i
PENYUSUNAN KRITERIA KESESUAIAN DAN KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN DAM PARIT TERHADAP KONDISI HIDROLOGIS DAS CILIWUNG HULU
SAWIYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penyusunan Kriteria Kesesuaian dan Kajian Dampak Pengembangan Dam Parit terhadap Kondisi Hidrologis DAS Ciliwung Hulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2013
Sawiyo NIM P052100271
iv
RINGKASAN Penyusunan Kriteria Kesesuaian dan Kajian Dampak Pengembangan Dam Parit terhadap Kondisi Hidrologis DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh M. YANUAR J. PURWANTO dan BUDI KARTIWA. Channel reservoir is constructed to store and distribute water to the irrigated Dam parit dibangun untuk menahan, menampung hujan dan aliran permukaan kemudian mendistribusikannya ke areal target. Penelitian ini bertujuan untuk: a) melakukan karakterisasi kualitas parameter model pengembangan dam parit, b) menyusun desain kriteria kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit secara individu dalam kawasan DAS mikro, c) melakukan analisis hidrologi untuk penentuan kapasitas tampung, jumlah dan sebaran dam parit skala DAS, dan d) melakukan analisis dampak pengembangan dam parit terhadap aspek hidrologi, produktivitas lahan dan pendapatan petani. Secara geologi Sub DAS Cibogo didominasi oleh batuan volkan hasil erupsi G. Gede-Pangrango. Secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam volkan berlapis, dengan bentuk wilayah dominan adalah berbukit memanjang. Penggunaan lahan terdiri dari sawah, pemukiman, kebun campuran, lahan kering, kebun teh, semak, hutan pinus dan hutan campuran. Tanahnya diklasifikasikan ke dalam grup tanah Udhorthents, Hapludands, Eutrudepts, Dystrudepts, and Flufaquents. Secara hidrologi sub DAS Cibogo mempunyai jaringan sungai sampai orde 3, dengan pola drainase sejajar terdiri dari 4 cabang sungai yaitu Cibogo, Cipanggulaan, Cisuren dan Cihanjawar. Dari ke 4 cabang sungai tersebut telah dibangun 30 unit dam parit dengan penyebaran 10 unit di anak sungai Cibogo, 1 unit di Cipanggulaan, 7 units di Cisuren dan 12 units di anak sungai Cihanjawar. Kesesuaian posisi dan dimensi dam parit individual disusun berdasarkan proses paduserasi (matching) antara kualitas/ karakteristik dengan kriteria parameter penentunya. Posisi dam parit ditentukan oleh 6 parameter yaitu: a) ketersediaan air, b) stabilitas bangunan, c) aksesibilitas, d) distribusi air, e) pemanfaatan air, dan f) kondisi sosial masyarakat. Sementara dimensi dam parit ditentukan oleh 3 parameter yaitu: a) penampang sungai, b) dimensi saluran irigasi, dan c) luas areal target. Untuk mempermudah proses evaluasi tingkat kesesuaian posisi, dimensi dan menentukan jenis faktor penghambatnya, dibangun perangkat lunak DSS yang diberi nama Expert System for The Position and Dimensions Suitability of The Individual Channel Reservoir Development (ESPADS-ICRD). Dampak pengembangan dam parit individual di DAS mikro dapat menurunkan volume debit pucak antara 13,2% - 48,5%, meningkatkan produktivitas lahan dari IP 1,5 – 2,0 menjadi 3,0 dan petani memperoleh keuntungan Rp 16,9 juta/ha/tahun. Dalam Skala DAS Ciliwung Hulu, pada debit periode ulang 50 tahunan diketahui bahwa hujan yang dipanen adalah 68 mm, setara dengan debit 23,4 m3/dt dengan volume total 10.591.593 m3, diperlukan bangunan dam parit + 663 unit yang penyebaran pada jalur sungai orde 2, 3, dan 4. Kata kunci: banjir, kekeringan, dam parit, model kesesuaian, Ciliwung, kriteria parameter, Cibogo, DAS Ciliwung Hulu.
v
SUMMARY SAWIYO. Development of Suitability Criteria and Hydrological Conditions Impact Assessment of Channel Reservoir in Upper Ciliwung Watershed. Under direction of M.YANUAR J. PURWANTO AND BUDI KARTIWA. Channel reservoir is constructed to store and distribute water to the irrigated target area. The objectives were: a) characterize the parameters quality of the channel reservoir development, b) created design criteria for the suitability of the position and dimensions of individual channel reservoir in micro catchment, c) hydrological analysis for the determination of the channel reservoir capacities, quantity and distribution in watershed area, and d) to analysis the impacts of the channel reservoir development to the hydrology condition, land productivity and farmer’s income. Geologically the Cibogo sub watershed is dominated by volcanic rocks as the results of eruption of Gede-Pangrango Mountains. Physiographically the study area is classified into plated volcanic systems while the elongated hills is the dominant topography. The land use consist of: rice fields, settlements, mixed farms, tea gardens, dry land, scrub, pine forest and mixed forest. The soil is classified into Udhorthents, Hapludands, Eutrudepts, Dystrudepts, and Flufaquents. Soil Groups. Hydrologically Cibogo sub watershed has a network of rivers to upto 3th order, with a parallel drainage pattern, consists of four branches. The position and dimensions of individual channel reservoir have been prepared on the synchronization (matching) among quality/ characteristic parameters with the criteria for determining parameters. The position of channel reservoir is determined by 6 parameters: a) water availability, b) construction stability, c) accessibility, d) water distribution, e) water utilization, and 6) social condition. While the dimension is determined by: a) river cross-section, dimension of irrigation channel and irrigation target area. To simplify the process of evaluation the level of suitability and limiting factors in determining the position and dimensions DSS soft ware was developed. The soft ware is named “Expert System for the Position and Dimensions Suitability of the Individual Channel Reservoir Development (ESPADS-ICRD)”. Base on field investigation found that individual channel reservoir its influence to reducing the peaks discharge volume which between 13.2% - 48.5%, increase the land productivity from 1.5 to 2.0 to 3.0 of cropping index, and increasing the farmers income as much as 16.9 million rupiahs/ha/year. Base on historical 50 years record data of rainfall and Ciliwung river discharge’s, there are + 68 mm rain fall its equivalent to 23.4 m3 discharge with total volume 10,591,593 m3 of water must be harvested by channel reservoir construction. Its volume can be satisfied by constructing of + 663 units channel reservoirs which are spread on the second, third and fourth rivers order of upper Ciliwung watershed.
Keyword: flood, drought, channel reservoir, model suitability, criteria parameter, cibogo micro catchment, upper ciliwung watershed.
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vii
PENYUSUNAN KRITERIA KESESUAIAN DAN KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN DAM PARIT TERHADAP KONDISI HIDROLOGIS DAS CILIWUNG HULU
SAWIYO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
viii
Penguji luar komisi Pada Ujian Tesis : Jumat 14 Desember 2012, pukul 14.00 WIB Dr. Ir. Widiatmaka, DAA
ix Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Penyusunan Kriteria Kesesuaian dan Kajian Dampak Pengembangan Dam Parit terhadap Kondisi Hidrologis DAS Ciliwung Hulu Sawiyo P052100271
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M Yanuar Jarwadi Poerwanto, MS Ketua
Dr. Ir. Budi Kartiwa, CESA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
Tanggal Ujian: 14 Desember 2012
Tanggal Lulus:
107
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 5 Desember 1957. Penulis merupakan anak ke 5 dari pasangan Bapak Kadisana (Almarhum) dan Ibu Sireng Sawikem. Penulis menyelesaikan pendidikan SD hingga SMP di Kebumen, SPMA di Purworejo lulus tahun 1975, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al- Gazali Ujung Pandang Lulus 1991. Pada tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Pascasajana IPB. Program studi yang diambil adalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Penulis mendapatkan kesempatan mengikuti beberapa on job training diantaranya Training Pemetaan Tanah yang diselenggarakan oleh Institut Pendidikan dan Latihan Pertanian, Departemen Pertanian tahun 1979-1980 dan training lanjutannya yang diselenggarakan oleh instansi yang sama pada tahun 1983. Bidang pekerjaan yang pernah ditekuni penulis adalah sebagai PNS di Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor tahun 1976-1980. Ditugaskan oleh lembaga ini untuk bekerja di Stasiun Penelitian Tanah Maros, Sulawesi Selatan tahun 1981-1995. Tahun 1995-2000 penulis dipindahkan untuk bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) di Bogor. Sejak tahun 2000 sampai sekarang penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) di Bogor.
x
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 yaitu: adaptasi perubahan iklim dan perubahan kondisi kualitas lingkungan serta antisipasi bahaya banjir dan kekeringan dengan penerapan teknik pengembangan dam parit. Penelitian ini diberi judul Penyusunan Kriteria Kesesuaian dan Kajian Dampak Pengembangan Dam Parit terhadap Kondisi Hidrologis DAS Ciliwung Hulu. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS dan Bapak Dr. Ir. Budi Kartiwa, CESA selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dan saran. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris dan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) beserta staf yang telah banyak memberikan informasi dan layanan terbaik. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Haryono, MSc selaku Kepala Badan Litbang Pertanian, Bapak Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, MSc selaku Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan dan Dr. Ir. Haris Syahbudin, DEA selaku Kepala Balai Penelitan Agroklimat dan Hidrologi atas kesempatan dan dorongan untuk melaksanakan kegiatan belajar yang diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta (Sireng Sawikem), istri tercinta (Setyaningsih), ananda tercinta (Septi Kaolina Prihatini, SP., Benita Dwi Anggraeni, A.Md, Marisa Tri Puspitasari dan Muhammad Arief Priambodo), menantu tercinta Aris Dwi Saputra, SE, dan seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada Sdr. Budi Rahayu, Sdr. Setyono Hari Adi, S.Kom, MSc dan rekan-rekan staf Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi lainnya atas segala bantuan teknis dan non teknis, rekan-rekan mahasiswa PS-PSL IPB angkatan tahun 2010/2011 atas segala kerjasama dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Pebruari 2013
Sawiyo
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii 1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 3 Perumusan Masalah ....................................................................................... 4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6 Manfaat .......................................................................................................... 6 Hipotesis......................................................................................................... 6 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6 Perubahan iklim ............................................................................................. 6 Banjir dan kekeringan .................................................................................... 8 Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan .................................................. 1 DAS Ciliwung Hulu ..................................................................................... 13 Klasifikasi Kemampuan Lahan .................................................................... 14 Genie Rural a 4 Parametres Journalier (GR4J) ............................................ 16 Intergrated Flood Analysis System (IFAS) .................................................. 18 3. METODE PENELITIAN ............................................................................. 23 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 23 Bahan dan Peralatan ..................................................................................... 24 Metode Penelitian......................................................................................... 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 35 Karakterisasi Daerah Penelitian ................................................................... 35 Penyusunan Kriteria Model Kesesuaian Pengembangan Dam Parit............ 64 Analisis Dampak Pengembangan Dam Parit ............................................... 85 5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 101 Kesimpulan ................................................................................................ 101 Saran ........................................................................................................... 102 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 102 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 107
xii
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Data morfometrik DAS Ciliwung Hulu Legenda peta fisiografi/ landform Sub DAS Cibogo Legenda peta bentuk wilayah DAS Cibogo Legenda peta penggunaan lahan sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu Legenda peta satuan lahan Sub DAS Cibogo Legenda peta kemampuan lahan Sub DAS Cibogo Data iklim rata-rata harian tahun 2000-2011, Stasiun Citeko Data curah hujan dan evapotranspirasi Stasiun Citeko (2000-2011) Morfometrik DAS dan jumlah dam parit di Sub DAS Cibogo Komposisi penduduk Desa Sukagalih menurut kelompok umur tahun 2011 Penduduk Desa Sukagalih menurut tingkat pendidikan tahun 2011 Penduduk Desa Sukagalih menurut mata pencaharian tahun 2011 Kriteria parameter, kriteria sub parameter dan faktor penentu model kesesuaian posisi pengembangan Dam Parit Individual Klasifikasi faktor penentu sub parameter luas daerah tangkapan air (ka1) dalam parameter ketersediaan air Klasifikasi kriteria kesesuaian sub parameter luas DTA (ka1) dalam parameter ketersediaan air Kriteria kesesuaian sub parameter ordo sungai (ka2) dalam parameter ketersediaan air Kriteria kesesuaian sub parameter debit aliran (ka3) dalam parameter ketersediaan air Kriterian kesesuaian sub parameter jenis batuan di dasar sungai (sb1) dalam parameter stabilitas bangunan dam parit Kriteria kesesuaian sub parameter ketebalan sedimen (sb2) dalam parameter stabilitas bangunan Proses penentuan kesesuaian kriteria sub parameter kemudahan jangkauan (ab1) dalam parameter aksesibilitas Kriteria kesesuaian sub parameter ketersediaan bahan bangunan (ab2) dalam parameter aksebilitas Kriteria kesesuaian sub parameter kemiringan tebing (da2) dalam parameter distribusi air Kriteria kesesuaian sub parameter efisiensi penyaluran irigasi (da3) dalam parameter distribusi air berdasarkan kombinasi faktor penentu Kriteria penentu model kesesuaian kapasitas tampung Dam Parit Individual. Kriteria kesesuaian parameter luas areal target irigasi Data debit harian maksimum Sungai Ciliwung tahun 1990-2008 Debit maksimum Sungai Ciliwung berkaitan dengan jumlah tahun periode ulang dianalisis menggunakan metode Gumbel Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit bertingkat di DAS mikro Cihanjawar. Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH 5 Hubungan curah hujan dan debit dam parit CH 6 tanggal 29 April 2012 Curah hujan, debit sungai dan debit saluran CH 8 tanggal 3 April 2012
14 38 41 43 53 57 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 68 70 70 71 72 73 74 77 78 81 81 85 87 90 92
xiii
DAFTAR TABEL: LANJUTAN 32. 33. 34. 35.
Sebaran dam parit di Sub DAS Cibogo. 94 Perubahan pola tanam akibat pembangunan dam parit di daerah target 97 Pola dan luasan tanam pada areal target dam parit CH5, CH6 dan CH8 98 Hasil analisis finansial usahatani tiap komoditas pada lahan target dam parit CH5 99 36. Analisis keuntungan (benefit) usahatani akibat penyediaan air di wilayah target irigasi dam parit CH5 99 37. Cashflow usahatani di areal target irigasi dam parit 99 38. Kriteria kelayakan dari hasil analisis biaya dan manfaat dam parit 100
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Kerangka pemikiran pengembangan dam parit untuk mengatasi banjir dan kekeringan Diagram perumusan masalah penyusunan kriteria Kesesuaian pengembangan dam parit Contoh jenis teknik panen hujan dan aliran permukaan Deskripsi fisik model curah hujan - run off GR4J Diagram model transformasi hujan-aliran permukaan GR4J Gambaran umum model analisis distribusi Hidrologi IFAS Struktur Utama IFAS Model distribusi hidrologi IFAS PWRI versi 2 Fungsi rekayasa model IFAS Hasil simulasi debit di Dam Sameura Diagram alir analisis kesesuaian teknik panen hujan secara individu Proses penilaian sub parameter kesesuaian posisi berdasarkan interaksi antar faktor penentunya dengan bantuan DSS Diagram alir proses penyusunan desain kriteria kesesuaian volume pengembangan dam parit individual Analisis penentuan volume panen hujan dan aliran permukaan berdasarkan aplikasi model hidrologi Ilustrasi simulasi hidrograf pada beberapa skenario distribusi lokasi dan karakteristik dam parit menggunakan aplikasi model IFAS Perbedaan karakteristik hidrograf sebelum dan sesudah implementasi teknik panen hujan Peta Geologi DAS Ciliwung Hulu. Penampang vertikal lapisan batuan pada unit fisiografi kipas volkan bawah, Sub DAS Cibogo. Peta Fisiografi Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu. Peta Bentuk Wilayah DAS Ciliwung Hulu Peta Bentuk Wilayah Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu. Penggunaan lahan sawah dan tegalan pada Sub DAS Cibogo
4 5 13 17 18 19 20 21 22 23 28 29 30 31 33 33 36 37 38 40 41 43 45
xiv
DAFTAR GAMBAR: LANJUTAN 24. 25a. 25b. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
38. 39. 40a. 40b. 41. 42a. 42b. 43. 44a. 44b. 45. 46. 47.
Peta Tanah Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu Profil Andosol Okrik (tertimbun/ buried soil) di Sub DAS Cibogo Profil Andosol Okrik di Sub DAS Cibogo Peta Satuan Lahan Sub DAS Cibogo Peta Kemampuan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu Distribusi curah hujan (CH) dan evapotranspirasi potensial (Etp) ratarata bulanan tahun 2000-2012 Stasiun pengamat iklim Citeko, Bogor. Ilustrasi konstruksi saluran di lahan berlereng. Penampang sungai dan posisi pengembangan dam parit Tampilan sistem ekspert penentuan kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit individual (ESPADS-ICRD) Ilustrasi panjang sungai pada bentuk wilayah berbeda. Kalibrasi model debit Ciliwung Hulu periode 2007 Simulasi penurunan debit sungai Ciliwung Hulu pada kejadi banjir periode ulang 50 tahun melalui Implementasi Panen Hujan. Simulasi debit DAS Ciliwung Hulu dengan aplikasi model IFAS. Posisi 10 dam parit di DAS Ciliwung Hulu yang dianalisis. Hasil simulasi debit DAS Ciliwung Hulu dengan Aplikasi model IFAS setelah dibangun 10 dam parit dam parit di DAS Ciliwung Hulu. Hubungan hujan dan debit dam parit pada anak sungai Cihanjawar Sub DAS Cibogo, tanggal 3 April 2012 Hubungan debit sungai dan saluran pada dam parit CH 5 Kurva lengkung debit sungai pada dam parit CH 5 Kurva lengkung debit saluran pada dam parit CH 5 Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH6. Kurva lengkung debit melimpas sungai pada dam parit CH 6 Kurva lengkung debit saluran pada dam parit CH 6 Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH8 Kurva lengkung debit sungai dam parit CH 8 Kurva lengkung debit saluran pada dam parit CH 8 Peta jaringan sungai dan sebaran dam parit Sub DAS Cibogo Hasil analisis ketersediaan air pada dam parit di DAS mikro Cihanjawar Hasil analisis ketersediaan air untuk dam parit CH5
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3.
