Topik Utama PENYUSUNAN KRITERIA PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN Nugroho Wahyu Wibowo dan Tendi Rustendi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
[email protected] SARI Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) pada dasarnya merupakan kegiatan kajian yang bersifat analisis kebijakan publik atas suatu produk kebijakan yang terkait dengan lahirnya era baru di sektor pertambangan melalui UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kondisi ini menegaskan bahwa pengaturan kebijakan pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral, sangat pelik karena terkait dengan berbagai kepentingan sektor lain. Pengaturan tentang WP yang tertuang dalam PP No.22 Tahun 2010, secara substantif merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 12, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 89 Undang-Undang No.4 Tahun 2009. Dalam UU ini, hal yang terkait dengan kriteria penetapan WP tidak cukup dijelaskan, sementara dalam Pasal 2 PP No.22 Tahun 2010, WP dijelaskan sebagai kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau laut untuk kegiatan pertambangan. Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP memiliki kriteria adanya: indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair. Penetapan WP sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 PP No.22 Tahun 2010, dalam pelaksanaannya di daerah telah mengundang reaksi dari sektor pengguna ruang lain karena terkesan WP merupakan wilayah yang tidak dapat diganggu gugat dan tertutup bagi kepentingan penggunaan peruntukan lahan lainnya. Sementara kriteria yang ditetapkan untuk suatu Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dalam penerapan di lapangan akan berbenturan dengan PP No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan kompilasi dari Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Provinsi seluruh Indonesia yang hingga saat ini masih dalam penyelesaian di tingkat Kementerian Dalam Negeri. Lebih jauh jika penetapan WP dikaitkan dengan PP No.24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, yang dalam beberapa pasal mengatur tentang kegiatan usaha pertambangan, baik pada kawasan hutan produksi ataupun kawasan hutan lindung, maka seharusnya kriteria penetapan suatu WP perlu diadendum atau setidaknya pada tingkat operasionalnya disusun peraturan setingkat Menteri yang berisi pedoman teknis terkait bagaimana dalam suatu WP harus dikelola sebelum proses perijinan WIUP, WIPR, WIUPK akan diterbitkan. Kajian ini menawarkan masukan bagi penyempurnaan atau usulan teknis bagi penyusunan peraturan setingkat Menteri melalui pendekatan yang berbasis teori kewilayahan, dengan memanfaatkan konsep Satuan Genetika Wilayah (Genetic Terrain Unit) sebagai alat pengolah berbagai sektor yang terkait dengan penggunaan ruang (spatial), sehingga dapat dikaji sebagai sebuah entitas sistem wilayah yang saling terkait. Diharapkan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat kuantitatif penetapan kriteria-kriteria terhadap suatu WP dapat lebih rasional dan dapat dijelaskan argumentasinya. Kata kunci : wilayah pertambangan (WP), KP, IUP, WIUP, Satuan Genetika Wilayah, otonomi pertambangan
80
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama 1. PENDAHULUAN Mineral dan batubara yang terkandung dalam Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara Indonesia, keterdapatannya memiliki sifat yang tidak terbarukan, tersebar tidak merata, terbentuk jutaan tahun yang lalu, keberadaannya tidak kasat mata, serta keterdapatannya alamiah dan tidak dapat dipindahkan. Selain mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, pertambangan mineral dan batubara (minerba) juga dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan, memiliki resiko dan biaya tinggi dalam eksplorasi dan operasi produksinya, nilai keekonomiannya dapat berubah dengan berubahnya waktu dan teknologi. Oleh karena itu dalam menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) harus mempertimbangkan keterpaduan, pemanfaatan ruang dalam kerangka NKRI, yang berkesinambungan berdasarkan daya dukung lingkungan. Pemanfaatan sumber daya minerba memiliki kedudukan yang sama dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan dalam tata ruang, sehingga harus dikelola secara bijaksana untuk memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat 2. PEMBAHASAN 2.1. Kondisi Wilayah Pertambangan Pasca Undang-undang MINERBA Diberlakukannya UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara selanjutnya disebut UU Minerba, telah dinanti oleh banyak pihak, khususnya para pemangku kepentingan (stake holders) sektor pertambangan minerba. Namun demikian, ternyata UU Minerba ini belum benar-benar dapat diimplementasikan secara optimal di lapangan. Hal yang secara langsung terkait dengan kajian ini adalah menyangkut masalah Kuasa Pertambangan (KP) yang terkait secara langsung terhadap Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP), yang merupakan bagian dari suatu Wilayah Pertambangan (WP).
