penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
KATA PENGANTAR
Kajian Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) ini merupakan salah satu produk kajian dibidang kebijakan publik di bidang pertambangan mineral dan batubara (MINERBA). Dari sisi tugas fungsinya, kajian ini juga merupakan bagian dari tugas pokok, visi dan misi dari kelompok program Kajian Kebijakan Pertambangan Mineral dan Batubara, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Mineral Dan Batubara yang dilaksanakan melalui anggaran kegiatan tahun 2010. Kajian yang bersifat kebijakan publik di sektor pertambangan mineral dan batubara semacam ini diharapkan memperkaya, melengkapi, dan menyempurnakan ataupun juga memberikan masukan alternatif atas masalah-masalah yang terkait kebijakan peraturan perundangan di sektor pertambangan sebagai salah satu sumbangan yang bersifat kelitbangan di lingkungan Kementerian Energi Dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Disadari bahwa penerapan Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang MINERBA belum dapat bejalan secara optimal dilapangan, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. Terkait dengan hal tersebut, diharapkan hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan
yang bersifat teknis dalam
upaya penyempurnaan melalui penerbitan
peraturan setingkat menteri seperti Peraturan Menteri
tentang Tata Cara
Penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang dapat dilaksanakan oleh aparatur teknis pertambangan di daerah. Akhirnya kepada segenap pihak yang telah membantu penyelesaian kajian ini kami sampaikan penghargaan dan terima kasih. Bandung, Desember 2010 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA KEPALA Ir. HADI NURSARYA M.Sc i
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
SARI Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) pada dasarnya merupakan suatu kegiatan kajian yang bersifat analisis kebijakan publik atas suatu produk kebijakan yang terkait dengan lahirnya era baru di sektor pertambangan melalui lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (MINERBA). Kondisi tersebut diatas menegaskan bahwa pengaturan tentang kebijakan pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya mineral demikian peliknya karena terkait dengan berbagai kepentingan sektor lainnya. Pengaturan tentang Wilayah Pertambangan yang tertuang dalam PP 22 tahun 2010, secara substantif merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 12, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 89 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang MINERBA. Dalam Undang-undang 4 Tahun 2009, hal yang terkait dengan kriteria penetapan WP tidak cukup dijelaskan sementara dalam Pasal 2 PP 22 tahun 2010, WP dijelaskan sebagai kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan; Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud, memiliki kriteria adanya: Indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau Potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair. Penetapan WP seperti yang di suratkan dalam pasal 2 PP 22 Tahun 2010 tersebut dalam pelaksanaannya di daerah telah mengundang reaksi dari sektor pengguna ruang lainnya karena terkesan WP merupakan sebuah wilayah yang tidak dapat diganggu gugat dan tertutup bagi kepentingan penggunaan peruntukan lahan lainnya. Hal tersebut sangat dapat dipahami karena kriteria WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan dalam implementasinya dapat melingkup seluruh wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota ataupun suatu regional tertentu seperti pulau ataupun satuan kepulauan. Sementara kriteria yang ditetapkan untuk suatu Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dalam penerapan dilapangan akan berbenturan dengan PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan kompilasi dari Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Provinsi seluruh Indonesia yang hingga saat ini masih dalam penyelesaian di tingkat Kementerian Dalam Negeri. Lebih jauh jika penetapan WP dikaitkan dengan PP 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dimana dalam beberapa pasal mengatur tentang kegiatan usaha pertambangan baik pada kawasan hutan produksi ataupun kawasan hutan lindung, maka seharusnya kriteria penetapan suatu Wilayah Pertambangan (WP) perlu di adendum ataupun setidaknya pada tingkat opersionalnya di susun suatu peraturan setingkat menteri yang berisi pedoman teknis terkait bagaimana dalam suatu WP harus dikelola sebelum proses perijinan WIUP, WIPR, WIUPK akan diterbitkan. Sebagai sebuah kajian kebijakan publik, kajian ini menawarkan masukan bagi penyempurnaan ataupun usulan teknis bagi penyusunan peraturan setingkat menteri melalui pendekatan yang berbasis teori kewilayahan dengan memanfaatkan konsep Satuan Genetika Wilayah (Genetic Terrain Unit) sebagai alat pengolah berbagai sektor yang terkait dengan penggunaan ruang (spatial) sehingga dapat dikaji sebagai sebuah entitas sistem wilayah yang saling terkait. Diharapkan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat kuantitatif penetapan kriteria-kriteria terhadap suatu WP dapat lebih rasional dan dapat dijelaskan argumentasinya. ii
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar
…………………………………………………………………....
i
Sari
…………………………………………………………………....
ii
Daftar Isi
…………………………………………………………………....
iii
Daftar Gambar…………………………………………………………………................
v
Daftar Tabel
vi
I.
II.
III.
…………………………………………………………………....
PENDAHULUAN
…………………………………………………………..
1
………………………………………………….
1
1.1
Latar Belakang
1.2
Ruang Lingkup Kegiatan
1.3
Tujuan
…………………………………………
5
…………………………………………………………..
5
1.4
Sasaran …………………………………………………………………...
5
1.5
Lokasi Kegiatan
6
………………………………………………….
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….........
8
2.1
Analisis Kebijakan Publik ................................................................
8
2.2
Peraturan Perundangan .................................................................. 11
2.3
Sistem Wilayah ................................................................................ 23
2.4
Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) ....................................... 27
PROGRAM KEGIATAN
…………………………………………………
30
3.1
Studi Literatur
............................................................... 30
3.3
Pengumpulan Data Lapangan .......................................................
3.2
Konsultasi dan Diskusi .................................................... 31
3.4
Pengolahan Data
3.5
Pembahasan, Diskusi dan Presentasi
3.6
Penyusunan Laporan Hasil Kajian ................................................... 34
31
............................................................. 32
iii
................................... 33
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
IV.
V.
VI.
METODOLOGI
…………………………………………………………..
35
4.1
Konsep Satuan Genetika Wilayah .........................................
36
4.2
Aplikasi Teknologi SIG dan Model Statistika
.......................
37
4.3
Analisis Kebijakan Retrospektif
.........................................
42
………………………………………………….
43
5.1
Kondisi Wilayah Pertambangan Pasca Undang-undang MINERBA ..
43
5.2
Otonomi Pertambangan
5.3
Keterkaitan Sektoral
5.4
Wilayah Pertambangan Indonesia
5.5
Simulasi Penetapan Wilayah Pertambangan ................................. 55
5.6
Perumusan Kriteria Wilayah Pertambangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
PENUTUP
.................................................................... 48 ............................................. 54
................................. 59
………………………………………….................................. 61
6.1
Kesimpulan
6.2
Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
......................................................... 45
………………………………………………………….. 61 …………………………………………………. 62 ............................................................................... 63
LAMPIRAN
iv
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1
Peta Lokasi Uji Lapangan Kajian Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan ...........................................
Gambar 2.1
Struktur Kebijakan Publik Indonesia Pasca UU 32 Tahun 2004 ...
11
Gambar 2.2
Pemanfaatan Teknologi SIG Dalam Pengelolaan Wilayah .........
27
Gambar 2.3
Penyusunan Peta Ke dalam Layer-layer Menurut Konsep SIG .....
28
Gambar 5.1
Peta Kawasan Lindung Indonesia ..............................................
53
Gambar 5.2
Peta Wilayah Pertambangan Indonesia .......................................
56
Gambar 5.3
Peta Usulan Rencana Wilayah Pertambangan Indonesia .............
58
v
7
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1
Inventarisasi Dan Perbandingan Pasal Terkait Kriteria Dan Penetapan Wilayah Pertambangan
...............................................
22
Tabel 2.2
Matrik Satuan Genetika Wilayah
...............................................
26
Tabel 5.1
Luas Kawasan Hutan Dan Perairan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan Serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) .............................................
Tabel 5.2
Scoring Faktor Genetika Wilayah Dalam Penyusunan Kriteria WP ...
Tabel 5.3
Daftar Isian Masalah Perbandingan Kriteria WP
vi
........................
52 60 61
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kegiatan pertambangan di Indonesia secara nyata telah membuka dan
mengembangkan
wilayah
terpencil.
Dengan
berkembangnya
pusat
pertumbuhan baru di beberapa wilayah, telah memberikan manfaat dalam pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan penerimaan negara, dan penyediaan lapangan kerja. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara diharapkan menjadi penggerak pembangunan. Pengembangan sektor pertambangan mineral dan batubara harus berdasarkan praktek
pertambangan yang baik
dan benar dengan memperhatikan elemen dasar praktek pembangunan berkelanjutan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan hidup. Mineral dan batubara yang terkandung dalam Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara Indonesia, keterdapatannya memiliki sifat yang tidak terbarukan, tersebar tidak merata, terbentuk jutaan tahun yang lalu, keberadaannya tidak kasat mata, keterdapatannya alamiah dan tidak dapat dipindahkan. Selain mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, pertambangan mineral dan batubara juga dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan, memiliki resiko dan biaya tinggi dalam eksplorasi dan operasi produksinya, nilai keekonomiannya dapat berubah dengan berubahnya waktu dan teknologi, karena itu dalam menetapkan Wilayah Pertambangan harus mempertimbangkan keterpaduan, pemanfaatan ruang dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berkesinambungan berdasarkan daya dukung lingkungan. Pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara memiliki kedudukan yang sama dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan dalam tata ruang, sehingga harus dikelola secara bijaksana untuk memberi nilai tambah
1
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
bagi perekonomian nasional dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Harus
disadari
bahwa
kegiatan
pertambangan
dalam
berbagai
tingkatan skala aktifitas, keberadaannya tidak dapat terlepas dari penggunaan ruang (spatial) sebagai tempat dimana sumberdaya mineral itu berada. Dari aspek hukum, secara kronologis, Kementerian
Energi Dan
Sumberdaya Mineral (ESDM) jauh sebelum Undang-undang Penataan Ruang yang terdahulu (UU No.24/Tahun 1992) diterbitkan telah menyadari bahwa aktifitas kegiatan pertambangan tidak dapat terlepas dari pemanfaatan ruang. Oleh
karenannya
Tim Asistensi Pengkajian Kawasan Pertambangan
Departemen Energi Dan Sumberdaya Mineral pada tahun 1987 telah mulai mengantisipasi
benturan-benturan kepentingan dalam
kegiatan operasi
pertambangan melalui sosialiasi beberapa terminologi dasar yang terkait dengan peruntukan lahan untuk kegiatan pertambangan. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Penetapan Kawasan Lindung Dan Kawasan Budidaya, merupkan produk kebijakan terkait penggunaan ruang (spatial) yang menempatkan kegiatan pertambangan kedalam kawasan budidaya. Keppres tersebut serasa tidak dapat beroperasi secara optimal sehingga kemudian perlu diterbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang secara substansi berisi Keppres 32 Tahun 1990. Sebagai
alat
pengoperasian
Undang-Undang
No.24/1992,
diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional.
Peraturan Pemerintah ini sesungguhnya cukup
mengatur berbagai sektor yang terkait dengan pemanfaatan ruang termasuk didalamnya memberi ruang bagi kegiatan pertambangan dalam bentuk Kawasan Pertambangan lengkap dengan langkah-langkah pengelolaannya. Namun dalam operasionalnya Peraturan Pemerintah ini seakan tidak pernah ada dan dioperasionalkan dilapangan. Keadaan ini semakin diperparah dengan
perubahan
sistem
ketatanegaraan
dari
sentralisasi
menjadi
desentralisasi melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
2
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Pemerintahan Daerah yang berdampak pada
minimnya
koordinasi
pemanfaatan ruang antar wilayah yang saling bersinggungan/bersempadan ataupun koordinasi antar sektor pengguna ruang. Dampak terburuk yang terjadi adalah banyaknya perusahaan-perusahaan pertambangan yang tidak mampu beroperasi secara maksimal karena ketidakpastian peraturan yang mengaturnya karena ketidaksiapan Aparatur Pemerintah Daerah dalam mengemban semangat otonomi yang harus dikelolanya. Guna mengatur penggunaan ruang yang semakin tidak serasi, maka diterbitkanlah Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang yang kemudian dioperasionalkan
melalui
Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Belum lagi berfungsi dan beroperasi, mengundangkan
Undang-undang
Nomor
4
pemerintah telah
tahun
2009
tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagai pengganti Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Dalam Undang-undang MINERBA tersebut hal-hal yang terkait langsung dengan penataan ruang adalah penetapan Wilayah Pertambangan (WP) yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2010 yang didalamnya meliputi penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Lebih jauh dalam Undang-undang MINERBA, Bab V, Pasal 9, ayat 1 lebih jauh menjelaskan bahwa Wilayah Pertambangan (WP) merupakan bagian dari Tata Ruang Nasional yang merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Permasalahannya adalah
bagaimana wilayah
pertambangan itu akan terakomodasi dalam Tata Ruang Nasional sementara Rencana Tata Ruang Nasional itu sendiri belum ditetapkan sesuai Undangundang Penataan Ruang yang terbaru. Sebagai catatan bahwa hingga saat ini penyusunan Rencana
Tata
Ruang wilayah
Nasional
(RTRWN)
yang
3
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri belum juga selesai karena banyak Provinsi/Kabupaten/Kota masih menyelesaikan ataupun merevisi Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) wilayahnya. Hal ini menjadi issue pertambangan ketika Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan MINERBA mengisyaratkan tersediannya WPN dalam Wilayah Pertambangan yang tidak dibatasi oleh wilayah administrasi sementara keberadaan sumberdaya mineral baik yang strategis ataupun yang tidak berada diwilayah adminstrasi daerah. Kondisi ini memberikan nuansa campur tangan pemerintah pusat yang terlalu berlebihan terhadap pemerintah daerah dalam mengelola wilayahnya, disamping itu dalam penetapan Wilayah Pertambangan beserta segenap implikasi ikutannya (WPN, WUP dan WPR) masih memerlukan pendalaman lebih lanjut terutama dalam penetapan kriteria/syarat peruntukan suatu kawasan karena terkait
dengan berbagai
peraturan perundangan disektor lainnya yang memerlukan kordinasi dan juga sinkronisasi, diharapkan dengan tersusunnya kriteria-kriteria yang bersifat teknis tersebut dapat meminimalkan terjadinya konflik kepentingan ataupun superioritas inter-sektor yang terkait dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (mineral). Hal ini semakin dikuatkan ketika Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan diterbitkan dimana seakan kegiatan usaha pertambangan semakin terbelenggu oleh keterbatasan operasi pada kawasan hutan, baik hutan produksi ataupun hutan lindung. Mengacu pada kondisi-kondisi tersebut dan dalam rangka mendukung kesinambungan serta keberlangsungan kegiatan usaha tambang di daerah maka penyusunan kriteria-kriteria dalam penetapan Wilayah Pertambangan perlu segera dilakukan untuk menyempurnakan batasan-batasan yang ada agar lebih dapat dioperasionalkan dengan mengacu pada pendekatan teori kewilayahan
yang
terukur.
pertambangan setidaknya
Penyusunan
kriteria
diharapkan dapat
penetapan
menjadi masukan
wilayah dalam
4
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
penyusunan
peraturan setingkat menteri yang terkait bagaimana suatu
Wilayah Pertambangan (WP) harus dikelola. 1.2
Ruang Lingkup Kegiatan Kegiatan Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : Studi literatur; Survey
pendahuluan
dilapangan
terkait
inventarisasi
kondisi
peraturan tentang IUP dan Peruntukan Lahan Usaha Tambang (Tata Ruang Daerah) ; Penyusunan Daftar Isian Masalah (DIM) Wilayah Pertambangan; Komparasi dan Evaluasi kondisi kebijakan Perencanaan Wilayah; Kordinasi dan Pelaporan. 1.3
Tujuan Tujuan
yang
ingin
dicapai
melalui
kegiatan
ini
adalah
menyempurnakan kriteria dalam penetapan Wilayah Pertambangan (WP) serta memberikan masukan dalam bentuk kajian Naskah Akademis yang mengacu pada metode, teori dan azas pemanfaatan/penggunaan ruang (spatial)
kepada
Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral dan
Pemerintah Daerah dalam mempersiapkan dan menyusun Peraturan Menteri ataupun PERDA serta standard operasional prosedure pengelolaan Wilayah Pertambangan (WP). 1.4
Sasaran Sasaran akhir dari hasil
Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah
Pertambangan, adalah pemanfaatan Model Satuan Genetika Wilayah (SGW) dalam standarisasi pengelolaan
Wilayah Pertambangan (WP)
sebagai
masukan kepada Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dalam
menyusun Peraturan
Menteri ataupun PERDA di sektor Pertambangan.
