Mineral dan Batubara ANALISIS IMPLEMENTASI PENETAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN Nugroho Wahyu Wibowo, Nana Suryana, Ijang Suherman Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara “tekMIRA”
[email protected]
SARI Berkembangnya pusat pertumbuhan baru di beberapa wilayah terpencil, telah memberikan manfaat dalam pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan penerimaan negara, dan penyediaan lapangan kerja. Selain mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, pertambangan mineral dan batubara juga dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan, memiliki resiko dan biaya tinggi dalam eksplorasi dan operasi produksinya, nilai keekonomiannya dapat berubah dengan berubahnya waktu dan teknologi. Karena itu, dalam menetapkan Wilayah Pertambangan (WP), harus mempertimbangkan keterpaduan, pemanfaatan ruang dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berkesinambungan berdasarkan daya dukung lingkungan. Sehubungan dengan itu, maka dalam menetapkan WP yang di dalamnya juga mengatur penyelidikan dan penelitian pertambangan, perencanaan dan penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK), Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), perlu didukung oleh data dan informasi, sistem informasi geografis, serta kajian-kajian yang mengacu pada teori dan evaluasi terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan itu. Hal ini menjadi isu ketika Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengisyaratkan perencanaan WP yang tidak dibatasi oleh wilayah administrasi sementara keberadaan sumber daya mineral yang tidak berada di wilayah adminstrasi daerah, dan sesuai dengan kewenangannya, ada hal-hal yang seharusnya dikoordinasikan dengan daerah sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kondisi ini memberikan nuansa campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam mengelola wilayahnya. Di samping itu, dalam penetapan WP beserta segenap implikasi ikutannya (WPN, WUP, dan WPR), masih memerlukan pendalaman lebih lanjut terutama dalam penetapan kriteria/syarat peruntukan suatu kawasan karena terkait dengan berbagai peraturan perundangan di sektor lainnya yang memerlukan kordinasi dan sinkronisasi. Analisis Implementasi Penetapan WUP diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyusunan peraturan setingkat menteri yang terkait dengan pengelolaan suatu WUP yang juga dipersiapkan dalam mengantisipasi sistem pelelangan wilayah. Kata kunci : wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha pertambangan (WUP).
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
71
Mineral dan Batubara 1.
PENDAHULUAN
Kegiatan pertambangan di Indonesia secara nyata telah membuka dan mengembangkan wilayah terpencil. Dengan berkembangnya pusat pertumbuhan baru di beberapa wilayah, telah memberikan manfaat dalam pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan penerimaan negara, dan penyediaan lapangan kerja. Dalam pengembangan sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) harus didasarkan pada praktek pertambangan yang baik dan benar dengan memperhatikan elemen dasar praktek pembangunan berkelanjutan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal di atas, maka dalam menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) yang di dalamnya juga mengatur penyelidikan dan penelitian pertambangan, perencanaan dan penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK), Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), data dan informasi, serta sistem informasi geografis, perlu didukung oleh kajiankajian yang mengacu pada teori dan evaluasi terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan itu. UU No.9 Tahun 2004 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, atau disingkat UU Minerba, menyiratkan hal-hal yang terkait langsung dengan penataan ruang, yakni penetapan WP yang dituangkan dalam bentuk PP No.22 Tahun 2010, yang di dalamnya meliputi penetapan WUP, WPN, dan WPR. Lebih jauh UU Minerba, Bab V, Pasal 9, ayat 1 menjelaskan bahwa WP merupakan bagian dari Tata Ruang Nasional yang merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Permasalahannya adalah, bagaimana WP itu akan terakomodasi dalam Tata Ruang Nasional, sementara Rencana Umum Tata Ruang di tingkat daerah belum semuanya selesai dan melengkapi Rencana Tata Ruang Nasional.
72
Hal ini menjadi isu pertambangan ketika UU No.4 Tahun 2009 mengisyaratkan perencanaan WP yang di dalamnya termasuk juga WUP, WPR, dan WPN yang tidak dibatasi oleh wilayah administrasi, sementara keberadaan sumber daya mineral yang tidak berada di wilayah adminstrasi daerah, dan sesuai dengan kewenangannya, ada hal-hal yang seharusnya dikoordinasikan dengan daerah sesuai UU No.32 Tahun 2004. Kondisi ini memberikan nuansa campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam mengelola wilayahnya. Di samping itu, dalam penetapan WP beserta segenap implikasi ikutannya (WPN, WUP, dan WPR) masih memerlukan pendalaman lebih lanjut terutama dalam penetapan kriteria/syarat peruntukan suatu kawasan, karena terkait dengan berbagai peraturan perundangan di sektor lainnya yang memerlukan kordinasi dan sinkronisasi. Mengacu pada kondisi di atas, serta dalam rangka mendukung kesinambungan dan keberlangsungan kegiatan usaha tambang di daerah, maka penyusunan kriteria dalam penetapan WP beserta turunannya (WUP, WPN, dan WPR) perlu segera dilakukan untuk menyempurnakan batasan-batasan yang ada agar lebih dapat dioperasionalkan dengan mengacu pada pendekatan teori kewilayahan yang terukur. Analisis Implementasi Penetapan WUP setidaknya diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyusunan peraturan setingkat menteri yang terkait bagaimana suatu WUP harus dikelola serta dipersiapkan untuk mengantisipasi sistem pelelangan wilayah. Untuk keperluan kajian ini dilakukan survei di enam provinsi, yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Jika dibandingkan terhadap luas wilayah provinsi di Indonesia, lokasi uji petik/sampling hanya meliputi satu per enam dari wilayah provinsi di Indonesia. Namun demikian keenam lokasi tersebut diharapkan dapat mewakili, baik secara wilayah regional maupun dari jumlah aktifitas pengusahaan kegiatan pertambangan yang sedang berjalan saat ini.
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
Mineral dan Batubara 2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Peraturan Perundangan
2.1. Analisis Kebijakan Publik
a.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN
Kajian analisis implementasi penetapan WUP wilayah usaha pertambangan pada prinsipnya merupakan kajian dari sebuah produk kebijakan publik di bidang pertambangan yang terkait dengan aspek keruangan (spatial) dan terkait dengan berbagai produk kebijakan publik dari sektor lainnya.