Hal tersebut bukan tidak disadari oleh Kementerian ESDM cq. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) yang menerbitkan Surat Edaran Nomor: 03.E/31/DJB/ 2009 perihal Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksananaan UU No.4 Tahun 2009. Isi Surat Edaran itu menegaskan, KP tetap berlaku hingga berakhir jangka waktunya dan KP yang sudah diterbitkan harus disesuaikan menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) paling lambat 1 tahun sejak berlakunya UU Minerba. Surat Edaran Dirjen Minerba ini kemudian diikuti lagi oleh surat kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, bernomor: 1053/30/DJB/2009 yang memberikan format IUP terkait perubahan KP menjadi IUP untuk memberikan kepastian terkait dengan penetapan WP di daerah. Dampak yang diakibatkan dari kedua surat Dirjen Minerba tersebut bagi daerah antara lain: a. Banyak pemohon KP atau IUP yang sedang dalam proses dan belum diterbitkan IUP-nya melakukan protes dan merasa dirugikan karena bagi mereka tidak diberikan pengecualian. b. Surat Edaran yang bersifat himbauan tersebut dianggap tidak mengikat bagi para regulator pertambangan di daerah (para Kepala Daerah), sehingga banyak terjadi upaya manipulasi proses dengan memundurkan jauh ke belakang waktu pengajuan IUP oleh para pemohon. c. Penyesuaian KP menjadi IUP seperti yang dimaksud oleh Surat Edaran tersebut dibatasi oleh waktu akhir per tanggal 30 April 2010 harus sudah diterima oleh Ditjen Minerba dalam bentuk digital berformat MapInfo. Hal ini menyulitkan daerah, sehingga hasilnya tidak maksimal. d. Akibat pemahaman yang keliru tentang WUP dan WP dalam peta yang disampaikan ke Ditjen Minerba, banyak WP yang di dalamnya dirancukan oleh WPR, atau bahkan banyak IUP (SIPD) yang tidak dimasukkan sebagai WUP (penggelapan wilayah).
Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertembangan ; Nugroho Wahyu Wibowo, Tendi R.
81
Topik Utama Hal penting lain yang ditemukan di daerah terkait WP pascapenerapan UU Minerba adalah belum berjalannya Kepmen ESDM No.1603.K/40/MEM/ 2003 tentang Pedoman Pencadangan Wilayah Pertambangan. Kondisi ini terkait penciutan wilayah (relinguisment) yang harus dilakukan oleh para pemegang KP/IUP Eksplorasi manakala akan mengajukan peningkatan kegiatan menjadi IUP Produksi. Banyak perusahaan tidak menyerahkan data eksplorasinya pada saat melakukan proses pengajuan KP/IUP Operasi Produksi seperti yang disyaratkan Pasal 23 PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Alasan perusahaan untuk tidak menyerahkan data eksplorasi dikarenakan anggapan bahwa mereka telah mengeluarkan biaya pada saat kegiatan eksplorasi dilakukan. Bagi Pemerintah, dengan tidak diperolehnya data dari wilayah yang dikembalikan akan mempengaruhi dalam proses pelelangan wilayah ke depan. Dalam menyelenggarakan pelelangan wilayah usaha pertambangan, Pemerintah setidaknya harus memetakan wilayah dan memberikan data potensi sumber daya mineral sebagai informasi lelang kepada peminat/peserta lelang. Kondisi ini menuntut Pemerintah bekerja kerja keras untuk melakukan pemetaan potensi sumber daya mineral pada wilayah-wilayah pertambangan, untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang. Substansi dari pelelangan wilayah usaha pertambangan pada intinya bertujuan untuk meningkatkan nilai jual wilayah dan sekaligus mengantisipasi timbulnya masalah tumpang-tindih lahan, baik antarwilayah IUP mineral logam, IUP mineral batuan maupun IUP batubara. 2.2. Otonomi Pertambangan Dalam pelaksanaannya, penerapan PP No.22 Tahun 2010 tidak terlepas dari keterkaitan dengan peraturan perundangan tentang pelaksanaan pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.
