PERAKITAN TEKNOLOGI UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU HASIL PERKEBUNAN KOPI RAKYAT Rubiyo, Budi Martono dan Dani Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tanaman kopi merupakan komoditas sub sektor perkebunan yang merupakan sumber devisa negara dan penyedia lapangan kerja. Sebagian besar (96%) tanaman kopi diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat dengan tingkat produktivitas rendah (0.5 ton biji kering/ha/tahun). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kopi di Indonesia adalah belum digunakannya bahan tanam unggul yang sesuai dengan agroekosistem tempat tumbuh kopi dan penerapan teknologi budidaya yang tidak standar. Untuk meningkatkan produktivitas dan mutu hasil kopi rakyat dapat dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Teknologi pendukung yang tersedia, di antaranya meliputi bahan tanaman, teknik budidaya, dan teknik pasca panen. Pemanfaatan sumberdaya lahan dengan mengintegrasikan antara tanaman kopi dan ternak, pemanfaatan limbah tanaman dan ternak serta perbaikan sistem usaha tani secara berkesinambungan. Revitalisasi lahan, perbenihan dan perbibitan, infra struktur dan sarana, sumber daya manusia, pembiayaan petani, kelembagaan petani, teknologi dan industri hilir merupakan upaya yang dilakukan untuk perbaikan produktivitas dan mutu hasil kopi di Indonesia. Kata kunci: kopi rakyat, teknologi, produksi, mutu hasil
PENDAHULUAN Kopi merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja, dan pengembangan wilayah. Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Ketiga Negara ini mengekspor 47% dari seluruh volume ekspor kopi dunia dengan pangsa pasar masing-masing Brasil 28%, Vietnam 12%, dan Indonesia 7%. Di Amerika Serikat, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dari 35 pengekspor kopi ke negara tersebut (Dirjenbun, 2011). Sebagian kecil hasil perkebunan kopi di Indonesia dikonsumsi dalam negeri, sedang 75% diekspor. Nilai ekspor hasil kopi di Indonesia tahun 2009 - 2011 cukup fluktuatif, seperti yang tercatat dalam Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (2011), nilai ekspor tahun 2009 sebesar US$ 801.66 juta, tahun 2010 (US$ 845.542 juta), dan tahun 2011
30
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
(US$ 1.064 miliar). Produksi kopi Indonesia pada tahun 2011 sebesar 709.000 ton atau meningkat 3,5% dari tahun sebelumnya (684.076 ton). Konsumsi kopi di Indonesia diprediksi akan meningkat 20% setiap tahun (AEKI, 2011). Hal ini sebagai indikasi pentingnya komoditi kopi dalam perekonomian nasional. Luas areal pertanaman kopi rakyat di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Luas areal perkebunan kopi rakyat pada tahun 2010 seluas 1.219.802 ha dengan produksi 655.399 ton dan tahun 2011 menjadi 1.254.921 ha dengan produksi 679.366 ton (Dirjenbun, 2011). Volume ekspor kopi Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 443 ribu ton atau senilai 791.76 juta US$. Meskipun tanaman kopi bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun keberadaannya mampu mendukung Indonesia sebagai negara pengekspor. Hal ini berarti bahwa kopi mampu beradaptasi dengan lingkungan tumbuh di Indonesia. Sebagian besar (96%) tanaman kopi diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat dengan tingkat produktivitas kurang dari 1 ton biji kering/ha/tahun. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kopi Indonesia adalah masih belum digunakannya bahan tanam unggul sesuai kondisi lingkungan setempat. Umumnya petani masih menggunakan bahan tanam dari biji yang berasal dari pohon yang memiliki buah lebat atau bahkan dari benih sapuan, hal ini menyebabkan produktivitas rata-rata per tahun rendah. Berdasarkan data statistik di Indonesia, kopi rakyat merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cukup berpotensi terutama jika dilihat dari proporsi luas lahan tanaman kopi seluas 1.254.921 ha dari total luas komoditas perkebunan di Indonesia 1.308.000 ha (Dirjenbun, 2011). Di samping itu, pola pengelolaan perkebunan kopi rakyat di Indonesia sebagian besar dilakukan secara tradisional, sehingga potensinya masih bisa ditingkatkan melalui pengelolaan intensif. Usaha peningkatan produksi kopi rakyat dapat dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi yaitu dengan menambah penggunaan tenaga kerja, modal, dan teknologi pada luas lahan yang tetap, sedangkan ekstensifikasi dengan cara memperluas areal penanaman tanpa menambah modal, tenaga kerja, dan teknologi. Wilayah produksi kopi rakyat Areal produksi kopi di Indonesia diperkirakan sekitar 1.3 juta hektar, yang tersebar di Sumatera Utara, Jawa, dan Sulawesi. Kopi jenis robusta umumnya ditanam petani di Sumatera Selatan, Lampung, dan Jawa Timur, sedangkan kopi jenis arabika umumnya ditanam petani di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Flores. Sebagian besar (96%) perkebunan kopi diusahakan oleh rakyat, sedangkan sisanya (4%) oleh perkebunan besar negara/swasta. Komoditas kopi baik yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat maupun perkebunan besar, selain untuk dikonsumsi sendiri juga untuk memasok pabrikan seperti TuguLuwak, Nescaffee, Torabika, dan lain-lain.
