PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK PENINGKATAN BERMATEMATIKA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
TESIS
Oleh
PARLAUNGAN 067021023/MT
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK PENINGKATAN BERMATEMATIKA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Matematika pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
PARLAUNGAN 067021023/MT
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK PENINGKATAN BERMATEMATIKA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) : Parlaungan : 067021023 : Matematika
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Herman Mawengkang) Ketua
(Dr. Saib Suwilo, M.Sc) Anggota
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof. Dr. Herman Mawengkang)
(Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa. B,M.Sc)
Tanggal lulus: 6 Juni 2008
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal 6 Juni 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Herman Mawengkang
Anggota
:
Dr. Saib Suwilo, M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc Drs. Marwan Harahap, M.Eng
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK Salah satu media yang efektif untuk mengembangkan kecakapan hidup (life skill) siswa adalah pemodelan matematika (mathematical modeling). Pemodelan matematika (mathematical modeling) adalah suatu studi tentang konsep dan operasi matematika dalam konteks dunia real dan pembentukan model-model dalam menggali dan memahami situasi masalah kompleks yang sesungguhnya (English, 2006). Model matematika telah banyak diaplikasikan dalam aspek kehidupan manusia, seperti pada bidang Fisika, Kimia, Biologi, Kesehatan, Teknik, Ekonomi, Geologi dan sebagainya. Banyak manfaat yang dapat diambil dari ilmu pengetahuan pemodelan matematika ini. Namun demikian, pembuatan model matematika adalah permasalahan yang sangat kompleks. Pemodel membutuhkan strategi pemecahan masalah (Problem solving) dalam perspektif pemodelan, pemikiran matematis (mathematical thinking) dan relasinya dengan ilmu pengetahuan lain. Apalagi mengajarkannya kepada siswa di sekolah dibutuhkan suatu strategi pembelajaran yang inovatif, efektif dan efisien. Pada tesis ini membicarakan tentang problem solving, mathematical thinking yang diintegrasikan ke dalam strategi pembelajaran pemodelan matematika untuk siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Kata kunci : Pemodelan Matematika untuk siswa Sekolah Menengah Atas.
i Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT One of the effective media to develop the student’s life skill is in mathematical modeling. ”Mathematical modeling is study of the mathematical concept and operations within real world contexts and the construction of models in exploring and understanding real complex problem stuations (English, 2006). Mathematical modeling has been becoming as application aspect in human life, such as in physics, chemistry, biology, healt, technique, Economy, and geology, etc. There are a lot of benefit that We can be taken from this mathematical modeling science. But mathematical modeling is a very complex problem. Modeler needs a strategy problem solving in modelling perspective, mathematical thinking and relation with others knowledge to find out the problem solving in reality. Especially in teach student’s at school. We need the innovations, effective and efficient teaching strategy. This thesis talk about the mathematical modeling in teaching strategy for senior high school. Keywords : Mathematical modeling for senior high school student.
ii Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya. Tesis ini berjudul ”Pemodelan matematika untuk Peningkatan Bermatematika siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)”. Tesis merupakan persyaratan akhir pada Program Studi Matematika SPs Universitas Sumatera Utara. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sain pada Program Studi Magister Matematika, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Dari hasil temuan peneliti diharapkan akan memperoleh sebuah model strategi pemecahan masalah pemodelan matematika ditingkat sekolah menengah atas. Penulis sangat sadar bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Namun, harapan penulis, semoga tesis ini bermanfaat bagian para pembaca dan peneliti-peneliti selanjutnya, khususnya peneliti di bidang pembelajaran pemodelan matematika kepada siswa. Saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat diharapkan untuk kesempurnaan hasil penelitian ini. Pada kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.Ak.., Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa B, M.Sc., ketua Program Studi Magister Matematika SPs Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Herman mawengkang, sekretaris Program Studi Magister Matematika SPs Universitas Sumatera Utara Dr. Saib Suwilo,M.Sc., yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk iii Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
mengikuti Program Studi Magister Matematika SPs Universitas Sumatera Utara Medan. Penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Herman Mawengkang dan Dr. Saib Suwilo., atas bimbingan, bantuan dan perhatian yang diberikan selama penulisan dan penyelesaian tesis ini. Selanjutnya terimakasih yang sangat tulus dari lubuk hati yang dalam, penulis sampaikan kepada para dosen : Prof. Dr. Herman Mawengkang, Dr. Saib Suwilo, M.Sc., Dr. Sutarman. M.Sc., Dr. Opim Salim Sitompul, M.Sc., Drs. Open Darnius, M.Sc., Drs. Marwan Harahap, M.Eng., Drs. Sawaluddin,MIT., Dra. Mardiningsih, M.Si., Dr. Irianto, M.Si., Drs. Manihar Situmorang,M.Sc yang telah banyak menyumbangkan ilmu pengetahuan pada penulis. Seluruh rekan-rekan mahasiswa angkatan ke-lima tahun 2006/2007 program studi Magister Matematika SPs Universitas Sumatera Utara atas kerjasama dan kebersamaan dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi selama perkuliahan, sehingga tugas-tugas bersama dapat diselesaikan dengan baik. Terimakasih penulis sampaikan kepada saudari Misiani, S.Si selaku staf Administrasi Program Studi Magister Matematika SPs Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pelayanan yang baik kepada penulis. Terimakasih yang tiada terhingga kepada yang mulia Ayahanda Almarhum Sutan Tua Nasution dan Ibunda tercinta Almarhumah Aslamiah Pulungan yang telah membesarkan, mendidik dan menyekolahkan penulis, sehingga berkesempatan mengikuti Program Studi Pascasarjana.
iv Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
Teristimewa penulis mengucapkan terimakasih kepada almarhumah isteri tercinta, Yusna Lubis,BA, Begitu juga kepada isteri tercinta Suriana yang telah memberikan dukungan moral dan spritual selama mengikuti perkuliahan, terimakasih buat ananda tersayang Ridha Amalia Nasution, Aulia Ahmad Nasution, Nafis Maulana Nasution, dan Muhammad Fadhlan Nasution, yang telah banyak memberikan pengertian dengan penuh kesabaran mulai dari masa kuliah sampai penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih yang terakhir, penulis sampaikan kepada seluruh keluarga dari pihak penulis dan pihak isteri penulis yang telah memberikan bantuan material dan spritual yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ucapan terimakasih ini. Akhirnya penulis hanya memohon kehadirat Allah yang Rahman dan Rahim, semoga jasa semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini, mendapat balasan yang baik amin.
Medan,
Juni 2008
Penulis,
Parlaungan
v Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP Parlaungan di lahirkan di Pancinaran pada 9 Juli 1962 Kecamatan Panyabungan saat ini menjadi Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal. dan merupakan anak ke 2 dari 10 bersaudara dari ayah Ali Tua Nasution gelar Sutan Tua Nasution dan Ibu Aslamiah Pulungan. Menamatkan Sekolah Dasar (SD) Negeri Pancinaran pada tahun 1975, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Panyabungan tahun 1979 dan Sekolah Menengah Atas Negeri Panyabungan jurusan Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada tahun 1982. Tahun 1982 memasuki Perguruan Tinggi Universitas Riau, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi diploma tiga, jurusan matematika, memperoleh ijazah diploma tiga dan akta tiga pada tahun 1985, tahun 1987 diangkat sebagai guru Pegawai Negeri Sipil di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Benai Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau, pada tahun 1992 mutasi tempat tugas ke SMA swasta Al-Azhar Medan, pada tahun 1994 mutasi tempat tugas ke SMA Negeri 1 Medan, pada tahun 1998 melanjutkan studi program strata satu di Universitas Negeri Medan jurusan Matematika dan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dan Akta Empat pada tahun 2001, pada tanggal 25 Desember 2000 isteri (almarhumah Yusna Lubis) meninggal dunia setelah dikarunia dua orang anak (Ridha Amalia Nst dan Aulia Ahmad Nst) , pada tahun 2002 menikah dengan Suriana dan sampai saat ini dikarunia dua orang anak (Nafis maulana Nst dan M. Fadhlan Nst). Pada tahun 2006 mengikuti pendidikan Program Studi Magister Matematika di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
vi Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
i
ABSTRACT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ii
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iii
RIWAYAT HIDUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
vi
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
vii
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
x
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xi
BAB 1 PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.2 Rumusan Masalah
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
1.3 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
1.4 Kontribusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
1.5 Metodologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
12
2.1 Pemodelan Matematika sebagai Aktivitas Pemecahan Masalah Matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
12
2.1.1 Peranan Konteks dalam Pemecahan Masalah Pemodelan Matematika . . . . . . . . . . . . . . . .
14
vii Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
2.1.2 Faktor-faktor Efektif dalam Penyelesaian Masalah Pemodelan Matematika . . . . . . . . . . . . . . . .
16
2.1.3 Metakognisi dalam Pemodelan Matematika . . . . .
18
2.2 Pemikiran matematis (Mathematical Thinking) . . . . . . .
19
2.3 Model dan Proses Pemodelan Matematika (Mathematical Modeling) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
21
2.4 Strategi Pembelajaran Matematika
. . . . . . . . . . . .
30
. . . . . . . . . . . . . . . . . . .
33
3.1 Beberapa Istilah dalam Pembelajaran . . . . . . . . . . .
33
3.2 Strategi Pemecahan Masalah
36
BAB 3 LANDASAN TEORITIS
. . . . . . . . . . . . . . .
3.3 Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching of Learning) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
44
3.4 Pembelajaran Matematika Realistik (Realistic Mathematics of Education) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
52
3.5 Pemikiran Matematis (Matematical Thinking) dalam Pembelajaran Matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
60
3.6 Pemodelan Matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . .
65
3.6.1 Pengertian Model dan pemodelan matematika . . . .
65
3.6.2 Komponen Model . . . . . . . . . . . . . . . . . .
66
3.6.3 Pentingnya Model Dibangun
. . . . . . . . . . . .
68
. . . . . . . . . . .
68
3.6.5 Kompetensi Pemodelan . . . . . . . . . . . . . . .
72
3.6.4 Proses Pemodelan Matematika
BAB 4 PEMBAHASAN
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
75
4.1 Pembelajaran Matematika . . . . . . . . . . . . . . . . .
75
4.1.1 Struktur Pembelajaran Matematika . . . . . . . . .
76
viii Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
4.1.2 Faktor Faktor Pembelajaran yang Mempengaruhi Hasil Pembelajaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
81
4.2 Strategi Pembelajaran Pemodelan Matematika . . . . . . .
85
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . .
101
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
103
ix Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
3.1
Peran guru dalam penyelesaian masalah(Ismail, 2003) . . . . .
42
3.2
Pendekatan kontekstual dan tradisional Depdiknas, (2006) . . .
48
4.1
Aktivitas pembelajaran pemodelan matematika . . . . . . . .
88
x Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1
Judul
Halaman
Lingkaran Pemodelan Kaesar (1995) dan Blum (1996) dalam Voskoglou (2006) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
11
Lingkaran pemodelan berdasarkan perspektif kognetif dari Voskoglou, (2006) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
11
2.1
Lingkaran Pemodelan Pollak 1979 (Borromeo ferri 2006) . . .
26
2.2
Proses pemodelan oleh Galbraith & Stillman, (2006) . . . . .
27
2.3
Proses pemodelan matematika Blum, 1996 (Maas, 2006, Mawengkang, 2007) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
28
Lingkaran pemodelan oleh Blum/Leiss (in Pres) (Borromeo Ferri, 2006) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
29
Pembentukan model matematika sebagai alat belajar matematika (Voskoglou, 2006) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
29
3.1
Proses pemodelan ( Galbraith & Stillman, 2006) . . . . . . .
70
3.2
Pembentukan model matematika sebagai alat belajar matematika (Voskoglou, 2006) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
71
4.1
Teknik penyebaran bimbingan kepada siswa dalam kelas . . .
83
4.2
Interaksi belajar siswa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
83
4.3
Proses Pemodelan (Galbraith & Stillman, 2006 . . . . . . . .
87
4.4
Lokasi Peternakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
96
1.2
2.4 2.5
xi Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya perubahan untuk meningkat kualitas pendidikan matematika di Indonesia. Perubahan tersebut terlihat dengan adanya kebijakan pemerintah dalam setiap periode merevisi muatan kurikulum dan mereformasi tujuan pendidikan matematika. Perubahan dilakukan guna memenuhi tuntutan kemajuan di segala aspek kehidupan manusia. Seperti pada bidang ekonomi, teknologi, industri, kesehatan, sosial dan lain sebagainya. Kualitas pendidikan tidak hanya dapat dicapai dengan mereformasi tujuan dan muatan kurikurikulum saja, akan tetapi perlu memperbaiki strategi pembelajaran dan yang berhubungan dengan tugas-tugas guru di sekolah. Fokus utama pembelajaran adalah bagaimana teknik dan strategi pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, agar para siswa dapat dengan mudah memahami materi pembelajaran yang disampaikan. Mungkin saja guru hanya melakukan dengan menerangkan, menceramahi, atau menjelaskan secara monoton atau dengan melakukan inovasi pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Nur, (2001) menyatakan bahwa ”pendidikan matematika di Indonesia pada umumnya masih berada pada pendidikan matematika konvensional yang banyak ditandai oleh strukturalistik dan mekanistik. Di samping itu, muatan kurikulumnya terlalu padat dan pembelajaran di kelas didominasi oleh guru atau berpusat pada guru”. Tran Vui, (2001) melaporkan bahwa ”para guru di Indonesia dan di
1 Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
2 Asia Tenggara cenderung untuk menggunakan strategi pembelajaran tradisional yang dikenal dengan beberapa istilah seperti; pembelajaran yang terpusat pada guru (teacher centered approaches), pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif (deductive teaching), metode ceramah (expository teaching), maupun pembelajaran untuk keseluruhan (whole class instruction) tanpa membuat klasifikasi siswa dan sebagainya”. Di Amerika Serikat (Smith, 1996) terdapat istilah mengajar matematika dengan cara memberitahu (teaching mathematics by telling). Dengan strategi pembelajaran seperti yang disebutkan di atas, dapat mengakibatkan kadar keaktifan siswa menjadi sangat rendah. Para siswa hanya menggunakan kemampuan berpikir tingkat rendah (low order thinking skills). Akibat selama proses pembelajaran berlangsung di kelas siswa kurang kreatif untuk berpikir dan kurang berpartisipasi mengikuti pembelajaran. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah, mana yang lebih baik bagi lulusan SMA, siswa yang hanya pandai mengikuti hal-hal yang telah dicontohkan dan dilatih oleh gurunya, ataukah siswa yang kreatif, dan terampil memecahkan masalah, dan mampu menemukan inovasi baru di bidangnya masing-masing?. Karena itulah praktek pembelajaran yang hanya melatih siswa untuk mengikuti hal-hal yang telah dicontohkan gurunya seperti yang diceritakan di atas sesungguhnya kurang sesuai dengan arah pengembangan dan inovasi pendidikan saat ini. Oleh karena itu perlu perubahan strategi pembelajaran yang lebih inovatif, efektif dan efisien. Pada dasarnya tugas utama seorang guru matematika adalah membantu siswanya mendapatkan informasi, ide-ide, keterampilan-keterampilan, nilai-nilai,
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
3 dan cara-cara berpikir serta cara-cara mengemukakan pendapat. Namun, tugas yang paling utama para guru matematika di SMA adalah membimbing para siswa tentang bagaimana belajar yang sesungguhnya serta bagaimana belajar memecahkan masalah matematika sehingga hal-hal tersebut dapat digunakan di masa depan mereka, disaat mereka sudah lulus sekolah lalu terjun ke lapangan-lapangan kerja yang sesuai, atau mereka memasuki pendidikan yang lebih tinggi. Sebagaimana implementasi penerapan pendidikan matematika dalam kurikulum matematika SMA, yaitu perlunya pengembangan silabus dan sistem penilaian yang menjadikan peserta didik mampu mendemonstrasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sesuai standar yang ditetapkan. Dengan mengintegrasikan kecakapan hidup (life skill). Kecakapan hidup (life skill) dalam kurikulum matematika SMA, (2006) dirinci kedalam lima bagian, salah satu diantaranya adalah kecakapan berpikir yang meliputi kecakapan menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan kecakapan memecahkan masalah. Kecakapan yang lain adalah kecakapan akademik meliputi, kecakapan mengidentifikasi variabel-variabel, menghubungkan variabel, merumuskan hipotesis, dan kecakapan melaksanakan penelitian. Pembekalan kecakapan hidup (life skill) yang dimaksud bertujuan agar para tamatan Sekolah Menengah Atas dapat menyelesaikan masalah matematika secara fleksibel dan kreatif dan mampu menggunakan alat-alat teknologi dalam bekerja secara kolaboratif. Juga dapat menggunakannya baik untuk pendidikan yang lebih tinggi maupun untuk bidang pekerjaan.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