Peta Bentuk Wilayah, Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor, Jawa Barat skala 1:12.000 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor, Jawa Barat skala 1:12.000 Peta Satuan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor, Jawa Barat skala 1:12.000
46 48 48 52 56 61 73 78 79 80 82 82 84 84
85 87 88 89 89 90 91 91 91 92 91 94 96 97
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim menyebabkan musim hujan yang makin pendek dengan intensitas hujan tinggi, sementara musim kemarau makin memanjang. Kondisi ini diperparah oleh perubahan penggunaan lahan akibat tekanan penduduk berdampak terhadap kejadian banjir dan kekeringan semakin tinggi baik intensitas, waktu kejadian dan dampak yang ditimbulkannya (Irianto 2003). Meningkatnya kejadian bencana alam tersebut merupakan salah satu indikator dari pembangunan yang tidak berkelanjutan (Nugroho 2008). Banjir dan kekeringan merupakan jenis bencana lingkungan hidrometeorologi yang paling sering terjadi yang belum dapat dipecahkan secara menyeluruh, sehingga setiap upaya mengatasi dampak bencana tersebut menjadi dimensi yang penting dari pembangunan berkelanjutan (FAO and CIFOR 2005). Banjir di DAS Ciliwung makin sering terjadi dan intensitasnya makin tinggi menandakan kerusakan DAS ini semakin luas dan makin parah. Sejarah mencatat bahwa bencana banjir besar yang pernah terjadi di Jakarta adalah pada tahun 1621, 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002, dan 2007 (Nugroho 2008). Pada periode sebelum tahun 1970-an, penyebab utama banjir hanya berupa faktor alam yaitu intensitas hujan tinggi yang terjadi dalam waktu yang lama. Sesudah periode tersebut penyebab banjir menjadi semakin kompleks, bukan hanya faktor alam, tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya serta akibat yang ditimbulkannya juga berbeda (Irianto 2004). Sejarah mencatat bahwa kejadian banjir di wilayah hilir DAS Ciliwung (Jakarta) terjadi pada tahun 1996 dan 2002 menyebabkan genangan yang cukup luas, merugikan jiwa, harta benda dan kenyamanan hidup, serta hilangnya waktu produktif masyarakat (Gunawan 2010). Kejadian banjir yang terjadi pada tahun 2007 mempunyai intensitas lebih tinggi, sehingga menimbulkan dampak genangan yang lebih luas serta lebih banyak memakan korban jiwa. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang selama periode 3-7 Februari 2007. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis diperkirakan 4,3 triliun rupiah. Secara umum penurunan ketersediaan air dilaporkan terjadi pada mata air, aliran sungai dan waduk, sehingga sungai dan waduk tidak berfungsi dengan baik. Kekeringan menyebabkan air yang dibutuhkan sehari-hari menjadi langka keberadaannya. Bagi sektor pertanian yang memerlukan air dalam jumlah banyak persatuan waktu dan luas, maka kekeringan agronomis berdampak terhadap produktivitas dan luas usahatani (Heryani dan Sutrisno 2005). Berbagai aspek dan permasalahan yang berkaitan dengan air, baik secara kuantitas maupun kualitasnya sangat ditentukan oleh baik atau buruknya sistem pengelolaan dan pengaturan daerah peresapan/penampungan sumberdaya air, baik di bagian hulu, tengah maupun di bagian hilir DAS (Irianto 2004). Pengaturan dan pengelolaan peruntukan serta penggunaan lahan di bagian hulu, yang berfungsi untuk meresapkan, menahan dan menampung air secara vegetatif maupun teknik sipil baik di lahan maupun di jalur aliran menjadi sangat penting. Pengelolaan air di jalur aliran diutamakan untuk menahan, menampung air di jalur sungai dan mendistribusikan kembali ke lahan. Pengelolaan air seperti ini sangat
2 efektif karena dapat mengembalikan air yang hilang melalui jalur sungai ke lahan sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan irigasi dan menambah cadangan air tanah. Pengelolaan air di jalur sungai dimulai dari bagian DAS yang paling hulu yaitu pada anak-anak sungai terkecil yaitu orde 1, 2, 3 dan 4 (Sawiyo 2010). Teknik menahan, menampung, menyimpan air dan didistribusikan ke areal target disebut teknik panen hujan. Teknik panen hujan efektif untuk mengurangi volume banjir, kecepatan/laju aliran, dan memperbesar cadangan air tanah dalam suatu DAS. Teknik ini pada intinya adalah suatu cara bagaimana menahan sejumlah volume air hujan dan aliran permukaan dengan media buatan dan media alam (pori tanah) di wilayah yang lebih tinggi (hulu) agar air tidak cepat hilang terbuang ke wilayah hilir. Penerapan teknik panen hujan dan aliran permukaan dapat merubah distribusi curah hujan dan aliran permukaan DAS menurut ruang dan waktu (spatialy dan temporally) (Irianto et al. 2001 dan Sawiyo et al. 2007). Sistem panen hujan dan aliran permukaan secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu cara vegetatif dan mekanis/teknik sipil. Teknik panen hujan secara vegetatif dapat dilakukan di lahan melalui penghijauan dengan pohon kayu, penanaman rumput pada daerah berlereng, tanam searah kontur dan penanaman tanaman pertanian. Secara teknik sipil dapat diterapkan pada lahan dan pada jalur aliran. Pada lahan, sistem panen hujan melalui teknis sipil dapat dilakukan melalui pembuatan terasering, guludan, petak pertanaman, konstruksi sawah, rorak, sumur resapan, kolam dan embung pertanian. Pada jalur aliran, sistem panen hujan melalui teknis sipil dapat dilakukan antara lain melalui pembuatan bendung, dam parit, bendung pengalihan, cek dam, dan lain-lain (Sawiyo et al. 2008). Dam parit merupakan salah satu alternatif teknik panen hujan secara mekanis di jalur aliran. Prinsip pengembangan bangunan dam parit adalah dengan membuat konstruksi bendung/dam di jalur anak sungai ordo 1, 2 ,3 atau 4 untuk menahan, menampung hujan dan aliran permukaan dan mendistribusikan ke lahan target. Volume tampungan dam parit relatif kecil (ratusan meter kubik), karena hanya menggunakan tubuh jalur sungai saja. Untuk memperbesar volume tampungan, dam parit dilengkapi saluran ke areal target, sehingga kapasitas tampung menjadi meningkat (ribuan meter kubik) dan akan lebih besar lagi karena dam parit dibuat secara bertingkat (cascade). Dengan makin besarnya kapasitas tampung dam parit, maka dampak pengurangan volume aliran permukaan yang dapat direduksi juga makin besar dan peningkatan cadangan air tanah juga makin besar. Pada kenyataannya volume dam parit di jalur sungai telah penuh oleh debit aliran sebelum terjadi debit puncak, sehingga pengurangan debit puncak sangat bergantung dari pengurangan debit melalui saluran irigasi kemudian ditampung pada petakan lahan di areal target (Sawiyo 2010). Agar pengembangan dam parit dalam suatu jalur aliran mempunyai dampak positif yang optimum maka perlu disusun suatu alat/pedoman sebagai acuan dalam pengembangan dam parit baik secara individual maupun pengembangan dam parit dalam skala DAS. Acuan pengembangan dam parit secara individu dalam lingkup DAS Mikro yang diperlukan adalah “kriteria model penentuan posisi dan kriteria model penentuan volume pengembangan dam parit”. Dalam pengembangannya untuk skala DAS, kriteria-kriteria tersebut dapat digunakan untuk mengkaji penentuan volume dan jumlah dam yang harus dibangun dan sebarannya melalui proses analisis model hidrologi.
3 Tingkat efektifitas pengembangan dam parit perlu diuji melalui analisis dampak terhadap kondisi hidrologi, yang meliputi tingkat pengurangan debit dan peningkatan ketersediaan air untuk meningkatkan produktivitas lahan dan peningkatan produksi. Secara ekonomi, pengembangan dam parit memerlukan analisis finansial usahatani dan analisis kelayakan pembangunan dam parit (Heryani dan Sutrisno 2005). Dalam penelitian ini dipilih suatu DAS yang termasuk dalam skala prioritas rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan reboisasi, penghijauan, dan konservasi tanah dan air, baik vegetatif, agronomis, struktural, maupun manajemen termasuk skala prioritas I (Kemenhut 2009). DAS Ciliwung Hulu merupakan salah satu DAS Prioritas I. Di wilayah DAS Ciliwung telah dibangun sejumlah 110 unit dam parit bertingkat selama periode 2006-2009 oleh Balai Besar Pengelolaan Sungai Ciliwung Cisadane dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. DAS ini mempunyai ketersediaan data iklim dan debit yang panjang. Data iklim tersedia di Stasiun BMG, Citeko, Kecamatan Cisarua, sedangkan data debit tersedia di stasiun pengamatan debit di Bendung Katulampa. Selain itu tersedia pula acuan besaran debit/tinggi muka air yang telah dijadikan sebagai suatu perangkat peringatan dini untuk wilayah hilir DAS Ciliwung. Kerangka Pemikiran Sebaran hujan DAS Ciliwung Hulu yang tinggi dengan curah hujan rata-rata tahunan >3.000 mm terdistribusi secara tidak merata dengan bulan terbasah terjadi hanya selama 1-2 bulan yaitu antara bulan Januari - Februari. Distribusi hujan dalam bulan tersebut terjadi dalam beberapa hari, dan intensitas hujan pada saat tersebut itu sangatlah tinggi. Selain itu perkembangan pembangunan kawasan yang tidak didukung dengan pengembangan teknologi pengendalian banjir yang memadai seperti penghijauan, sungai, kanal, pintu pengatur, bendung, situ dan lain-lain menyebabkan kejadian banjir di DAS Ciliwung makin tinggi baik intensitas maupun waktu kejadiannya. Berdasarkan hasil pemantauan debit puncak Sungai Ciliwung di Katulampa, Bogor, perubahan kenaikan aliran permukaan di Ciliwung Hulu menunjukkan perubahan yang sangat signifikan terutama sejak tahun 1998. Sebelum tahun 1998 debit maksimum di Sungai Ciliwung di Katulampa masih berada di bawah 200 m3/dtk, akan tetapi setelah itu kondisinya terus menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Naiknya debit maksimum ternyata berdampak pada menurunnya debit mata air pada musim kemarau yang disebabkan karena berkurangnya wilayah resapan. Berdasarkan kajian BP DAS Ciliwung, Cisadane tahun 2011, menunjukan bahwa kenaikan debit puncak setelah tahun 1998 lebih banyak disebabkan oleh faktor kerusakan DAS, terutama perubahan tutupan lahan dibandingkan oleh pengaruh kejadian hujan. Dengan demikian maka perlu suatu usaha untuk melakukan konservasi air baik secara vegetatif, agronomis maupun teknik sipil dari mulai hulu hingga ke hilir. Menanggapi masalah kurangnya prasarana pengendali banjir maka penelitian pengembangan teknik panen hujan perlu dilakukan. Jenis teknik panen hujan yang dipilih dalam penelitian ini adalah dam parit. Dam parit merupakan salah satu jenis teknik panen hujan secara teknik sipil yang dibangun di jalur
4 aliran sungai/anak sungai untuk menampung dan mendisribusikan air hujan dan aliran permukaan ke lahan target yang umumnya terdapat di punggung bukit. Dalam suatu jaringan sungai dam parit dapat dibangun pada cabang sungai/anak sungai dengan orde 1, 2, 3, dan 4 yang posisinya berada di wilayah hulu. Dengan pengembangan dam parit maka aliran permukaan yang mengalir pada jalur aliran yang seharusnya terbuang ke hilir, ditampung dalam dam parit dan dialirkan kembali ke punggung bukit melalui saluran irigasi untuk disimpan di dipermukaan tanah melalui petak-petak lahan kemudian meresap ke dalam tanah (pori tanah) melalui proses infiltrasi. BANJIR DAN KEKERINGAN
Penyebab
Dampak
Anomali iklim
1. Run off meningkat 2 Cd Air tanah berkurang 3 Erosi & sedimentasi
1. Curah hujan tinggi
2. Kemarau panjang Sosial Ekonomi 1 Alih fungsi lahan 2 Kerusakan jalur aliran
Banjir & kekeringan meningkat
Evaluasi Dampak Pengembangan Dam Parit
Antisipasi
Panen hujan dan aliran permukaan Dam parit
Model Pengembangan Dam Parit Dam Parit Individual Skala DAS Mikro
Dam Parit Skala DAS
2. Produktivitas lahan
1. Model Kesesuaian Posisi
1. Analisis Penentuan Volume
3. Ekonomi
2. Model Kesesuaian Volume
2. Analisis Penentuan Sebaran
1. Dampak Hidrologi
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan dam parit untuk mengatasi banjir dan kekeringan Dam parit dianggap efektif untuk mengurangi intensitas banjir dan kekeringan dalam suatu DAS karena: a) dibangun hanya dengan memanfaatkan luas badan parit atau anak sungai sehingga tidak mengurangi areal produktif, b) dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar karena sebagian aliran dialirkan melalui saluran irigasi dan dibangun berseri (cascade series), c) dapat meningkatkan masuknya air ke dalam tanah melalui proses infiltrasi (recharging) menjadi cadangan air tanah, memicu timbulnya mata air baru dan menstabilkan debit aliran, d) meningkatkan daerah layanan irigasi secara proporsional yang tersebar dari hulu sampai ke hilir suatu jalur aliran. Uraian tersebut yang menjadi kerangka pemikiran dalam Penelitan ini yang secara lebih ringkas disajikan pada Gambar 1. Perumusan Masalah Model Pengembangan dam parit individual dilakukan pada suatu jalur anak sungai (DAS mikro). Sedangkan pengembangan dam parit secara terpadu dilakukan di kawasan DAS. Masalah yang dihadapi selama ini adalah belum adanya acuan kesesuaian pengembangan baik berupa pedoman penentuan lokasi
5 atau segmen sungai yang sesuai, penentuan berapa kapasitas tampung individu dan dampak pengembangannya. Dalam skala DAS perlu dilakukan analisis untuk menentukan berapa besar hujan yang harus dipanen dan berapa jumlah dam parit yang harus dibangun serta bagaimana sebarannya untuk mengurangi intensitas banjir sampai tingkat tertentu. Model kesesuaian pengembangan dam parit secara individual yang diperlukan adalah “model kesesuaian posisi” dan “model kesesuaian volume” untuk pengembangan dam parit. Model kesesuaian posisi pengembangan dam parit diperlukan sebagai acuan acuan pada titik/lokasi mana konstruksi dam parit dan saluran irigasi sesuai untuk dibangun. Sedangkan model kesesuaian volume diperlukan sebagai acuan untuk menentukan kapasitas tampung konstruksi dam dan saluran irigasi yang akan dikembangkan. Untuk itu perlu dilakukan penentuan jenis parameter/sub parameter yang mempengaruhinya. Parameter tersebut meliputi faktor biofisik lingkungan, faktor iklim dan hidrologi dan faktor sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Untuk menentukan tingkat kesesuaian setiap parameter penentu maka disusunlah kriteria tingkat kesesuaian dari setiap parameternya. Penentuan tingkat kesesuaian posisi dan kesesuaian volume pada suatu titik ditentukan berdasarkan hasil paduserasi antara kualitas parameter dan kriteria parameter penentunya. Pengembangan dam parit secara terpadu dikawasan DAS meliputi kesesuaian volume dan kesesuaian jumlah dam parit. Model pengembangan volume dam parit terpadu didasarkan pada jumlah volume debit puncak yang akan dipanen. Sedangkan jumlahnya ditentukan berdasarkan voleme debit panen yang perlu dipanen dibagi dengan kapasitas tampung rata-rata dam parit individual. Penentuan jenis parameter, identifikasi kualitas jenis parameter dan kriteria parameter kesesuaian pengembangan dam parit perlu dirumuskan secara seksama agar dapat diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Perumusan masalah penyusunan kriteria pengembangan dam parit disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram perumusan masalah penyusunan Kesesuaian pengembangan dam parit
kriteria
6 Tujuan Penelitian • • • •
Berdasarkan pemasalahan tersebut maka penelitian bertujuan untuk: Melakukan karakterisasi kualitas parameter model pengembangan dam parit DAS Ciliwung Hulu. Menyusun desain kriteria kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit secara individu dalam kawasan DAS mikro. Melakukan analisis hidrologi untuk penentuan kapasitas tampung, jumlah dan sebaran dam parit skala DAS. Melakukan analisis dampak pengembangan dam parit terhadap aspek hidrologi, produktivitas lahan dan aspek pendapatan petani. Manfaat
• • •
Tersusunnya kriteria model kesesuaian pengembangan dam parit secara individu yang meliputi kriteria model kesesuaian posisi dan kriteria model kesesuaian volume dam parit. Diketahuinya volume hujan/ hujan debit puncak yang harus dipanen untuk mengurangi volume banjir DAS Ciliwung Hulu hingga level siaga 3 di Bendung Katulampa. Diketahuinya dampak pengembangan dam parit terhadap kondisi hidrologi, peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan petani. Hipotesis
Dam parit dapat mengurangi volume debit puncak dan kecepatan aliran, meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani.
