PENYUSUNAN SKALA STUDENT WELL-BEING UNTUK SISWA SEKOLAH MENENGAH
This study was designed to build a valid and reliable student well-being measurement of high school student. Preparation of the scale followed a series of steps including the selection of a basic theory for building the scale construct, formulation of aspects and behavioral indicators of the attribute, item writing, item review, content validation, field-testing, and validation by criteria. Data for the study was obtained from 1,550 students. Two versions of the scale were developed, namely the A-Format scale which is of narrative type and the B-Format scale which is of Lik ert type. The analysis showed that both versions of the scale had satisfactory reliability and validity. The use of the B-Format scale (Lik ert) is more recommended than A-Format scale (Narrative). Both of these scales were shown to be reliable research instruments which can potentially be used as screening instruments in school. Keywords: Student well-being scale, narrative type scale and Lik ert type scale, screening instrument.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan instrumen pengukuran student well-being untuk siswa sekolah menengah yang memiliki karakteristik psikometris yang memuaskan, yaitu valid dan reliabel. Langkah penyusunan skala diawali dengan menentukan teori dasar, merumuskan aspek dan indikator keperilakuan, menulis aitem, melakukan reviu terhadap aitem-aitem yang telah ditulis, melakukan validasi konten, melakukan field test, merakit skala, melakukan validasi kriteria, dan menyusun manual skala. Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 1.550 siswa yang terdiri dari siswa SMP dan siswa SMA di Kota Yogyakarta dan Kota Blitar. Terdapat dua bentuk skala yang dikembangkan, yaitu skala Format A tipe Narasi dan skala Format B tipe Likert. Hasil analisis menunjukkan kedua format skala memiliki koefisien reliabilitas dan koefisien validit as yang memuaskan. Skala Format B tipe Likert lebih direkomendasikan penggunaannya dari pada skala Format A tipe Narasi. Kedua skala ini dapat digunakan sebagai instrumen skrining di sekolah dan instrumen riset yang handal. Kata Kunci: skala student well-being, skala tipe Narasi dan tipe Likert, instrumen skrining.
Sekolah memiliki pengaruh besar dalam perkembangan dan kehidupan remaja karena remaja menghabiskan sebagaian besar waktunya di sekolah (Marin & Brown, 2005). Sekolah merupakan tempat belajar formal dilaksanakan serta pusat kehidupan sosial remaja. Oleh karena itu, siswa remaja perlu merasa
1
sejahtera ketika berada di sekolah (Blum, McNeely, & Rinehart, 2002; Gonzalez, Casas, & Coenders, 2007; Van Petegem, Creemers, Aelterman & Rosseel, 2008; World Health Organization, 2008). Masa remaja sering disebut sebagai masa “badai” akibat adanya perubahan tugas-tugas dan tuntutan perkembangan. Remaja perlu dipersiapkan agar dapat melewati masa ini dengan baik. Jika remaja tidak mampu melewatinya dengan baik, kemungkinan mengalami gangguan psikologis menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan oleh upaya adaptasi terhadap tugastugas dan tuntutan baru memicu kelelahan emosi, kognitif, dan sosial remaja (Bizarro, 2006; Compas, 1993). Well-being berarti kesejahteraan. Kesejahteraan dalam penelitian ini merujuk pada kesejahteraan psikologis. Well-being memiliki peran penting bagi siswa karena well-being merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil pembelajaran dan perkembangan (Frost, 2010). Well-being yang tinggi berhubungan dengan peningkatan hasil akademik, kehadiran di sekolah, perilaku prososial, keamanan sekolah dan kesehatan mental (Noble, McGrath, Roffey & Rowling, 2008). Siswa remaja yang memiliki well-being tinggi lebih mampu mempelajari dan memahami informasi secara efektif serta menunjukkan keterlibatan dalam perilaku sosial yang sehat dan memuaskan (Awartani, Whitman dan Gordon, 2008; Blum dkk., 2002). Sebaliknya, siswa remaja dengan well-being rendah cenderung membentuk evaluasi diri rendah yang berpengaruh besar terhadap kebahagiaannya dan kepuasan hidupnya (Amato, 1994), serta rentan mengalami masalah sosial yang serius (Wilkinson, 2004). Permasalahan pada siswa remaja tersebut diantaranya ditemukan oleh Josef dan Hidayat (2011) yang meneliti 1.200 siswa remaja di Indonesia. Josef
2
