitan dengan keinginan sebagian masyarakat muslim untuk bermuamalah yang berprinsip pada syariah dan non ribawi. Ketiga, cerita sukses beberapa BMT turut mendorong orang untuk mendirikan lembaga serupa. Apalagi proses pendirian BMT relatif mudah dan tidak rumit.
b) Status badan hukum Badan hukum BMT hingga saat ini belum seragam, hal ini dikarenakan belum ada peraturan perundangan yang mengatur secara khusus keberadaan BMT. Sebagian ada yang berbadan hukum Yayasan, Koperasi, Perkumpulan atau tidak berbadan hukum sama sekali. BMT merupakan sejenis lembaga intermediasi dengan skala mikro, namun BMT bukan bank ataupun koperasi. Dilihat sekilas dari operasionalnya, BMT lebih menyerupai koperasi simpan pinjam yang menerapkan prinsip syari’ah. Oleh karena itu banyak kalangan ekonom Islam yang menyarankan badan hukum untuk seluruh BMT diseragamkan menjadi bentuk koperasi.
Tidak banyak BMT yang beroperasi sebagai bank, karena persyaratan
yang
berat
baik
kuantitatif
menyangkut
permodalan, maupun kualitatif seperti SDM, sistem dan prosedur tata cara pelaporan, dan pengawasan. Mengacu pada Undang-undang perbankan, BMT yang dalam kegiatannya menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dan menyalurkan kredit kepada masyarakat harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, sebagai sebuah bank. Apabila BMT menyatakan dirinya berbentuk koperasi simpan pinjam, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai koperasi, seperti Anggaran Dasar, keanggotaan, dan perangkat organisasi meliputi Rapat Anggota, Pengawasan, dan Pengurus. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orangorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan (Pasal 1 ayat (1) UU Koperasi No. 25 Tahun 1992). Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa. Sedang keanggotaan koperasi secara umum didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha koperasi. Meskipun demikian dalam koperasi ini dimungkinkan adanya anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Dalam pedoman umum AD/ART BMT yang diterbitkan oleh PINBUK, status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut: (1) Pada awal pendiriannya hingga mencapi aset lebih kecil dari Rp 100 juta, BMT adalah Kelompok Swadaya Masyarakat yang berhak meminta/mendapatkan Sertifikat
Kemitraan dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). (2) Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT diharuskan melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris setempat, antara lain dapat berbentuk : (a) Koperasi Syariah (KOPSYAH) (b) Unit Usaha Otonom Pinjam Syariah dari KSP (Koperasi Simpan Pinjam), KSU (Koperasi Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi otonom
termasuk
pelaporan
dan
pertanggung
jawabannya. BMT yang berbadan hukum koperasi harus tunduk pada UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian. Setiap koperasi yang berdiri harus mendapatkan ijin dari Kementerian Koperasi dan UKM. Oleh karena itu BMT yang berbadan hukum koperasi berada dalam pengawasan dan pembinaan Kementerian Koperasi dan UKM. Pada bulan September 2004 Kementrian Koperasi dan UKM mengeluarkan keputusan Kep.Men.Kop & UKM No.91/Kep/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Pada ketentuan peralihan pasal 50 disebutkan bahwa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) / Unit Simpan Pinjam (USP)-Koperasi yang ingin mengubah atau mengkonversikan kegiatan usahanya menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Keuangan Syariah dapat menjalankan usaha dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sedangkan Koperasi yang telah menyelenggarakan kegiatan pembiayaan Pola Syariah, diberikan kesempatan
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya keputusan ini, untuk menyesuaikan dan mengikuti segala peraturan yang berlaku dalam keputusan tersebut. c. Produk-produk BMT Penghimpunan dana dalam BMT tidak jauh berbeda dengan bank syariah yang juga salah satu fungsinya sebagai lembaga perantara (financial intermediary). 1) Penghimpunan Dana BMT a) Penghimpunan dengan akad Wadiah Prinsip
ini
dikembangkan
berdasarkan
ketentuan-
ketentuan sebagai berikut : (1) Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung BMT, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. BMT dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu intensif. (2) BMT harus membuat akad pembukuan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. (3) Terhadap pembukaan rekening ini BMT dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi. (4) Keuntungan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. b) Perhimpunan dana dengan akad Mudharabah Aplikasi prinsip ini adalah bahwa deposan atau penyimpan bertindak sebagai shahibul maal dan bank sebagai
mudharib. Dana ini digunakan bank atau BMT untuk melakukan pembiayaan akad jual beli maupun syirkah. 2) Produk Pembiayaan BMT a) Pembiayaan berdasar prinsip jual beli (1) Al Murabahah, yaitu jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak lembaga keuangan syariah, dalam hal ini BMT dengan nasabah. Dalam prakteknya, pembayarannya dilakukan secara cicilan setelah barang diserahkan kepada nasabah. (2) Bai’ As Salam, merupakan pembelian barang yang dananya dibayarkan
di
muka,
sedangkan
barang
diserahkan
kemudian. Menurut Sayyid Sabiq, as-salam dinamai juga as-salaf (pendahuluan), yaitu penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran disegerakan. (3) Bai’ Al Istishna, menurut jumhur ulama fuqaha, bai’ al istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh BMT dalam beberapa kali pembayaran. Untuk landasan hukum transaksi bai’ al istishna mengikuti landasan hukum bai’ as salam, mengingat bai’ al istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as salam. (4) Al-Ijarah, adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Pada prinsipnya prinsip al-ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada obyek transaksinya, dalam hal ini obyek transaksinya adalah jasa.
b) Pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil (1) Musyarakah, yaitu pembiayaan dengan akad kerjasama (syirkah) dimana BMT dan anggota membiayai usaha dengan penyertaan manajemen BMT di dalamnya. (2) Mudharabah, yaitu pembiayaan dengan akad kerjasama (syirkah) dimana BMT dan anggota membiayai usaha tanpa penyertaan manajemen BMT di dalamnya. c) Pembiayaan dalam kelompok jasa (1) Berdasar akad Wakalah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Dalam kontrak BMT wakalah berarti BMT menerima amanah dari investor yang akan menanamkan modalnya kepada nasabah. (2) Berdasar akad Kafalah, berarti jaminan yang diberikan oleh penanggung
kepada
pihak
lain
untuk
memenuhi
kewajibannya kepada pihak yang ditanggung, dengan kata lain, mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin kepada orang lain yang menjamin. (3) Berdasar akad Hawalah, berarti pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada si penanggung. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. (4) Berdasar akad Rahn atau gadai, adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pembiayaan yang diterimanya. d) Pembiayaan berdasar prinsip pinjam meminjam Berdasar akad Al Qard, yaitu pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali, dengan
kata lain qard adalah pemberian pinjaman tanpa mengharapkan imbalan. 3. Tinjauan Umum Dewan Pengawas Syariah a. Pengertian Pengawasan Syariah Pengawasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu hal, cara, perbuatan mengawasi; penilikan dan penjagaan; penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya perusahaan (Soeharso & Ana Retnoningsih, 2005). Pengawasan
oleh
suatu
badan
yang
berwenang
adalah
pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sah yang berdasar teori yang ada bahwa pengawasan dilakukan oleh badan yang berada diatasnya, agar tidak terjadi sebuah kontrak wewenang antara dua atau lebih badan pengawas dengan badan yang diawasi dimana badan yang mengawasi memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang diawasi (Ir. Sujamto, 1987). Makna pengawasan syariah secara etimologi (lughowi) dapat berarti riqabah atau penjagaan, pemeliharaan dan pemantauan. Sebagaimana tersebut dalam al Qur’an surat an Nisaa’ ayat 1 ”....Sesungguhnya
Allah
selalu
menjaga
mengawasi
kalian.”
sedangkan secara terminologi (maknawi) dapat berarti pemantauan, pemeriksaan dan investigasi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindari
terjadinya
kerusakan
(Muhammad
Ridwan,
www.kr.co.id, 2007). Pengawasan syariah yang dilakukan oleh badan atau lembaga yang berwenang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses kegiatan usaha pada satuan kerja organisasi dan memastikan bahwa seluruh aktivitas keuangan serta penetapan strategi dan tujuan organisasi tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh sebab itu
sistem pengawasan syariah harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar pengawasan yang menjadi bagian dari ajaran Islam, yaitu: 1) Jalbul mashalih, yaitu upaya untuk menjaga dan memaksimalkan unsur kebaikan suapaya dapat terjaga lima dasar resiko dalam kehidupan yakni resiko moral, resiko agama, resiko harta, resiko regenerasi dan resiko reputasi. 2) Dar’ul mafasid, yaitu untuk menghindarkan dari unsur-unsur yang dapat menimbulkan kerusakan baik moral maupun material. 3) Saddudz dzar’ah, yaitu upaya untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya pelanggaran terhadap syariah dan peraturan-peraturan lainnya. Pengawasan syariah harus dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan agar berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran dapat terdeteksi sejak dini. Pengawasan menyeluruh meliputi: 1) Riqabah musbaqah atau pengawasan prefentif yanag dilakukan pada tahapan penyusunan berbagai produk dan penetapan strategi. 2) Riqabah lahiqah atau pengawasan operasional yang dilakuan untuk memastikan praktifk bisnis seperti pelaksanaan kontrak pembiayaan atau sistem pemasarannya tidak menyimpang dari syariah. 3) Riqabah a’mal atau pengawasan pada aspek keuangan dan perilaku manajemen. 4) Riqabash dzatiyah atau pengawasan berbasis moral pada aspek individu pengurus dan pengelola bisnis tersebut. b. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah Keputusan DSN-MUI No. 01 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional, Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Lembaga keuangan syariah adalah setiap lembaga yang kegiatan usahanya di bidang keuangan yang didasarkan pada syariah atau hukum Islam, seperti perbankan, reksadana, takaful, dan sebagainya (Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000). Keputusan Menteri Koperasi dan UKM No. 91 tahun 2004 menyebutkan dalam ketentuan umum pasal 1 poin ke-19 bahwa Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh koperasi yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan beranggotakan alim ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan berwenang memberikan tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional. Kedudukan DPS dalam LKS sebagaimana diatur dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah adalah sebagai perpanjangan tangan mewakili DSN dalam mengawasi pelaksanaan fatwa-fatwa DSN di LKS. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah terhadap DPS adalah menyediakan ruang kerja dan fasilitas lain yang diperlukan DPS serta membantu kelancaran tugas DPS. Dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah di atur sebagai berikut: Keanggotaan DPS : 1. Setiap lembaga keuangan syariah harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota DPS. 2. Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.