82
Semangat dari Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah pada hakekatnya adalah pemberian otonomi untuk membangun kemandirian daerah sesuai dengan karakter dan kekhasannya. Dalam pelaksanaan PP No.22 tahun 2010, Pemerintah pusat terkesan memonopoli pemberian WUP dengan membatasi kewenangan daerah yang hanya berwenang memberikan ijin WUP untuk mineral bukan logam dan batuan saja, tetapi tetap penetapannya dilakukan oleh Menteri. Hal ini seperti tertuang dalam Pasal 16, ayat (2) yang berbunyi, WUP dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c ditetapkan oleh Menteri. Sementara dalam ayat (4) berbunyi, Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP untuk pertambangan mineral bukan logam dan WUP untuk pertambangan batuan yang berada pada lintas Kabupaten/ Kota dan dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi kepada Gubernur. Setelah memperoleh persetujuan di daerah, dalam Pasal 19, ayat (1) dinyatakan bahwa WUP ditetapkan oleh Menteri. Ketidakefisienan ini banyak dikeluhkan oleh aparatur pertambangan di daerah dan memberi kesan Pemerintah (pusat) mengendalikan urusan rumah tangga daerah, sementara bagi calon investor pertambangan menjadikan proses perijinan memakan biaya tinggi. Demikian halnya dengan penetapan dan perijinan untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagaimana tersurat pada Pasal 26 ayat (1) yang memuat kewenangan Bupati/Walikota untuk menetapkan suatu wilayah dalam WP sebagai WPR. Sementara dalam ayat (2) banyak butir kriteria dari ayat tersebut yang tidak operasional sehingga menyulitkan untuk ditetapkan sebagai WPR, seperti pada butir a mengenai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai. Hal ini akan bertentangan dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.458 Tahun 1986, tentang Ketentuan Pengamanan Sungai Dalam Hubungan Dengan Penambangan Bahan Galian.
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama Dalam butir d dinyatakan bahwa luas maksimal WPR sebesar 25 hektare, butir ini berpotensi mengakibatkan kerusakan lahan yang cukup luas karena kegiatan pertambangan rakyat tidak memiliki jaminan reklamasi yang dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan bekas tambang. Sementara pada butir e berbunyi, WPR merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun. Kurun waktu 15 tahun yang disyaratkan bagi aktivitas pertambangan rakyat terlalu panjang karena pada umumnya kegiatan tambang rakyat berjalan seiring dengan penemuan lokasi ataupun singkapan yang baru. Dalam butir f tersurat tidak tumpang-tindih dengan WUP dan WPN, hal ini sulit bagi pendelineasian kawasan karena tambang rakyat yang identi dengan tambang tanpa ijin justru berada pada wilayahwilayah kerja aktif ataupun yang telah selesai di tambang oleh pemilik IUP. Lebih jauh terkait dengan kewenangan yang bersifat otonom adalah dalam hal penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN), seperti yang tersurat dalam Pasal 28: Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c setelah mendapatkan persetujuan DPR. Kewenangan penetapan WPN ini lebih terkesan sangat sentralistik, sarat kepentingan kelompok/ politis, juga membuka ruang bagi lahirnya KKN, kriteria penetapannya multitafsir, serta mengundang perdebatan dan penafsiran yang berbeda, terlebih dengan mengaitkan terhadap luas pulau kecil dengan luas maksimum 2.000 km2. Dengan persetujuan DPR dan untuk atas nama negara, maka sangat dimungkinkan terjadinya penguasaan atas suatu wilayah pulau oleh badan usaha ataupun kelompok yang sangat bertentangan dengan asas otonomi dimana gugusan pulau-pulau yang berada di batas 12 mil menjadi kewenangan pemerintah Provinsi untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya. UU Minerba dengan turunan PP-nya belum