dan Hidayat menemukan bahwa 4,6% responden mengalami ketidakpuasan akut terhadap sekolah, 65% responden mengalami masalah psikososial dan kesehatan mental dalam tingkat sedang, dan satu dari delapan siswa (12%) pernah mengalami serangan fisik yang sengaja dilakukan oleh siswa lain. Pada praktik kerja profesi psikologi, Hakim (2012) menemukan bahwa siswa baru di sebuah SMA mendapat paksaan seniornya agar mengikuti kelompok geng. Kelompok geng sering kali berkelahi atau menyerang kelompok geng sekolah lain. Kekerasan yang dilakukan siswa remaja tak jarang sampai menyebabkan cidera fisik bahkan kematian (Asril, 2012; Aziza, 2012). Mengetahui well-being pada siswa merupakan hal yang penting karena penurunan well-being merupakan tanda awal adanya permasalahan emosi dan perilaku yang lebih serius (Bizarro, 2006). Dengan mengetahui well-being siswa remaja, stakeholder dapat menyusun langkah prevensi yang sesuai untuk menghindari atau mengurangi permasalahan serius yang mungkin dialami remaja (Gonzalez dkk., 2007; Negovan, 2010; Seifert, 2005). Meskipun mengetahui well-being siswa remaja sangat diperlukan, akan tetapi menyusun suatu instrumen yang dapat mengungkapnya tidaklah mudah (Gonzalez dkk., 2007; Warr, 2012). Terdapat beberapa permasalahan terkait penyusunan alat ukur well-being. Pertama, belum ada definisi yang konsisten dan disepakati tentang definisi well-being (Warr, 2012). Para peneliti memiliki operasionalisasi konsep well-being yang berdeda-beda, sehingga banyak penelitian yang bertujuan untuk mendefinisikan konstrak well-being itu sendiri dan menganalisis berapa banyak komponen atau dimensinya (Kafka & Kozma, 2002). Ke dua, adanya permasalahan psikometris pengukuran well-being
3
sebagai konstrak multidimensi, yaitu rendahnya reliabilitas konsistensi internal dan reliabilitas tes-ulang (Kozma dkk. dalam Negovan, 2010). Penelitian mengenai well-being siswa remaja dalam konteks sekolah belum banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa penelitian yang berhasil dihimpun peneliti adalah penelitian Ahmad, Kurniasari, Fauzia, Simatupang (Ahmad, 2010) dan Kumara (2011). Penelitian-penelitian tersebut mengukur persepsi siswa terhadap sekolahnya meliputi having, loving, being dan health status yang dikenal dengan school well-being (Konu & Rimpelä, 2002). School well-being merupakan pengembangan well-being dari perspektif sosiologis sehingga kurang berfokus pada aspek psikologis siswa. Pengembangan instrumen well-being harus memperhatikan konteks budaya dan perkembangan individu karena well-being merupakan konstrak yang sangat dipengaruhi lingkungan dan tahap perkembangan (Ryff & Singer, 2008). Oleh karena itu, teori well-being yang dikembangkan dari subjek dewasa harus dikaji ulang ketika hendak diterapkan pada subjek remaja. Begitu pula dengan teori well-being yang dikembangkan pada budaya individualis harus disesuaikan jika digunakan pada budaya kolektivis. Masyarakat dalam budaya kolektivis mempunyai ciri sendiri dalam interaksi sosial jika dibanding dengan masyarakat dalam budaya individualis (Ciochină dan Faria, 2009). Mengetahui well-being siswa remaja memang sangat dibutuhkan. Namun terdapat beberapa permasalahan pada instrumen pengukuran well-being, yaitu: 1. rendahnya reliabilitas konsistensi internal dan reliabilitas tes-ulang (Kozma dkk. dalam Negovan, 2010) 2. skala yang tidak memenuhi kaidah penulisan aitem (Ryff, 1995; Harpan, 2006)
4
3. kurang berfokus pada aspek psikologis siswa (Ahmad, 2010; Kumara, 2011) 4. kurang berfokus pada konteks sekolah (Harpan, 2006; Seifert, 2005) 5. tidak mempertimbangkan faktor budaya (Fraillon, 2004; Harpan, 2006) 6. kurang mempertimbangkan aspek perkembangan remaja (Seifert, 2005) Melalui penelitian ini, apakah dapat dihasilkan suatu instrumen pengukuran student well-being untuk siswa remaja dalam konteks sekolah yang memiliki karakteristik psikometris yang memuaskan? Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah menyusun instrumen pengukuran
student
well-being
yang
memiliki
karakteristik
psikometrik
memuaskan, yaitu valid dan reliabel. Suatu instrumen pegukuran yang mampu membedakan individu yang memiliki atribut ukur dan individu yang tidak memiliki atribut ukur, instrumen yang mudah dimengerti baik peneliti maupun responden, serta instrumen yang praktis dan ekonomis.