Kawasan peruntukan pertambangan meliputi pertambangan mineral dan batubara, pertambangan minyak dan gas bumi, panas bumi serta air tanah. Kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan. Sementara peraturan zonasi peruntukan pertambangan yang tertuang dalam PP ini lebih bersifat pengaturan pembangunan infrastruktur yang terkait dengan tapak proyek pengolahan ataupun produksi mineral dan batubara, serta minyak dan gas bumi serta panas bumi dan air tanah. Dalam ini, halhal yang terkait dengan kegiatan pertambangan diatur dalam Pasal 63, Pasal 68, dan Pasal 110.
Menurut William.N(2000: 117). ada lima komponen dalam suatu proses pembuatan kebijakan yang juga merupakan komponen proses pengambilan keputusan, yaitu (lihat Gambar 1). Analisis Implementasi Penetapan WUP dikategorikan sebagi suatu kajian kebijakan publik yang didasarkan pada teknik analisis deskriptif (descriptive analysis) bersifat analisis isi (content analysis) dan analisis sejarah (historical analysis) atas hasil inventarisasi isi dan proses dari peraturan perundangan yang terkait dengan penetapan WP.
METODE FORECASTING
METODE MONITORING METODE EVALUASI
METODE REKOMENDASI
1 PENENTUAN MASALAH
2 PENENTUAN ALTERNATIF
3 TINDAKAN
4 KEPUTUSAN HASIL
5 POLA PELAKSANAA N
FEED BACK HASIL EVALUASI
PROBLEM STRUCTURING
PRACTICAL INFERENCE/KESIMPULAN PRAKTIS
Gambar 1. Skema proses pengambilan keputusan menurut William N Dunn
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
73
Mineral dan Batubara b.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba
digital. Selanjutnya dijelaskan bahwa peta yang dimaksud harus menggambarkan WP dalam bentuk zona yang didelineasi dalam garis putus-putus. Sementara terkait hirarkhi WP dinyatakan bahwa WP terdiri atas WUP, WPR, dan/atau WPN.
UU Minerba ini tidak secara implisit menjelaskan kriteria dari suatu WP. Hal ini karena kriteria termaksud akan dijelaskan melalui PP. Dalam UU ini hanya menjelaskan bahwa WP merupakan bagian dari tata ruang nasional, penetapannya harus melalui konsultasi dengan DPR, ditetapkan dengan mengacu pada azas akuntabiliatas, akseptabilitas, dan juga mempertimbangkan aspirasi daerah. Butir-butir Pasal yang terkait dengan kriteria dan penetapan suatu WP dan turunan wilayah di bawahnya dituangkan dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. c.
PP No.22 Tahun 2010 juga melengkapi diri dengan ketentuan sektoral lainnya. Terkait alih fungsi, dinyatakan bahwa peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat didelineasi menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi. Delineasi zonasi sebagaimana dimaksud dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung.
PP Nomor 22 Tahun 2010 Tentang WP Kriteria WP sangat lentur sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda terkait dengan kepentingan kegiatan pertambangan. Dengan kriteria tersebut dapat diartikan WP meliputi wilayah hukum NKRI. Hal lain dari PP ini, yang pada tataran operasional akan mengundang masalah adalah pembuatan peta WP yang harus dituangkan dalam bentuk digital dan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Perintah PP ini menimbulkan masalah bagi para operator dan regulator pertambangan di daerah karena tidak tersedianya sumber daya manusia yang mampu mengoperasionalkan teknik pemetaan digital, sementara kementerian juga belum secara jelas menerapkan standar perangkat lunak pengelolaan SIG. Kondisi ini memberi peluang terjadinya ketergantungan daerah kepada Kementerian ESDM yang berujung pada praktek-praktek transaksi jasa yang sulit terkontrol. Terkait penyusunan peta rencana WP, dijelaskan bahwa Rencana WP dituangkan dalam lembar peta dan dalam bentuk
74
Sementara hal yang terkait dengan penetapan WPR, menyatakan bahwa Bupati/Walikota menyusun rencana penetapan wilayah di dalam WP menjadi WPR berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara serta peta potensi/ cadangan mineral dan/atau batubara.
d.
PP Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan PP yang ditandatangani bersamaan dengan PP No.22 Tahun 2010 ini, tidak secara khusus ditujukan untuk mengantisipasi kegiatan pertambangan, namun karena pemanfaatan kawasan hutan yang paling dominan dilakukan oleh sektor pertambangan, maka substansi dari PP ini lebih tertuju bagaimana pengaturan kegiatan pertambangan dapat dilakukan pada kawasan hutan. Pasal-pasal yang terkait dengan WP dapat dilihat dalam Pasal 4 dan Pasal 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan bawah tanah pada hutan
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
Mineral dan Batubara lindung akan diatur oleh Perpres. PP No.24 Tahun 2010 ini ditindaklanjuti dengan Permen Kehutanan No.P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. e.
Peraturan Menteri (Permen) Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 Permen Kehutanan ini secara substansi bertujuan untuk mengatur kegiatan pertambangan terkait dengan penggunaan kawasan hutan. Dijelaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Permen ini lebih spesifik ditujukan untuk kegiatan pertambangan dengan menjelaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dilakukan dengan ketentuan tertentu. Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, izin pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat persetujuan dari DPR.
f.
Permen Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2011 Permen ESDM ini mengatur tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam aturan ini, penetapan WUP mineral logam atau WUP batubara ditetapkan oleh Menteri, Menteri menetapkan WUP mineral bukan logam dan WUP batuan setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat dan instansi terkait. Sementara Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP mineral bukan logam dan WUP batuan kepada gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Kondisi tersebut mengundang reaksi atas kewenangan yang terlalu terpusat karena daerah merasa lebih mengetahui apa yang terbaik bagi daerahnya dalam hal pemanfaatan ruang.
2.3. Sistem Wilayah Sistem wilayah dapat diartikan sebagai sebuah entitas ruang (spatial dan a-spatial) yang diimbuhi oleh perangkat pengatur dalam bentuk kebijakan publik yang mengatur pengelolaan, pemanfaatan dan pemberdayaan potensi wilayah sesuai dengan kepentingannya. WP beserta wilayah turunnya (WUP, WPN, dan WPR) dalam kaca mata ruang (spatial) merupakan sebuah real image yang dibentuk oleh sekumpulan koordinat kebumian (Geographycal Referenced) yang disatukan dalam satuan sub-poligon menjadi suatu region besar di wilayah NKRI serta menempati ruang wilayah secara bersama, bersempadan, ataupun menyatu pada suatu peruntukan tertentu. Delineasi WP beserta wilayah turunannya (WUP, WPN dan WPR) dalam kenyataannya berada pada satuan genetika wilayah yang secara geomorfologi memiliki besaran nilai ataupun nilai buatan (artificial value) yang harus dipertimbangkan peran dan fungsinya.