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
31
Produktivitas kopi di sentra produksi kopi Pada umumnya perkebunan kopi rakyat belum dikelola secara baik seperti pada perkebunan besar, sehingga timbul berbagai masalah, salah satunya adalah masalah produktivitas. Produktivitas nasional saat ini sebesar 792 kg biji kering/ha/tahun, masih sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas kopi di Kolombia (1.220 kg/ha/tahun), Brasil (1000 kg/ha/tahun), dan Vietnam (1550 kg/ha/tahun). Data Ditjen Perkebunan mencatat perkebunan kopi yang diusahakan di Indonesia saat ini sebagian besar berupa kopi robusta seluas 1,30 juta ha dan kopi arabika mencapai 177.100 ha dengan total produksi 682.158 ton dan ekspor 413.500 ton pada tahun 2006 dengan nilai 586.877 US$. Di Indonesia produktivitas kopi robusta lebih tinggi dari produktivitas kopi arabika yang akhir-akhir ini mulai banyak digemari. Permintaan dunia akan kopi arabika telah ikut mendorong Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kopi arabika yang secara rata-rata memiliki harga yang lebih tinggi. Produktivitas yang tinggi akan tercapai jika semua faktor produksi dialokasikan secara optimal. Kesesuaian lingkungan tumbuh tanaman kopi berbeda-beda tergantung jenisnya. Jenis arabika sesuai jika ditanam pada ketinggian 500-1700 m dpl, sedang untuk jenis robusta pada ketinggian 400-700 m dpl. Rata-rata produksi kopi arabika 4.5-5 kw/ha/tahun dengan harga kopi lebih tinggi dibandingkan robusta. Kopi arabika jika dikelola secara intensif produksinya bisa mencapai 15-20 kw/ha/tahun, umumnya berbuah 1 kali dalam satu tahun. Kopi robusta produksinya lebih tinggi daripada kopi arabika, rata-rata produksinya 9-13 kw/ha/tahun, jika dikelola secara intensif bisa berproduksi 20 kw/ha/tahun, tetapi kualitasnya lebih rendah daripada kopi arabika. Umur tanaman berpengaruh terhadap produksi kopi. Tanaman kopi mulai berbuah pada tahun ke 4-5 dengan umur produktif 6-20 tahun. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kopi robusta di Indonesia adalah belum digunakannya bahan tanam unggul yang sesuai dengan agroekosistem tempat tumbuh kopi robusta. Petani umumnya masih menggunakan benih sapuan dan rentan terhadap serangan hama penyakit, rata-rata produksi selama kurun waktu 10 tahun (2000-2010) sebesar 0.41 ton/ha atau kurang lebih 45.9% dibandingkan dengan produktivitas yang dikelola secara baik (0.9 ton/ha). Beberapa hasil teknologi yang tersedia: 1. Bahan tanaman kopi Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kopi adalah dengan perbaikan bahan tanam. Penggantian bahan tanam anjuran dapat dilakukan secara bertahap, baik dengan metode sambungan di lapangan pada tanaman kopi yang telah ada maupun penanaman baru dengan bahan tanaman asal setek. Kopi robusta Indonesia hingga saat ini terus mengalami perubahan klon yang relatif cepat. Beberapa klon kopi anjuran nasional BP 42, BP 234, BP 288, BP 358, BP 409, BP456, BP 534, BP 936, SA 234, dan
32
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