3. Masa tugas anggota DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh lembaga keuangan syariah
yang
bersangkutan, atau telah merusak citra DSN. Syarat Anggota DPS : 1. Memiliki akhlak karimah 2. Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum. 3. Memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syariah. 4. Memiliki kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari DSN. Prosedur Penetapan Anggota DPS : 1. Lembaga keuangan syariah mengajukan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN. Permohonan tersebut dapat disertai usulan nama calon DPS. 2. Permohonan tersebut dibahas dalam rapat BPH-DSN. 3. Hasil rapat BPH-DSN kemudian dilaporkan kepada pimpinan DSN. 4. Pimpinan DSN menetapkan nama-nama yang diangkat sebagai anggota DPS Keputusan Menteri Koperasi & UKM tentang KJKS tidak mengatur mengenai syarat menjadi Dewan Pengawas Syariah, yang diatur dalam
aturan tersebut hanyalah mengenai pengangkatannya
dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Bahkan dalam keputusan tersebut juga tidak mengharuskan DPS untuk memiliki sertifikasi kelayakan atau rekomendasi dari DSN MUI untuk menjadi pengawas syariah. Sedangkan dalam UU Koperasi No. 25 Tahun 1992 juga tidak mengatur hal tersebut, pengaturan mengenai pengawas dalam UU ini juga masih bersifat umum, tidak secara
khusus mengatur mengenai pengawas syariah. Kedudukan pengawas pada koperasi bertanggung jawab kepada Rapat Anggota. c. Peran Dewan Pengawas Syariah Salah satu yang membedakan antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan konvensional adalah keberadaan DPS pada lembaga keuangan syariah. DPS memegang peran penting untuk memastikan bahwa lembaga keuangan syariah tidak melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah. Tugas utama DPS dalam Keputusan DSN No. 03 Tahun 2000 adalah
mengawasi
kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Sedangkan Fungsi utamanya adalah: 1) Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai halhal yang terkait dengan aspek syariah. 2) Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Dilihat dari tugas dan fungsi utama, maka peran DPS terhadap LKS adalah: 1) melakukan pengawasan atas perencanaan dan operasional lembaga keuangan syariah; 2) memberi nasihat dan saran kepada LKS mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah; 3) memberikan opini syariah; 4) mediator hubungan antara BMT dengan DSN terutama dalam setiap upaya pengembangan produk dan jasa yang perlu mendapatkan fatwa dari DSN;
Opini syariah adalah pendapat kolektif dari DPS yang telah dibahas secara cermat dan mendalam mengenai kedudukan / ketentuan syar’i yang berkaitan dengan produk atau aktifitas LKS. Opini syariah dapat dijadikan pedoman sementara sebelum adanya fatwa DSN mengenai masalah tersebut. Pada UU No. 25 tentang Koperasi, tugas pengawas adalah melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan dan pengelolaan
Koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya (Pasal 39 ayat (1)). Dalam rangka melaksanakan tugasnya, pengawas memiliki kewenangan meneliti catatan yang ada pada Koperasi dan mendapat segala keterangan yang diperlukan (Pasal 39 ayat (2)). Pada Keputusan Menteri Koperasi & UKM No. 91 tahun 2004 menyebutkan tugas Dewan Pengurus Syariah melakukan pengawasan pelaksanaan usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah / Unit Jasa Keuangan Syariah berdasarkan prinsip-prinsip syaria dan melaporkan hasil pengawasannya kepada pejabat (Pasal 32).
Kerangka Pemikiran Perkembangan perekonomian Islam di Indonesia tumbuh dengan baik dilihat dari pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia yang terus meningkat serta bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah yang baru. Sebagai cikal-bakal munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia adalah berdirinya Bank Syariah yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia. Pendirian tersebut berawal dari workshop yang diadakan MUI pada tahun 1990 membahas bunga bank. Dibentuknya Dewan Syariah Nasional oleh MUI semakin menguatkan struktur kelembagaan bank syariah sehingga turut mendorong pertumbuhan bank syariah yang ikut berpengaruh munculnya lembaga-lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah, diantaranya adalah Asuransi Syariah, Transaksi Foreign Exchange Syariah dan Perdagangan Bursa Saham Syariah,
Pegadaian Syariah, Bank Perkreditan Syariah (BPRS) serta Koperasi Syariah yang lebih dikenal dengan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Kehadiran BMT ditengah-tengah golongan masyarakat menengah ke bawah di harapkan dapat membantu mereka mengatasi permasalahan modal yang selama ini sulit didapatkan dari lembaga keuangan formal seperti bank serta menjadi alternatif bagi pengusaha mikro untuk beralih dari lembaga keuangan informal semacam rentenir kepada lembaga keuangan yang lebih aman, halal dan syar’i. Oleh sebab itu menjadi kewajiban bagi BMT untuk menerapkan prinsi-prinsip syariah sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Hadits, sehingga nama BMT tidak sekedar sebagai ’merek’ untuk menarik perhatian masyarakat demi mendapatkan keuntungan dari umat Islam yang menginginkan bertransaksi dengan cara syar’i. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penting adanya pengawasan aspek syariah terhadap BMT agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari prinsip-prinsip syariah dan lebih memberikan jaminan atau kepastian keamanan bagi pengguna jasa BMT. DSN MUI telah mengeluarkan keputusan No. 03 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah dan pada tahun 2004 Menteri Koperasi
dan
UKM
mengeluarkan
Surat
Keputusan
No.
91/KEP/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Dalam SK ini mengatur bahwa Dewan Pengawas merupakan salah satu syarat koperasi jasa keuangan syariah. Namun masih ada praktek dilapangan beberapa kasus BMT yang melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah, selain kendala belum optimalnya peran DPS, juga permasalahan lainnya adalah tidak adanya payung hukum bagi BMT yang mengakibatkan ketidakseragaman badan hukum. Hal ini dapat melemahkan pengawasan syariah pada BMT, karena tidak adanya aturan yang mengikat dengan jelas mengenai pengawasan syariah.
Dari uraian tersebut diatas, maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai peran Dewan Pengawas Syariah terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil dengan mengambil studi pada BMT Safinah Klaten. Penelitian ini berupaya untuk menemukan bagaimana peran Dewan Pengawas Syariah di sana, langkah-langkah yang dilakukan dalam menjalankan perannya serta hambatan-hambatan yang dihadapi dan solusi yang telah di upayakan, dengan harapan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai peran Dewan Pengawas Syariah dan permasalahannya serta dapat memberikan solusi atas permasalahan yang ada.
Penerapan prinsip-prinsip syariah
Pengawasan Aspek Syariah
Perkembangan Ekonomi Lembaga Keuangan Mikro (BMT)
Dewan Pengawas Peran dan Langkah Pengawasan Faktor penghambat dan solusi Upaya-upaya pengembangan / saran
Gambar 2 : Kerangka Pemikiran
--UU No.25 Tahun 1992; --KepMenKop& UKM No. 91 Tahun 2004; --Kep.DSN-MUI No. 01 Tahun 2000; --Kep.DSN-MUI No. 03 Tahun 2000
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian berdasarkan wawancara dengan para informan di BMT Safinah Klaten antara lain dengan pengelola yaitu, Bapak M. Burhan selaku manajer utama BMT Safinah dan Ibu Endang Purwanti selaku karyawan, serta dengan pengawas syariah Bapak Marwan Cholil. Penulis dalam wawancara mengkroscekkan data yang diperoleh dari sumber data yang satu dengan sumber data yang lainnya untuk mendapatkan kevalidan data, hasilnya data yang diperoleh dari satu sumber data dengan sumber data yang lainnya tidak bertentangan. Dari wawancara dengan ketiga sumber data tersebut diperoleh data yang penulis sajikan sebagai berikut: 1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten Mengenai peran Dewan Pengawas Syariah terhadap Pengawasan Aspek Syariah di BMT Safinah, penulis mencari data mengenai sejarah berdirinya BMT Safinah dan Badan Hukumnya, kedudukan DPS, tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS guna menganalisis jawaban atas rumusan masalah tersebut. Data-data tersebut diperoleh berdasarkan wawancara dengan Bapak M. Burhan pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008 dan Rabu tanggal 6 Februari 2008, Ibu Endang pada hari Rabu tanggal 6 Februari 2006, serta dengan Bapak Marwan Cholil pada hari Selasa tanggal 26 Februari 2008. Data-data yang diperoleh sebagai berikut:
a. Sejarah dan Badan Hukum BMT Safinah
Data ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan Bapak M. Burhan selaku manajer utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008 pukul 09.00 WIB dan Rabu tanggal 6 Februari 2008 pukul 09.30 WIB, bahwa Cikal bakal dari BMT Safinah berasal dari Persaudaraaan Remaja Muslim Kelurahan Klaten yang disingkat PRMKK yang terbentuk pada tahun 1994. Organisasi ini pada waktu itu aktif melakukan kegiatan sosial dimasyarakat. Sejarah berdirinya BMT Safinah berawal dari tahun 1994 PRMKK (diserahi oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) untuk melakukan sosialisasi Program Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) seluruh kabupaten Klaten. Program ini dilaksanakan oleh ICMI dengan maksud agar peserta sosialisasi mengetahui tentang BMT dan mendirikan BMT di Kabupaten Klaten. Pasca acara tersebut sebagai tindak lanjut maka dibentuklah Panitia persiapan pembentukan BMT Klaten, yang terdiri dari para remaja dan sesepuh termasuk tokoh agama. Akhirnya pada tahun 1996 panitia ini berhasil membentuk BMT Safinah, yang pada awalnya masih berstatus Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salaam, yaitu penuh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan. Pada tahun 1998, BMT Safinah mengajukan status badan hukum koperasi pada Dinas Koperasi di Klaten. BMT Safinah mendapat status badan hukum sebagai koperasi serba usaha (KSU) dengan nomor badan hukum 007/BH/KDK.11.24/8/98. Hingga saat ini badan hukum BMT Safinah masih berupa KSU, meskipun telah keluar badan hukum Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dengan keluarnya Kep. MenKop No. 91 tahun 2004. BMT Safinah belum mengajukan badan hukum KJKS, karena secara implikasi yang signifikan terhadap BMT tidak ada perbedaan dengan KSU, akan tetapi BMT Safinah sedang mempersiapkan untuk mengajukan badan hukum Koperasi Syariah dengan pertimbangan politis jangka panjang, ”kami belum mengajukan badan hukum KJKS, tapi nanti kami akan mengajukan dengan
pertimbangan aspek politis”, kata Bapak M. Burhan (wawancara pada hari Rabu 30/01/2008). Bapak M. Burhan menjelaskan alasan politis tersebut adalah bahwa KJKS sejarahnya berawal dari perjuangan BMT-BMT untuk mendapatkan badan hukum syariah, akhirnya dikeluarkanlah Kep.MenKop tersebut. Maka BMT-BMT yang dahulunya masih berbadan hukum KSU atau KSP seharusnya mengajukan badan hukum baru yaitu KJKS, sehingga perjuangan tidak sia-sia serta pemerintah dapat melihat kesungguhan BMT-BMT untuk mendapatkan pengakuan dan payung hukum. Mengenai perlakuan Dinas Koperasi Klaten terhadap koperasi yang berbasis syariah dengan yang berbasis konvensional, Bapak M. Burhan mengatakan tidak ada pembedaan perlakuan antara koperasi yang
menggunakan
prinsip
syariah
dengan
koperasi
biasa
(konvensional), selain itu Dinas Koperasi tidak meminta laporan hasil pengawasan syariah. Bahkan para pejabat Dinas Koperasi banyak yang tidak paham dengan produk-produk syariah BMT karena tidak memiliki kompetensi di bidang ekonomi syariah. Namun dari Departemen Koperasi dan UKM memberikan bantuan pendanaan yang dikhususkan untuk Koperasi yang kegiatannya mendasarkan pada prinsip syariah, bantuan tersebut tidak mengandung unsur bunga atau dalam islam disebut riba. Sebagai baitul maal wa tamwil, BMT Safinah mempunyai dua bagian yaitu bagian maal dan bagian tamwil. Bagian Maal BMT Safinah adalah bagian integral dari BMT Safinah yang berperan sebagai amil zakat, bertugas untuk mengelola dan memberdayakan zakat, infak, dan shodaqoh bagi pengembangan dan peningkatan kualitas
hidup
kaum
dhuafa.