4 Salah satu media yang efektif untuk mencapai life skill tersebut adalah pemodelan matematika (mathematical modeling). ”...Pemodelan matematika (mathematical modeling) adalah suatu studi tentang konsep dan operasi matematika dalam konteks dunia real dan pembentukan model - model dalam menggali dan memahami situasi masalah kompleks yang sesungguhnya”. (English, 2006) Pemodelan matematika (mathematical modeling) telah dicanangkan di Indonesia, baik di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Atas hingga ke Perguruan Tinggi. Sampai saat ini posisi pemodelan matematika di sekolah bukanlah suatu mata pelajaran, melainkan hanya satu sub topik di dalam mata pelajaran matematika atau merupakan kompetensi dasar di dalam suatu standar kompetensi tertentu. Kebiasaannya ditempat diakhir satu kompetensi dasar, sebagai aplikasi konsep-konsep matematika yang diajarkan sebelumnya. Sejumlah peneliti pendidikan telah mulai memfokuskan upaya penelitian mereka terhadap pemodelan matematika (mathematical modeling) di berbagai tingkatan sekolah sebelum masuk Perguruan Tinggi. Hal ini terbukti dalam berbagai publikasi penelitian dari kelompok-kelompok peneliti di Australia (English, Galbraith, et.al), Belgia (Verschaffel, et.al), Denmark (Niss, Blomhoj, et.al), Jerman (Blum. Kaiser,et.al) dan Amerika serikat (Lesh, Schoenfeld,et.al). Diantara pertanyaan yang dikemukakan adalah, ”seberapa baik kesiapan siswa sekarang ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan mereka hadapi di luar sekolah untuk memenuhi tujuan mereka dalam lapangan kerja, baik sebagai warga negara maupun untuk proses belajar yang lebih lanjut?” (Mousoulides, 2007b). Lesh, & Doerr, (2003) menyatakan ”bagaimana siswa dapat bekerja dengan masalah-masalah yang kurang jelas berhubungan dengan matematika seko-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
5 lah dan yang menuntut siswa untuk menangani situasi yang belum familiar dengan berpikir secara fleksibel dan kreatif ”. Meskipun demikian, pemodelan matematika telah layak diajarkan kepada siswa Sekolah Menengah. Hal ini dapat dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Mousoulides,et.al, 20008) terhadap siswa kelas enam dan delapan. Dan (Greer,et.al 2007) menyatakan bahwa, ”meskipun pemodelan matematika telah dicanangkan untuk tingkat Sekolah Dasar, Senior dan lanjutan, namun penelitian terbaru memperlihatkan bahwa siswa Sekolah Dasar dan Menengah Junior, dapat bekerja secara efektif dengan masalah-masalah dunia real yang lebih kompleks, dan dapat mengatasi aktivitas-aktivitas pemodelan, membangun atau membentuk model-model yang tepat dan efektif”. Hal yang sama (English, 2006) menyatakan bahwa, ”siswa sekolah Dasar dan Menengah Junior, sanggup bekerja secara sukses dengan masalah-masalah model matematika bila disajikan sebagai studi kasus dunia real”. Hasil penelitian telah menunjukkan, bahwa pemodelan matematika telah sesuai diajarkan kepada siswa Sekolah Dasar dan Menengah Lanjutan. Namun demikian masih dapat diasumsikan, bahwa tidak semua siswa mudah memahaminya. Sebagaimana (Mousoulides, et.al, 2008) memberi kesimpulan; ”hasil temuan studi penelitian memperlihatkan bahwa meskipun aktivitas pemodelan dapat diimplementasikan secara sukses dalam sekolah dasar dan menengah junior, dan dapat meningkatkan pemahaman matematika siswa, namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan kearah tujuan ini”. Hal ini mengindikasikan bahwa aplikasi pembelajaran pemodelan matematika di tingkat sekolah dasar dan menengah perlu untuk diteliti lebih lanjut. Terutama yang berkaitan dengan pembelajaran dan
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
6 kognisi siswa, tidak mustahil akan terdapat siswa yang mengalami kesulitan dalam memahaminya. Sebab (Musoulides, et.al, 2008) menemukan salah satu jenis kesulitan siswa di kelas enam dan delapan, sebagai berikut; ”...kelas enam gagal untuk memahami pertanyaan inti dari masalah dan mereka juga tidak sukses menghubungkan pertanyaan inti dengan data yang diberikan....Sebaliknya siswa kelas delapan terlihat bahwa mereka dapat mengidentifikasi berbagai variabel dan hubungan yang penting untuk menjelaskan dan memahami masalah. Namun, mereka mengalami kegagalan untuk menangani dan menghubungkan pemahaman ini dengan pertanyaan inti dari masalah”. Salah satu aspek kesulitan siswa membuat pemodelan ( Crouch dan Haines , 2004) melaporkan bahwa ”interfase diantara masalah dunia real dan model matematika yang menghadirkan kesulitan siswa, yaitu transisi dari dunia real ke model matematika dan sebaliknya transisi solusi model ke dunia real. Sedangkan hasil aplikasinya tidaklah menunjukkan kesulitan tertentu bagi siswa untuk tahapan proses pemodelan”. Begitu juga (Maas, 2006) beberapa peneliti melaporkan bentuk kesalahan yang terjadi disaat siswa memodelkan masalah. Diantaranya adalah kesulitan siswa untuk menciptakan suatu hubungan antara realita dan matematika, dan untuk menyederhanakan dan menstrukturisasi realita. Dan masalahmasalah yang berhubungan dengan solusi matematika. Kegagalan siswa seperti yang ditemukan oleh beberapa peneliti di atas dapat juga terjadi pada siswa Sekolah Menengah Atas di berbagai negara-negara lain di dunia ini, begitu juga di Indonesia. Ada dua faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Pertama, faktor internal yaitu suatu faktor yang datang dari diri siswa, seperti kemampuan dasar, kecerdasan, metakognisi siswa. Kedua, faktor eksternal yaitu faktor
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
7 yang datang dari luar diri siswa, misalnya pengaruh strategi pembelajaran guru di kelas. Sebagaimana (Verschaffel & De Corte , 1997) menyimpulkan dalam penelitiannya ”bahwa sikap dan keyakinan guru tentang signifikansi pengetahuan dunia nyata dalam penyelesaian masalah, memberikan dampak yang negatif pada praktek mengajar dan juga terhadap proses dan hasil belajar siswa mereka”. Kegagalan dan keberhasilan siswa adalah cermin dari pengajaran guru di kelas. Kegagalan siswa dalam membuat model matematika menjadi refleksi bagi guru, untuk mengintrospeksi pembelajaran yang dilakukannya di dalam kelas. Kegagalan seperti ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa terhadap pemodelan matematika belum maksimal. Kegagalan siswa dalam pemodelan dapat diakibatkan antara lain; karena siswa tidak dapat memahami (mengidentifikasi) masalah, tidak dapat mentransformasi masalah dunia real ke model matematika, tidak mengetahui konsep-konsep matematika yang mendasari kearah pemodelan, tidak mampu menghubungkan data dengan kaedah-kaedah matematika sehingga ditemukan suatu bentuk model matematika, atau tidak mampu menyelesaikan model matematika yang ditemukan. Permasalahan lain yang dapat mengakibatkan siswa mengalami kesulitan memahami pemodelan matematika adalah lemahnya pemahaman siswa terhadap teknik dan strategi pemecahan masalah (problem Solving) dan proses berpikir matematis (mathematical Thinking) siswa yang belum kritis dan analitis. Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan pemodelan matematika adalah memperbaiki strategi pembelajaran matematika di kelas. Menjelaskan dan mengaplikasikan teknik dan strategi pemecahan ma-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
8 salah (problem solving) dalam pemodel matematika, memberikan latihan-latihan kearah pengembangan daya pikir siswa agar pemikiran matematis (mathematical thinking) siswa lebih kritis dan analitis.
1.2 Rumusan Masalah Pemodelan matematika penting dipelajari karena pemodelan matematika telah diakui sebagai media yang efektif untuk mempersiapkan siswa untuk menghadapi situasi yang belum familiar, dengan berpikir secara fleksibel dan kreatif, dan untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia real yang mereka hadapi di luar sekolah. Pemodelan perlu diteliti, karena sejumlah literatur penelitian di berbagai tingkat sekolah masih ditemukan beberapa kasus sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Pemodelan matematika melibatkan pemecahan masalah (problem solving) dan pemikiran matematis (mathematical thinking) dan ilmu lain yang terkait dengannya. Oleh karena itu problem solving dan mathematical thinking turut dikaji dalam penelitian ini, yang diturunkan secara aplikatif dalam ilustrasi pemodelan matematika. Aktivitas pemodelan secara teoritis, menjadi kerangka pada penulisan strategi pembelajaran pemodelan matematika yaitu:
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
9 1. Strategi pembelajaran pada tahap mengidentifikasi masalah. 2. Strategi pembelajaran pada tahap pembentukan model matematika. 3. Strategi pembelajaran pada tahap pencarian solusi model matematika. 4. Strategi pembelajaran pada tahap menafsirkan arti dari solusi matematika. 5. Strategi pembelajaran pada tahap evaluasi hasil.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengajukan suatu teknik dan strategi pembelajaran pemodelan matematika.
1.4 Kontribusi Peningkatan proses pembelajaran dalam bidang matematika.
1.5 Metodologi Penelitian ini bersifat pengkajian literatur yang berhubungan dengan problem solving, mathematical thinking yang diintegrasikan kedalam strategi pembelajaran pemodelan matematika. Namun, bahasan model matematika yang dimaksud bukanlah sederajat dengan materi yang ada di Perguruan Tinggi. Ilustrasi model-model matematika yang di tampilkan diadaptasikan dengan kompetensi dasar siswa Sekolah Menengah Atas. Hal yang utama dalam penelitian ini adalah strategi pembalajaran pemodelan matematika.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
10 Pernyataan (Kaiser. et.al, 2006). bahwa ”teori belajar pemodelan matematika sangat jauh dari lengkap dan perlu mengklaim aspek pendidikan secara umum (global)”. Memahami pernyataan (Kaiser,et.al 2006) ini mengakibatkan pembahasan tentang pembelajaran pemodelan sangat luas. Disebabkan keterbatasan penulis, maka starategi pembelajaran yang dimaksud dalam tesis ini difokuskan kepada pengkajian secara teoritis aktivitas guru dan siswa dalam kelas. Siswa yang dimaksud adalah siswa yang bukan berkesulitan belajar matematika disebabkan oleh beberapa faktor yang datang dari diri siswa yang bersifat permanen, seperti intlegensi yang lemah. Langkah awal ditinjau, Model-model pembelajaran yang bersifat umum, problem solving, pemikiran matematis (mathematical thinking), proses pembentukan model matematika, kompetensi pembuatan model yang diajukan oleh Blum dan Kaiser. Selanjutnya pada bab empat dibahas strategi pembelajaran pemodelan matematika yang dipadukan dengan problem solving dan mathematical thinking. Proses pemodelan secara didaktik yang menjadi acuan pada penelitian ini adalah dengan menarik kesimpulan dari beberapa proses pemodelan yang telah diajukan oleh peneliti seperti (Galbraith , 2006, ). Hal ini sesuai dengan pandangannya bahwa setiap tahapan proses pemodelan adalah penting. Paper yang diajukannya memberikan kerangka kerja yang bermanfaat dalam mengimplementasikan tugas-tugas pemodelan dalam pengajaran sehari-hari. Juga ditinjau proses pemodelan lainnya seperti (Voskoglaou, 2006). Dengan alasan bahwa proses pemodelan dengan model rantai markov yang dibuat mereka telah diterima dalam International Conference on The Teaching of Mathematical Modeling and Appli-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
11 cations ( ICTMA) ke-12. Serta meninjau tulisan (Borromeo Ferri, 2006) yang menjelaskan secara historis perkembangan dan philosopi pemodelan matematika.
Gambar 1.1 Lingkaran Pemodelan Kaesar (1995) dan Blum (1996) dalam Voskoglou (2006)
Gambar 1.2 Lingkaran pemodelan Voskoglou, (2006)
berdasarkan perspektif
kognetif dari
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemodelan Matematika sebagai Aktivitas Pemecahan Masalah Matematika Penyelesaian masalah dianggap sebagai hal yang utama dalam pendidikan matematika. Sebagaimana tujuan pendidikan matematika di Indonesia yang tertuang pada (kurikulum matematika SMA, 2006) adalah terbentuknya kemampuan bernalar pada diri siswa yang tercermin melalui kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, dan memiliki sifat jujur, disiplin, dalam memecahkan satu permasalahan baik dalam bidang matematika, bidang ilmu lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. National Council of Teachers of mathematics (NCTM), (2000) menekankan juga. ”bahwa program pengajaran haruslah memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan melalui pemecahan masalah. Pemecahan masalah muncul dalam matematika dan konteks lain, berlaku dan disesuaikan untuk berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah, monitor dan refleksi atas proses pemecahan masalah”. Sejumlah peneliti memunculkan pertanyaan tentang ketepatan pembelajaran sekarang ini dalam mengajarkan matematika secara umum dan penyelesaian masalah matematika secara khusus. ” Ketidaktepatan pemecahan masalah secara tradisional justru menghasilkan yang lebih buruk lagi dalam kasus pekerjaan siswa, dengan masalah-masalah yang kurang jelas berhubungan dengan matematika sekolah dan yang menuntut siswa untuk mengatasi situasi yang belum familiar (Lesh & Doerr, 2003).
12 Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
13 Terdapat perbedaan penting diantara pendapat para ahli tentang konsep pemecahan masalah, sebagaimana yang diusulkan (Polya, 1973; Schoelfeld, 1992; Posamentier, 1999; Blum & Kaiser (Maas,2006); Lesh & Doerr, 2003) dan ahli lainnya. Polya (1962) menekankan bahwa: ”dalam istilah penyelesaian masalah, dengan menciptakan kesamaan-kesamaan atau persamaan, siswa akan menerjemahkan situasi real kedalam istilah matematika, siswa memiliki kesempatan untuk mengalami bahwa konsep matematika dapat berhubungan dengan realita. Akan tetapi hubungan itu harus diselidiki dengan cermat”. Lebih lanjut Polya (1973) mengajukan empat tahapan pemecahan masalah (problem solving) yaitu; pemahaman masalah (understand and explore the problem), membuat rencana pemecahan masalah (Find a strategy), melaksanakan rencana pemecahan masalah (use the strategy to solve the problem) dan mengevaluasi kembali penyelesaian yang ditemukan (Look back and reflection the solution). Para ahli berbeda pendapat penggunaan pemecahan masalah (problem solving) secara tradisional di dalam pembentukan model matematika (mathematical modeling). Freudenthal, (1991) menyatakan bahwa ”praktek penyelesaian masalah secara tradisional dalam matematika sekolah, sangat tidak cocok dengan ide pemikiran pemodelan matematika dan matematisasi, sebagaimana pembuatan model matematika merupakan strukturisasi realita dengan menggunakan bantuan matematika, dimana jenis penyelesaian masalah tidak mengandung strategi heuristik matematika”. Begitu juga (Greer, 1997) menyatakan ”kerja siswa dengan pemecahan masalah tradisional tidak mengandung strategi heuristik matematika akibatnya adalah prevalensi solusi mekanik dan non logis. Yang kedua, konsekuensi kerja siswa dalam menyelesaikan masalah secara tradisional adalah tanpa melibatkan proses kognitif dan meta-kognitif tinggi”.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
14 Pandangan lain tentang pemecahan masalah pemodelan matematika adalah (Schoenfeld, 1992 , Burkhardt & Pollak, 2006) dari pakar matematika terapan menggunakan istilah perspektif modeling dan membandingkan sifat-sifat matematika murni dengan terapan yang relevan dengan dunia sekarang ini. Lebih lanjut (Schoenfeld, 1992) juga menyatakan ” bahwa pembuatan model matematika jauh lebih dari sekedar kalkulasi atau deduksi, melainkan melibatkan observasi (pola, pengujian, konjektur, dan estimasi hasil)”. Perspektif lain (Schovsmose, 1994, 2000) bahwa matematika juga harus menggambarkan pendidikan matematika yang kritis. NCTM, (2000) menekankan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bersama dengan pertanyaan-pertanyaan penting untuk mempromosikan atau meningkatkan pemahaman tentang hubungan diantara gagasan-gagasan matematika, namun rekomendasi ini dapat didorong lebih lanjut dan aktivitas modeling dapat dipergunakan sebagai cara untuk membudidayakan pemikiran kritis dan literasi kritis.
2.1.1 Peranan Konteks Matematika
dalam
Pemecahan
Masalah Pemodelan
Meskipun masalah-masalah pemodelan dikonseptualisasi menurut sifatnya, dan keaslian suatu masalah sesuai dengan wujud nyatanya, akan tetapi selalu memanifestasikan dirinya dalam suatu konteks. Namun tetap penting untuk menekankan secara tegas peranan dan sifat konteks yang dipergunakan. Sebagaimana (Mousoulides, 2007b) menyatakan ” peranan konteks adalah sangat penting dalam pemodelan matematika, karena pemodelan memerlukan suatu konteks untuk membuat kerangka masalah dan mengembangkan matematika”.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
15 De Lange, (1992) menyatakan bahwa pengertian belajar dan pembelajaran kontekstual berhungan erat dengan istilah situasi belajar (stuated learning). Para peneliti telah mendokumentasikan sejumlah fungsi yang berbeda yang dapat diperankan oleh konteks realistik dalam pemecahan masalah ( De lange, 1987). Lebih lanjut (De Lange, 1987) menuliskan fungsi-fungsi berikut; ”memugkinkan pembentukan konsep, memfasilitasi pembentukan model, memberikan berbagai utilitas dan masalah praktek yang menarik”. De Pueto dan Parenti, (1999) melaporkan faktor-faktor berikut untuk konteks realistik dalam penyelesaian masalah matematika:
1. Memfasilitasi kolaborasi, interaksi dan kontribusi siswa yang memiliki gaya eksplorasi / pemahaman dan penggunaan konsep yang berbeda, termasuk tingkat pengetahuan formal yang berbeda dan sebagainya. 2. Membantu pengembangan proses belajar reflektif dan belajar eksprimental yang lebih berimbang dan 3. Memfasilitasi desain dan merekonstrukturisasi skema dimana ilmu pengetahuan dapat terorganisir.
Berbagai peneliti menekankan agar penyelesaian masalah berdasarkan kontekstual. Bohl, (1998) mendokumentasikan bahwa ” penggunaan kondisi dan situasi kontekstual memiliki potensi untuk membantu siswa untuk terlibat secara aktif dalam penyelesaian masalah”. Pace, (2000) menegaskan bahwa ”siswa perlu mengalami situasi dunia real dalam konteks tertentu sebelum mereka dapat menciptakan model untuk menyelesaikan masalah berbasis dunia yang berhubungan dengan konteks yang sama”. Selanjutnya Pace menyatakan bahwa ” pengajaran
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
16 berbasis kontekstual akan mendorong pengembangan suatu lingkungan belajar aktif dan akan menghasilkan pemahaman matematika yang lebih baik bagi siswa”. Penemuan yang lain (Gravemeijer & Doorman, 1999) menekankan bahwa penelitian tentang desain aktivitas-aktivitas berdasarkan pendidikan matematika realistik (Realistic Mathematics Education) telah memperlihatkan bahwa penggunaan konteks personal, telah meningkatkan penyelesaian masalah dengan meningkatkan manfaat konteks dan meningkatkan motivasi siswa. Bahkan Gravemeijer & Doorman mengklaim bahwa ”masalah kontekstual yang dipilih dengan baik memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan strategi solusi masalah khusus dari suatu konteks yang non formal”. Sehubungan pemecahan masalah dalam konteks dunia real yang kompleks dan belum familiar dengan siswa (Mc.Nair, 2000) menegaskan bahwa ” jika situasi dan pengalaman yang dipergunakan tidak familiar, maka instruksi dapat mendegenerasikannya kedalam perspektif ide-ide abstrak yang berhubungan dengan konteks”.