SA203 masih mendominasi pertanaman kopi robusta di Indonesia. Potensi produksi kopi tersebut rata-rata mencapai 800-2000 kg kopi biji/ha/th. Untuk pengembangan kopi robusta di Indonesia diharapkan dapat menggunakan klon kopi yang sudah direkomendasikan oleh pemerintah dengan menggunakan klon unggul. Kopi robusta merupakan jenis kopi yang menyerbuk silang sehingga penanamannya harus poliklonal (3 - 4 klon) untuk setiap satuan hamparan kebun. Selain itu, sifat kopi robusta yang sering menunjukkan reaksi yang berbeda jika ditanam pada kondisi yang berbeda, maka komposisi klon kopi robusta untuk suatu lingkungan tertentu harus berdasarkan stabilitas daya hasil, kompatibilitas (keserempakan saat berbunga) antar klon untuk kondisi lingkungan tertentu serta keseragaman ukuran biji. Komposisi klon yang dipilih untuk setiap tipe iklim dan ketinggian tempat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kopi robusta untuk setiap tipe iklim dan tinggi tempat agar memberikan potensi produksi yang tinggi Iklim A atau B
C atau D
Ketinggian tempat > 400 m dpl < 400 m dpl Klon BP 42 : BP 234 : BP 358 Klon BP 42 : BP 234: BP 358 2:1:1 : SA 237 1:1:1:1 Klon BP 436 : BP 534 : BP 920 : BP 936 = 1 : 1 : 1 : 1 Klon BP 42 : BP 234 : BP 409 2:1:1 Klon BP 936 : BP 939 : SA 203 = 2 : 1 : 1
Keterangan: Menurut klasifikasi Scmith dan Ferguson
Bahan tanam kopi arabika yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian dan dapat digunakan sebagai bahan tanam unggul nasional antara lain: Kartika 1, Kartika 2, Abesiania 3, S 795, USDA 762, dan Andungsari 1. Gambaran potensi produksi serta anjuran serta penanaman sesuai kondisi lingkungan tumbuhnya seperti tertera dalam Tabel 2 dan 3. Untuk menentukan komposisi klon kopi robusta dan arabika yang sesuai dengan kondisi lingkungan diperlukan data tipe iklim (menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson), serta tinggi tempat daerah penanaman. Untuk kopi robusta jika dikaitkan dengan cita rasa dan produktivitas, ketinggian tempat yang optimal adalah 500 - 700 m dpl.
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
33
Tabel 2. Potensi produksi kopi arabika No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Varietas Kartika 1 Kartika 2 Abesiania 3 S 795 USDA 762 Andungsari 1
Potensi produksi 1,8 ton/ha 1,9 ton/ha 0,7 ton/ha 1,2 ton/ha 1,2 ton/ha 1,9 ton/ha
Sumber: Puslit koka (2006) dan (2008)
Tabel 3. Anjuran penanaman kopi arabika berdasarkan kondisi lingkungan tumbuh No 1. 2.
Kondisi lingkungan Tinggi tempat > 700 m dpl. Tinggi tempat > 1000 m dpl. - Tanah subur - Tanah kurang subur
3.
Tinggi tempat > 1250 m dpl. - Tanah subur
- Tanah kurang subur
Varietas S 795 S 795 Kartika 1 Kartika 2 Andungsari 1 USDA 762 S 795 AB 3, S 795, Kartika 1 Kartika 2 USDA 762 Andungsari 1 S 795
Sumber: Puslit koka (2006)
Pembibitan, kebutuhan bahan tanam, dan teknik perbanyakan bahan tanaman Sumber tanaman klonal harus berasal dari kebun entres, baik berupa entres maupun stek berakar. Untuk penanaman baru sebaiknya tidak menggunakan teknik penyambungan dengan batang bawah melainkan dengan menggunakan stek berakar, kecuali untuk daerah yang endemik nematoda. Kebutuhan bahan tanam berupa stek berakar untuk setiap hektarnya perlu ditambah 20%. Tanaman kopi dapat diperbanyak secara generatif maupun klonal. Perbanyakan tanaman kopi secara klonal adalah dengan menggunakan sambungan dan stek. Penyambungan mempunyai tujuan untuk memanfaatkan dua sifat unggul dari bibit batang bawah tahan terhadap hama nematoda parasit akar, dan sifat unggul batang atas dengan produksi tinggi maupun mutu biji baik. Perbanyakan tanaman kopi dengan stek hanya memanfaatkan salah satu sifat keunggulan.