mengakomodir keberadaan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Bagi beberapa daerah dengan kekhususan seperti Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Papua, dimana peran Pemerintah Provinsi sangat dominan, adanya kewenangan yang melekat pada pemerintah Kabupaten/Kota telah melahirkan konflik birokrasi dan hilangnya azas subordinasi yang seharusnya menjadi azas dalam melakukan kordinasi, atau bahkan ketidakpatuhan terhadap kewenangan provinsi. Kondisi ini dapat sangat dipahami karena kelemahan dari PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sebagai turunan dari UU Otonomi Khusus tidak mengatur secara jelas kewenangan tersebut sehingga berdampak pula terhadap mekanisme birokrasi di sektor pertambangan. Seperti yang tersurat dalam Pasal 19 PP No.38 tahun 2007 tersurat dalam ayat (1) bahwa, khusus untuk Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota sebagaimana tertuang dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini secara otomatis menjadi kewenangan Provinsi. Sementara dalam ayat (2) disebutkan bahwa urusan pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berpedoman pada peraturan perundangundangan yang mengatur otonomi khusus daerah yang bersangkutan. Masalah yang dihadapi adalah hingga saat ini peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum ada. 2.3. Keterkaitan Sektoral Penetapan WP dalam pelaksanaannya juga dipengaruhi oleh keterkaitan sektoral yang sangat dominan mempengaruhi berfungsinya suatu WP yang akan menjadi induk bagi semua kegiatan pertambangan yang terkait dengan penggunaan ruang/lahan (spatial). Isu-isu yang terkait hubungan antara sektor lingkungan hidup, sektor kehutanan, dan sektor pertambangan merupakan entitas sistem yang terkait masalah keseimbangan, kesinambungan, dan kebutuhan akan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam.
Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertembangan ; Nugroho Wahyu Wibowo, Tendi R.
83
Topik Utama Sektor yang berpengaruh dalam penerapan suatu WP adalah sektor kehutanan. Data resmi paling akhir yang tersedia, luas hutan Indonesia (peruntukannya berdasarkan Surat Keputusan Menhut, bulan Juni 1999 - Maret 2001) diperkirakan kurang lebih 104,9 juta ha. Tetapi berdasarkan tutupan citra satelit Landsat ETM7 tahun 2000, luas lahan yang masih tertutup hutan hanya sekitar 93.557.000 ha. Perbedaan luas wilayah hutan tersebut dapat dipahami karena pada satu sisi luas hutan dihitung berdasarkan penjumlahan atas laporan yang berjenjang dari tingkat Kabupaten/Kota hingga ke tingkat Kementerian, sementara pada sisi yang lain luasan dihitung melalui interpretasi citra satelit. Kedua pendekatan tersebut memiliki maknanya sendiri-sendiri. Yang harus dipertimbangkan dari sektor kehutanan adalah fakta bahwa fungsi kawasan hutan tidak saja menempati kawasan hutan yang berada di daratan, tetapi juga kawasan perairan khususnya pada kawasan lindung mangrove yang umumnya berada pada kawasan pesisir. Terkait dengan penetapan WP, dalam Pasal 35 Ayat (1) PP No.22 Tahun 2010, peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat di-delineasi menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi. Dan pada ayat (2), delineasi zonasi dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung. Implementasi pasal ini memberi peluang dilakukannya kegiatan penambangan pada kawasan lindung sejauh hasil kajian kelayakannya mendukung. Pasal 35 ayat (2) ini akan menjadi pasal yang rentan terhadap penyimpangan manakala proses pembahasan kelayakan diajukan sebagai salah syarat yang harus dipenuhi. Hal ini akan menghambat kegiatan pertambangan apabila perijinannya diterbitkan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dapat memenuhi prasyarat kelayakan lingkungan yang ada.