Program-program
bagian
maal
diantaranya: a. Beasiswa pendidikan anak yatim/ yatim piatu/ dhuafa dalam bentuk beasiswa pendidikan
b. Pendampingan belajar privat dan intensif bagi siswa beasiswa c. Subsidi pondok pesantren mitra BMT Safinah d. Santunan kesehatan bagi dhuafa e. Kajian kemandirian berupa rangkaian training pengembangan potensi kemandirian diri f. Laboratorium wirausaha bagi pengusaha pemula. Sebagai baitul tamwil BMT bertugas menghimpun, mengelola serta
menyalurkan
dana
untuk
suatu
tujuan
profit
oriented
(keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah), jual beli (bai’u bitsaman ajil / angsur, murabahah / tunda), maupun sewa (al-alijarah) mempunyai produk sebagai berikut: a. Produk
Penggalangan
dana,
berupa
Simpanan
berjangka,
Simpanan INVESYA (Investasi Syari’ah), SIMKUS (Simpanan Khusus), Simpanan Pendidikan, Simpanan Qurban, dan Si MUDAH (Simpanan Mudharabah). Semua produk simpanan tersebut menggunakan akad mudharabah. b. Produk Pembiayaan, berupa Murobahah, Wakalah, Ijarah, dan Qardh Hasan. BMT Safinah tidak menerapkan ganti rugi (ta’widh) dan sanksi (ta’zir) jika anggota atau pengguna jasa melakukan wan prestasi, tapi diselesaikan dengan kekeluargaan (wawancara dengan Ibu Endang pada hari Rabu tanggal 6/02/08 pukul 90.00 WIB). Hal ini dengan pertimbangan karena BMT menggunakan prinsip-prinsip syariah, dimana jika terjadi perselisihan dalam syariat diajarkan untuk diselesaikan dengan musyawarah, dan selama ini jika terjadi suatu permasalahan dengan anggota dapat diselesaikan dengan baik melalui musyawarah. Bapak M. Burhan mengutarakan hal yang senada dengan Ibu Endang bahwa bagi BMT Safinah perjanjian adalah amanah yang harus ditunaikan, yang pertanggung jawabannya bukan sekedar dengan pihak
yang
diajak
berjanji
saja,
tetapi
juga
pasti
akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Jadi jika terjadi wan prestasi
yang dilakukan anggota, maka BMT akan mengingatkan dan tidak meminta ganti rugi atau memberi sanksi tetapi mengembalikan pertanggungjawabannya kepada Allah SWT Hal tersebut dipandang penting bagi BMT Safinah, bahwa BMT sebagai LKS berbeda dengan lembaga keuangan konvensional. Jika lembaga keuangan konvensional berorientasi pada keuntungan didunia (profit oriented) dan semata-mata kegiatan dilakukan dengan motif ekonomi. Sedangkan dalam lembaga keuangan syariah, orientasinya adalah keuntungan dunia & akhirat, artinya kegiatan ekonomi yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan di dunia adalah dilandasi dalam rangka mendapatkan ridho Allah SWT. b. Kedudukan DPS BMT Safinah Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak M. Burhan selaku Manajer Utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008 pukul 09.00 WIB dan Rabu 6 Februari 2008 pukul 09.30 WIB, diperoleh data bahwa BMT Safinah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang disebut Pengawas Syariah. BMT Safinah terbentuk dengan landasan untuk menegakkan syariat Islam, oleh sebab itu dalam struktur BMT Safinah keberadaan Pengawas Syariah adalah wajib yang bertujuan untuk mengawasi dan memastikan bahwa BMT Safinah dijalankan dengan menegakkan prinsip-prinsip syariah serta tidak melakukan penyimpangan. Bagi BMT Safinah. Sejak awal terbentuk belum berbadan hukum hingga sekarang DPS ada dalam struktur BMT Safinah. Ketika awal terbentuk, BMT Safinah memiliki dua orang Pengawas Syariah, kemudian sejak berbadan hukum KSU hingga sekarang hanya memiliki satu orang Pengawas Syariah. BMT Safinah tidak mengangkat tiga orang sebagai DPS seperti telah diatur dalam keputusan DSN MUI yang memberi batasan jumlah minimal DPS pada tiap LKS tiga orang, hal ini karena pertimbangan Sumber Daya
Manusia (SDM) ulama di Klaten yang mumpuni
untuk diangkat
sebagai DPS sangat terbatas. Meskipun sebenarnya bisa saja mengangkat ulama dari daerah lain, tapi karena pertimbangan keefektifan bahwa DPS harus aktif memantau BMT, maka jika yang menjadi DPS bertempat tinggal jauh dari BMT dirasa tidak akan bisa optimal dan efektif dalam melakukan pengawasan. Selain itu BMT Safinah juga tidak memperbolehkan pengawas syariahnya untuk merangkap sebagai DPS di LKS yang lain, agar supaya bisa fokus dan all out untuk menjalankan tugasnya di BMT Safinah. Masa jabatan Pengawas Syariah tiga tahun dan dapat dipilih kembali. Prosedur pengangkatan DPS di BMT Safinah adalah di RAT (Rapat Anggota Tahunan), tidak melalui prosedur MUI (Majelis Ulama Indonesia) daerah maupun pusat, serta tidak berhubungan dengan
Dewan
Syariah
Nasional
untuk
pengangkatan
atau
penetapannya. Bahkan tidak memerlukan rekomendari dari MUI / DSN. DPS BMT bertanggung jawab dan melaporkan hasil pengawasannya pada Rapat Anggota. DPS BMT Safinah dipilih dari dan oleh anggota, syaratnya adalah: a. memiliki keahliah di bidang syariah b. memiliki akhlak yang baik serta c. cukup terpandang di masyarakat sebagai ulama yang dapat dipercaya. d. dipandang oleh RAT mampu menjalankan tugas sebagai DPS Tidak ada syarat rekomendasi dari DSN MUI ataupun syarat mempunyai sertifikasi kelayakan sebagai DPS, tetapi cukup dengan parameter dipandang oleh RAT layak untuk menjadi DPS. Hal tersebut menurut Bapak M. Burhan karena tidak ada ulama di Klaten yang memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, sedangkan data yang penulis peroleh dari wawancara dengan Bapak Marwan Cholil selaku
pengawas syariah pada hari Selasa tanggal 26 Februari 2008 pukul 10.30 WIB, ketika ditanya mengenai alasan kenapa tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, beliau menjelaskan
bahwa yang
diwajibkan untuk memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN adalah DPS Asosiasi BMT bukan DPS tiap BMT, selain itu untuk mendapatkan sertifikasi harus melalui uji kelayakan oleh DSN tentang kompetensi dan kafaah pengetahuan hukum ekonomi Islam, mengenai transaksitransaksi / muamalah dalam islam beserta dalil-dalilnya. Sehingga beliau merasa tidak perlu untuk mendapatkan atau mencari sertifikat kelayakan dari DSN karena hal tersebut tidak wajib baginya. Jika ternyata anggota tidak ada yang memiliki keahliah di bidang syariah atau tidak mampu, maka dapat mengangkat DPS di luar anggoa, dengan cara mengangkatnya terlebih dahulu sebagai anggota istimewa. Namun selama ini DPS BMT Safinah belum pernah diangkat dari luar anggota, karena beberapa ulama terkemuka di Klaten telah bergabung menjadi anggota BMT Safinah dan dipandang mampu untuk diangkat sebagai DPS. Pengawas Syariah BMT Safinah yang sekarang adalah mantan ketua MUI daerah Klaten. Hal senada disampaikan oleh Bapak Marwan Cholil selaku pengawas syariah pada wawancara hari Selasa 26 Februari 2008 pukul 10.30 WIB, bahwa sejak awal terbentuk BMT Safinah sudah memiliki Pengawas Syariah. Pengangkatannya melalui RAT, tidak ada rekomendasi dari DSN-MUI dan tidak ada tes seleksi atau uji kelayakan. Beliau juga tidak menjadi pengawas di LKS yang lain selain di BMT Safinah. Tugas dari DPS adalah mengawasi penerapan dan pelaksanaan prinsip-prinsip syariah di BMT Safinah, dengan tujuan agar tidak terjadi penyimpangan dari prinsip syariah. Kedudukan DPS dalam struktur BMT Safinah dapat dilihat dalam gambar berikut:
RAPAT ANGGOTA
PENASEHAT
Ketua
PENGAWAS Finansial
Sekretaris
Manajemen
Bendahara
Syariah
PENGURUS
MANAJER UTAMA
MANAJER
MANAJER
MANAJER
PEMBIAYAAN
OPERASIOANAL
PEMASARAN
ACCOUNT OFFICER
REMEDIAL
REMEDIAL
ANALISIS KEUANGAN
AKUNTANSI
PEMASARAN RETAIL
HEAD TELLER
PEMASARAN RETAIL
PEMASARAN RETAIL
LAYANAN INTERNAL
TELLER
Gambar 3: Struktur Organisasi KSU BMT Safinah Klaten
c. Tugas dan Wewenang DPS BMT Safinah
CUSTOMER SERVICE
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak M. Burhan selaku Manajer Utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008 pukul 09.00 WIB dan Rabu 6 Februari 2008 pukul 09.30 WIB, diperoleh data bahwa bagi BMT Safinah peran DPS sangat penting, karena BMT sebagai lembaga keuangan syariah yang belum begitu dipahami masyarakat, secara kompetensi pengelolanya masih belum diakui oleh masyarakat dapat benar-benar menjalankan prinsip syariah dalam operasional BMT, untuk itu dibutuhkan peran dari DPS untuk bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat bahwa BMT Safinah menjalankan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah. Berkat kepercayaan dari masyarakat lah maka BMT Safinah bisa berkembang dengan baik dan memiliki eksistensi di masyarakat, yang dapat menjalankan kedua fungsinya yaitu sebagai lembaga bisnis (baitul maal) dan lembaga sosial (baitul tamwil), bahkan mampu menjadi BMT terbesar di Klaten dengan aset kurang lebih tiga puluh milyar. Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS BMT Safinah mengacu pada Pedoman Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab DPS BMT yang terdapat dalam Pedoman Akad Syariah (PAS) 002 BMT. BMT yang berbadan hukum koperasi tidak memiliki pedoman pengawasan dan Tata Cara Pelaporan hasil Pengawasan yang dikeluarkan oleh Menteri Koperasi dan UKM. Meskipun sebenarnya ada Surat Keputusan DSN MUI tentang petunjuk pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah di Lembaga Keuangan syariah, tetapi Asosiasi BMT membuat sendiri pedoman tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil yang termuat dalam PAS 002 BMT. Pedoman tersebut dirumuskan oleh asosiasi BMT Jateng, dan kemudian dikukuhkan sebagai pedoman bagi seluruh anggota BMT Center, dimana BMT Safinah juga termasuk anggota BMT Center yang artinya terikat dengan pedoman tersebut. PAS 002 BMT adalah perbaikan dari PAS 001 BMT yang berisi pedoman teknis operasional
yang diturunkan dari fatwa DSN dan rekomendasi Lokakarya Syariah yang diselenggarakan Asosiasi BMT Solo dan BMT Center di Solo tanggal 6 Agustus 2005. Upaya pembuatan pedoman tersebut dengan maksud agar menjadi acuan bagi pengelola BMT untuk melakukan akad, sehingga tidak terpaku pada satu jenis akad, akan tetapi dengan akad yang lebih variatif sesuai dengan keluasaan dalam akad-akad syariah, serta agar terjadi penyeragaman model-model akad secara umum, sehingga memudahkan jika suatu ketika dilakukan audit syariah. PAS 002 BMT terdiri dari : BAB I
: merupakan batang tubuh dari Pedoman Akad Syariah, sebagaimana produknya
umumya meliputi
suatu
lembaga
penghimpunan
keuangan dana
dan
penyaluran dana, maka pada pedoman ini terdiri dari: Bab I.1 mengenai penghimpunan dana anggota, dan Bab I.2 mengenai pembiayaan dana BAB II : berisi skema-skema akad BAB III : berisi contoh-contoh akadnya BAB IV : berisi pedoman bagi DPS untuk memahami tugas dan kewenangannya, serta petunjuk pelaksanaan audit syariah. Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS BMT Safinah mengacu pada PAS 002 BMT meliputi : 1) Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional BMT terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, serta PAS BMT 002; 2) Menilai aspek Syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan BMT;
3) Memberikan opini dari aspek Syariah terhadap pelaksanaan operasional BMT secara keseluruhan dalam laporan publikasi BMT (audit syariah); 4) Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada dewan syariah asosiasi untuk diteruskan kepada DSN; 5) Menyampaikan hasil
pengawasan/ audit syariah sekurang-
kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Pengurus dan Pengelola, dan menjadi opini pada RAT. Jika produk dan atau jasa baru yang diusulkan sudah ada fatwanya, maka tugas DPS adalah memastikan kesesuaiannya terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, serta PAS BMT 002. Mekanisme permohonan produk dan jasa baru yang sudah ada fatwanya diusulkan oleh bagian marketing kepada manajer kemudian didiskusikan. Hasil diskusi bagian marketing dengan manajer kemudian disampaikan kepada pengurus, pengawas syariah dan penasihat. Setelah dibahas antara pengurus, pengawas dan penasihat, maka disetujui atau tidaknya produk disampaikan dan ditentukan disana, kemudian hasilnya disampaikan kepada manajer. Dalam pembahasan tersebut pengawas syariah memainkan peran penting untuk mengkaji apakah produk baru yang diajukan tersebut sesuai dengan syariah, dilihat dari akad-akadnya dan dilihat kesesuaiannya dengan fatwa yang telah ada. Berikut ini gambaran mekanisme pengajuan produk baru di BMT Safinah, jika produk tersebut telah ada fatwa dari DSN atau PAS 002:
Penasihat
Pengurus
DPS
Manajemen
Marketing
Usulan
Gambar 4: Mekanisme pengajuan produk baru yang sudah ada fatwanya Mengenai tugas mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan
kepada dewan syariah asosiasi untuk
diteruskan kepada DSN, yang dimaksud diteruskan kepada DSN bukan DSN secara kelembagaaan akan tetapi kepada dewan syariah asosiasi BMT
yang
anggotanya
terdapat
anggota
DSN.