34
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Penyetekan: Penyetekan adalah pengakaran entres kopi dengan menggunakan media tumbuh dan lingkungan. Umur entres yang digunakan adalah 3-6 bulan karena pada umur tersebut bahan cukup baik untuk stek. Penyambungan: Penyambungan kopi adalah penggabungan entres batang atas pada bibit kopi dewasa. Penyambungan dilakukan di pembibitan pada bibit kopi batang bawah umur 5-6 bulan dari saat benih disemaikan. Penanaman Tingkat produktivitas tanaman kopi selain ditentukan oleh bahan tanam yang unggul juga ditentukan oleh populasi tanaman dalam satuan hektarnya. Untuk penanaman, jarak tanam yang digunakan disesuaikan dengan kemiringan tanah (Tabel 4). Tabel 4. Beberapa contoh jarak tanam pada kopi Kemiringan tanah
Jarak tanam (m)
Populasi
Kebutuhan stek berakar
Landai (0 -15%) Tanpa teras/teras individu
2.5 x 2.5 2.75 x 2.75 2 x 3.5 2.5 x 3 2x2x4 2.5 x 2.5 x 3.5
1.600 1.322 1.428 1.333 1.660 1.333
1.920 1.587 1.714 1.600 1.990 1.600
2 x 2.5
2.000
2.400
Miring ( > 15%) Teras bangku Sumber. Yahmadi, 2007.
Pemupukan: Pemupukan pada kopi harus tepat waktu, dosis dan jenis pupuk, serta cara pemberiannya. Pemupukan disesuaikan dengan jenis tanah, iklim, dan umur tanaman. Pemupukan dilakukan pada awal dan akhir musim hujan, pedoman pemupukan pada kopi dapat dilihat pada Tabel 5.
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
35
Tabel 5. Pedoman pemupukan pada tanaman kopi Umur tanaman (tahun) 1 2 3 4 5-10 > 10 tahun
Urea 20 50 75 100 150 200
Awal musim hujan (g/th) SP36 KCl Kieserit 25 15 10 40 40 15 50 50 25 50 70 35 80 100 50 100 125 70
Akhir musim hujan Urea 20 50 75 100 150 200
SP36 25 40 50 50 80 100
KCl 15 40 50 70 100 125
Kieserit 10 15 25 35 50 70
Sumber: Puslit Koka (2006)
Pemangkasan dan penaungan Supaya pohon tetap rendah dan mudah perawatannya maka perlu dilakukan pemangkasan. Pemangkasan juga berfungsi untuk membentuk cabang-cabang produksi yang baru, mempermudah masuknya cahaya dan mempermudah pengendalian hama dan penyakit. Dikenal dua sistem pemangkasan pada kopi, yaitu pemangkasan berbatang tunggal dan berbatang ganda. Kedua sistem tersebut dapat dibedakan tiga pemangkasan: (1) pemangkasan bentuk, (2) pemangkasan produksi, dan (3) pemangkasan peremajaan. Penaungan pada tanaman kopi perlu dilakukan, tanaman naungan yang digunakan sebaiknya tanaman leguminosae karena dapat mengikat nitrogen (N) pada akarnya. Ada dua macam tanaman naungan, yaitu: 1) tanaman naungan sementara (Crotalaria usaramoensis, Tephrosia candida, dan Acacia villosa), dan 2) tanaman naungan tetap (lamtoro, sengon, dan dadap).