2 TINJAUAN PUSTAKA Perubahan iklim Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi, sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmosfer bumi memanas. Kejadian pemanasan bumi tersebut sama dengan kondisi di dalam rumah kaca yang memungkinkan sinar matahari untuk masuk tetapi energi panas yang keluar sangat sedikit, sehingga suhu di dalam rumah kaca sangat tinggi. Dengan demikian pemanasan global yang terjadi disebut juga Efek Rumah Kaca dan gas yang menimbulkannya disebut Gas Rumah Kaca (GRK). Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan kondisi iklim yaitu terjadinya peningkatan intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi yang berpengaruh terhadap banjir, kekeringan, dan penurunan produksi pertanian. Meningkatnya suhu di atmosfer akan berpengaruh terhadap
7 kelembaban udara. Pada daerah-daerah beriklim tropis akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan, sehingga meningkatkan curah hujan rata-rata sekitar 1 % untuk setiap 1oC peningkatan pemanasan. Para ahli telah memperkirakan perubahan curah hujan yang akan terjadi di Asia Tenggara, bahwa presipitasi di Asia Tenggara akan meningkat 3,6% di tahun 2020-an dan 7,1% di tahun 2050 serta 11,3% di tahun 2080-an (Santoso dan Forner 2007). Selanjutnya Santoso dan Forner (2007) menjelaskan bahwa iklim di Indonesia dipengaruhi oleh iklim tropis, iklim laut dan iklim muson. Beriklim panas (tropis) karena Indonesia berada di sekitar garis khatulistiwa, sehingga otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan menyebabkan curah hujan yang tinggi. Iklim muson yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu angin musim barat daya (Muson Barat) dan angin musim timur laut (Muson Timur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang bersifat basah sehingga menyebabkan musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga Oktober yang sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau. Atas dasar sebab terjadinya angin muson barat ataupun muson timur yang mempengaruhi terbentuknya pola hujan munsonal di beberapa wilayah Indonesia dapat dikatakan bahwa wilayah kejadiannya relatif tetap. Perubahan diperkirakan akan terjadi terhadap jumlah, intensitas dan durasi hujannya. Hasil analisa spasial diketahui bahwa di daerah Selatan Khatuslistiwa curah hujan rata-rata tahunan secara umum cenderung berkurang atau menurun sedangkan dibagian Utara Khatulistiwa cenderung bertambah. Pada wilayah dengan jumlah curah hujan meningkat, terdistribusi dalam waktu makin singkat akan menyebabkan terjadinya banjir, sedangkan di wilayah dengan potensi hujan yang menurun dengan distribusi hujan pendek dan musim kemarau memanjang akan menyebabkan bahaya kekeringan yang intensitas dan dampaknya makin kuat. Perubahan iklim ini diramalkan memiliki dampak yang paling parah terhadap pasokan air. Kekurangan air di masa depan kemungkinan akan mengancam produksi pangan, mengurangi mutu sanitasi, menghambat pembangunan ekonomi dan kerusakan ekosistem. Hal ini menyebabkan perubahan suasana lebih ekstrim antara banjir dan kekeringan. Sebagai salah satu negara tropis Indonesia akan paling menderita terkena dampak pemanasan global. Dampak pemanasan global di lapangan ditandai dengan munculnya bencana alam terutama berkaitan dengan adanya penurunan sumber daya alam (SDA) baik ditingkat lokal, nasional maupun global, yang penanganannya memerlukan pemahaman yang mendalam. Penurunan SDA yang dihadapi di tingkat nasional umumnya berhubungan dengan (1) air, baik kuantitas maupun kualitasnya, (2) biodiversitas flora dan fauna, (3) keindahan lansekap, dan (4) kualitas udara. Dampak-dampak perubahan pola cuaca, intensitas hujan dan musim kering yang banyak menyebabkan bencana makin terasa baik intensitas, waktu kejadian, sebaran dan dampak yang ditimbukannya makin tinggi. Untuk meredam bencana
8 tersebut maka kebijakan pengelolaan lahan baik kehutanan maupun pertanian harus bersifat adaptif terhadap iklim baru yang bersinergi dengan upaya mitigasi terhadap perubahan iklim global. Pengembangan dam parit dan teknik panen hujan lainnya baik secara vegetatif maupun teknik sipil merupakan salah satu kegiatan adaptasi yang dilakukan untuk menekan dampak perubahan iklim secara antisipatif (Hairiah 2009). Banjir dan kekeringan Banjir Banjir dan kekeringan merupakan dua kejadian ekstrimitas berbeda yang kejadiannya silih berganti, bahkan diperkirakan tidak akan dapat diatasi dalam jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa besaran banjir dan kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang ditimbulkan terus meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Sedangkan untuk kekeringan, luas sawah yang mengalami kekeringan pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan meningkat tajam pada tahun 2006 dengan luas sawah yang mengalami kekeringan mencapai 267.088 ha (60%). Tahun 2007 merupakan kejadian ekstrim dengan adanya fenomena El-Nino kuat, sehingga lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai 517.614 ha (BP DAS 2009). Dari aspek pertanian, banjir adalah kejadian tergenangnya lahan pertanian selama periode genangan dengan kedalaman tertentu, sehingga menurunkan produksi pertanian. Sedangkan kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air untuk mendukung proses produksi pertanian secara optimal, sehingga menurunkan produksi pertanian. Dari aspek hidrologis, banjir adalah suatu kejadian meluapnya volume air yang relatif tinggi dari jalur aliran sungai atau saluran karena volume aliran melebihi kapasitas tampung sungai atau saluran tersebut. Banjir adalah suatu bencana yang mengganggu kehidupan manusia berupa genangan air dari yang terkecil sampai terbesar yang disebabkan faktor-faktor baik manusia maupun alam atau aliran air yang tinggi, dan tidak tertampung oleh aliran sungai dan air itu meluap ke daratan yang lebih rendah dan inilah yang disebut banjir. Menurut Ansori (2009), banjir di Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu: 1) sungai yang meluap, yaitu banjir yang terjadi akibat debit air sungai yang mengalir dari segmen sungai atasnya melampaui kapasitas tampung sungai, 2) banjir lokal, yaitu terjadi karena meluapnya air yang berasal dari sekitar areal tersebut karena kondisi lingkungan itu sendiri, seperti tersumbatnya jalur aliran air oleh endapan hasil erosi atau sampah, dan 3) banjir pasang surut air laut, yaitu banjir akibat tingginya pasang air laut menyebabkan aliran air di bagian muara tertahan dan meluap ke segala arah. Perubahan kondisi curah hujan dan kerusakan lingkungan menyebabkan masalah banjir hingga saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas, bahkan masalah banjir tersebut justru mengindikasikan semakin meningkat, baik intensitas, frekuensi maupun sebarannya. Banjir merupakan salah satu jenis
9 bencana hidrometeorologi yang frekuensi kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun, bahkan intensitas dan sebarannya pun juga semakin meningkat. Selain dipengaruhi oleh perubahan iklim global, khususnya curah hujan, juga dipengaruhi oleh adanya perubahan penggunaan lahan, pemanfaatan bantaran sungai untuk permukiman dan industri, kerusakan DAS dan sebagainya. Kondisi demikian banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia, dimana sebagian besar kota berkembang di dataran banjir dan dataran rendah, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar dan sebagainya. Banjir di hilir Sungai Ciliwung (Jakarta) seolah merupakan banjir yang rutin dimana hampir setiap musim penghujan selalu terjadi di daerah tersebut. Sejarah mencatat bahwa bencana banjir besar yang pernah terjadi di Jakarta adalah pada tahun 1621, 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002, dan 2007. Perbedaan antara banjir yang pernah terjadi selama tahun-tahun tersebut adalah dimensi penyebab dan akibat banjir yang ditimbulkannya. Pada periode sebelum tahun 1970-an, penyebab utama adalah faktor alam. Sesudah periode tersebut penyebab banjir menjadi semakin kompleks, bukan hanya faktor alam, tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya serta akibat yang ditimbulkannya juga berbeda (Nugroho 2008). Dimensi banjir menjadi lebih besar akibat adanya perkembangan kawasan yang tidak didukung dengan teknologi pengendalian banjir yang memadai. Hal ini terlihat dari rendahnya kemampuan drainase mengeringkan kawasan terbangun dan rendahnya kapasitas seluruh prasarana pengendali banjir, seperti sungai, pintu pengatur, bendung, situ, dan sebagainya. Selain itu secara geomorfologis Jakarta terletak pada dataran banjir dimana terdapat 13 sungai, yaitu: Sungai Cakung, Jatikramat, Buaran, Sunter, Cipinang, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Angke dan Mookervart. Banyaknya sungai tersebut bila dikelola dengan baik merupakan aset jalur drainase yaitu untuk membuang kelebihan air di daratan menuju ke pantai, namun karena tidak dikelola dengan baik maka sungai-sungai tersebut dianggap sebagai penyebab banjir. Rata-rata curah hujan tahunan yang cukup tinggi yaitu 2500 - 3500 mm/tahun dan daerah pengaruh pasang surut laut mencapai 40% (24.000 ha) dari luas keseluruhan 64.000 ha. Banjir besar dan berdampak luas di Jakarta akan terjadi pada saat curah hujan intensitas tinggi terjadi bersamaan dengan pasang air laut. Volume aliran yang tinggi dari jalur sungai tersebut yang berasal dari masing-masing daerah tangkapan air di tahan oleh pasang air laut yang telah memenuhi kapasitas tampung jalur aliran, maka banjir akan terjadi dengan intensitas tinggi dan sebarannya sangat luas. Fenomena banjir besar di Jakarta pada periode Februari 2007 merupakan contoh kejadian banjir yang disebabkan oleh besaran debit jalur aliran akibat intensitas hujan tinggi di wilayah daratan yang bertepatan dengan kejadian naiknya pasang tinggi. Kejadian banjir tersebut menyebabkan 79 orang meninggal dunia, 1 orang hilang. Pengungsi akibat banjir tersebut tercatat 2.349 orang di DKI Jakarta, 106.406 orang di Provinsi Jawa Barat, dan 52 orang di Provinsi Banten. Banjir tersebut juga menyebabkan kerusakan dan kerugian aset yang terkena banjir, baik aset milik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang diperkirakan senilai Rp 5,16 triliun. Selain itu, berdasarkan perkiraan yang dilakukan oleh APINDO dan penilaian yang dilakukan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), diperkirakan kerugian ekonomi yang harus ditanggung selama sekitar 1 (satu) minggu kejadian bencana banjir di wilayah Jabodetabek sebesar
10 US$ 400 juta (sekitar Rp 3,6 triliun), yang mencakup kerugian dan kerusakan perumahan, kendaraan bermotor, bangunan industri dan fasilitas perdagangan. Nilai ini tidak hanya karena kerusakan aset fisik akan tetapi juga karena 'opportunity loss' atau hilangnya peluang karena aktivitas, terutama kegiatan ekonomi, yang tidak dapat dilakukan akibat banjir. Nilai perkiraan sebesar US$400 juta (Bappenas 2007). Kejadian banjir tersebut terulang pada bulan Januari 2009 dimana areal banjir meliputi seluruh wilayah Jakarta, dengan ketinggian air hingga 275 cm, dengan jumlah pengungsi sebanyak 2.683 jiwa, penduduk yang mengalami kebanjiran sebanyak 8.908 kepala keluarga atau 24.317 jiwa. Wilayah yang mengalami genangan dengan ketinggian air lebih dari 50 cm adalah Petamburan, Bukit Duri, Manggarai, Rawajati, Bintaro, Kampung Melayu, Cipinang Besar Utara, Cawang, Rawa Terate, Tegal Alur, dan Rawa Buaya. Walaupun intensitas curah hujan dan debit air dari Katulampa jauh melebihi kejadian banjir tahun 2007, namun banjir tahun 2009 tidak separah pada tahun 2007. Hal ini selain karena kesiapan masyarakat dan pemerintah daerah dalam menghadapi banjir akibat pengalaman tahun 2007, juga kejadian banjir ini tidak bersamaan waktunya dengan pasang tinggi air laut dan telah berfungsinya saluran drainase Banjir Kanal Timur (Asrian 2009). Kekeringan Menurut Bakornas PBP (2007) kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Kekeringan secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu kekeringan alamiah dan antropogenik. Kekeringan alamiah meliputi 4 aspek yaitu: • Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. • Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. • Kekeringan Pertanian/Agronomis berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah tertentu pula. • Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Kekeringan antropogenik disebabkan karena ketidakpatuhan pada aturan yang ada, yang dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: • Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidakpatuhan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air. • Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat ulah manusia. Berdasarkan data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscilation). Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola yaitu: 1) akhir musim kemarau mundur dari normal, 2) awal masuk musim hujan mundur dari normal, 3) curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan 4) deret hari kering semakin panjang.
11 Kekeringan akan berdampak pada kesehatan manusia, tanaman serta hewan sehingga pada musim hujan menjadi mudah tererosi dan banjir. Dampak dari bahaya kekeringan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak terjadinya urbanisasi. Gejala kekeringan dapat didetekasi melalui beberapa tahapan sebagai berikut: • Kekeringan Meteorologis, yaitu berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Gejala ini merupakan pertanda awal dari suatu kejadian kekeringan. • Kekeringan hidrologis adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kondisi ini menandakan kekeringan akan berdampak luas terhadap kekurangan pasokan air bagi pertanian ternak dan domestik. • Kekeringan agronomis ditandai dengan kekurangan lengas tanah pada lahan pertanian, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi jenis tanaman, selama periode waktu dan wilayah tertentu. Selanjutnya Bakornas (2007) menjelaskan gejala terjadinya kekeringan seperti berikut: • Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya bencana kekeringan. • Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. • Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi kering. Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan Menurut Chapman (1991) berbagai bentuk teknik panen hujan (rainfall/ water harvesting) telah digunakan secara tradisional selama berabad-abad. Teknik panen hujan telah dilakukan di Wilayah Timur Tengah dengan memanen air dengan teknik pengalihan aliran di musim hujan ke lahan pertanian pada jalur aliran "wadi" (sungai intermiten). Di Gurun Negev Israel, sistem panen hujan telah dimulai sejak 4.000 tahun yang lalu dengan memanen air secara vegetatif dengan menanam tanaman di lahan perbukitan untuk meningkatkan aliran, yang kemudian aliran tersebut dipanen secara teknik sipil yang airnya dialirkan ke lahan pertanian di wilayah dataran. Pemanenan air telah dipraktekkan di daerah Gurun Arizona dan barat laut New Mexico selama minimal 1.000 tahun terakhir oleh Orang Indian Hopi di Dataran Tinggi Colorado untuk irigasi ladang pada dataran kipas alluvial. Teknik ini juga telah dilaksanakan di Tunisia pada abad kesembilan belas, sebagai sumber air yang digunakan untuk mengairi lahan pertanian pada beberapa microcatchment.
12 Teknologi panen hujan dan aliran permukaan dapat merubah distribusi curah hujan menurut ruang dan waktu (spatially dan temporally). Aplikasi teknik panen hujan dan aliran permukaan yang sederhana melalui pengembangan Dam Parit (channel reservoir) dapat mendukung pengembangan pertanian di lahan kering melalui upaya peningkatan ketersediaan air, disamping untuk mengantisipasi resiko banjir pada musim hujan. Peningkatan ketersediaan air melalui pemanfaatan aliran permukaan dapat mendukung sistem usahatani lahan kering dengan tanaman bernilai ekonomi tinggi (Balitklimat 2010). Program panen hujan dan aliran permukaan di wilayah Baalback, Libanon dilaksanakan tahun 2003, kerjasama antara Pemerintah Libanon dan UNDP dan GTZ diperuntukan untuk pengendalian banjir dan kekeringan. Lokasi ini merupakan lahan dengan curah hujan yang jarang, bentuk wilayah berbukit dengan lereng yang curam, tanah dangkal dan tutupan lahan yang buruk. Banjir sering terjadi di akhir musim semi atau awal musim gugur dan menyebabkan hancurnya jalan, infrastruktur, kerusakan pertanian, ternak dan dan kadangkadang peternakan serta erosi tanah yang parah di sepanjang sungai Orontos. Program ini dilaksanakan dengan membangun bendungan berdinding batu, menanami lahan dengan tanaman sesuai garis kontur untuk mengurangi erosi tanah dan meningkatkan kelembaban tanah. Selain itu juga dibangun Dam Parit (channel reservoir) untuk memanen hujan, salju mencair dan runoff. Jumlah, ukuran dan lokasi dari reservoir akan ditentukan berdasarkan survei dari daerah dengan mempertimbangkan sumber daya air yang tersedia, luas lahan pertanian, jumlah penerima manfaat, karakteristik tanah, jumlah curah hujan, kepemilikan tanah dan sosial ekonomi. Pengembangan sistem panen hujan dilakukan baik secara vegetatif maupun teknik sipil. Secara Vegetatif dilakukan dengan penanaman pohon buah sebanyak 20.000 pohon. Sedangkan secara teknik sipil dilaksanakan dengan membangun 185 bendungan dinding batu dan dam parit di wilayah berombak sampai berbukit, dan di bagian bawahnya dibangun 10 bendung dengan kapasitas tampung total + 400.000 m3. Hasil pembangunan tersebut adalah 1) Mengurangi resiko banjir, erosi dan meningkatkan kelembaban tanah meningkatkan aliran dasar sungai di wilayah Aarsal dan Fakhe, 2) Meningkatkan cadangan air tanah yang akan dipanen melalui mata air yang timbul akibat pembangunan 185 dam parit dan bendungan dinding batu, dan 3) Meningkatkan produktivitas pertanian di wilayah Arsal. Di Nairaobi, Kenya kini telah tumbuh kesadaran bahwa banjir dapat dikendalikan dengan cara sederhana yaitu dengan memanen air hujan dan aliran permukaan di wilayah hulu dengan membangun bangunan untuk menampung dan dan mengarahkan air limpasan ke sistem saluran yang akan mengisi ulang cadangan air tanah. Hal ini disemangati oleh kejadian banjir yang terjadi pada tahun 2001 yang menewaskan 21 orang (MWRMD and KRA 2004). Di Indonesia pengembangan teknologi sistem panen hujan dan aliran permukaan telah dikembangkan di berbagai daerah. Panen hujan dan aliran permukaan dimaksudkan untuk menurunkan volume aliran permukaan dan sekaligus meningkatkan cadangan air tanah, mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya angkutnya menurun, dan menyediakan air di musim kemarau (Rejekiningrum dan Haryati 2002). Sistem panen hujan yang dilakukan terdiri dari beberapa teknik panen hujan baik secara vegetatif
13 maupun teknik sipil. Secara vegetatif dilakukan dengan menanam pohon atau jenis tanaman seperti penghijauan, penanaman sejajar garis kontur, penanaman rumput dan lain-lain. Sedangkan secara teknik sipil dikembangkan di lahan (rorak, embung, lebung, kolam dan sumur resapan) dan di jalur aliran (dam, dam pengalih, cek dam, situ dan dam parit (Sawiyo et all. 2008). Contoh jenis teknik panen hujan yang sudah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia disajikan pada Gambar 3.
Rorak
Embung
Dam Parit
Gambar 3. Contoh jenis teknik panen hujan dan aliran permukaan
Studi di Sub DAS Kalisidi di Kabupaten Semarang telah membangun 4 buah Dam Parit dengan kapasitas tampung masing-masing 67,2 m3, 67 m3, 4,1 m3, dan 50 m3 dengan luas daerah irigasi 26,2 ha. Potensi aliran permukaan yang dapat dipanen diestimasi berdasarkan fluktuasi debit yang datanya direkam di Stasiun Automatic Water Level Recorder (AWLR) Keji sebesar 4% (216.640 m3). Volume aliran permukaan yang cukup besar tersebut sangat potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya guna keperluan irigasi sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahannya. Hasil pengamatan teknik panen hujan di lahan dengan rorak diketahui dapat mengurangi koefisien aliran permukaan dari 0,63% menjadi 0,31% . DAS Ciliwung Hulu DAS Ciliwung Hulu merupakan DAS yang penting karena berhilir di Ibukota Negara Indonesia (Jakarta). Kerusakan dan penanganan DAS Ciliwung Hulu akan berpengaruh terhadap wilayah tengah (Depok) dan hilir (Jakarta). Oleh karena itu penanganan DAS Ciliwung Hulu menjadi penting untuk menjaga kelestarian sumber air bersih, menanggulangi bahaya banjir dan menjaga aliran dasar sungai Ciliwung. DAS Ciliwung termasuk salah satu DAS prioritas 1 di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 328/Menhut-II/2009 tahun 2009 tanggal 12 Juni 2000 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas. Kerusakan DAS Ciliwung dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Hal itu seiring dengan dengan bertambahnya luas kerusakan hutan akibat degradasi lahan dan air di dalam DAS yang mempunyai luas + 15.418 ha ini. Berdasarkan analisis citra tahun 2003 penggunaan lahannya terdiri dari hutan seluas 5.072,2 ha atau 32,90 %, kebun teh seluas 1.330 ha atau 8,62%, sawah 2.283 ha atau 14,81% kebun campuran, perumahan dan tegalan seluas 6.733 ha atau 43,67%. Secara geologis termasuk formasi Qvb berupa bahan volkan. Bentuk wilayah datar sampai bergunung. Klasifikasi tanahnya didominasi oleh subgrup
14 Udhorthents, Dystrandepts, Hapludepts, dan Endoaquepts. Wilayah ini terbagi ke dalam 6 sub DAS yaitu Sub DAS Ciliwung, Ciesek, Ciseuseupan, Cibogo, Cisukabirus dan Cisarua. Dalam Sub DAS tersebut telah dibangun 107 buah Dam Parit dalam periode 2005-1010 (Sawiyo 2009). Di wilayah DAS Ciliwung telah dibangun sejumlah Dam Parit bertingkat selama periode 2006-2009 oleh Balai Besar Pengelolaan Sungai Ciliwung Cisadane dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. DAS ini mempunyai Stasiun Iklim (BMG, Stasiun Citeko) dan Stasiun Pencatat Tinggi Muka Air, baik secara manual maupun otomatis (AWLR) di outlet Bendung Katulampa. Data morfometri DAS Ciliwung hulu diperoleh dari interpretasi peta Landsat tahun 2000 hasil penelitian Irianto et al. (2001) yang didasarkan atas nilai bilangan kurva. Nilai bilangan kurva sendiri telah ditetapkan berdasarkan klasifikasi kelompok hidrologi tanah, klasifikasi komplek penutup tanah dan kondisi kandungan air dalam tanah sebelumnya. Data tersebut selanjutnya dianggap berlaku pada saat penelitian (Tabel 1). Tabel 1. Data morfometrik DAS Ciliwung Hulu No 1 2 3 4 5 6
Sub DAS Ciliwung Hulu Cisarua Cibogo Cisukabirus Ciesek Ciseuseupan Total
Luas (ha) 4.908 2.237 1.376 1.688 2.000 2.312 14.521
Panjang sungai (km) 23.60 16.50 14.00 15.30 14.80 12.10 96.30
Sumber: Irianto et al.2001
Klasifikasi Kemampuan Lahan Dalam sistem klasifikasi kemampuan lahan terdapat tiga kategori kemampuan lahan yaitu kelas, sub kelas dan unit kemampuan lahan. Kelas kemampuan lahan merupakan kelompok lahan yang masih luas, yang dibagi dalam 8 kelas kemampuan lahan yaitu kelas I sampai kelas VIII (USDA 1961). Angka kelas menunjukkan keterbatasan dalam penggunaan lahan tersebut, angka yang lebih besar mengandung makna semakin besar tingkat kendala, semakin sedikit pilihan praktek penggunaan lahan akan lebih sempit. Kelas kemampuan lahan didefinisikan sebagai berikut: • Kemampuan lahan kelas I, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa kendala yang memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Karakteristik lahan kelas I adalah lereng datar, tanahnya dalam, bertekstur halus dan sedang, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan dan pengelolaan lainnya. Tanah kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan dan oleh karenanya dapat digarap untuk usahatani tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur yang baik diperlukan untuk menjaga kesuburannya dan mempertinggi produktivitasnya.
15 •
•
•
•
•
•
•
Kemampuan lahan kelas II, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan namun mempunyai sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Tanahnya berlereng landai, solum tanah dalam atau bertekstur halus sampai agak halus. Jika lahan digarap untuk usaha pertanian semusim diperlukan tindakan pengawetan tanah yang ringan seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, atau guludan, di samping tindakan-tindakan pemupukan seperti pada kelas I. Kemampuan lahan kelas III, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II, sehingga memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng agak curam, atau berdrainase buruk, solum tanah sedang, atau permeabilitasnya agak cepat. Tindakan pengawetan tanah khusus seperti penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan tanaman penutup tanah dimana waktu untuk tanaman tersebut lebih lama, disamping tindakantindakan untuk memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah. Kemapuan lahan kelas IV, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas III, sehingga memerlukan tindakan khusus pengawetan tanah yang lebih berat dan lebih terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak pada lereng dengan tingkat kemiringan (15-30 %) atau berdrainase buruk atau kedalamannya dangkal. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim diperlukan pembuatan teras atau pembuatan drainase atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah/makanan ternak/pupuk hijau selama 3 - 5 tahun. Kemampuan lahan kelas V, tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak secara permanen atau dihutankan. Kemampuan lahan kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung yang selalu tergenang air (rawa) atau terlalu banyak batu diatas permukaannya (rock oute crops) seaerti daratan karst atau terdapat bahan sulfida pada lapisan tanah dekat zone perakaran (Sulfat Masam Aktual). Kemampuan lahan kelas VI, tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim, karena terletak pada lereng yang agak terjal (30 – 45 %) sehingga mudah tererosi, kedalamannya sangat dangkal atau telah mengalami erosi berat. Tanah ini lebih sesuai untuk padang rumput atau dihutankan. Jika digarap untuk usahatani tanaman semusim diperlukan pembuatan teras tangga/bangku. Penggunaannya untuk padang rumput harus dijaga agar rumputnya selalu menutup dengan baik. Jika dihutankan harus selektif. Kemampuan lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk digunakan bagi usahatani tanaman semusim, tetapi lebih baik untuk ditanami vegetasi permanen. Jika digunakan untuk padang rumput atau hutan maka pengambilan rumput atau pengembalaan atau penebangan harus dilakukan dengan hati-hati. Lahan dengan kemampuan kelas VII terletak pada lereng yang curam (45 – 65 %) dan tanahnya dangkal, atau telah mengalami erosi yang sangat berat. Kemampuan lahan kelas VIII, tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian, dan harus dibiarkan pada keadaan alami atau dibawah vegetasi alam. Tanah ini dapat dipergunakan untuk cagar alam, daerah rekreasi atau hutan lindung. Kemampuan lahan kelas VIII adalah lahan yang belereng sangat curam atau lebih dari 90 %, permukaan tanah ditutupi batuan lepas atau singkapan batuan, atau tanah yang bertekstur kasar.