Jadi
secara
kelembagaan atau struktural DPS BMT Safinah tidak ada hubungan dengan DSN, tapi ada hubungan secara personal dalam arti beberapa anggota atau pengurus DSN menjadi DPS asosiasi BMT. Mekanisme pengkajian produk dan jasa baru yang belum ada fatwanya setelah dikaji oleh Dewan Pengawas Syariah BMT kemudian diteruskan ke asosiasi BMT wilayah untuk dikaji dewan pengawas syariah asosiasi BMT, hasil kajian tersebut diteruskan ke asosiasi tingkat nasional untuk dikaji dan dimintakan opini kepada dewan syariah asosiasi tingkat nasional, dimana anggotanya ada dari pengurus DSN. Opini tersebut digunakan sebagai fatwa sementara sampai dengan adanya fatwa resmi dari DSN MUI. Permohonan fatwa baru ini tidak melalui DSN MUI secara kelembagaan, sebab mekanismenya lebih rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus melalui workshop ulama nasional. Padahal kegiatan BMT terus
berjalan dan tidak akan bisa berkembang dengan baik atau akan sangat terhambat jika harus menunggu keluarnya fatwa DSN MUI. Berikut ini gambaran mekanisme pengajuan fatwa baru di BMT: Dewan Syariah Asosiasi BMT Nasional
6
5
DPS Asosiasi BMT Wilayah
7 4 8 Pengurus
DPS BMT g3
9
Produk baru yang belum ada fatwa
2
Manajemen 1 Gambar 4: mekanisme permohonan fatwa baru Bapak Marwan Cholil juga mengutarakan bahwa tugas, tanggung
jawab, dan wewenangnya selaku pengawas syariah tidak berpedoman pada pedoman yang sudah dikeluarkan oleh DSN-MUI, karena tidak ada hubungan antara DPS BMT dengan DSN-MUI. DPS BMT punya pedoman tugas sendiri, namun termasuk dalam tugasnya untuk memeriksa kesesuaian akad yang ada di BMT Safinah dengan fatwafatwa akad transaksi syariah yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI (wawancara penulis pada hari Selasa 26/02/2008 pukul 10.30 WIB).
2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten Data ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan Bapak M. Burhan selaku manajer utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008 pukul 09.00 WIB, bahwa pengawasan syariah di BMT Safinah selama ini berjalan dengan baik, dengan parameter pengawas syariah aktif melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan aturan yang telah ada, yaitu PAS 002 BMT. Pengawasan dilaksanakan baik secara formal maupun informal 1) Secara formal a) Tiap bulan sekali DPS dapat memantau operasional BMT dengan meminta keterangan pada Pengelola (Manajer) dalam rapat pengurus. b) Setiap tiga bulan sekali DPS melakukan audit syariah, yang didahului dengan surat pemberitahuan kepada pengelola. Obyek yang akan diaudit terkadang disampaikan dalam surat pemberitahuan, sehingga pengelola dapat mempersiapkannya terlebih dahulu, namun terkadang juga tidak diberitahukan. Hasil audit menjadi opini yang disampaikan pada RAT. 2) Secara informal Dilakukan diluar mekanisme pengawasan secara formal, misalnya jika Pengawas menerima info-info / laporan dari pihak lain mengenai hal-hal yang negatif tentang penerapan prinsip syariah di BMT,
segera
mengkroscekkan
kepada
pengelola
mengenai
kebenarannya. Dalam rangka mendukung kinerja pengawasan syariah dan pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab selaku DPS, maka BMT wajib memberikan fasilitas kepada DPS, antara lain: 1) Mengakses data dan informasi yang diperlukan terkait dengan pelaksanaan tugasnya, serta mengklarifikasikannya kepada pengelola BMT;
2) Memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari segi syariah kepada pengelola BMT; 3) Memperoleh fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas secara efektif; 4) DPS dapat memperoleh uang jasa yang ditetapkan dalam RAT. Selain hal tersebut diatas, BMT Safinah juga memberikan kewenangan kepada DPS untuk menegur jika terjadi penyimpangan bahkan menghentikan kegiatan jika benar-benar terbukti menemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah atas kegiatan yang dilakukan oleh BMT Safinah. Pengujian substantif materi syariah terhadap produk BMT Safinah mengacu pada pedoman tugas, wewenang dan tanggung jawab BMT yang dikeluarkan oleh Asosiasi BMT di dasarkan pada akad yang digunakan pada produk yang bersangkutan. 1) Produk Penghimpunan Dana Anggota Pengujian substantif atas transaksi pembukaan simpanan dan investasi mudharabah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain sebagai berikut: a) Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh BMT kepada anggota, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan mudharabah telah dilakukan; b) Meneliti apakah pengisian formulir aplikasi simpanan dan investasi telah dilakukan secara lengkap sebagai salah satu persyaratan ijab qobul; c) Meneliti apakah akad simpanan dan investasi mudharabah telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang simpanan dan investasi; d) Meneliti apakah setoran simpanan dan investasi mudharabah telah menyebutkan jumlah nominal dan mata uang yang disetor secara jelas;
e) Meneliti apakah dalam penawaran produk simpanan dan investasi, BMT tidak menjanjikan pemberian yang ditetapkan dimuka dalam bentuk prosentase imbalan. 2) Produk Pembiayaan a) Murabahah Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain: (1) Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam; (2) Memastikan BMT menjual barang tersebut kepada anggota (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli pulsa marjin. Dalam hal anggota membiayai sebagian dari harga barang tersebut maka akan mengurangi tagihan BMT kepada anggota; (3) Meneliti apakah akad pembiayaan murabahah telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang murabahah; (4) Meneliti apakah akad wakalah telah dibuat oleh BMT secara terpisah dari akad murabahah, apabila BMT hendak mewakilkan kepada anggota untuk membeli barang tersebut dari pihak ketiga. Akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip-prinsip menjadi milik BMT yang dibuktikan dengan faktur atau kuitansi jual-beli yang dapat dipertanggungjawabkan; (5) Meneliti
pembiayaan
berdasarkan
prinsip
murabahah
dilakukan setelah adanya permohonan anggota dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada BMT. b) Ijarah Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah dilakukan dalam rangka
memperoleh bukti guna mendukung opini syariah atas transaksi tersebut yang antara lain: (1)
Meneliti penyaluran dana berdasarkan prinsip ijarah tidak dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah;
(2)
Meneliti apakah akad pembiayaan ijarah telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang ijarah;
(3)
Memastikan bahwa akad pengalihan kepemilikan dalam Ijarah Muntahiya Bit Tamlik dilakukan setelah akad ijarah selesai, dan dalam akad ijarah, janji (wa’ad) untuk pengalihan
kepemilikan
harus
dilakukan
pada
saat
berakhirnya akad ijarah; (4)
Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah untuk multijasa menggunakan perjanjian sebagaimana diatur dalam fatwa yang berlaku tentang multijasa dan ketentuan lainnya antara lain ketentuan standar akad;
(5)
Memastikan
besar
ujrah
atau
fee
multijasa
dengan
menggunakan akad ijarah telah disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.
c) Wakalah Pengujian substantif atas jasa wakalah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain: (1)
Meneliti apakah transaksi wakalah telah dilakukan sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002;
(2)
Meneliti apakah objek wakalah tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
(3)
Meneliti apakah para pihak yang melakukan akad wakalah telah memenuhi syarat dan rukun wakalah.
(4)
Meneliti apakah dalam penetapan fee atau ujroh yang dibebankan BMT kepada anggota (apabila ada) tidak mengacu pada suku bunga yang dikaitkan dengan beban pekerjaan yang diwakilkan oleh BMT kepada anggota.
d) Qardh Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi materi syariah atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip qardh dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna mendukung opini syariah atas transaksi tersebut yang antara lain: (1)
Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip qardh tidak dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah;
(2)
Meneliti apakah akad pembiayaan qardh telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS 002 tentang qardh;
(3)
Memastikan bahwa BMT telah memberikan kelonggaran waktu
yang
cukup
kepada
anggota
untuk
melunasi
kewajibannya dalam hal anggota tersebut mengalami kesulitan keuangan akibat penurunan usaha (business losses); (4)
Memastikan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan qardh dalam rangka dana talangan anggota adalah berasal dari modal BMT.
Tujuan pengawasan syariah yang menjadi tugas DPS BMT Safinah didasarkan pada tiap produk BMT Safinah, antara lain sebagai berikut: 1) Produk Penghimpunan Dana Anggota Tujuan pengawasan syariah oleh DPS atas simpanan dan investasi serta modal penyertaan dengan akad mudharabah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
a) Kegiatan produk simpanan dan investasi serta modal penyertaan telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah; b) Dalam pemberian bonus tidak boleh: (1) Diperjanjikan dimuka; (2) Berdasarkan pendapatan BMT yang belum diterima (accrual) tetapi harus berdasarkan pendapatan riil yang diterima BMT (cash basis); c) Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh: (1) Berdasarkan pendapatan BMT yang diterima tetapi harus berdasarkan pendapatan riil yang diterima BMT (cash basis); (2) Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad; d) Biaya
pengelolaan
simpanan
mudharabah
dan
tabungan
mudharabah menjadi beban BMT dan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada pembebanan biaya-biaya lain tanpa persetujuan anggota pemilik dana; e) Semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan simpanan investasi saham dan mudharabah, harus mengikuti ketentuan fatwa DSN-MUI dan PAS BMT 002.