84
2.4. Wilayah Pertambangan Indonesia Rencana Wilayah pertambangan (RWP) Indonesia saat ini telah sampai pada proses memperoleh rekomendasi DPR sebelum kemudian ditetapkan oleh Pemerintah. Secara kronologis, RWP disusun sebagai hasil dari surat kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia bernomor Surat Dirjen Minerbapabum No.1099/30/DJB/2010 perihal Penyesuaian KP menjadi IUP. Surat yang memberi batasan akhir kepada Gubernur, Bupati dan Walikota se Indonesia, per tanggal 31 Mei 2010 untuk segera menyerahkan peta penyesuaian izin KP menjadi IUP dalam bentuk digital berformat MapInfo. Gabungan peta-peta perubahan KP menjadi IUP inilah yang menjadi cikal bakal disusunnya peta RWP Indonesia. Batasan dan kriteria tentang WP seperti yang dikehendaki oleh PP No.22 Tahun 2010 seharusnya seperti yang tersurat pada Pasal 2, dimana pada ayat (1) dijelaskan bahwa WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan. Dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria adanya: – indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/ atau pembawa batubara; dan/atau – potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair. Peta Rencana WP yang telah disusun seharusnya juga konsisten menggunakan batasan dan kriteria seperti yang tertuang pada Pasal 2 PP No.22 Tahun 2010 tersebut, namun karena keterbatasan, baik waktu dan sumber daya manusia di tingkat Dinas Pertambangan dan Energi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota serta pemahaman yang tidak seragam, mengakibatkan peta RWP yang dihasilkan belum seperti yang diharapkan.
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama Ketidaksempurnaan tersebut sangat mendasar jika dikaitkan dengan pengertian dari pasal-pasal yang tersurat dalam PP No.22 Tahun 2010, seperti misalnya banyaknya penghilangan IUP yang semula berbentuk SIPD sebagai WIUP, atau dimasukannya WPR di dalam WUP, hal mana yang menurut PP No.22 Tahun 2010 seharusnya dipisahkan. Batasan dan kriteria WP menurut Pasal 2 PP No.22 Tahun 2010 memang bermakna sangat luas, dan jika dituangkan dalam bentuk peta akan meliputi seluruh wilayah NKRI. Hal ini disebabkan karena hampir di seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut. Gambaran dari Delineasi Wilayah Pertambangan (WP) Indonesia pada saat ini seperti terlihat pada Gambar 1. 2.5. Simulasi Penetapan WP Simulasi penetapan WP merupakan sebuah teknik aplikasi teknologi Sistem Informasi
Geografi dalam mengolah data spatial untuk memperoleh penetapan WP yang paling kompromistis dan dapat dioperasionalkan di lapangan dalam proses pelelangan WUP. Teknik yang digunakan adalah operasi boolean dengan memotong (erase), menyangga (buffer), memisahkan (split) satuan-satuan peruntukan lahan dari masing-masing layer sesuai dengan batasan kriteria yang digunakan. Simulasi penetapan wilayah pertambangan dilakukan untuk menguji penerapan model yang akan menguatkan penentuan kriteria terbaik yang dapat diaplikasikan dan sekaligus menyempurnakan penetapan RWP yang telah disusun sebelumnya. Proses ini memerlukan bahan kerja layer-layer peta digital berskala 1 : 250.000 berupa: – Peta Dasar Indonesia – Peta Kawasan Hutan Indonesia – Peta Kawasan Lindung – Peta Wilayah Usaha Pertambangan Eksisting.
Gambar 1. Peta Wilayah Pertambangan Indonesia
Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertembangan ; Nugroho Wahyu Wibowo, Tendi R.
85
Topik Utama Langkah pertama adalah menumpang susunkan (overlay) layer-layer tersebut diatas sebagai suatu bagian proses. Berikutnya menetapkan kawasan lindung sebagai parameter pembatas dengan asumsi tidak ada kegiatan pertam-bangan pada kawasan lindung ini berarti sesuai dengan butir b Ayat (1) Pasal 5 PP No.24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Operasi boleaan yang dilakukan adalah mengiris peta kawasan hutan Indonesia dengan peta kawasan lindung. Hasil dari proses ini peta turunan dari peta Kawasan Hutan yang telah dikurangi oleh kawasan lindung. Proses berikutnya adalah mengkompilasi seluruh wilayah IUP yang telah diterbitkan hingga saat ini dalam satuan regionregion dari seluruh wilayah IUP se-Indonesia. Hasil kompilasi ini kemudian ditumpangsusunkan terhadap peta turunan kawasan hutan yang telah dikurangi oleh kawasan lindung. Proses selanjutnya adalah memotongkan peta kompilasi WUP terhadap peta turunan kawasan hutan yang telah dikurangi oleh kawasan lindung. Hasil dari proses tersebut adalah Peta Usulan WP seperti yang terlihat pada Gambar 2.