2. Teknologi pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) Secara garis besar penurunan produktivitas kopi ditentukan oleh berbagai faktor, di antaranya oleh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) utama yang menyerang tanaman kopi, yaitu nematoda parasit (Pratylenchus coffea dan Radopholus similis), hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei), kutu dompolan atau kutu putih (Planococcus citri), kutu hijau (Coccus viridis) atau kutu coklat (Saesetia coffea), penggerek cabang (Xylosandrus spp.), dan penggerek batang merah (Zeuzera coffea). Beberapa penyakit utama pada kopi adalah karat daun, bercak daun, jamur upas, busuk buah dan busuk cabang, jamur akar coklat, dan penyakit rebah batang. Dufour (2008) melaporkan bahwa pengendalian hama terpadu PBKO telah diterapkan di Amerika. Tiga komponen utama yang harus diintegrasikan adalah (1)
36
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
pengendalian secara kultur teknik atau agronomis yang meliputi pemangkasan setelah panen pada pohon kopi penunjangnya, (2) sanitasi buah yang tersisa di pohon dan pangkasan cabang, dan (3) pemangkasan perangkap untuk menangkap serangga PBKO secara massal. Tingkat keefektifan dari pengendalian ini bisa mencapai 90% dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian Wiryadiputra et al., (2008) menunjukkan bahwa pemasangan perangkap Brocap trap cukup efektif menekan tingkat serangan pada kopi robusta di Lampung. Sementara untuk menghindari penyakit karat daun pada kopi arabika salah satunya adalah melalui penanaman pada lahan dengan ketinggian yang cukup, yaitu di atas 1000 m dpl. 3. Teknologi pasca panen Semakin luasnya areal tanaman kopi rakyat menuntut konsekuensi dukungan berupa sarana dan metode pengolahan yang sesuai untuk kondisi petani, tujuannya supaya petani dapat menghasilkan biji kopi dengan kualitas bagus. Untuk mendapatkan kualitas biji kopi yang bagus pengolahan kopi rakyat harus tepat waktu, tepat cara, dan juga tepat jumlahnya. Buah kopi hasil panen perlu segera diolah menjadi bentuk akhir yang stabil agar aman untuk disimpan dalam jangka waktu tertentu. Kriteria kualitas biji kopi meliputi aspek fisik, citarasa, dan kebersihan serta aspek keseragaman dan konsistensi sangat diperlukan oleh perlakuan pada setiap tahapan proses produksi. Teknologi Pengolahan Primer (Biji kopi): Tahapan pengolahan meliputi panen buah masak, sortasi buah, pengupasan buah, pencucian, penjemuran (pengering mekanis), pengupasan kering, sortasi, dan penggudangan. Teknologi Pengolahan Produk Sekunder (Kopi bubuk): Biji kopi merupakan bahan baku minuman sehingga aspek kualitas (fisik, kimiawi, kontaminasi, dan kebersihan) harus diawasi dengan baik karena menyangkut cita rasa, kesehatan konsumen, daya hasil (rendemen), dan efisiensi produksi. Untuk mendapatkan hasil pengolahan yang optimal, syarat kualitas biji kopi beras harus dipenuhi. Spesifikasi kualitas bahan baku kopi adalah sebagai berikut: aroma dan cita rasa (khas), kadar air (11-12%), kadar kulit (nihil), biji hitam (nihil), ukuran biji (seragam), kadar kotoran (nihil), jamur (nihil), benda asing lunak (nihil), dan benda asing kasar (nihil).
Sistem usaha tani Biaya pada usahatani adalah semua biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pengerjaan usahatani tersebut, sedangkan penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi dengan harga jual. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang telah dikeluarkan. Analisis secara finansial, menunjukkan bahwa usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
37
dilaksanakan. Analisis dilakukan dengan metode perhitungan arus tunai berdiskonto dengan tingkat discount 20% (dipakai DF 20% sesuai tingkat suku bunga saat penelitian). Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai NPV, IRR, dan B/C ratio pada Tabel 6, 7, dan 8. Tahun Ke
Biaya (Rp )
Penerimaan (Rp)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Tahun ke