2) Produk Pembiayaan a) Murabahah Tujuan
pengawasan
syariah
terhadap
pembiayaan
berdasarkan prinsip murabahah adalah untuk mendapatkan keyakinan, bahwa: (1)
Kegiatan pembiayaan murobahah telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
(2)
Akad
pembiayaan
murobahah
telah
disusun
dengan
mengacu pada fatwa DSN-MUI yang berlaku tentang pembiayaan murobahah serta ketentuan PAS BMT 002; (3)
Potongan tagihan murabahah (al-khashm fi al-murabahah) yang diberikan oleh BMT bukan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan suku bunga kredit tetapi diberikan untuk anggota yang memenuhi kriteria: (a)
telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu;
(b) mengalami penurunan kemampuan pembayaran. b) Ijarah Tujuan
pengawasan
syariah
terhadap
pembiayaan
berdasarkan prinsip ijarah, pada dasarnya sama dengan produk pembiayan di atas. Ada tambahan item tujuan pengawasan untuk pembiayaan ijarah, penetapan ujrah atau fee tidak berdasarkan prosentase tertentu yang dikaitkan dengan jumlah nominal pembiayaan yang diberikan. c) Wakalah Tujuan pengawasan syariah terhadap jasa wakalah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa: (1) Jasa wakalah yang diberikan telah sesuai dengan fatwa dari DSN-MUI dan PAS BMT 002; (2) Apabila terdapat fee maka dalam penetapan fee jasa wakalah tidak mengacu pada suku bunga yang dikaitkan dengan besarnya beban pekerjaan yang diwakilkan oleh BMT kepada anggota. d) Qardh Tujuan pengawasan syariah terhadap jasa Qardh adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
(1) Jasa pinjaman Qardh yang diberikan telah sesuai dengan fatwa dari DSN-MUI dan PAS BMT 002; (2) Penetapan besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan prosentase dari jumlah dana qardh yang diberikan. Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Marwan Cholil selaku pengawas syariah, bahwa selama ini pengawasan syariah di BMT Safinah berjalan dengan baik dan dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan tujuan menjaga agar tidak terjadi penyimpangan terhadap syariah yang dilakukan oleh BMT Safinah. Pengawas syariah memeriksa kesesuaian syariah setiap akad yang telah dilakukan oleh BMT dan juga memeriksa proses transaksi pembuatan akad. Hal tersebut untuk memastikan bahwa tidak ada satu akad pun yang dilakukan oleh BMT Safinah yang bertentangan dengan syariah. Hasil pemeriksaan syariah tersebut dilaporakan pada RAT. 3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak M. Burhan selaku Manajer Utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008 pukul 09.00 WIB dan Rabu 6 Februari 2008 pukul 09.30 WIB, diperoleh data bahwa pelaksanaan pengawasan syariah atau tugas dewan pengawas syariah terhadap pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten tidak mengalami hambatan secara teknis, sebab selama ini antara pengelola dan pengawas syariah bekerja sama dengan baik dalam menjalankan tugasnya masing-masing secara profesional. Hambatan yang dialami oleh Dewan Pengawas syariah adalah keterbatasan pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola mengenai fiqh muamalah dalam transaksi ekonomi modern. Apalagi
dengan semakin berkembangnya transaksi ekonomi modern yang memunculkan produk-produk baru yang inovatif, memunculkan berbagai penafsiran mengenai halal atau haramnya produk tersebut, dan juga penafsiran impelementasi akad terhadap suatu produk baru. Sehingga terkadang dalam penilaian aspek syariah suatu produk antara pengawas syariah dan pengelola memiliki pemahaman yang berbeda. Solusi yang telah ditempuh oleh BMT Safinah dalam mengatasi hambatan tersebut adalah dengan menggunakan fatwa DSN dan PAS 002 BMT sebagai pedoman dalam pembuatan dan pelaksanaan transaksi. Sehingga dalam pembuatan produk baru harus mengacu pada fatwa DSN atau PAS 002, dan dalam pengawasan atau pemeriksaan aspek syariah produk ataupun operasional di BMT juga mengacu pada fatwa DSN dan PAS 002. Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Marwan Cholil selaku pengawas syariah pada wawancara penulis hari Selasa tanggal 26 Februari 2008 pukul 10.30 WIB bahwa selama menjabat sebagai pengawas syariah tidak mengalami hambatan teknis, karena hal-hal yang diperlukan oleh pengawas syariah dalam menjalankan tugasnya dapat disediakan oleh pengelola sehingga membantu kelancaran tugas pengawas syariah. Dalam hal ini pengelola dapat bekerjasama dengan baik dengan pengawas syariah, dan selama menjadi pengawas syariah Bapak Marwan Cholil menyampaikan belum pernah menemukan penyimpangan syariah di BMT Safinah, namun bila suatu saat ada yang kurang benar atau ada indikasi menyimpang maka beliau akan langsung menegur dan menghentikan penyimpangan tersebut jika penyimpangan terbukti, karena telah menjadi tugas dan wewenangnya sebagai pengawas syariah. B. Pembahasan 1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten a. Kedudukan Pengawas Syariah BMT Safinah Menurut penulis berdasarkan dari data-data hasil penelitian menunjukkan bahwa BMT Safinah sebagai lembaga keuangan syariah telah menempatkan DPS pada kedudukan yang penting sebagai
pengawas yang memiliki peran untuk menjaga dan mengawasi agar BMT Safinah senantiasa berada pada rel prinsip-prinsip syariah. Penempatan kedudukan DPS yang penting ini bisa dilihat dari sejak sejarah berdirinya BMT Safinah meski belum berbadan hukum dan tidak ada kewajiban yuridis untuk memiliki DPS, namun BMT Safinah telah memiliki DPS sejak awal terbentuknya.”Sejak awal terbentuk BMT Safinah sudah memiliki DPS.”, kata Bapak M. Burhan (wawancara penulis pada hari Rabu 30/01/2008 pukul 09.00 WIB). Oleh karena pentingnya peran DPS dalam menjaga penegakkan prinsip-prinsip syariah di BMT, maka DPS BMT Safinah diberikan kewenangan untuk menegur jika terjadi penyimpangan bahkan menghentikan kegiatan jika benar-benar terbukti menemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah atas kegiatan yang dilakukan oleh BMT Safinah. Sehingga label lembaga keuangan syariah bukan sebagai kedok untuk kepentingan bisnis semata, tapi kesungguhan untuk menjalankan prinsip ekonomi islam. Menurut penulis kehadiran BMT dapat memberikan solusi bagi masyarakat ekonomi mikro untuk mendapatkan dana dengan mudah dan cepat, terhindar dari jerat rentenir, dan mengacu pada prinsip syariah. Namun demikian terdapat pula BMT yang perlu diwaspadai masyarakat, yang hanya sebagai kedok penipuan dengan menggunakan label
BMT
sebagai
lembaga
keuangan
syariah
akan
tetapi
operasionalnya tidak dijalankan dengan prinsp-prinsip syariah bahkan hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan oleh oknum tertentu. Prinsip-prinsip syariah Islam yang menjadi dasar pengelolaan ekonomi syariah, sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang ditujukan agar pengelolaan ekonomi berjalan di rel kebenaran (ma'rufat) dan jauh dari sifat-sifat bathil (munkarat). Keberadaan Dewan Pengawas Syariah di setiap lembaga ekonomi syariah, tentu menjadi faktor penting untuk dapat terpelihara dan dijalankannya prinsip-prinsip
syariah pada lembaga-lembaga tersebut. Pengembangan ekonomi syariah pun memiliki daya dukung yang memadai sebagaimana pesatnya pertumbuhan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini. Di sisi lain, atas dasar kesadaran umat Islam mendapatkan rezeki
dengan
cara yang halal menjauhi
untuk riba dan
larangan Allah lainnya, menjadikan lembaga ekonomi syariah kuat menghadapi badai krisis ekonomi, serta kebijakan politik ekonomi. Kesadaran bersyariah di bidang muamalah ditumbuhkembangkan dengan menanamkan keyakinan bahwa ketaatan pada syariat di bidang muamalah, khususnya bidang ekonomi, merupakan perwujudan dari keimanan dan ibadah yang berpahala di sisi Allah SWT. Sebagaimana definisi ekonomi Islam menurut Gemala Dewi, bahwa ”Bangunan perekonomian yang didirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”. Maksud dari istilah tersebut adalah cara-cara penyesuaian atau pemecahan masalah ekonomi yang dapat dicapai oleh para ahli dalam negara Islam, sebagai pelaksanaan dari prinsip-prinsip Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip ekonomi, atau pada bidang-bidang lain yang tidak diputuskan hukumnya oleh prinsipprinsip dasar, maka diperbolehkan menggunakan ijtihad untuk menemukan pendapat bagi pemecahan problem ekonomi menurut situasi dan kondisinya dengan petunjuk dari Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena hal tersebut di atas, menurut penulis keberadaan sebuah dewan syariah sangat penting bagi sebuah lembaga keuangan syariah, sebab pada saat ini ada sekian banyak permasalahan yang bersifat syubhat dan kompleks, sedangkan tsaqafah dan wawasan umat Islam di negeri ini umumnya sangat kurang. Sehingga dibutuhkan advisor (penasehat) dan supervisor (pengawas) yang terkait dalam masalah halal dan haram (hukum syar’i dan tidak syar’i). Kalau menemukan sekedar orang-orang yang punya semangat ke-Islaman
atau pandai berceramah sehingga menarik pendengar, mungkin tidak terlalu sulit. Tetapi menemukan ulama yang mendalami detail-detail masalah dari sudut pandang hukum Islam / syariah, tentu bukan hal yang sederhana. Sebab jumlah ulama yang ahli di bidang fiqh muamalah terlebih muamalah kontemporer itu sangat sedikit, sedangkan kebutuhan atas jasanya sedemikian banyak, dan dinamika aktifitas umat sehari-hari semakin cepat berkembang. Mengingat begitu besarnya peran dan tanggung jawab DPS, maka seharusnya tidak semua orang boleh memainkan peran DPS. Ada syarat khusus yang selayaknya wajib dipenuhi agar seseorang bisa dipercaya sebagai DPS. Mengenai hal ini DSN-MUI dalam Keputusannya No. 03 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah di Lembaga Keuangan Syariah, sebenarnya telah menetapkan syarat menjadi anggota DPS yaitu: 1)
memiliki akhlak yang terpuji
2)
harus punya kompetensi kepakaran di bidang syariah mu’amalah serta pengetahuan di bidang ekonomi syariah
3)
ada
komitmen
yang
tinggi
dalam
dari
DPS
untuk
mengembangakan ekonomi berdasarkan sistem syariah 4)
kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat atau sertifikat yang dikeluarkan DSN. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan penulis ternyata
syarat yang terakhir tersebut belum bisa diberlakukan oleh semua lembaga keuangan mikro syariah, termasuk salah satunya di sini adalah BMT Safinah. ”Tidak ada sertifikasi kelayakan dari DSN sebagai syarat menjadi DPS BMT Safinah”, kata Bapak Burhan (wawancara penulis pada hari Rabu 30/01/2008 pukul 09.00 WIB). Hal yang sama disampaikan Bapak Marwan Cholil, ”DPS BMT tidak diwajibkan harus memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, yang
diwajibkan adalah DPS BMT Pusat yang berada di Asosiasi” (Wawancara penulis pada hari Selasa 26/02/2008 pukul 10.30 WIB). Hal tersebut menurut penulis wajar karena tidak ada hubungan secara struktural antara DPS dengan DSN di BMT, selain itu dari DSN sendiri selama ini belum melakukan sosialisasi secara massif
dan