2.6. Perumusan Kriteria WP Penyusunan kriteria WP dilakukan melalui analisis perbandingan dari peraturan perundangan yang terkait langsung dengan ruang bagi kegiatan pertambangan. Peraturan perundangan tersebut adalah: – Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN – Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan – Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Hal-hal yang belum terakomodasi di dalam PP di atas merupakan bagian dari penyempurnaan kriteria yang ada. Seperti halnya pada kawasan perkotaan, instalasi strategis dan vital serta kawasan militer. Seperti diketahui bahwa sistem wilayah merupakan pendekatan teori yang paling rasional untuk menyusun penetapan suatu kawasan. Sistem wilayah pada dasarnya merupakan entitas dari Satuan Genetika Wilayah yang meliputi:
Gambar 2. Peta Usulan Wilayah Pertambangan
86
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Keekonomian Bahan Galian Kewilayahan dan Infrastruktur (Tata Ruang) Stabilitas Fisik Wilayah (spatial) Kebencanaan/Ancaman Resiko Dampak Lingkungan Reklamasi dan Pasca Tambang Kebijakan Sosial (sosial, ekonomi, budaya dan hukum).
Dengan melihat faktor akseptabiltas dan keterkaiatan yang paling dominan dalam menetapkan kriteria WP, maka tidak semua faktor genetika wilayah digunakan sebagai alat analisis. Dengan pertimbangan di atas, maka faktor-faktor yang digunakan hanya dua parameter, yaitu Keekonomian Bahan Galian dan Kebijakan Hukum. Matrik scoring dari Faktor Genetika Wilayah tersebut seperti terlihat pada Tabel 1. Dari hasil perbandingan analisa bobot terhadap kriteria penetapan WP diperoleh usulan untuk menyempurnakan kriteria yang ada seperti terlihat pada Tabel 2. Sementara kriteria yang bersifat teknis diatur dalam tata cara penyusunan WUP, WPR, dan WPN.
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 3.1. Kesimpulan Dari hasil pembahasan dan kajian tentang penyusunan kriteria penetapan wilayah pertambangan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. PP No.22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan sebagai salah satu perangkat pelaksana dari UU No.4 Tahun 2009, di dalam implementasinya belum dapat berfungsi secara optimal. Hal ini terkait dengan masalah-masalah: 1) Kurangnya sosialisasi bagi daerah khususnya pemerintah Kabupaten/Kota sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda di antara para regulator pertambangan di daerah; 2) Belum tersedianya standar yang dapat dijadikan acuan oleh pemerintah daerah dalam mengkonversi perijinan format lama ke dalam Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP); 3) Terbatasnya sumber daya manusia di daerah yang bertugas mengelola data wilayah khususnya dalam mengaplikasi teknologi Sistem Informasi Geografi.
Tabel 1. Scoring faktor genetika wilayah dalam penyusunan kriteria WP NO 1.
Faktor Genetika Wilayah Keekonomian Bahan Galian : Mineral Batubara Radioaktif
2.
Kebijakan Hukum : Tata Ruang
Sub Faktor
Logam Non logam Batuan. Batubara. Radioaktif
Kawasan Konservasi Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain (APL)
Score
Keterangan
3 3 3 3 3
Klasifikasi berdasar pada Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang MINERBA
0 1 3
Kawasan Konservasi terdiri dari : Hutan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Hutan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam;
Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertembangan ; Nugroho Wahyu Wibowo, Tendi R.
87
Topik Utama Tabel 2. Daftar isian masalah perbandingan kriteria WP PP NOMOR 26 TAHUN 2008 RTRWN Pasal 68 Ayat (3) Kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan.