Pengukuran Student Well-Being Pengukuran adalah penempatan angka-angka sedemikian rupa sesuai dengan perbedaan derajat kualitas (Ducan dalam DeVellis, 2003). Pengukuran adalah suatu prosedur pemberian angka (kuantifikasi) terhadap atribut atau variabel sepanjang suatu kontinum (Azwar, 1999). Pengukuran psikologis berarti memberikan kuantifikasi terhadap atribut psikologis
sepanjang kontinum
psikologis. Secara
operasional,
pengukuran
merupakan
suatu
prosedur
pembandingan antara atribut yang hendak diukur dengan alat ukurnya (Azwar, 1999). Karakteristik pengukuran adalah pembandingan atribut yang diukur
5
dengan alat ukurnya, hasilnya dinyatakan secara kuantitatif, dan hasilnya bersifat deskriptif. Atribut psikologis tidak bisa diukur maupun diamati secara langsung seperti atribut fisik. Atribut psikologis hanya dapat diungkap secara tidak langsung melalui banyak indikator keperilakuan yang operasional. Atribut psikologis tersebut diungkap melalui skala, yaitu alat ukur yang terdiri dari kumpulan aitem yang disatukan ke dalam skor gabungan. Tujuan dari penggunaan skala adalah untuk mengungkapkan level variabel teoritis yang tidak mudah diamati secara langsung (DeVellis, 2003). Dalam pengukuran psikologis, student well-being termasuk atribut nonkognitif atau disebut juga performansi tipikal. Performansi tipikal adalah performansi
yang
kepribadiannya
ditampakkan
oleh
individu
sendiri sehingga indikator
sebagai
proyeksi
dari
perilaku yang diperlihatkannya
merupakan kecenderungan umum dirinya dalam menghadapi situasi tertentu (Azwar, 2012a). Karakteristik pengukuran non-kognitif adalah: a. Stimulus atau aitem dalam skala psikologis berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. b. Terdiri dari banyak aitem. Kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis diperoleh berdasar respon terhadap semua aitem. c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”. Penyusunan skala dimulai dengan mengidentifikasi tujuan ukur. Dalam hal ini adalah memilih definisi dan teori yang mendasari konstrak tersebut. Wellbeing memiliki banyak bentuk dan tidak memiliki indeks tunggal. Pengukuran
6
yang efektif memerlukan instrumen yang handal dan mempunyai kejelasan tentang bentuk well-being yang akan diukur. Penilaian keberhasilan pengukuran dapat dilakukan jika apa yang hendak diukur telah didefinisikan dengan jelas (Warr, 2012). Konstrak well-being dipandang dari berbagai perspektif, diantaranya perspektif klinis, perspektif psikologis (Hattie, Myers, & Sweeney, 2004), dan perspektif sosiologis (Allardt dalam Konu & Rimpelä, 2002). Perspektif psikologis menekankan bahwa well-being bukan hanya ketidakmunculan kondisi negatif atau penyakit, namun juga munculnya atribut diri yang positif (Keyes, 1998). Terdapat dua pendekatan dalam mendefinisakan well-being dalam perspektif psikologis, yaitu pendekatan hedonic dan pendekatan eudaimonic (Waterman, 1993). Pendekatan hedonic
mengartikan well-being sebagai
perasaan positif yang dialami individu ketika memperoleh objek materi, terpenuhinya keinginan, atau terwujudnya harapan dan kesempatan. Teori yang lahir dari pendekatan ini adalah Subjective Well-Being (SWB) yang didefinisikan sebagai kemunculan afek positif, ketidakmunculan afek negatif dan adanya kepuasan hidup (Deci & Ryan, 2008). Pendekatan eudaimonic menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam dirinya yang sejati (Waterman, 1993). Dengan kata lain, pendekatan eudaimonic berfokus pada bagaimana manusia dapat merealisasikan potensi yang ada dalam dirinya. Konsep ini menegaskan bahwa menjadi sejahtera bukan hanya menjadi bahagia, namun juga harus berfungsi secara positif. Teori well-being yang berkembang dari perspektif
eudaimonic
adalah
Psychological
Well-being
(PWB)
yang
dikembangkan oleh Ryff (1989).