5
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
1.5
Lokasi Kegiatan Pelaksanaan
kegiatan
Penyusunan
Kriteria
Penetapan
Wilayah
Pertambangan (WP) dilakukan pada wilayah yang mewakili kutub kutub kegiatan pengusahaan pertambangan yang sedang berjalan ataupun wilayah wilayah yang
secara geologi mengindikasikan keterdapatan potensi
sumberdaya mineral hasil penemuan-penemuan baru. Lokasi kegiatan tersebut merupakan wilayah uji petik lapangan yang meliputi lokasi di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Bagian Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah- wilayah tersebut pada waktu belakangan ini merupakan wilayah dengan aktifitas kegiatan pertambangan yang cukup ramai baik untuk mineral batuan, logam ataupun batubara, serta merupakan wilayah yang pada waktu waktu kedepan memiliki prospek sebagai wilayah yang mengandalkan sektor pertambangan sebagai salah satu sektor penyumbang Produk Domenstik Regional Bruto (PDRB) ataupun Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pertambangan. Lokasi-lokasi tersebut seperti terlihat pada gambar 1.1 (Peta Lokasi Uji Lapangan Kegiatan Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan).
6
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Gambar 1.1 Peta Lokasi Uji Lapangan Kajian Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan.
7
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Analisis Kebijakan Publik Mac Rae dan Wilde dalam ‘Policy Analysis For Public Decision’,(1985 :
7-12)
mengartikan kebijakan publik sebagai : Serangkaian tindakan yang
dipilih oleh Pemerintah yang mempunyai pengaruh penting terhadap sejumlah besar orang. Pengertian ini mengandung maksud bahwa kebijakan itu terdiri dari berbagai kegiatan yang terangkai, yang merupakan pilihan Pemerintah dan kebijakan tersebut mempunyai pengaruh dan dampak terhadap sejumlah besar orang. Berdasar pada pemahaman tersebut analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara : analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan analisis sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis
kebijakan
permasalahan publik
sebelum
adanya
kebijakan
publik
bertolak
sehingga hasilnya benar-benar merupakan
pada sebuah
rekomendasi kebijakan publik yang baru. Kedua pendekatan tersebut, baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi, menyempurnakan ataupun kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu: 1. Analisis kebijakan prospektif Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan
8
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan. 2. Analisis kebijakan retrospektif Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan. 3. Analisis kebijakan yang terintegrasi Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan
para
analis
untuk
mengkaitkan
tahap
penyelidikan
retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat. Unsur-unsur yang selalu melekat dalam suatu kebijakan publik menurut Anderson (Islamy, 1994:2021) mencakup beberpa hal berikut :
Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu,
Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan.
Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu)
9
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif). Kegiatan Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan (WP)
dikategorikan sebagi suatu kajian kebijakan publik
yang didasarkan pada
teknik Analisis Deskriptif (descriptive analysis) bersifat analisis isi (content
analysis) dan analisis sejarah (historical analysis) atas hasil inventarisasi isi dan proses dari peraturan perundangan yang terkait dengan penetapan Wilayah Pertambangan (WP). Secara substansi, penetapan Wiayah Pertambangan (WP) dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), merupakan turunan atas suatu kebijakan publik yang lebih tinggi yaitu Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang MINERBA.
Peraturan
Pemerintah
nomor
22
tahun
2010
dalam
pengoperasionalannya tidak dapat berdiri sendiri namun tetap harus terkait dan merujuk peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan sektorsektor
pengguna
ruang
(spatial)
agar
tidak
menimbulkan
benturan
kepentingan dilapangan. Hai inilah yang harus mendapat perhatian dan penyesuaian-penyesuaian didalam mengoperasionalkan penetapan suatu Wilayah Pertambangan (WP). Sinkronisasi terhadap peraturan perundangan lainnya seperti peraturan perundangan disektor Kehutanan, Penataan ruang kebijakan Desentralisasi dan Otonomi daerah ataupun terhadap kebijakan Otonomi yang bersifat khusus (OTSUS) yang dimiliki oleh beberapa wilayah provinsi di Republik Indonesia seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini terkait dengan kewenangan terhadap penetapan WP dimana didalamnya terkandung kewenangan yang didelegasikan namun dalam beberapa hal karena ke istimewaannya ataupun kekhususannya pemerintah provinsi dapat mengambil kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota, atau setidaknya eksekusi suatu kebijakan ditingkat kabupaten/kota harus memperoleh ijin dari pemerintah provinsi.
10
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Kondisi-kondisi tersebut di era otonomi ini secara struktur kebijakan publik dapat terlihat pada gambar 2.1 berikut. Gambar 2.1 STRUKTUR KEBIJAKAN PUBLIK INDONESIA PASCA UNDANG-UNDANG 32 TAHUN 2004 (OTONOMI DAERAH) Riant Nugroho D. Kebijakan Publik, Formulasi,Implementasi Dan Evaluasi
2.2
Peraturan Perundangan
Seperti telah dibahas dibagian terdahulu, bahwa pada tataran operasional, penetapan suatu WP tidak dapat berdiri sendiri dan akan terkait dengan
11
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Peraturan perundangan yang secara substansi mempengaruhi
proses
penetapan Wilayah Pertambangan (WP). Peraturan perundangan tersebut diantaranya adalah ; 2.2.1 Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN Kegiatan pertambangan dalam PP ini diakomodir sebagai kegiatan yang menempati kawasan budidaya dengan peruntukan pertambangan. Kawasan peruntukan pertambangan meliputi pertambangan mineral dan batubara, pertambangan minyak dan gas bumi, panas bumi serta air tanah. Kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan. Sementara peraturan zonasi peruntukan pertambangan yang tertuang dalam PP ini lebih bersifat pengaturan pembangunan infrastruktur yang terkait dengan tapak proyek pengolahan ataupun produksi Mineral dan batubara, serta Minyak dan Gas bumi serta Panas Bumi dan Air tanah. Dalam Peraturan Pemerintah ini, hal-hal yang terkait dengan kegiatan pertambangan diatur dalam pasal 63, pasal 68 dan pasal 110 seperti tersurat dibawah ini. Dalam Pasal 63 secara substansi berisi tentang klasifikasi kawasan budidaya dimana didalamnya termasuk juga kawasan peruntukan pertambangan, Sementara dalam pasal 68 lebih menjelaskan pengertian terkait kawasan peruntukan pertambangan dan kriteria untuk penetapannya. Dalam pasal tersebut mengartikan bahwa Kawasan peruntukan pertambangan yang memiliki nilai strategis nasional terdiri atas pertambangan mineral dan batubara,pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi, serta air tanah. Dan ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi; b. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan/atau
12
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
c. merupakan bagian proses upaya merubah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil. Kriteria teknis tersebut selanjutnyan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan. Sementara pada pasal 110 PP 26 tahun 2008 ini memberikan batasan-batasan terkait
zonasi
untuk
kawasan
peruntkan
pertambangan
yang
harus
mempertimbangkan antara lain : a. Pengaturan pendirian bangunan agar tidak mengganggu fungsi alur pelayaran yang ditetapkan peraturan perundang-undangan; b. Pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan manfaat; dan c. Pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan
yang
berpotensi
menimbulkan
bahaya
dengan
memperhatikan kepentingan daerah. Pasal 110 ini justru terkesan meminimalkan kegiatan pertambangan hanya dari kacamata kegiatan pengolahan usaha pertambangan semata dan tidak menyinggung hal-hal yang terkait dengan kegiatan pertambangan dari sisi sektor pertambangan secara utuh sejak kegiatan eksplorasi sampai dengan kegiatan pengolahan pertambangan. 2.2.2 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang MINERBA Undang-undang MINERBA ini tidak secara implisit menjelaskan kriteria dari suatu Wilayah Pertambangan, hal ini karena kriteria termaksud akan dijelaskan melalui Peraturan Pemerintah. Dalam undang-undang ini hanya menjelaskan bahwa WP merupakan bagian dari
tataruang nasional,
penetapannya harus melalui konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dtetapkan dengan mengacu pada azas akuntabilatas, akseptabilatas dan juga mempertimbangkan aspirasi daerah. Butir-butir pasal yang terkait dengan kriteria dan penetapan suatu Wilayah Pertambangan
13
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
dtuangkan dalam pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan pasal 12 seperti tertuang dibawah ini. Pada pasal 9 menjelaskan kedudukan dan hak penetapan yang melekat pada pemerintah dan bentuk kordinasi antar pemerintah daerah serta konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sementara
pada
pasal
10
mensyaratkan
bagaimana
suatu
Wilayah
Pertambangan harus ditetapkan, dilaksanakan dan pertimbangan yang melibatkan berbagai aspek yang terkait dengan penetapan suatu Wilayah Pertambangan. Aspek dan prasyarat penetapan WP tersebut antara lain : a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c.
dengan memperhatikan aspirasi daerah.
Dalam pasal 11 UU 4 tahun 2009 juga menjelaskan kewajiban Pemerintah dan pemerintah
daerah
wajib
melakukan
penyelidikan
dan
penelitian
pertambangan dalam rangka penyiapan Wilayah Pertambangan. Sementara pada pasal 12 menjelaskan tentang ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP akan diatur dengan peraturan pemerintah. 2.2.3 Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan Kriteria suatu Wilayah Pertambangan (WP) seperti yang tersurat pada pasal 2 sedemikian lenturnya sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi sementara kalangan baik praktisi ataupun akademisi yang terkait dengan kepentingan kegiatan pertambangan. Dengan kriteria seperti yang tersurat dalam pasal 2 ayat 2 tersebut dapat diartikan Wilayah Pertambangan (WP) meliputi wilayah hukum negara kesatuan Republik Indonesia.
14
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Hal lain dari PP ini yang pada tataran operasional akan mengundang masalah adalah pembuatan peta WP yang harus dituangkan dalam bentuk digital dan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG), perintah PP ini menimbulkan masalah bagi para operator dan regulator pertambangan di daerah
karena
tidak
tersedianya sumberdaya
manusia
yang mampu
mengoperasiionalkan teknik pemetaan digital, sementara kementerian juga tidak secara jelas menerapkan standard perangkat lunak pengelolaan Sistem Informasi Geografi. Kondisi ini memberi peluang terjadinya ketergantungan daerah kepada kementerian ESDM yang berujung pada praktek-praktek transaksi jasa yang tidak terkontrol. Pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (WP) yang terkait dengan kriteria dan kewenangan penyusunan dan penetapan suatu Wilayah Pertambangan (WP) dapat dilihat pada pasal 2, pasal 14, pasal 16, pasal 20, pasal 26, pasal 29 dan pasal 35 seperti tersurat dibawah ini. Pada pasal 2 PP 22 tahun 2010 dijelaskan antara lain : (1) WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan. (2) Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria adanya: a. indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau b. Potensi sumber daya 15ahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair. Sementara dalam pasal 14 mengatur tentang format dan fungsi dari peta suatu Wilayah pertambangan yang antara lain mensyaratkan : 1.
Rencana WP sebagaimana dimaksud dituangkan dalam lembar peta dan dalam bentuk digital.
15
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
2.
Peta harus menggambarkan WP dalam bentuk zona yang di delineasi dalam garis putus-putus.
3.
Rencana WP digunakan sebagai dasar penetapan WP.
Dalam PP nomor 22 tahun 2010, pasal 16 memuat tentang turunan WP dalam bentuk WUP, WPR dan WPN, serta kewenangan penetapan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/Kota serta pelaksanaan kegiatan eksplorasi pada masing-masinng tingkatan kewenangan. Hal yang terkat dengan kriteria sebuah Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) diatur dalam pasal 20. Kriteria tersebut menyatakan WUP harus memenuhi kriteria : a. memiliki formasi batuan pembawa batubara, formasi batuan pembawa mineral logam, dan/atau formasi batuan pembawa mineral radioaktif, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, mineral logam, batubara, mineral bukan logam, dan/atau batuan; c.
memiliki potensi sumber daya mineral atau batubara;
d. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya dan/atau batubara; e. tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN; f.
merupakan
wilayah
yang
dapat
dimanfaatkan
untuk
kegiatan
pertambangan secara bekelanjutan; dan g. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Terkait penetapan
WPR diatur dalam pasal 26 yang menyatakan
Bupati/walikota menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara; WPR tersebut harus memenuhi kriteria:
16
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; c. merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; d. luas maksimal WPR sebesar 25 (dua puluh lima) hektare; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang;dan/atau f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun; g. tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; dan h. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Terkait dengan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dalam PP ini diatur dalam pasal 29 yang menyatakan
bahwa : Menteri menyusun rencana
penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPN berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara. WPN harus memenuhi kriteria: a. memiliki formasi batuan pembawa mineral radioaktif, mineral logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi; c. memiliki potensi/cadangan mineral dan/atau batubara; dan d. untuk keperluan konservasi komoditas tambang; e. berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain; f. merupakan wilayah yang dilindungi; dan/atau g. berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
17
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Peluang terkait penggunaan lahan pada kawasan hutan diatur dalam pasal 35 yang menyatakan bahwa : (1) Peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat di-delineasi menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi. (2) Delineasi zonasi dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung. (3) Keseimbangan antara biaya dan manfaat dan antara resiko dan manfaat dilakukan dengan memperhitungkan paling sedikit mengenai reklamasi, pascatambang, teknologi, program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan, dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara melakukan delineasi diatur dengan Peraturan Menteri. 2.2.4 Peraturan Pemerintah Kawasan Hutan
nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan
Peraturan Pemerintah ini ditandatangani bersamaan dengan PP nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (WP). Dalam PP ini walau tidak secara khusus ditujukan untuk mengantisipasi kegiatan pertambangan, namun karena pemanfaatan kawasan hutan yang paling dominan dilakukan oleh sektor pertambangan, maka substansi isi dari PP ini lebih tertuju bagaimana pengaturan kegiatan pertambangan dapat dilakukan pada kawasan hutan. Pasal-pasal yang terkait dengan Wilayah Pertambangan (WP) dapat di lihat dalam pasal 4 dan pasal 5 seperti tersurat dibawah ini. Dalam pasal 4 PP 24 tahun 2010 ditetapkan bahwa : (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang
18
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. (2)Kepentingan
pembangunan
di luar
kegiatan
kehutanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a.