2.4. Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) SIG merupakan terjemahan bebas Geographic Information System (GIS), yang diartikan sebagai sistem pengolahan data berbasis komputer yang memiliki kemampuan untuk mengelola, menganalisis, pemodelan, serta menyajikan data spatial dan a-spatial (tabular/ tekstual), yang mengacu pada lokasi di muka bumi (georeferenced data). Proses pengolahan dilakukan dengan menerapkan kaidah-kaidah relational database yang mampu memadukan
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
75
Mineral dan Batubara data geografis (elemen peta) dan informasi terkait secara simultan. Dengan demikian, SIG tidak hanya berfungsi untuk mentransformasikan peta konvensional (analog) ke bentuk digital (digital map), tetapi juga mampu mengolah dan menganalisis data yang mengacu pada lokasi geografis menjadi informasi berharga. Oleh karena itu, SIG dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan dalam menganalisis data spatial secara terpadu (multiple data), baik untuk perencanaan maupun untuk pengambilan kepututan.
3.
METODOLOGI
Kajian Analisis Implementasi Penetapan WUP ini dilaksanakan dengan metodologi survei lapangan yang didukung oleh pengumpulan data sekunder dari berbagai instansi, baik di lingkungan Kementerian ESDM maupun instansi di lingkungan pemerintah daerah. Secara metodologis, kajian ini memerlukan dua cara pendekatan, yaitu aspek kebijakan dan aspek keruangan (spatial). Analisis yang terkait aspek kebijakan dilakukan dengan pendekatan perbandingan kebijakan publik, sedang yang terkait aspek keruangan (spatial) menggunakan pemodelan SIG. Hasil analisis yang dilakukan dengan mengkomparasi kriteria yang tertuang dalam PP No. 22 Tahun 2010 dan PP No. 24 Tahun 2010, Permenhut No. 8 Tahun 2011, Permen ESDM No. 12 Tahun 2011, dan kondisi Satuan Genetika Wilayah (SGW) akan menghasilkan usulan kriteria untuk penetapan WP yang akan membedakan kriteria bagi WUP, WPR, dan WPN. 3.1. Konsep Satuan Genetika Wilayah (SGW) Pendekatan SGW dilakukan untuk mengkaji aspek satuan morfologi yang ada pada wilayah masing-masing provinsi beserta perubahanperubahan yang terjadi pada kondisi existing.
76
Penelaahan terhadap aspek morfologi ini juga melibatkan potensi sumber daya alam/mineral yang ada pada daerah penelitian sehingga akan dapat diperoleh satuan-satuan potensi sumber daya yang layak untuk dikembangkan sejalan dengan peruntukan dan infrastruktur yang mendukungnya. Hasil analisis daya dukung geomorfologi tersebut selanjutnya akan menjadi parameter analisis akhir dengan menggabungkan aspek-aspek yang bersifat non fisik seperti nilai keekonomian, daya dukung sumberdaya, rencana pengembangan wilayah untuk peruntukan lain yang saling mendukung serta kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat nasional. Proses untuk mengolah pendekatan SGW tersebut dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi teknologi SIG. 3.2. Aplikasi Teknologi SIG dan Model Statistika Aplikasi teknologi SIG digunakan untuk mengoptimalkan dan mengakurasikan kegiatan pemetaan, serta pemodelan dalam proses pendelineasian kawasan. Aplikasi teknologi SIG akan menggunakan MapInfo versi 10,0 sebagai "engine" pengolah digital. Kegiatan aplikasi teknologi SIG akan meliputi kegiatan: – Digital conversion – Structuring and atributing data – Editing and inputing data – Bolean operating (operasi bolean) – Modelling analysis
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Wilayah Pertambangan Indonesia Rencana Wilayah Pertambangan (RWP) Indonesia saat ini telah sampai pada proses memperoleh rekomendasi dari DPR-RI sebelum ditetapkan oleh Pemerintah. Secara kronologis, bahan penetapan RWP merupakan gabungan peta-peta perubahan KK/KP/PKP2B dan IUP disusun menjadi peta RWP Indonesia.
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
Mineral dan Batubara Secara visual dasar pemikiran rencana WP beserta wilayah turunannya, dapat disederhanakan seperti terlihat pada Gambar 2. Hal tersebut di atas didasarkan pada Pasal 9 UU No.4 Tahun 2009 Jo. Pasal 2 PP No.22 Tahun 2010. Dari diskusi yang berkembang pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, rencana WP beserta wilayah turunannya yang yang diajukan Pemerintah cq Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba memperoleh banyak koreksi sehingga mengakibatkan tidak tuntasnya penetapan RWP beserta turunannya (RWUP, RWPN dan RWPR). WP yang di dalamnya juga termasuk penetapan WUP seperti terlihat pada Gambar 3, hingga saat belum dapat ditetapkan dalam sebuah Keputusan Menteri ESDM. Batasan dan kriteria tentang WP beserta wilayah turunannya seperti yang dikehendaki oleh PP No.22 Tahun 2010, seharusnya seperti yang tersurat pada Pasal 2 yang menjelaskan
bahwa WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan. Selanjutnyadalam penjelasan kriteria, dijelaskan bahwa wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud memiliki kriteria adanya: – indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau – potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair. Peta RWP yang telah disusun seharusnya juga konsisten menggunakan batasan dan kriteria seperti yang tertuang pada Pasal 2 PP No.22 Tahun 2010 tersebut, namun karena keterbatasan, baik waktu maupun sumber daya manusia di Dinas ESDM tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta pemahaman yang tidak seragam, mengakibatkan peta RWP yang dihasilkan tidak sempurna (Clear and Clean) dan memerlukan rekonsiliasi antara Pusat dan Daerah hingga beberapa kali.