19.555.000,00 9.977.750,00 12.202.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 Biaya (Rp)
8.572.500,00 47.572.500,00 47.572.500,00 51.960.000,00 58.080.000,00 66.072.000,00 103.128.000,00 106.320.000,00 102.312.000,00 98.040.000,00 89.760.000,00 82.296.000,00 76.440.000,00 68.448.000,00 63.120.000,00 Penerimaan (Rp)
18 19 20
7.502.750,00 55.656.000,00 7.502.750,00 54.600.000,00 7.502.750,00 41.808.000,00 Net Present Value (NPV)
Penerimaan Bersih sebelum DF (Rp) (19.555.000,00) (9.977.750,00) (12.202.750,00) 1.069.750,00 40.069.750,00 40.069.750,00 44.457.250,00 50.577.250,00 58.569.250,00 95.625.250,00 98.817.250,00 94.809.250,00 90.537.250,00 82.257.250,00 74.793.250,00 68.937.250,00 60.945.250,00 55.617.250,00 Penerimaan bersih sebelum DF (Rp) 48.153.250,00 47.097.250,00 34.305.250,00
DF 20%
PV Penerimaan DF 20% (Rp)
1,00 0,83 0,69 0,58 0,48 0,40 0,33 0,28 0,23 0,19 0,16 0,13 0,11 0,09 0,08 0,06 0,05 0,05 DF (Rp)
(19.555.000,00) (8.314.791,67) (8.474.131,94) 619.068,29 19.323.76,61 16.103.133,84 14.888.643,07 14.115.182,24 13.621.335,64 18.532.814,09 15.959.537,56 12.760.185,99 10.154.355,09 7.688.081,66 5.825.389,39 4.474.404,72 3.296.400,16 2.506.849,89 PV Penerimaan DF 20% (Rp)
0,04 0,03 0,03
1.808.685,99 1.474.184,62 894.819,97 127.702.909,20
Sumber : Rubiyo et al. (2005); Trisnawati et al. (2006)
38
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel 7. IRR usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk Tahun Ke
Penerimaan Bersih (Rp)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
(19.555.000,00) (9.977.750,00) (12.202.750,00) 1.069.750,00 40.069.750,00 40.069.750,00 44.457.250,00 50.577.250,00 58.569.250,00 95.625.250,00 98.817.250,00 94.809.250,00 90.537.250,00 82.257.250,00 74.793.250,00 68.937.250,00 60.945.250,00 55.617.250,00 48.153.250,00 47.097.250,00 34.305.250,00 NPV IRR =
DF 45% 1,00000 0,68966 0,47562 0,32802 0,22622 0,15601 0,10759 0,07420 0,05117 0,03529 0,02434 0,01679 0,01158 0,00798 0,00551 0,00380 0,00262 0,00181 0,00125 0,00086 0,00059
Penerimaan Bersih DF 45% (Rp) (19.555.000,00) (6.881.206,90) (5.803.923,90) 350.895,90 9.064.516,08 6.251.390,40 4.783.376,68 3.753.005,46 2.997.268,47 3.374.897,31 2.405.208,56 1.591.485,50 1.048.120,64 656.734,99 411.822,79 261.778,47 159.606,96 100.450,82 59.979,32 40.457,92 20.323,60 5.091.189,07
DF 65% 1,00000 0,60606 0,36731 0,22261 0,13492 0,08177 0,04956 0,03003 0,01820 0,01103 0,00669 0,00405 0,00246 0,00149 0,00090 0,00055 0,00033 0,00020 0,00012 0,00007 0,00004
Penerimaan Bersih DF 65% (Rp) (19.555.000,00) (6.047.121,21) (4.482.185,49) 238.138,97 5.406.059,93 3.276.399,96 2.203.123,94 1.519.034,38 1.066.100,41 1.054.914,07 660.683,29 384.173,43 222.341,21 122.428,61 67.466,35 37.687,28 20.192,81 11.168,18 5.860,23 3.473,77 1.533,49 (13.783.526,41)
50,39
Sumber : Rubiyo et al. (2005); Trisnawati et al. (2006)
Suku bunga 45% menunjukkan bahwa suku bunga ini memiliki nilai lebih besar dari suku bunga diskonto (20%), sehingga nilai sekarang dari keuntungan bersih (NPV) usahatani perkebunan tidak akan bernilai nol
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
39
Tabel 8. B/C ratio usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk Tahun ke 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Biaya (Rp) 19.555.000,00 9.977.750,00 12.202.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 Jumlah B/C Ratio =
DF 20% 1,00 0,83 0,69 0,58 0,48 0,40 0,33 0,28 0,23 0,19 0,16 0,13 0,11 0,09 0,08 0,06 0,05 0,05 0,04 0,03 0,03
PV Biaya DF 20% (Rp) 19.555.000,00 8.314.791,67 8.474.131,94 4.341.869,21 3.618.224,34 3.015.186,95 2.512.655,79 2.093.879,83 1.744.899,86 1.454.083,21 1.211.736,01 1.009.780,01 841.483,34 701.236,12 584.363,43 486.969,53 405.807,94 338.173,28 281.811,07 234.842,56 195.702,13 61.416.628,23
Penerimaan (Rp) 8.572.500,00 47.572.500,00 47.572.500,00 51.960.000,00 58.080.000,00 66.072.000,00 103.128.000,00 106.320.000,00 102.312.000,00 98.040.000,00 89.760.000,00 82.296.000,00 76.440.000,00 68.448.000,00 63.120.000,00 55.656.000,00 54.600.000,00 41.808.000,00