Religi;
b.
Pertambangan;
c.
Instalasi Pembangkit, Transmisi dan Distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan
d.
Pembangunan
jaringan
telekomunikasi, stasiun
pemancar radio, dan stasiun relay televisi; e.
Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
f.
Sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum
untuk
keperluan
pengangkutan hasil produksi; g.
Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h.
Fasilitas umum;
i.
Industri terkait kehutanan;
j.
Pertahanan dan keamanan;
k.
Prasarana penunjang keselamatan umum; atau
l.
Penampungan sementara korban bencana alam.
Sementara dalam pasal 5 mengatur tentang penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan.
Penggunaan
kawasan
hutan
untuk
kegiatan
pertambangan dilakukan dengan ketentuan: a. dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan: penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah; b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan
pertambangan
bawah
tanah
dengan ketentuan dilarang mengakibatkan:
19
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
turunnya permukaan tanah; berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan terjadinya kerusakan akuiver air tanah. ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
penambangan
bawah
Dan tanah
pada hutan lindung diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal-pasal dalam masing-masing peraturan perundangan tersebut diatas baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah ataupun Undang-undang merupakan butir-butir yang terkait dengan pengertian, kriteria dan juga ketentuan kewenangan yang berhak menetapkan ataupun mengkordinasikan melalui rekomendasi. Perbandingan pasal dan muatan dari hal-hal tersebut seperti terlihat pada tabel 2.1 (Inventarisasi Dan Perbandingan Pasal Terkait Kriteria Dan Penetapan Wilayah Pertambangan (WP).
20
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Tabel 2.1 Inventarisasi Dan Perbandingan Pasal Terkait Kriteria Dan Penetapan Wilayah Pertambangan (WP).
21
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
22
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
2.3
Sistem Wilayah Sistem wilayah dapat diartikan sebagai sebuah entitas ruang ( spatial dan
a-spatial ) yang diimbuhi oleh perangkat pengatur dalam bentuk kebijakan publik yang mengatur pengelolaan, pemanfaatan dan pemberdayaan potensi wilayah sesuai dengan kepentingannya. Wilayah Pertambangan (WP) dalam kaca mata ruang (spatial ) merupakan sebuah ‘real image‘ yang dibentuk oleh sekumpulan kordinat kebumian (Geographycal Referenced) yang disatukan dalam satuan sub-poligon menjadi suatu region besar diwilayah NKRI serta menempati ruang wilayah secara bersama, bersempadan, ataupun menyatu pada suatu peruntukan tertentu. Delineasi
Wilayah Pertambangan (WP) dalam kenyataannya berada pada
satuan genetika wilayah yang secara geomorfologi memiliki besaran nilai ataupun nilai buatan (artificial value) yang harus dipertimbangkan peran dan fungsinya. Penilaian dan pembobotan satuan genetika wilayah merupakan salah satu pendekatan yang paling reasonable dalam mengkaji wilayah (spatial). Dalam konteks pengembangan wilayah berbasis sumberdaya khususnya mineral, penetapan kebijakan yang menyangkut pemanfaatan ruang harus dilihat secara holistik guna menghindari terjadinya benturan birokrasi dan bencana lingkungan yang akan ditimbulkannya. Sedikitnya tersyaratkan 7 (tujuh) faktor dalam melihat wilayah sebagai suatu satuan genetika wilayah yang memerlukan penilaian dan pembobotan dalam
menetapkan
pemanfaatan/pengelolaan
suatu
sistem
wilayah
dalam
kebijakan
ruang dan potensi yang terkandung didalam
ruangnya (space, surface and underground). Dalam kaitan dengan penetapan kriteria Wilayah Pertambangan (WP) dimana sumberdaya mineral merupakan pusat perhatian (point of view) dan memiliki keterkaitan dan pengaruh terhadap
faktor-faktor
yang
saling
bersinergi
maka
perlu
dilakukan
pertimbangan dan penilaian fungsi dan perannya dari masing-masing faktor tersebut.
23
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Faktor faktor tersebut adalah : 1.
Keekonomian Bahan Galian
2.
Kewilayahan dan Infrastruktur (Tata Ruang)
3.
Stabilitas Fisik Wilayah (spatial)
4.
Kebencanaan/Ancaman Resiko
5.
Dampak Lingkungan
6.
Reklamasi Dan Pasca Tambang
7.
Kebijakan Sosial (sosial, ekonomi, budaya dan hukum)
Penilaian terhadap ketujuh faktor tersebut masih dilengkapi oleh sub-sub faktor yang masing-masing memiki pembobotan yang bersifat kuantitatif sehingga sangat membantu didalam pengolahan data dengan menggunakan metoda statistika. 1.
Keekonomian Bahan Galian memiliki sub faktor pendukung :
2.
Kewilayahan dan Infrastruktur (Tata Ruang) :
3.
Cadangan Kuallitas Aksesbilitas Pasar Tempat Penyimpanan Tanah bukaan Tingkat Kesulitan Penambangan
Kemiringan Lereng Elevasi Jalan Raya Fondasi Ketersediaan Air Ketersediaan Bahan Galian Areal Buangan Limbah
Stabilitas Fisik Wilayah(Spatial)
Lereng Alamiah Permukaan Tanah Goncangan Gempa 24
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
4.
Kebencanaan/Ancaman Resiko
5.
Dampak Lingkungan
6.
Air Tanah Udara Perubahan Pola Ruang/Tata Guna lahan
Reklamasi Dan Pasca Tambang
7.
Tanah Ekspansi Erosi Gerakan Tanah Gempa Bumi/Tsunami Erupsi Gunung api Nendatan Tektonik
Timbunan Vegetasi Penutup Estetika bentang alam (morfologi)
Kebijakan Sosial
Persepsi Masyarakat Pemberdayaan Masyarakat Peningkatan Sumberdaya Manusia Transportasi Kebijakan Tata Ruang
Faktor dan sub faktor tersebut diatas akan membentuk suatu matrik dengan penilaian kuantitatif yang ditetapkan dengan skala penilaian berdasarkan pembobotan berdasarkan kelasnya. Matrik tersebut seperti terlihat
pada
tabel
2.1
(Matrik
Satuan
Genetika
Wilayah
Evaluasi
Pengembangan Sumberdaya Mineral Dan Kewilayahan Terpadu) Hasil pembobotan tersebut akan menggambarkan kondisi eksisting suatu satuan genetika wilayah yang harus di komparasi lebih lanjut. Komparsi antara rencana dan kondisi eksisting ini akan dibantu melalui penggunaan teknologi sistem informasi geografi (SIG).
25
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
TABEL 2.2 MATRIK SATUAN GENETIKA WILAYAH EVALUASI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MINERAL DAN KEWILAYAHAN TERPADU
26
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
2.4
Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) Istilah Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan terjemahan bebas
dari Geographic Informasion System (GIS) yang diartikan sebagai suatu sistem pengolahan data berbatis komputer yang mempunyai kemampuan untuk mengelola, menganalisis, pemodelan dan menyajikan data spatial dan a-spatial (tabular/tekstual), yang mengacu pada lokasi di muka bumi
(georeferenced data). Proses pengolahan dilakukan dengan menerapkan kaidah-kaidah relational database yang mampu memadukan data geografis (elemen peta) dan informasi terkait secara simultan. Untuk memperoleh hasil yang optimal maka pemanfaatan teknologi Sistem Informasi Geografi dalam pembuatan kebijakan yang bersifat kewilayahan akan sangat membantu. Hal ini terkait dengan kondisi wilayah ruang yang lebih bersifat 3 dimensi serta meliputi luasan yang cukup besar sehingga memerlukan teknik-teknik manipulasi dalam mengkonversi kondisi dunia nyata kedalam format digital. Ilustrasi dari pemanfaatan teknologi Sistem Informasi Geografi dalam pembuatan kebijakan pengelolaan wilayah seperti yang akan dilakukan dalam kegiatan ini dapat terlihat pada gambar 2.2
27
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Pemodelan dan analisis merupakan proses pemanfaatan data konversi digital dengan mempertimbangkan kebijakan-kebijakan ruang yang telah ada sehingga hasilnya akan lebih menyempurnakan/melengkapi produk kebijakan dan sekaligus memberikan arahan/masukan dalam bentuk standard ataupun kriteria dasar bagi kegiatan-kegiatan terkait lainnya.
Gambar 2.3. Penyusunan Peta ke dalam Layer-layer Menurut Konsep SIG (Burrough, 1986).
Layer peta sungai Layer peta jalan Layer peta tataguna lahan Layer peta dasar (topografi)
28
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan TABEL 2.1 INVENTARISASI DAN PERBANDINGAN PASAL TERKAIT KRITERIA DAN PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN (WP)
PERATURAN PEMERINTAH NO. 26 tahun 2008 tentang RTRWN
UNDANG-UNDANG NO. 4 tahun 2009 tentang MINERBA
PERATURAN PEMERINTAH NO. 22 tahun 2010 Tentang WP
Pasal 63
Pasal 9 (1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. (2)WP sebagairnana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 2 (1) WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan. (2) Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria adanya: a. indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau b. potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair.
Kawasan budi daya terdiri atas: a.Kawasan peruntukan hutan produksi; b.Kawasan peruntukan hutan rakyat; c. Kawasan peruntukan pertanian; d. Kawasan peruntukan perikanan; e.Kawasan peruntukan pertambangan; f. Kawasan peruntukan industri; g. Kawasan peruntukan pariwisata; h.Kawasan peruntukan permukiman; dan/atau i. Kawasan peruntukan lainnya. Pasal 68 (1)Kawasan peruntukan pertambangan yang memiliki nilai strategis nasional terdiri atas pertambangan mineral dan batubara,pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi, serta air tanah. (2)Kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan dengan kriteria:
Pasal 10 Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b.secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan dengan rnemperhatikan aspirasi daerah.
Pasal 14 (1) Rencana WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) dituangkan dalam lembar peta dan dalam bentuk digital. (2) Peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan WP dalam bentuk zona yang di-delineasi dalam garis putus-putus. (3) Rencana WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar penetapan WP.
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan disusun dengan memperhatikan:
Pasal 16 (1) WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dapat terdiri atas: a. WUP; b. WPR; dan/atau c. WPN. (2) WUP dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c ditetapkan oleh Menteri. (3) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota. (4) Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP untuk pertambangan mineral bukan logam dan WUP untuk pertambangan batuan yang berada pada lintas kabupaten/kota dan dalam 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi kepada gubernur. (5) Untuk menetapkan WUP, WPR, dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan eksplorasi. (6) Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan untuk memperoleh data dan informasi berupa: a. peta, yang terdiri atas: 1. peta geologi dan peta formasi batuan pembawa; dan/atau 2. peta geokimia dan peta geofisika; b. perkiraan sumber daya dan cadangan. (7) Menteri dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat. (8) Gubernur dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/ walikota setempat. (9) Bupati/walikota dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan Menteri dan gubernur.
a. Pengaturan pendirian bangunan agar tidak mengganggu fungsi alur pelayaran yang ditetapkan peraturan perundang-undangan; b. Pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara
Pasal 20. (2) WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. memiliki formasi batuan pembawa batubara, formasi batuan pembawa mineral logam, dan/atau formasi batuan pembawa mineral radioaktif, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, mineral logam, batubara, mineral
a. memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi; b. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan/atau c. merupakan bagian proses upaya merubah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil. (3)Kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan. Pasal 110
Pasal 11 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan WP. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan peraturan pemerintah.
PERATURAN PEMERINTAH NO. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 4 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. (2) Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. religi; b. pertambangan; c.instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; d.pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f.sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; g.sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah; h. fasilitas umum; i. industri terkait kehutanan; j. pertahanan dan keamanan; k. prasarana penunjang keselamatan umum; atau l. penampungan sementara korban bencana alam. Pasal 5 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan: a. dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan: penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah; b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: turunnya permukaan tanah; berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan terjadinya kerusakan akuiver air tanah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan bawah tanah pada hutan lindung diatur dengan Peraturan Presiden.
22
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan risiko dan manfaat; dan c. Pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya dengan memperhatikan kepentingan daerah.
bukan logam, dan/atau batuan; c. memiliki potensi sumber daya mineral atau batubara; d. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya dan/atau batubara; e. tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN; f. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara bekelanjutan; dan g. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 26 (1) Bupati/walikota menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; c. merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; d. luas maksimal WPR sebesar 25 (dua puluh lima) hektare; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang;dan/atau f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun; g. tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; dan h. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 29 (1) Menteri menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPN berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. memiliki formasi batuan pembawa mineral radioaktif, mineral logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi; c. memiliki potensi/cadangan mineral dan/atau batubara; dan d. untuk keperluan konservasi komoditas tambang; e. berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain; f. merupakan wilayah yang dilindungi; dan/atau g. berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 35 (1) Peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat di-delineasi menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi. (2) Delineasi zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung. (3) Keseimbangan antara biaya dan manfaat dan antara resiko dan manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan paling sedikit mengenai reklamasi, pascatambang, teknologi, program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan, dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara melakukan delineasi diatur dengan Peraturan Menteri.