2.1.2
Faktor-faktor Efektif dalam Penyelesaian Masalah Pemodelan Matematika Salah satu faktor yang efektif dalam menyelesaikan masalah, adalah sikap
keyakinan siswa melihat masalah tersebut. Faktor keyakinan ini dimunculkan beberapa ahli sebagai faktor yang efektif dalam mengerjakan tugas-tugas pemecahan masalah. Verschaffel & De Corte, (1997), Lesh & Doerr, (2003) dan Gravemeijer, (1997) melaporkan bahwa ”penyelesaian masalah matematika sekarang, juga di-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
17 fokuskan terhadap sikap dan keyakinan siswa dan kapasitas mereka untuk mengaplikasikan pengetahuan matematika dalam masalah-masalah yang bersifat nonrutin”. Mereka juga mendokumentasikan bahwa ” keyakinan yang kuat dari siswa dapat berfungsi sebagai alat untuk meramalkan (predictor) keberhasilan dan prestasi siswa dalam penyelesaian masalah yang autentik”. Lain halnya dengan (Confrey dan Doerr, 1994) yang mengemukakan bahwa. ”penggunaan alat-alat pada pemodelan yang terfokus pada siswa dan pendekatannya dapat menciptakan keyakinan positif dalam pembelajaran matematika di kelas”. Dari aspek keyakinan guru dapat juga mempengaruhi hasil pembelajaran pemodelan. Sebagaimana (Mousoulides, 2007b) menyatakan ” meskipun penggunaan pemodelan sebagai suatu aktivitas penyelesaian masalah dapat secara positif merubah keyakinan terhadap matematika, namun bahaya nyata dalam mengajarkan pemodelan matematika adalah keyakinan yang telah dibentuk oleh para guru, dan proyeksi keyakinan itu kedalam diri siswa”. Sehubungan dengan sikap para guru memandang penyelesaian masalah, (Verschaffel & De Corte, 1997) melaporkan ” ada suatu kecenderungan yang kuat diantara para guru untuk menyampingkan pengetahuan dunia real disaat mengajarkan masalah-masalah aritmetika. Keyakinan pedagogis guru menekankan bahwa masalah-masalah nonrutin, adalah kurang penting dan tujuan mengajar penyelesaian masalah adalah untuk mendapatkan jawaban numerik yang benar”. Selain dari faktor keyakinan, metakognisi juga merupakan faktor yang efektif dalam menyelesaikan masalah. Sebagaimana Sjuts, 2003 (Maas, 2006) menyatakan ” meta kognisi dipandang sebagai kompetensi dasar yang relevan dengan
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
18 berbagai kompetensi penting, seperti penanganan masalah-masalah secara independen ataupun dalam proses belajar sendiri”. Berikut penjelasan yang berhubungan dengan metakognisi.
2.1.3 Metakognisi dalam Pemodelan Matematika Metakognisi tidak memiliki defenisi yang standar (Maas, 2006). Selanjutnya Maas menjelaskan bahwa ” PISA memberikan istilah metakognisi adalah belajar mengatur sendiri (selft-regulated learning), konsep dan istilah ini dijelaskan sebagai kemampuan seorang siswa untuk menetapkan tujuannya sendiri, menggunakan metode dan teknik-teknik yang tepat tentang substansi dan tujuan untuk mengkaji ulang dan menilai proses sendiri”. Sedangkan Sujuts (Maas, 2006) metakognisi adalah proses pemikiran dan manejemen pikiran sendiri. Yang dibaginya kedalam tiga bagian yaitu :
1) Metakognisi deklaratif, mengandung pengetahuan diagnostik tentang pemikiran diri sendiri, menilai pemikiran tentang tugas-tugas dan pengetahuan strategis tentang cara-cara untuk menyelesaikan masalah. 2) Metakognisi prosedur, yang berhubungan dengan; pencarian, mensurvey dan menilai. Dengan pengertian monitoring terhadap tindakan sendiri. 3) Metakognisi motivasional, yaitu keinginan untuk melakukan sesuatu.
Lebih lanjut Sjuts (Maas,2006) menjelaskan bagaimana menanamkan metakognisi kepada siswa yang berhubungan dengan kompetensi pemodelan matematika. Beberapa metode yang cukup logis dikemukakan antara lain adalah; menanamkan
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
19 ilmu pengetahuan tentang pemodelan, melakukan diskusi atau pembahasan tentang persepsi siswa yang berbeda tentang proses pemodelan di dalam kelas, mengatasi segala kesalahan-kesalahan yang dihasilkan oleh siswa dan menganalisisnya, membuat perencanaan, monitoring, dan validasi , dan membantu mereka dengan skema proses pemodelan, membandingkan dan membahas solusi yang berbeda dengan mengajukan argumen dan alasan untuk itu, dan menggambarkan contoh-contoh positif dari monitoring sendiri dalam pelajaran pemodelan, dan melakukan monitoring eksternal oleh para guru.
2.2 Pemikiran matematis (Mathematical Thinking) Matematika adalah cabang penting dari kognisi dan juga pengembangan pemikiran matematika yang merupakan pilar yang mendasar dalam orientasi pengembangan pendidikan di dalam beberapa sistem pendidikan yang baru dan maju. Para peneliti berbeda penafsiran terhadap pendefenisian istilah ” pemikiran matematis” . Dunlap, (2001) mendefenisikan ”pemikiran matematis adalah sebagai suatu pendekatan kognetif terhadap suatu masalah yang logis dan terdengar secara matematik”. Sedangkan (Schoenfeld, 1992) mendefenisikan berpikir matematis sebagai berikut : ” pengembangan sudut pandang matematika, penilaian proses matematisasi dan abstraksi dan memiliki predileksi untuk menggunakannya dan pengembangan kompetensi dengan menggunakan alat-alat teknologi yang diperdagangkan dan menggunakan alat ini untuk mencapai tujuan pemahaman struktur”. Menurut (Shou Lin) berpikir matematis adalah suatu proses tertentu dalam membentuk matematika. Untuk dapat memulainya, berpikir matematis teril-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
20 hami atau termotivasi oleh sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Melalui panduan pengalaman dan imajinasi siswa, berpikir matematis dikembangkan dalam beberapa keahlian matematika (bukan hanya algoritmaalgoritma matematika) dari konsep matematika tertentu. Berpikir adalah proses yang sangat ekstrim, yang kemudian dapat dipahami melalui aktifitas (Ma’moon, 2005). Bruner (Ma’moon, 2005) membedakan antara dua tipe berpikir yang saling melengkapi, berpikir intuitif dan berpikir analitik. Menurut (Petocz dan Petocz, 1994, Heutinck dan Munshin, 2004) ada dua tipe pemikiran matematika, induktif dan deduktif. Pemikiran matematika tipe ini juga dirujuk oleh Bruner (Ma’moon, 2005 ). ”Berpikir induktif adalah berhubungan dengan generalisasi sebagai bagian yang melibatkan pencarian untuk pola dari kasus yang khusus, digunakan untuk mengidentifikasi pola sehingga ditemukan aturan-aturan yang bersifat umum”. Menurut (Ma’moon, 2005) bagaimanapun, berpikir deduktif adalah berhubungan dengan bukti matematika, karena berpikir deduktif juga berhubungan untuk berbagai pola yang menggunakan induksi matematika yang ada. Lebih lanjut (Ma’moon, 2005) menyebutkan aspek berpikir matematis terdapat enam skala yaitu; generalisasi, induksi, deduksi, penggunaan simbol, berpikir logika dan bukti matematis. Menurut Gustave Choquet (Cerda Bonomo, 2006) ” berpikir matematis telah dikembangkan berdasarkan siklus, masing-masing terbentuk dalam empat fase: pengamatan, matematisasi, deduksi dan aplikasi. Masing-masing fase ini merupakan hal penting untuk membentuk pola berpikir”.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
21 Proses pemikiran matematika yang digaris bawahi sebagai dasar pemikiran matematika oleh (Mason, et.al, 1991) adalah :
1. spesialisasi 2. generalisasi 3. konjekturisasi 4. kepercayaan
Ben-zev, (1996) mengacu kepada tipe berpikir induktif sebagai berpikir analogi. Pendapat ini didukung oleh (Butler, et.al, 1970, Dreyfus dan Eisenberg, 1996). Dengan cara yang berbeda (Howard dan Sonia, 2002) menekankan pengembangan berpikir matematika dengan pemodelan matematika dan belajar secara metakognitif lebih efektif dari pada berpikir secara analogi.
2.3 Model dan Proses Pemodelan Matematika (Mathematical Modeling) ” Model” sebagai kata benda merupakan gambaran miniatur dari sesuatu, pola sesuatu yang dibuat, contoh untuk meniru atau emulasi, uraian atau analogi yang digunakan untuk membantu memvisualisasi segala sesuatu (seperti atom) yang tidak dapat diamati secara langsung, sebuah sistem postulat, data dan infrensi sebagai uraian matematika dari entitas atau kondisi suatu urusan (Dym, 2004). Lebih lanjut Dym, (2004) mendefenisikan pemodelan adalah sebuah pekerjaan, aktivitas kognitif dimana kita berpikir tentang membuat model dan berpikir tentang menjelaskan bagaimana alat atau objek itu ada.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
22 Menurut (Lesh & Doerr, 2003) model merupakan suatu sistem konseptual internal plus representasi eksternal dari sistem yang dipergunakan untuk menginterpretasikan sistem lainnya yang lebih komplek. Lebih lanjut Lesh dan Doerr, (2003) menyatakan bahwa defenisi model hanya dipergunakan sebagai referensi terhadap pemikiran dan proses belajar siswa atau guru. Sedangkan untuk tingkat peneliti dilaksanakan desain ekprimen dari model-model dan perspektif pemodelan. Menurut (English, 2006) ” pemodelan matematika yaitu suatu studi tentang konsep dan operasi matematika dalam konteks dunia real dan pembentukan model-model dalam menggali dan memahami situasi masalah kompleks yang sesungguhnya”. Proses pemodelan merupakan suatu jenis tugas yang dikaitkan dengan realita. Karena terdapat sejumlah variasi tugas yang berkaitan dengan realita, perlu diperlihatkan suatu klasifikasi dari persoalan ini (untuk klasifikasi lebih lanjut dapat dilihat misalnya, Galbraith & Stillman, 2006 dan Burkhardt & Pollak, 2006, Voskoglou, 2006 ). Kaiser.et.al. (2006) membedakan antara problem sederhana berbentuk katakata, menyatakan tugas matematika kedalam bahasa sehari-hari, ilustrasi konsep matematika (misalnya penggunaan temperatur untuk memperkenalkan bilangan negatif), menggunakan langkah-langkah baku matematika (aplikasi algoritma yang umum untuk menyelesaikan problema berkaitan dengan realita), dan pemodelan adalah proses penyelesaian persoalan ruwet. Secara pedagogis, terdapat banyak pandangan yang berbeda terhadap proses pemodelan. Pandangan ini secara mendasar dapat dibedakan Kaiser / Mesmer,
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
23 1986 (Maas, 2006) dengan memperlihatkan seberapa besar yang diberikan terhadap matematika dan seberapa besar terhadap problema di luar matematika. Sehubungan aktivitas pemodelan (Lesh & Doerr , 2003) mendesain yang diuji dalam eksprimen terdiri dari dua bagian yang sama, yakni desain yang mencakup asumsi-asumsi dan artifak atau reprensentasi eksternal (misalnya grafik dan tabel) Salah satu fokus utama dalam proses pemodelan adalah kompetensi pemodelan. Akan tetapi untuk sementara konsep kompetensi pemodelan belum dapat dideskripsikan dalam bentuk yang komprehensif. Hal ini terbukti dari pertanyaan yang diajukan dalam dokumen diskusi untuk ICMI-Study di Dormund, Blum & Kaiser (Maas, 2006) dan (Mawengkang, 2007). Pertanyaan yang muncul mencakup, antara lain ; Apakah kemampuan pemodelan dan konsep kompetensi pemodelan berbeda ?. Dapatkah sub keterampilan dan sub kompetensi dari kompetensi pemodelan diidentifikasi ?. Apa karakteristk dari aktivitas siswa yang memiliki sedikit pengalaman tentang pemodelan ? Untuk kepentingan penelitian (Maas, 2006) mendefenisikan kompetensi pemodelan adalah ” keterampilan dan kemampuan untuk melaksanakan proses penciptaan model secara tepat dan berorientasi tujuan dan juga sebagai keinginan untuk mewujudkannya kedalam tindakan”. Frey (Maas,2006) mendefenisikan kompetensi secara umum. Bahwa ”kompetensi adalah kemauan seseorang untuk memeriksa dan menilai kebenaran fakta masing-masing, dari edukasi pernyataan dan tugas-tugas secara personal dan untuk mewujudkannya kedalam tindakan”. Niss, (2004) merincikan ”kompetensi matematika yang berarti kemampuan untuk memahami, menilai, melakukan, meng-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
24 gunakan ilmu matematika dalam berbagai konteks dan situasi baik intra maupun ekstra matematika dimana ilmu matematika memainkan atau dapat memainkan suatu peran ” Pembahasan selanjutnya sehubungan dengan meta-kognisi dan studi impris tentang kompetensi modeling dalam ( Maas, 2006; Mawengkang, 2007) yang menjadi salah satu acuan dalam tesis ini. Berbeda dengan ( De Lange,1989) yang membahas konteks matematisasi di luar matematika dan juga dalam lingkup ilmu matematika sebagai masalah yang paling penting. (Matos, 1998, Kalauodiatos & Papastravridis, 2001) menjelaskan bahwa ada hubungan balik dengan dunia real akan tetapi sifatnya bukan yang utama (subordinate). Sebab ilmu matematika adalah pusat pemikiran dalam perspektif lain. Pendapat De Lange berbeda dengan (Galbraith, 2001) tidak memusatkan proses matematisasi melainkan membahas setiap langkah untuk menyelesaikan masalah real tentang interpretasi dan validasi sebagai langkah penting. Voskoglou, (2006) memaparkan bahwa fokus pada pemodelan matematika adalah, mentransformasikan dari situasi dunia real ke masalah matematika, melalui penggunaan rangkaian simbol matematika, hubungan dan fungsi. Pollak, (1979) dalam Voskogluo, (2006) menghadirkan interaksi diantara matematika dan dunia real. Menurut (Mousoulides, et. al, 2007a) proses modeling dalam penyelesaian masalah, bahwa tidak ada prosedur tunggal yang kuat diantara tujuan dan sejumlah strategi untuk mengatasi setiap kesulitan dalam prosedur ini. Sejumlah peneliti yang relevan (Galbraith, 1995,2006; Pollak, 1979; Blum & Niss, 1996 ) telah mendokumentasikan proses-proses berbeda yang terlibat dalam pemodelan matematika adalah sebagai aktivitas pemecahan masalah.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
Maas,
25 (2006) menjelaskan bahwa (Blum,1985,1996) memandang proses pemodelan keseluruhan adalah penting. Dan menyatakan proses tersebut adalah sebagai berikut ;”... sembari memodelkan dunia real, pemodel akan bergerak antara realita dan ilmu matematika. Proses pemodelan akan dimulai dengan masalah dunia nyata. Dengan menyederhanakan , menstrukturisasi dan mengidealisasi, masalalah ini akan mendapatkan model real. Matematisasi model real akan mengarah atau melahirkan suatu model matematika. Dengan bekerja dalam kerangka ilmu matematika, solusi matematis dapat diperoleh. Solusi ini harus lebih dulu diinterpretasikan dan selanjutnya divalidasi”. Dalam pembahasan pedagogi, berbagai diagram yang berbeda dibuat para ahli tentang proses atau aktivitas pemodelan matematika (mathematical modeling). Proses pemodelan merupakan siklus yang melibatkan lima atau enam tahap sub proses, seperti (Galbaraith dan Stillman, 2001; Galbaraith, 1995; Voskoglou, 2006; Blum,1996, 2006 ). Semua ide yang ada dari proses pemodelan matematika, Voskoglou, (2006) meringkaskan dan membaginya dalam lima tahapan (state) utama proses seperti gambar berikut : Berikut beberapa model skema proses pemodelan matematika ( ditiru dari aslinya dan terjemahan sendiri).