Gambar 2. Dasar pemikiran penetapan Wilayah Pertambangan
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
77
Mineral dan Batubara WILAYAH PERTAMBANGAN
WILAYAH
WILAYAH
WILAYAH
USAHA
PERTAMBANGAN
PENCADANGAN
PERTAMBANGAN
RAKYAT
NEGARA (WPN)
WIUP Eksplorasi
WIPR WPN
WIUP Operasi Produksi
WUPK
WIUPK
Keterangan : WIUP : Wilayah Ijin Usaha Pertambangan WIPR : Wilayah Ijin Pertambangan Rakyat WUPK : Wilayah Usaha Pertambangan Khusus WIUPK : Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus
Gambar 3. Skema hirarki lingkup Wilayah Pertambangan
Ketidaksempurnaan tersebut sangat mendasar, dan merupakan salah satu penyebab mengapa RWP demikian sulit dirumuskan jika dikaitkan dengan pengertian dari pasal-pasal yang tersurat dalam PP No.22 Tahun 2010 seperti misalnya banyaknya penghilangan IUP yang semula berbentuk SIPD sebagai WIUP, ataupun dimasukkannya WPR di dalam WUP, hal mana yang menurut PP No.22 Tahun 2010 seharusnya dipisahkan. Batasan dan kriteria WP menurut Pasal 2 PP No.22 Tahun 2010 memang bermakna demikian luasnya, dan jika dituangkan dalam bentuk peta akan meliputi seluruh wilayah NKRI. Hal ini disebabkan karena hampir diseluruh wilayah Indonesia secara geologi memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan maupun di bawah tanah, yang berada dalam
78
wilayah daratan atau wilayah laut. Kondisi ini pada beberapa daerah menimbulkan resistensi terutama dari instansi perencana ruang daerah dan sektor pengguna ruang lainnya seperti kehutanan, pertanian dan perkebunan serta kelautan dan perikanan. Hal ini dapat dipahami karena aparatur Dinas teknis pertambangan (Dinas ESDM) tidak dapat memberikan penjelasan secukupnya karena mereka sendiri kurang mendapatkan pembekalan yang cukup terkait era baru pertambangan melalui UU No. 4 Tahun 2009. Masalah lain yang terkait dengan penetapan WP beserta wilayah turunannya adalah kurangnya koordinasi antar Dinas ESDM Kabupaten/Kota dengan Dinas ESDM tingkat Provinsi. Masalah ini menyebabkan Dinas ESDM provinsi tidak memeperoleh informasi
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
Mineral dan Batubara masalah secukupnya sehingga tidak dapat menjembatani dalam mediasi antar Dinas Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Pusat cq. Kementerian ESDM. Seharusnya andai saja berbagai pihak memahami dengan baik PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, putusnya arus informasi serta masalah-masalah sub ordinasi kewenangan tidak perlu terjadi dan tidak aklan mempengaruhi terhadap penyelesaian tugas teknis yang harus sama-sama diselesaikan. Keadaan tersebut di atas secara otomatis mempengaruhi penetapan WUP, WPN dan WPR yang merupakan kesatuan dari RWP.
Permen ESDM No.12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penetapan WUP dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara, menyatakan bahwa koordinasi dengan instansi terkait berkaitan dengan WUP sebagai kawasan peruntukan pertambangan dalam rencana tata ruang wilayah nasional yang disusun berdasarkan tujuh pulau atau gugusan kepulauan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penataan ruang, yaitu: 1) Pulau Sumatera, 2) Pulau Kalimantan, 3) Pulau Sulawesi, 4) Kepulauan Maluku, 4) Kepulauan Nusa Tenggara, 5) Pulau Papua, dan 6) Pulau Jawa Bali. Gambaran dari Delineasi WP Indonesia pada saat ini seperti terlihat pada Gambar 4. Sementara Penetapan WUP sesuai dengan gugus pulau dan kepulauan berdasarkan undang-undang Penataan Ruang terlihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Peta Wilayah Pertambangan Indonesia
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
79
Mineral dan Batubara
Gambar 5. Peta Wilayah Usaha Pertambangan Indonesia 4.2. Tata Cara Penetapan WUP Tata cara penetapan WUP telah ditetapkan melalui Permen ESDM No.12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penetapan WUP dan Sistem Informasi WP Minerba. Terkait kriteria penetapan WUP, dijelaskan bahwa penetapan WUP mineral logam atau WUP batubara sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri setelah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki formasi batuan pembawa batubara dan/atau formasi batuan pembawa mineral logam, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral logam dan/atau batubara; c. memiliki potensi sumber daya mineral logam dan/atau batubara; d. memiliki satu atau lebih jenis mineral logam termasuk mineral ikutannya dan/atau batubara;
80
e. tidak tumpang-tindih dengan WPR dan/atau WPN; f. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan g. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Dari kriteria di atas, WUP dapat ditetapkan di wilayah lepas pantai apabila secara geologi memiliki formasi pembawa batuan baik logam ataupun batubara. WUP juga harus sesuai dengan peruntukan rencana tata ruang, seberapa jauh wilayah yang disebut lepas pantai tidak dijelaskan, apakah mengacu pada UU No.32 Tahun 2004 atau menggunakan acauan yang lain. Sementara dalam tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota, belum semua daerah memiliki peruntukan untuk kegiatan pertambangan dalam Rencana Tata Ruang
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
Mineral dan Batubara Wilayahnya. Sementara dalam hal kewenangan, Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP mineral bukan logam dan WUP batuan kepada Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk: a. WUP mineral bukan logam dan WUP batuan yang berada pada lintas kabupaten/ kota dalam satu provinsi; dan b. WUP mineral bukan logam dan WUP batuan dalam satu kabupaten/kota. Dalam penetapan WUP, koordinasi sektoral dengan instansi terkait dengan WUP harus dilakukan berdasarkan pada UU Penataan Ruang sebagai kawasan peruntukan pertambangan dalam rencana tata ruang wilayah nasional yang disusun berdasarkan tujuh pulau atau gugusan kepulauan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penataan ruang. Dari pernyataan tersebut ada beberapa hal yang seharusnya memperoleh kejelasan agar tidak menimbulkan masalah kewenangan di kemudian hari. Dalam hal pelimpahan kewenangan, bupati/ walikota tampaknya tidak dapat mengeksekusi WUP kecuali WIPR. Sementara gubernur hanya berhak menetapkan WUP untuk mineral bukan logam dan WUP batuan. Sedangkan untuk mineral logam dan batubara, WUP ditetapkan oleh Menteri melalui Dirjen Minerba. Kondisi ini menggambarkan sentralisasi penetapan dan perijinan di sektor pertambangan dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Pada sisi lain, WUP sebagai bagian dari WP seperti dinyatakan dalam PP No.22 Tahun 2010 tidak mengenal batas administrasi, jika ke depan ditemukan potensi minerba yang berada di antara tujuh gugus kepulauan/pulau sebagaimana diatur dalam UU Penataan Ruang, bagaimana mekanisme pengurusan dan siapa yang harus bertanggungjawab menetapkan perijinannya dan berdasar pada kewenangan yang mana jika pada wilayah lepas