DF 20% 1,00 0,83 0,69 0,58 0,48 0,40 0,33 0,28 0,23 0,19 0,16 0,13 0,11 0,09 0,08 0,06 0,05 0,05 0,04 0,03 0,03
PV Penerimaan DF 20% (Rp) 4.960.937,50 22.941.984,95 19.118.320,79 17.401.298,87 16.209.062,07 15.366,235,50 19.986.897,30 17.171.273,57 13.769.966,00 10.995.838,44 8.389.317,78 6.409.752,82 4.961.374,24 3.702.208,10 2.845.023,17 2.090.497,06 1.709.027,17 1.090.522,10 189.119.537,43
3,08
Sumber : Rubiyo et al. (2005); Trisnawati et al. (2006)
Berdasarkan hasil analisis usahatani dengan memasukkan pendapatan bersih pada tingkat DF 20% pada usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk diperoleh nilai NPV sebesar Rp 127.702.909,20. Jadi berdasarkan kriteria investasi maka usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk diusahakan karena NPV menunjukkan nilai positif atau lebih besar dari nol. Hasil perhitungan IRR sebesar 50.39%, menunjukkan bahwa nilai ini lebih besar dari suku bunga diskonto 20%. IRR sebesar 50.39%, menunjukkan bahwa nilai sekarang dari keuntungan bersih (NPV) usahatani perkebunan pola tumpangsari tidak akan bernilai nol. Sehingga dari segi IRR, usaha perkebunan pola tumpangsari layak untuk dilakukan mengingat tingkat pengembalian internal kegiatan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan suku bunga komersial yang berlaku di masyarakat. B/C ratio usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk adalah sebesar 4.58. Artinya bahwa untuk setiap pengeluaran satu rupiah pada nilai sekarang akan memberikan tambahan pendapatan bersih sebesar 4.58 rupiah menurut
40
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
nilai sekarang. Jadi sesuai dengan kriteria kelayakan maka kegiatan usahatani perkebunan pola tumpangsari layak untuk dikembangkan karena nilai B/C ratio > 1. Hasil perhitungan berdasarkan tiga kriteria kelayakan usaha yang digunakan (NPV, IRR dan B/C ratio) pada usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk, ternyata ketiganya menunjukkan hasil yang positif artinya bahwa usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk dikembangkan. Analisis sensitivitas pada usahatani perkebunan tanaman kopi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat kepekaan usahatani tersebut apabila terjadi perubahan terhadap penurunan harga produk dan perubahan peningkatan harga input yang mungkin terjadi. Asumsi kemungkinan perubahan tingkat harga yang terjadi adalah 20% sampai 30%, apabila lebih besar dari 30% usahatani ini sudah tidak bisa diteruskan lagi karena akan menyebabkan kerugian. Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh data yang menunjukkan bahwa usahatani perkebunan kopi, seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Analisis sensitivitas usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk No
Uraian
1
Harga produk turun Biaya produksi naik Harga produk turun, biaya input naik
2
3
NPV (Rp) 20% 89.879.001,71
30% 70.967.047,97
IRR (%) 20% 30% 43,54 40,81
B/C Ratio 20% 30% 2,46 2,16
120.913.916,89
117.519.420,73
59,31
45,71
2,77
2,64
83.090.009,40
65.204.212,79
40,08
37,20
2,22
1,74
Sumber : Rubiyo et al. (2005); Trisnawati et al. (2006)
Peningkatan biaya produksi, penurunan harga produk, maupun penurunan harga produk yang diikuti dengan peningkatan biaya produksi sampai 30% ternyata masih memberikan nilai IRR yang lebih tinggi dari suku bunga pinjaman sebesar 20%. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi layak untuk dilaksanakan. Strategi penerapan dan pemasyarakatan teknologi Teknologi pendukung yang ada selama ini seringkali hanya dipandang dan dipahami dalam spektrum yang sempit, hubungannya dengan kreasi dan aplikasi. Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
41