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
26
Gambar 2.1 Lingkaran Pemodelan Pollak 1979 (Borromeo ferri 2006)
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
27
Gambar 2.2 Proses pemodelan oleh Galbraith & Stillman, (2006)
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
28
Gambar 2.3 Proses pemodelan matematika Blum, 1996 (Maas, 2006, Mawengkang, 2007)
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
29
Gambar 2.4 Lingkaran pemodelan oleh Blum/Leiss (in Pres) (Borromeo Ferri, 2006)
Gambar 2.5 Pembentukan model matematika sebagai alat belajar matematika (Voskoglou, 2006)
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
30 2.4 Strategi Pembelajaran Matematika Salah satu tujuan belajar matematika adalah untuk membentuk pola pikir logis, sistematis, analitis dan kreatif. Untuk mencapai tujuan ini, inovasi pembelajaran matematika berperan untuk mengatasi masalah pembelajaran matematika di sekolah menengah. Hal ini harus dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan pemerataan teknik / model / strategi pendekatan pembelajaran dan mempertimbangkan kebutuhan realistik siswa di lingkungan hidup sehari-hari. Pengajaran matematika terkait dengan teori-teori belajar dan pembelajaran bersifat umum sebagai yang melatar belakangi diberlakukannya pada pendidikan dan pembelajaran matematika. Antara lain pedagogi, didaktik dan metodologi pembelajaran , psikologi dan lain-lain. Teori-teori pembelajaran matematika yang trend saat ini adalah pembelajaran kontekstual dan telah berkembang di negara-negara maju dengan berbagai nama. Di negeri Belanda berkembang apa yang disebut Realistic Mathematics Education (RME), yang menjelaskan bahwa pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Di Amerika berkembang apa yang disebut ( Contekstual of Teaching and Learning (CTL) yang intinya membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Sementara di Michigan juga berkembang Bonnected Matemathics Project (MP) yang bertujuan mengintegrasikan ide matematika kedalam konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik dan mudah. Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah (Problem Based Learning), Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning). Pendekatan-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
31 pendekatan yang sangat dianjurkan para peneliti untuk digunakan selama proses pembelajaran di kelas-kelas di Indonesia adalah Pendekatan Pembelajaran (Contextual Teaching and Learning) Dengan strategi pembelajaran baru ini, diharapkan adanya perubahan dari: 1. Mengingat (memorizing) atau menghafal (rote learning) ke arah berpikir (thinking) dan pemahaman (understanding) 2. Model ceramah ke pendekatan: discovery learning, inductive learning, atau inquiry learning. 3. Belajar individual ke kooperatif. 4. Positivist (behaviourist) ke konstruktivisme, yang ditandai dengan perubahan paradigma pembelajaran, dari paradigma pengetahuan dipindahkan dari otak guru ke otak siswa (knowledge transmitted) ke bentuk interaktif, investigatif, eksploratif, open ended, keterampilan proses, modeling, ataupun pemecahan masalah. Terdapat tujuh prinsip pembelajaran kontekstual (Depdiknas, 2006) yaitu; membangun pemahaman (kontrukvism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment). Meskipun demikian, pendekatan pembelajaran matematika dengan metode kontekstual bukanlah satu-satunya jalan keluar yang harus segera disebar luaskan untuk diterapkan seutuhnya oleh setiap sekolah. Hal mendasar yang senantiasa muncul dan bahkan selalu mewarnai ketidak beresan hasil pembelajaran matematika, yaitu tentang lemahnya penguasaan konsep dasar matematika yang dimiliki oleh siswa dan guru.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
32 Model dan metode pengajaran yang telah digagaskan para ahli dapat diaplikasikan kedalam pengajaran pemodelan matematika. Antara lain; Joyse Showers, (1992) membahas model-model pembelajaran. Bodner, (1986) mengkaji tentang teori kontrukvisme dalam pembelajaran. Sandra, (1996) membahas strategi untuk efektivitas pengajaran. Paul Abrams, (2001) membahas pembelajaran pemodelan matematika dengan metode open-ended. Nur. (2001) mengkaji tentang Matematika Realistik dan sebagainya. Metode pembelajaran tersebut bersifat independen. Guru diberikan kebebasan memilihnya, akan tetapi perlu mempertimbangkan tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaannya. Khususnya dalam pengajaran dalam domain pemodelan matematika. (Kaiser,et.al, 2006) menyatakan bahwa; ”teori belajar mengajar model matematika sangat jauh dari lengkap. Kita akan mengklaim dan harus mengembangkan teori global untuk belajar mengajar model matematika, dalam pengertian sistem dari sudut pandang yang berhubungan dengan tingkat didaktik; tujuan belajar, alasan fundamental untuk pengembangan tujuan pada level yang berbeda dari sistem pendidikan, ide yang diujikan tentang bagaimana mendukung implementasi tujuan belajar guru dan juga tantangan didaktik dan dilema yang berhubungan dengan cara pengorganisasian pengajaran, analisis berbasis teoritis dan empiris dari kesulitan yang diarahkan pada pemodelan dan ide tentang mengakses alat / sarana belajar dalam aktivitas pemodelan”. Namun demikian Bohl, (1998) dan Pace, (2000), mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual sesuai dilaksanakan untuk pembelajaran pemodelan matematika.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB 3 LANDASAN TEORITIS
3.1 Beberapa Istilah dalam Pembelajaran Satu defenisi umum tentang strategi dalam kamus adalah suatu ”prosedur untuk mencapai tujuan” (Ostad, 1997). Masalah defenisi strategi sangat bervariasi dalam studi penelitian. Istilah tersebut mengacu pada suatu prosedur untuk melatih butir-butir yang harus dipelajari dalam eksprimen memori, umumnya merupakan prosedur latihan yang spesifik. Beberapa peneliti membedakan antara strategi tugas yang khusus dan strategi umum. Menurut (Goldman , et.al, 1988) strategi tugas yang khusus difokuskan pada operasi kognetif yang diperlukan untuk memecahkan jenis masalah tertentu. Strategi umum dapat disebut sebagai strategi meta-kognitif . Jenis ini memberikan kerangka kerja umum bagi siswa untuk menghadapi tugas-tugas matematika dan memperoleh informasi tentang kemajuan upaya pemecahannya. Dengan demikian, terdapat sekurang-kurangnya dua macam cara yang mendasar untuk mendefenisikan strategi pembelajaran, yaitu ; 1. Sebagai aktivitas pembelajaran yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan. 2. Sebagai aktivitas pembelajaran yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan juga termasuk proses sebelum pemilihan yang menghasilkan keputusan untuk menggunakan prosedur tertentu guna memecahkan permasalahan pembelajaran 33 Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
34 Strategi, model, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran, mempunyai makna yang berbeda. Sesuai dengan pengertian strategi di atas, maka pengertian strategi pembelajaran adalah suatu siasat melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah suatu keadaan pembelajaran dari yang kurang baik menjadi pembelajaran yang lebih baik. Dalam satu pendekatan pembelajaran dapat dilakukan lebih dari satu metode pembelajaran, dan dalam satu metode pembelajaran dapat digunakan lebih dari satu teknik pembelajaran. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru dalam kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa melalui pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Pendekatan pembelajaran adalah konsep dasar yang mewadahi, menginspirasi, menguatkan dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.
Sedangkan metode pembelajaran adalah prosedur, atau urutan
langkah-langkah dan cara yang digunakan guru dalam pencapaian tujuan pembelajaaran. Dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran merupakan jabaran dari pendekatan pembelajaran. Satu pendekatan pembelajaran dapat dijabarkan dalam berbagai metode pengajaran. Dapat juga diartikan bahwa metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan kearah pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran, diturunkan secara aplikatif, nyata, dan praktis di kelas saat pembelajaran berlangsung. Teknik pembelajaran adalah cara konkrit yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
35 metode yang sama. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik pembelajaran. Aktivitas dari penarapan ; pendekatan, metode, dan teknik pada saat pembelajaran berlangsung dinamakan model pembelajaran. Pendekatan dalam pembelajaran matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu; mekanistik, emperistik, strukturalistik dan realistik. Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horizontal. Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Terdapat dua jenis matematisasi yang diformulasikan Van den Heuvel Parinhuii dzen, (Treffers, 1991) yaitu; matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Aktivitas matematisasi horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan, pemvisualisasian masalah-masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika. Sedangkan aktivi-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
36 tas matematisasi vertikal adalah reprensentasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Terdapat model dan metode pembelajaran yang diajukan para ahli pendidikan antara lain. Model pembelajaran kontekstual, model pembelajaran matematika realistik, metode pembelajaran tradisional, metode konstrukvisme, metode diskusi, dan metode pemecahan masalah. Bohl. (1998) dan Pace, (2000) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual dan (Gravemeijer & Doorman, 1999; dan Freudenthal, 1991) matematika realistik salah satu solusi positif dalam penyelesaian masalah pembelajaran pemodelan matematika, maka berikut ini akan diuraikan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual dan matematika realistik. Akan tetapi sebelumnya dijelaskan terlebih dahulu tentang strategi penyelesaian masalah.
3.2 Strategi Pemecahan Masalah Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa ”masalah ”merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun demikian tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin yang biasa dilakukan, atau yang sudah diketahui oleh pelaku sebelumnya. Lajoie (1995) mendefenisikan penyelesaian masalah matematika sebagai penetapan model masalah dan perumusan serta verifikasi hipotesis dengan mengumpulkan dan menginterpretasikan data, dengan menggunakan analisa pola, pem-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
37 buatan grafik, atau komputer atau kalkulator”. Lain halnya dengan (Dunlap, 2001) memberikan defenisi, ”bahwa pemecahan masalah adalah penyelesaian masalah yang sesungguhnya dari masalah-masalah yang tidak rutin. Permasalahan yang tidak rutin adalah masalah yang menuntut agar pihak yang menyelesaikan masalah, mengaplikasikan pola pikir matematika untuk menemukan suatu algoritma yang berbeda dibandingkan dengan apa yang telah mereka (siswa) pelajari dalam kelas”. Model penyelesaian masalah matematika didasarkan kepada sifat yang berbasis berikut : pemahaman konseptual, strategi dan penalaran, komunikasi, perhitungan dan pelaksanaan serta gambar, pandangan-pandangan matematik. Polya (1973) mengemukakan bahwa penyelesaian masalah terdiri dari empat tahap, yakni; tahap pemahaman masalah, tahap menetapkan rencana, tahap melaksanakan rencana dan tahap evaluasi. Masing-masing tahap mempunyai aktivitas yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Memahami masalah, kegiatan yang perlu dijawab pada langkah ini adalah; apa data yang diketahui atau ditanyakan, apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, apa masalah aslinya dapat dinyatakan kembali dalam bentuk yang lebih operasional atau lebih sederhana. 2. Merencanakan pemecahan, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini antara lain: melakukan pendugaan model penyelesaian, mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur). 3. Melaksanakan rencana, beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap ini adalah: menjalankan prosedur yang telah dibuat pada tahapan
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
38 sebelumnya, baik menggunakan aturan-aturan atau formula-formula matematika atau kaedah-kaedah yang berhubungan dengan ilmu lain. 4. Memeriksa kembali, aktivitas pada tahap ini adalah menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Aspek pemeriksaan kembali terhadap penyelesaian masalah yang ditemukan (Look back) dapat menjadi aspek yang paling penting dalam mengajarkan pemecahan masalah karena memberikan peluang bagi siswa untuk belajar tentang proses penyelesaian masalah dengan cara menghubungkan masalah dengan masalahmasalah lain. Disamping itu juga dapat mendidik siswa lebih kritis dan analisis. Dewey (Posamentier, 1999) menyebutkan lima langkah dasar untuk pemecahan masalah (problem solving) yaitu :
1. menyadari bahwa masalah itu ada 2. identifikasi masalah 3. penggunaan pengalaman sebelumnya atau informasi yang relevan untuk penyusunan hipotesis 4. pengujian hipotesis 5. evaluasi terhadap solusi dan penyusunan kesimpulan berdasarkan bukti yang ada.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
39 Beberapa strategi yang digunakan dalam pemecahan masalah oleh (Posamentier et al., 1999) :
1. membuat gambar atau diagram Membuat gambar atau diagram adalah salah satu alternatif pemecahan masalah sesuai kebutuhan, strategi ini berkaitan dengan pembuatan sketsa atau gambar ilustrasi dari wujud aslinya. Bertujuan untuk mempermudah memahami masalah. 2. bergerak dari belakang Metode ini dimulai dengan menganalisis bagaimana mendapatkan tujuan yang hendak dicapai, bergerak dari yang diinginkan lalu disesuaikan dengan informasi yang diketahui. 3. mencoba-coba (trial and error) Salah satu cara lain untuk mendapatkan gambaran umum, pelaku pemecahan masalah dapat mencoba-coba informasi yang diketahui ke satu formula, dan menguji kebenaran yang ditemukan, atau mencobakannya pada bentuk lain dan melihat korelasinya dengan masalah yang sebenarnya, serta melihat kebenaran yang diuji dan sebagainya. 4. mencobakannya pada masalah yang lebih sederhana Strategi ini berkaitan dengan penggunaan contoh khusus tertentu pada masalah yang mirip dan lebih sederhana agar lebih mudah dipelajari, serta mempelajari hubungan-hubungannya dengan masalah yang sesungguhnya sehingga gambaran umum penyelesaian yang sebenarnya dapat ditemukan.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
40 5. membuat tabel Data yang ada diringkaskan ke dalam tabel. Cara ini digunakan untuk mendeskripsikan informasi agar lebih mudah dipahami, atau untuk menganalisis informasi agar lebih efektif dan efisien dalam kalkulasi atau representasinya. 6. menemukan pola Cara ini digunakan untuk melihat struktur atau keteraturan yang mungkin terjadi dalam satu permasalahan, sehingga diperoleh gambaran atau aturan yang bersifat umum. 7. memecahkan tujuan Membagi tujuan umum menjadi sub-sub tujuan sebagai tahap awal untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya. 8. berpikir logis Strategi ini berkaitan dengan penalaran, agar pengambilan keputusan atau kesimpulan ditarik dari premis-premis yang ada dan sesuai dengan pemikiran yang logis dan ilmiah. 9. memperhitungkan setiap kemungkinan Cara ini berkaitan dengan penggunaan aturan-aturan oleh pelaku pemecah masalah selama tidak menyalahi kaedah-kaedah ilmiah. Akan tetapi dari awal hingga akhir pemecahan masalah tidak ada satupun informasi yang seyogianya ditampilkan menjadi terabaikan. 10. mengabaikan hal yang tidak mungkin. Dari berbagai informasi yang ada, dan alternatif yang sudah jelas- jelas
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
41 tidak mungkin, atau tidak logis agar diabaikan, sehingga pekerjaan terfokus pada masalah yang sesungguhnya.
Langkah-langkah yang diajukan oleh Posamentier ini bukan suatu prosedur yang mutlak harus berurutan dilaksanakan. Hal yang utama adalah bagaimana pelaku pemecah masalah dapat memulai pekerjaannya dan bagaimana mengakhirinya sesuai dengan masalah yang akan diselesaikan. Mungkin pelaku tidak perlu menggunakan gambar, sebab data yang ada terlalu sulit untuk dilukiskan, akibat data sangat kompleks. Atau sebaliknya dengan menggambar dapat menimbulkan pekerjaan yang baru. Atau data yang ada tidak mementingkan tabel, tanpa tabelpun data telah mudah dipahami. Apa yang diajukan oleh Posamentier adalah suatu langkah-langkah sebagai alternatif pemecahan masalah.
Pelaksanaannya tergantung permasalahan
yang ada, dan tergantung pada pelaku pemecah masalah bagaimana pelaku dapat memulainya dan hal-hal apa yang dibutuhkan, apakah perlu membuat suatu gambar, tabel dan sebagainya, sehingga dengan mudah dapat ditemukan solusi masalah yang dimaksud. Langkah-langkah dan peran guru dan siswa pada model pembelajaran berbasis pemecahan masalah Ismail (2003) menguraikannya seperti Tabel 3.1. Pemecahan masalah dalam pemodelan matematika, sejumlah peneliti yang relevan ( Lesh & Doerr, 2003, Blum dan Niss, 1991) telah mendokumentasikan proses-proses berbeda yang terlibat dalam pemodelan matematika sebagai aktivitas pemecahan masalah. Secara khusus siswa terlibat dalam proses berikut :
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
42 Tabel 3.1
Peran guru dalam penyelesaian masalah(Ismail, 2003)
Fase ke Indikator 1 Orientasi siswa kepada masalah
2
3
4
5
Peran guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan peralatan yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya Mengorganisasikan Guru membantu siswa mendefenisikan dan siswa untuk belajar mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Membimbing penye- Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eklidikan individual sprimen untuk mendapatkan penjelasan pemaupun kelompok mecahan masalah. Mengembangkan dan Guru membantu siswa dalam merencanakan menyajikan hasil dan menyiapkan karya yang sesuai seperti lakarya poran, video, dan model, dan membantu mereka untuk membagi tugas dengan temannya. Guru membantu siswa untuk melakukan reMenganalisis dan fleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mengevaluasi proses mereka dan proses yang mereka gunakan. pemecahan masalah
a. Memahami dan menyederhanakan masalah. Hal ini meliputi pemahaman teks, diagram, formula, ataupun informasi tabulasi dan menarik kesimpulan, mendemonstrasikan pemahaman akan konsep-konsep yang relevan dan menggunakan informasi dari latar belakang pengetahuan siswa. b. Manipulasi masalah dan mengembangkan suatu model matematika. Proses ini meliputi: indentifikasi variabel-variabel dan hubungannya dengan masalah, pembuatan keputusan tentang relevansi variabel, membentuk hipotesis, dan memperoleh kembali, mengorganisir, mempertimbangkan dan mengevaluasi secara kritis informasi kontekstual, menggunakan pendekatan strategis dan heuristik untuk memperinci secara matematika model yang sudah dikembangkan.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
43 c. Menginterpretasikan solusi masalah. Hal ini antara lain meliputi pembuatan keputusan, menganalisis sistem atau merancang suatu sistem untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu, dan mendiagnosa malfungsi dan mengusulkan suatu solusi. d. Memverifikasi, memvalidasi dan merefleksikan suatu solusi masalah. Hal ini antara lain meliputi ; membentuk atau mengaplikasikan model-model representasi berbeda terhadap solusi masalah, mengeneralisasikan dan mengkomunikasikan solusi, mengevaluasi solusi dari perspektif yang berbeda sebagai suatu upaya untuk merekonstruksi solusi dan membuatnya lebih berterima secara sosial atau secara teknis, memeriksa dan merefleksikan secara kritis solusi dan mempertanyakan model secara umum Blum & Kaiser (Maas, 2006) dan ( Lesh dan Doerr, 2003 )
Strategi yang dapat diberikan guru untuk membantu siswa dengan menginterpretasikan informasi masalah meliputi :
a. Tentang apa masalahnya ? Siswa dapat diinstruksikan menuliskan masalah tersebut menurut pendapatnya sendiri. b. Apa yang sebenarnya anda (siswa) ketahui ? c. Apa masalah yang ingin anda (siswa) buktikan ? d. Apa fakta-fakta dan angka-angka penting dalam masalah tersebut ? Apa ada informasi yang tidak penting dalam penyelesaian masalah. e. Apa istilah matematika yang akan membantu anda (siswa) memahami dan menyelesaikan masalah.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
44 f. Seperti apa kemungkinan jawabannya ? (satuan tindakan, tingkat akurasi yang diperlukan, bentuk jawabannya).
3.3 Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching of Learning) Berikut ringkasan penjelasan Depdiknas, (2006) yang telah disetting penulis: a. Pengertaian Pembelajaran Kontekstual (CTL)
1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan / keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan / konteks ke permasalahan / konteks lainnya. 2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning / CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
45 alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama dengan siswa untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. b. Pemikiran tentang belajar Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut: 1. Proses belajar (a) Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri (b) Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru (c) Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (d) Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
46 (e) Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. (f) Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide (g) Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. 2. Transfer Belajar (a) Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain (b) Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit) (c) Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu 3. Siswa sebagai Pembelajar (a) Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru (b) Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting (c) Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
47 (d) Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. 4. Pentingnya lingkungan Belajar (a) Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari akting guru di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan. (b) Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. (c) Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar. (d) Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
c. Hakekat Pembelajaran Kontekstual Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
48 penilaian sebenarnya (Authentic Assessment). Perbedaan pendekatan kontekstual dengan pendekatan tradisional ditunjukkan dalam tabel berikut.