7
Penelitian
ini
berpijak
pada
teori
psychological
well-being yang
dikembangkan oleh Ryff (1989). PWB dipilih karena berfokus pada aspek psikologis lebih dalam dibandingkan dengan teori yang lain. Selanjutnya, teori tersebut ditelaah berdasarkan konteks sekolah, konteks budaya, dan tahap perkembangan siswa sekolah menengah.
Teori Psychological Well-Being Ryff Ryff mengembangkan teori PWB
dilatarbelakangi oleh ketiadaan
penilaian well-being yang kredibel secara teoritis (Ryff, 1995; Seifert, 2005; VanDierendonck, Diaz, Rodriguez-Carvajal, Blanco, & Moreno-Jimmenez, 2007). Ryff mengembangkan kerangka teoritis well-being yang terintegrasi berdasar kajian literatur yang luas. Perspektif yang paling penting dalam pengembangan teorinya adalah life span theory dari Erikson; teori klinis tentang pertumbuhan pribadi dari Maslow, Roger, dan Allport; serta kriteria kesehatan mental positif dari Jehoda. Selain itu, Ryff juga terinspirasi dari penelitiannya pada perkembangan sepanjang hayat (Ryff, 1995; Ryff & Keyes, 1995) dan pandangan filosofis Aristotle (Ryff & Singer, 2008). Ryff menyatakan bahwa semua perspektif ini mempunyai kriteria yang mirip dan saling melengkapi fungsi positif psikologis. Kemiripan utama dari semua kriteria tersebut adalah penggunaan istilah well-being dari pada istilah illness. Perspektif ini menghasilkan model baru dari konsepsi kesehatan, yaitu “bukan hanya ketidakmunculan penyakit, namun juga kemunculan sesuatu yang positif” (Ryff, 1995; WHO, 1984). Ryff (1995) mendefinisikan PWB sebagai usaha untuk merealisasikan potensi sesungguhnya dari seseorang. PWB menekankan pada fungsi positif
8
individu. Individu yang memiliki PWB tinggi memiliki evaluasi positif terhadap diri dan hidupnya, perasaan terus berkembang dan bertumbuh sebagai manusia, keyakinan bahwa hidup bertujuan dan bermakna, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, mampu mengatur hidup dan lingkungan secara efektif, dan perasaan determinasi diri. Selanjutnya, Ryff menurunkan teori tersebut ke dalam 6 aspek, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian / otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan perkembangan pribadi.
Student Well-Being pada Siswa di Sekolah Menengah Student well-being dikembangkan melalui telaah teori psychological wellbeing dalam konteks sekolah (Fraillon 2004; Ostroff, dkk., 2007). Konsep student well-being perlu dirumuskan dalam konteks sekolah agar membawa dampak pada efisiensi kebijakan dan perencanaan program di sekolah. Student wellbeing didefinisikan sebagai sejauh mana seorang siswa berfungsi efektif dalam komunitas sekolah. Komunitas sekolah adalah kesatuan kelompok yang bertujuan untuk berbagi yang berpusat di sekolah (Fraillon, 2004). Tingkat sekolah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekolah menengah. Sekolah menengah di Indonesia dibagi menjadi dua tingkat, yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) (Kemendikas, 2012). Sekolah menengah dipilih karena memberikan pengaruh besar pada kehidupan siswanya. Pada umumnya siswa sekolah menengah adalah remaja yang menghabiskan sebagian besar waktu dan tenaganya di sekolah atau mengerjakan tugas yang berhubungan dengan sekolah. Siswa sekolah menengah berada dalam rentang usia 11-18 tahun (Haryato, 2007). Rentang usia tersebut memasuki periode remaja (Mönks,
9