menyeluruh pada semua lembaga keuangan syariah terkait produk keputusan ataupun fatwa dari DSN untuk mendapatkan produk keputusan atau fatwa dari DSN, lembaga keuangan mikro syariah utamanya BMT harus aktif berusaha mencari sendiri. ”Bahkan untuk mendapatkan fatwa-fatwa akad yang dikeluarkan oleh DSN kami harus aktif mencari sendiri karena tidak ada sosialisasi”, kata Bapak M. Burhan (wawancara penulis pada hari Rabu 30/01/2008). Bahkan dikatakan oleh Ketua Badan Pelaksana Harian DSN: ”BMT belum merupakan bagian pengawasan kami, dia di luar system. Tidak ada mekanisme pengawasan syari’ah. Makanya, banyak yang terindikasi menyimpang. Kamis lalu (22 September 2007) ada Deklarasi Pegembangan Koperasi Syari’ah se-JaBar, dihadiri Menteri Koperasi. Saya di undang berbicara. Saya katakan, koperasi syari’ah ini belum ada regulasinya. Saya minta Menteri Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia mencoba memfalisitasinya, sehingga koperasi syari’ah dan BMT ada regulasinya dan mekanisme pengawasan kesesuaiannya dengan syari’ah.” ( dikutip dari wawancara wartawan Gatra dengan KH. Ma’ruf Amin, 11 Okt 2007, www.gatra.com). Menurut penulis seharusnya Keputusan DSN MUI yang mengatur lembaga keuangan syariah dapat diberlakukan kepada semua lembaga keuangan syariah baik mikro maupun makro, sebab dalam aturan tersebut ditegaskan berlaku untuk lembaga keuangan syariah tidak disebutkan adanya pengecualian atau pengkhususan terhadap lembaga keuangan syariah tertentu. Akan tetapi ternyata tidak berlaku demikian dan belum ada tindakan dari DSN mengenai hal ini. Padahal lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT telah mengalami perkembangan yang cukup pesat yang seharusnya juga menjadi perhatian dari DSN-MUI, namun dalam prakteknya selama ini
terkesan DSN-MUI lebih memperhatikan lembaga keuangan makro syariah khususnya bank syariah. Kurangnya perhatian DSN terhadap BMT menurut penulis bisa dikarenakan latar belakang terbentuknya DSN tidak lepas dari sejarah perbankan syariah, dimana keberadaan DPS pada bank syariah adalah keharusan yang telah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 52/34/Kep/Dir untuk Bank Umum Syariah, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir untuk Bank Pengkreditan Syariah, dan UU No. 10 tahun 1998. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa persyaratan anggota Dewan Pengawas Syariah
diatur dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional, dan
wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional. Aturan-aturan tersebut yang menjadi landasan hukum dibentuknya Dewan Syariah Nasional melalui keputusan Majelis Ulama Indonesia (Hery Murjianto, 2003: 50). Dari latar belakang tersebut dapat menjadi alasan sehingga DSN MUI lebih memperhatikan perbankan syariah, karena DSN-MUI mendapat kedudukan yang kuat secara yuridis untuk terlibat dalam sistem pengawasan syariah pada perbankan syariah. Sedangkan pada lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT, DSN-MUI tidak punya ikatan secara yuridis, sebab belum ada payung hukum yang dapat dijadikan legalitas bagi DSN untuk terlibat dalam sistem pengawasan syariah pada lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT. Bahkan badan hukum BMT pun tidak ada keseragaman, karena tidak adanya payung hukum yang mengatur badan hukum BMT. Terhadap BMT-BMT yang berbadan hukum koperasi termasuk BMT Safinah yang menjadi obyek dalam penelitian ini, mendapat payung hukum dari Perundang-undangan koperasi, namun dari hasil penelitian belum ada satupun penegasan dalam Perundang-undangan koperasi suatu aturan yang berlaku bagi koperasi yang menggunakan prinsip-prinsip syariah mengenai keterlibatan
DSN-MUI dalam sistem pengawasan syariah termasuk menentukan syarat anggota DPS. Sehingga syarat yang keempat untuk menjadi anggota DPS, yaitu sertifikasi kelayakan dari DSN bagi lembaga keuangan mikro syariah terutamanya BMT tergantung dari kebijakan lembaganya masing-masing. Sedangkan di BMT Safinah syarat yang keempat ini tidak digunakan, sebab sangat sulit bahkan tidak ada ulama di Klaten yang memiliki sertifikasi dari DSN, walaupun Pengawas Syariah BMT Safinah adalah mantan ketua MUI Klaten namun juga tidak memiliki sertifikasi kelayakan sebagai DPS dari DSN. Oleh karena itu, untuk syarat keempat di BMT Safinah cukup dengan pandangan kelayakan dari Rapat Anggota yang memandang calon mampu untuk menjadi DPS. Menurut penulis mengenai syarat sertifikasi kelayakan, tidak berarti jika tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN maka DPS tidak memiliki kemampuan untuk menjadi DPS. Sebab bisa jadi DPS tidak mencari sertifikasi kelayakan padahal memiliki kemampuan, dikarenakan merasa tidak perlu untuk memiliki bukti kelayakan dengan sertifikasi, serta tidak ingin direpotkan dengan harus mengikuti ujian kelayakan yang membutuhkan waktu, biaya, pikiran, dan tenaga. Meski begitu menurut penulis adanya syarat sertifikasi juga penting, karena sertifikasi tersebut menjadi bukti secara normatif sebelum menjalankan tugasnya bahwa calon DPS memiliki kelayakan, hal ini akan lebih memberikan kepercayaan dan keyakinan terhadap kemampuan DPS karena telah teruji kelayakannya oleh DSN. Selain itu juga dapat menambah kepercayaan dari masyarakat dengan adanya sertifikasi dari DSN-MUI, sebab umat Islam secara emosional memiliki ikatan dengan lembaga yang mewadahi ulama-ulama Indonesia yaitu MUI, sedangkan DSN adalah bagian dari MUI.
Berdasarkan hasil penelitian, dilihat dari kedudukannya DPS BMT Safinah merupakan lembaga independen yang berfungsi melakukan pengawasan syariah terhadap BMT. Menurut penulis keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang pengawasan syariah ini tergantung kepada independesinya di dalam membuat suatu penilaian atau putusan yang dibutuhkan. Namun setidaknya independensinya diharapkan dapat dijamin karena DPS BMT Safinah: 1)
bukan staf manajemen/ pengelola, sehingga tidak tunduk di bawah kekuasaan administrasi
2)
dipilih oleh Rapat Anggota, termasuk honorariumnya ditentukan di sana
3)
mempunyai mekanisme kerja dan tugas-tugas khusus seperti halnya badan pengawas lainnya.
b. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di BMT Safinah Klaten Hasil penelitian dan pembahasan tentang kedudukan DPS BMT Safinah, menunjukkan bahwa DPS BMT Safinah memiliki peran yang sangat penting terhadap pengawasan aspek syariah agar tidak terjadi penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah. Bahkan penempatan peran penting ini tidak didasarkan karena adanya aturan yuridis, atau aturan yang mewajibkan dan mengikat, akan tetapi penempatan peran penting DPS BMT Safinah didasari kesadaran dan semangat untuk melaksanakan ekonomi syariah yang diwujudkan dalam aktivitas BMT Safinah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut Penulis, kesadaran bersama tersebut dilandasi oleh aqidah yang kuat. Sebab dengan aqidah yang kuatlah yang dapat mendorong jiwa seseorang untuk melaksanakan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW. Dorongan tersebut yang akan memunculkan niat dalam usaha mengembangkan ekonomi islam
dengan target mewujudkan baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur (masyarakat yang sejahtera dalam lindungan dan ampunan Allah SWT), dengan kata lain usaha yang dilakukan diniatkan ikhlas sematamata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Niat ini lah yang akan memacu semangat dan mengoptimalkan usaha untuk meraih keberhasilan usaha ekonomi yang sedang dilakukan sehingga mendapat kesuksesan. Hal itu dapat terjadi jika adanya dorongan yang kuat di dalam jiwa sebagai pancaran dari nilai-nilai aqidah, maka suatu keharusan berusaha secara optimal untuk mewujudkan kesuksesan dan keuntungan sebesar-besarnya dari segala bentuk usaha ekonomi yang dilakukan, yaitu melalui aktifitas yang dilakukan secara tekun dan optimis serta dibarengi dengan kesabaran sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan perintahkan serta dicontohkan oleh Rosulullah dalam Sunnahnya. Jika di lihat dari kedudukan dan tugasnya, setidaknya DPS BMT Safinah dapat memainkan lima peran: 1) Sebagai supervisor, DPS menjadi pengawas langsung kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah, serta mengawasi implementasi fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan PAS 002 pada operasional BMT. 2) Sebagai advisor, DPS memberi nasihat, pemikiran, saran, sekaligus sebagai konsultan agar dalam pengembangan produk dan jasa yang inovatif sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.. 3) Sebagai marketer DPS menjadi mitra strategis untuk peningkatan kualitas dan kuantitas BMT. DPS dengan kapasitas yang dimiliki sebagai ulama dapat membangun kemitraan lewat komunikasi massa, memberikan motivasi, penjelasan dan edukasi publik kepada masyarakat terkait pentingnya bermuamalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
4) Sebagai supporter, DPS memberi dukungan, motivasi, dan doa, agar pengelolaan BMT senantiasa berada rel prinsip-prinsip syariah sesuai dengan pedoman yang telah digariskan Al Qur’an dan As Sunnah . 5) Sebagai player atau pemain dan pelaku ekonomi syariah DPS terlibat sebagai anggota BMT yang bertujuan untuk melaksanakan dan menjaga prinsip-prinsip syariah.. Dilihat dari kelima peran tersebut dapat menunjukkan bahwa DPS memiliki peran yang sangat penting, dimana kelima peran tersebut bertujuan untuk menjaga penegakkan dan penerapan prinsipprinsi syariah khususnya dalam bermuamalah.. Namun sebagaimana telah penulis jabarkan sebelumnya bahwa tidak ada hubungan secara yuridis antara DPS BMT dengan DSN, hal ini mengakibatkan belum diakomodasinya fungsi DPS BMT yang seharusnya menjadi mediator hubungan antara BMT dengan DSN terutama dalam setiap upaya pengembangan produk dan jasa yang perlu mendapatkan fatwa dari DSN, dan sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada BMT yang berkewajiban menyampaikan laporan secara berkala dari hasil pengawasannya kepada DSN sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun. Menurut penulis meskipun BMT Safinah tidak melakukan penyimpangan, akan tetapi hal tersebut di atas yang menjadikan peluang penyimpangan praktik BMT terhadap fatwa DSN sangat terbuka, sebab pengawasan BMT tanpa induk. Salah satu tugas dan tanggung jawab DPS BMT adalah untuk menjaga dan mengawasi pelaksanaan fatwa DSN-MUI, namun tidak ada pengawasan dari DSNMUI terhadap pelaksanaan fatwa-fatwanya di BMT, dan tak ada laporan hasil dari pengawasan DPS BMT kepada DSN. Kondisi ini dapat berdampak negatif pada lemahnya pengawasan syariah di BMT. Bagi oknum yang tidak bertanggung jawab tentu saja kondisi ini
sangat memudahkan bagi mereka untuk melakukan penyimpanganpenyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah yang telah digariskan, karena kurangnya pengawasan. Terlebih lagi bagi BMT yang tidak memiliki DPS dikarenakan tidak ada kewajiban yuridis untuk memiliki DPS, maka peluang terjadinya penyimpangan akan lebih lebar terbuka. Sebagai pengawas syariah, fungsi DPS sesungguhnya sangat strategis dan mulia, karena menyangkut kepentingan seluruh umat Islam pengguna lembaga tersebut. Sebab salah satu yang membedakan antara koperasi syariah BMT dengan koperasi konvensional terletak pada adanya dewan pengawas syariah (DPS). Lembaga ini bertanggungjawab penuh atas konsistensi BMT dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah. Karena sistem syariah bukan semata-mata strategi guna meraih segmen pasar umat Islam yang jumlahnya besar, tetapi menjadi landasan ideologi yang sangat mendasar. Secara emosional umat Islam akan selalu berpedoman pada keberadaan pengawas syariah, karena dari sinilah kepercayaan pada BMT tersebut ditumbuhkan. Lembaga ini paling bertanggung jawab atas kebenaran praktik
BMT
dengan
prinsip-prinsip
syariah,
namun
karena
permasalahan dasar hukum BMT yang tidak jelas mengatur peran DPS, maka peran penting ini tergantung dari tiap BMT memahami dan meletakkan peran DPS di BMT nya masing-masing, dan khusus BMT Safinah Klaten berdasarkan data yang diperoleh dilihat dari kedudukan, tugas, wewenang dan tanggung jawabnya menunjukkan telah memahami dan menempatkan peran yang sangat penting bagi DPS dalam pengawasan aspek syariah di BMT Safinah Klaten. 2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten Menurut penulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa selama ini Dewan Pengawas Syariah telah melaksanakan tugasnya melakukan pengawasan aspek syariah dengan