Tabel 3.2 No 1 2 3 4 5
6 7
8 9 10 11
12
Pendekatan kontekstual dan tradisional Depdiknas, (2006)
Kontekstual Menyandarkan kepada memori khusus (pemahaman makna) Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok) Perilaku dibangun atas kesadaran diri Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut keliru dan merugikan Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik
Tradisional Menyandarkan pada hafalan Pemilihan informasi ditentukan oleh guru Siswa secara pasif menerima informasi Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja individual Perilaku dibangun atas kebiasaan keterampilan dikembangkan atas dasar latihan Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
49 13 14
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik
Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes / ujian / ulangan
d. Penerapan Pendekatan kontekstual di Kelas Pembelajaran kontekstual (CTL) dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya 2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik 3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya 4. Ciptakan masyarakat belajar 5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran 6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan 7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
50 e. Komponen Pembelajaran Kontekstual (CTL) Terdapat tujuh komponen kontekstual :
1. Kontrukvisme (a) Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal (b) Pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan 2. Inquiry (a) Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman (b) Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis 3. Questioning (bertanya) (a) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa (b) Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry 4. Learning Community (Masyarakat Belajar) (a) Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar (b) Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri (c) Tukar pengalaman (d) Berbagi ide
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
51 5. Modeling (Pemodelan) (a) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar (b) Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya 6. Reflection ( Refleksi) (a) Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari (b) Mencatat apa yang telah dipelajari (c) Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok 7. Authentic assessment (Penilaian yang sebenarnya) (a) Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa (b) Penilaian produk (kinerja) (c) Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
f. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual (CTL)
1. Kerjasama 2. Saling menunjang 3. Menyenangkan, tidak membosankan 4. Belajar dengan bergairah 5. Pembelajaran terintegrasi 6. Menggunakan berbagai sumber
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
52 7. Siswa aktif 8. Sharing dengan teman 9. Siswa kritis guru kreatif 10. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain 11. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain
3.4
Pembelajaran Matematika Realistik (Realistic Mathematics of Education) Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemiki-
ran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan ”dunia real”. Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia real diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
53 soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka. Akan tetapi pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru dan siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori baru tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):
1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching). 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel. 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
54 Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum. Tetapi PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika yang memiliki konsep sebagai berikut: a. Konsepsi tentang Siswa
1) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya. 2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. 3) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan. 4) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman. 5) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
55 b. Peran Guru PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
1) Guru hanya sebagai fasilitator belajar. 2) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif. 3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil, dan 4) Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial.
c. Konsepsi tentang Pengajaran Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):
1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang ”riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna. 2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut. 3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
56 4) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Pembelajaran matematika realistik sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah. Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal). Menurut Pandangan Konstruktivis Pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep / prinsipprinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Menurut (Davis, 1996) pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada:
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
57 1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses assimilasi atau akomodasi. 2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa. 3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya. 4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky (Taylor, 1993; Wilson, et.al,1993; Atwel,et.al , 1998) yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial. Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang
diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan terse-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
58 but dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, (Cobb, et.al, (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio constructivism) siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME. Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran Matematika Realistik (MR) disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention). Menurut Gravemeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah. Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam pembelajaran matematika.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
59 d. Kaitan antara Pembelajaran RME dengan Pemahaman Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh pembelajaran guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pemahaman atau pengertian . Mengembangkan pemahaman siswa merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa pemahaman orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses. Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter , 1992). Umumnya, sejak anak-anak orang telah mengenal ide matematika. Melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola, bentuk, data, ukuran dan sebagainya. Pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui siswa. Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui sekolah, jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka. NCTM, (2000) mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat ditingkatkan melalui interaksi kelas. Percakapan kelas dan interaksi sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan mengorganisasikan pengetahuan kembali. Pembelajaran matematika realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan cara-cara informal untuk menyelesai-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
60 kan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan pengkonstruksian konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema (jaringan representasi) anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema, anak akan menjadi lebih kuat sehingga pengertian siswa tentang konsep yang mereka konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan demikian, pembelajaran matematika realistik akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa. Kedua jernis model pembelajaran Kontekstual dan matematika realistik menganut paham yang sama yaitu konstrukvisme. Salah satu yang membedakan adalah dari daerah asalnya. Pembelajaran kontkestual berasal dari Amerika sedangkan Matematika Realistik berasal dari negeri Belanda. Dan model matematika realistik lebih khusus membicaran pembelajaran matematika. Tapi walapun demikian kedua model pembelajaran ini sedikit banyak mempunyai kesamaan dengan model pembelajaran yang pernah dilaksanakan di Indonesia. Seperti model cara belajar siswa aktif (CBSA) dan Pembelajaran Aktif Kreatif , Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) yang muncul saat ini.
3.5
Pemikiran Matematis (Matematical Thinking) dalam Pembelajaran Matematika Pembelajaran matematika dalam ruang kelas haruslah menghadirkan aspek
berpikir matematis, jika siswa diharapkan dapat memahami dan menggunakan matematika berdasar kepada pemikiran matematis. Dengan arti agar siswa tidak mengarang dalam mengemukakan jawaban. Jawaban seperti ini tanpa didasari oleh bukti dan pemikiran yang logis. Salah satu yang diharapkan dari siswa dalam memahami matematika, agar pengalaman mereka dengan matematika haruslah
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
61 sesuai dengan cara matematika yang dilakukan oleh matematikawan. Cerda Bonomo, (2006) mensistesis pemikiran matematis untuk kerangka kurikulum pendidikan matematika di Chili. Dalam program tersebut ditemukan acuan kerangka kurikulum yang memuat pemikiran matematis. Cerda Bonomo memaparkan 13 butir dengan cara sistesa. Empat butir penting berkaitan dengan pemodelan matematika diantaranya adalah : 1. Pengajaran matematika haruslah mendorong pengembangan berpikir logis, analisis, deduksi, presisi atau ketelitian, kompetensi untuk membangun suatu problem dari realita dan memecahkannya, sekaligus merumuskan dan memahami model dari jenis matematika. 2. Mengembangkan keahlian intlektual, dalam kondisi realitas yang khusus untuk abstraksi dan generalisasi, merumuskan kunjektur, proposal argumentatif, dan penggunaannya, serta analisis model, yang memungkinkan seseorang menjelaskan dan memprediksikan prilaku fenomena dalam konteks yang khusus. 3. Mengembangkan kemampuan yang beralasan matematika antara lain; merumuskan konjektur, membangun hubungan dan kesimpulan, mengorganisir, dan memikirkan hubungan argumentasi matematika, memperlihatkan sifatsifat, mengenali keteraturan numerik, aljabar dan geometri. 4. Menggunakan proses formulasi model matematika untuk analisis situasi dan penyelesaian permasalahan dunia real. Dari empat butir sintesa pemikiran matematis (Cerda Bonomo, 2006) untuk kurikulum pendidikan matematika di Chili. Dapat dilihat perwujudan pemikiran
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
62 matematis dalam pekerjaan pemodelan matematika antara lain: proses abstraksi dan generalisasi, merumuskan konjektur (pendugaan), mengajukan argumentasi matematis, analisis model matematis, memprediksikan prilaku fenomena, membangun hubungan antara informasi dan memberi kesimpulan, mengorganisir / memikirkan hubungan argumentasi matematika, memperlihatkan sifat-sifat mengenali keteraturan numerik, menggunakan proses formulasi, analisis situasi, dan penyelesaian permasalahan dunia real. Pemikiran matematis adalah proses berpikir yang bersifat abstrak, seseorang menggunakan pemikiran matematisnya hanya terlihat pada pekerjaannya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan matematika. Sebagaimana (Mamoon, 2005) mengatakan bahwa berpikir adalah proses yang sangat ekstrim yang selanjutnya hanya dapat dipahami. Bruner (Mamoon, 2005) merujuk dua tipe berpikir yang saling melengkapi yaitu berpikir intuitif dan berpikir analitik. Kedua jenis ini dijelaskan oleh (Mamoon) bahwa ”berpikir intuitif cendrung mengembangkan manufer pada persepsi dari keseluruhan permasalahan yang tidak termasuk dalam perencanaan yang telah ada. Sebaliknya berpikir analitik dapat mengembangkan alasan deduktif, yang seringkali menggunakan matematika atau logika dan juga taktik dan strategi. Demikian juga proses tahapan-tahapan induksi dan eksprimen yang menggunakan prinsip desain penelitian analisis statistik. Pemikiran matematis adalah pemikiran analitik dengan berbagai pemanfaatan pemikiran”. Selanjutnya (Mamoon, 2005) menjelaskan berpikir intuitif dan induktif yang dirujuk oleh Bruner, bahwa kedua tipe berpikir ini saling berhubungan satu sama lain sebagai persepsi implisit yang digunakan untuk melihat suatu kasus apakah kasus itu perlu diperbaiki dengan menggunakan proses berpikir deduksi anali-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
63 tik. Ketika menggambarkan suatu kesimpulan yang didasarkan oleh pemikiran atau analogi, maka kesimpulan itu perlu diverifikasi oleh pengamatan, eksprimen, konsultasi dari otoritas berpikir deduktif. Sebaliknya generalisasi perlu diperiksa dengan serangkaian verifikasi yang diarahkan pada berbagai kasus, apakah bentuk generalisasi tersebut dapat berlaku untuk semua kasus yang berbeda dalam konteks yang sama. Sebagaimana disebutkan pada bab dua bahwa Petocz & Petocz , (1994) menyebutkan terdapat dua tipe bepikir matematika, yaitu induktif dan deduktif. Pemikiran induktif ini merupakan tipe berpikir yang memungkin seseorang memberikan generalisasi. Metode ini termasuk pengamatan / penelitian sejumlah kasus yang menunjukkan pola yang sama seperti yang ditunjukkan oleh kasus sebelumnya. Pengertian induktif ini dilanjutkan oleh (Heutink & Munshin, 2004) dengan memasukkan aspek ”konjektur” kedalam tipe induktif, dengan alasan induktif terkait dengan proses yang dimulai dengan unsur pertimbangan dan memperlihatkan pernyataan secara logika. Aspek berpikir matematis yang trend digunakan dalam pembelajaran matematika yaitu induktif dan deduktif. Dengan sebutan metode pendekatan pembelajaran metode induktif atau metode deduktif. Metode pembelajaran induktif adalah suatu metode pembelajaran yang dimulai dari sifat / bentuk yang khusus untuk menemukan sifat / bentuk yang umum. Dan sebaliknya disebut metode deduktif Ma’moon (2005) melakukan penelitian dengan menguji enam skala berpikir matematika yaitu; generalisasi, induksi, deduksi, penggunaan simbol, berpikir logika dan bukti matematika, dan menyarankan agar pemikiran matematis dikem-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
64 bangkan melalui pengajaran matematika. Berbagai pendekatan untuk mengembangkan berpikir matematis, seperti yang disarankan oleh Mason, et.al, (1991) yang mendasari pendekatan pada lima asumsi yang penting: 1. Anda dapat berpikir secara matematika 2. Berpikir matematika dapat diperbaiki melaui pertanyaan dan praktek dengan refleksi 3. Berpikir matematika dapat diprovokasi oleh kejutan, ketegangan dan kontradiksi 4. Berpikir matematika dapat didukung oleh suasana yang meragukan, menantang dan refleksi 5. Berpikir matematika adalah sangat membantu dalam meningkatkan pemahaman dunia. Menurut (Mason et.al., 1991) ada tiga faktor yang mempengaruhi bagaimana efektifnya pemikiran matematika seseorang : 1. kompetensi seseorang menggunakan proses penyelidikan 2. keyakinan seseorang dalam penanganan emosi dan psikologi dan menjadikannya sebagai hal yang bermanfaat bagi dirinya sendiri. 3. pemahaman seseorang terhadap isi matematika dan bila perlu berbagai bidang terapannya. Lebih lanjut Mason menjelaskan bahwa memperbaiki pemikiran matematika terfokus pada dua hal yang berbeda, tetapi merupakan faktor yang saling terkait.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
65 a. proses penyelidikan b. keadaan emosi
3.6 Pemodelan Matematika 3.6.1 Pengertian Model dan pemodelan matematika Model adalah suatu konsep atau objek yang digunakan untuk menyatukan atau mengekspresikan sesuatu. Model biasanya dinyatakan dalam bentuk yang dapat dilihat secara komprehensip. Sebagai contoh, model pesawat terbang yang dibuat dari kayu atau plastik yang merupakan model pesawat yang sesungguhnya. Model ini adalah model fisik dan bukan model matematika. Model matematika sebagai kata benda adalah sebuah gambaran perilaku alat dan objek real dalam istilah matematika. Dapat juga di katakan sebagai deskripsi dari verifikasi suatu fenomena yang dicoba atau diperoleh dengan menggunakan kaedah-kaedah atau bahasa matematika. Ada beberapa cara dimana alat atau perilaku suatu penomena dunia nyata dapat dijelaskan. Antara lain menggunakan kata, gambar atau sketsa, model fisik, program komputer atau rumus matematika. Model matematika terdiri dari himpunan besaran-besaran kuantitatif terobsesi dan relasi-relasi yang terdapat dalam satu fenomena. Fenomena difahami atau dijelaskan dalam konteks disebut sistem dan matematika yang digunakan beserta interpretasinya dalam konteks pada sistem disebut model matematika. Dalam model matematika ada dua besaran kuantitatif yaitu variabel dan parameter yang dikaitkan dalam situasi relasi, seperti persamaan, ketaksamaan dan lain-lain. Jadi
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
66 model matematika merupakan suatu model yang terdiri dari konsep-konsep matematika seperti konstanta-konstanta, variabel-variabel, fungsi, persamaan, ketaksamaan dan sebagainya.
3.6.2 Komponen Model Komponen model terdiri dari :
1. Variabel tak bebas (hasil atau ukuran keefektipan) 2. Variabel bebas ( alternatif atau unsur mutlak atau states of nature) 3. Konstanta dan parameter 4. Hubungan antara variable
Tidak selamanya setiap model harus memuat keempat komponen ini, tergantung kepada masalah realnya. Apakah kempat komponen ini muncul sekaligus atau sebahagiannya. Variabel tak bebas dari sebuah model keputusan dapat berupa hasil yang didapat dari memasangkan alternatif tertentu dan states of nature atau pengukuran keefektifan yang menggabungkan dua atau lebih hasil yang mungkin kedalam suatu kriteria keputusan. Nilai dari variabel bebas dipengaruhi oleh alternatif dan state of nature, atau secara khusus oleh variabel. Alternatif keputusan disebut variabel bebas yang dapat dikontrol, dan states of nature disebut variabel bebas yang tidak dapat dikontrol. Konstanta adalah sebuah kesatuan yang tidak berubah menurut waktu dengan nilai yang diketahui. Contohnya nilai π = 3, 1415927 · · · adalah sebuah
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
67 konstanta yang sering digunakan dalam matematika. Parameter berubah menurut aplikasi tertentu atau harus ditentukan / ditaksir oleh pemodel (pembuat keputusan). Contohnya : Tingkat elastis harga dan elastis kuantitas dalam istilah ekonomi. Konstanta dan parameter membantu menyatakan hubungan antara variabel. Hubungan variabel dalam model matematika adalah ekspresi yang jelas yang membatasi variabel bebas dan tak bebas. Dalam model yang demikian, konstanta dan parameter menjadi elemen yang ditandai dalam hubungan antara variabel. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi: hubungan secara matematis yang menghubungkan penjualan S untuk produk tertentu dengan iklan promosi A dan pendapatan pribadi I yang tersedia . Dapat dinyatakan dalam model matematika : S = a + bA + cI S adalah variabel tak bebas. A mewakili alternatif keputusan, I adalah variabel luar. Faktor a, b dan c adalah parameter yang akan ditaksir. Jika nilai dari parameter telah ditentukan, pemodel (pembuat keputusan) dapat mengatur nilai dari A untuk nilai I yang diberikan untuk melihat efek yang diberikan promosi terhadap penjualan. Hubungan seperti yang ditunjukkan ini adalah bagian kecil dari sistem hubungan yang luas yang menyatakan dan membatasi variabel bebas dan tak bebas dalam permasalahan. Keseluruhan dari sistem hubungan disebut sebuah model.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
68 3.6.3 Pentingnya Model Dibangun Mungkin menjadi suatu pertanyaan mengapa model dibangun ?. Model dibangun karena :
1. Model memaksa pembuat keputusan untuk mempertimbangkan semua aspek dari permasalahan dan menandai semua hubungan yang penting antara variabel. Model juga memaksa pemecah masalah untuk mengabstraksikan dari situasi nyata yang kompleks dan memfokuskan pada variabel penting dan hubungan antara variabel. 2. Karena dalam beberapa kasus, sangat membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan percobaan dalam kehidupan nyata. Biaya lebih murah jika dibuat model dan digunakan dalam percobaan, karena model menghubungkan alternatif keputusan dengan objektif. 3. Karena dalam dunia yang dinamika ini selalu menghadapi kondisi lingkungan yang selalu berubah. Dengan perubahan yang demikian, sangatlah membantu apabila mempunyai model keputusan yang melibatkan faktor kepentingan kondisi lingkungan. Jika perubahan telah nyata, perubahan ini dapat dilebur dalam model dan masalah keputusan dapat dianalisis kembali secara cepat dan efisien (Marwan, 1997).
3.6.4 Proses Pemodelan Matematika Proses pemodelan dapat dipandang sebagai terjemahan dari fenomena atau masalah dunia real menjadi masalah matematika. Informasi yang diperoleh dengan melakukan kajian matematika atas model tersebut, dilakukan sepenuhnya
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
69 dengan menggunakan kaedah-kaedah matematika. Informasi yang diperoleh merupakan bahasa matematika tentang fenomena atau masalah yang dimodelkan tersebut. Berbagai model diagramatik dari proses pemodelan termuat di dalam beberapa literatur yang dibuat oleh peneliti. Dimana ada yang telah diakui sebagai relatifitas atau turunan dari diagram proses pemodelan yang telah ada dari peneliti terdahulu. Beberapa diagram mengilustrasikan tahapan utama dalam proses iterasi yang dimulai dari masalah dunia real dan berakhir dengan laporan solusi atau juga model yang lebih baik. Tujuannya adalah membangun model melalui tahapan operasional yang ada. Salah satu orang pertama yang menjelaskan pemodelan (Pollak, 1979), yang menghadirkan intraksi diantara matematika dengan dunia real, seperti
gam-
bar 2.1 pada bab dua yang dikenal dengan lingkaran pemodelan. Dimana pada lingkaran pemodelan Pollak terdapat perpotongan (irisan) antara matematika terapan klasik dengan matematika yang dapat diterapkan meskipun tidaklah tepat sama. Kemudian adanya arah panah yang menunjukkan adanya loop diantara dunia lain, berarti termasuk semua ilmu yang lain dan juga aktivitas manusia dalam setiap kehidupannya dalam jagad raya matematika. Apa yang dikemukakan Polak, menjadi dasar pemikiran bagi peneliti selanjutnya. Mulai dari Pollak hingga saat ini telah banyak refrensi proses pemodelan diantaranya ada yang diakui sebagai acuan ilmiah. Salah satu diantaranya yang dibuat oleh Blum. Blum, (Maas, 2006) mendiskripsikan, ”proses modeling akan dimulai dari masalah dunia nyata. Dengan menyederhanakan, menstrukturisasi dan mengi-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
70 delialisasi, masalah ini akan mendapat model real. Mematematisasi model real akan mengarah atau melahirkan suatu model matematika. Dengan bekerja dalam kerangka ilmu matematika, solusi matematis dapat diperoleh. Selanjutnya solusi ini lebih dahulu diinterpretasikan dan selanjutnya divalidasi. Jika solusi yang dipilih terbukti tidak tepat terhadap realita, maka langkah-langkah khusus ataupun mungkin seluruh proses pemodelan perlu diaplikasikan (dikerjakan) sekali lagi. Beberapa contoh diagram proses pemodelan matematika telah ditunjukkan pada bab dua. Berikut ini siklus proses pemodelan yang di buat oleh beberapa peneliti ( gambar ditiru dari aslinya dan terjemahan sendiri)
Gambar 3.1 Proses pemodelan ( Galbraith & Stillman, 2006)
A→B : memahami, strukturisasi, penyerderhanaan dan interpretasi konteks B→C : mengasumsikan, merumuskan dan matematisasi
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
71 C→D : bekerja secara matematis D→E : memahami output matematika E→F : membandingkan, mengkritisi dan memvalidasi F→G : mengkomunikasikan, membenarkan,melaporkan secara tertulis atau F→B : merevisi proses pemodelan Penjelasan proses pemodelan matematika yang di buat oleh (Voskoglou, 2006) adalah sebagai berikut:
Gambar 3.2 Pembentukan model matematika sebagai alat belajar matematika (Voskoglou, 2006)
1. tahap pertama (S1) : analisis permasalahan (pemahaman pernyataan dan pengenalan pembatasan dan kebutuhan sistem real) 2. tahap ke dua (S2) : matematisasi yang meliputi formulasi dari situasi real dalam suatu cara dengan perlakuan matematika dan konstruksi model. 3. tahap ke tiga (S3) : Solusi model yang dicapai oleh manipulasi matematika yang sesuai. 4. tahap ke empat (S4) : Validasi ( kontrol model, yang kemudian dicapai dengan memperkenalkan model, perilaku sistem real di bawah kondisi yang ada sebelum solusi model)
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
72 5. tahap ke lima (5) : Memahami hasil matematika dan implementasinya pada sistem real untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan dunia real yang dimaksud.