16 Sub Kelas Kemampuan Lahan Sub kelas kemampuan lahan adalah pembagian kelompok dalam satu kelas karena jenis pembatasnya. Mereka ditunjuk dengan menambahkan huruf kecil, e, w, s, atau c untuk angka kelas, misalnya, IIe. Huruf e menunjukkan bahwa bahaya utama adalah resiko erosi kecuali lahan yang ditutupi rapat oleh tanaman penutup tanah dipertahankan. Huruf “w” menunjukkan bahwa kondisi air di dalam tanah mengganggu pertumbuhan tanaman atau budidaya (dalam beberapa tanah basah yang sebagian dapat dikoreksi dengan drainase buatan). Huruf “s” menunjukkan bahwa tanah terbatas terutama karena dangkalatau berbatu. Huruf “c” hanya digunakan beberapa bagian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pembatas utama adalah iklim yang sangat dingin atau sangat kering. Khusus untuk kelas I tidak ada sub kelas karena tanah dari kelas ini tidak mempunyai faktor pembatas. Satuan Pengelolaan Satuan pengelolaan menyatakan perlakuan yang diperlukan dalam usahatani dan banyaknya pupuk atau kapur yang diperlukan. Genie Rural a 4 Parametres Journalier (GR4J) GR4J (Genie Rural a 4 parametres Journalier) adalah model transformasi curah hujan - aliran permukaan yang memungkinkan digunakannya data curah hujan untuk memprediksi debit sungai secara komprehensif. Pemodelan transformasi hujan menjadi aliran permukaan menjadi penting untuk berbagai analisis hidrologi. Model hidrologi dapat digunakan untuk berbagai hal dalam pengelolaan sumber daya air dan rekayasa hidrologi, seperti perkiraan banjir, peramalan banjir, peramalan aliran dasar, deteksi tren debit atau desain dan pengelolaan waduk. Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun kebanyakan model baru yang mempunyai struktur lebih kompleks, model ini masih dapat digunakan untuk analisis transformasi curah hujan-aliran permukaan. Model GR4J merupakan salah satu model sederhana (Edijatno et al, 1999 dan Perrin et al, 2003). Model ini hanya memerlukan empat parameter, model menunjukkan ketahanan yang baik sebagaimana studi perbandingan yang telah dilakukan oleh Perrin et al. (2001) dan diuji di berbagai negara, tidak hanya di Prancis tapi juga dalam kondisi iklim yang sangat beragam di Amerika Serikat, Australia, dan lainlain. Dari studi tersebut diperoleh bahwa GR4J memberikan hasil yang lebih baik dari model hujan-aliran permukaan lainnya seperti model Tank, IHACRES, HBV, SMAR, TOPMODEL dan Xinanjiang (Harlan D 2010). Model GR4J adalah versi modifikasi terakhir dari model GR3J hasil awalnya diusulkan oleh Edijatno dan Michel dan kemudian berturut-turut ditingkatkan oleh Nascimento dan Edijatno. Model GR4J mengoptimasi empat parameter bebas dari peubah data curah hujan harian, yaitu: X1 = Kapasitas produksi simpan maksimum (mm) X2 = Koefisien pertukaran air tanah (mm) X3 = Kapasitas maksimum simpan zone perkararan (mm) X4 = Waktu debit puncak unit hidrograf UH1 (hari)
17 Kapasitas simpan produksi maksimum (X1) adalah simpanan di permukaan tanah yaitu permukaan tanah yang dapat menyimpan curah hujan. Terdapat dua parameter dalam simpanan ini yaitu evapotranspirasi dan perkolasi. Kapasitas simpanan produksi tergantung pada jenis tanah dalam DAS. Beberapa jenis tanah mempunyai kondisi porositas dapat membuat simpanan produksi yang lebih besar. Koefisien pertukaran tanah (X2) adalah fungsi tanah yang mempengaruhi pertukaran menyimpan dalam zone perakaran. Bila memiliki nilai negatif, maka air masuk kedalam aquifer, ketika memiliki nilai positif, maka air keluar dari aquifer ke areal penyimpanan zone perakaran (routing storage). Kapasitas maksimum simpanan zone perkaran (X3) adalah sejumlah air yang dapat disimpan di dalam pori tanah. Nilai simpanan zone perakaran ini bergantung dari jenis dan tingkat kelembaban tanah. Waktu Puncak (time to peak) (X4) adalah waktu saat puncak debit dari hidrograf pada pemodelan GR4J yang menyebabkan banjir. Dari penelitian tersebut, Perrin et al. (2001) menggunakan 429 DAS yang memiliki iklim yang berbeda termasuk iklim tropis (Brazil). Jadi model ini dapat digunakan untuk Indonesia yang memiliki iklim tropis. Gambaran fisik pemodelan GR4J dari proses curah hujan menjadi aliran permukaan permukaan dalam suatu DAS diilustrasikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Deskripsi fisik model curah hujan run off GR4J Kalibrasi Model. Dalam rangka untuk mengkalibrasi model, data debit harian dari suatu sungai selama 5-10 tahun diperlukan untuk mendapatkan empat parameter model GR4J (Gambar 5). Data curah hujan diolah dengan menggunakan program MATLAB 7.0. Nilai-nilai parameter yang optimal akan diperoleh dengan tingkat penyimpangan yang kecil. Data curah hujan digunakan di sini adalah curah hujan daerah tangkapan air menggunakan Polygon Thiessen dari beberapa stasiun curah hujan. Ordinat dari hidrograf ini dibentuk dari debit aliran permukaan, di mana 90% dari aliran adalah aliran lambat yang masuk ke dalam tanah dan 10% dari aliran adalah aliran cepat yang mengalir di permukaan tanah.
18
Gambar 5. Diagram model transformasi hujan-aliran permukaan GR4J Dalam perhitungan deviasi, metode Coefficient Nash-Sutcliffe (NS) digunakan untuk menghitung perubahan antara penjumlahan kuadrat dari data observasi dengan data hasil pemodelan dan metode Kesalahan Relative Volume (RVE) untuk menghitung volume data observasi dengan pemodelan data hasil . Persamaan umum Nash-Sutcliffe Coefficient diberikan persamaan 1 dan kesalahan relative disajikan pada persamaan 2. (1) Kesalahan relatif (2)
Intergrated Flood Analysis System (IFAS) Menurut Tomonobu Sugiura et al. (2009), IFAS merupakan salah model analisis banjir-aliran permukaan (run-off) yang praktis yang dapat digunakan sebagai alat (toolkit) untuk peramalan banjir yang lebih efektif dan efisien di negara berkembang. Sistem ini mengimplementasikan data antar muka (interface) antara data curah hujan berbasis lapangan (ground) tetapi juga bisa berasal dari satelit (satellite base) dengan bantuan software fungsi GIS untuk membangun model banjir - aliran permukaan, model analisis aliran permukaan dan antar muka untuk menampilkan outputnya. Hasil utama dari verifikasi sistem ini pada daerah aliran sungai adalah sebagai berikut: • sebagian besar waktu puncak debit hasil simulasi menggunakan data curah hujan berbasis satelit dan dengan estimasi parameter menggunakan GIS relatif sama dengan data pengamatan.
19 •
verifikasi menunjukkan kemungkinan bahwa data curah hujan berbasis satelit, dapat digunakan sebagai data masukan curah hujan untuk melakukan analisis run-off untuk peramalan banjir suatu DAS yang tidak mempunyai data pengamatan. Konsekuensinya mengandalkan data curah hujan berbasis satelit dan estimasi parameter menggunakan GIS untuk digunakan dalam analisis kasus banjir run-off dengan bantuan data hidrologi dan geofisika yang cukup memadahi. Gambaran umum IFAS disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Gambaran umum model analisis distribusi Hidrologi IFAS Konsep Dasar IFAS Desain utama untuk mengembangkan IFAS adalah sebagai berikut: • Pemanfaatan data curah hujan berbasis satelit sebagai input data Saat ini informasi dari satelit berbasis real time, memanfaatkan ketersediaan satelit dari NASA, NOAA, JAXA, dll. Data curah hujan berbasis satelit dapat diperoleh dengan cara download melalui internet. Data tersebut dapat menggantikan data curah hujan hasil pengukuran yang kurang/ tidak tersedia. • Implementasi mesin analisis aliran permukaan Mesin analisis banjir-aliran permukaan IFAS adalah model distribusi hidrologi berbasis fisik. Sebagian besar parameter yang terkait dengan kondisi fisik DAS meliputi penggunaan lahan dan jenis tanah, tersedia secara global sebagai data GIS. Pedoman parameter disusun berdasarkan hasil simulasi masa lalu (DAS lain) untuk kemudian diaplikasikan pada DAS yang mempunyai data kurang lengkap. • Implementasi dari penciptaan model dan fungsi estimasi parameter IFAS memiliki fungsi untuk menyusun model run-off dan mengestimasi parameter menggunakan data GIS elevasi, jenis penggunaan lahan, tanah, dan
20 lain-lain. Dengan fungsi ini, analisis run-off dapat dilaksanakan pada DAS dengan informasi hidrologi dan geofisika cukup. • Visualisasi hasil peramalan banjir IFAS memiliki tampilan antar muka untuk menampilkan hasil output untuk mengidentifikasi risiko banjir dengan melihat hasil visualisasi simulasi. • Distribusi Bebas Model IFAS direncanakan untuk mendistribusikan (file eksekusi) secara bebas. Gambar 7 menunjukkan struktur utama dan prosedur IFAS. IFAS diklasifikasikan ke dalam menu: antar-muka data masukan curah hujan, fungsi penyusunan model, fungsi perhitungan run-off, dan fungsi tampilan hasil perhitungan. IFAS dapat dijalankan dengan software Windows XP. Data Curah hujan berbasis satellite: Internet
Data Curah hujan
1. 3B42RT(NASA) areal peliputan :50N- 50S Resolusi spasial: 0.25 drjt, time resolution 3 jam, delay of data delivery:10 jam 2. QMORPH(NOAH) areal peliputan: 60N-60S Resolusi spasial: 0.25 drjt, time resolution 0,5 jam, delay of data delivery: 2,5jam
Pembangunan Model
1. Estimasi dari data Geografik Landuse : GLCC (USGS) Tanah: Tekstur tanah (UNEP), Kedalaman tanah (NASA), Kelembaban (UNEP) Geologi (CGWM) 2. Estimasi dari Sub DAS
Pengembangan jaringan drainase: Data DEM
Analisis run-off Tampilan hasil
PWRI-distributed model Ver2.0
Tampilan datar, Tampilan tiga dimensi, Table & Grafik, animasi
Gambar 7. Struktur Utama IFAS Implementasi Mesin Analisis Aliran Permukaan Kelangkaan fasilitas peralatan pengamatan hidrologi berarti kelangkaan database sejarah hidrologi. Parameter model hidrologi curah hujan-aliran permukaan biasanya ditentukan oleh sejarah hidrologi (data curah hujan dan debit). Model distribusi hidrologi IFAS sebagai model analisis aliran permukaan, menggunakan parameter-parameter yang berhubungan dengan kondisi geografi untuk DAS yang tidak mempunyai data sejarah hidrologi. Di masa yang akan datang IFAS akan menjadi mesin multi analisis dan pengguna dapat memilih untuk analisis peramalan banjir. Mesin model distribusi hidrologi IFAS membagi DAS dalam sel/ bagian dan perhitungan/analisis dapat dilakukan pada setiap sel. Aliran vertikal diekspresikan oleh 2 atau 3 jenis bak/tangki. IFAS mengkategorikan semua sel untuk beberapa klasifikasi dan kriteria parameter berbasis GIS berupa data penggunaan lahan, geologi, tanah dan lain-lain. Model Distribusi Hidrologi PWRI Versi 2 digunakan untuk menyederhanakan perhitungan arah vertikal yang diklasifikasikan dalam dua tangki (Gambar 8).
21 Surface tank (Upper tank) Rainfall (R) h
Sf2
QSf (Surface flow)
Sf1 Sf0
Qf1 (Rapid intermediate flow Subsurface flow) Qf1 (Percolation)
Groundwater tank (Lower tank) Sg
Percolation (Q in) Qg1 Unconvined groundwater flow h Qg2 Convined groundwater flow
Ground water tank (Lower tank) Qin
Qr River channel flow
Gambar 8. Model distribusi hidrologi IFAS PWRI versi 2 Fungsi Penyusunan Model dan Estimasi Parameter IFAS menyiapkan alat (tool kits) GIS untuk melakukan analisis data geofisika dan mengestimasi parameter model hidrologi. Topografi dan jaringan sungai diestimasi dari USGS-GTPO30 berupa data DEM. Parameter untuk model aliran permukaan diestimasi dari data tutupan lahan USGS-GLCC, dan bila diperlukan data tekstur tanah diestimasi dari UNEP/DEWA/GRID atau geologi pada CGMW. Data tersebut dapat diperoleh melalui internet dan kemudian diinputkan secara otomatis ke dalam setiap sel model IFAS aliran permukaan. Dengan menggunakan data GIS, memungkinkan untuk merekayasa model perhitungan aliran permukaan sebagaimana disajikan pada Gambar 9.
22
Intake of digital elvation data
Created a basin boundary
Create river channel network
Gambar 9. Fungsi rekayasa model IFAS IFAS menggunakan data GIS sebagai masukan untuk menciptakan batas DAS secara otomatis menurut data ketinggian. DAS target dibagi kedalam sel sesuai dengan panjang data yang telah diinputkan sebelumnya dan perhitungan dilakukan untuk setiap sel. Ketika dipilih sel outlet maka aliran akan diarahkan secara otomatis dan menciptakan jaringan sungai berdasarkan data ketinggian. Apabila diciptakan sel depresi (cekungan) yang lain dalam DAS tersebut, maka jaringan sungai tersebut akan terbagi, perubahan data ketinggian setiap sel akan muncul secara otomatis, sehingga arah aliran seluruh sel mengarah ke outletnya. Dalam IFAS, parameter yang diperlukan untuk mengatur seluruh sel dalam model aliran permukaan dirancang untuk mengatur secara otomatis menurut klasifikasi GLCC sebagai input data. Saat ini klasifikasi standar pedoman nilai parameter yang telah ditentukan sebelumnya diaplikasikan dalam IFAS untuk menyusun (setup) parameter yang tidak mempunyai informasi hidrologi sebelumnya. Impementasi Antar Muka Grafik Model IFAS Hasil perhitungan IFAS meliputi: hidrograf, tampilan distribusi spasial debit sungai, grafik tinggi muka air tangki, dan distribusi spasial curah hujan data statelit. Selain tampilan tersebut juga memungkinkan untuk menampilkan hasil
23 analisis debit dan tinggi muka air setiap tangki (bendung/dam). Perhitungan dilakukan pada setiap sel, maka memungkinkan untuk menampilkan hasil perhitungan aliran permukaan untuk setiap sel. Tampilan deret waktu dapat dilakukan dengan menggunakan cara animasi. Setiap grafik dibuat pada suatu titik dibuat link dengan titik yang lain dan apabila grafik dipindah ke titik lain dan akan ditampilkan dalam bentuk peta, maka isi dari grafik tersebut berubah menyesuaikan dengan titik yang baru. Penggunaan IFAS Hasil perhitungan debit menggunakan data curah hujan berbasis satelit dan menggunakan data lapangan (ground) disajikan pada Gambar 10. Bila terjadi perbedaan antara data satelit dengan data lapangan, hasil simulasi perlu dikalibrasi menurut perhitungan aliran permukaan berdasarkan data curah hujan dan data debit pengukuran. Berdasar Gambar 10, hasil simulasi seperti debit puncak dan durasi banjir menggunakan data berbasis satelit mempunyai kemiripan dengan hasil simulasi dengan data pengukuran. Walaupun nilai hasil simulasi dengan menggunakan data curah hujan berbasis satelit berbeda dengan debit hasil pengukuran, namun ternyata time to peak dan durasi banjir sama dengan hasil simulasi kualitatifnya.
Gambar 10. Hasil simulasi debit di Dam Sameura
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu. Secara administratif DAS Ciliwung Hulu masuk wilayah Kecamatan Bogor Timur, Kodya Bogor, Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung, Kabupaten