Teknologi harusnya diintegrasikan secara efektif, dengan demikian teknologi tersebut dapat diaplikasikan guna meningkatkan produksi dan mutu hasil kopi rakyat di Indonesia. Konsep dan strategi untuk pengembangan kopi nasional harus diupayakan secara komprehensip dan terpadu. Minimal ada tujuh langkah strategi untuk mewujutkan program pemberdayaan dan peningkatan produksi dan mutu hasil kopi nasional adalah: revitalisasi lahan, perbenihan dan perbibitan, infra struktur dan sarana, sumber daya manusia, pembiayaan petani, kelembagaan petani, teknologi dan industri hilir. Implementasi teknologi pendukung di sentra-sentra kopi rakyat sangat diperlukan. Selain itu, inovasi baru dan teknologi yang diperkenalkan harus dapat membawa petani kopi melepaskan diri dari sistem produksi dan sistem usaha tradisional. Untuk itu, perlu dilakukan alih teknologi pada masyarakat khususnya masyarakat petani kopi, mengenai teknologi dari hulu sampai dengan hilir sehingga kualitas kopi biji yang dihasilkan dapat ditingkatkan. Dengan menggunakan metode kaji tindak (action research), pengkajian terhadap kegiatan yang berlangsung dilaksanakan bersamaan dengan implementasi teknologi. Dengan demikian, diharapkan segala permasalahan yang timbul pada saat pelaksanaan kegiatan dapat diatasi sekaligus tanpa harus menunggu waktu yang lama.
Kesimpulan Peningkatan produksi dan mutu hasil kopi nasional dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi budidaya dan menggunakan klon yang sesuai di daerah pengambangannya. Peningkatan pendapatan petani kopi dapat diupayakan dengan memanfaatkan sumberdaya lahan dengan mengintegrasikan antara tanaman kopi dan ternak, pemanfaatan limbah tanaman dan ternak serta perbaikan sistem usaha tani. Revitalisasi dan strategi untuk peningkatan produksi dan mutu hasil kopi nasional melalui revitalisasi lahan, perbenihan dan perbibitan, infra struktur dan sarana, sumber daya manusia, pembiayaan petani, kelembagaan petani, teknologi dan industri hilir.
Daftar Pustka Dirjenbun. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia. Kopi. 2009 - 2011. Guntoro S., M. Rai Yasa, dan Nyoman Sugama. 2002. Hasil pengkajian pemanfaatan limbah perkebunan (Kakao dan kopi) untuk pakan ternak kambing dan ayam buras. Kerjasama BPTP Bali dengan Bappeda Prop. Bali.
42
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Guntoro, S., dan Rubiyo. 2004. Optimalisasi integrasi usahatani kambing dan tanaman kopi. Pros. Sem. Nas. Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Edit. Budi Haryanto et al., Puslitbang Peternakan dengan BPTP Bali dan Crop-Animal System research Network (CASREN), Denpasar 20-22, Juli 2004. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2006. Pedoman Teknis Tanaman Kopi. 96 hal. Jember. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2008. Varietas-varietas kopi arabika yang telah dilepas oleh menteri pertanian. Leaflet. NS 02.009.08. Rubiyo, Jemmy Rinaldi, dan Suharyanto. 2005. Kajian rehabilitasi tanaman kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik sambung di Kabupaten Bangli. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Rubiyo, S. Guntoro, dan Suprapto. 2006a. Usahatani kopi robusta dengan pemanfaatan kotoran kambing sebagai pupuk organik di Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 6 (1), Januari 2006: 73 - 80. Rubiyo, S. Guntoro, dan Suharyanto. 2006b. Pengkajian sistem usahatani kopi robusta integrasi dengan ternak kambing di Bali. Pros. Simp. Kopi 2006, Puslitkoka, Surabaya 2-3 Agustus 2006. Trisnawati, Dwi Darmawan, Rai Puspa, dan Rubiyo. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk di Desa Belantih, Kec. Kintamani, Kab. Bangli. Jurnal Stigma Vol. XIII (2): 331 -334. Wiryadiputra, S., dan O. Atmawinarta. 1998. Kopi (Coffea spp.) dalam Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Perkebunan. Puslitbangtri. Hal 53 - 59. Yahmadi, M. 2007. Rangkaian perkembangan dan permasalahan budidaya dan pengolahan kopi di Indonesia. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jawa Timur. 339 p.
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
43