Ilustrasi proses pemodelan dipandang sebagai suatu skema sederhana dan bukan sebagai algoritma yang perlu ditelusuri setiap tahapannya secara garis lurus. Misalnya pembentukan model real sering dipengaruhi oleh pengetahuan matematika pemodel.
3.6.5 Kompetensi Pemodelan Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Blum & Kaiser (Maas, 2006) merincikan istilah kompetensi pemodelan dengan membuat daftar perincian kedalam sub kompetensi yang berhubungan dengan pemahaman proses pembentukan model. Kompetensi yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Untuk memahami masalah real dan untuk menciptakan suatu model berdasarkan realita. Kompetensi adalah. (a) Untuk membuat asumsi-asumsi tentang masalah dan menyederhanakan situasi (b) Untuk mengakui kuantitas yang mempengaruhi situasi, untuk memberi nama dan mengidentifikasi variabel-variabel (c) Untuk membangun hubungan-hubungan diantara variabel (d) Untuk memberi informasi yang tersedia dan untuk membedakan antara informasi yang relevan dan tidak relevan.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
73 2. Untuk menciptakan suatu model matematika dari model real, kompetensi adalah kemampuan : (a) Untuk mematematikakan kuantitas yang relevan dan relasi sesamanya. (b) Untuk menyederhanakan kuantitas yang relevan serta hubungannya jika perlu dan untuk mereduksi jumlah dan kompleksitasnya. (c) Untuk memilih notasi-notasi matematika yang tepat dan untuk menggambarkan situasi secara grafik. 3. Untuk menyelesaikan problem-problem matematika dalam model matematika ini, kompetensi adalah kemampuan : (a) Kemampuan untuk menggunakan strategi heuristik seperti pembagian masalah kedalam sub-sub masalah, menciptakan hubungan dengan masalah yang sama atau analogi, mengkaji masalah dalam bentuk yang berbeda, dan memvariasikan kuantitas ataupun data yang tersedia, dan lain-lain. (b) Menggunakan pengetahuan matematika untuk menyelesaikan masalah. 4. Untuk menginterpretasikan hasil-hasil matematika dalam situasi real, kompetensi adalah kemampuan : (a) Untuk menginterpretasikan hasil-hasil matematika dalam konteks ekstra matematik. (b) Untuk menghasilkan solusi yang dikembangkan untuk situasi khusus. (c) Untuk mengkaji solusi terhadap suatu masalah dengan menggunakan bahasa matematika yang tepat dan / atau untuk mengkomunikasikan tentang solusinya.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
74 5. Untuk memvalidasi solusi, kompetensi adalah : (a) Untuk memeriksa dan merefleksi secara kritis solusi yang diperoleh. (b) Untuk mengkaji ulang beberapa bagian model ataupun juga untuk memasuki proses pembentukan model jika solusi model tidak sesuai dengan situasi. (c) Untuk merefleksikan cara-cara lain dalam menyelesaikan masalah ataupun jika solusinya dapat dikembangkan dengan cara yang berbeda. (d) Untuk mempertanyakan model secara umum.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Pembelajaran Matematika Dengan mempertimbangkan pernyataan (Kaiser,et.al, 2006) yang menyatakan bahwa ” teori belajar mengajar model matematika sangat jauh dari lengkap. Perlu mengklaim dan mengembangkan teori global untuk belajar mengajar model matematika, dalam pengertian sistem dari sudut pandang yang berhubungan dengan tingkat didaktik; tujuan belajar, alasan fundamental untuk pengembangan tujuan pada level yang berbeda dari sistem pendidikan, ide yang diujikan tentang bagaimana mendukung implementasi tujuan belajar guru dan juga tantangan didaktik dan dilema yang berhubungan dengan cara pengorganisasian pengajaran, analisis berbasis teoritis dan empiris dari kesulitan yang diarahkan pada pemodelan dan ide tentang mengakses belajar dalam aktivitas pemodelan ”. . Apa yang dimaksud oleh Kaiser membuat kajian pembelajaran pemodelan sangat luas. Maka apa yang diajukan oleh penulis dari sudut pandang strategi pembelajaran adalah merupakan salah satu aspek yang khusus kearah keberhasilan siswa melakukan pemodelan. Dapat dipahami bahwa strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru di kelas sifatnya adalah bebas. Guru bebas memilih metode, teknik dan pendekatan pembelajaran yang digunakan. Akan tetapi perlu mempertimbangkan, situasi / kondisi siswa dan sarana prasarana sekolah, waktu yang tersedia, biaya, sosial budaya dan sebagainya. Dengan adanya perbedaan yang dimiliki oleh setiap
75 Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
76 siswa dan sekolah, maka strategi pembelajaran di dalam penelitian ini hanya suatu alternatif yang mungkin dapat diterapkan oleh guru di kelas pembelajaran matematika. Strategi pembelajaran pemodelan matematika, bukanlah suatu strategi pembelajaran khusus yang berdiri sendiri tanpa mengadopsi strategi / metode pembelajaran yang bersifat umum. Akan tetapi teori belajar mengajar yang bersifat umum menjadi mediator didalam cara pembelajaran matematika atau pembelajaran pemodelan. Misalnya tahapan atau struktur pembelajaran yang sering di anut dalam pembelajaran adalah : pendahuluan, pengembangan, penerapan dan penutup. Sebelum membahas strategi pembelajaran pemodelan matematika, terlebih dahulu penulis sajikan struktur pembelajaran matematika.
4.1.1 Struktur Pembelajaran Matematika Struktur pengajaran adalah tahapan aktifitas guru dalam menyampaikan materi pembelajaran yang dibuat dalam skenario dengan mempertimbangkan alokasi waktu yang tersedia. Komponen struktur pembelajaran yang digunakan adalah :
a. tahap pendahuluan b. tahap pengembangan c. tahap penerapan dan d. penutup
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
77 Keempat komponen ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Tahap pendahuluan Tahap pendahuluan memuat tiga aktifitas yaitu ; Apersepsi / revisi , moti-
vasi dan penjelasan tujuan pembelajaran. Sebelum memulai aktifitas ini guru terlebih melakukan pengelolaan kelas yaitu mengkondusifkan suasana ruang belajar, mempersiapkan / memeriksa peralatan belajar yang digunakan apakah berfungsi atau tidak misalnya, OHP, perangkat komputer, Proyektor, dan audio visual lainnya sesuai dengan rencana pembelajaran.. Selanjutnya guru harus dapat mengaktifkan seluruh sense siswa baik sikap, perhatian dan nalar siswa. Pertama-tama guru dapat menjelaskan tujuan materi pembelajaran yang akan disajikan, merevisi kognetif siswa dan mengembangkan pemikiran matematika (mathematical thinking) siswa dengan mengajukan pertanyaan terbuka atau siswa ke siswa yang berupa jawaban singkat. Pertanyaan dapat berupa jawaban tunggal maupun tidak tunggal (open-ended). Pertanyaan dapat bertujuan menggali ingatan siswa tentang suatu formula (rumus) matematika yang berkaitan dengan materi yang akan disajikan. Menjelaskan tujuan pembelajaran, dengan menjelaskan tujuan dan aplikasinya dalam dunia nyata dapat membangkitkan minat dan motivasi siswa untuk lebih serius mengikuti jalannya pembelajaran. Pemberian motivasi adalah sangat penting, meskipun cara dan waktunya berbeda. Pemberian motivasi tidak mutlak pada tahap pendahuluan dapat juga disela-sela pembelajaran. Pelaksanaan kompenen pendahuluan ini juga bukan suatu urutan pekerjaan guru yang bersifat linear. Mungkin guru dapat mendahulukan motivasi terlebih dahulu, baru diikuti aktifitas komponen lainnya, atau sebaliknya.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
78 b.
Tahap pengembangan Pada tahap ini dikembangkan tujuan pembelajaran sesuai dengan kompe-
tensi dasar dan indikator yang ingin dicapai. Pada tahap ini dapat dikatakan tahap pengembangan atau penjelasan yang berhubungan dengan fakta , konsep , prinsip dan skill. Fakta adalah sesuatu yang telah diakui kebenarannya, melalui kesepakatan- kesepakatan tanpa melalui pembuktian atau tanpa perlu dibuktikan lagi, Misalnya penggunaan istilah-istilah (penamaan) dan simbol-simbol, akronim dalam trigonometri, ukuran satuan dan sebagainya. Seorang siswa dikatakan telah mengenal suatu fakta apabila siswa itu dapat menuliskan dan menggunakannya dalam berbagai keadaan. Konsep : Konsep dapat disajikan dengan memberikan contoh dan yang bukan contoh, memberikan penyelesaian yang benar dan yang tidak benar sampai akhirnya siswa dapat mendefenisikan suatu konsep. Pemberian konsep yang salah dalam pembelajaran juga dibenarkan asalkan dijelaskan alasannya. Dengan tujuan meningkatkan keyakinan siswa terhadap konsep yang benar dan siswa dapat membedakan konsep yang benar dan yang salah. Misalnya; konsep penjumlahan dua matriks dan perkalian dua matriks. Apakah konsep penjumlahan dua matriks sama dengan perkalian dua matriks?, dan sebagainya. Seorang siswa dikatakan telah memahami konsep apabila siswa tersebut telah dapat membedakan contoh dan yang bukan contoh, konsep yang benar dan konsep yang tidak benar.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
79 Prinsip ; Penyampaian / penemuan konsep dilakukan dengan melibatkan pemikiran matematika. Sebagaimana kerangka pemikiran matematis yang telah dijelaskan pada bab terdahulu. Seperti Gustave Choquet (Cerda Bonomo, 2006). Yang mengajukan empat fase, pengamatan, matematisasi, deduksi dan aplikasi. Petocz & Petocz, (1994) dan Heutinck dan Munshin, (2004) yang mengajukan dua tipe berpikir deduktif dan induktif yang sekaligus dirujuk oleh Bruner. Sedangkan Mamoon mengajukan enam skala / aspek berpikir: generalisasi, induksi, deduksi, penggunaan simbol, berpikir logika dan bukti matematis. Metode deduktif dan induktif berperan dalam menemukan suatu konsep. Berpikir induktif berhubungan dengan generalisasi sebagai bagian yang melibatkan pencarian pola dari kasus yang khusus digunakan untuk mengidentifikasi pola sehingga ditemukan aturan-aturan yang bersifat umum. Atau sebaliknya berpikir deduktif yaitu dari yang bersifat umum ke yang bersifat khusus. Sebagai contoh pembelajaran menggunakan pemikiran induktif, misalnya dalam pembelajaran barisan bilangan. Guru dapat mengajukan suatu barisan bilangan beraturan, siswa dibimbing untuk mengamati pola bilangan, sehingga dapat menemukan aturan umum yang berlaku pada jenis barisan bilangan tersebut. Untuk meyakinkan siswa terhadap jawabannya , siswa dapat diinstruksikan untuk menguji aturan umum yang ditemukannya dengan sembarang urutan yang rendah. Penggunaan urutan yang rendah agar siswa dapat mendikte kembali dengan cara mengurutkan, dan membandingkan hasilnya dengan cara substitusi langsung. Seorang siswa dikatakan telah memahami prinsip apabila siswa dapat mengemukakan alasan kebenaran prinsip itu dan dapat menggunakannya pada berbagai
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
80 situasi. Skill : Keterampilan siswa perlu dikembangkan disini, bagaimana prosedur atau algoritma penyelesaian suatu permasalahan, meskipun prosedur itu tidak mutlak urutannya. Misalnya dalam bangun ruang , bagaimana mengetahui sesuatu yang ditanyakan, apakah sudut yang berkaitan terlebih dahulu dicari ataukah panjang garisnya. Sebagai contoh lain dalam bentuk aljabar, prosedur yang digunakan untuk menuliskan bentuk berikutnya berasal dari informasi (data) sebelumnya. Penggunaan prosedur atau algoritma perlu ditekankan kepada siswa agar mereka tidak mengarang jawaban. Siswa dikatakan telah memiliki skill apabila siswa dapat menggunakan fakta , konsep dan prinsip dan jelas tertuang dalam setiap langkah pekerjaannya. c.
Penerapan Pada tahap ini aplikasi dari formula-formula matematika mulai dikembang-
kan ke bentuk yang lebih kompleks. Guru mengarahkan siswa untuk mengerjakan soal-soal dan latihan-latihan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Guru perlu memahami hirarki soal yang diberikan d.
Penutup Tahap ini disebut tahap pemberian tugas dan kesimpulan tentang isi pem-
belajaran. Sebaiknya guru melibatkan siswa dalam menuliskan kesimpulan, agar guru dapat melihat siswa yang aktif dan tidak aktif. Dengan cara ini juga guru dapat mengamati perbedaan tingkat kemampuan siswa. Sekaligus menjadi refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh guru di kelas tersebut.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
81 4.1.2 Faktor Faktor Pembelajaran yang Mempengaruhi Hasil Pembelajaran
1. Penyajian / penyampaian materi 2. Pendekatan pembelajaran 3. Teknik bertanya 4. Interaksi 5. Bimbingan siswa 6. Penggunaan papan tulis 7. Penggunaan alat tulis 8. Penggunaan media pembelajaran
a. Penyajian materi Hal yang menyangkut penyampaian materi adalah suara dan sikap guru. Hendaknya volume suara guru terdengar jelas oleh setiap siswa, Sikap guru terhadap materi yang disampaikan harus menunjukkan keyakinan dan bukan dalam sikap yang ragu-ragu atau bingung sendiri. Hal ini akan menimbulkan penilaian negatif dikalangan siswa terhadap guru, barangkali lebih buruk lagi, untuk selamanya siswa memberi nilai negatif terhadap guru tersebut. Guru harus bijaksana mengakui kesalahan atau kesilapan yang dilakukan dengan cara diplomasi yang baik.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
82 b. Pendekatan Pembelajaran Pendekatan pembelajaran dapat menggunakan alat-alat belajar, seperti benda konkrit, media persentasi, kalkulasi dengan kalkulator / komputer. Pendekatan pembelajaran juga dapat dimulai dari yang lebih sederhana menuju masalah yang lebih kompleks. Menguraikan masalah yang kompleks, menjadi beberapa sub masalah yang lebih sederhana. c. Teknik bertanya Sebelumnya kenalilah siswa dengan kepribadian intelektualnya (untuk siswa yang lama). Agar pertanyaan yang diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya. Siswa akan mendapatkan rasa kepuasan dan kebanggaan tersendiri apabila pertanyaan yang diberikan dapat di jawabnya.
Sebaliknya jika siswa gagal menjawab suatu pertanyaan yang di-
ajukan kepadanya dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa malu, apalagi kegagalan menjawab pertanyaan sering dialaminya. Arah pertanyaan juga harus berganti-ganti, jangan memberikan pertanyaan kepada siswa yang sama disetiap pertemuan. Jadikanlah pertanyaan menjadi hak semua siswa atau lakukan variasi arah pertanyaan terhadap siswa. d. Interaksi belajar Agar pembelajaran tidak pasif dan satu arah (dari guru ke siswa). Guru harus dapat mengoptimalkan interaksi pembelajaran, apakah dari guru ke siswa, siswa ke guru atau antara sesama siswa. e. Bimbingan siswa Untuk mempercepat penyebaran materi yang disampaikan, guru dapat memberikan bimbingan langsung kepada sebagian siswa. Bimbingan yang dimak-
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
83 sud adalah haruslah mempunyai teknik atau strategi dan berstruktur dalam penjelasan yang diberikan, serta terkendali terhadap pemakaian waktu. Berikut salah satu teknik pemberian bimbingan kepada siswa dalam kelas.
Gambar 4.1 Teknik penyebaran bimbingan kepada siswa dalam kelas
Arah penyebaran bimbingan yang diberikan guru adalah bebas sesuai dengan letak duduk siswa, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah jarak antara siswa. Salah satu yang diharapkan dari teknik ini agar terjadi interaksi sesama siswa seperti yang ditunjuk pada gambar berikut:
Gambar 4.2 Interaksi belajar siswa
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
84 Salah satu dari kelemahan teknik seperti ini adalah bahwa siswa tidak diperlakukan sama. Kelemahan lain dapat menimbulkan suasana keributan akibat adanya interaksi siswa, akan tetapi guru harus terampil mengkondusifkan ruang belajar. Kebaikan dari teknik penyebaran bimbingan seperti ini, antara lain : (a) guru merasa terbantu untuk menyampaikan pelajaran. (b) siswa diberi kesempatan untuk menggali kemampuannya. (c) dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis siswa (d) adanya interaksi siswa f. Penggunaan papan tulis Penggunaan papan tulis hendaknya beraturan , dan tulisan guru cukup jelas dipandang siswa dari segala sudut ruangan. Mulailah menulis dari sudut kiri papan tulis, tapi sebatas yang dapat dipandang siswa yang duduk paling depan sebelah kanan papan tulis. Alur penulisan jelas terlihat pada papan tulis dan dapat dipahami siswa. g. Penggunaan alat tulis Gunakan alat tulis minimal dua warna , terutama untuk menggambar bangunbangun geometri. Penggunaan alat tulis seperti ini dapat membantu siswa rmengabstarksikan pemikirannya, siswa dapat melihat perbedaan-perbedaan yang dimaksud pada gambar. Pemberian warna tulisan yang berbeda terhadap informasi yang penting dari isi pembelajaran sangat penting, misalnya rumus-rumus matematika, defenisi-defenisi atau istilah-istilah.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
85 h. Penggunaan media Media dalam pembelajaran matematika dapat berupa alat peraga, alat hitung, komputer dan perangkatnya, proyektor dan layar (slide). Penggunaan media proyektor, dalam bentuk presentasi hendaknya cukup jelas dilihat siswa. Penggunaan kanvas (back ground) tempat menulis yang berwarna warni dapat mengakibatkan sebagian tulisan akan kabur. Sebaiknya kanvas yang digunakan berwarna yang sejuk dipandang mata dan dapat menimbulkan bias terhadap kekontrasan warna huruf atau tulisan yang digunakan.