Knoers, & Haditono, 2006; Santrock, 2007). Rentang usia siswa SMP berkisar antara 11-14 tahun dan siswa SMA berkisar antara usia 15-18 tahun. Dalam perspektif psikologi perkembangan, siswa SMP memasuki tahap remaja awal dan siswa SMA memasuki tahap remaja pertengahan (Mönks dkk., 2006). Secara kognitif, remaja mulai memasuki tahap berpikir operasional formal Piaget. Remaja tidak hanya melandasi pemikirannya pada pengalaman nyata dan konkret, melainkan mampu untuk membayangkan situasi rekaan, kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis, ataupun proporsi abstrak, dan mencoba mengolahknya dengan pemikiran logis. Secara teoritis, remaja awal menggunakan cara berpikir operasional formal awal, yaitu berpikir dengan kemungkinan tak terbatas dan mengalahkan realitas, sehingga dunia dipersepsi terlalu subjektif dan idealis. Sedangkan remaja pertengahan mulai menggunakan cara berpikir operasional formal akhir yang ditandai dengan mengujikan hasil penalaran yang mereka lakukan dengan realita sehingga terjadi keseimbangan intelektual (Santrock, 2007). Namun demikian, terdapat variasi individu yang cukup besar dalam perkembangan kognitif remaja, sehingga pencapaian cara berpikir operasional formal dapat berbeda pada setiap individu. Secara sosial, hubungan dengan teman merupakan hal yang sangat penting bagi remaja awal. Persepsi penerimaan dari teman sebaya menjadi fokus utama, sehingga remaja awal cenderung menjalin pertemanan dengan orang yang memiliki kesamaan dengannya. Memasuki tahap remaja pertengahan, remaja mulai mencoba untuk menegaskan identitasnya. Pergaulan dengan teman mulai meluas, bukan hanya dengan teman-teman yang memiliki kesamaan dengannya namun juga teman lawan jenis (Hurd, 2005).
10
Memasuki tahap remaja awal, remaja sering mengalami level emosi yang berubah-ubah, kemurungan dan ekspresi emosi yang meledak-ledak. Seiring dengan berkembangnya kemampuan kognitif, remaja awal mulai memiliki kemampuan mengidentifikasi, memahami dan mengekspresikan emosi yang lebih
luas.
Kemampuan
untuk
berpikir
tentang
konsekuensi
dari
mengekspresikan emosi mulai muncul, walaupun belum mampu mengontrol sepenuhnya. Sedangkan pada remaja pertengahan, kemampuan ini berkembang lebih baik (Newman & Newman, 2012). Remaja yang telah matang secara emosional tidak meledakkan emosinya, melainkan menunggu waktu dan situasi yang tepat dengan cara-cara yang bisa diterima. Indonesia dan negara di Asia dikategorikan dalam corak budaya kolektivis, sedangkan negara di Eropa dan Amerika bercorak budaya Individualis (Widyarini, 2009). Budaya kolektivis memiliki nilai-nilai sosial yang menekankan pada ikatan-ikatan sosial atau solidaritas sosial serta memprioritaskan tujuan kelompok
atau
kesejahteraan
kelompok. Sementara budaya individualis
memprioritaskan tujuan dan kesejahteraan pribadi (Myers, 1994). Pada budaya kolektivis, kesejahteraan dan kepuasan hidup berasal dari keberhasilan melaksanakan peran dan kewajiban sosial serta menghindari kegagalan dalam domain sosial. Contohnya, perilaku menahan emosi lebih dipilih dari pada mengekspresikannya secara terbuka sebagai cara menjaga harmoni kelompok (Kwan, Bond, & Singelis, 1997; Markus & Kitayama, 1991). Sebaliknya, pada budaya individualis sumber penting dari kesejahteraan dan kepuasan hidup adalah ekspresi emosi yang terbuka dan pencapaian tujuan personal (Diener & Diener, 1995; Markus & Kitayama, 1991).
11
Well-being
dipengaruhi
oleh
konteks
seseorang
hidup
dan
perkembangannya (Ryff & Singer, 2008). Ryff mengembangkan teorinya dengan menggunakan responden orang dewasa dan dalam budaya barat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini PWB dari Ryff perlu dimodifikasi dengan menggabungkan teori lain agar sesuai dengan perkembangan remaja dan konteks sekolah dan budaya lokal. Hal ini dapat dilakukan asalkan teori yang digunakan berasal dari mahzab atau aliran teori yang sama (Azwar, 2012a). Penelitian yang mengeksplorasi konsep student well-being diantaranya adalah Fraillon (2004) serta Ostroff, O’Toole, dan Kropf (2007). Kedua penelitian tersebut
berakar
dari
perspektif
psychological
well-being.