pantai di antara dua gugusan kepulauan ditemukan sumber daya mineral yang bernilai ekonomis dan diminati oleh investor. Tidakkah sebaiknya WP mengacu pada buffer Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia yang berjarak 200 mil laut agar tidak tersekat-sekat oleh koridor laut lepas yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Dalam Pasal 3 perihal data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian atau ekplorasi yang dilakukan oleh: a. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; atau b. Penugasan yang dilakukan oleh lembaga riset negara atau lembaga riset daerah, ditemukan potensi sumber daya dan cadangan mineral atau batubara yang diminati oleh pasar pada WP di luar WUP yang telah ditetapkan maka Menteri dapat menetapkan sebagai WUP baru. Butir di atas menggambarkan betapa mudahnya Pasal tersebut mengubah sebuah ketetapan peraturan, padahal WUP sebagai bagian dari WP, seharusnya hanya dapat berubah/diubah minimal lima tahun sekali. Sementara terkait himpunan WIUP dalam suatu WUP khususnya mineral logam dan batubara serta radioaktif seperti yang tertuang pada Pasal 4, Pasal 6 seharusnya diperjelas dan disiapkan pedoman teknis serta dijelaskan melalui pohon mineral agar setiap investor dapat menyikapi manakala mereka akan melakukan Peningkatan Nilai Tambah (PNT) mineral melalui IUP operasi produksi. Terkait dengan Pasal 6 di atas, dalam Pasal 7 dijelaskan bahwa: "Dalam hal WUP mineral bukan logam atau WUP batuan tumpang-tindih dengan WUP mineral logam atau WUP batubara, maka dalam WUP mineral bukan logam atau WUP batuan tidak berlaku ketentuan untuk mendapatkan hak prioritas atau hak keutamaan untuk mengusahakan mineral logam dan batubara dalam WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan'. Kondisi ini dapat menimbulkan konflik pada tataran operasional, terlebih pada tanggung
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
81
Mineral dan Batubara jawab pembangunan infrastruktur tambang dan tanggung jawab penggunaan infrastruktur pemerintah untuk kegiatan usaha pertambangan, karena para pemegang IUP akan saling melepaskan tanggung jawab. Pendelegasian dan usulan untuk penetapan terkait WUP diatur dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa: a. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan permohonan usulan penetapan WUP mineral logam atau WUP batubara yang tumpang-tindih dengan WUP mineral bukan logam atau WUP batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) kepada Menteri berdasarkan usulan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagai pemegang WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan. b. Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan dan/atau eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan data dan informasi hasil eksplorasi, studi kelayakan, dan/atau penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta usulan dari Gubernur atau Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disampaikan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dengan tembusan kepada Kepala Badan Geologi dan Kepala Pusat Data dan Informasi ESDM berikut ringkasan hasil data geosain dan peta. c. Tim penyiapan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dituangkan dalam Pasal 12 ayat (3) Permen ESDM nomor 12 Tahun 2011, beranggotakan wakil dari: 1) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara; 2) Badan Geologi; 3) Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral; 4) Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
82
5) Instansi terkait; dan 6) Pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota setempat. d. Sistem informasi WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan teknologi SIG yang bersifat universal. Mekanisme pelaporan hasil eksplorasi yang dilakukan tidak pernah berjalan sampai saat ini, terutama para pemegang KK/KP/PKP2B yang menerima ijin dari Kementerian ESDM. Hal ini mengakibatkan tidak cukup tersedia data dan informasi hasil eksplorasi ataupun evaluasi sumber daya mineral di tingkat daerah. Di samping itu, penguasaan atas teknologi SIG belum semua instansi teknis pertambangan di daearah memiliki tenaga operator SIG. Oleh karena itu, agar dapat meminimalkan kesenjangan antar daerah dalam hal penguasaan teknologi SIG, dan agar tercipta standardisasi penggunaan skala peta, maka ada baiknya bimbingan teknis lebih ditingkatkan dan penetapan pedoman penggunaan aplikasi teknologi SIG ditetapkan dalam Keputusan Menteri ESDM. Permohonan usulan penetapan WUP mineral logam atau WUP batubara yang tumpang-tindih dengan WUP mineral bukan logam atau WUP batuan yang diusulkan oleh gubernur atau bupati/ walikota dapat ditolak oleh Menteri berdasarkan Pasal 17 ayat (2) yang menyatakan bahwa Menteri dapat menolak penetapan WIUP mineral logam atau WIUP batubara yang diusulkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 berdasarkan evaluasi teknis dan ekonomi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal. Terkait dengan Pasal 17 di atas, Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) masih berpeluang memiliki posisi tawar terkait penetapanpenetapan WIUP yang dilakukan melalui Kementerian ESDM, melalui Pasal 19 dalam ayat (3) yang menyatakan bahwa: "Penetapan WIUP mineral logam atau WIUP batubara