23
NO
FAKTOR
BBT FAK TOR
SUBFAKTOR
TABEL 2.2 MATRIK EVALUASI PENETAPAN KRITERIA WILAYAH PERTAMBANGAN FAKTOR/SUBFAKTOR SATUAN GENETIKA WILAYAH (SGW) BOBOT NILAI BOBOT x NILAI SUBFAKTOR Kajian global Ditambang Tak Ditambang Ditambang Tak Ditambang
20 15 15 20 15 15
4.00 3.00 3.00 4.00 3.00 3.00
On Site A A B B B B
100 20 15 15 20 15 15
20.00 4.00 3.00 3.00 4.00 3.00 3.00
A A A a a C
c C B C A N
c C A a A N
20.00 4.0 3.0 3.0
A A A
c c b
C C B
Tanah ekspansi Problem erosi Gerakan tanah Gempa bumi/Tsunami Erupsi gunung api Nendatan tektonik Banjir
100 40 30 30 100 10 15 15 15 15 15 15
1.00 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50
N B A B N N N
N C b B N N N
N B C B N N N
10
Air Tanah (top soil) Udara Tata Guna Tanah
100 25 25 25 25
10.00 2.50 2.50 2.50 2.50
N N c C
N N b A
N N A A
Reklamasi
10
Timbunan Vegetasi penutup Estetika
A C A
C B C
20
Persepsi Masyarakat Pemberdayaan Masyarakat Peningkatan SDM Transportasi Pariwisata
10.00 4.00 3.00 3.00 10.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00
C B A
SosialEkonomiBudayaHukum
100 40 30 30 100 20 20 20 20 20
B b C B C
B N N B N
N N N N A
100 Jumlah Global
100
20.00 100
I.
Keekonomia n Bahan Galian
20
Cadangan Kualitas Aksesibilitas Pasar Tempat simpan tanah pucuk Tingkat kesulitan pengerjaan
II.
Keekonomia n Kewilayahan Tata Ruang
20
Kemiringan Lereng Elevasi dari jalan raya Fundasi Ketersediaan Air Ketersediaan bahan bangunan Areal buangan limbah
III.
Stabilitas Wilayah
10
Lereng Alamiah Permukaan Tanah Goncangan gempa
IV.
Ancaman Resiko /Bencana Alam
10
v.
Pencemaran Lingkungan
VI.
VII
Off Site N N N N N N
On Site A A B N N N
Off Site N N N N N N Subtotal c C B C A N Subtotal c c b Subtotal N C b B N N N Subtotal N N A A Subtotal A C A Subtotal N N N N N Subtotal Total
On Site 12 9 6 8 6 6 47.0 12 9 9 -12 -9 3 12.0 12 9 9 30.0 0 3 4.5 3 0 0 0 10.5 0 0 -2.50 2.50 0.0 4 6 9 19.0 8 -8 4 8 4 16.0 134.5
Off Site 0 0 0 0 0 0 0.0 -4 3 6 4 -9 3 3.0 -4 -3 -6 -13.0 0 2 -3.0 3 0 0 0 1.5 0 0 -5 7.50 2.5 12 3 9 24.0 8 0 0 8 0 16.0 34.0
Total 12 9 6 8 6 6 47.0 8 12 15 -8 -18 6 15.0 8 6 3 17.0 0 5 2 6 0 0 0 12.0 0 0 -7.5 10.0 2.5 16 9 18 43.0 16 -8 4 16 4 32.0 168.5
On Site 12 9 6 0 0 0 27.0 -4 3 9 -12 9 0 5.0 4 3 6 13.0 0 3 1.5 3 0 0 0 7.5 0 0 7.5 7.5 15.0 4 6 3 13.0 0 0 0 0 12 12.0 92.5
Off Site 0 0 0 0 0 0 0.0 -4 3 6 4 9 0 18.0 -4 -3 -6 -13.0 0 2 -3.0 3 0 0 0 1.5 0 0 7.5 7.5 15.0 12 3 9 24.0 0 0 0 0 0 0.0 45.5
SELISIH
total 12 9 6 0 0 0 27.0 -8 6 15 -8 18 0 23.0 0 0 0 0.0 0 5 -2 6 0 0 0 9.0 0 0 15 15 30.0 16 9 12 37.0 0 0 0 0 12 12.0 138.0
Ditambang - Tak Ditambang On Off Site Site 0 0 0 0 0 0 8 0 6 0 6 0 20.0 0.0 16 0 6 0 0 0 0 0 -18 -18 3 3 7.0 -15.0 8 0 6 0 3 0 17.0 0.0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3.0 0.0 0 0 0 0 10 13 5 0 15.0 12.5 0 0 0 0 6 0 6.0 0.0 8 8 -8 0 4 0 8 8 8 0 20.0 16.0 88.0 13.5
Total 0 0 0 8 6 6 20.0 16 6 0 0 -36 6 -8.0 8 6 3 17.0 0 0 3 0 0 0 0 3.0 0 0 23 5 27.5 0 0 6 6.0 16 -8 4 16 8 36.0 101.5 26
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
BAB III PROGRAM KEGIATAN Kegiatan kajian Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) di laksanakan melalui tahapan kerja yang merupakan suatu rangkaian proses yang berkesinambungan sejak perencanaan kegiatan hingga kegiatan penyusunan laporan. Sebagai sebuah proses, tahapan-tahapan kerja tersebut saling mempengaruhi satu terhadap lainnya terhadap hasil akhir dari kegiatan kajian. Dalam pelaksanaannya tahapan kerja tersebut dirunutkan sebagai berikut : 3.1
Studi Literatur Kegiatan ini merupakan langkah awal untuk memasuki tahapan kajian
berikutnya. Kegiatan ini lebih bersifat kompilasi dan preparasi dari berbagai data, informasi, literatur dan bahan kerja yang terkait dengan pemanfaatan ruang dalam arti luas,
wilayah pertambangan dan produk kebijakan
peraturan perundangan dari berbagai sektor yang terkait dengan kajian seperti peraturan perundangan disektor pertambangan, sektor kehutanan, penataan ruang ataupun juga perturan perundangan yang terkait dengan otonomi daerah dan pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam studi literatur ini juga termasuk pengumpulan bahan kerja dalam bentuk peta analog ataupun peta digital yang terkait dengan kajian Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan (WP). Selain terkait dengan proses perencanaan, kegiatan studi literatur ini merupakan
suatu
proses
yang terus
berlangsung
dilaksanakan sampai pada tahapan penyusunan kriteria
sepanjang dan
kegiatan
penyusunan
laporan akhir. Hal ini terkait dengan upaya meng ‘update’ data dan informasi khususnya yang bersumber dari perkembangan pemutakhiran data yang terjadi di tingkat pemerintah pusat ataupun dari pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
30
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
3.2
Konsultasi dan Diskusi Konsultasi dan diskusi adalah bagian dari kegiatan kordinasi baik
internal ataupun eksternal dengan Dinas/Instansi terkait yang memiliki kompetensi dalam bidang pembuatan kebijakan wilayah ataupun mengelola data wilayah di tingkat Pusat, Provinsi ataupun tingkat Kabupaten/Kota di wilayah kegiatan ini dilaksanakan. Sementara itu kegiatan diskusi internal uga merupakan kegiatan monitoring dan sekaligus evaluasi terhadap kemajuan kegiatan yang dilaksanakan secara berkala dari progres kegiatan yang dilakukan.
Langkah kegiatan ini ditempuh sebagai upaya menjaga dan
memperoleh akuntabilitas kajian serta pengayaan dan pendalaman materi kajian. 3.3 Pengumpulan Data Lapangan Pengumpulan data lapangan dalam kegiatan kajian ini merupakan salah satu bagian dari metodologi kajian ini. Kegiatan lapangan yang dilakukan yang dilaksanakan pada beberapa provinsi dan kabupaten/kota pada dasarnya merupakan kegiatan uji petik terhadap implementasi Undang-undang MINERBA dan Peraturan Pemerintah yang tekait dengan penetapan Wilayah Pertambangan (WP). Selain pengumpulan data sekunder yang terkait dengan kebijakan pertambangan di daerah, kegiatan lapangan juga dimaksudkan memperoleh secara langsung masalah-masalah terkait implementasi rencana penerapan Wilayah Pertambangan serta dampak yang terjadi ataupun peramalan kedepan terkait kegiatan usaha pertambangan didaerah. Dalam operasionalnya kegiatan ini melaksanaan pengambilan data dilapangan baik data primer ataupun data sekunder dari berbagai lokasi dan instansi terkait diwilayah kegiatan. Data lapangan tersebut merupakan data yang bersifat wilayah serta produk-produk hukum yang mengaturnya seperti :
31
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Kondisi terkini situasi kegiatan pertambangan pasca undangundang nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah turunannya
Perijinan
pertambangan
yang
telah
diterbitkan
oleh
Pemerintah Daerah
Peta RTRW dan Peta-peta turunannya
Data sektoral yang terkait dengan pemanfaatan ruang
Peraturan Perundangan baik Nasional ataupun Daerah yang terkait dengan
wilayah perijinan usaha pertambangan,
peraturan pengelolaan sumberdaya mineral dan penataan ruang
Pembuatan ground control dan realtime mapping (GPS tracking) untuk updating peta
3.4
Pengolahan Data Kegiatan ini bersifat Studio/Desk Work yang meliputi preparasi dan
editing data digital, pengklasifiikasian dan pengolahan data sekunder, serta penyusunan satuan genetika wilayah dari masing masing lokasi yang mewakili masing masing morfologi regional. Pengolahan data juga meliputi rekonstruksi Data, komparasi dan inventarisasi
masalah
yang
terkait
dengan
penggunaan
ruang
untuk
pertambangan dalam kontek keterkaitan secara lintas sektoral dalam suatu daftar inventarisasi masalah (DIM). Disamping itu dalam pengolahan data juga dilakukan pengolahan data digital dengan memanfaatkan teknologi sistem informasi geografi (SIG). Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan preparasi dan pengolahan data serta analisis satuan genetika wilayah dalam bentuk kompilasi dan rekonstruksi kedalam peta digital serta pembuatan skenario dari pilihan-pilhan alternatif yang ada melalui proses super imposed dari masing-masing layer peta digital.
32
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Upaya menghimpun masalah melalui pengolahan data digital dimaksudkan untuk memperoleh masukan masalah dalam penempatan ruang bagi kegiatan usaha pertambangan yang ada serta melihat kemungkinan jalan keluarnya. Hal ini akan menjadi masukan bagi penentuan kriteria dan alternatif jalan keluar dari masing masing karakter wilayah serta kebiasaan daerah yang berlaku.
Hasil
diklasifikasikan
pengolahan
data
baik
analog
ataupun
digital
akan
sesuai hasil analisis keruangan ataupun kebijakan untuk
digunakan dalam pembahasan dan diskusi serta penyempunaan/penajaman pilihan kriteria yang paling optimal. 3.5
Pembahasan, Diskusi dan Presentasi Langkah pembahasan dan diskusi dilakukan di tingkat internal dan juga
paada instansi terkait dilokasi penelitian melalui presentasi rencana kajian guna memperoleh masukan dari masing-masing daerah penelitian sesuai dengan latar belakang kebijakan yang berlaku pada daerah tersebut. Hal ini penting agar hasil kegiatan tidak saja bermanfaat bagi lingkungan Kementerian Energi dan Sumberdaya (ESDM), tetapi juga dapat diaplikasikan didaerahdaerah dimana kegiatan ini dilakukan khususnya dalam memberikan masukan terhadap Peraturan Menteri ataupun Peraturan Daerah dibidang penetapan wilayah pertambangan untuk perijinan pengusahaan pertambangan. Melalui pembahasan dan diskusi ini diharapkan kajian memperoleh masukan-masukan
lain
terkait
dengan
proses
panjang
pengelolaan
pertambangan didaerah. Pengelolaan perijinan pertambangan melalui proses pelelangan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan, selain ditentukan oleh nilai potensi mineral dan batubara yang terkandung pada suatu wilayah, juga dipengaruhi oleh bagaimana proses perijinan wilayah usaha pertambangan itu dapat diselesaikan tanpa harus menimbulkan masalah yang terkait dengan sektor lainnya. Berbagai
macam
masalah
terkait
dengan
penerapan
Peraturan
Pemerintah nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (WP) baik
33
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
keterkaitan vertikal (subordinative) terhadap undang-undang diatasnya ataupun secara horisontal (linkage impact coordinative) terhadap Peraturan Pemerintah lainnya dalam diskusi dan pembahasan dan presentasi kajian akan menjadi masukan yang utama. Hal ini disadari akan menjadi media yang efektif dalam keterkaitan sosialisasi era baru pertambangan indonesia pasca Undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan yang telah selesai. Khususnya terhadap sosialisasi pengoperasian PP 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (WP) yang dirasakan masih jauh dari sasaran karena sangat mendesaknya waktu, dan ketidaksiapan pemerintah daerah untuk mengantisipasi Peraturan Pemerintah tersebut terkait dengan hal-hal bersifat teknis seperti misal dalam kurun waktu 3 bulan setiap pemerintah daerah melalui instansi teknis pertambangan dan energi harus sudah siap menyampaikan peta Wilayah Pertambangan (WP) dan peta Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) ke Kementerian Energi Dan Sumberdaya Mineral dalam format digital tertentu sementara instansi teknis pertambangan dan energi didaerah terkendala dengan teknologi dan sumberdaya manusia. 3.6
Penyusunan Laporan Hasil Kajian Kegiatan ini merupakan bagian dari pertanggung jawaban pelaksanaan
kegiatan kajian selain itu laporan hasil kajian juga merupakan bentuk pertanggung jawaban secara administratif. Laporan kajian ini juga merupakan hasil kerja kolektif dari semua anggota tim kajian sesuai dengan kapasitas dari masing-masing anggota tim yang terlibat dalam kajian Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan. Penyusunan laporan terdiri atas laporan utama dan juga dilengkapi dengan eksekutif summary. Selain isi materi kajian, dalam laporan juga dilengkapi dengan peta-peta bahan kerja dan peta delineasi wilayah pertambangan yang diusulkan hasil evaluasi dan pengolahan menggunakan aplikasi teknologi sistem informasi geografi, serta kriteria-kriteria wilayah pertambangan.