24 Bogor, Jawa Barat (Gambar 11). Waktu pelaksanaan penelitian adalah antara Februari hingga Juli tahun 2012.
Gambar 11. Peta Lokasi Penelitian Bahan dan Peralatan Bahan dan Peralatan Bahan • Peta Rupa Bumi skala 1: 25.000 lembar Ciawi dan Cisarua • Peta satuan lahan (jenis tanah, topografi, lereng dan penggunaan lahan) • Peta DEM (Digital Elevation Model), Citra Landsat, IKONOS • Data iklim dan debit harian dan jam-jaman • ATK
25 Peralatan • Current Meter dan Ombrometer • GPS, kompas, meteran, bor tanah, gelas ukur • Software (Arc GIS 3.5.2, Arc View 3.1, GR4J, IFAS, DSS) • Lembar questioner Metode Penelitian Metode penelitian dirancang berdasarkan pelaksanaan beberapa kegiatan sebagai berikut: • Karakterisasi kualitas parameter kesesuaian pengembangan dam parit (biofisik lingkungan dan sosial ekonomi) • Penyusunan desain kriteria parameter kesesuaian pengembangan dam parit • Analisis manfaat pengembangan dam parit dalam mengurangi volume debit puncak dan kecepatan aliran, peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan nilai ekonomis. Pelaksanaan penelitian mencakup kegiatan desk study dan field study. Desk study meliputi kegiatan studi pustaka, pengolahan data, analisis dan pemodelan. Sedangkan field study meliputi kegiatan pengamatan karakteristik kualitas parameter yang meliputi biofisik lahan, kondisi jalur aliran (debit sesaat, ordo sungai, geologi, jenis batuan, lebar sungai, tinggi tebing, ketersediaan bahan bangunan dan lain lain). Selain itu field study juga melakukan pengumpulan data sosek (dukungan, manfaat), identifikasi penggunaan lahan, identifikasi lahan target irigasi dan pola tanam, serta pengumpulan data sekunder (debit, curah hujan). Karakterisasi Kualitas Parameter Kesesuaian Pengembangan Dam Parit Karakterisasi parameter kesesuaian pengembangan dam parit dilakukan untuk mengetahui kualitas parameter untuk pengembangan dam parit. Oleh karena itu karakterisasi perlu dilakukan terhadap: (a) kondisi biofisik lahan (geologi, tanah, topografi dan tutupan lahan), kondisi iklim dan hidrologi (curah hujan, morfometrik DAS, debit aliran), (b) kondisi jalur aliran sungai (bentuk penampang, lebar, kemiringan dasar sungai, tinggi tebing, jenis batuan di dasar sungai, jenis dan ketebalan bahan endapan), (c) Kondisi tebing sungai untuk perencanaan saluran irigasi (tingkat kemiringan, jenis batuan dan tanah), dan (d) kondisi sosial ekonomi masyarakat (Sawiyo 2010, Pawitan et al. 2010). • Geologi. Karakteristik geologi dilakukan berdasarkan identifikasi Peta Geologi Lembar Bogor, Jawa Barat skala 1 : 100.000 (Efendi et al. 1999) serta pengamatan lapang. Hasil identifikasi dapat memberikan informasi berupa formasi batuan serta umur dan jenis batuan di wilayah Ciliwung Hulu. • Fisiografi. Karakterisasi fisiografi/landform dilakukan untuk mengetahui jenis dan karakteristiknya sampai tingkat unit landform dengan mengacu pada kriteria klasifikasi landform (Marsudi et al. 1994). • Topografi. Karakterisasi topografi dilakukan dengan analisis bentuk wilayah, posisi lereng, dan tingkat kemiringan lereng. Analisis dilakukan dengan menggunakan peta kontur (peta rupa bumi dan DEM SRTM) dan hasil analisis
26
•
•
•
kemudian dilakukan verifikasi di lapangan. Untuk pengukuran kemiringan lereng di lapangan digunakan klinometer atau abney level. Penggunaan Lahan. Karakterisasi penggunaan lahan dilakukan dengan analisis tutupan lahan dengan menggunakan peta rupa bumi digital skala 1: 25.000 lembar Cisarua 1209-142, lembar Ciawi 1209-141 (Bakosurtanal 2009) dan citra satelit IKONOS. Hasil analisis dilakukan terhadap batas satuan penggunaan lahan dan pengamatan jenis vegetasi. Tanah. Karakterisasi tanah dilakukan untuk mengetahui kondisi sifat fisik (morfologi), kimia tanah dan lingkungannya untuk menyusun satuan peta tanah menurut SSDS (1993) dan pengisian formulir karakteristik tanah mengikuti petunjuk kode komputer untuk pengisian formulir Basis Data Tanah (Ropik dan Hapid 2000). Unsur-unsur penyusun satuan lahan (land unit) dapat dipertimbangkan berdasarkan tujuannya. Dalam kaitan penilaian kemampuan lahan sebagai dasar untuk penentuan kriteria kesesuaian posisi pengembangan dam parit, maka parameter yang dijadikan sebagai unsur satuan lahan adalah : land form (bentuk lahan), bahan induk, topografi (bentuk wilayah, posisi lereng, dan tingkat kemiringan), ketinggian tempat, penggunaan lahan dan karakteristik tanahnya (solum, susunan horison, warna, tekstur, struktur, reaksi tanah dll). Klasifikasi tanah yang digunakan adalah sistem klasifikasi tanah menurut Soil Taxonomy, USDA dalam kategori sub grup (SSS 1998) dan padanannya digunakan adalah Klasifikasi Tanah Indonesia (PPT 1983). Unsur satuan lahan terdiri dari: unsur lingkungan (fisiografi, bahan induk, tinggi tempat, topografi (bentuk wilayah, posisi lereng, kemiringan lereng) dan karakteristik tanah (drainase, solum, tekstur, pH tanah, BD dan klasifikasi tanah dalam tingkat sub-grup). Dalam identifikasi dan karakterisasi dipertimbangkan data hasil pemetaan sebelumnya yaitu antara lain: Peta Tanah Semi Detil skala 1:100.000 Daerah Jabodetabek (Puslittanak 1999) dan Peta Satuan Lahan daerah DAS Ciliwung Hulu Skala 1 : 25.000 (Wibawa 2007). Hidrologi. Karakterisasi hidrologi dilakukan terhadap morfometrik DAS dan sub DAS yang meliputi panjang sungai berdasarkan ordo, keliling, luas DAS dan DAS Mikro. Kondisi jalur aliran; karakterisasinya meliputi bentuk penampang sungai, lebar sungai, kemiringan dasar sungai, posisi geografis dan elevasi, tinggi tebing, jenis batuan di dasar sungai, jenis dan ketebalan bahan endapan, serta ketersediaan bahan bangunan. Kondisi jalur irigasi; karakterisasinya meliputi kondisi tanah dan batuan, kemiringan lereng, jarak ke areal target dari areal yang akan dilalui saluran irigasi. Karakterisasi debit aliran; Pengamatan debit dilakukan pada saat musim hujan dan musim kemarau. Untuk keperluan analisis kurva lengkung debit dilakukan pengamatan debit sesaat dalam suatu periode hujan yang mengalir ke limpasan bendung dan saluran. Karakterisasi parameter sosial ekonomi dilakukan dengan data sosial ekonomi diambil dari desa di sekitar pengembangan dam parit. Data administrasi kependudukan diperoleh dari data potensi desa Sukagalih dimana dam parit di bangun. Data tersebut antara lain meliputi jumlah penduduk, jumlah KK, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, sarana dan prasarana produksi. Untuk mengetahui tingkat dukungan, keterlibatan, kebutuhan air masyarakat, serta
27 peningkatan produksi, dilakukan wawancara dan pengisian daftar quesioner dengan teknik RRA (Rapid Rural Appraisal). Analisis Kriteria Parameter Kesesuaian Pengembangan Dam Parit Analisis kriteria kesesuaian pengembangan dam parit dalam penelitian ini terbagi menjadi dua pendekatan yaitu: a) analisis kriteria pengembangan dam parit secara individu, dan b) analisis kriteria pengembangan dam parit secara terpadu. Analisis pengembangan dam parit secara mikro dilakukan dalam suatu kawasan DAS mikro, sedangkan pengembangan dam parit secara terpadu dilakukan dalam suatu kawasan DAS. Analisis kriteria kesesuaian pengembangan dam parit secara individu dalam suatu DAS mikro ditujukan untuk menentukan kriteria kesuaian posisi pengembangan dam parit dan menentukan kriteria kesesuaian dimensi/kapasitas tampungnya. Sedangkan analisis kriteria kesesuaian pengembangan dam parit dalam skala DAS ditujukan untuk penentuan kriteria kesesuaian volume dam parit dan sebarannya dalam kawasan DAS. •
Desain Kriteria Parameter Model Kesesuaian Pengembangan Dam Parit Individual Desain kriteria parameter pengembangan dam parit secara individual meliputi: (a) kriteria parameter kesesuaian posisi dan (b) kriteria parameter penentu dimensi. 1. Kriteria Kesesuaian Posisi Pengembangan Dam Parit Individual Parameter kesesuaian posisi pengembangan dam parit terdiri dari faktor iklim, biofisik lahan, hidrologi, kondisi jalur aliran dan sosial ekonomi masyarakat. Parameter penentu kesesuaian posisi terdiri dari kualitas parameter dan kriteria parameter (Sawiyo 2010). Kualitas parameter terdiri dari beberapa karakteristik parameter yaitu kondisi yang dapat terukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Djaenudin et al. 2003). Data kualitas parameter kesesuaian posisi dam parit diperoleh melalui proses pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui proses karakterisasi dan analisis yang meliputi: a) iklim (curah hujan harian, menitan); b) kondisi biofisik lahan (jenis batuan, fisiografi, topografi, penggunaan lahan, tanah dan kemampuan lahan); c) kondisi hidrologi (pola drainase, morfometrik DAS mikro, debit, luas DTA dan areal target irigasi); d) kondisi jalur aliran (jenis batuan, orde, bentuk, lebar, tinggi tebing dan kemiringan dasar sungai); e) kondisi jalur irigasi (kondisi tebing, tanah dan batuan); dan f) sosial ekonomi masyarakat (dukungan masyarakat dan keterlibatan masyarakat). (Sawiyo 2010; Pawitan et al. 2010). Diagram alir penentuan kriteria kesesuaian teknik panen hujan disajikan pada Gambar 11.
28
Gambar 11. Diagram alir analisis kesesuaian teknik panen hujan secara individu Kriteria parameter model kesesuaian posisi pengembangan dam parit ditentukan melalui studi pustaka dan konsultasi pakar (expert system). Kriteria parameter model kesesuaian posisi pengembangan dam parit terdiri faktorfaktor yang sama dengan kualitas parameter. Dari hasil studi pustaka dan konsultasi pakar ditentukan kriteria kesesuaian posisi pengembangan dam parit terdiri dari 6 parameter yaitu: a) ketersediaan air, b) stabilitas bangunan, c) aksesibilitas, d) distribusi air, e) pemanfaatan air, dan f) sosial ekonomi masyarakat. Dari 6 parameter kemudian dirinci kembali dan menghasilkan 14 sub parameter. Setiap sub parameter terdiri dari satu atau lebih faktor penentu sehingga terdapat 24 faktor penentu. Contoh faktor lereng dirinci berdasarkan kelas lerengnya 0-3%, 3-8%, 15-30%, begitu juga faktor penentu lainnya. Bila suatu sub parameter terdiri dari lebih dari satu faktor penentu maka nilai sub parameter tersebut ditentukan berdasarkan interaksi antar kelas dari faktor penentu yang kemudian dilakukan matching dengan kualitas parameter penentunya. Proses penilaian sub parameter kesesuaian posisi pengembangan dam parit berdasarkan interaksi antar faktor-faktor penentunya disajikan pada Gambar 12.
29
Gambar 12. Proses penilaian sub parameter kesesuaian posisi berdasarkan interaksi antar faktor penentunya dengan bantuan DSS 2. Kriteria Kesesuaian Volume Pengembangan Dam Parit Individual Areal tampung dam parit hanya terbatas pada jalur sungai tidak ada lahan lain yang harus dikorbankan menjadi media tampung. Dalam model pengembangan dam parit individual, kriteria kapasitas tampung dam parit dimaksudkan adalah jumlah aliran permukaan yang dapat ditampung oleh dam parit yang terdapat dalam jalur anak sungai. Bila dam parit telah terisi penuh maka air sebagian akan mengalir melalui saluran dan apabila debitnya lebih besar sebagian akan mengalir ke sungai melalui pelimpas dam. Air yang mengalir melalui saluran irigasi diteruskan hingga ke areal target. Untuk target domestik air ditampung melalui bak-bak tampung/kolam yang terdapat di masing-masing rumah. Sedangkan untuk target irigasi air dari saluran akan ditampung di petak-petak lahan. Dengan demikian maka kapasitas tampung dam parit selain ditentukan oleh parameter dari karakteristik penampang sungai (volume dam) juga ditentukan pula oleh parameter dimensi saluran, dan parameter luas dan bentuk lahan target. Diagram alir proses penyusunan desain kriteria kesesuaian volume pengembangan dam parit individual disajikan pada Gambar 13.
30
Gambar 13. Diagram alir proses penyusunan desain kriteria kesesuaian volume pengembangan dam parit individual Interaksi antar faktor penentu sub parameter terjadi apabila suatu sub parameter kesesuaian terdiri lebih dari satu faktor penentu. Penentuan nilai kesesuaian dari hasil interaksi antar faktor penentu mengacu pada pendapat pakar/ expert (Djaenudin et al. 2003). Untuk mempermudah proses penentuan tingkat kesesuaian sub parameter penentu, maka perhitungan dilakukan dengan bantuan program decision support system DSS. Nilai kesesuaian posisi dam parit ditentukan oleh satu atau lebih nilai kesesuaian sub parameter yang mempunyai nilai terendah. Menurut Heryani dan Sutrisno (2005); Sawiyo et al (2008) dan Sawiyo (2010) tingkat kesesuaian posisi pengembangan dam parit ditentukan secara kualitatif sebagai berikut: S1 = sangat sesuai artinya karakteristik parameter tidak mempunyai kendala atau berkendala ringan mudah dan mudah diatasi S2 = cukup sesuai artinya karakteristik parameter mempunyai kendala yang cukup berat namun masih cukup mudah diatasi S3 = Kurang sesuai artinya karakteristik parameter mempunyai kendala berat dan memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk mengatasinya N = Tidak sesuai artinya karakteristik parameter mempunyai kendala yang sangat berat dan dapat membahayakan keberlanjutan kondisi lingkungan Kriteria Parameter Kesesuaian Pengembangan Dam Parit Terpadu Skala DAS Model desain pengembangan dam parit dilakukan melalui aplikasi model hidrologi meliputi 2 tahapan. Tahapan pertama adalah analisis untuk menentukan volume hujan yang harus dipanen saat terjadi hujan ekseptional, berdasarkan analisis debit maksimum menurut kriteria ambang tinggi muka air tertentu. Panen
31 Hujan yang harus dipanen dihitung dari volume hujan maksimum dikurangi dengan hujan volume penyebab debit ambang batas banjir. Khusus untuk kawasan DAS Ciliwung digunakan ambang baku tinggi muka air/debit Siaga III pada Bendung Katulampa, Bogor. Status kondisi siaga di DKI Jakarta berdasarkan tinggi muka air dari Bendung Katulampa adalah : Siaga I = > 200 cm, Siaga II = 150 -200 cm, Siaga III 80-150 cm dan Siaga IV (kondisi normal) < 80 cm (PSDA 2004). Menurut Grenti et al. 2006 debit yang menyebabkan banjir DAS di Sungai Ciliwung apabila debit di bendung Katulampa sebesar 106,7 m3/dt. Hasil analisis volume hujan yang harus dipanen, selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam menentukan volume debit yang harus dipanen dan jumlah optimum dam parit yang harus dibangun dalam suatu kawasan DAS. Tahapan kedua adalah analisis untuk menentukan lokasi sebaran pembangunan teknik panen hujan yang dapat menurunkan debit puncak secara efektif dan signifikan. •
Penentuan Volume Dam Parit Skala DAS Penentuan volume panen hujan dilakukan berdasarkan aplikasi Model Debit GR4J. Model ini merupakan model debit yang sederhana, dapat diandalkan, serta merupakan model global dengan interval waktu harian yang hanya membutuhkan 4 parameter (Perrin 2002). Struktur model GR4J dikembangkan berdasarkan pendekatan secara empiris dan telah melalui pengujian pada DAS dengan berbagai kondisi yang beragam. Model GR4J digunakan untuk mensimulasi penurunan debit puncak pada beberapa skenario penurunan intensitas curah hujan lebih (excess rainfall) (Gambar 14).
10 th 5 th
Gambar 14. Analisis penentuan volume panen hujan dan aliran permukaan berdasarkan aplikasi model hidrologi Volume penurunan intensitas curah hujan lebih tersebut merepresentasikan volume curah hujan yang harus dipanen agar debit puncak yang terjadi pada outlet DAS tidak akan melampaui ambang batas debit maksimum yang ditetapkan menurut kriteria periode ulang banjir. Debit maksimum digunakan sebagai kriteria ambang batas ditetapkan berdasarkan analisis debit periode ulang 5 tahun dan 10
32 tahun. Debit periode ulang banjir 5 tahun dan 10 tahun akan dianalisis menurut metode Gumbell. •
Penentuan Lokasi Sebaran Dam parit Penentuan lokasi sebaran dam parit dianalisis berdasarkan aplikasi Model IFAS yang telah dikembangkan oleh ICHARM (Fukami et al. 2009). IFAS (Integrated Flood Analysis System) memiliki beberapa menu diantaranya menu masukan data hujan baik dari stasiun hujan maupun dari satelit, menu fungsi SIG untuk menyusun peta jaringan sungai dan menu untuk menghitung parameter dari model simulasi aliran sungai serta menu untuk menyajikan hasil analisis. IFAS dapat digunakan sebagai alat bantu untuk memprediksi banjir dan mengembangkan sistem peringatan dini pada DAS yang tidak memiliki alat pemantau debit. IFAS memiliki 3 jenis parameter yaitu: parameter permukaan, aquifer dan parameter aliran sungai. Nilai baku dari ketiga parameter tersebut sudah tersimpan dalam sistem basis data. Semua parameter dapat di modifikasi secara otomatis maupun secara manual. Proses penentuan lokasi sebaran dam parit menggunakan aplikasi model IFAS akan dilakukan melalui 2 tahapan yaitu : 1. Penyusunan Data Spasial Lokasi Sebaran Dam Parit Menurut Acuan Kriteria Kesesuaian Dam Parit Terpadu Skala DAS. Data spasial lokasi sebaran dam parit menunjukkan posisi geografis dari suatu rekomendasi pengembangan dam parit menurut panduan kriteria kesesuaian teknik panen dam parit skala DAS. Peta tersebut merupakan hasil integrasi antara proses spasialisasi DAS Ciliwung Hulu menjadi beberapa pixel atau grid berukuran 0.5 km serta filterisasi nilai dan parameter menurut kriteria kesesuaian pengembangan dam parit yang diterapkan pada layer peta geologi, tanah, penggunaan lahan, lereng, kemampuan lahan, dan peta jaringan sungai selama dilakukannya proses overlay. Lokasi yang sesuai untuk pembangunan dam parit direkomendasikan menurut kriteria kesesuaian dam parit terpadu ditunjukkan oleh grid-grid yang merepresentasikan posisi geografis yang selanjutnya menjadi masukan data model IFAS dalam proses simulasi debit sebagai dampak pembangunan dam parit. 2. Simulasi Perubahan Debit Sebagai Dampak Pengembangan Dam Parit secara Terpadu pada Skala DAS Dalam penelitian ini, berdasarkan aktivasi menu yang terdapat dalam IFAS, beberapa skenario jumlah dan lokasi penempatan dam parit berdasarkan acuan kriteria kesesuaian pembangunan dam parit secara terpadu pada skala DAS akan dibangkitkan, kemudian hidrograf yang terbentuk akan dibandingkan dengan hidrograf kondisi inisial. Jumlah dan lokasi dam parit yang optimal ditetapkan berdasarkan tingkat penurunan puncak hidrograf yang paling signifikan. Gambar 15 menunjukkan menu dalam IFAS yang mengilustrasikan perubahan hidrograf menurut skenario perubahan kapasitas tampung dan lokasi penempatan bangunan dam parit di DAS Ciliwung Hulu.
33
Gambar 15. Ilustrasi simulasi hidrograf pada beberapa skenario distribusi lokasi dan karakteristik dam parit menggunakan aplikasi model IFAS •
Analisis Dampak Pengembangan Dam Parit Analisis dampak pengembangan dam parit dilakukan pada beberapa aspek meliputi: 1. Analisis dampak hidrologis (penurunan debit puncak dan peningkatan waktu dasar) 2. Analisis dampak peningkatan produktifitas lahan 3. Analisis finansial usahatani lahan target. Analisis Dampak Hidrologis. Dampak pengembangan dam parit terhadap perubahan fungsi hidrologis (penurunan debit puncak dan peningkatan waktu saat terjadi debit puncak (time to peak) serta peningkatan waktu dasar (time base) dianalisis berdasarkan perbandingan karakteristik hidrograf sesaat (interval jamjaman) pada outlet DAS sebelum dan sesudah pembangunan dam parit (Gambar 16).
Gambar 16. Perbedaan karakteristik hidrograf sebelum dan sesudah implementasi teknik panen hujan Keterangan: Q1 = volume debit puncak sebelum implementasi Dam Parit. Q2 = volume debit puncak setelah implementasi Dam Parit.