Fraillon
memformulasikan student’s well-being menjadi 13 aspek, sedangkan Ostroff dkk. memformulasikan menjadi 16 aspek. Peneliti melakukan telaah ulang terhadap kedua penelitian tersebut berdasarkan konsep psychological well-being dari Ryff (1995). Hasilnya, peneliti merumuskan 8 aspek student well-being. Aspek-aspek tersebut adalah penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, dorongan mengembangkan pribadi, tujuan hidup yang terarah, keikutsertaan dalam sekolah, yakin terhadap kemampuan diri, kemandirian / otonomi, dan regulasi emosi. Modifikasi dilakukan dengan mengganti aspek “penguasaan lingkungan” dari Ryff menjadi aspek “keikutsertaan dalam sekolah” dan aspek “yakin dengan kemampuan diri”, serta menambahkan aspek “regulasi emosi”.
12
Siswa remaja memiliki well-being tinggi ditandai dengan kemunculan aspek-aspek berikut ini: 1.
Penerimaan Diri yang Baik. Ryff (1995) menyebut aspek ini sebagai self-acceptance, Fraillon (2004)
menyebut dengan self-esteem, sedangkan Ostroff dkk. (2007) menyebut dengan istilah self-knowledge. Peneliti mengacu pada Ryff yang menggunakan istilah penerimaan diri. Penerimaan diri merupakan evaluasi positif seseorang terhadap dirinya yang meliputi kekurangan, kelebihan, dan masa lalu. Pada tahap perkembangannya, remaja mengalami perubahan secara fisik maupun peran sosial (Simpson, 2001). Remaja yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut akan memiliki penilaian diri yang positif. Evaluasi positif remaja tentang dirinya sering kali fluktuatif, khususnya pada saat remaja awal. Hal yang berkaitan dengan penampilan fisik menjadi faktor penting penerimaan diri pada remaja, diikuti oleh hal yang berhubungan dengan teman sebaya, lalu hal yang berhubungan dengan kemampuan akademik (Heatherton & Polivy, 1991; Steinberg, 2009). Siswa remaja yang mampu menerima diri dengan baik ditandai dengan mengetahui dan menerima kelebihan serta kekurangannya, tidak menyalahkan diri dan orang lain atas keterbatasan dirinya, tidak menyalahkan diri dan orang lain atas kegagalan yang pernah dialami dan tidak mudah merasa rendah diri saat menerima saran atau kritik dari orang lain.
2.
Memiliki Hubungan Positif Dengan Orang Lain. Memasuki tahap remaja, individu mulai membangun hubungan akrab
(intimate) dengan orang lain. Keakraban merujuk pada hubungan dekat yang
13
terbuka, jujur, saling memperhatikan dan saling percaya. Pertemanan merupakan tahap pertama remaja dapat mempraktikkan keterampilan sosialnya. Melalui pertemanan, remaja belajar bagaimana memulai, menjaga, dan mengakhiri suatu hubungan. Remaja juga berlatih keterampilan sosial dan belajar membentuk hubungan yang akrab (Steinberg, 2009). Remaja awal cenderung memilih teman yang memiliki kesamaankesamaan dengan mereka, misalnya kesamaan suku, jenis kelamin, dan kesenangan. Sedangkan pada remaja pertengahan mereka mampu berteman lebih luas (Hurd, 2005; Santrock, 2007). Siswa remaja yang memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu menunjukkan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh komunitas sekolah, memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat mengungkapkan keinginan kepada orang lain, dan dapat menunjukkan rasa empati.
3.
Memiliki Dorongan untuk Mengembangkan Pribadi. Perkembangan kognitif remaja semakin maju sehingga masa remaja
merupakan masa yang tepat untuk melihat hubungan antara kemampuan mereka saat ini dengan rencana dan cita-cita di masa yang akan datang. Remaja harus menemukan apa yang ingin dicapai, keunggulan dalam bidang apa yang dimiliki, dan kesuksesan dalam area mana yang mungkin diraih (Steinberg, 2009). Siswa remaja yang memiliki dorongan untuk mengembangkan pribadi menunjukkan usaha-usaha untuk memperoleh pengetahuan baru, terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki keinginan untuk mewujudkan potensinya, serta mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah lakunya dari waktu ke waktu.
14
4.
Memiliki Tujuan Hidup yang Terarah. Pada masa remaja, muncul kemampuan ekspansi dalam berpikir seiring
berkembangnya kemampuan berpikir abstrak. Berpikir abstrak berarti berpikir tentang sesuatu yang tidak dapat dilihat, didengar, atau disentuh. Misalnya kesetiaan, kepercayaan, keyakinan, dan spiritualitas (Ruffin, 2009). Istilah spiritualitas sering disamakan dengan tujuan hidup (Fraillon, 2004). Siswa remaja yang memiliki tujuan hidup yang terarah memiliki cita-cita yang ingin diraih, memiliki gambaran atau rencana yang akan dilakukan di masa depan, dan tidak suka melakukan kegiatan yang kurang berguna.