34
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
BAB IV METODOLOGI Metodologi sebagai cara dan pendekatan dalam menyelesaikan masalah penelitian ataupun pengkajian merupakan hal yang sangat mendasar bagi
keberhasilan suatu kajian ataupun penelitian. Metodologi yang
digunakan dalam suatu penelitian ataupun pengkajian memuat sejumlah langkah dan pendekatan bagaimana suatu penelitian atau pengkajian akan dilakukan atau dilaksanakan. Demikian halnya dengan kajian Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan sebagai suatu kegiatan yang bernuansa ilmiah juga menggunakan cara-cara dan pendekatan yang akan digunakan guna menyelesaikan kajian ini secara optimal. Kajian Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) ini dilaksanakan dengan metodologi
survey lapangan yang didukung oleh
pengumpulan data sekunder dari berbagai instansi baik dilingkungan Kementerian ESDM ataupun instansi dilingkungan Pemerintah Daerah yang terkait dengan materi kajian. Survey lapangan dalam kajian ini dilakukan di 6 (enam)
provinsi
yaitu Sumatera
Bagian Selatan, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur. Jika dibandingkan terhadap luas wilayah provinsi di Indonesia, lokasi uji petik/ sampling hanya meliputi 1/6 dari wilayah provinsi di Indonesia. Namun demikian ke enam lokasi tersebut diharapkan dapat mewakili secara wilayah regional
ataupun
dari
pertimbangan
aktifitas
pengusahaan
kegiatan
pertambangan yang sedang berjalan saat ini. Dalam kegiatan survey lapangan ini, upaya pengumpulan data baik primer ataupun sekunder di lakukan melalui inventarisasi, wawancara, diskusi dan juga presentasi terhadap kondisi pemanfaatan ruang untuk kegiatan pengusahaan pertambangan baik dari aspek peraturan perundangan ataupun juga dari aspek penggunaan ruang didalam tataruang wilayah. Disamping itu kegiatan survey lapangan didukung pula oleh pengumpulan data sekunder
35
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
yang terkait dengan materi kajian dan akan merupakan bagian dari himpunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang akan menjadi bagian dari suatu komparatif
analisis
dalam
menentukan
kriteria
penetapan
Wilayah
Pertambangan (WP). Hal yang bersifat teknis dilapangan adalah dilakukannya realtime mapping (GPS Tracking) dan kunjungan ke lokasi wilayah Ijin Usaha Pertambangan yang ada untuk melihat
secara faktual penggunaan lahan
WIUP dalam peruntukan yang sesungguhnya di lapangan. Kegiatan ini dilakukan selain untuk tujuan seperti tersebut diatas juga sekaligus
untuk
mereposisi peta-peta kerja agar memilki tingkat akurasi yang seragam dan standard sesuai dengan aturan dan ketentuan tingkat ketelitian peta. Penggunaan peta dalam kajian ini menjadi penting karena proses pengolahan data menggunakan aplikasi teknologi Sistem Informasi Geografi sebagai alat untuk memanipulasi penggunaan ruang (spatial) dari masing-masing sektor yang di aktualisasikan dalam bentuk layer-layer peta. Hasil analisis yang dilakukan dengan mengkomparasi kriteria
yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 serta kondisi Satuan Genetika Wilayah (SGW)
akan menghasilkan suatu usulan kriteria-kriteria untuk
penetapan Wilayah Pertambangan (WP) yang secara rinci juga akan membedakan kriteria
bagi Wilayah Usaha Pertambangan (WUP),Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR) dan juga Wilayah Pencadangan Negara (WPN). 4.1
Konsep Satuan Genetika Wilayah Pendekatan Satuan Genetika Wilayah (SGW) dilakukan untuk mengkaji
aspek
satuan-satuan morfologi yang ada pada wilayah masing-masing
propinsi beserta perubahan-perubahan yang terjadi pada kondisi eksisting. Penelaahan terhadap aspek morfologi ini juga melibatkan potensi sumberdaya alam/mineral yang ada pada daerah penelitian sehingga akan dapat diperoleh satuan-satuan potensi sumberdaya yang layak untuk dikembangkan sejalan
36
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
dengan peruntukan dan infrastruktur yang mendukungnya. Hasil analisis daya dukung geomorfologi tersebut selanjutnya akan menjadi parameter analisis akhir dengan menggabungkan dengan aspek-aspek yang bersifat non fisik seperti nilai keekonomian, daya dukung sumberdaya, rencana pengembangan wilayah untuk peruntukan lain yang saling mendukung serta kebijakankebijakan yang lebih bersifat Nasional. Proses untuk mengolah pendekatan satuan genetika wilayah tersebut dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi teknologi Sistem Informasi Geografi, 4.2
Aplikasi Teknologi SIG dan Model Statistika Aplikasi
mengakurasikan
teknologi kegiatan
SIG
digunakan
pemetaan,
untuk
serta
mengoptimalkan
pemodelan
dalam
dan proses
pendelineasian kawasan. Aplikasi teknologi SIG akan menggunakan MapInfo versi 8.5 sebagai “engine” pengolah digital. Kegiatan aplikasi teknologi SIG akan meliputi kegiatan-kegiatan : 1. Digital Conversion 2. Structuring and Atributing Data 3. Editing and Inputing Data 4. Bolean Operating (Operasi Bolean) 5. Modelling analysis Tahap awal
dari analisis fisik Analisis fisik yang dilakukan dengan
metoda tumpang tindih (overlay) yaitu menumpukan layer-layer peta yang menjadi faktor kendala, kemudian dilakukan pengirisan atau pemilahan daerah/wilayah, sehingga diperoleh suatu daerah yang terpilih untuk dikembangkan. Sebagai media proses analisis data digunakan program Mapinfo dengan teknik spliting (pemisahan), buffering (penyanggaan), dan
cutting (pengirisan) terhadap berbagai obyek peta yang ada dengan menggunakan metode Operasi Boolean. Metode ini merupakan fungsi analisis spasial yang cukup sederhana dan mudah, karena menerapkan ekspresi logika.
37
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Operasi boolean terdiri atas 4 (empat) operator analisis yaitu : And, Not, Or, dan X or. Sebagai contoh, telah ditetapkan wilayah pertambangan tidak boleh berada pada kawasan hutan lindung, maka kriterianya adalah : Jika lahan berpotensi bahan galian dan status lahan Bukan Hutan Lindung, maka alokasikan untuk zona pertambangan.
Overlay atau tumpang susun merupakan fungsi atau fasilitas analisis spasial yang sangat efektif dan umum terdapat pada perangkat lunak SIG. Pada tahap ini, peta sebaran bahan galian yang secara geologis potensial untuk dikembangkan, ditumpangsusunkan dan diuji terhadap setiap parameter aspek spasial yang berpengaruh dengan menggunakan Operasi Boolean, serta mengacu pada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Dari hasil analisis di atas, dilakukan skoring melalui pembobotan terhadap keterkaitan peta tematik satu dengan yang lain, ataupun aspek yang satu terhadap aspek yang lain. Hal ini dilakukan untuk menentukan skala prioritas lokasi usaha tambang yang tertimbang, baik dari segi kriteria fisik spasial ataupun non-fisik (sosial-ekonomi).
Pengklasifikasaian wilayah akan
diperoleh dari hasil pemodelan statistika dengan penskalaan berdasarkan nilainilai yang diperoleh melalui pemodelan Multidimensional Scalling (MDs). Metoda Multidimensional Scalling (Mds) merupakan suatu metoda dalam menggambarkan pendekatan antara n buah objek ke dalam suatu plot sebanyak
r
dimensi
dengan
menggunakan
ukuran
kemiripan
atau
ketidakmiripan yang diketahui antar objek-objeknya. Disamping itu, Mds merupakan alat matematis yang memproyeksikan n buah objek ke dalam plot berdimensi r dengan menggunakan ukuran kemiripan atau ketidakmiripan antar objek. Pada metode Mds terdapat berbagai cara antara lain : ALSCAL, MINISSA, POLYCON, KYST, INDISCAL, dan MULTISCALE. Pada bahasan ini menggunakan cara ALSCAL ( Alternating Least Square
Scalling). Karena dalam proses simulasi data menggunakan prosedur kuadrat
38
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
terkecil dalam setiap langkahnya, sehingga dapat meminimumkan sisaan ragam (error = selisih antarmodel yang di duga dengan model yang sebenarnya) dari ketidakmonotonan yang ada dalam konfigurasi awal. Secara garis besar prosedur ALSCAL terdiri dari tiga tahapan, yakni konfigurasi awal, proses iterasi, dan konfigurasi akhir.
Konfigurasi Awal.
Untuk pencarian konfigurasi awal telah dahulu dilakukan perhitungan ukuran kedekatan, untuk selanjutnya melangkah pada pencarian matriks X sebagai matriks konfigurasi awal berukuran n x r. Untuk memperoleh ukuran kedekatan dari matriks persegi panjang sebanyak t atribut dengan bentuk matriks data ukuran n x m, beberapa ukuran kedekatan yang umum digunakan yaitu : Ukuran Kedekatan City-Block : Oijk = gik - g jk Ukuran Kedekatan Minskowski : Oijk = [ ( gikv – gjkv)r1/r
r>2
Ukuran Kedekatan Wuclidean untuk r = 2 : Oijk = [ ( gikv – gjkv)21/2 Jika matriks data berbentuk persegipanjang dengan satu atribut, digunakan ukuran kedekatan sebagai berikut : Oijk = gikv - g jkv Keterangan : i = indeks stimulus (i = 1, 2, 3, ..............n) j = indeks stimulus (k = 1, 2, 3, ..............n) k = indeks subjek
(k = 1, 2, 3, ..............n)
v = indeks atribut
(v = 1, 2, 3, …...........n)
39
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
gik
= nilai yang diberikan subjek untuk stimulus i
gikv
= nilai yang diberikan subjek k untuk stimulus i pada atribut v
gjkv
= nilai yang diberikan subjek k untuk stimulus j pada atribut v Untuk
menentukan
matriks
X
terlebih
dahulu
dilakukan
perhitungan untuk mendapatkan matriks Bk diperoleh melalui proses penengahan ganda (double centering) dari Oijk di bawah ini : Bijk = - 1/2( Oijk2 - O i . k2 – O.jk2 - O..k2 ) Selanjutnya, normalkan matriks Bk menjadi Bk , sehingga setiap subyeknya mempunyai variasi bijk = 1. Setelah diperoleh sejumlah nilai bijk
kemudian dirata-ratakan untuk sejumlah subyek k, sehingga
diperoleh B dengan : bijk = 1/m bijk
Proses Iterasi Proses
iterasi
adalah
suatu
langkah
pengulangan
untuk
menemukan suatu konfigurasi stimuli yang stabil, yang mempunyai stress minimum. Pada proses ini dilakukan
perhitungan jarak,
penskalaan optimal dan pengukuran stress. Perhitungan Jarak Setelah diperoleh matriks konfigurasi awal, selanjutnya dicari perhitungan jaraknya, dengan menggunakan jarak Euclidean seperti di bawah ini : dijk = Penskalaan Optimal Penskalaan Optimal digunakan prosedur tranformasi monoton Kruskal. Kruskal menyatakan bahwa antara ukuran ketidakmiripan (dissimilarity) dan jarak (distance) seharusnya terhubungkan secara
40
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
ijk ilk (ketidakmiripan) akan
monoton, sehingga untuk setiap berimplikasi dengan dijk
dijk
(jarak). Jika ada jarak yang tidak
terhubungkan secara monoton, maka dibentuklah disparities (d ijk), yaitu jarak yang disesuaikan sehingga komonotonan tetap terjaga. Untuk memudahkan
dalam
penyajian hubungan antara
jarak dengan
similiraties atau disparities dapat digunakan suatu diagram yang dikenal sebagai Diagram Shepard. Diagram tersebut menggambarkan hubungan antara jarak dengan disparitiesnya, di mana semakin dekat jarak akan semakin kecil disparitiesnya, demikian juga sebaliknya.
Ukuran Stress Ukuran stress ini digunakan dalam mengidentifikasikan suatu
konfigurasi akhir dan menentukan banyaknya dimensi yang akan dibentuk. Dalam penentuan dimensi ini dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut sebagai screen-plot, yang mana nilai-nilai stress yang bersesuaian dengan masing-masing dimensinya akan mengikuti suatu garis landai dan pada suatu siku yang tajam adalah pilihan terbaik dari dimensi. Sedangkan dalam mengidentifikasikan suatu konfigurasi akhir akan ditetapkan dengan melihat kestabilan nilai stress (selisih antara nilai stress yang didapat dengan nilai stress sebelumnya). Tetapi Kruskal menyarankan secara normal, jika stress sebesar 20% menyatakan buruk, 10% menyatakan cukup, 5% menyakan baik, 2,5% menyatakan sangat baik dan 0% menyatakan sempurna. Setelah diperoleh matriks jarak dan matriks disparitiesnya, maka dapat dicari nilai stress. Ukuran Stress yang digunakan dalam ALSCAL adalah Takane-Young De Leeuw Stress.
Konfigurasi Akhir Proses
didapatkan
Iterasi
konfigurasi
akan
berlangsung
stimuli
yang
terus-menerus
stabil.
Ukuran
sampai
kestabilan
konfigurasi stimuli adalah selisih Stress terakhir. Secara umum selisih
41
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Stress sebesar 0,001 cukup memuaskan untuk menghentikan proses iterasi. Konfigurasi terakhir setelah Proses Iterasi selesai adalah Konfigurasi Akhir. Konfigurasi Akhir inilah yang digunakan untuk membuat plot stimuli yang merupakan hasil akhir Penskalaan Dimensi Ganda (Multidimensional Scalling).
4.3
Analisis Kebijakan Retrospektif Secara teoritis, Analisis Kebijakan Retrospektif adalah analisis yang
dilakukan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analisis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analisis yakni :
analisis yang berorientasi pada disiplin,
analisis yang berorientasi pada masalah dan
analisis yang berorientasi pada aplikasi.
Sebagia suatu produk kebijakan publik, Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (WP) dimana didalamnya terkait dengan substansi kajian penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan maka pendekatan secara teori yang akan digunakan adalah pendekatan analisis kebijakan retrospektif.
Dalam penerapannya, proses
pendekatan tersebut akan berorientasi pada gabungan dari pertama, aspek disiplin karena PP nomor 22 tahun 2010 merupakan perangkat peraturan perundangan yang harus diterapkan secara tegas, kedua, aspek masalah karena penerapan dari beberapa pasal dalam PP nomor 22 tahun 2010 tersebut masih menimbulkan masalah yang bersifat sektoral dengan sektor pengguna ruang yang lain. Ketiga, aspek aplikasi
karena masalah
yang ditimbulkan
menyebabkan PP 22 tahun 2010 tidak dapat dengan serta merta diaplikasikan dilapangan karena kendala yang ditimbulkan dari aspek masalah tersebut diatas.
42
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Kondisi Wilayah Pertambangan Pasca Undang-undang MINERBA Diberlakukannya
Undang-Undang
No.