34 Analisis perbandingan karakteristik hidrograf sebelum dan sesudah implementasi teknik panen hujan (pembangunan dam parit) dilakukan terhadap hidrograf yang terbentuk dari kejadian hujan yang memiliki karakteristik relatif hampir sama meliputi jeluk hujan, intensitas maksimum dan lamanya hujan. Karakteristik hidrograf yang dibandingkan meliputi debit puncak (peak discharge), waktu dasar (time base), waktu puncak (time to peak), volume debit alira permukaan serta koefisien aliran permukaan. Analisis Dampak Terhadap Peningkatan Produktifitas Lahan. Pengembangan dam parit yang diikuti dengan pembuatan saluran irigasi ke areal target diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan dan keberhasilan usahatani. Analisis dilakukan terhadap indeks pertanaman (IP) yaitu jumlah pertanaman dalam 1 tahun. Analisis Dampak terhadap Pendapatan Petani. Analisis dampak pengembangan dam parit terhadap pendapatan petani dilakukan berdasarkan analisis kelayakan finansial usahatani meliputi analisis Net B/C ratio dan analisis kelayakan investasi. B/C Ratio merupakan alat analisa untuk mengukur tingkat keuntungan teknologi baru di dalam proses produksi usahatani. B/C ratio =
……………………………………………………. 1
Keterangan: TR1 dan TR2 = Pendapatan cabang usahatani I dan II TC1 dan TC2 = Biaya untuk cabang usahatani I dan II Kriteria: B/C Ratio > 0, usahatani menguntungkan B/C Ratio < 0, usahatani tidak menguntungkan B/C Ratio = 0, usahatani impas Analisis Kelayakan Investasi dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yang berdasarkan pada konsep Cashflow yaitu Metode Payback Period, Metode Net Present Value (NPV) dan Metode Internal Rate of Return (IRR). Periode Pengembalian (Payback Period) Memperhitungkan berapa nilai investasi dari pembangunan dam parit dan penghasilan (proceeds) yang diperoleh berupa peningkatan hasil tanaman. Dari kedua nilai itu maka kita akan dapat memperhitungkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup kembali seluruh nilai investasi tersebut dari proceeds yang diterima tiap tahun. Dalam hal ini payback period dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus: PP = I/Pi ………………………………………………………………. 2 Di mana: PP = Periode Pengembalian (payback period). I = Nilai seluruh investasi Pi = Rata-rata proceed tiap tahun Net Present Value dari Proceed (NPV) merupakan sisa hasil pengurangan nilai sekarang dari penghasilan (proceed) dengan outlay (nilai investasi). Apabila NPV mempunyai nilai positif berarti investasi tersebut menguntungkan sebab dalam hal itu berarti terdapat sisa hasil di atas pengeluarannya, sedangkan apabila
35 negatif berarti tidak menguntungkan. Untuk menghitung NPV ini dapat dipergunakan rumus sebagai berikut: NPV = ( P1 + P2 + ………………….. Pn ) – 1 (1+i ) ^1 (1+i)^2 (1+i)^n ………………………………………………. 3 Dimana: NPV= Net present value. i = Nilai investasi. P = Proceed. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga diskonto yang menyamakan nilai penghasilan saat ini (present value of proceed) dengan nilai investasi saat ini (present value of outlay). Tingkat bunga yang menyamakan kedua hal itu merupakan IRR. Apabila IRR ini lebih tinggi dari tingkat bunga modal yang akan dipergunakan dalam investasi itu maka investasi tersebut berarti menguntungkan karena hasilnya dapat melebihi ongkos-ongkosnya, sedangkan sebaliknya apabila IRR adalah lebih rendah dari tingkat bunganya maka berarti investasi tidak menguntungkan. Oleh karena itu maka IRR dapat kita hitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: IRR =I I = ( P 1 + P2 + …………………. Pn ) = 0 (1+i ) ^1 (1+i)^2 (1+i)^n ……………………………………………. 4 Di mana : I = Investasi, P = Proceed, n = Jangka waktu proyek, i = Tingkat diskonto atau IRR
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Daerah Penelitian Parameter kriteria model kesesuaian dam parit yang menyangkut kesesuaian posisi, dimensi dan jumlah sebaran dalam suatu kawasan DAS atau Sub DAS terdiri dari parameter biofisik lahan, kondisi jalur aliran dan parameter sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian (Sawiyo 2009). Untuk itu perlu dilakukan karakterisasi biofisik lahan dan parameter sosial ekonomi masyarakat. Karakterisasi Biofisik Lahan Daerah Penelitian Karakterisasi biofisik lahan dilakukan terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan teknik panen hujan (dam parit) yaitu meliputi faktor geologi/batuan, topografi (fisiografi dan bentuk wilayah), tanah, penggunaan lahan dan vegetasi, kemampuan tanah, iklim dan hidrologi. • Karakteristik Geologi dan Geomorfologi 1. Geologi. Kondisi geologi penting untuk diketahui antara lain adalah formasi dan jenis batuan karena akan berpengaruh terhadap kemampuan meresapkan dan menyimpan air, kekokohan bangunan dan desain saluran irigasi. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor skala 1 : 100.000 (Efendi et al.
36 1980), DAS Ciliwung Hulu tersusun dari batuan gunung api hasil erupsi Gunung Kencana, Geger Bentang/Gede dan Pangrango, berumur kuarter (jaman Holosen–Pleistosin). Daerah penelitian tersusun dari 3 formasi Qvba, Qvk dan Qvpo. Formasi Qvba merupakan aliran lava bersusun basalt-andesit dari Gunung Gede/Geger Bentang. Formasi Qvk merupakan endapan breksi dan lava dari G. Kencana/Gede berbentuk bongkah-bongkah tufa dan breksi andesit dengan banyak fenokrist piroksen dan lava basalt. Formasi Qvpo berupa endapan vokanik yang lebih tua berasal dari G. Pangrango, terdiri dari lahar dan lava basalt-andesit dengan oligoklas andesit, laboradorit olivin, piroksene, dan hornblenda. Peta Geologi DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 17.
Sumber: Puslitanak 1992
Gambar 17. Peta Geologi DAS Ciliwung Hulu. Sub DAS Cibogo termasuk formasi Qvpo yang merupakan endapan volkanik berupa lahar dan lava basat-andesit berasal dari Gunung Pangrango. Hasil pengamatan dengan bor sedalam 35 m diketahui terdapat 2 lapisan lava diantara endapan volkan lainnya. Lapisan lava I terdapat pada kedalaman 15 m dari permukaan tanah setebal + 3 m dan lapisan lava II terdapat pada kedalaman 31 m dari permukaan tanah. Diantara lapisan lava I dan II terdapat lapisan endapan piroklastik berupa lahar dan abu volkan secara berlapis setebal 10-12 m hasil erupsi terjadi beberapa kali. Sedangkan aliran lava hanya terjadi pada kejadian erupsi cukup besar yang memungkinkan terjadinya aliran lava hingga ke bagian bawah kipas volkan. Ilustrasi kondisi lapisan batuan hasil erupsi volkan di daerah penelitian disajikan pada Gambar 18.
37 Elevasi (m dpl) Lereng atas 900
Lapisan lahar dan piroklastik lepas Lereng tengah 885
Lapisan lava volkan keras, kedap air Lereng bawah
Lapisan lahar dan piroklastik lepas 870
Lapisan lava volkan keras, kedap air Dasar sungai Lapisan lahar dan piroklastik lepas 855
0
25
50
75
100
Jarak horisontal (m)
Gambar 18. Penampang vertikal lapisan batuan pada unit fisiografi kipas volkan bawah, Sub DAS Cibogo. 2. Geomorfologi. Karakteristik geomorfologi sangat penting hubungannya dengan jenis batuan dan proses pembentukan morfologi permukaan DAS. Kondisi ini akan sangat erat kaitannya dengan pola aliran sungai yang terbentuk dalam suatu kawasan DAS. Hasil interpretasi peta geologi, peta kontur dan citra satelit dan pengamatan lapang, maka diketahui bahwa secara fisiografis DAS Ciliwung Hulu merupakan sistem fisiografi volkan berlapis (V1), yaitu sistem geomorfologi yang proses pembentukannya terjadi karena letusan gunung api secara berulang-ulang. Hasil pengamatan di lapang secara fisiografis wilayah DAS Ciliwung Hulu nampak jelas perbedaan bentuk morfologi Qvk dan Qvpo. Di bagian kanan jalur Sungai Ciliwung (Qvk) yang berupa breksi dan lava dari Gunung Kencana/Gede berupa bongkah-bongkah tufa breksi andesit posisinya terdapat di jalur Gunung Kencana-Gunung Geulis membentuk morfologi pegunungan dan perbukitan volkan dengan punggung membulat. Sungai yang terbentuk berpola drainase dendritik, mempunyai cabang lebih banyak dengan panjang sungai lebih pendek. Sedangkan formasi Qvpo berupa aliran lahar dan lava basalt-andesit hasil erupsi gunung Pangrango terdapat di sebelah kiri jalur Sungai Ciliwung yaitu jalur Gunung Mas-Citeko-Ciawi, membentuk fisiografi kerucut volkan dan kipas volkan dengan bentuk wilayah bergunung dan berbukit memanjang. Pola drainase sejajar dengan cabang sungai yang relatif sedikit dengan aliran yang sungai relatif lebih panjang. Hasil interpretasi fisiografi/landform dilakukan penamaan berdasarkan Pedoman Klasifikasi Landform (Marsoedi et al. 1997). Sub DAS Cibogo yang secara geologis termasuk formasi Qvpo dapat dibedakan ke dalam kerucut volkan (V1.1), kipas volkan (V.1.4), kaki volkan, (V1.1.6), pegunungan volkan (V33), perbukitan volkan (V32) dan aluvial (A). Peta fisiografi/landform Sub DAS Cibogo disajikan pada Gambar 19 dan legendanya disajikan pada Tabel 2.
38
Gambar 19. Peta Fisiografi Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu. Tabel 2. Simbol V1 V1.1
V1.4
Legenda peta fisiografi/ landform Sub DAS Cibogo Unit landform Simbol Sub unit Landform Volkan berlapis Kerucut volkan V1.1.1 Lereng volkan atas V1.1.2 Lereng volkan tengah V1.1.3 Lereng volkan bawah Kipas Volkan V1.4.1 Kipas volkan atas
39 Tabel 2. Lanjutan Simbol Unit landform
V16
Kaki volkan
V32
Perbukitan Volkan
A A1.5 A1.2
Aluvium Jalur aliran sungai Teras sungai
Simbol V1.4.2 V1.4.3 V16.1 V16.2 V32.1 V32.2
Sub unit Landform Kipas volkan tengah Kipas volkan bawah Punggung kaki volkan Lereng kaki volkan Punggung bukit volkan Lereng bukit volkan
A1.5.2 A1.2.1
Jalur aliran sungai kecil Teras sungai
Sumber: Hasil analisis Peta Geologi Lembar Bogor, Peta Rupa Bumi dan pengamatan lapang.
Kerucut Volkan (V0 1.1). Fisiografi kerucut volkan secara morfologis bila dilihat dari bawah, maka arah lereng dari segala penjuru menuju satu titik puncak. Kerucut volkan dibagi kedalam 3 bagian yaitu: lereng volkan atas (upper slope) (V 01.1.1), lereng volkan tengah (middle slope) (V 01.1.2) dan lereng volkan bawah (lower slope) (V0.1.1.3). Kondisi jalur aliran di wilayah ini masih sangat terjal dan kadang membentuk terjunan sehingga pada wilayah kerucut volkan tidak sesuai untuk dibangun dam parit. Kipas Volkan (V14). Merupakan bentuk aliran bahan volkan yang sempit di bagian hulu dan melebar ke bagian hilir sehingga menyerupai kipas. Berdasarkan posisinya kipas volkan dibagi 3 yaitu kipas volkan atas (upper part) V14.1 yaitu bagian kipas volkan yang posisinya berada paling dekat pusat erupsi. Kipas volkan tengah (middle part) V14.2 yang posisinya berada diantara bagian atas dan bagian bawah dan kipas bagian bawah (lower part) V 14.3, yaitu bagian kipas yang posisinya berada di ujung pusat aliran bahan. Fisiografi wilayah kipas volkan mempunyai bentuk wilayah berbukit memanjang dengan punggung melandai dan sisi lereng curam-sampai terjal dan pola drainase sejajar. Fisiografi ini terdapat dengan luasan yang sangat dominan di lokasi penelitian. Kaki Volkan (V1.6). Fisografi kaki volkan merupakan bagian bawah dari volkan berlapis, dengan lereng yang melandai. Pada unit fisiografi ini mempunyai panjang lereng yang relatif pendek karena sudah terdapat di bagian hilir, sehingga dam parit dapat dibuat dengan target irigasi yang relatif sempit. Perbukitan Volkan (V3.2.). Fisografi pegunungan volkan merupakan bukitbukit dengan lereng > 15 % dengan beda tinggi 50-300m. Kondisi bentuk wilayah umumnya perbukitan dengan lereng curam, dam parit yang dapat dibuat dalam suatu jalur sungai sangat terbatas jumlahnya. Aluvial (A). Merupakan satuan fisiografi yang terbentuk karena proses fluviatil, bahannya berasal dari endapan sungai, biasanya berlapis dan mempunyai tekstur beragam dicirikan oleh adanya kerikil/batu yang bentuknya membulat. Fisiografi aluvial pada daerah DAS Ciliwung Hulu dibedakan ke dalam jalur aliran sungai sempit (A15.2) dan teras sungai (A12). •
Karakteristik Bentuk Wilayah dan Lereng Bentuk wilayah merupakan karakteristik biofisik lahan yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam menyusun kriteria kesesuaian posisi pengembangan dam parit. Secara umum bentuk wilayah DAS Ciliwung Hulu berdasarkan hasil
40 pemetaan sebelumnya dapat dipisahkan menjadi datar-berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung (Puslitanak 1999). Peta Bentuk Wilayah DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 20.
Sumber. Puslitanak. 1999.
Gambar 20. Peta Bentuk Wilayah DAS Ciliwung Hulu Dalam rangka pengembangan dam parit analisa bentuk wilayah dilakukan dengan lebih rinci yaitu menyangkut unsur bentuk wilayah, posisi lereng dan tingkat kemiringan lereng. Bentuk wilayah kemudian diuraikan secara rinci berdasarkan posisi dan tingkat kemiringan lereng. Posisi lereng dipisahkan ke dalam punggung dan sisi lereng, sedangkan tingkat kemiringan lereng dipisahkan dalam beberapa kelas lereng yaitu kelas lereng A (0-3%), B (3-8%), C (8-15%), D (15-30%), E (30-45%) dan F (>45%). Berdasarkan kombinasi antara bentuk wilayah, posisi dan tingkat kemiringan lereng maka bentuk wilayah sub DAS Cibogo dapat dipisahkan ke dalam 28 satuan bentuk wilayah. Peta bentuk wilayah Sub DAS Cibogo disajikan pada Gambar 21 dan legendanya disajikan pada Tabel 3. Peta Bentuk Wilayah Sub DAS Cibogo Skala 1:12.000 disajikan pada Lampiran1.
41
Gambar 21. Peta Bentuk Wilayah Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu Tabel 3. Legenda peta bentuk wilayah DAS Cibogo Kode R.1.B R.1.C R.2.B R.2.C R.2.D R.2.E R.2.F
Bentuk Wilayah
R (Bergelombang)
Posisi Lereng Punggung Punggung Sisi lereng Sisi lereng Sisi lereng Sisi lereng Sisi lereng
(%)
Kemiringan Lereng
3-8 8 - 15 3-8 8 - 15 15 - 30 30 - 45 > 45
Agak Melandai Melandai Agak Melandai Melandai Curam Sangat curam Sangat terjal
Luas Ha 2,91 1,28 21,65 10,78 2,09 5,54 11,69
% 0,21 0,09 1,59 0,79 0,15 0,41 0,86
42 Tabel 3. lanjutan ode R.3.A R.3.C C.1.A C.1.B C.2.C C.2.D C.2.E H.1.A H.1.B H.1.C H.1.D H.2.B H.2.C H.2.D H.2.E H.2.F H.3.A H.3.B H.3.C M.1.D M.2.F
Bentuk Wilayah
C (Berbukit Kecil
H (Berbukit memanjang)
M (Bergunung)
Posisi Lereng Lembah Lembah Punggung Punggung Sisi lereng Sisi lereng Sisi lereng Punggung Punggung Punggung Punggung Sisi lereng Sisi lereng Sisi lereng Sisi lereng Sisi lereng Lembah Lembah Lembah Punggung Sisi lereng JUMLAH
Kemiringan (%) Lereng 0-3 8 - 15 0-3 3-8 8 - 15 15 - 30 30 - 45 0-3 3-8 8-15 15 - 30 3-8 8-15 15 - 30 30 - 45 > 45 0-3 3-8 8-15 15 - 30 > 45
Datar Melandai Datar Agak Melandai Melandai Curam Sangat curam Datar Agak Melandai Melandai Curam Agak Melandai Melandai Curam Sangat curam Sangat terjal Datar Agak Melandai Melandai Curam Sangat terjal
Luas Ha 5,73 0,86 2,01 10,25 4,26 11,39 3,22 70,86 158,06 166,73 1,1 64,57 76,08 194,48 166,2 215,07 111,83 17,26 7,55 2,98 15,58 1.362,00
% 0,42 0,06 0,15 0,75 0,31 0,84 0,24 5,20 11,60 12,24 0,08 4,74 5,59 14,28 12,2 15,79 8,21 1,27 0,55 0,22 1,14 100,00
Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 21 dan diketahui bahwa Sub DAS Cibogo didominasi oleh bentuk wilayah berbukit memanjang yaitu seluas 1.249,8 ha atau 91,76%, bergelombang seluas 62,5 ha (4,59%), berbukit kecil seluas 31,1 ha (2,29%) bergunung seluas 18,6 ha atau 1,36% dari total luas Sub DAS. Bentuk wilayah berbukit memanjang dapat dirinci terdiri dari bagian punggung dengan lereng 0-15% seluas 396.8 ha atau 31,74%, bagian sisi lereng dengan tingkat kemiringan dominan <30% seluas 335,14 ha atau sisi lereng dengan tingkat kemiringan > 30% seluas 381,26 ha dan kemudian bagian lembah dengan lereng 0- 15% seluas 136,63 ha atau 10,93% dari total luasnya. Bentuk wilayah berbukit memanjang sangat sesuai untuk pengembangan dam parit secara bertingkat. Hal ini dibuktikan bahwa setiap jalur aliran orde 2 dalam sub DAS ini telah dibangun 7-12 unit dam parit secara bertingkat. •
Karakteristik Penggunaan Lahan Secara umum penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu terdiri beberapa jenis penggunaan lahan yaitu : perkampungan dan pekarangan, kebun campuran kebun teh, sawah, tegalan/lahan kering, semak belukar dan hutan lindung (Puslitanak 1992). Hasil analisis citra satelit Econos tahun 2003 dan validasi ground chek tahun 2012 diketahui bahwa penggunaan lahan di Sub DAS Cibogo terbagi kedalam 3 kelompok penggunaan yaitu lahan non budidaya berupa hutan campuran, hutan pinus dan semak belukar seluas 254,55 ha atau 18,68; lahan budi daya berupa kebun‘teh, kebun campuran, lahan kering dan sawah tadah hujan seluas 1.100,10 ha atau 80,78 % dan lahan pemukiman berupa pemukiman padat dan pemukiman berpekarangan seluas 198,39 ha atau 14,56%. Jenis penggunaan lahan dan
43 luasannya disajikan pada Gambar 22 dan legendanya disajikan pada Tabel 4, Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cibogo Skala 1 : 12.000 disajikan pada Lampiran 2.
Gambar 22. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu. Tabel 4. Legenda peta penggunaan lahan sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu. Kode Penggunaan Lahan Luas ha % Lahan non budidaya Hc Hutan campuran 199,99 14,68 Hp Hutan pinus 14,45 1,06
44 Tabel 4 Lanjutan Kode
Penggunaan Lahan
Sb Semak belukar Lahan budidaya Kt Kebun 'Teh Kc Kebun campuran Lk Lahan Kering/Tegalan Sw Sawah Lahan pemukiman P2 Pemukiman dan pekarangan P1 Pemukiman Lt Lahan terbuka JUMLAH
Luas ha 40,11
% 2,94
191,04 242,83 187,83 287,36
14,03 17,83 13,79 21,10
128,35 69,45 0,59 1.362,00
9,42 5,10 0,04 100,00
Dam parit tidak sesuai untuk dikembangkan di lahan non budidaya terutama hutan lindung (hutan campuran) karena menghindari alih fungsi lahan. Dam parit di Sub DAS Cibogo dikembangkan pada beberapa jenis penggunaan lahan seperti perkebunan, lahan kering/tegalan, sawah dll. Hutan Campuran terdapat di bagian paling hulu pada daerah bertopografi bergunung dengan kimiringan yang sangat terjal. Status hutan campuran adalah hutan lindung dengan jenis tanaman yang beraneka seperti: Rasamala (Altingia exelsa Norona), Puspa (Schima walichii), saga (Peltophorum pterocarpum Backer), Akasia hitam (Acacia mearnsii de Wild), bunga Edelweiss (Anaphalis javanica), Ki Jebung (Sterculia urceolata), Pakis haji (Cycas rumphi) dll. Hutan lindung dalam Sub DAS Cibogo menempati areal seluas + 199,99 ha atau 14,68%. Hutan pinus (Pinus merkunsii Jungh) adalah hutan yang sengaja ditanam oleh pemerintah yang berfungsi untuk konservasi lahan dan air. Posisinya berada pada tebing-tebing sungai atau anakanak sungai yang terjal seluas + 14.45 ha atau 1,06%. Semak belukar adalah jenis penggunaan lahan yang hampir sama dengan hutan campuran namun ukuran tumbuhannya masih kecil. Jenis tumbuhan juga menyerupai hutan campuran, seluas + 40,11 ha atau 2,94%. Kebun‘teh merupakan penggunaan lahan yang cukup luas, menempati areal kipas volkan dengan bentuk wilayah berbukit memanjang dengan punggung bukit melandai. Karena mempunyai keindahan panorama maka kebun ‘teh ini dijadikan sarana pariwisata alam. Luas kebun‘teh milik PTP VIII ini + 242,83ha Kebun campuran merupakan lahan kering degan jenis tanaman campuran antara tanaman tahunan dan tanaman semusim terdapat di lereng dan kipas dan kaki volkan, dengan tingkat kemiringan melandai sampai terjal seluas + 242,8 ha. Konstruksi lahan pada kebun campuran umumnya berteras dengan jenis tanaman pohon sehingga dapat menahan atau mengurangi laju aliran permukaan. Dengan demikian maka penggunaan lahan ini juga dapat mengurangi volume debit puncak dan mengurangi kecepatan aliran. Tegalan di sub DAS Cibogo seluas + 187,8 ha merupakan lahan usaha petani di lahan kering dengan tanaman utama adalah tanaman semusim. Pada beberapa tempat tegalan juga dibuat dengan konstruksi sawah, sehingga dengan adanya dam parit sebagian penggunaan lahan tegalan berubah menjadi sawah dengan pola tanam yang lebih beraneka. Dengan demikian maka fungsi hidrologis
45 akan sama dengan sawah dalam menampung kelebihan air dari dam parit pada saat terjadi debit puncak. Tanaman padi dan sayuran semusim merupakan utama di lahan ini, pola tanam dilakukan tumpang gilir dan tumpang sari. Lahan sawah di Sub DAS Cibogo terdapat mulai unit fisiografi kipas volkan tengah hingga di kaki volkan seluas + 287,36 ha atau 21,10% dari luas Sub DAS. Posisinya terdapat pada punggung dan sisi lereng bukit dengan lereng yang melandai atau tidak terlalu curam. Konstruksi lahan sawah pada daerah yang berlereng dibuat secara berteras dengan lebar petakan sangat bergantung dari tingkat kemiringan lereng. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa pola tanam di lahan sawah tadah hujan sebelum adanya dam parit adalah padi-palawija-bera, namun setelah adanya dam parit menjadi padi-padi-palawija atau padi-palawijapalawija. Sawah tadah hujan merupakan penggunaan lahan yang sangat sesuai untuk daerah target irigasi. Konstruksi lahan sawah berpotensi menampung kelebihan air dari dam parit yang dialirkan melalui saluran irigasi. Air yang ditampung dipermukaan tanah, sebagian akan meresap ke dalam tanah menjadi cadangan air tanah. Gambar 23 mengilustrasikan sawah yang menerima tambahan air dari saluran irigasi.