4.2 Strategi Pembelajaran Pemodelan Matematika Teori belajar dan mengajar dalam domain pemodelan matematika adalah suatu diskusi terbuka terhadap peningkatan dan pengembangan teori. Karena bersifat relatif dan belum adanya yang baku dan khusus tentang bagaimana belajar dan mengajarkan pemodelan matematika. Sesuai dengan pernyataan (Kaiser, Blomhoj, Sriraman, 2006) bahwa ” teori belajar mengajar model matematika sampai saat ini sangat jauh dari lengkap. Perlu diklaim dan harus mengembangkan teori-teori belajar secara umum untuk belajar dan mengajarkan pemodelan matematika. Dengan pengertian dari sudut pandang yang berhubungan dengan tingkat didaktik, tujuan belajar, dan alasan mendasar untuk pengembangan tujuan pada tingkatan yang berbeda dari sistem pendidikan, kognisi dan meta-kognisi siswa. Apa yang dikatakan oleh (Kaiser et.al, 2006) memang sangat sulit merumuskan teori belajar mengajar yang baku, apalagi ditinjau dari semua aspek pendidikan. Namun demikian bukan berarti para pelaku pendidikan harus tinggal diam. Guru harus dapat memunculkan ide dan inisiatif dalam memecahkan
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
86 problema tersebut. Salah satu ide utama yang dimunculkan oleh guru adalah bagaimana mendukung implementasi tujuan belajar tersebut. Sebagai tantangan didaktik dan dilema yang dihadapi adalah bagaimana mengorganisir pembelajaran, menganalisis materi pembelajaran secara teoritis dan empiris dari kesulitan siswa, memilih metode pembelajaran yang tepat dan ide tentang cara mengakses alat belajar dalam aktivitas pemodelan sebagai pendekatan pembelajaran. Dengan mempelajari proses pemodelan yang di buat oleh para ahli, seperti (Galbraith & Stillman, 2006 ; Blum & Leiss, 2005; Kaiser, 1995; Blum, 1996 dan Voskogluo, 2006) bahwa inti proses pemodelan matematika memiliki pesan yang sama dan tidak jauh berbeda. Maka untuk memudahkan menjelaskan proses pemodelan tersebut penulis menetapkan kajian yang dibuat oleh (Galbraith & Stillman, 2006) Berikut strategi pembelajaran pemodelan matematika yang diajukan oleh penulis. Dengan menggunakan alur proses pemodelan yang dibuat oleh (Galbraith, 2006) yaitu :
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
87
Gambar 4.3 Proses Pemodelan (Galbraith & Stillman, 2006
Dari skema yang dibuat oleh Galbraith & Stillman ini terlebih dahulu dideskripsikan tugas-tugas dalam pemodelan. Sekaligus mengkaji tugas siswa dan guru dalam belajar dan mengajar. Tugas tersebut diklasifikasi seperti dalam tabel berikut:
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
88 Tabel 4.1 No Entri 1
2
3
4
5
6
Aktivitas pembelajaran pemodelan matematika
Tahap Pe- Aktivitas siswa dalam pemodelan modelan A→ B Memahami informasi, mengidenIdentifikasi tifikasi masalah, mengasumsikan masalah menyederhanakan masalah
Aktivitas guru
Menjelaskan, menginstruksikan, memberikan contoh kepada kasus yang mirip dan sederhana, memberi peluang Tanya jawab B→ C Memberi notasi & variabel Men- Mengarahkan, Matematisasi gasumsikan hubungan variabel, mempertanyakan, memberi kuantitas, membuat mendemonstrasikesimgambar, grafik, tabel, menarik kan,menarik kesimpulan, merumuskan mate- pulan/ memberikan rumusan atau formula matika C→ D Penggunaan strategi, Membagi Menerapkan metode Solusi ma- masalah, menciptakan hubungan pemecahan masalah, tematika dengan masalah yang sama membimbing siswa (analogi), mengkaji masalah dalam bentuk yang berbeda, memvariasikan kuantitas atau data, menggunakan pengetahuan matematika Memahami penyelesaian mate- Mencontohkan kepada D→ E Interpretasi matika, mengkaji solusi terhadap kasus lain bagaimana arti suatu bentuk mamasalah, hasil tematika atau membimbing siswa kearah tujuan Memeriksa, mengkritisi mereflek- Mengarahkan peneliE→ F Validasi / sikan , menerima atau menolak tian terhadap hasil, penyelesaian solusi dengan mengkaji ulang ma- proses evaluasi salah atau sebahagian model, de- matematika dengan cara-cara matematika ngan merefleksikan cara lain, hasil mempertanyakan model secara Memeriksa F→ G siswa, dengan mengkomu- pekerjaan Pelaporan/ umum mempublikasikan, mengkomunikasikan persentase nikasikan, Mendiskusikan, mendokumentasikan mengkomunikasikan di depan kelas, mempublikasikan melalui mading sekolah.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
89 Pembelajaran Pemodelan dilihat dari tempat dan caranya mempunyai alternatif berikut, yaitu :
1. Pembelajaran langsung di depan kelas 2. Pembelajaran tak langsung dengan penugasan di luar kelas. 3. Pembelajaran dengan metode diskusi di dalam atau di luar kelas 4. Pembelajaran dengan melakukan eksprimen di dalam atau diluar kelas
Pembelajaran pemodelan matematika, sebagai pemecahan masalah dapat dipadukan dengan menggunakan investigasi sebagai salah satu alternatif. Dalam investigasi siswa dituntut untuk lebih aktif dalam mengembangkan sikap dan pengetahuannya tentang matematika sesuai dengan kemampuan masing-masing sehingga mengakibatkan hasil belajar yang lebih bermakna pada siswa. Antara investigasi dengan problem solving kenyataannya hampir tidak ada perbedaannya, hanya saja dalam investigasi biasanya Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Investigasi permasalahan dan penyelesaian relatif lebih luas dan lebih terbuka, juga tingkat kesukarannya biasanya lebih tinggi, yang lebih akrab kita kenal dengan istilah ”more open ended”. Pada pemecahan masalah sering nampak sebagai kegiatan konvergen, yaitu siswa mempunyai tujuan yang pasti dan persoalannya adalah mencari jalan untuk memecahkan masalah tersebut, namun demikian dalam mencari pemecahan masalah (problem solving) sering pula perlu dilakukan investigasi. Dalam investigasi siswa mungkin:
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
90 1. membuat pertanyaan sendiri, misalnya : (a) bagaimana jika ? (b) mengapa demikian.? (c) adakah yang lain? (d) adakah suatu keteraturan? (e) bagaimana polanya?, dan sebagainya. 2. Menentukan arah yang dituju dengan memikirkan apa yang terjadi dengan logika matematika.
Dengan demikian antara problem solving dengan investigasi dapat terpadu dalam pendekatan pembelajaran dan bukan merupakan bagian yang terpisah. Suatu pendekatan investigasi yang baik adanya aktivitas : bekerja, mencatat dan berbicara yang mencerminkan prinsip menerima informasi dari berbagai siswa untuk digeneralisasi. Berikut Pembahasan Pembelajaran langsung Pemodelan dengan Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi. Contoh 1 : Model Pembelajaran Fungsi Kuadrat di kelas X SMA A.
Standar Kompetensi 1. Menggunakan operasi dan sifat serta manipulasi aljabar dalam pemeca-
han masalah yang berkaitan dengan persamaan dan fungsi kuadrat.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
91 B.
Kompetensi Dasar 1.5. Merancang Model matematika yang berkaitan dengan persamaan dan
fungsi kuadrat, menyelesaikan modelnya dan menafsirkan hasil yang diperoleh (Kurikulum SMA, 2006)
C.
Indikator Pencapaian Kompetensi Mengaplikasikan konsep persamaan dan fungsi kuadrat dalam kehidupan
sehari-hari.
D. Uraian Materi
1. Mengidentifikasi masalah 2. Pembentukan model matematika 3. menyelesaikan model matematika 4. mengevaluasi hasil 5. menginterpretasikan hasil
E. Pengalaman Belajar
1. Mendeskripsikan dan menentukan model matematika dari suatu masalah 2. Mendeskripsikan hasil model matematika
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
92 F. Pendekatan dan Metodologi Pembelajaran 1. Pendekatan: pendekatan materi deduktif dan pendekatan kontruktivis 2. Metode Pembelajaran: kontekstual G.
Pengetahuan Prasyarat:
Mengetahui aturan-aturan yang berlaku pada persamaan dan fungsi kuadrat. D dicapai apabila jika y = ax2 + bx + c dimana a 6= 0 nilai optimum adalah −4a b x=− 2a
H. Skenario Pembelajaran : 1. Pertemuan Pertama a. Pendahuluan 1) Sebagai apresiasi, di periksa ulang pengetahuan siswa tentang aturanaturan yang berlaku pada fungsi kuadrat. Guru menuliskan bentuk umum fungsi kuadrat seterusnya guru mengoreksi ingatan siswa tentang aturanaturan yang berlaku, misalnya nilai optimum dan titik optimum. 2) Memberikan motivasi, dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dengan memberikan contoh penggunaannya dalam kehidupan. b. Pengembangan dan Penerapan Sesi pertama : guru menuliskan soal pemodelan matematika yang lebih mudah dipahami siswa, tetapi solusinya berkaitan dengan fungsi kuadrat, guru memberikan kesempatan kepada siswa sekitar lima menit, untuk mencobanya dengan pemahaman sendiri. Sembari menungu aktivitas siswa guru
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
93 berkeliling dalam kelas memantau kegiatan siswa. Lima menit kemudian guru menggali informasi dari siswa, sambil memulai pembahasan soal yang dimaksud. Disela-sela waktu penjelasan agar siswa tetap terfokus terhadap penjelasan, guru harus melibatkan siswa untuk menstrukturisasi penyelesaian. Agar siswa aktif, sesekali guru harus melemparkan pertanyaan kepada siswa dalam mengisi pola-pola matematika yang muncul. Pada sesi pertama ini guru masih lebih banyak aktif dibandingkan siswa Sesi kedua : kembali guru memberikan soal aplikasi yang lebih kompleks dibandingkan soal yang diberikan pada sesi pertama. Tetapi diharapkan siswa aktif lebih banyak dari guru. Sesi ketiga : Guru memberi soal yang lain dan lebih kompleks, diharapkan siswa aktif dan mampu menyelesaikannya secara tuntas, tanpa bimbingan guru.
Misalnya : diberikan konteks soal aplikasi berikut. 1. Sebidang tanah terletak di sepanjang tembok yang tinggi. Di atas tanah dibuat lokasi peternakan berbentuk persegi panjang. Untuk menjaga keamanan pemilik tanah akan memasang kawat berduri sekali keliling secara garis lurus pada sisi yang bukan ditembok. Dengan tujuan melengkapi pagar yang sudah ada sebelumnya. Dengan panjang kawat 400 m cukup untuk membuat pagar tersebut. Carilah ukuran panjang dan lebar tanah agar didapat daerah peternakan yang seluas-luasnya. Dan berapa luas maksimum daerah yang dipagari ?
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
94 Skenario pembelajaran : 1.
Strategi Pembelajaran entri pertama pemodelan: Mengidentifikasi masalah Setelah soal dituliskan di papan tulis, berikan kesempatan kepada siswa
untuk memahaminya, tunggu beberapa menit. Dengan metode tanya jawab diminta jawaban siswa untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada , guru dapat bertanya kepada siswa dengan pertanyaan ” apa-apa saja yang diketahui dari masalah ini ?. dan apa yang harus dicari ? pertanyaan kedua ini adalah untuk merumuskan arah tujuan. Untuk menyamakan persepsi, guru bersama siswa aktif mengidentifikasi permasahan. Sebagai penyederhanaan permasalahan yang ada . Teridentifikasi adalah :
a. Bentuk tanah lokasi peternakan persegi panjang b. Tanah lokasi peternakan yang dipagari pada sisi yang bukan ditembok dan c. Akibatnya ada tiga sisi lokasi peternakan yang akan ditembok d. Jenis pagar adalah garis lurus e. Panjang kawat yang tersedia 400 m f. Tujuan menghitung panjang dan lebar agar luas maksimum
Siswa dikatakan memahami entri pertama tahap pemodelan apabila siswa telah mampu mengindentifikasi masalah-masalah yang ada pada konteks atau situasi dunia nyata.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
95 2.
Strategi Pembelajaran entri kedua pemodelan; Pembentukan model matematika Pada entri ini siswa menggunakan pemikiran matematis, seperti penggunaan
simbol, pengaturan gambar menggunakan metakognisi (kemampuan menemukan sendiri) , deduksi, dan strategi pemecahan masalah. Sebab tanah berbentuk persegi panjang, guru dapat bertanya kepada siswa, tentang unsur-unsur persegi panjang, dengan analogi siswa dapat menyebutkan adanya panjang dan lebar. Siswa diberi kesempatan menuliskan variabel (pengganti) untuk sebutan panjang dan lebar, misalnya dengan p dan x. Selanjutnya guru dapat menginstruksikan siswa untuk membuat model gambar lokasi peternakan tersebut, dan melengkapi atributnya yaitu variabel pengganti panjang dan lebar. Sambil menunggu siswa menggambar, guru berkeliling memantau hasil pekerjaan siswa sambil memberikan bimbingan kearah yang dimaksud baik kepada perorangan atau kepada keseluruhan siswa. Guru memantau yang dikerjakan siswa dan mengamati gambar mereka, terutama melihat gambar bagian lokasi yang dipagari. Kesalahan siswa memahami soal mungkin terjadi pada bagian ini, siswa dapat saja berpikir tidak kritis mengakibatkan bagian yang dipagari adalah sekeliling lokasi peternakan. Gambar yang dimaksud dapat berbentuk seperti di bawah ini :
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
96
Gambar 4.4 Lokasi Peternakan
Selanjutnya guru dapat memberi instruksi dan bertanya lebih rinci kepada siswa untuk merumuskan model-model matematika yang akan dimunculkan. Misalnya sebagai berikut ini :
a. Amatilah gambarmu ! b. Berapa sisi dari lokasi tersebut yang akan dipagari ? Sisi mana saja?. c. Ada berapa sisi panjang dan lebar ? berilah besaran dan variabel ? (ditunggu jawaban siswa seperti berikut; ada satu sisi panjang ( p ) dan ada dua lebar (2x) ) d. Jika kawat yang panjangnya 400 m digunakan untuk memagari secara garis lurus pada sisi-sisi lokasi yang dimaksud, Sebutkan konsep matematis yang di gunakan?. Apakah konsep Luas persegi panjang ataukah keliling persegi panjang ? ( jawaban siswa yang diharapkan : konsep keliling) e. Sebutkan formula keliling persegi panjang tersebut?, hubungkan dengan situasi yang dimaksud (bagian mana yang dikelilingi pagar). Hubungkan
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
97 dengan fakta , varibel-variabel , besaran kuantitas dengan kaedah matematika (formula keliling) yang dimaksud. (komunikasi siswa yang diharapkan: bahwa panjang kawat yang 400 m digunakan untuk memagar satu sisi yang memanjang dan dua sisi yang melebar, diharapkan siswa menemukan formula : p + 2x = 400 ) f. Dari bentuk p + 2x = 400, guru dapat mengembangkan pertanyaan? Dapatkah anda (siswa) menurunkan aturan untuk panjang atau lebar dari : p + 2x = 400 . Mana yang lebih sederhana dari kedua bentuk tersebut ? (jawaban siswa yang diharapkan dan lebih sederhana adalah p = 400 − 2x) g. Selanjutnya guru menanyakan tujuan dari permasalahan yaitu luas maksimum ? Guru kembali mengingatkan siswa tentang aturan luas persegi panjang : yaitu Luas persegi panjang = panjang x lebar , dan mengaitkan informasi yang ditemukan dengan aturan ini. Sehingga siswa dapat menuliskan bentuk model matematikanya. Yang diharapkan dari jawaban siswa adalah : bahwa panjang persegi panjang adalah p = 400 − 2x dan lebar adalah x sehingga Fungsi tujuan untuk luas persegi panjang adalah : Luas persegi panjang = Panjang × Lebar {z } | {z } | {z } | L(x)
(400−2x)
x
Pekerjaan pembentukan model matematika, sampai penemuan formula matematika L(x) = (400 − 2x)x telah selesai. Siswa dikatakan telah memahami proses pembentukan model matematika apabila, siswa dapat menemukan formula matematika yang bersesuaian dengan situasi masalah dunia nyatanya.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
98 3.
Strategi Pembelajaran entri ketiga pemodelan; bekerja dengan matematika Setelah menemukan bentuk model matematika, siswa diberikan kesempatan
mengamati bentuk formula tersebut, dan mencoba untuk mencari penyelesaiannya, Pada tahap ini pemikiran matematis dan , pengetahuan dasar matematika siswa sangat berperan. Dengan metode tanya jawab siswa dilibatkan menyederhanakan, menemukan bentuk baru yang ekuivalen, mengaitkannya dengan formula umum fungsi kuadrat, melihat kesamaan model matematika yang ditemukan dengan formula umum fungsi kuadrat. Menggali pengetahuan siswa tentang aturan nilai optimum fungsi kuadrat. Siswa diharapkan dapat melihat relasi data yang ditemukan dengan aturan optimum yang disebutkan. Dari instruksi yang diberikan guru diharapkan dari jawaban siswa adalah : L(x) = 400x − 2x2 (penyederhanaan bentuk L(x) = (400 − 2x)x ) Nilai a = −2 dan b = 4 (pengamatan pola dengan bentuk umum y = ax2 + bx + c) D ) dan nilai L(x) maksimum = 20.000 m2 (hasil substitusi data ke aturan −4a b ) x = 100m (hasil substituisi data ke aturan x = − 2a Seorang siswa dikatakan telah dapat bekerja dengan matematika sesuai dengan tahapan pemodelan matematika, apabila siswa telah dapat mengaktualisasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk menemukan penyelesaian dari suatu model matematika.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
99 4.