4
Tahun
2009
tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (MINERBA) sejak 12 Januari 2009 lalu, telah dinanti oleh banyak pihak, khususnya para pemangku kepentingan (stake holders) sektor pertambangan mineral dan batubara. Namun, demikian ternyata UU Minerba belum benar-benar dapat diimplementasikan secara optimal dilapangan. Hal yang secara langsung terkait dengan kajian ini adalah menyangkut masalah Kuasa Pertambangan (KP) dimana KP terkait secara langsung terhadap Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) yang merupakan bagian dari suatu Wilayah Pertambangan (WP). Sebagai sutau kegiatan usaha pertambangan, Kuasa Pertambangan merupakan suatu hal yang sangat mutlak sebagai lahan bagi kegiatan usaha pertambangan. Hal tersebut bukan tidak disadari oleh Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Melalui
Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan
Panas Bumi (Ditjen Minerbabum DESDM)
diterbitkanlah Surat Edaran
Nomor: 03.E/31/DJB/2009. tertanggal 30 Januari 2009 perihal : Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksananaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Isi surat edaran itu menegaskan, Kuasa Pertambangan tetap berlaku hingga berakhir jangka waktunya dan KP yang sudah diterbitkan harus disesuaikan menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) paling lambat 1 tahun sejak berlakunya UU Minerba. Surat Edaran Direktur Jenderal Minerbapabum tersebut kemudian diikuti lagi oleh surat kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia bernomor : 1053/30/DJB/2009 tertanggal 24 Maret 2009 yang memberikan format IUP terkait perubahan KP menjadi IUP untuk memberikan kepastian terkait dengan penetapan Wilayah Pertambangan (WP) di daerah. Dampak
yang
diakibatkan
dari
kedua
surat
Direktur
Jenderal
Minerbapabum tersebut bagi daerah antara lain :
43
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
1.
Banyak pemohon KP ataupun IUP yang sedang dalam proses dan belum diterbitkan IUP nya melakukan protes dan merasa dirugikan karena bagi mereka tidak diberikan pengecualian.
2.
Surat Edaran yang bersifat himbauan tersebut dianggap tidak mengikat bagi para regulator pertambangan di daerah (para Kepala Daerah) sehingga banyak terjadi upaya manipulasi proses dengan memundurkan jauh kebelakang waktu pengajuan IUP oleh para pemohon.
3.
Penyesuaian KP menjadi IUP seperti yang dimaksud oleh surat edaran tersebut, dibatasi oleh waktu akhir per
tanggal 30 April 2010 harus
sudah diterima oleh Direktorat Jenderal Minerbapabum dalam bentuk digital ber format MapInfo. Hal ini menyulitkan daerah secara berjenjang dari tingkat Kabupaten/Kota ke tingkat Provinsi selanjutnya ke lingkungan Kementerian ESDM sehingga hasilnya tidak maksimal. 4.
Akibat pemahaman yang keliru tentang WUP dan WP dalam peta yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Minerbapabum banyak WP yang didalamnya dirancukan oleh WPR atau bahkan banyak IUP (SIPD) yang tidak dimasukan sebagai WUP (penggelapan wilayah). Hal penting lain yang ditemukan didaerah terkait Wilayah Pertambangan
pasca penerapan Undang-undang MINERBA adalah belum berjalannya Kepmen ESDM nomor 1603.K/40/MEM/2003
tentang
Pedoman
Pencadangan Wilayah Pertambangan. Kondisi ini terkait penciutan wilayah (relinguisment) yang harus dilakukan oleh para pemegang KP/IUP ekplorasi manakala akan mengajukan peningkatan kegiatan menjadi
IUP produksi.
Banyak perusahaan tidak menyerahkan data eksplorasi nya pada saat melakukan proses pengajuan KP/IUP operasi produksi seperti yang disyaratkan pasal 23 Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara.
Alasan perusahaan
untuk tidak menyerahkan data eksplorasi dikarenakan anggapan bahwa mereka telah mengeluarkan biaya pada saat kegiatan eksplorasi dilakukan.
44
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Bagi Pemerintah
dengan tidak diperolehnya data dari wilayah yang
dikembalikan akan mempengaruhi dalam proses pelelangan wilayah kedepan. Dalam menyelenggarakan pelelangan wilayah usaha pertambangan, Pemerintah setidaknya harus memetakan wilayah dan memberikan data potensi sumberdaya mineral sebagai informasi lelang kepada peminat/peserta lelang. Kondisi semacam itu menempatkan Pemerintah pada posisi yang sulit, karena untuk melakukan suatu pemetaan potensi sumberdaya mineral pada wilayah–wilayah pertambangan tentunya memerlukan waktu yang cukup panjang. Substansi dari pelelangan wilayah usaha pertambangan pada intinya bertujuan untuk meningkatkan nilai jual wilayah dan sekaligus mengantisipasi timbulnya masalah tumpang tindih lahan baik antar wilayah IUP mineral logam, IUP mineral batuan ataupun IUP batubara. Masalah lain yang juga terkait dengan penerpan Undang-undang MINERBA selain yang terkait dengan penetapan Wilayah Pertambangan (WP) dan juga Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) adalah hal-hal yang terkait dengan masalah kewenangan antara Pemerintah (pusat) dengan Pemerintah Provinsi/Kabupaten dan Kota. Masalah tersebut lebih tertuju pada bagaimana kewenangan itu harus dijalankan didalam kerangka otonomi pertambangan.
5.2
Otonomi Pertambangan Penerapan Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2010 tentang WP
didalam pelaksanaannya tidak terlepas dari keterkaitan dengan peraturan perundangan yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan daerah seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ataupun juga Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Semangat dari Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah pada hakekatnya adalah pemberian otonomi untuk membangun kemandirian daerah sesuai dengan karakter dan kekhasannya.
45
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Dalam pelaksanaan PP 22 tahun 2010 tentang WP, Pemerintah pusat terkesan memonopoli pemberian WUP dengan membatasi kewenangan daerah hanya berwenang memberikan ijin WUP untuk mineral bukan logam dan batuan saja tetapi tetap untuk saja penetapannya dilakukan oleh Menteri. Hal ini seperti tertuang dalam Pasal 16, ayat (2) yang berbunyi,
WUP dan WPN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c ditetapkan oleh Menteri. Sementara dalam ayat (4) berbunyi, Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP untuk pertambangan mineral bukan logam dan WUP untuk pertambangan batuan yang berada pada lintas kabupaten/kota dan dalam 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi kepada gubernur. Setelah proses memperoleh persetujuan didaerah, dalam Pasal 19, ayat (1) dinyatakan bahwa WUP ditetapkan oleh Menteri. Ketidak efisienan ini banyak dikeluhkan oleh para aparatur pertambangan didaerah dan memberi kesan pemerintah (pusat) mengendalikan urusan rumah tangga daerah sementara bagi calon investor pertambangan, hal ini menjadikan proses perijinan memakan biaya tinggi. Demikian halnya dengan penetapan dan perijinan untuk Wilayah Pertambangan Rakyat. Butir butir dalam pasal yang mengatur tentang wilayah pertambangan rakyat seperti yang tersurat pada Pasal 26, ayat (1) memuat kewenangan Bupati/Walikota untuk menetapkan suatu wilayah dala WP sebagai WPR. Sementara dalam ayat (2) banyak butir-butir kriteria dari ayat tersebut yang tidak operasional sehingga menyulitkan untuk ditetapkan sebagai wilayah pertambangan rakyat. Seperti misalnya pada butir a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi dan tepi sungai; Hal ini akan bertentangan dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum nomor
458 Tahun 1986, tentang
Ketentuan
Pengamanan Sungai Dalam Hubungan Dengan Penambangan Bahan Galian. Butir d. luas maksimal WPR sebesar 25 (dua puluh lima) hektare, butir ini berpotensi mengakibatkan kerusakan lahan yang cukup luas karena kegiatan
46
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
pertambangan rakyat tidak memiliki jaminan reklamasi yang dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan bekas tambang. Sementara pada butir e. Berbunyi ; merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun. Kurun waktu 15 (lima belas) tahun yang disyarat bagi aktifitas kegiatan pertambangan rakyat terlalu panjang karena pada umumnya kegiatan tambang rakyat berjalan seiring dengan penemuan lokasi ataupun singkapan yang baru. Dalam butir f. Tersurat tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN, hal ini sulit bagi pendelineasian kawasan karena tambang rakyat yang identi dengan tambang tanpa ijin justru berada pada wilayah-wilayah kerja aktif ataupun yang telah selesai di tambang oleh pemilik IUP. Lebih jauh terkait dengan kewenangan yang bersifat otonom adalah dalam hal penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Seperti yang tersurat dalam Pasal 28, tersurat : Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kewenangan penetapan WPN ini lebih terkesan sangat sentralistik, sarat kepentingan kelompok/politis, juga membuka ruang bagi lahirnya KKN, kriteria penetapannya
multitafsir dan mengundang perdebatan dan
penafsiran yang berbeda terlebih dengan mengaitkan terhadap luas pulau kecil dengan luas maksimum 2.000 km 2. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan untuk atas nama negara, maka sangat dimungkinkan terjadinya penguasaan atas suatu wilayah pulau oleh badan usaha ataupun kelompok yang sangat bertentangan dengan asas otonomi dimana gugusan pulau-pulau yang berada di batas 12 mil menjadi kewenangan pemerintah provinsi untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya. Undang-undang MINERBA dengan turunan Peraturan Pemerintah nya juga sama sekali mengabaikan adanya Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Bagi beberapa daerah dengan kekhususan seperti
47
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Papua, dimana peran pemerintah provinsi sangat dominan, adanya kewenangan-kewenangan yang melekat pada pemerintah Kabupaten/Kota telah melahirkan konflik birokrasi dengan adanya pembelotan dan hilangnya azas subordinasi yang seharusnya menjadi azas dalam melakukan kordinasi ataupun bahkan pembangkangan terhadap kewenangan provinsi. Kondisi ini dapat sangat dipahami karena kelemahan dari Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sebagai turunan dari Undang-undang Otonomi Khusus tidak mengatur secara jelas kewenangan tersebut sehingga berdampak pula terhadap mekanisme birokrasi di sektor pertambangan. Seperti yang tersurat dalam
Pasal 19, PP 38 tahun 2007
tersurat dalam ayat (1) bahwa, Khusus untuk Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota sebagaimana tertuang dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini secara otomatis menjadi kewenangan provinsi. Sementara dalam ayat (2) disebutkan bahwa ; Urusan pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe
Aceh
Darussalam
berpedoman pada
Peraturan Perundang-
undangan yang mengatur otonomi khusus daerah yang bersangkutan. Masalah yang dihadapi adalah hingga saat ini peraturan perundangan yang dimaksud hingga saat ini tidak pernah terlahir.
5.3
Keterkaitan Sektoral Penetapan
Wilayah
Pertambangan
dalam
pelaksanaannya
juga
dipengaruhi oleh beberapa keterkaitan sektoral yang sangat dominan mempengaruhi berfungsinya suatu wilayah pertambangan yang akan menjadi induk bagi semua kegiatan pertambangan yang terkait dengan penggunaan ruang/lahan (spatial). Issue-issue yang terkait hubungan antara sektor lingkungan hidup, sektor kehutanan dan sektor pertambangan merupakan
48
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
suatu entitas sistem yang terkait masalah keseimbangan, kesinambungan dan kebutuhan akan optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam.
Letter of Intens (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia, dikenal sebagai kesepakatan Oslo, tanggal 26 Mei 2010 terkait pengurangan emisi karbon, Global Warming, Indonesia Go Green dan juga Carbon trade, akan merupakan kendala tersendiri bagi keberlangsungan kegiatan usaha pertambangan indonesia. Hal-hal semacam ini yang seringkali dijumpai manakala membahas masalah wilayah pertambangan secara lintas sektoral
khususnya
dengan
institusi
kehutanan,
institusi
perencanaan
pembangunan didaerah ataupun juga institusi pengendalian lingkungan hidup. Resistensi seringkali berawal karena ketidak jelasan dan ketidaksamaan pemahaman terhadap suatu masalah. Namun demikian seringkali juga tidak di temukan kesamaan persepsi diantara sesama pengguna ruang (spatial) tersebut. Sektor
yang
berpengaruh
dalam
penerapan
suatu
wilayah
pertambangan adalah sektor kehutanan. Data resmi paling akhir yang tersedia, luas hutan Indonesia (peruntukannya berdasarkan surat keputusan Menhut, bulan Juni 1999 - Maret 2001) diperkirakan kurang lebih 104,9 juta ha. Tetapi berdasarkan tutupan citra satelit Landsat ETM7 tahun 2000, luas lahan yang masih tertutup hutan hanya sekitar 93.557.000 ha. Perbedaan luas wilayah hutan tersebut dapat dipahami karena pada satu sisi luas hutan dihitung berdasarkan penjumlahan atas laporan yang berjenjang dari
tingkat
kabupaten/kota hingga ketingkat kementerian, sementara pada sisi yang lain luasan dihitung melalui interpretasi citra landsat. Kedua pendekatan tersebut memiliki maknanya sendiri-sendiri. Yang harus dipertimbangkan dari sektor kehutanan adalah fakta bahwa kawasan hutan dibedakan berdasarkan fungsi kawasan hutan seperti yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2004 tentang Fungsi Kawasan Hutan pada ayat (1) dijelaskan bahwa Fungsi Kawasan hutan terdiri dari :
49
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
a. Hutan Konservasi yang terdiri : 1. Hutan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa; 2. Hutan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam; 3. Taman Buru;
b. Hutan Lindung; c. Hutan Produksi yang terdiri : 1. Hutan Produksi Terbatas; 2. Hutan Produksi Biasa; 3. Hutan Produksi yang dapat dikonversi. Fungsi Kawasan Hutan seperti tersebut diatas tidak saja menempati kawasan hutan yang berada didaratan tetapi juga kawasan perairan khususnya pada kawasan lindung mangrove yang umumnya berada pada kawasan pesisir. Pada tabel 5.1
(Luas Kawasan Hutan Dan Perairan Berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan Serta Tata Guna Hutan Kesepakatan), terlihat luasan dari masingmasing fungsi kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh kementerian kehutanan di 33 (tiga puluh tiga) wilayah provinsi di Indonesia. Terkait dengan penetapan wilayah pertambangan, dimana dalam pasal 35 Ayat (1) Peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat di-delineasi menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi. Dan pada ayat (2) Delineasi zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung. Implementasi pasal ini memberi peluang dilakukannya kegiatan penambangan pada kawasan lindung sejauh hasil kajian kelayakannya mendukung. Pasal 35 ayat (2) ini akan menjadi pasal yang rentan terhadap penyuapan manakala proses 50
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
pembahasan kelayakan diajukan sebagai salah syarat yang harus dipenuhi. Hal ini akan memperburuk citra kegiatan pertambangan apabila perijinannya dikabulkan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dapat memenuhi prasyarat kelayakan lingkungan yang ada. Kawasan-kawasan lindung di wilayah hutan Indonesia berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dapat dilihat pada gambar 5.1 (Peta Kawasan Lindung Indonesia).