Gambar 23. Penggunaan lahan sawah dan tegalan pada Sub DAS Cibogo Pemukiman dan pekarangan adalah lahan pemikiman yang mempunyai pekarangan yang luas umumnya berupa vila. Lahan ini banyak dimiliki oleh masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi, bangunan rumahnya/vilanya hanya sempit dan pekarangannya ditata rapi untuk mendapatkan kenyamanan pemandangan. Luas pemukiman dan pekarangan ini di Sub DAS Cibogo + 128,35 ha. Perkampungan atau perumahan padat merupakan lahan tempat bangunan perumahan masyarakat yang sangat padat, jarak antar rumah satu dengan yang lainnya sangat rapat. Akibat makin luasnya lahan yang tertutupi oleh bahan kedap air, maka penggunaan lahan ini merupakan penyumbang dari aliran permukaan yang potensial. Dengan demikian maka semakin luas perkampungan dalam kawasan DAS maka semakin besar pula sumbangan aliran permukaannya. Perkampungan meliputi areal seluas + 69,4 ha. •
Karakteristik Tanah Karakteristik tanah yang penting dalam desain kriteria pengembangan dam parit adalah: ketebalan tanah, susunan horizon, tekstur dan bahan kasar, struktur, ruang pori, kandungan bahan organik dan komposisi mineral liat. Kondisi tersebut
46 sangat erat kaitannya dengan kemampuan tanah meresapkan, menyimpan dan mendistribusikan air. Sedangkan sifat lainnya berkaitan erat dengan kestabilan konstruksi bangunan dam parit dan saluran serta potensi target irigasi. •
Tanah di DAS Ciliwung Hulu Berdasarkan Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu (PPT 1999) tanah-tanah di DAS Ciliwung Hulu dapat diklasifikasikan menurut Soil Taxonomy (SSS 1990) ke dalam Typic Tropopsamments, Lithic Tropopsamments, Typic Hapludans, Typic Humitropepts, Typic Eutropepts, Typic Dystropepts, Typic Hapludults dan Typic Fluvaquents. Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 24.
Sumber. Pusat Penelitian Tanah. 1999
Gambar 24. Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu •
Tanah di Sub DAS Cibogo Tanah pada Sub DAS Cibogo terbentuk dari bahan induk batuan volkan berupa endapan abu, lahar, lava dan batuan volkan bersusun andesit-basalt. Klasifikasi tanah mengikuti Key to Soil Taxomomy, USDA (SSS 1998) pada tingkat subgroup dan disetarakan dengan Klasifikasi Tanah Indonesia (PPT 1983). Agar lebih mudah dipahami maka uraian karakteristik tanah hasil karakterisasi tanah Sub DAS Cibogo diuraikan berdasarkan unit fisiografinya sebagai berikut: 1. Tanah pada Unit Fisiografi Kerucut Volkan. Kerucut volkan mempunyai bentuk wilayah bergunung dengan lereng terjal sampai sangat terjal, penggunaan lahan dominan hutan. Unit fisiografi ini terdapat di bagian tertinggi dari Gunung Gede. Fisiografi kerucut volkan di daerah penelitian termasuk dalam unit fisiografi yaitu kerucut volkan bawah. Pada unit fisiografi lereng volkan bawah berkembang dari bahan induk abu, lahar dan lava andesit-basalt, berkembang pada tingkat awal, solum sedang,
47 tekstur kasar dan berkerikil, reaksi tanah masam. Tanah ini diklasifikasikan sebagai Typic Udhorthents (SSS 1998) setara dengan Regosol Andik (PPT 1983). 2. Tanah pada Unit Fisiografi Kipas Volkan. Tanah yang berkembang pada unit fisiografi ini dibagi ke dalam 3 unit fisiografi yaitu (a) kipas volkan bagian atas, (b) kipas volkan bagian tengah dan (c) kipas volkan bagian bawah. Dari ketiga segmen kipas volkan tersebut bentukan morfologinya memanjang searah garis kontur dari atas ke bawah berupa lungur volkan dengan punggung mempunyai kemiringan agak melandai, melandai sampai agak curam, dan sisi lungur mempunyai tingkat kemiringan curam sampai terjal. Tanah pada Unit Fisiografi Kipas Volkan Bagian Atas . Tanah berkembang dari bahan endapan volkan yang posisinya masih dekat dengan pusat erupsi atau keluarnya bahan berupa lahar, lava dan batuan volkan, bentuk wilayah melandai, penggunaan lahan berupa kebun ‘teh dan hutan dan sisi lereng curam sampai terjal membentuk tebing. Tanahnya pada bagian punggung telah mengalami perkembangan pada tingkat awal, solum tanah sedang, dengan susunan horizon A (B) C. Lapisan atas berwarna coklat kehitaman, tekstur kasar (lempung berpasir) dengan banyak fragmen batuan berupa kerikil dan batuan andesit, struktur lemah, gumpal, BD < 0,9 g/cm, reaksi tanah masam. Lapisan bawah berwarna coklat pucat kekuningan, tekstur lempung berpasir dengan banyak mengandung fragmen batuan, struktur lemah gumpal, BD < 0,9 g/cm, reaksi tanah masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Typic Hapludands (SSS 1998) setara dengan Andosol Okrik (PPT 1983). Pada bagian sisi lereng tanah belum mengalami perkembangan. Solum tanah dangkal, dengan susunan horizon A- C. Lapisan atas berwarna coklat kehitaman, tekstur kasar (lempung berpasir) dengan banyak fragmen batuan berupa kerikil dan batuan andesit, struktur lemah, gumpal, reaksi tanah masam. Lapisan bawah sampai kedamalan 30-40 cm berwarna coklat pucat, tekstur lempung berpasir dengan banyak mengandung fragmen batuan, belum berstruktur, reaksi tanah agak masam. Di bawah lapisan tanah ini merupakan batuan kompak berupa lava volkan andesitik. Tanah diklasifikasikan sebagai Lithic Udhorthents (SSS 1998), setara dengan Regosol Andik (PPT 1983) Tanah pada unit fisiografi kipas volkan bagian tengah. Tanah berkembang dari bahan endapan volkan yang posisinya diantara kipas volkan atas dan bawah bentuk wilayah melandai melandai dan sisi lereng curam sampai terjal membentuk tebing, penggunaan lahan di bagian punggung berupa kebun teh dan kebun sayuran/kebun campuran dan pekarangan, sedangkan di bagian sisi lereng berupa hutan, semak belukar dan pekarangan. Tanahnya pada bagian punggung telah mengalami perkembangan pada tingkat awal, solum tanah sedang tertimbun (buried soil), dengan susunan horizon AB-IIA-IIB-C. Lapisan atas berwarna coklat kehitaman, tekstur sedang (lempung-lempung berdebu) dengan sedikit fragmen batuan berupa kerikil dan batuan andesit, struktur lemah, gumpal, BD ringan (0,9 g/cm3) reaksi tanah masam. Lapisan bawah berwarna coklat pucat kekuningan, tekstur sedang (lempung-lempung berdebu) dengan sedikit mengandung fragmen batuan, struktur lemah gumpal, reaksi tanah masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Typic Hapludands (SSS 1998) yang setara dengan Andosol Okrik
48 (PPT 1983). Profil tanah yang diamati di Desa Sukagalih untuk mewakili tanah tertimbun dan tanah yang tidak tertimbun disajikan pada Gambar 25a dan 25 b.
A.p Bw1
Bw2 BW3
IIBw1
A.p Bw1 Bw2
BC
IIBC
Gambar 25a. Profil Andosol Okrik Gambar 25b. Profil Andosol Okrik di (tertimbun/ buried soil) Sub DAS Cibogo di Sub DAS Cibogo Pada bagian sisi lereng tanah belum mengalami perkembangan. Solum tanah dangkal, dengan susunan horizon A-C. Lapisan atas berwarna coklat kehitaman, tekstur kasar (lempung berpasir) dengan banyak fragmen batuan berupa kerikil dan batuan andesit, struktur lemah, gumpal, reaksi tanah agak masam. Lapisan bawah sampai kedamalan 30-40 berwarna coklat pucat, tekstur lempung berpasir dengan banyak mengandung fragmen batuan, belum berstruktur, reaksi tanah agak masam. Di bawah lapisan tanah ini merupakan batuan kompak berupa lava volkan andesitik. Tanah diklasifikasikan sebagai Lithic Udhorthents (SSS 1998) setara dengan Regosol Andik (PPT 1983). Tanah pada unit fisiografi kipas volkan bagian bawah. Tanah berkembang dari bahan endapan volkan yang posisinya terdapat dibagian hilir kipas, bentuk wilayah melandai melandai dan sisi lereng curam sampai terjal membentuk tebing yang dalam lebih dalam, penggunaan lahan di bagian punggung dan berupa kebun campuran, lahan kering, sawah dan pekarangan, sedangkan di bagian sisi lereng semak belukar, kebun campuran, lahan kering dan sawah. Berdasarkan posisi lereng dan penggunaan lahannya maka tanah pada unit fisiografi kipas volkan dibedakan kedalam: (a) Tanah pada unit fisiografi punggung kipas volkan dengan penggunaan lahan kering, (b) Tanah pada unit fisiografi punggung kipas volkan dengan penggunaan lahan basah, (c) Tanah pada unit fisiografi sisi lereng kipas volkan dengan penggunaan
49 lahan kering, (d) Tanah pada unit fisiografi sisi lereng kipas volkan dengan penggunaan lahan basah. Tanah pada bagian punggung dengan penggunaan lahan kering telah mengalami perkembangan profil, solum tanah dalam, dengan susunan horizon A-B-C. Lapisan atas berwarna coklat tua sampai coklat tua kekuningan, tekstur sedang (lempung liat berdebu) struktur cukup, gumpal, reaksi tanah agak masam. Lapisan bawah berwarna coklat kuat sampai coklat kekuningan, tekstur sedang (lempung berliat-lempung liat berdebu), struktur cukup, gumpal, reaksi tanah masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Andic Eutrudepts (USDA 1998) setara dengan Andosol Ortik (PPT 1983). Sedangkan pada lahan basah tanah lapisan atas berwarna coklat tua dengan karatan banyak berwarna kelabu, coklat kemerahan dan hitam, tekstur sedang (lempung liat berdebu) struktur cukup, gumpal, reaksi tanah agak masam. Lapisan bawah berwarna coklat kuat sampai coklat kekuningan, tekstur sedang (lempung berliat-lempung liat berdebu), struktur cukup, gumpal, reaksi tanah masam. Tanah tersebut diklasifikasikan sebagai Aquandic Eutrudepts (SSS 1998) setara Andosol Akuik (PPT 1983). Pada bagian sisi lereng dengan penggunaan lahan kering telah mengalami perkembangan profil, solum tanah dalam, dengan susunan horizon A-B-C. Lapisan atas berwarna coklat tua-coklat tua kekuningan, tekstur sedang (lempung liat berdebu) struktur cukup, gumpal, reaksi tanah agak masam. Lapisan bawah berwarna coklat kuat sampai coklat kekuningan, tekstur sedang (lempung berliat-lempung liat berdebu), struktur cukup, gumpal, reaksi tanah agak masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Andic Eutrudepts (SSS 1998) setara dengan Andosol Ortik (PPT 1983). Sedangkan pada lahan basah tanah lapisan atas berwarna coklat tua dengan karatan banyak berwarna kelabu, coklat kemerahan dan hitam, tekstur sedang (lempung liat berdebu) struktur cukup, gumpal, reaksi tanah agak masam. Lapisan bawah berwarna coklat kuat sampai coklat kekuningan, tekstur sedang (lempung berliatlempung liat berdebu), struktur cukup, gumpal, BD antara 0,9-1,0 g/cm3, reaksi tanah agak masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Aquandic Eutrudepts (SSS 1998) setara dengan Andosol Akuik (PPT 1983). 3. Tanah pada unit fisiografi pegunungan volkan. Tanah berkembang dari bahan endapan volkan berupa abu, pasir dan batuan volkan, bentuk wilayah bergunung, penggunaan lahan berupa hutan. Tanah pada bagian punggung dan lereng atas telah mengalami perkembangan pada tingkat awal, solum tanah sedang (75-100 cm), dengan susunan horizon A (B) C. Lapisan atas berwarna coklat kehitaman, tekstur kasar (lempung berpasir) dengan banyak fragmen batuan berupa kerikil dan batuan andesit, struktur lemah, gumpal, reaksi tanah agak masam. Lapisan bawah berwarna coklat pucat kekuningan, tekstur lempung berpasir dengan banyak mengandung fragmen batuan, struktur lemah gumpal, BD < 0,9 g/cm3, reaksi tanah agak masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Typic Hapludands (SSS 1998), setara dengan Andosol Okrik (PPT 1983). Pada bagian sisi lereng tanah belum mengalami perkembangan profil, solum tanah dangkal, dengan susunan horizon A-C. Lapisan atas berwarna coklat kehitaman, tekstur kasar (lempung berpasir) dengan banyak fragmen batuan berupa kerikil dan batuan andesit, struktur lemah, gumpal, reaksi tanah agak masam Lapisan bawah sampai kedamalan 50-60 berwarna coklat pucat,
50 tekstur lempung berpasir dengan banyak mengandung fragmen batuan, belum berstruktur, reaksi tanah agak masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Typic Udhorthents (SSS 1998) setara dengan Regosol Andik (PPT 1983). Solum tanah dangkal dan tekstur yang kasar mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air sedikit, sehingga bila hujan lebat terjadi dalam waktu relatif lama, air hujan akan ditransfer menjadi aliran permukaan. Perubahan penggunaan lahan akan sangat berpengaruh terhadap nilai koeffisien aliran permukaan. 4. Tanah pada unit fisiografi bukit-bukit kecil. Tanah berkembang dari bahan endapan volkan berupa abu, pasir dan batuan volkan, bentuk wilayah berbukit kecil (hillocks), penggunaan lahan kebun campuran dan lahan kering. Tanahnya pada bagian punggung dan lereng atas telah mengalami perkembangan pada tingkat awal, solum tanah sedang, susunan horizon A-BC. Tanah berwarna coklat, tekstur sedang (lempung liat berpasir - lempung berliat), struktur cukup, gumpal, reaksi tanah agak masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Typic Eutrudepts (SSS 1998) setara dengan Latosol Haplik (PPT 1983). Pada bagian sisi lereng tanah juga telah mengalami perkembangan profil, solum tanah sedang, dengan susunan horizon A-B-C. Tanah berwarna coklat kekuningan, tekstur sedang (lempung-lempung liat berpasir/ berdebu), struktur lemah, gumpal, reaksi tanah agak masam. Tanah diklasifikasikan sebagai Typic Eutrudepts (SSS 1998) setara dengan Latosol Haplik (PPT 1983) Tanah pada kaki dapat dipisahkan ke dalam lahan basah dan lahan kering. Pada lahan kering mempunyai drainase baik, solum sangat tebal (> 150 cm). Lapisan atas berwarna coklat kuat, tekstur liat, struktur cukup sedang gumpal, konsistensi gembur, reaksi tanah masam, (5,0-5,5). Lapisan bawah berwarna coklat kemerahan, tekstur liat, struktur cukup sedang gumpal, konsistensi gembur, reaksi tanah agak masam, (5,0-5,5) termasuk dalam subgroup Typic Eutrudepts (SSS 1998) setara dengan Latosol Haplik (PPT 1983). Pada lahan basah (sawah) mempunyai drainase agak terhambat, solum tanah sangat dalam (> 150 cm). Lapisan atas berwarna coklat kekelabuan dengan karatan banyak berwarna merah dan hitam, tekstur liat, struktur cukup sedang gumpal, konsistensi gembur, lekat dan plastis (basah), reaksi tanah agak masam, (pH 5,7). Lapisan bawah pada kedalaman antara 20-55/70 cm berwarna coklat kekekabuan, tekstur liat, struktur cukup sedang gumpal, konsistensi gembur, reaksi tanah masam, (pH 50-5,7) termasuk dalam subgroup Aquic Eutrudepts (SSS 1998) dan setara dengan Latosol Gleik (PPT 1983). 5. Tanah pada Unit Fisiografi Aluvial. Fisiografi alluvial di daerah survey dikelompokan ke dalam 2 unit yaitu jalur aliran sempit dan teras sungai. Tanah pada unit fisiografi jalur aliran berkembang dari bahan alluvium berupa bolder, kerikil, pasir, debu dan liat. Berdasarkan kondisinya dapat dipisahkan jalur aliran dengan lereng datar dan melandai, juga dipisahkan berdasarkan lahan basah dan kering. Tanah pada lahan kering umumnya didominasi oleh bahan endapan kasar berupa bolder dan kerikil, drainase cepat, tanah belum berkembang. Tanahnya berwarna coklat sampai coklat pucat kekuningan dengan tekstur pasir lempung berkerikil dan banyak mengandung bolder dari batuan andesit. Tanah diklasifikasikan sebagai Typic Udifluvents (SSS 1998)
51 setara dengan Regosol Eutrik (PPT 1983). Sedangkan pada lahan basah umumnya mempunyai bahan endapan halus berupa pasir, debu dan liat lebih tebal yang diendapkan secara berangsur ditandai oleh batas horizon jelas atau nyata. Lapisan atas berwarna coklat, dengan karatan berwarna coklat kuat dan kelabu, tekstur lempung berpasir – lempung liat berpasir, bila telah berstruktur masih lemah, reaksi tanah agak masam. Sedangkan lapisan bawah umumnya berwarna coklat dengan karatan berwarna kelabu, tekstur lempung berpasirlempung liat berpasir dengan banyak mengandung bahan kasar berupa batu bolder, struktur lemah, reaksi tanah agak masam. Tanah ini diklasifikasikan sebagai Aquic Udifluvents (SSS 1998) setara dengan Aluvial Gleik (PPT 1983). Tanah pada Unit Fisiografi Teras Aluvial. Pada unit fisiografi teras alluvial tanahnya berkembang dari bahan endapan alluvial berupa pasir, debu, liat dan kerikil dan bahan koluvium berupa runtuhan bahan dari bagian yang diatasnya. Tanahnya telah mempunyai perkembangan profil berdrainasi agak terhambat. Pada lahan yang disawahkan mempunyai warna coklat kekuningan dengan karatan kelabu dan coklat kuat, tekstur beraneka dari kasar sampai sedang (lempung berpasir -lempung liat berpasir), reaksi tanah agak masam, diklasifikasikan sebagai Fluvaquentic Eutrudepts (SSS 1998) steara dengan Aluvial Gleik (PPT 1983) •
Satuan Lahan/Land Unit Unsur-unsur penyusun satuan lahan (land unit) dapat dipertimbangkan berdasarkan tujuannya. Dalam kaitan penilaian kemampuan lahan sebagai dasar untuk penentuan kriteria kesesuian posisi pengembangan dam parit, maka parameter yang dijadikan sebagai unsur satuan lahan adalah : land form (bentuk lahan), bahan induk, topografi (bentuk wilayah, posisi lereng, dan tingkat kemiringan), ketinggian tempat, penggunaan lahan dan karakteristik tanahnya (solum, susunan horison, warna, tekstur, struktur, reaksi tanah dll). Berdasarkan unsur–unsur penyusun tersebut di atas, maka Sub DAS Cibogo dibedakan ke dalam 62 satuan lahan. Peta satuan lahan sub DAS Cibogo disajikan pada Gambar 26, dan legendanya disajikan pada Tabel 5. Peta Satuan Lahan Sub DAS Cibogo Skala 1: 12.000 disajikan pada Lampiran 3.