baik. Pengawas syariah aktif melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dalam PAS 002 BMT. Pengawasan dilaksanakan baik secara formal maupun informal. Pengawasan dilakukan terhadap perencanaan, dan pelaksanaan produk BMT, serta dilaksanakan terhadap setiap transaksi yang dilaksanakan oleh BMT meliputi proses transaksi, akad yang digunakan dan pelaksanaan dari akad dalam transaksi. Pengujian substantif materi syariah terhadap produk BMT Safinah mengacu pada pedoman tugas, wewenang dan tanggung jawab BMT yang dikeluarkan oleh Asosiasi BMT di dasarkan pada akad yang digunakan pada tiap produk. Menurut
penulis
berdasarkan
data-data
hasil
penelitian,
pelaksanaan tugas pengawasan Dewan Pengawas Syariah BMT Safinah selama ini telah dilakukan dengan baik, tidak lepas dari kesadaran akan tugas dan tanggung jawab dari pengawas syariah dan juga pengelola. Jika dijabarkan secara ringkas pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah tersebut adalah sebagai berikut : a. Memberikan pedoman dan garis-garis besar syariah baik untuk penggalangan dana maupun untuk penyaluran (pembiayaan). b. Memeriksa
proses
pembuatan
akad
dalam
transaksi
dan
pelaksanaannya agar tidak bertentangan dengan prinsip syariah. c. Mengadakan perbaikan dengan mengambil suatu tindakan, seandainya suatu produk yang telah atau sedang dijalankan dinilai bertentangan dengan syariah. d. Memeriksa buku laporan tahunan dan atau memberikan pernyataan tentang kesesuaian syariah dari semua produk dan operasional. e. Memberikan rekomendasi dalam bentuk opini terhadap permasalahan yang diajukan atau dihadapi pengelola dalam operasional BMT. Pada hasil penelitian didapatkan data bahwa obyek yang akan diaudit oleh Pengawas Syariah terkadang disampaikan dalam surat
pemberitahuan, namun terkadang juga tidak diberitahukan. Menurut penulis hal tersebut dapat memotivasi pengelola untuk profesional. Sebab dengan bekerja secara profesional, maka jika ada audit syariah yang tidak diberitahukan terlebih dahulu obyek yang akan di audit, pengelola tidak akan mengalami kesulitan karena semuanya telah dilaksanakan dengan baik dan pengelola akan senantiasa siap untuk menyediakan obyek yang akan diaudit secara mendadak. Dewan Pengawas Syariah BMT tidak hanya mengawasi aspek syariah yang dijalankan di BMT, tapi juga dalam melaksanakan tugasnya Pengawas syariah menggunakan tuntunan syariah. Hal ini bisa dilihat dari pengawasan secara formal, misalnya jika Pengawas menerima info-info / laporan dari pihak lain mengenai hal-hal yang negatif tentang penerapan prinsip syariah di BMT, segera mengkroscekkan kepada pengelola mengenai kebenarannya. Meskipun memiliki peran yang penting dan kewenangan yang cukup besar, yaitu menjatuhkan vonis menyimpang, namun DPS BMT Safinah menggunakan kaidah tabayyun ( mencari penjelasan ). DPS BMT Safinah tidak boleh semena-mena dalam menjalankan tugas dan menggunakan kewenangannya, untuk itu DPS BMT Safinah menggunakan prinsip hati-hati dalam melakukan penilain. Pengawasan yang dilakukan oleh DPS BMT Safinah sebagai lembaga yang berwenang ( wilayatul riqabah ) bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses kegiatan usaha pada BMT, dan memastikan bahwa seluruh aktivitas keuangan serta penetapan strategi dan tujuan organisasi tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sistem pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS BMT Safinah mengacu pada prinsip-prinsip dasar pengawasan yang menjadi bagian dari ajaran Islam, yakni pertama jalbul mashalih
atau upaya untuk menjaga dan
memaksimalkan unsur kebaikan supaya dapat terjaga lima dasar resiko dalam kehidupan yakni resiko moral, resiko agama, resiko akal, resiko harta, resiko regenerasi dan resiko reputasi. Kedua dar'ul mafasid atau
upaya untuk menghindarkan dari unsur-unsur yang dapat menimbulkan kerusakan baik moral maupun material, dan ketiga adalah saddudz dzari'ah atau upaya untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya pelanggaran terhadap syariah dan peraturan-peraturan lainnya Berdasarkan
data
yang
diperoleh,
maka
menurut
penulis
pengawasan yang dilaksanakan di BMT Safinah untuk menjaga penerapan prinsip-prinsip syariah, telah dilaksanakan dengan pengawasan yang menyeluruh meliputi: a. riqabah musbaqah atau pengawasan prefentif yang dilakukan pada tahapan penyusunan berbagai produk dan penetapan strategi, b. riqabah lahiqah atau pengawasan operasional yang dilakukan untuk memastikan praktik bisnis seperti pelaksanaan kontrak pembiayaan atau sistem pemasarannya tidak menyimpang dari syariah, c. riqabah a'mal atau pengawasan pada aspek keuangan dan perilaku manajemen, d. riqabah dzatiyah atau pengawasan berbasis moral pada aspek individu pengurus dan pengelola bisnis tersebut. Dari sekian banyak sistem pengawasan, yang paling mendasar menurut penulis terletak pada riqabah dzatiyah, karena dari sanalah pelaksanaan atau penyimpangan terjadi. Pengawasan syariah yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum dalam hal ini DPS tidak cukup untuk menjaga penerapan prinsip-prinsip syariah, karena tidak setiap saat DPS mengawasi. Namun pengawasan hati nurani yang telah terbina oleh keyakinan yang kuat akan adanya Allah SWT akan melahirkan sistem pengawasan yang lebih ketat dan aktif, karena keyakinan tersebut menimbulkan
keyakinan
yang
kuat
juga
terhadap
firman-Nya,
”....Sesungguhnya Allah selalu menjaga mengawasi kalian.” (Qur’an surat an Nisaa’ ayat 1).
Kepercayaan akan pengawasan Allah tersebut akan menimbulkan pengawasan
hati
nurani
yang
dapat
lebih
mampu
mencegah
penyelewengan kegiatan ekonomi jika dibanding dengan pengawasan dari luar. Riqabah dzatiyah ini akan mendorong para pelaku BMT memiliki basis moral yang positif, sehingga menumbuhkan motivasi pengawasan dari dalam, yang meskipun tidak diawasi oleh orang lain atau suatu badan yang berwenang, namun individu yang memiliki riqobah dzatiyah tidak akan melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah sekecil apapun, karena keyakinan yang kuat bahwa Allah tidak sedetik pun lepas dari mengawasinya, bahkan mengawasi apa yang ada di dalam hati. Sebagai contoh adalah pengelola baitul tamwil pada masa Rosulullah dan juga Khulafaur Rasyidin, pada masa itu baitul tamwil tidak memerlukan adanya dewan pengawas sebab pengelola baitul tamwil pada masa itu memiliki riqobah dzatiyah yang sangat kuat, sehingga tidak melakukan penyelewengan atau pelanggaran syariah dalam mengelola baitul tamwil. Bahkan mereka cenderung bertindak sangat hati-hati demi menghindari perbuatan-perbuatan yang akan dianggap menyeleweng dari syariah, karena takut terhadap pengawasan Allah. Oleh karena itu semua insan BMT sebagai pelaku bisnis syariah harus didorong agar memiki aqidah yang kuat, untuk mencapai kondisi tersebut manajemen dan budaya kerja di BMT harus mampu mendukung terciptanya spiritualitas / ruhiyah dan integritas / khuluqiyah pada masingmasing individu. Setiap individu BMT harus memiliki kesucian jiwa, kejernihan fitrah dan kesadaran akan pengawasan dari Allah. Dibutuhkan kejujuran untuk mampu bertindak sesuai dengan kata hati nuraninya, karena suara hati nurani menjadi pembisik kebenaran. Sedangkan kesadaran pengawasan dari Allah merupakan benteng paling kuat untuk menahan diri ketika para pelaku bisnis BMT mendapatkan peluang untuk melakukan pelanggaran, sementara manajemen atau pengawas tidak mampu mendeteksinya.
3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten Menurut penulis berdasarkan data hasil penelitian, bahwa hambatan yang dialami oleh Dewan Pengawas syariah adalah keterbatasan pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola mengenai fiqh muamalah dalam transaksi ekonomi modern dan solusi yang
telah
ditempuh oleh BMT Safinah dalam mengatasi hambatan tersebut adalah dengan menggunakan fatwa DSN dan PAS 002 BMT sebagai pedoman dalam pembuatan dan pelaksanaan transaksi. Meskipun BMT Safinah tidak mendapatkan pengawasan dari DSN dan juga sebagai lembaga yang berbadan hukum koperasi tapi tidak mendapatkan pengawasan dari Dinas Koperasi, namun pengawasan syariah di BMT Safinah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab pengawas syariah, serta BMT Safinah tetap penggunaan fatwa DSN sebagai pedoman dalam pembuatan dan pemeriksaan kesesuaian akad dengan syariah.. Menurut penulis, jika melihat dari syarat pengawas syariah di BMT Safinah, hambatan ini bisa menjadi wajar terjadi dikarenakan pengawas syariah BMT Safinah tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN. Namun hal tersebut juga dapat dimaklumi dikarenakan keterbatasan ulama yang paham fiqh muamalah modern dan yang memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, sedangkan jumlah lembaga-lembaga syariah di Indonesia semakin banyak jumlahnya, baik di sektor ekonomi mikro ataupun makro. Jumlah perkembangan lembaga syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah ulama Indonesia yang memiliki kapasitas pengetahuan fiqh muamalah modern, sehingga wajar jika sekarang masih banyak terdengar adanya lembaga keuangan syariah yang melakukan penyimpangan dari prinsip-prinsip syariah dikarenakan belum dikawal oleh Dewan pengawas syariah yang ’mumpuni’, yaitu selain karena keterbatasan ilmu juga karena ketidak optimalan serta kesadaran
dari para pihak untuk bekerja sama dalam mewujudkan kesehatan aspek syariah di lembaga. Menurut penulis pada aspek pengawasan syariah, sungguh tidak mudah untuk bertanggung jawab atas pengawasan syariah mengingat demikian kompleksnya transaksi ekonomi modern, terlebih dengan perkembangan yang semakin cepat dan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat dalam dunia ekonomi melahirkan transaksi ekonomi modern yang memunculkan produk-produk baru yang inovatif, yang bisa menjadi perdebatan mengenai hukum fiqhnya karena ketiadaan landasan dalil syari’i yang jelas (perkara yang syubhat), sehingga setiap ulama bisa memiliki penafsiran yang berbeda terhadap hukumnya. Oleh sebab itu sebagaimana telah dibahas dalam sebelumnya pada kedudukan DPS BMT Safinah, syarat untuk menjadi DPS seharusnya yang benar-benar layak, yang tidak hanya memiliki semangat keislaman yang tinggi atau pandai dalam ilmu-ilmu ibadah mahdha, tapi memiliki ilmu fiqh muamalah yang memadai. Syarat sertifikasi kelayakan dari DSN perlu menjadi pertimbangan bagi lembaga-lembaga keuangan syariah khususnya dalam hal ini adalah BMT untuk memilih DPS, karena dengan sertifikasi tersebut setidaknya memberikan jaminan bahwa calon DPS telah lulus uji kelayakan oleh DSN. Sehingga dalam melaksanakan tugas pengawasan tidak akan mengalami kesulitan keterbatasan ilmu yang dimiliki, serta dapat menambah kepercayaan dari masyarakat terhadap kompetensi DPS karena sudah memiliki sertifikasi dari DSN. Selain hal tersebut di atas, penting juga adanya rasa memiliki yang kuat dari pengelola, pengurus, dan pengawas syariah yang dapat mendorong kepedulian untuk memelihara keberlangsungan hidup BMT sebagai sarana ibadah dan mengimplementasikan operasional BMT sesuai dengan syariah. Sehingga dalam hal pengawasan syariah antara pengelola, pengurus, dan pengawas syariah dapat saling bekerja sama untuk
mewujudkan visi bersama BMT agar berjalan sesuai dengan prinsipprinsip syariah.