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2010 PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
PP NOMOR 22 TAHUN 2010 WILAYAH PERTAMBANGAN Pasal 5
a. Memiliki indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan (1) WP merupakan kawasan pembawa batubara; dan/atau pertambangan sebagaimana dimaksud dalam yang memiliki potensi b. Memiliki potensi sumber daya Pasal 4 ayat (2) huruf b mineral dan/atau batubara, bahan tambang yang berwujud dilakukan dengan ketentuan: baik di permukaan tanah padat dan/atau cair. a. dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan maupun di bawah tanah, c. Tidak berada pada kawasan Hutan penambangan dengan pola pertambangan yang berada dalam wilayah terbuka,dan penambangan dengan pola Konservasi yang terdiri : daratan atau wilayah laut pertambangan bawah tanah 1. Hutan Suaka Alam terdiri dari b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat untuk kegiatan Cagar Alam dan Suaka dilakukan penambangan dengan pola Margasatwa; pertambangan. pertambangan bawah tanah dengan ketentuan 2. Hutan Pelestarian Alam terdiri (2) Wilayah yang dapat dilarang mengakibatkan, turunya permukaan dari Taman Nasional, Taman ditetapkan sebagai WP tanah; berubahnya fungsi pokok kawasan Hutan Raya dan Taman sebagaimana dimaksud hutan secara permanen; dan terjadinya Wisata Alam; pada ayat (1) memiliki kerusakan akuiver air tanah. d. Tidak berada pada kawasan (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan kriteria adanya: perkotaan dan instalasi strategis bawah tanah pada hutan lindung diatur dengan a. indikasi formasi batuan dan militer; Peraturan Presiden. pembawa mineral dan/ e. Kriteria yang bersifat teknis diatur atau pembawa batubara; dalam tata cara penyusunan dan/atau Wilayah Usaha Pertambangan, b. potensi sumber daya Wilayah Pertambangan Rakyat bahan tambang yang dan Wilayah Pencadangan berwujud padat dan/atau Negara; cair. Pasal 2
b. Kriteria terkait penetapan Wilayah Pertambangan yang tertuang di dalam PP No.22 Tahun 2010 berpotensi melahirkan birokrasi berjenjang dan panjang, serta menghapus sebagian kewenangan daerah dalam menjalankan daerah otonomnya.
dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESD M tentang Tata Cara dan Kriteria Teknis Penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
c. PP No.22 Tahun 2010 belum mempertimbangkan implementasi dari peraturan tersebut pada Provinsi-Provinsi yang memiliki kekhususan (otonomi khusus).
b. Menyelenggarakan, mengintensifkan sosialisasi dan bimbingan teknis non-diklat bagi aparatur Dinas Pertambangan dan Energi pada tingkat Kabupaten/ Kota agar dapat menjadi penggerak percepatan implementasi era baru birokrasi pertambangan.
3.2. Rekomendasi Beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan di antaranya: a. Penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan yang terkait dengan kriteria penetapan Wilayah Pertambangan dapat
88
KRITERIA YANG DIUSULKAN
c. Mengkoordinasikan penetapan WP dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementarian Pekerjaan Umum dalam pengelolaan Struktur Ruang Wilayah dalam RUTR
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama DAFTAR PUSTAKA __________, 2008, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia). __________, 2007, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); __________, 2009, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959). __________, 2009, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia T.ahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). __________, 2007, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934). __________, 2007, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
__________, 2007, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu 2007 Nomor 89). __________, 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833). __________, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103). __________, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110). __________, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111). __________, 2010, Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. __________, 2011, Peraturan Menteri Kehutanan nomor : P.18/MENHUT-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. __________, 2011, Peraturan Menteri ESDM nomor 12 Tahun 2011" tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan MINERBA. __________, 2002, MapInfo MapBasic Developmenti Environment User's Guide Version 6.5, MapInfo Corp. Troy, New York, USA, 2002.
Penyusunan Kriteria Penetapan Wilayah Pertembangan ; Nugroho Wahyu Wibowo, Tendi R.
89