5.
Memiliki Rasa Keikutsertaan dalam Sekolah. Fraillon (2004) menyebut aspek ini dengan istilah engagement dan
connectedness, sedangkan Ostroff dkk. (2007) menyebut dengan istilah belongingness. Aspek ini merupakan modifikasi dari aspek penguasaan lingkungan dari Ryff. Aspek penguasaan lingkungan dari Ryff ditujukan untuk subjek dewasa. Aspek ini berkembang optimal pada individu paruh baya (Ryff, 1995). Modifikasi perlu dilakukan agar sesuai dengan subjek remaja dan konteks sekolah. Aspek
penguasaan
lingkungan
dari
Ryff
didefinisikan
sebagai
kemampuan seseorang untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang cocok dengan kondisinya, kemampuan mengatur dan mengontrol lingkungan yang kompleks, serta partisipasi aktif dalam lingkungan. Remaja belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari pengaruh lingkungan dan orang dewasa (Havighurst dalam Mönks dkk., 2006). Remaja belum memiliki kemampuan memilih lingkungan sendiri dan mengontrol lingkungan yang kompleks. Namun remaja
15
mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan di lingkungan sekitar, baik di lingkungan tempat tinggal maupun sekolah. Siswa yang memiliki rasa keikutsertaan dalam sekolah terpanggil untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah baik kegiatan akademis maupun non-akademis. Siswa tersebut memiliki kehadiran tinggi di sekolah, menunjukkan kesiapan mengikuti pelajaran, berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan, dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah. Keterlibatan dengan sekolah mendorong pencapaian prestasi yang lebih baik (Willms, 2000), peningkatan motivasi, dan sikap positif terhadap sekolah (Anderman, 2002).
6.
Yakin Dengan Kemampuan Diri. Aspek ini merupakan modifikasi dari aspek penguasaan lingkungan Ryff
yang sangat mirip dengan konsep self-efficacy (Ryff & Singer, 2008). Fraillon (2004) menyebut aspek ini dengan self-efficacy, sedangkan Ostroff dkk. (2007) menyebut aspek ini dengan keyakinan terhadap kemampuan. Yakin dengan kemampuan diri adalah sejauh mana seseorang percaya diri mereka mampu mengatur, melaksanakan dan menyesuaikan strategi untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dalam konteks sekolah, siswa dengan tingkat efikasi diri tinggi merasa yakin dengan kemampuan mereka untuk mengelola tugas akademik dan tugas sosial yang mereka hadapi (Fraillon, 2004).
7.
Memiliki Kemandirian / Otonomi. Membangun kemandirian merupakan tugas perkembangan psikososial
remaja (Havighurst dalam Mönks, 2006). Selama masa remaja, kemandirian berkembang dengan pesat karena cepatnya perubahan fisik, kognitif, hubungan
16
sosial yang luas, dan bertambahnya hak dan kewajiban (Zimmer-Gembeck & Collins, 2003). Kemandirian pada remaja dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu kemandirian emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian kognitif (Steinberg, 2009). Kemandirian emosional berkaitan dengan perubahan hubungan dekat dari orangtua kepada teman sebaya. Kemandirian perilaku berkaitan dengan kemampuan mengambil keputusan dan menjalankan keputusan tersebut. Kemandirian kognitif berhubungan dengan pembentukan seperangkat nilai kemandirian, opini dan keyakinan. Kemandirian pada remaja bukan berarti mandiri sepenuhnya dari orang lain, melainkan menjadi orang yang memiliki pengaturan diri dalam hubungan. Kemandirian emosional ditandai dengan tiga hal, yaitu pertama remaja tidak melibatkan terlalu jauh orangtua saat mereka sedih, khawatir atau membutuhkan bantuan. Ke dua, mereka tidak melihat orangtua sebagai sosok yang mengerti segalanya atau menguasai segalanya. Ke tiga, mereka lebih lekat terhadap hubungan di luar keluarga seperti teman sebaya atau kekasih daripada orangtua (Steinberg, 2009). Remaja
dapat
dikatakan
memiliki
kemandirian
yang
baik
jika
ketergantungan emosi terhadap orangtua telah berkurang, mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya tanpa bantuan orang lain, dapat mengambil keputusan sendiri tentang hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, serta tidak banyak melibatkan orang lain dalam mengambil keputusan tersebut.