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 yang tumpang-tindih dengan WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Gubernur dan Bupati/Walikota setempat". Sementara dalam ayat (4) dinyatakan bahwa : "Apabila dalam WIUP mineral logam atau WIUP batubara terdapat komoditas tambang mineral bukan logam atau komoditas tambang batuan yang diminati oleh badan usaha, koperasi, dan perseorangan, maka dapat ditetapkan WIUP mineral bukan logam dan/atau WIUP batuan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya setelah berkoordinasi dengan Menteri". Pada situasi ini daerah dapat mengambil peran dengan mendahulukan investor lokal untuk sama-sama berpeluang dengan investor yang berasal dari luar wilayahnya. Kondisi ini juga rentan terhadap rekayasa data dan dapat menyebabkan terbukanya praktek-praktek penyelewengan dalam proses pencadangan wilayah untuk WIUP yang diusulkan. Pasal 20 ayat (4) menggambarkan betapa monopoli investor skala besar sangat dominan dan memarjinalkan investor skala kecil dalam pelelangan WIUP. Hal ini tergambar dengan jelas di mana untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan badan usaha, koperasi, dan perseorangan wajib mengajukan permohonan wilayah kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam prosesnya, akses ke tingkat yang lebih tinggi hanya akan dimilki oleh investor-investor yang memiliki modal cukup. Dalam Pasal peralihan Permen ESDM No.12 Tahun 2011 ini, seharusnya telah dipersiapkan standar dan pedoman terkait bagaimana proses pencadangan wilayah berbasis teknologi sistem informasi akan ditetapkan, juga standardisasi skala peta yang akan digunakan, baik di tingkat kementarian maupun di tingkat daerah, sehingga tidak menimbulkan kasus tumpang-tindih IUP seperti yang selama ini terjadi. Hal ini perlu karena pemberlakuan Permen ESDM ini mencabut Kepmen
ESDM No.1603.K/40/MEM/2003 tentang Pedoman Pencadangan Wilayah Pertambangan yang selama ini merupakan alat kerja standar yang berlaku bagi pemrosesan penetapan WP. 4.3. Analisis Penetapan WUP Menurut Pasal 1 PP No.22 Tahun 2010, WUP adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. Wilayah ini yang kemudian akan berisi IUP dalam bentuk WIUP kepada pemilik. Mekanisme tata cara penetapan suatu WUP diatur melalui Permen ESDM No.12 Tahun 2011. Mengacu pada kriteria penetapan WUP mineral logam atau WUP batubara, suatu WUP harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki formasi batuan pembawa batubara dan/atau formasi batuan pembawa mineral logam, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral logam dan/atau batubara; c. memiliki potensi sumber daya mineral logam dan/atau batubara; d. memiliki satu atau lebih jenis mineral logam, termasuk mineral ikutannya dan/atau batubara; e. tidak tumpang-tindih dengan WPR dan/atau WPN; f. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan g. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Jika ditelaah secara seksama, kriteria penetapan WUP tersebut hanya sedikit lebih rinci jika dibandingkan dengan kriteria WP. Dari kriteria di atas, WUP dapat ditetapkan di wilayah lepas pantai sejauh secara geologi memilki formasi pembawa batuan, baik logam ataupun batubara, seberapa jauh wilayah yang disebut lepas pantai tidak dijelaskan, apakah mengacu pada UU No.32 Tahun 2004 atau menggunakan acauan
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
83
Mineral dan Batubara yang lain. Demikian halnya dalam butir kriteria memiliki potensi sumber daya mineral logam dan/atau batubara juga tidak dibatasi apakah potensi yang bersifat sumber daya tersebut terklasifikasi: hipotetik, tereka, tertunjuk, atau terukur. Hal ini menjadi penting jika dikaitkan dengan proses pelelangan WIUP yang ditentukan oleh potensi sumber daya yang jelas baik jumlah ataupun kualitasnya. Dalam kriteria tersebut juga disyaratkan bahwa suatu WUP tidak dapat bertumpang-tindih dengan WPN dan WPR. Kriteria ini dalam operasi penetapannya akan menghadapi kendala terutama pada saat pengembalian WIUPK dan harus melakukan "relinguisment" ketika sebuah IUPK akan meningkatkan kegiatannya dari eksplorasi menjadi operasi produksi atau operasi produksi khusus yang wilayah pengembaliannya akan menjadi WPN. Hal mana juga akan dialami manakala kabupaten/kota harus meng "enclave" suatu wilayah untuk kegiatan WPR. Seperti kita pahami dari kondisi lapangan yang ada, kegiatan pertambangan rakyat cenderung nomaden dan bergerak pada skala kelompok-kelompok mengikuti lapisan ataupun sebaran sumberdaya mineral dengan tidak mempertimbangkan aspek keformalan ruang (spatial) yang ada. Suatu WUP juga harus merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara berkelanjutan, kriteria ini jika harus diterapkan maka sebelum suatu potensi sumber daya mineral ditetapkan ke dalam sebuah WUP, maka sedikitnya harus dilakukan kajian keekonomian pada skala apapun, sehingga dapat diketahui dan diprediksi apakah jika diusahakan akan memberikan multiplier effect atau memberi manfaat ekonomi atau tidak. Artinya, kondisi ini memerlukan dana bagi penyusunan telaahan ekonomi sumber daya mineral dari potensi sumber daya mineral yang berada pada suatu wilayah tertentu. Pertanyaannya adalah, menjadi tanggung jawab dan kewajiban siapa hal itu harus dibebankan. Kriteria yang terkait ruang dari suatu penetapan WUP adalah bahwa WUP juga harus sesuai dengan peruntukan rencana tata ruang. Pada faktanya belum semua wilayah provinsi kabupaten/kota belum memiliki peruntukan
84
kegiatan pertambangan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah-nya. Dalam Pasal 3 perihal data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian atau ekplorasi yang dilakukan oleh: a. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; atau b. Penugasan yang dilakukan oleh lembaga riset negara atau lembaga riset daerah, ditemukan potensi sumber daya dan cadangan mineral atau batubara yang diminati oleh pasar pada WP di luar WUP yang telah ditetapkan, maka Menteri dapat menetapkan sebagai WUP baru. Bunyi pasal di atas mengisyaratkan betapa mudah pasal tersebut mengubah sebuah ketetapan peraturan, padahal WUP hanya dapat berubah/diubah minimal lima tahun sekali. Sementara terkait himpunan WIUP dalam suatu WUP khususnya mineral logam dan batubara serta radioaktif seperti yang tertuang pada Pasal 4, Pasal 6 seharusnya dilengkapi oleh pedoman teknis agar setiap investor dapat menyikapi manakala mereka akan melakukan peningkatan ijin usaha pertambangan operasi produksi melalui peningkatan nilai tambah (PNT). Lebih jauh jika menelaah Permen ESDM No.12 Tahun 2011 ini, maka nuansa sentralisasi sangat kental terutama dalam hal kewenangan penetapan suatu WUP. Peluang daerah untuk dapat memilki kewenangan menetapkan suatu WUP terbatas hanya untuk mineral bukan logam atau mineral batuan saja. Hal ini cukup dijelaskan dalam Pasal 17 ayat (4) yang menyatakan bahwa: "Apabila dalam WIUP mineral logam atau WIUP batubara terdapat komoditas tambang mineral bukan logam atau komoditas tambang batuan yang diminati oleh badan usaha, koperasi, dan perseorangan, maka dapat ditetapkan WIUP mineral bukan logam dan/atau WIUP batuan oleh Gubernur atau Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangannya setelah berkoordinasi dengan Menteri". Hal inipun belum menjadi harga mutlak karena Menteri dapat saja menolak usulan tersebut.