51
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Tabel 5.1 Luas Kawasan Hutan Dan Perairan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan Serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)
52
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Gambar 5.1 Peta Kawasan Lindung Indonesia
53
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
5.4
Wilayah Pertambangan Indonesia Rencana Wilayah pertambangan (RWP) Indonesia saat ini telah sampai
pada proses memperoleh rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebelum kemudian akan ditetapkan oleh Pemerintah. Secara kronologis, RWP tersebut disusun sebagai hasil dari surat kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia bernomor : Surat Direktorat
Jenderal Mineral
Batubara
Dan
Panas
Bumi
nomor
1099/30/DJB/2010, tanggal 22 April 2010, perihal Penyesuaian KP menjadi IUP. Surat yang memberi batasan akhir kepada Gubernur, Bupati dan Walikota se Indonesia, per tanggal 31 Mei 2010 untuk segera menyerahkan peta penyesuaian izin KP menjadi IUP dalam bentuk digital berformat MapInfo. Gabungan peta-peta perubahan KP menjadi IUP inilah yang menjadi cikal bakal disusunnya peta Rencana Wilayah Pertambangan Indonesia. Batasan dan kriteria tentang Wilayah Pertambangan seperti yang dikehendaki oleh PP nomor 22 tahun 2010 seharusnya seperti yang tersurat pada Pasal 2
dimana pada ayat
(1) dijelaskan bahwa WP merupakan
kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan. Dan pada ayat
(2) dijelaskan
bahwa Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria adanya:
indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau
potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair.
54
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Peta Rencana WP yang telah disusun seharusnya juga konsisten menggunakan batasan dan kriteria seperti yang tertuang pada pasal 2 PP 22 tahun 2010 tersebut, namun karena keterbatasan baik waktu dan sumberdaya manusia ditingkat
Dinas
Pertambangan
Dan
Energi
di
tingkat
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota serta pemahaman yang tidak seragam mengakibatkan peta Rencana WP yang dihasilkan tidak sempurna. Ketidak sempurnaan tersebut sangat mendasar jika dikaitkan dengan pengertian dari pasal-pasal yang tersurat dalam PP nomor 22 tahun 2010 seperti misalnya banyaknya penghilangan Ijin Usaha Pertambangan
yang
semula berbentuk SIPD sebagai Wilayah Ijin Usaha Pertambangan, ataupun dimasukannya Wilayah Pertambangan Rakyat Pertambangan,
didalam Wilayah Usaha
hal mana yang menurut PP 22 tahun 2010 seharusnya
dipisahkan. Batasan dan kriteria Wilayah Pertambangan menurut pasal 2 PP 22 tahun 2010 memang bermakna demikian luasnya, dan jika dituangkan dalam bentuk peta akan meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).
Hal ini disebabkan karena hampir diseluruh wilayah
Indonesia memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut. Gambaran dari Delineasi Wilayah Pertambangan (WP) Indonesia pada saat ini seperti terlihat pada gambar 5.2 ( Peta Wilayah Pertambangan Indonesia ). 5.5
Simulasi Penetapan Wilayah Pertambangan Simulasi Penetapan Wilayah Pertambangan merupakan sebuah teknik
aplikasi teknologi Sistem Informasi Geografi dalam mengolah data spatial untuk
memperoleh
penetapan
Wilayah
Pertambangan
yang
paling
kompromistis dan dapat dioperasionalkan di lapangan dalam proses pelelangan Wilayah Usaha Pertambangan.
55
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Gambar 5.2 Peta Wilayah Pertambangan Indonesia
56
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Teknik yang digunakan adalah operasi boolean dengan memotong (erase), menyangga (buffer), memisahkan (split) satuan-satuan peruntukan lahan dari masing-masing layer sesuai dengan batasan kriteria yang digunakan. Simulasi
penetapan
wilayah
pertambangan
dilakukan
untuk
menguji
penerapan model yang akan menguatkan penentuan kriteria terbaik yang dapat diaplikasikan dan sekaligus menyempurnakan penetapan Rencana Wilayah Pertambangan yang telah disusun sebelumnya. Proses ini memerlukan bahan kerja layer-layer peta digital berskala 1 : 250.000 berupa :
Peta Dasar Indonesia
Peta Kawasan Hutan Indonesia
Peta Kawasan Lindung
Peta Wilayah Usaha Pertambangan Eksisting.
Langkah pertama dari ini adalah menumpang susunkan layer-layer tersebut diatas sebagai suatu bagian proses. Berikutnya menetapkan kawasan lindung sebagai parameter pembatas dengan asumsi tidak ada kegiatan pertambangan pada kawasan lindung ini berarti sesuai dengan butir b ayat ayat (1) pasal 5 PP nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Operasi boleaan yang dilakukan adalah mengiris peta kawasan hutan Indonesia dengan peta kawasan lindung. Hasil dari proses ini peta turunan dari peta Kawasan Hutan yang telah dikurangi oleh kawasan lindung. Proses berikutnya adalah mengkompilasi seluruh wilayah IUP yang telah diterbitkan hingga saat ini dalam satuan region-region dari seluruh wilayah IUP se Indonesia. Hasil kompilasi ini kemudian ditumpang susunkan terhadap peta turunan kawasan hutan yang telah dikurangi oleh kawasan lindung. Proses selanjutnya adalah memotongkan peta kompilasi wilayah IUP (WUP) terhadap peta turunan kawasan hutan yang telah dikurangi oleh kawasan lindung. Hasil dari proses tersebut adalah Peta Usulan Wilayah Pertambangan seperti yang terlihat pada gambar 5.3 (Peta Usulan Wilayah Pertambangan).
57
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Gambar 5.3Peta Usulan Wilayah Pertambangan
58
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
5.6 Perumusan Kriteria Wilayah Pertambangan Dalam menyusun kriteria Wilayah Pertambangan dilakukan melalui analisis perbandingan dari peraturan perundangan yang terkait langsung dengan ruang bagi kegiatan pertambangan. Peraturan perundangan tersebut adalah :
Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN
Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan
Peraturan Pemerintah nomor
24 tahun 2010 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan. Terkait dengan kajian ini perbandingan dan penyempurnaan dilakukan hanya pada pasal yang terkait langsung dengan pengertian dan kriteria terhadap penetapan suatu wilayah pertambangan. Hal-hal yang belum terakomodir didalam Peraturan Pemerintah tersebut diatas merupakan bagian dari penyempurnaan dari kriteria yang ada. Seperti halnya pada kawasan
perkotaan, instalasi strategis dan vital serta kawasan
militer; Seperti diketahui bahwa sistem wilayah merupakan pendekatan teori yang paling rasional untuk menyusun penetapan suatu kawasan. Sistem wilayah pada dasarnya merupakan entitas dari Satuan Genetika Wilayah yang meliputi : 1.
Keekonomian Bahan Galian
2.
Kewilayahan dan Infrastruktur (Tata Ruang)
3.
Stabilitas Fisik Wilayah (spatial)
4.
Kebencanaan/Ancaman Resiko
5.
Dampak Lingkungan
6.
Reklamasi Dan Pasca Tambang
7.
Kebijakan Sosial (sosial, ekonomi, budaya dan hukum).
59
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Dengan melihat faktor akseptabiltas dan keterkaiatan yang paling dominan dalam menetapkan kriteria WP, maka tidak semua faktor genetika wilayah digunakan sebagai alat analisis. Dengan pertimbangan diatas maka faktor-faktor yang digunakan hanya 2 (dua) parameter yaitu Keekonomian Bahan Galian dan Kebijakan Hukum. Matrik scoring dari Faktor Genetika Wilayah tersebut seperti terlihat pada tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Scoring Faktor Genetika Wilayah Dalam Penyusunan Kriteria WP NO 1.
Faktor Genetika Wilayah Keekonomian Galian : Mineral
Radioaktif Kebijakan Hukum : Tata Ruang
Score
Keterangan
Logam Non logam Batuan.
3 3 3
Klasifikasi berdasar pada Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang MINERBA
Batubara.
3
Radioaktif
3
Bahan
Batubara
2.
Sub Faktor
Kawasan Konservasi
0
Hutan Lindung
1
Areal Penggunaan Lain (APL)
3
Kawasan Konservasi terdiri dari : Hutan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Hutan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam;
Dari hasil perbandingan analisa bobot terhadap kriteria penetapan wilayah pertambangan diperoleh usulan untuk menyempurnakan kriteria yang ada seperti terlihat pada tabel 5.3 ( Dafar Isian Masalah Perbandingan Kriteria WP).
Sementara kriteria yang bersifat teknis diatur dalam tata cara
penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan, Wilayah Pertambangan Rakyat dan Wilayah Pencadangan Negara;
60
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan Tabel 5.3.
DAFTAR ISIAN MASALAH PERBANDINGAN KRITERIA WP
PERATURAN PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 2010 NOMOR 24 TAHUN 2010 NOMOR 26 WILAYAH PENGGUNAAN KRITERIA YANG TAHUN 2008 PERTAMBANGAN KAWASAN DIUSULKAN RTRWN HUTAN Pasal 68 Pasal 2 Pasal 5 a. Memiliki indikasi formasi batuan Ayat (3) (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembawa mineral dan/atau (1) WP merupakan kawasan Kriteria teknis pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pembawa batubara; dan/atau yang memiliki potensi kawasan Pasal 4 ayat (2) huruf b b. Memiliki potensi sumber daya mineral dan/atau batubara, peruntukan dilakukan dengan ketentuan: bahan tambang yang berwujud baik di permukaan tanah pertambangan a.dalam kawasan hutan produksi dapat dilakuka padat dan/atau cair. maupun di bawah tanah, ditetapkan oleh n penambangan dengan pola pertambangan c. Tidak berada pada kawasan Hutan yang berada dalam wilayah menteri yang terbuka,dan Konservasi yang terdiri : daratan atau wilayah laut tugas dan penambangan dengan pola pertambangan ba 1. Hutan Suaka Alam terdiri dari untuk kegiatan tanggung wah tanah; Cagar Alam dan Suaka pertambangan. jawabnya di b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat Margasatwa; (2) Wilayah yang dapat bidang dilakukan penambangan dengan ditetapkan sebagai WP pertambangan. pola pertambangan bawah tanah 2. Hutan Pelestarian Alam terdiri sebagaimana dimaksud dengan ketentuan dilarang mengakibatkan, dari Taman Nasional, Taman pada ayat (1) memiliki turunnya permukaan tanah; berubahnya Hutan kriteria adanya: fungsi pokok kawasan hutan secara Raya dan Taman Wisata a. indikasi formasi batuan permanen; dan Alam; pembawa mineral terjadinya kerusakan akuiver air tanah. d. Tidak berada pada kawasan dan/atau pembawa (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan perkotaan dan instalasi batubara; dan/atau bawah tanah pada hutan lindung diatur dengan strategis dan militer; Peraturan Presiden. b. potensi sumber daya e. Kriteria yang bersifat teknis diatur bahan tambang yang dalam tata cara penyusunan berwujud padat Wilayah Usaha Pertambangan, dan/atau cair. Wilayah Pertambangan Rakyat dan Wilayah Pencadangan Negara;
60
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
BAB VI PENUTUP 6.1
Kesimpulan Dari hasil pembahasan dan kajian tentang penyusunan kriteria
penetapan wilayah pertambangan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Peraturan
Pemerintah
nomor
22
tahun
2010
tentang
Wilayah
Pertambangan sebagai salah satu perangkat pelaksana dari Undangundang nomor 4 tahun 2009, didalam implementasinya belum dapat berfungsi secara optimal. Hal ini terkait dengan masalah-masalah ; a.
Kurangnya
sosialisasi
bagi
daerah
khususnya
pemerintah
Kabupaten/Kota sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda diantara para regulator pertambangan di daerah, b.
Tidak tersedianya standar yang baku yang dapat dijadikan acuan oleh pemerintah daerah dalam mengkonversi perijinan format lama kedalam Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP),
c.
Terbatasnya
Sumberdaya
manusia
didaerah
yang
bertugas
mengelola data wilayah khususnya dalam mengaplikasi teknologi Sistem Informasi Geografi.
Kriteria terkait penetapan wilayah pertambangan yang tertuang didalam PP nomor 22 tahun 2010 berpotensi menghambat investasi, lahirnya birokrasi berjenjang dan panjang serta menghapus sebagian kewenangan daerah dalam menjalankan daerah otonomnya.
Peraturan
Pemerintah
nomor
22
tahun
2010
tentang
Wilayah
Pertambangan tidak melihat Sistem pemerintahan di Rebuplik Indonesia secara utuh karena PP tersebut tidak mempertimbangkan bagaimana implementasi dari peraturan tersebut pada provinsi-provinsi yang memiliki kekhususan (Otonomi khusus).
61
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
6.2
Rekomendasi Terkait
kesimpulan
diatas,
beberapa
rekomendasi
yang
dapat
sampaikan diantaranya :
Penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan yang terkait dengan kriteria penetapan Wilayah Pertambangan dapat dilakukan dengan menerbitkan Peraturan setingkat Menteri tentang Tata Cara dan Kriteria Teknis Penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Menyelenggarakan, mengintensifkan sosialisasi dan bimbingan teknis non Diklat bagi aparatur Dinas Pertambangan Dan Energi pada tingkat Kabupaten/Kota
agar
dapat
menjadi
penggerak
percepatan
implementasi era baru birokrasi pertambangan.