BAB 1V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten Dilihat dari kedudukan, tugas, dan wewenangnya, DPS pada BMT Safinah memiliki peran yang sangat penting terhadap pengawasan aspek syariah di BMT Safinah Klaten. Sebagai pengawas syariah DPS memiliki peran untuk menjaga dan mengawasi agar BMT Safinah senantiasa dapat terpelihara dan dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Lembaga ini yang paling bertanggung jawab atas kebenaran praktik Pedoman tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS BMT Safinah mengacu pada PAS 002 BMT, tidak ada ikatan atau hubungan struktural dengan DSN. Namun DPS BMT Safinah juga bertugas untuk menjaga kepatuhan pada prinsipprinsip syariah, penerapan fatwa DSN dan PAS 002 BMT. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah di setiap lembaga keuangan mikro syariah, menjadi faktor penting untuk terpeliharanya prinsip-prinsip syariah pada lembaga-lembaga tersebut. Namun karena permasalahan dasar hukum BMT yang tidak jelas mengatur peran DPS, maka peran penting ini tergantung dari tiap BMT memahami dan meletakkan peran DPS di BMT nya masing-masing. Keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang pengawasan syariah ini tergantung kepada independesinya di dalam membuat suatu penilaian atau putusan yang dibutuhkan. 2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten Pelaksanaan tugas pengawasan Dewan Pengawas Syariah BMT Safinah selama ini telah dilakukan dengan baik. Pengawasan syariah dilakukan secara formal maupun informal, dengan pengawasan yang menyeluruh meliputi: riqabah musbaqah, riqabah lahiqah, riqabah a'mal, dan riqabah dzatiyah. Dari sekian banyak sistem pengawasan, yang paling
mendasar menurut penulis terletak pada riqabah dzatiyah, karena dari sanalah pelaksanaan atau penyimpangan terjadi. Kepercayaan akan pengawasan Allah tersebut akan menimbulkan pengawasan hati nurani yang dapat lebih mampu mencegah penyelewengan kegiatan ekonomi jika dibanding dengan pengawasan dari luar. Dalam rangka mendukung kinerja pengawasan syariah dan pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab selaku DPS, maka BMT wajib memberikan fasilitas kepada DPS, antara lain: f. Mengakses data dan informasi yang diperlukan terkait dengan pelaksanaan tugasnya, serta mengklarifikasikannya kepada pengelola BMT; g. Memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari segi syariah kepada pengelola BMT; h. Memperoleh fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas secara efektif; i. DPS dapat memperoleh uang jasa yang ditetapkan dalam RAT. 3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten Hambatan yang dialami oleh Dewan Pengawas syariah adalah keterbatasan pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola mengenai fiqh muamalah dalam transaksi ekonomi modern. Solusi yang telah ditempuh oleh BMT Safinah dalam mengatasi hambatan tersebut adalah dengan menggunakan fatwa DSN dan PAS 002 BMT sebagai pedoman dalam pembuatan dan pelaksanaan transaksi. Sehingga dalam pembuatan produk baru, pengawasan atau pemeriksaan aspek syariah harus mengacu pada fatwa DSN atau PAS 002 BMT. Jika melihat dari syarat pengawas syariah di BMT Safinah, hambatan ini bisa menjadi wajar terjadi, dikarenakan pengawas syariah BMT Safinah tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN. Syarat
sertifikasi kelayakan dari DSN perlu menjadi pertimbangan bagi lembagalembaga keuangan syariah khususnya dalam hal ini adalah BMT untuk memilih DPS, karena dengan sertifikasi tersebut setidaknya memberikan jaminan bahwa calon DPS telah lulus uji kelayakan oleh DSN.
B. Saran 1. Kepada pejuang-pejuang ekonomi mikro syariah pada umumnya dan BMT Safinah Klaten khususnya agar terus berjuang mendorong pemerintah segera mengeluarkan peraturan yang dapat dijadikan payung hukum bagi lembaga ekonomi mikro syariah, khususnya BMT sehingga BMT memiliki payung hukum yang kuat dan badan hukum yang seragam. Dalam peraturan tersebut perlu di atur mengenai pelaksana pengawas syariah dan petunjuk pelaksanaan pengawasan, karena tugas pengawasan syariah adalah tugas yang sangat berat tanggung jawabnya, maka jangan hanya menimpakan beban tersebut kepada DPS, namun juga perlu keterlibatan dari DSN-MUI dan pemerintah. 2. Kepada DSN-MUI agar meningkatkan perannya dalam menjaga dan mengawasi
penerapan
prinsip-prinsip
syariah
dengan
melakukan
sosialisasi intensif terhadap keputusan dan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan, baik kepada lembaga ekonomi syariah maupun pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders, agar secara sosiologis keputusan dan fatwa-fatwa tersebut dapat dipraktikkan dalam pergaulan ekonomi sehari-hari dan berlaku sebagai hukum kebiasaan (usage). Khusus mengenai masalah sertifikasi kelayakan sebagai syarat DPS, hendaknya DSN-MUI sebagai satu-satunya lembaga Islam yang legal mengeluarkan fatwa atau keputusan yang berlaku untuk umat Islam di Indonesia diharapkan tanggap dan proaktif menangkap kondisi ini dengan jalan mengatur dan menstandarkan anggota DPS BMT.
3. Kepada Lembaga-lembaga Keuangan syariah pada umumnya dan BMT Safinah pada khususnya agar melakukan penguatan DPS dengan pengoptimalan fungsi pengawasan syariah dan memberikan pelatihanpelatihan
atau
beasiswa
pendidikan
kepada
DPS-DPSnya
untuk
peningkatan kafaah fiqh ekonominya. Sehingga harapan yang tinggi dari umat Islam akan kehadiran BMT dapat disikapi sebagai sebuah kesadaran baru untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah serta agar kesadaran tersebut tidak dimanfaatkan oleh oknum yang menjual agama untuk kepentingan bisnis pribadi dan kelompoknya. 4. Kepada Lembaga-lembaga Keuangan Syariah pada umumnya dan BMT Safinah Klaten pada khususnya agar mengadakan program rutin untuk memupuk ruhani para pengelola lembaga keuangan syariah, sehingga aqidah mereka kuat terjaga yang dapat memperkuat sistem pengawasan hati nurani (riqobah dzatiyah) dan membantu pengawasan penerapan prinsip-prinsip syariah.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Al Qur’an dan Terjemahan oleh Departemen Agama RI. 1996. Bandung: Toha Putra Baihaqi Abd. Madjid & Saifuddin A. Rasyid (ed). 2000. Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah Baitul Maal Wa Tamwil. Jakarta: Pinbuk. Gemala Dewi, dkk. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. _______.2004. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Heribetus Sutopo. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis). Surakarta: UNS Muhammad Amin Aziz. 2005. AD/ART Baitul Maal Wa Tamwil. Jakarta: Pinbuk Press. Muahmmad. 2005. Manajemen Bank Syairah. Yogyakarta: AMP YKPN. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soeharso & Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: CV Widya. Sujamto. 1987. Norma & Etika Pengawasan. Jakarta: Sinar Grafika. Tim PPH. 2007. Buku Pedoman Penulisan Hukum Mahasiswa Fakulatas Hukum. Surakarta: UNS Press Warkum Sumitro. 2004. Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Media. Zainuddin Ali. 2006. Hukum Islam Pengantar Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. ______. 2006. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Zainul Arifin. 2000. Memahami Bank Syariah (Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek). Jakarta: AlfaBeth.
Skripsi/Tulisan Hukum: Heni Wahyuningsih. 2007.Fungsi Pengawasan Dan Pengaturan Bank Indonesia Terhadap Bank Umum Syariah Di Wilayah Kerja Bank Indonesia Cabang Surakarta. Surkarta. Hery Murjianto. 2003. Kedudukan dan Peranan Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia. Surakarta. Randy AW. 2005. Problematika Penerapan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Pada Lembaga Keuangan Mikro (Studi Pada BMT Surakarta). Surakarta. Sriyana. 1995. Studi mengenai Eksistensi dan Prospek Baitul Maal Wa Tamwil sebagai Lembaga Keuangan bukan Bank di Kota Madya daerah tingkat II Surakarta. Surakarta. Makalah: Agus Siswanto. 2006. ”Perkembangan dan Prospek Lembaga Ekonomi Syariah. Di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Training Dasar Lembaga Keuangan Syariah bagi Notaris di Hotel Imperial Aryaduta Lippo Kawaraci Tangerang Banten, pada tanggal 9 September 2006. B. Setiaji. 2007. ”Perkembangan Ekonomi Syariah Konsep Syariah”. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Islam di Auditorium Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 24 Maret 2007. Izza Mafruhah. 2007. ”Konsep Syariah dalam Ekonomi Berbasis Kerakyatan (Baitul Maal Wa Tamwil)”. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Islam di Auditorium Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 24 Maret 2007. Jafril Kholil. 2007. ”Potensi & Peranan Ekonomi Syariah dalam Pembangunan Ekonomi Bangsa”. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Islam di Auditorium Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 24 Maret 2007. M. Amin Aziz. 2007. ”Strategi & Prospek Pengembangan BMT di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Islam di Auditorium Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 24 Maret 2007. Internet: Amir Mu’alim dan M. Zainal Abidin. 2005. Profesionalisme Praktisi BMT di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman (Penelitian). www.msi-uii.net. (diakses tanggal 24 Oktober 2007). Djoko Karjono. 2007.Perkembangan Sistem Keuangan Syariah di Indonesia. www.tazkiaonline.com. (diakses tanggal 24 Oktober 2007).
Luqman. 2007.Embun Ekonomi Syariah. www.luqmannomic.wordpress.com. (diakses pada tanggal 26 September 2007). Muhammad Ridwan. 2007. Ulama dalam pengawasan syariah di BMT. www.kr.co.id. (diakses tanggal 2 Januari 2008). Sigit Purmawan Jati. 2004. Baitul Maal Tinjauan Histories Dan Konsep Idealnya. www.msi-uii.net. (diakses tanggal 24 Oktober 2007). www.ghifa-mandiri.com. 2005. Proposal Penelitian Analisis Pendapatan Non Halal pada BMT-BMT di Yogyakarta. (diakses tanggal 26 September 2007). www.mui.or.id. 2007.Koperasi Syariah Perlu DPS. (diakses pada tanggal 14 Agustus 2007). www.pkes.org. 2007.Tanya jawab Syariah. (diakses tanggal 14 Agustus 2007). ____________.2007.Buku Saku Pendirian BMT. (diakses tanggal 14 Agustus 2007). Peraturan / Perundang-undangan: Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkooperasian. Keputusan Menteri Koperasi No. 91 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 1 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasioanl-Majelis Ulama Indonesia (PD DSN-MUI). Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah. Pedoman Akad Syariah Baitul Maal Wa Tamwil (PAS BMT) 002 diterbitkan oleh BMT Center tahun 2007.
.