17
8.
Mampu Meregulasi Emosi. Selain enam dimensi dari Ryff, peneliti menganggap perlu menambahkan
aspek regulasi emosi. Hal ini mempertimbangkan adanya masa “badai” pada remaja yang ditandai oleh adanya emosi yang sangat kuat, tidak terkendali dan tampak irasional. Regulasi emosi merupakan aspek student well-being yang dirumuskan oleh Fraillon (2004) dan Ostroff dkk. (2007). Istilah emotional selfmanagement digunakan oleh Ostroff dkk. untuk menyebut pengetahuan tentang perasaan dan pengekspresian perasaan tersebut secara efektif. Peneliti memilih menggunakan istilah regulasi emosi. Regulasi emosi adalah kemampuan mengatur pengalaman emosional untuk memperoleh keadaan afektif yang diinginkan dan hasil yang adaptif (Lopes, Salovey, Côté, & Beers, 2005). Remaja dikatakan memiliki regulasi emosi yang baik jika ia tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat dengan cara-cara yang bisa diterima. Siswa dengan regulasi emosi yang baik tidak menunjukkan ekspresi emosi yang ekstrem. Aspek keperilakuan dioperasionalkan ke dalam bentuk keperilakuan yang lebih konkret agar penulis memahami arah respon yang diungkap dari responden (Azwar, 2012a). Penurunan aspek ke dalam indikator keperilakuan terdapat pada Tabel 1.
18
Tabel 1. Indikator Keperilakuan 1.
Aspek Memiliki penerimaan diri yang baik
A. B.
2.
Memiliki hubungan positif dengan orang lain
3.
Memiliki dorongan untuk mengembangkan pribadi
C. D. E. F. G. H. I. J.
4.
Memiliki tujuan hidup yang terarah
5.
Memiliki rasa keikutsertaan dalam sekolah
K. L. M. N. O. P. Q.
6.
Yakin dengan kemampuan diri
R. S. T.
7.
Mempunyai kemandirian / otonomi yang baik
U. V. W.
8.
Mampu meregulasi emosi
X. Y. Z.
Indikator Tidak menyalahkan diri dan orang lain atas kegagalan dan keterbatasan yang dimilikinya. Tidak mudah merasa rendah diri saat menerima saran dan kritik Cenderung disukai orang lain Mudah mengungkapkan maksud kepada orang lain Tidak suka terlibat pertengkaran dan perkelahian Menunjukkan kepedulian terhadap perasaan orang lain Bersedia membantu teman yang kesulitan Mengikuti kegiatan di luar sekolah yang membangun Berusaha mencari informasi tambahan tentang materi pelajaran. Memiliki keinginan untuk terus meningkatkan prestasi, baik bidang akademik maupun nonakademik (misalnya olah raga, organisasi) Fokus terhadap cita-cita yang ingin diraih Merencanakan kegiatan yang akan dilakukan Tidak suka melakukan hal yang kurang berguna Berangkat sekolah tepat waktu Berusaha mengumpulkan tugas tepat waktu Berpartisipasi aktif saat kegiatan belajar mengajar di kelas Berpartisipasi dalam kegiatan sekolah yang tidak diwajibkan. Merasa mampu mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru Merasa mampu memenuhi nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) Berusaha menyelesaikan tugas walau mengalami kesulitan Mampu mengatur kegiatan sendiri Mengambil keputusan sendiri dalam memilih kegiatan Berusaha menyelesaikan sendiri permasalahan sebelum meminta bantuan Tidak mengekspresikan emosi secara berlebihan Tidak mudah terpancing oleh keadaan atau kejadian yang membangkitkan emosi negatif Mengutamakan logika dari pada perasaan dalam menghadapi permasalahan
METODE Konstrak yang akan dikembangkan dalam penelitian ini mengacu pada tabel 1. Tahap pelaksanaan dalam penyusunan skala ini berdasar pada alur kerja penyusunan skala psikologi dari Azwar (2012a). Langkah yang ditempuh adalah identifikasi tujuan ukur (menetapkan konstrak teoritik), pembatasan domain ukur (merumuskan aspek keperilakuan), penulisan aitem (reviu aitem), validasi
19