PERAN DAN TANGGUNGJAWAB HAKIM DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BAGI MASYARAKAT1 Oleh: DR. KH. Ma’ruf Amin2
Pendahuluan Sesungguhnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, hukum mempunyai peran sentral dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya di dunia. Keberadaan hakim juga tidak kalah penting. Sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk menegakkan hukum, hakim mempunyai posisi vital dalam pembangunan peradaban umat manusia. Tanpa adanya hakim, hukum tidak bisa ditegakkan. Tanpa adanya hukum, maka tidak akan mungkin peradaban manusia bisa tercipta, karena yang akan berlaku adalah hukum rimba, di mana yang kuat akan membinasakan yang lemah, tanpa mempertimbangkan benar-salahnya. Oleh sebab itu, hukum dan hakim adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hukum diperlukan untuk mengatur interaksi antar individu dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari kebutuhannya berinteraksi dengan orang lain. Interaksi antar individu dalam suatu masyarakat seringkali menimbulkan gesekan yang saling berbenturan. Oleh karena itu, diperlukan suatu tatanan dalam masyarakat yang mampu menciptakan keteraturan, ketertiban dan ketenteraman. Tatanan yang
1
. Makal disampaikan dalam Pelatihan “Hukum Acara Perdata” Bagi Hakim di Lingkungan Peradilan Umum, yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial Indonesia, di Bogor pada tanggal 12 Juni 2013. 2 . Koordinator Harian Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat.
1
dimaksudkan adalah sebuah perangkat yang berisi petunjuk-petunjuk tingkah laku berupa kaedah hukum. Hukum merupakan seperangkat kaedah atau norma yang tersusun dalam suatu sistem yang berisikan petunjuk bertingkah laku, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dan disertai dengan sanksi. Hukum bisa bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui keberlakuannya oleh masyarakat. Jika hukum dilanggar maka akan diberikan sanksi. Dengan sanksi itu, masyarakat diharapkan selalu berada dalam koridor yang baik serta menghindarkan diri dari perbuatan melanggar hukum, guna menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Untuk memastikan agar hukum dijalankan dan ditaati dengan baik, dibutuhkan seseorang yang mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap kaedah-kaedah hukum dan mempunyai integritas yang tinggi untuk diberikan kewenangan menegakkan hukum tersebut, sesuai dengan prinsipprinsip hukum yang ada. Orang yang diberikan kewenangan tersebut adalah hakim. Karena itu, efektif tidaknya sebuah tatanan hukum erat kaitannya dengan baik-tidaknya para hakim. Jika para hakim konsisten dan konsekwen menegakkan hukum, maka kehidupan yang lebih harmonis dan berkeadilan akan tercipta. Sebaliknya jika para hakim tidak bisa menegakkan prinsipprinsip hukum, maka akan sulit terwujud kehidupan yang damai dan berkeadilan. Hakim mempunyai peran sentral dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis dan berkeadilan.
Peran dan Tanggungjawab Hakim Hakim mempunyai posisi yang sangat istimewa jika dilihat dari perspektif agama. Dalam agama Islam, hakim merupakan posisi yang mulia sekaligus penuh resiko dan tantangan. Mulia karena ia bertujuan menciptakan ketentraman, perdamaian dan keadilan di dalam masyarakat. Penuh resiko karena di dunia ia akan behadapan dengan mereka yang tidak puas dengan 2
keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
، ﻗﺎض ﻋﺮف اﳊﻖ ﻓﻘﻀﻰ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﰲ اﳉﻨﺔ. ﻗﺎﺿﻴﺎن ﰲ اﻟﻨﺎر وﻗﺎض ﰲ اﳉﻨﺔ: » اﻟﻘﻀﺎة ﺛﻼﺛﺔ « وﻗﺎض ﻗﻀﻰ ﺑﻐﲑ ﻋﻠﻢ ﻓﻬﻮ ﰲ اﻟﻨﺎر، وﻗﺎض ﻋﺮف اﳊﻖ ﻓﺠﺎر ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﻬﻮ ﰲ اﻟﻨﺎر “Hakim ada tiga golongan, dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga. Pertama, Hakim yang mengetahui hak (kebenaran) kemudian ia menetapkan hukuman dengan kebenaran itu, maka hakim yang seperti itu masuk surga. Kedua, Hakim yang mengetahui hak, tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka. Ketiga, Hakim yang menghukum dengan tidak mengetahui hukum dan ia memutus dengan ketidaktahuannya itu, maka hakim ini pun akan masuk neraka “ Para ulama dalam agama Islam sepakat bahwa adanya seorang hakim dalam sebuah wilayah merupakan fardhu kifayah. Artinya, dalam sebuah wilayah atau daerah tertentu harus ada orang yang menjadi hakim. Jika di daerah tersebut tidak ada orang yang mau menjadi hakim maka menurut ajaran Islam semua orang beragama Islam di daerah tersebut berdosa semuanya. Adanya seorang hakim bisa menggugurkan kewajiban semua orang di daerah tersebut, karenanya menurut ajaran Islam posisinya sangat tinggi dan mulia. Seseorang yang diangkat menjadi hakim mempunyai tanggung jawab besar. Setidaknya ada tiga tanggung jawab yang harus senantiasa dipegang oleh para hakim: Pertama, tanggung jawab moral. Seorang hakim harus tunduk dan mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehakiman. Tujuan utama adanya hakim adalah tegaknya hukum dan keadilan. Seorang hakim harus mampu untuk memanifestasikan keadilan