Strategi pembelajaran entri ke empat pemodelan : Mengartikan solusi matematika Dengan metode tanya jawab siswa dapat menjelaskan arti solusi matematika
yang ditemukan, dengan menghubungkannya kembali kepada penamaan variabelvariabel yang dibuat pada entri kedua. Diharapkan siswa dapat memberikan pengertian seperti berikut : agar diperoleh daerah peternakan yang seluas-luasnya, lebar lokasi peternakan adalah 100 m dan panjang lokasi = 200 m dan luas maksimum lokasi = 20.000 m2 Siswa dikatakan telah dapat mengartikan solusi matematika, apabila siswa dapat menyebutkan arti dari nilai variabel-variabel yang ditemukan pada solusi matematika.
5.
Strategi pembelajaran entri ke lima pemodelan : evaluasi hasil matematika Siswa diminta penjelasan tentang fakta yang berhubungan dengan uku-
ran panjang, lebar dan luas. Apakah panjang, lebar dan luas dapat bernilai negatif? atau selalu bernilai positif?. Siswa kembali melihat kembali nilai variabel yang ditemukan pada entri ketiga apakah ada yang bernilai negatif ? jika ada siswa harus melihat pekerjaannya kembali mulai dari awal hingga ditemukan kembali jawaban yang benar. Yang menjadi kunci validasi disini , bahwa panjang kawat adalah 400 m. Apakah benar jika panjang lokasi yang dipagar 200 m dan lebar lokasi 100 m , sesuai dengan panjang kawat yang 400 m . Untuk menguji kebenarannya, siswa ditanya formula mana yang digunakan untuk mengujinya. Metode apa yang digunakan untuk mengujikannya. Diharapkan jawaban siswa, formula yang digunakan adalah p + 2x = 400, dengan mensubstitusikan nilai x
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
100 dan p, siswa mengamati hasil kedua ruas persamaan apakah hasilnya sama. Jika berbeda siswa kembali mengoreksi semua pekerjaannya mulai dari awal hingga ditemukan jawaban yang benar.
6.
Strategi pembelajaran entri ke lima pemodelan : pelaporan Guru hendaknya meminta hasil pekerjaan siswa, untuk dikoreksi, sebagai
bahan refleksi bagi guru untuk pembelajaran yang lebih lanjut. Guru dapat mendokumentasikannya dengan memberikan penilaian kepada siswa. Pelaporan siswa dapat juga dilakukan juga dengan persentasi di depan kelas.
c.
Penutup Pembelajaran Menutup pertemuan dengan mengajak siswa merefleksikan apa yang dipela-
jari pada pertemuan ini. Siswa dapat menuliskan prosedur atau labgkah-langkah penyelesaian soal aplikasi persamaan kuadrat dengan pengertian sendiri.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagaimana pada pengkajian literatur terdapat komunitas peneliti matematika yang terus menerus merevisi pendidikan matematika, baik dibidang pembelajaran maupun dibidang aplikasi matematika. Perkembangan pembelajaran matematika, pemecahan masalah dan pemikiran matematis telah berubah secara dramatids. Sebagaimna dibidang pengajaran dengan munculnya teori-teori baru seperti pembelajaran konteksual di Amerika dan matematika realistik di negeri Belanda. Teori-teori pemecahan masalah juga mengalami perkembangan, seperti yang diajukan Polya. Teorinya telah mendasari teori-teori baru pemecahan masalah saat ini, dengan memasukkan pemodelan dan perspektif pemodelan sebagai aktivitas pemecahan masalah, sebagaimna yang diajukan beberapa peneliti dibidang pemodelan. Pemodelan matematika juga mempunyai sejarah yang panjang, yang dimulai dari pemikiran Pollak hingga saat ini. Pengkajian dibidang pemodelan masih terus berlanjut terutama pada didaktik pengajarannya di tingkat sekolah dasar dan menengah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Kaiser, et.al (2006) bahwa teori belajar pemodelan sampai saat ini sangat jauh dari lengkap. Namun demikian Bohl, (1998) dan Pace, (2000), menyatakan bahwa pembelajaran pemodelan matematika yang tepat saat ini adalah dengan pembelajaran kontekstual. Begitu juga Gravemijer & Doorman, (1999) dan Freudenthal (1991) yang menyarankan dengan matematika realistik.
101 Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
102 Pengajaran dengan kontekstual dan matematika realistik menganut paham yang sama yaitu pembelajaran kontrukvis, meskipun ada perbedaan penerapan dan daerah asalnya. Indonesia telah mengadopsi metode pembelajaran kontekstual ini, sebagaimana telah menjadi bahan pelatihan bagi guru-guru di Indonesia. Kesimpulan utama bahwa pembelajaran pemodelan matematika di tingkat sekolah menengah adalah sangat penting, sebagaimana perkembangan dunia nyata dalam aspek kehidupan manusia. Dengan tujuan agar siswa dapat menangani masalah-masalah yang lebih kompleks dan dapat mengembangkan pola pikir matematis yang kritis dan analitis. Pengkajian terhadap teknik dan strategi pembelajaran pemodelan matematika, masih tetap berlanjut. Maka strategi pembelajaran pemodelan matematika yang lebih tepat saat ini adalah dengan pendekatan konstrukvis yang dikenal dengan pembelajaran kontekstual atau matematika realistik.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Atwel, Bleicher & Cooper.1998. ”The Construction of The Social Contex of Mathematics Clasroom : A Sociolonguistic Analysis”. Journal for Research in Mathematics Education. Vol 29 No.1 January 1998.hal 63-82 Ben-zev,T., (1996). When erroneous mathematical thinking is just as ”correct” : The oxymoron of rational errors. In Sternberg,R. & Ben-Zev, T. The Nature of Mathematical thinking. (55-79). Mahwah, Nj. Lawrence Erlbaum Associates. Bodner, G.M., (1986). Constructivism: A theory of knowledge. Journal of Chemical Education. Vol. 63(10):873-878. Bohl, J., (1998). Problem that matter : Teaching mathematics as critical engagement. Humanistic Mathematics. Net Work Journal. 17, 23-31 Borromeo,R.F., (2006). Theoretical and empirical differentiations of phases in the modeling process. ZDM. Vol.38(2). Blum, W. and Niss, M. (1989). Mathematical Problem Solving, Modelling, Applications, and Links to Other Subjects State, Trends and Issues in Mathematics Instruction. In: W. Blum, M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling, Applications and Applied Problem Solving: teaching mathematics in a real contexts. Chichester: Ellis Horwoord. Blum, W. and Niss, M. (1991). Applied mathematical problem solving, modeling applications, and link to other subject-state, trend, and issues in mathematics instructions. Education Studies in Mathematics, 22(1),37-68. Blum,W., & Kaiser,G.,(1997). Vergleichende emprische Untersucungen zu mathematischen anwedungsfahigkeiten von englischen und deutschen Lernenden. In : In ;K.Maas, (Eds.), What are competencies, 2, 113-141 Blum,W., (1985). Anwendungsorientierter Mathematikunterricht in der didaktischen Diskussion. Mathematische Semesterberichte, 33(2), 195-232. In K.Maas, (Eds.), What are competencies, 2, 113-141 Blum,W., (1996). Anwendungsbezuge im Mathematikunterricht-Trends und Perspektiven . In K.Maas, (Eds.), What are competencies, 2, 113-141 Burkhard , H., Pollak, H., (2006). Modeling in Mathematics classrooms. Zentralblatt fr Didaktik der mathematic, 38(2), 178-195. Butler,C. Wren,F. &Branks, J., (1970). The teaching of secondary mathematics. New York, Mc Graw-Hill Cerda Bonomo, M.F., (2006). Mathematical Thinking Like angular stone in the understanding of real world phenomena. Ministry of Education Chile.
103 Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
104 Cobb,Y & Wood, (1992), ”A Constructivist Alternative to The Representational View of Mind in Mathematics Education”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.23. No.1 January 1992. hal. 2-33 . Confrey, J., & Doerr,H., (1994). Student modelers. Interactive Learning Environment, 4(3), 199-217 Crouch,R.,&Haines,C., (2004), Mathematical modeling :transitions between the real world and the mathematical model : International Journal for mathematics education in Science and technology,35, 197-206 De Lange., (1987). Mathematics, Insight and Meaning-Teaching, learning and testing of mathematics for the life and social sciences. The Netherlands: Utrecht University. De Lange, J., (1989). Trend and Barriers to Applications and Modeling in Mathematics Curricula. In W. Blum, M.Niss, I. Huntley, (Eds.), Modeling applications and applied problem solving (196-204) Chichester : Ellis Horwood. De Lange,J., (1992). Assessingolving to modeling ,understanding and thinking.In N.Mousoulides,et.al, : From problem solving to modeling. 1-27 De Lange, J. (1995). Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press. De Pueto, C. & Parenti, I., (1999). Contributions and obstacles of contexts in the development of mathematical knowledge. Educational Studies in Mathematics. 39, 1-21 Depdiknas, (2006). Pengembangan Model Pembelajaran yang efektif. Direktorat Pembinaan SMP. Dirjen. Manajemen Pendidikan dasar dan menengah. Jakarta. Davis,. (1996). ”One Very Complete View (Though Only One) of How Children Learn Mathematics ” Dalam Journal for Research in Mathematics Education Vol.27. No.1 January 1996. hal. 100-106 Dreyfus,T.& Eisenberg,T., (1996). On differences facts of mathematical thinking. In Sternberg,R. & Ben-Zev, T. The Nature of Mathematical thinking (253284). Mahwah, Nj. Lawrence Erlbaum Associates. Dunlap, J., (2001). Mathematical Thinking. C&1 431 Dym, C.L., (2004). The Principles of mathematical modeling. (Eds,2.) Claremont, California. English,l,,D., (2006) Mathematical Modeling in Primeri School. Educations Studies in Mathematics, 63(3),303-323 Ernest,P. 1991. The Philosopy of Mathematics Education: London
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
105 Freudenthal, H., (1991). Revisiting mathematics education. China lectures. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Galbraith,P., (1995). Modeling, Teaching, Reflecting-What I have learned. In C. Sloyer, W.Blum, & I.Huntley (Eds), Advances and persvectives in teaching of Mathematical Modeling and application (pp.21-45).yorkylyn:Water Street Mathematics. Galbraith,P.,& Stillman (2001). Assumption and contexct; Pursuing their role in modeling activity . In K.Maas, (Eds.), What are competencies, 2, 113-141 Galbraith,.P., Stillman,G., (2006). A Framework for Identifying student Blockages during Transitions in the Modeling Process. ZDM- Classifications: C70-M10. Vol 38(2). The University of Queensland and The University of Melbourne. Goldman, S.R., Pellegrino, J.W., & Mertz,D.L., (1988). Extended practice of basic addition facts : strategy changes in learning disabled students. Cognition and Intruction, 5. 223 265. Gravemeijer, K., & Doorman,M., (1999). Contexst problem in realistic mathematics education : A calculus course as an example. Education Studies in Mathematics, 39, 111-129. Gravemeijer, K. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CDβ Press, the Netherlands. Gravemeijer, K. (1997). Commentary. Solving word problems: A case of modeling ?. Learning and Instruction, 7(4), 389-397. Greer, B., (1997). Modeling reality in mathematics classroom the case of word problems. Learning and Intructions, 7(4). 293-307. Greer,B., Verschaffel,L., Mukhopadhyay,S. (2007) Modeling for Life : Mathematics Childrens experience. In W.Blum, W.Henne & M.Niss (Eds), Applications and Modeling in mathematics education (ICMI Study 14) Dordrectht : Kluwer Hiebert,J & Thomas Carpenter, (1992), ”Learning and Teaching With Understanding” Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning.NewYork.Macmillan Howard,T, Sonia,J., (2002). Assessing Childrens Mathematical Thinking in practical modelling stuations. Teaching mathematics and applications, 21(4), 145159. Heutinck,L. & Munshin,S., (2004). Teaching mathematics for the 21st Century : Methods and activities for grades 6-12 (2nd ed.), New Jersey : Upper Saddie River. Ismail., (2003). Media Pembelajaran (model-model pembelajaran. Dit.PLP Dikdasmen. Jakarta
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
106 Joyce, B.; Weil, M.; Showers, B (1992). Models of Teaching (4th Ed). Boston : Allyn and Bacon Kaiser-Mesmer,G., (1986). Anwen dungen im mathematik-unterricht..In K.Maas, (Eds.), What are competencies, 2, 113-141 Kaiser. G, Blomhoj.M, Sriraman.B., (2006). Towards a didactical theory for mathematical modeling. ZDM, Vol. 38(2). Klaoudiatos, N., Papastravridis,S., (2001). Contex oriented teaching. In K.Maas : What are modelling competencies ?. University of Education, Freiburg. Kurikulum Pendidikan Matematika, (2006). Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ditjen, Dikdasmen, Depdiknas. Jakarta. Lajoie, S.P., (1995). A framework for authentics assessment in mathematics. In T.A Romberg (Ed.), Reform in school mathematics and authentic assessment (19-37). Albany NY: State University of New York Perss. Lesh,R., & Doerr,H.M. (2003a) Beyond Constructivism : A Models and Modeling Perspective on Mathematics Problem Solving, Learning and Teaching, Marwah, NJ : Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Maas,K., (2006.), What are competencies, University of Education Freiburg: ZDM vol 38(2) . 2, 113-141 Mamoon. Muhammad. Mubark, (2005). Mathematical Thinking and Mathematics Achievement of Studies in the years 11 scientifics stream in Jordan: Submitted to the faculty of education and Arts The University of New Castle. Marwan,H., (1997). ”Model dan Pembentukan Model”. FMIPA USU Mason,J.,Burton, L., Stacey, K., (1991). Thinking Mathematically. England, Addision- Wesley, Wokingham. Matos, J.F., (1998). Mathematic learn and Modeling: Teory and practice. In P. Galbraith, W. Blum, G. Booker, I. Huntley, (Eds.). Mathematical modeling, Teaching and assessment in a technology Rich World, (21-27), Chichester Horwood Publ. Mawengkang. H., (2007). ”Kompetensi Pemodelan Matematika” ; di sampaikan pada Seminar Nasional dan Pengukuhan Asosiasi Guru Matematika SMA / MA Sumatera Utara UNIMED. McNair, R., (2000). Life outside the mathematics classroom: Implications for mathematics teaching reform. Urban Education 34(5), 550- 570 Mitzel, H.E. 1982. Encyclopedia of Educational Research (Fifth Ed). New York : Macmillan NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics.USA : NCTM Price,J. 1996. ”Presidents Report : Bulding Bridges of Mathematical Understanding for All Children” . In Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5 November 1996. hal. 603-608
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
107 Mousoulides, N., Sriraman.B., Pittalis.M., & Christou.C. (2008). ’Traching Students Modeling Processes in Elementary and Secondary School. University of Cyprus & University of Montana. Mousoulides, N., Sriraman.B., Pittalis.M., & Christou.C. (2007a). From Problem Solving to Modeling-the emergence of models and modelling perspectives. Nordic Studies in Mathematics Education, 12(1),23-47. Mousoulides, N. (2007b). The Modeling perspective in The teaching and learning of mathematics problem solving. Unpublished Doctoral Dissertation. Nicosia: University of Cyprus. NCTM, (2000). ”Principles and standards for school mathematics”. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Niss, M., (2004). Mathematical competencies and the learning of mathematics: The Danish KOM Project. In K. Maas : What are mathematical modeling?. University of Education Freburg, Vol 38(2). Nur, M. (2001). Realistic Mathematics Education. Jakarta: Depdiknas, Proyek PPM SLTP. Ostad, S.A., (1997). Strategies competence : Issues of task- specific strategies in arithmetic. Nordic Studies in mathematics education, 3, 7-32 Pace, S., (2000). Teaching mathematical modelling in a design contest : A methodology based on mechanical analysis of a domestic crusher. Teaching Mathematics and its applications, 19(4), 158-165 Paul Abrams, J., (2001). Mathematical modeling : Teaching open-ended Applications of mathematics. The NCTM (2001). Petocz,P. & Petocz, D., (1994). Pettern and Proof [ videorecording] the art of mathematical thinking. Sydney. Media Production Unit, open training & youth affairs and the University of Technology. Pollak, H., (1979). The Integration between mathematics and other school subjects. In UESCO (Eds.) New trends in mathematics teaching, Vol. IV, Paris, 232248 Polya, G., (1973). How to solve it : A new aspect df mathematicsal methods. (2ndnd Ed.). Princeton, NJ: Princeton University Press. Polya, G., (1962). Mathematical Discovery. New York. Wiley. Posamentier, Alfred.S, Stepelman.J., (1999). Teaching secondary mathematics; Techniques and Enrichment unit. New Jersey: Prentice Hall Sandra, C. (1996). Strategie for effective teaching. Handbook to teaching assistants. University of Wisconsin-Medison College of Engineering.
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008
108 Schoenfeld,A.,(1992). Learning to think mathematically : problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. In D.Gorows (Ed), Handbook of research on mathematics teaching and learning (334-370). New york: Simon & Schuster Macmillan Shou Lin, C., (-). Some Remark on mathematical thinking in education. Dong-men Primary School. Department of Mathematics, National Taiwan University. Schovsmose, O., (1994). Towards a philosophy of critical mathematics education. Dordrecht : Kluwer. Schovsmose, O., (2000). Aporism and critical mathematics education. For the Learning of mathematics, 20(1),2-8. Slavin,R., (1997), Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition.Boston : Allyn and Bacon. Smith, J.P. (1996). Efficacy and teaching mathematics by telling: a challenge for reform. Journal for Research in Mathematics Education. Vol 27(4) pp 387Taylor, (1993), ”Vygotskian Influences in Mathematics Education With Particular Refrences to Attitude Development”. Dalam Jurnal Focus on Learning in Mathematics. Vol 15 No. 2 hal.3-17. TIMSS. 1999. International Student Achievement in Mathematics. Tran Vui (2001). Practice Trends and Issues in the Teaching and Learning of Mathematics in the Countries. Penang: Recsam. Treffers, (1991), ”Didactical Background of a Mathematics Program for Primary Education”. Dalam Realistic Mathematics Education in Primary School. Freudenthal Institute. Utrecht. Verschaffel. I., De Corte, E., (1997). Teaching realistic mathematical modelling in the elementary school : A teaching experiment with fifth grades. Jounal for research in Mathematics Education, 28(5), 577- 601. Voskogluo, (2006) The use of Mathematical Modelling as a tool for learning mathematics. ”Quarderni di Recerca in Didattica”, n16, University of Palermo, Italy. Wilson, Teslow, Taylor, (1993), ”Instruction Design Perspectives on Mathematics Education With Refrences to Vygotskys Theory of Social Cognition”. Focus on Learning Problem in Mathematics. Vol 15.No 2 &3. hal. 65-84 Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
Parlaungan: Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), 2008. USU e-Repository © 2008