Mengkoordinasikan penetapan WP dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementarian Pekerjaan Umum dalam pengelolaan Struktur Ruang Wilayah dalam RUTR
62
TABEL 5.1 LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENHUT TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN SERTA TATA GUNA HUTAN KESEPAKATAN ( TGHK ) Keputusan Menhut No
Kawasan Suaka Alam + Kawasan Pelestarian Alam (Ha)
Provinsi
1
2
1
N. Aceh Darussalam
2
Nomor
Tanggal
Perairan
Kws. Hutan
Jumlah
Hutan Lindung (Ha)
Hutan Produksi Terbatas (Ha)
Hutan Produksi (Ha)
Hutan Produksi yang dapat dikonversi (Ha)
Taman Buru (Ha)
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jml Kawasan Hutan (Ha) 13(6+8+9+10+11+ 12)
Jumlah Kawasan Hutan dan Perairan (Ha)
Keterangan
14(13+5)
15
170/Kpts-II/2000
29/06/2000
214.100,00
772.633,00
986.733,00
1.844.500,00
37.300,00
601.280,00
-
80.000,00
3.335.713,00
3.549.813,00
Sumatera Utara
44/Menhut-II/2005
16/02/2005
-
468.720,00
468.720,00
1.297.330,00
879.270,00
1.035.690,00
52.760,00
8.350,00
3.742.120,00
3.742.120,00
3
Sumatera Barat
422/Kpts-II/1999
15/06/1999
-
846.175,00
846.175,00
910.533,00
246.383,00
407.849,00
189.346,00
2.600.286,00
2.600.286,00
4
Riau
173/Kpts-II/1986
06/06/1986
-
435.240,00
435.240,00
397.150,00
1.971.553,00
1.866.132,00
4.770.085,00
9.456.160,00
9.456.160,00
1)
5
Kep. Riau *)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2)
6
Jambi
421/Kpts-II/1999
15/06/1999
-
676.120,00
676.120,00
191.130,00
340.700,00
971.490,00
-
2.179.440,00
2.179.440,00
7
Bengkulu
420/Kpts-II/1999
15/06/1999
-
419.582,00
419.582,00
252.042,00
189.075,00
34.965,00
-
920.964,00
920.964,00
8
Sumatera Selatan
76/Kpts-II/2001
15/03/2001
17.000,00
662.726,00
679.726,00
603.793,00
217.370,00
1.826.993,00
431.445,00
3.742.327,00
3.759.327,00
-
16.000,00
25.300,00
9
Bangka Belitung
357/Menhut-II/04
01/10/2004
-
34.690,00
34.690,00
156.730,00
-
466.090,00
-
657.510,00
657.510,00
10
Lampung
256/Kpts-II/2000
23/08/2000
-
462.030,00
462.030,00
317.615,00
33.358,00
191.732,00
-
1.004.735,00
1.004.735,00
11
DKI Jakarta
220/Kpts-II/2000
02/08/2000
108.000,00
272,34
108.272,34
44,76
-
158,35
-
475,45
108.475,45
12
Jawa Barat
195/Kpts-II/2003
04/07/2003
-
119.759,00
119.759,00
291.306,00
190.152,00
202.965,00
-
816.602,70
816.602,70
13
Banten
-
51.467,00
112.991,00
164.458,00
12.359,00
49.439,00
26.998,00
-
201.787,00
253.254,00
14
Jawa Tengah
359/Menhut-II/04
15/06/1999
110.117,00
16.413,00
126.530,00
84.430,00
183.930,00
362.360,00
-
647.133,00
757.250,00
15
DI Yogyakarta
171/Kpts-II/2000
29/06/2000
-
910,34
910,34
2.057,90
-
13.851,28
-
16.819,52
16.819,52
16
Jawa Timur
417/Kpts-II/1999
15/06/1999
-
230.248,30
230.248,30
315.505,30
-
811.452,70
-
1.357.206,30
1.357.206,30
17
Bali
433/Kpts-II/1999
15/06/1999
3.415,00
22.878,59
26.293,59
95.766,06
6.719,26
1.907,10
-
18 19
NTB NTT
418/Kpts-II/1999 423/Kpts-II/1999
15/06/1999 15/06/1999
11.554,00 253.922,00
75.221,00 83.846,00
86.775,00 337.768,00
421.854,00 731.220,00
334.409,00 197.250,00
126.278,00 428.360,00
101.830,00
20
Kalimantan Barat
-
12.420,70
52.250,00 12.562,00
127.271,01
130.686,01
1.010.012,00 1.555.068,00
1.021.566,00 1.808.990,00
259/Kpts-II/2000
23/08/2000
77.000,00
1.568.580,00
1.645.580,00
2.307.045,00
2.445.985,00
2.265.800,00
514.350,00
9.101.760,00
9.178.760,00
759/Kpts/Um/10/19 82
12/10/1982
-
729.419,00
729.419,00
800.000,00
3.400.000,00
6.068.000,00
4.302.581,00
15.300.000,00
15.300.000,00
21
Kalimantan Tengah
22
Kalimantan Timur
79/Kpts-II/2001
15/03/2001
500
2.164.698,00
2.165.198,00
2.751.702,00
4.612.965,00
5.121.688,00
-
14.651.053,00
14.651.553,00
23
Kalimantan Selatan
453/Kpts-II/1999
17/06/1999
-
175.565,00
175.565,00
554.139,00
155.268,00
688.884,00
265.638,00
1.839.494,00
1.839.494,00
24
Sulawesi Utara
452/Kpts-II/1999
17/06/1999
25
Gorontalo
26
Sulawesi Tengah
27 28 29
Sulawesi Barat
30
Maluku
31
Maluku Utara
32
Papua
33
Irian Jaya Barat
*)
3)
3) 3)
1)
89.065,00
429.065,00
518.130,00
341.447,00
552.573,00
168.108,00
34.812,00
1.526.005,00
1.615.070,00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
757/Kpts-II/1999
23/09/1999
-
671.248,00
671.248,00
1.489.923,00
1.476.316,00
500.589,00
251.856,00
4.394.932,00
4.394.932,00
Sulawesi Tenggara
454/Kpts-II/1999
17/06/1999
81.800,00
184.269,00
266.069,00
1.061.270,00
419.244,00
633.431,00
212.123,00
8.000,00
2.518.337,00
2.600.137,00
Sulawesi Selatan
890/Kpts-II/1999
14/10/1999
580.765,00
194.368,00
775.133,00
1.944.416,00
855.730,00
188.486,00
102.073,00
13.932,20
3.299.005,20
3.879.770,20
3)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2)
118.598,00
324.747,00
443.345,00
1.809.634,00
1.653.625,00
1.053.171,00
2.304.932,00
7.146.109,00
7.264.707,00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.678.480,00
8.025.820,00
9.704.300,00
10.619.090,00
2.054.110,00
10.585.210,00
9.262.130,00
40.546.360,00
42.224.840,00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.395.783,00
19.908.234,57
23.304.017,57
31.604.032,02
22.502.724,26
36.649.918,43
22.795.961,00
133.694.685,18
137.090.468,18
Jumlah
-
415/Kpts-II/1999 891/Kpts-II/1999 -
15/06/1999 14/10/1999 -
Sumber : Badan Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Catatan : 1) Belum ada SK Penunjukan dan data masih berdasarkan TGHK 2) Belum ada SK Penunjukan dan data masih bergabung dengan provinsi induk 3) Review SK Penunjukan, masih dalam konsep SK dan Peta Lampirannya *) Luas Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan SK No 76/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 adalah 4.416.837 Ha Luas setelah pemisahan dengan provinsi Bangka belitung adalah 3.759.327 Ha.
5.000,00
233.814,90
2)
2)
2)
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
BAB VI PENUTUP 6.1
Kesimpulan Dari hasil pembahasan dan kajian tentang penyusunan kriteria
penetapan wilayah pertambangan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Peraturan
Pemerintah
nomor
22
tahun
2010
tentang
Wilayah
Pertambangan sebagai salah satu perangkat pelaksana dari Undangundang nomor 4 tahun 2009, didalam implementasinya belum dapat berfungsi secara optimal. Hal ini terkait dengan masalah-masalah ; a.
Kurangnya
sosialisasi
bagi
daerah
khususnya
pemerintah
Kabupaten/Kota sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda diantara para regulator pertambangan di daerah, b.
Tidak tersedianya standar yang baku yang dapat dijadikan acuan oleh pemerintah daerah dalam mengkonversi perijinan format lama kedalam Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP),
c.
Terbatasnya
Sumberdaya
manusia
didaerah
yang
bertugas
mengelola data wilayah khususnya dalam mengaplikasi teknologi Sistem Informasi Geografi.
Kriteria terkait penetapan wilayah pertambangan yang tertuang didalam PP nomor 22 tahun 2010 berpotensi menghambat investasi, lahirnya birokrasi berjenjang dan panjang serta menghapus sebagian kewenangan daerah dalam menjalankan daerah otonomnya.
Peraturan
Pemerintah
nomor
22
tahun
2010
tentang
Wilayah
Pertambangan tidak melihat Sistem pemerintahan di Rebuplik Indonesia secara utuh karena PP tersebut tidak mempertimbangkan bagaimana implementasi dari peraturan tersebut pada provinsi-provinsi yang memiliki kekhususan (Otonomi khusus).
61
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
6.2
Rekomendasi Terkait
kesimpulan
diatas,
beberapa
rekomendasi
yang
dapat
sampaikan diantaranya :
Penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan yang terkait dengan kriteria penetapan Wilayah Pertambangan dapat dilakukan dengan menerbitkan Peraturan setingkat Menteri tentang Tata Cara dan Kriteria Teknis Penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Menyelenggarakan, mengintensifkan sosialisasi dan bimbingan teknis non Diklat bagi aparatur Dinas Pertambangan Dan Energi pada tingkat Kabupaten/Kota
agar
dapat
menjadi
penggerak
percepatan
implementasi era baru birokrasi pertambangan.
Mengkoordinasikan penetapan WP dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementarian Pekerjaan Umum dalam pengelolaan Struktur Ruang Wilayah dalam RUTR
62
penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan
Tabel 5.2 Scoring Faktor Genetika Wilayah Dalam Penyusunan Kriteria Wilayah Pertambangan (WP) KEEKONOMIAN BAHAN KEBIJAKAN HUKUM GALIAN NO KAWASAN PERUNTUKAN Mineral Batubara Radioaktif Mineral Batubara Radioaktif 1. KAWASAN STARTEGIS NASIONAL 2 2 1 0 0 0 a.pertahanan dan keamanan; b.kawasan pengembangan 2 2 1 0 0 0 strategis 2. KAWASAN LINDUNG a. kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya
terhadap a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;
d. kawasan rawan bencana alam;
e. kawasan lindung geologi;
f. kawasan lindung lainnya.
3.
KAWASAN BUDIDAYA
1
1
1
1
1
0
b.kawasan bergambut; c. kawasan resapan air. a. sempadan pantai; b. sempadan sungai; c. kawasan sekitar danau,waduk d. ruang terbuka hijau kota.
3 3 2 3 2 1
3 3 2 3 2 1
1 1 1 1 1 1
3 2 1 3 2 0
3 2 1 3 2 0
0 0 0 0 0 0
a. kawasan suaka alam;
3
3
1
0
0
0
2
2
1
0
0
0
3 3
3 3
1 1 1
0 0 0
0 0 0
0 0 0
3
3
1
0
0
0
3 2
3 2
1 1
0 0
0 0
0 0
3
3
1
0
0
0
3
3
1
1
1
0
3
3
1
1
1
0
3 1
3 1
1 1
1 0
1 0
0 0
1
1
1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
3 3 3
3 3 3
1 1 1
1 1 1
1 1 1
0 0 0
3
3
1
1
1
0
3 3
3 3
1 1
1 1
1 1
0 0
3
3
1
1
1
0
5 5
5 5
2 2
6 5
6 5
6 5
b. kawasan suaka alam laut dan perairan; c. suaka margasatwa d. cagar alam dan cagar alam laut; e.kawasan pantai berhutan bakau; f. taman nasional dan taman nasional laut; g. taman hutan raya; h.taman wisata alam, alam laut; i. kawasan cagar budaya dan IPTEK a.kawasan rawan tanah longsor; b.kawasan rawan gelombang pasang; c. kawasan rawan banjir. a. kawasan cagar alam geologi; b. kawasan rawan bencana alam geologi; c. kawasan perlindungan terhadap airtanah. a. cagar biosfer; b. ramsar; c. taman buru; d.kawasan perlindungan plasma nutfah; e. kawasan pengungsian satwa; f. terumbu karang; g. kawasan koridor bagi satwa/biota laut a. hutan produksi; b. hutan rakyat;
TOTAL SCORE
c. pertanian; d. perikanan; e. pertambangan; f. industri; g. pariwisata; h. permukiman; i. peruntukan lainnya. TOTAL SCORE
4 3 5 3 2 1 5
4 3 5 3 2 1 5
2 2 3 2 1 0 2
4 3 8 1 2 0 7
4 3 8 1 2 0 7
4 3 8 1 2 0 7
VARIABEL YANG BERPENGARUH
PRIORITAS 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3
VARIABEL Kawasan Bergambut Sempadan Sungai Hutan Produksi Hutan Rakyat Pertanian Perikanan Pertambangan Industri Peruntukan Lainnya Kawasan Hutan Lindung Kawasan Resapan Air Kawasan Sekitar Danau,Waduk Ruang Terbuka Hijau Kota Kawasan Suaka Alam Suaka Margasatwa Cagar Alam dan Cagar Alam Laut Kawasan Pantai Berhutan Bakau Taman Nasional dan Taman Nasional Laut Taman Hutan Raya Kawasan Cagar Budaya dan IPTEK Kawasan Rawan Longsor Kawasan Rawan Gelombang Pasang Kawasan Rawan Banjir Kawasan Cagar Alam Geologi Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi Kawasan Perlindungan Terhadap Air Tanah Cagar Biosfer Ramsar Taman Buru Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah Kawasan Pengungsian Satwa Terumbu Karang Kawasan Koridor Bagi Satwa/Biota Laut Pariwisata Pertahanan dan Keamanan Kawasan Pengembangan Strategis Sempadan Air Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan Taman Wisata Alam, Alam Laut Permukiman
Tabel 5.3 HASIL PEMODELAN SPSS BERDASAR PRIORITAS VARIABEL NO
V1
V2
V3
V4
V5
V6
FAC1_1
FAC2_1
PRIORITAS
1
2
2
1
0
0
0
-0,36105
-0,60361
-
-
3
2
2
2
1
0
0
0
-0,36105
-0,60361
-
-
3 2
3
1
1
1
1
1
0
0,58865
-2,04315
+
-
4
3
3
1
3
3
0
0,11185
0,23166
+
+
1
5
3
3
1
2
2
0
-0,24380
0,38273
-
+
2
6
2
2
1
1
1
0
-0,00540
-0,75468
-
-
3
7
3
3
1
3
3
0
0,11185
0,23166
+
+
1
8
2
2
1
2
2
0
0,35025
-0,90574
+
-
2
-1,89209
+
-
2
9
1
1
1
0
0
0
0,23300
10
3
3
1
0
0
0
-0,95510
0,68486
-
+
2
11
2
2
1
0
0
0
-0,36105
-0,60361
-
-
3
12
3
3
1
0
0
0
-0,95510
0,68486
-
+
2
13
3
3
1
0
0
0
-0,95510
0,68486
-
+
2
14
3
3
1
0
0
0
-0,95510
0,68486
-
+
2
15
3
3
1
0
0
0
-0,95510
0,68486
-
+
2
16
3
3
1
0
0
0
-0,95510
0,68486
-
+
2
17
2
2
1
0
0
0
-0,36105
-0,60361
-
-
3
18
3
3
1
0
0
0
-0,95510
0,68486
-
+
2
19
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
20
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
21
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
22
1
1
1
0
0
0
0,23300
-1,89209
+
-
2
23
1
1
1
0
0
0
0,23300
-1,89209
+
-
2
24
1
1
1
0
0
0
0,23300
-1,89209
+
-
2
25
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
26
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
27
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
28
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
29
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
30
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
31
3
3
1
1
1
0
-0,59945
0,53379
-
+
2
32
5
5
2
6
6
6
1,81986
1,44348
+
+
1
33
5
5
2
5
5
5
1,26948
1,70050
+
+
1
34
4
4
2
4
4
4
1,31315
0,66905
+
+
1
35
2
2
1
2
2
2
0,73971
-1,11766
+
-
2
36
1
1
0
0
0
0
-0,42778
-1,61589
-
-
3