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
Mineral dan Batubara Selain nuansa sentralistik dalam birokrasi pertambangan yang tergambar melalui peraturan menteri ini, selain itu juga melahirkan tuntutan tindak lanjut yang harus segera diselesaikan oleh Kementerian ESDM, antara lain: – Penyusunan Pedoman/Petunjuk Teknis Penetapan WUP dengan mempertimbangkan tata ruang daerah dan memfasilitasi usulan tata ruang yang diusulkan oleh daerah; – Menetapkan Standarisasi penggunaan peta dasar dan standarisasi penggunaan teknologi sistem informasi geografi dalam pencadangan wilayah terkait penerbitan IUP; – Meningkatkan supervisi dan bimbingan teknis terkait pembinaan birokrasi pertambangan; – Membuka ruang bagi pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia sektor pertambangan melalui peningkatan diklat. 4.4. Keterkaitan Sektoral Dalam konteks lintas sektoral, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Permen Kehutanan No.P.18/ Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yang berarti mencabut Permen Kehutanan No.P-43/Menhut-II/2008. Peraturan ini menetapkan bahwa penambangan dengan pola pertambangan terbuka hanya dapat dilakukan di kawasan hutan produksi, sedangkan untuk kawasan hutan lindung, kegiatan penambangan yang dapat diijinkan adalah penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan syarat tidak melanggar ketentuan dan pembatasan yang diberikan. Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk tujuan komersial dapat dilakukan dengan kewajiban bagi penerima ijin untuk menyediakan kompensasi lahan atau membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP) dan/atau melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, yang
besarannya akan disesuaikan dengan posisi lahan yang dipinjam-pakaikan. Khusus untuk kegiatan pertambangan, permohonan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan harus diajukan oleh direksi perusahaan yang berkepentingan kepada Menteri Kehutanan, dengan berbagai persyaratan tertentu. Bila permohonan tersebut disetujui, maka Menteri Kehutanan akan menerbitkan surat persetujuan prinsip. Setelah seluruh kewajiban yang terkait dengan surat persetujuan prinsip tersebut dipenuhi, maka berdasarkan usulan Dirjen Planologi Kehutanan, Menteri Kehutanan akan menerbitkan ijin pinjam pakai kawasan hutan. Pemegang ijin pinjam pakai dilarang untuk mengalihkan ijin pinjam pakai tersebut kepada pihak lain atau melakukan perubahan nama tanpa terlebih dahulu mendapatkan ijin dari Menteri Kehutanan. Untuk dan atas nama Menteri Kehutanan, gubernur berwenang untuk melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemegang ijin prinsip dan ijin pinjam pakai. Wewenang ini selanjutnya akan dilaksanakan oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi, dengan melibatkan jajarannya dan Kepala Dinas Kehutanan dan Kepala Dinas ESDM di tingkat Kabupaten. Pada pelaksanaannya, pinjam pakai kawasan hutan dapat berbentuk: 1) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan yang bersifat nonkomersial pada Propinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daratan Propinsi, dengan kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan Rp.0,00 (nol rupiah). 2) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan yang bersifat non komersial pada Propinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daratan Propinsi, dengan kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan.
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
85
Mineral dan Batubara 3) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan yang bersifat non komersial pada Propinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daratan Propinsi, dengan kompensasi lahan bukan kawasan hutan.
Berbagai masalah yang terkait dengan WP beserta wilayah turunannya pada tataran implementasi dan tantangan ke depan yang harus disikapi dituangkan dalam matrik Pemetaan Masalah Implementasi RWP (RWUP, RWPN dan RWPR) pada Tabel 1.
Obyek pinjam pakai kawasan hutan dalam pelaksanaannya dibatasi dengan ketentuanketentuan seperti: – Kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan yaitu hanya produksi dan kawasan hutan lindung. – Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. – Penambangan terbuka di hutan lindung hanya berlaku bagi 13 izin sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. – Ketentuan dan tata cara pinjam pakai kawasan hutan untuk penambangan terbuka di hutan lindung diatur dalam peraturan.
5.
4.5. Otonomi Minerba
Pertambangan
Era
86
Dari hasil pembahasan dan kajian tentang analisis implementasi penetapan WUP dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a.
Implementasi Penetapan WUP dalam Peta RWP masih memerlukan penyempurnaan terkait dengan kordinasi pemanfaatan ruang di daerah dan fasilitasi kepentingan daerah yang mengandalkan sektor pertambangan sebagai kontributor PAD.
b.
Kentalnya nuansa sentralisasi kewenangan proses perijinan pertambangan yang tercermin melalui persetujuan Pusat cq. Ditjen Minerba, sementara tata cara bagi mekanisme pengembalian wilayah relinguisment IUP belum tersedia karena dengan terbitnya Permen ESDM No 12 Tahun 2011 mencabut Kepmen ESDM No.1603.K/40/MEM/2003 tentang Pedoman Pencadangan Wilayah Pertambangan yang selama ini merupakan alat kerja standar yang berlaku bagi pemrosesan penetapan WP.
c.
Terbatasnya pelaksana teknis di daerah yang menguasai dan memahami pengelolaan minerba dan teknologi informasi (SIG) seperti yang disyaratkan UU/PP/Permen sehingga akan berdampak dalam proses pelelangan WIUP seperti yang diamanatkan UU No.4 Tahun 2009.
6.
REKOMENDASI
UU
Kegiatan penetapan WUP, pada tataran implementasi tidak terlepas dari peran daerah sebagai pelaksana kebijakan pertambangan di daerah. Secara sederhana tuntutan tersebut dapat dirumuskan sebagai terwujudnya Otonomi pertambangan. Tanpa mengurangi roh UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka yang harus ditelaah adalah bagaimana PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dapat berjalan sesuai dengan semangat otonomi dan kekhasan daerah dalam memanfaatkan potensi sumber daya alamnya sebagai motor pembangunan daerah.