3
yang terdapat dalam kenyataan normative (das sollen) ke dalam kenyataan keseharian (das sein) melalui putusan-putusannya. Socrates menyebutkan, ada empat kode etik hakim yang harus dipegang erat, yakni: mendengar dengan sopan dan beradab, menjawab dengan arif dan bijaksana, mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun, dan memutus tidak berat sebelah. Di Indonesia juga dikenal Panca Dharma hakim yang merupakan panduan bagi setiap hakim dalam berperilaku, bersikap dan bersifat dalam menjalankan profesi kehakiman. Panca Dharma Hakim dimaksud ialah: (1) Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil; (3) Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa; (4) Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan (5) Tirta, berarti seorang hakim harus jujur. Kode etik tersebut merupakan akhlak yang harus difahami dan dijalankan oleh para hakim. Sebagai sebuah akhlak, kode etik tersebut harus menyatu dalam jiwa para hakim, sehingga secara otomatis akan memancar dalam setiap aktifitasnya, dalam kondisi apapun. Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak ialah:
ﻋﻨﻬﺎ ﺗﺼﺪر اﻷﻓﻌﺎل ﺑﺴﻬﻮﻟﺔ وﻳﺴﺮ ﻣﻦ ﻏﲑ ﺣﺎﺟﺔ إﱃ ﻓﻜﺮ وروﻳﺔ،ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ ﻫﻴﺌﺔ ﰲ اﻟﻨﻔﺲ راﺳﺨﺔ “karakter yang ada dalam diri, yang memancar daripadanya perilaku-perilaku dengan sangat mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan analisa” Kedua,
tanggung
jawab
hukum.
Artinya,
setiap
hakim
dalam
menjalankan tanggung jawabnya agar menjunjung tinggi rambu-rambu hukum. Peraturan perundangan di Indonesia telah mengatur dengan detil ramburambu tersebut. Misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
4
(a) pasal 28 ayat 1 menyebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; (b) pasal 28 ayat 2 menyebutkan bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa; dan (c) pasal 29 ayat 3 menyebutkan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera. Ketiga, tanggung jawab teknis profesi. Setiap hakim diharuskan untuk melaksanakan
tugasnya
secara
profesional
sesuai
dengan
tanggungjawabnya. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturanaturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggung-jawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran.
Prinsip-Prinsip Hukum Dalam
penyelenggaran
kekuasaan
kehakiman,
hakim
perlu
memperhatikan enam prinsip kehakiman yaitu : 1. Independensi (Independence principle) Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik secara personal maupun institusi, dari berbagai pengaruh
dari
luar
diri
hakim
berupa
intervensi
yang
bersifat
mempengaruhi secara halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau 5
balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, ataupun bentuk-bentuk lainnya. Setiap hakim harus bersikap adil dalam setiap putusannya, sesuai Firman Allah:
ِ ﲔ اﻟﻨ ﱠﺎس أَ ْن َْﲢ ُﻜ ُﻤﻮا ﺑِﺎﻟْ َﻌ ْﺪ ِل َْ َوإِ َذا َﺣ َﻜ ْﻤﺘُ ْﻢ ﺑَـ “dan bila kamu menghukum antara manusia, supaya kamu menghukum dengan seadil-adilnya”. 2. Ketidakberpihakan (Impartiality principle) Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan
semua
pihak
yang
terkait
dengan
perkara,
dan
tidak
mengutamakan salah satu pihak manapun, dengan disertai penghayatan mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. 3. Integritas (Integrity principle) Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Hakim tidak dibenarkan
menerima
pemberian
dari
pihak-pihak
yang
sedang
berperkara, sebab hal itu bisa mempengaruhi perkara yang sedang ditanganinya. Diriwayatkan dari Abu Hurariroh, r.a, sabda Nabi Saw : “ Dikutuk Alloh orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Abu al-Abbas, seorang ulama mazhab Syafi’iyyah, menyatakan:
ّ بالحق وإن كان قد حكم،من أعطي على القضاء رشوة فواليته باطلة وقضاؤه مردود 6
“Seorang hakim yang menerima suap maka kekuasaannya menjadi batal dan putusan hukumnya harus ditolak, walaupun putusan tersebut benar” 4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety principle) Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara, atau kegiatan tertentu. Sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan, baik dalam tutur kata lisan, tulisan, atau bahasa tubuh, dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku ataupun bergaul. 5. Kesetaraan (Equality principle) Prinsip kesetaraan ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk memperlakukan setiap pihak dalm persidangan atau pihak-pihak lain terkait dengan perkara. Prinsip ini memastikan kesetaraan perlakuan terhadap semua orang dihadapan pengadilan sangatlah penting guna pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya. 6. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and Diligence principle) Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam menjalankan tugas. Sementara itu, keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.
Wallahu a’lam
7