KESIMPULAN
Terkait kesimpulan di atas, beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan adalah: a. Meningkatkan fungsi supervisi melalui peningkatan frekuensi bimbingan teknis
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
ASPEK
REGULASI/ KEBIJAKAN
KEWENANGAN / OTONOMI PERTAMBANGAN
FAKTA LAPANGAN (SPATIAL)
Dinas ESDM di Daerah belum meningkatkan kualitas data potensi SDM pada skala yang bernilai ekonomi bagi penetapan WUP dan Pelelangan Wilayah
Nilai jual wilayah dalam proses pelelangan Wilayah menjadi rendah
Melahirkan resistensi Pengembalian wilayah dikotomi kewenangan (relinguisment) IUP eksplorasi Terjadinya tumpangatas ijin yang dikeluarkan tindih IUP pusat dan Pusat daerah Proses Pencadangan Banyak Raperda yang Wilayah harus memperoleh bermasalah persetujuan Pusat cq.Ditjen Minerba
Sentralisasi kewenangan proses perijinan pertambangan
Minimnya informasi sumber daya Minerba yang akurat di daerah sebagai dasar penetapan WUP Data laporan eksplorasi dari pemegang IUP tidak dilaporkan kepada Instansi teknis daerah Terbatasnya pelaksana teknis di daerah yang menguasai dan memahami pengelolaan SDM dan teknologi SIG
Proses penyusunan kebijakan publik di tingkat Kementerian ESDM sangat komplek, dibutuhkan tim yang komprehensif dan khusus serta intens dalam menyikapi dan menyiasati setiap bentuk kendala sehingga tidak menimbukan kelambatan yang berdampak kepada berhentinya mekanisme investasi sektor minerba.
In-efisiensi dan ekonomi biaya tinggi Menurunnya PAD sektor pertambangan di daerah
3(tiga)kali RDP dengan DPR 5 (lima) kali Rapat Rekonsiliasi dan kordinasi IUP di tingkat Kementerian UU 4/2009 mensyaratkan paling lama 1 (satu) tahun sejak UU berlaku Proses Clear N’Clean belum kunjung selesai
Kepmen ESDM tentang WP tidak kunjung selesai Permen ESDM No.12 Tahun 2011 sebagai turunan dari PP No.22 Tahun 2010 tidak diikuti oleh Pedoman Teknis Penetapan WUP sebagai obyek dari pemberian IUP Daerah terkendala dalam membuat Perda tentang Ijin Usaha Pertambangan
Rencana WP yang di dalamnya termasuk Rencana WUP ditetapkan Kementerian secara sepihak berdasar pada Peta Geologi dan Peta IUP yang ada.
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
ANALISIS
DAMPAK
INDIKATOR
DAFTAR INVENTARISASI MASALAH
Meningkatkan fungsi supervisi melalui peningkatan frekuensi bimbingan teknis pertambangan, khususnya yang terkait dengan aplikasi teknologi dan teori informasi kewilayahan (geospatial).
Assistensi penyusunan Perda Peningkatan frekuensi diseminasi kebijakan bidang pertambangan Penegakan hukum
Dalam pembuatan Kebijakan Publik hendaknya melibatkan Unit Litbang di lingkungan Kementerian ESDM sebagai tim penyusun kajian akademis sehingga hasilnya lebih mendekati subyek yang ingin dicapai.
REKOMENDASI
Tabel 1. Pemetaan masalah implementasi rencana Wilayah Pertambangan (RWUP, RWPN dan RWPR)
Mineral dan Batubara
Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S
87
Mineral dan Batubara pertambangan, khususnya yang terkait dengan aplikasi teknologi dan teori informasi kewilayahan (geospatial). b. Perlu disusun standar baku terkait penggunaan peta wilayah dengan mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospatial guna meminimalkan tingkat kesalahan yang mengakibatkan IUP menjadi tidak clear and clean. c. Perlu dikembangkan aplikasi otomatisasi sistem perijinan yang paperless untuk menghindarkan praktek-praktek percaloan dalam pengurusan perijinan pertambangan dan menjamin akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik. d. Perlunya pengembangan sumber daya manusia aparatur Dinas ESDM di daerah melalui fungsi regionalisasi pendidikan dan latihan pertambangan untuk meminimalkan anggaran dan meningkatkan output aparatur dinas ESDM yang terlatih. e. Peningkatan frekuensi diseminasi kebijakan pertambangan guna menciptakan peningkatan kualitas penyusunan PERDA bidang pertambangan ke arah yang lebih implementatif.
6.
DAFTAR PUSTAKA
__________, 2008, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia). __________, 2007, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
88
Tahun 2007Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). __________, 2009, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959). __________, 2009, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); __________, 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934). __________,2007, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). __________, 2007, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu 2007 Nomor 89). __________, 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833). __________, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103).
M&E, Vol. 10, No. 3, September 2012
Mineral dan Batubara __________, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110). __________, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111). __________,"Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan" __________, 2011, Peraturan Menteri Kehutanan nomor : P.18/MENHUT-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. __________, 2011, Peraturan Menteri ESDM nomor 12 Tahun 2011" tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan Dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan MINERBA.
__________, 2002, MapInfo MapBasic Developmenti Environment User's Guide Version 6.5, MapInfo Corp. Troy, New York, USA. Aronoff, S., 1989, Geographic Informasion Systems : A management perspective, WDL Publicationt, Ottawa, Canada. Budiraharja, Ir, M.Sc. 2005, User's Guide Pencadangan Wilayah Pertambangan, Puslitbang Teknologi Mineral, Bandung. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia, September 2000, Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pertambangan Umum. Map Info Corporation Troy, New York, 1992-1998, Map Info Professional. Nuarsa I Wayan, 2004, Mengolah Data Spasial dengan MapInfo Profesional, Andi, Yoyakarta. Prahasta Eddy, 2005, Aplikasi Pemogramam MapInfo, Penerbit Informatika, Bandung. Widodo Joko, 2009, Analisis Kebijakan Publik, Bayumedia Publishing, Malang
89 Analisis Implementasi Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan; Nugroho Wahyu W, Nana S, Ijang S