52
Gambar 26. Peta Satuan Lahan Sub DAS Cibogo
%
A A A A A A A A A ol Ortik A A L L T T T T T T
T T A T A T A T T T T
C C S C
T S C M A C M A
T S C C M M A A M A D
45 30 45 30 -
> 45 - 3 30 - 1 15 -8 8- 3 30 - 1 15 -8 8- 3
> 45 - 3 30 - 1 30 - 1 15 -8 15 -8 8- 3 8- 3 15 -8 8- 3 3- 0
L L L L L L L L
9 3 3 3 4 2 33 1 4 5 0 R R A A A A A A
T T L L
L
6 2 0 2 0 1 0 1 3 4 0 3 2 6 4 1 1 2 2 R R R R
lahan Pe
i
2 1 4 3 1 0 1 2 2 3 1 2
USDA Klasifikasi ta
% Lereng
3 1 3 1
1 0 0 0
PPT
kelas
ha Luas
P
ukit
w B
b
-
k
K
K
K gra Fi
s- D
s-
s-
ol
V V V V V V V V V V V
V
1.2.FV V V V V V V V V V V 1.4.E V V V
Simb
Tabel 5. Legenda peta satuan lahan Sub DAS Cibogo
53
%
6 0 3 0
0
4
3
2
3
0 0 0 0
0
8 1 4 6
7
6
4
2
5
3 0 7 0
A
A A A A
A
A
A
A
A
L L L L
A
A A A A
A
A
T
A
T
A A A T
L
L L L L
kering L
L
L
basah L
L
L L L L
M M A A D D
C
M M elanda A A
C
C
S
S
T
A M elanda A A
> 4 - 3 4 - 3 3 - 1 3 - 1 15 -8 15 -8 8- 3 8- 3 3 - 1 15 -8 15 -8 8- 3 8- 3 3- 0 3- 0
8- 3 15 -8 8- 3 8- 3
0
L L L L L L
Gleik
A A A A A A Ortik
A A A A A A
8 1 8 3 2 1
kelas
0 0 6 2 1 1
PPT
lahan Pe
% Lereng
USDA Klasifikasi ta
ha Luas
P
v
w B -
K
K
gra Fi
sss-
V
V V V V V V
V
V
V
s-
s-
s-
V
V V V V
s-
s-
s-
s-
s-
V V V V V V V
Sim
Tabel 5. Lanjutan
54
b
%
0
1 1
1 A
8- 3
s-
A
Ju m A
A
A A A A A V
V
V
s-
V
V
V V V V V V V
s-
V
Sim
s-
s-
A
L
T
B
gra Fi
ss-
A 3 - 1 15 -8 8- 3 3- 0 3- 0 > 4 - 3 3 - 1 15 -8 8- 3 15 -8 8- 3 8- 3 > 4 - 3 3 - 1 15 -8 % Lereng
Ja
s-
-
3- 0
w B
D
P
L
C
A
L
0
T
0
A
E F E F
1
T
0
L
S
M elanda MA D D
T
L
C
L L L L
L
T
L
T A A T
1 L
T
A R R A
1 1 L
6 9 5 2
0 7
4 0 4 0
0
T
M elan A M elanda A A L
S
L L L L L T
L
C
T T T T T L
A
L
L L L L L
1
L
A
9 1 1 2 6
0 5
L
0 0 0 0 0
0 4
M kelas
0
L lahan Pe
0
L PPT
A USDA Klasifikasi ta
1 ha Luas
Tabel 5. Lanjutan
55
56 •
Kemampuan Lahan Hasil dari satuan peta tanah digunakan sebagai dasar perhitungan kemampuan lahan. Kemampuan lahan penting sebagai acuan dalam penentuan luas areal target suatu bangunan dam parit. Klasifikasi kemampuan lahan menunjukkan, kesesuaian lahan secara umum, untuk berbagai jenis tanaman di lapangan. Tanaman yang membutuhkan pengelolaan khusus (teh) dikecualikan. Lahan diklasifikasikan sesuai dengan faktor pembatasnya, resiko kerusakan yang akan timbul jika lahan tersebut digunakan untuk tanaman dan bagaimana cara lahan merespon terhadap perlakuan pengelolaannya (USDA.1961). Hasil evaluasi kemampuan tanah Sub DAS Cibogo dilakukan sampai tingkat sub kelas. Faktor pembatas utama adalah e = lereng yang curam-terjal dan potesi erosi yang tinggi, s = sifait fisik tanah (kedalaman tanah dangkal, tekstur kasar dan berbatu). Hasil evaluasi kemampuan lahan sub DAS Cibogo disajikan pada Gambar 27 dan legendanya disajikan pada Tabel 6.
Gambar 27. Peta Kemampuan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu
57 Tabel 6. Legenda peta kemampuan lahan Sub DAS Cibogo Sub Faktor Pembatas Kelas I Tanpa pembatas berarti
Nomor Satuan Lahan 13, 14, 16, 17, 24, 25, 26, 27, 31, 32, 40, 41, 43, 48, 50, 51 9, 15,18,19, 28, 29, 33, 34, 42, 44, 49 56,57,61
IIe
Lereng dan potensi erosi
IIs
Tekstur, dan berbatu sedikit Lereng dan potensi erosi 20,21,30,35,36,45,52,53 ringan Berbatu agak banyak 5,6,7,8,58,62 Lereng, potensi erosi dan 10 berbatu banyak Berbatu banyak 59,60 Lereng dan potensi erosi 46,54 agak berat Lereng terjal, potensi erosi 11,22,37,38 dan solum dangkal Potensi erosi, berbatu, 39,47,55 solum sangat dangkal Lereng dan potensi erosi 23 berat Potensi erosi, berbatu, 1,2,3,4,12 solum sangat dangkal Jumlah
IIIe IIIs IVe,s IVs VIe VIe,s VIIe,s VIIIe VIIIe,s
Luas (ha) (%) 311,1 22,85 239,6
17,58
57,8
4,25
135,8
9,.96
91,9 67,9
6,75 4,99
73,9 16,6
5,42 1,22
135,1
9,92
67,8
4,98
93,8
6,88
70.7
5,20
1.362,0 100,00
Berdasarkan Gambar 27 dan Tabel 6, diketahui bahwa lahan di wilayah Sub DAS Cibogo sebagian besar termasuk dalam kelas kemampuan I-IV dengan faktor pembatas huruf “e”, “s” dan kombinasinya yang meliputi areal seluas 978 ha atau 71,8% dan sisanya seluas 384 ha atau 28,2% termasuk kelas VI sampai kelas VIII, dengan faktor pembatas “e”, “s” dan kombinasinya. Lahan dengan kelas kemampuan lahan I ditemukan pada fisiografi kipas volkan tengah, kipas volkan bawah, kaki volkan pada dengan lereng datar 0-3% penggunaan lahan tegalan atau kebun campuran, dan lereng 3-8% dengan penggunaan lahan sawah seluas + 311,1 ha atau 22,85%. Lahan dengan kelas kemampuan lahan II terbagi ke dalam 2 sub kelas yaitu yaitu IIe dan IIs. Sub Kelas IIe terdapat pada unit fisiografi kipas volkan tengah, kipas volkan bawah dan kaki volkan dengan bentuk wilayah berbukit memanjang dan bergelombang dengan lereng 8-5%, penggunaan lahan berupa sawah tadah hujan, lahan kering, kebun campuran dan kebun tehe dengan luas + 198,0 ha atau 14,3% dari luas Sub DAS Cibogo. Sedang sub kelas IIs terdapat pada lahan datar di jalur aliran, tanahnya mengandung kerikil dan batu kurang dari 10%, dengan luas + 57,8 ha atau 4,25%. Lahan dengan kelas kemampuan lahan III terbagi kedalam 2 sub kelas yaitu yaitu IIIe dan IIIs. Sub Kelas IIIe terdapat pada unit fisiografi kipas volkan atas, tengah, kipas volkan bawah dan kaki volkan dengan bentuk wilayah berbukit
58 memanjang dan bergelombang dengan lereng 15-30%, penggunaan lahan berupa lahan kering, kebun tehe dan kebun campuran dengan luas + 57,8 ha atau 4,25% dari luas Sub DAS Cibogo. Sedang sub kelas IIIs terdapat pada lahan kipas volkan atas, tanahnya mengandung kerikil dan batu kurang dari 30%, dengan luas + 135,8 ha atau 9,96%. Lahan dengan kelas kemampuan lahan IV terbagi ke dalam 2 sub kelas yaitu yaitu IVes dan IVs. Sub Kelas IVes terdapat pada unit fisiografi kipas volkan atas, tengah, kipas volkan bawah dan kaki volkan dengan bentuk wilayah berbukit memanjang dan bergelombang dengan lereng 30-45%, penggunaan lahan berupa lahan kering dan kebun campuran dengan luas + 57,8 ha atau 4,25% dari luas Sub DAS Cibogo. Sedang sub kelas IVs terdapat pada lahan teras sungai, tanahnya mengandung kerikil dan batu lebih dari 30%, dengan luas + 73,9 ha atau 5,42%. Lahan dengan kelas kemampuan VI sampai kelas VIII, dengan faktor pembatas lereng “e”, “s” atau kombinasinya. Faktor penghambat “e” terdiri dari salah satu atau kombinasi dari lereng, potensi erosi (torehan), sedangkan faktor “s” terdiri dari salah satu atau kombinasi dari solum tanah dangkal, tekstur kasar, dan kandungan bahan kasar baik dipermukaan maupun di dalam penampang. Lahan dengan kelas kemmpuan VI–VIII merupakan lahan yang tidak dijadikan sebagai target irigasi dalam pengembangan dam parit. Karakteristik Iklim dan Hidrologi Daerah Penelitian •
Karakteristik iklim Keadaan iklim daerah penelitian di Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu, diwakili oleh Stasiun Klimatologi Citeko (920 m dpl) yang posisinya berada di dalam kawasan Sub DAS Cibogo. Berdasarkan data harian selama 12 tahun (2000-2011) diketahui bahwa suhu udara minimum pada pagi hari berkisar antara 16,2o C -17,9o C dan terdingin terjadi pada bulan Agustus. Suhu maksimum pada siang hari berkisar antara 24,2oC- 26,8oC dimana hari-hari terpanas terjadi pada bulan Nopember, dan suhu udara rata-rata sebesar 21,2oC. Menurut klasifikasi iklim Koppen daerah penelitian termasuk tipe iklim Hujan Tropis (Tjasyono 2004). Bulan terlembab terjadi pada bulan Februari dimana kelembaban terendah adalah 85,1%, kelembaban tertinggi sebesar 91,6% dan rata-rata sebesar 90,3%. Kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Agustus dimana pada bulan tersebut kelembaban udara minimum sebesar 66,8%, maksimum sebesar 84,3% dan kelembaban rata-ratanya sebesar 78,3%. Kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Februari, dimana pada bulan tersebut kelembaban udara minimum sebesar 85,1%, maksimum sebesar 91,6% dan kelembaban rata-ratanya sebesar 90,3%. Data iklim harian Stasiun Citeko yang terdapat di bagian tengah lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.
59 Tabel 7. Data iklim rata-rata harian tahun 2000-2011, Stasiun Citeko Bulan
Suhu
Min Max Rata2 °C °C °C Jan 17,6 24,9 20,7 Peb 17,5 24,2 20,5 Mar 17,9 25,8 21,4 Apr 17,9 26,3 21,6 Mei 17,9 26,4 21,9 Juni 16,9 26,1 21,3 Juli 16,4 25,9 21,0 Agt 16,2 26,3 21,0 Sept 16,8 26,5 21,3 Okt 17,2 26,8 21,4 Nop 17,6 26,2 21,4 Des 17,5 25,5 21,1 Rata2 17,3 25,9 21,2 Sumber BMG. Stasiun Citeko
Kelembaban rata-rata Min % 83,1 85,1 78,5 78,0 75,3 73,1 71,7 66,8 70,0 71,4 76,9 74,5 75,4
Max % 90,2 91,6 87,9 87,8 85,1 84,6 85,1 84,3 85,9 85,5 89,3 83,2 86,7
Rata2 % 88,3 90,3 85,9 85,6 83,0 81,1 80,7 78,3 81,3 82,1 86,7 81,6 83,7
Kecepatan Angin Rata2 m/s 1,8 2,1 1,9 1,8 1,9 1,9 2,0 2,0 2,1 1,8 1,6 1,9 1,9
Max m/s 2,4 3,2 3 2,4 3,2 4,4 2,8 2,8 2,8 2,2 2,4 3,2 2,9
Min m/s 1,2 1,2 1,0 1,0 1,2 1,0 1,4 1,4 1,4 1,2 1,0 1,0 1,2
Penyinaran Matahari prosen lama % jam 22,6 2,8 15,0 1,8 25,6 3,2 32,9 4,0 36,6 4,4 42,4 5,1 48,2 5,8 48,3 5,8 49,1 5,9 42,9 5,1 26,9 3,2 19,6 2,3 34,2 4,1
Suhu udara sangat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena suhu mengendalikan kegiatan enzimatis, produk sintesa dan metabolisme tanaman. Laju respirasi dipengaruhi oleh suhu, respirasi rendah bahkan terhenti pada suhu 0ºC dan maksimal pada suhu 30ºC-40ºC. Pada suhu rendah pertumbuhan tanaman menjadi lambat bahkan terhenti. Pertumbuhan tanaman tropik terhambat pada suhu 20ºC, laju pertumbuhan menurun dengan pesat menjelang suhu 10ºC dan mati setelah suhu turun terus dibawah 10ºC. Pada kondisi suhu udara optimum, laju pertumbuhan tanaman berjalan pada kecepatan maksimum bila faktor-faktor lain tidak menjadi pembatas. Temperatur dan kelembaban lingkungan sangat berpengaruh pada efektivitas kerja (Purnomo dan Rizal 2000). Bekerja pada lingkungan yang terlalu panas dan lembab, dapat menurunkan kemampuan fisik tubuh dan dapat menyebabkan keletihan yang datang terlalu dini. Laju kecepatan angin rata-rata di daerah penelitian berkisar antara 1,0-4,4 m/dt. dan kecepatan angin maksimal berkisar antara 2,2–4,4 m/dt. Berdasarkan Habibie et al. (2011) kecepatan angin tersebut termasuk kelas 2 s/d 4. Kecepatan angin rata-rata terbesar adalah 2,1 m/dt, termasuk dalam kelas 3, kejadiannya berlangsung pada bulan Februari dan September. Kecepatan angin kelas 3 adalah 1,6-3,2 m/dt ditandai dengan asap bergerak masih arah angin. Sedangkan pada bulan Juni merupakan bulan yang mempunyai kecepatan angn maksimum (4,4 m/dt) dimana kecepatan angin tersebut termasuk kelas 4. Kecepatan angin kelas 4 adalah 3,4-5,4 m/dt yang ditandai oleh wajah orang berjalan kaki merasakan ada hembusan dan bila dilihat daun pohon bergoyang pelan. Respon tanaman terhadap lama penyinaran berbeda-beda dalam mendorong proses pertumbuhan dan perkembangannya (Nasir dan Koesmaryono 1990). Perbedaan respon tumbuhan terhadap lama penyinaran (fotoperiodisme), tanaman dikelompokkan menjadi tanaman hari netral, tanaman hari panjang, dan tanaman hari pendek (Tjasjono 2004). Lama penyinaran matahari di daerah penelitian kurang dari 6 jam yaitu rata-rata hanya 4,1 jam/hari atau 34,2%%. Lama penyinaran matahari berkisar antara 1,8 - 5,9 jam/hari atau 15,0% sampai 49,1%.
60 Penyinaran matahari pendek yaitu 1,8 jam/hari terjadi pada bulan Februari, sedangkan yang terpanjang adalah 5,9 jam/hari atau 49,1% terjadi pada bulan September yang merupakan akhir musim kemarau. Karakteristik iklim di daerah penelitian tersebut masih dalam kisaran optimum sesuai untuk pengembangan berbagai jenis tanaman (Djaenudin et al. 2003). Curah hujan merupakan unsur iklim yang penting baik dilihat dari segi pertanian maupun segi hidrologis. Data Curah hujan dan evapotraspirasi rata-rata harian dan bulanan selama 12 tahun (2000-2011) disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Data curah hujan dan evapotranspirasi Stasiun Citeko (2000-2011) Curah hujan Evapotranspirasi Curah Total hari hujan Rata2 Max Min hujan bulan Bulan mm mm mm mm mm hari Etp Etr Etx Etm Januari 481,6 19,7 98,3 3,2 4,1 1,4 Februari 586,9 23,2 91,1 3,3 4,6 2,0 Maret 347,2 21,2 115,1 3,7 5,0 2,4 April 307,8 16,4 122,9 4,1 5,9 2,6 Mei 184,1 12,9 120,8 3,9 4,8 2,8 Juni 104,8 7,9 116,9 3,9 5,2 3,0 Juli 64,6 4,7 112,6 3,6 4,4 2,7 Agustus 83,3 5,2 126,7 4,1 5,7 3,1 September 117,5 7,4 115,8 3,9 6,2 2,5 Oktober 209,5 12,8 103,6 3,3 5,2 2,2 Nopember 279,5 17,3 89,4 3,0 4,0 1,2 Desember 352,7 19,0 84,8 2,7 5,0 1,2 Jumlah/Rata2 3.119,5 167,7 1.298,1 3,6 5,0 2,3 Sumber. BMG. Stasiun Citeko
Berdasarkan Tabel 8 curah hujan di daerah penelitian diketahui bahwa daerah penelitian mempunyai jumlah curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.119,5 mm yang terdistribusi dalam 167,7 hari hujan. Bulan kering (BK) yaitu bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm sebanyak 2 bulan dan bulan basah (BB) yaitu bulan dengan curah hujan lebih dari 200 mm terjadi selama 7 bulan. Berdasarkan klasifikasi iklim termasuk Zona Agroklimat B2 (Oldeman 1975). Evapotranspirasi potensial yang terjadi dlam setahun sebesar 1.298,1 mm, dimana jumlah evapotranspirasi yang kurang dari 100 mm/bulan terjadi pada bulan pada bulan Nopember - Februari, sedangkan yang lebih dari 100 mm/bulan terjadi pada bulan Maret - Oktober. Bulan Januari-Februari merupakan bulan dengan curah hujan tertinggi dengan evapotraspirasi rendah, sehingga pada bulan tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya bahaya banjir. Sedangkan pada Juni pertengahan bulan September jumlah curah hujan lebih kecil dari pada jumlah evapotraspirasi potensialnya berpotensi menyebabkan bahaya kekeringan. Pada bulan-bulan tersebut sebagian petani membiarkan lahannya bera. Pada bulanbulan yang berpotensi mengalami kekeringan diperlukan suatu usaha penambahan air melalui irigasi. Dengan demikian maka keberadaan dam parit dan jaringan
61
Jumlah (mm)
irigasi yang airnya menjadi penting untuk penyedian air bagi pertanian sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 28. 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Etp (mm)
CH (mm)
Waktu bera diperlukan irigasi
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Agt
Sept
Okt
Nop
Des
Bulan
Gambar 28. Distribusi curah hujan (CH) dan evapotranspirasi potensial (Etp) rata-rata bulanan tahun 2000-2012 stasiun pengamat iklim Citeko, Bogor. •
Karakteristik Hidrologi Daerah Penelitian DAS Ciliwung Hulu terbagi ke dalam 6 Sub-DAS yaitu: 1) Ciliwung, 2) Cisarua, 3) Cibogo, 4) Cisukabirus, 5) Ciseupan dan 6) Ciesek. Sub DAS Cibogo terdiri dari 4 mikro DAS yaitu: a) Cibogo, b) Cipanggulaan c) Cisuren dan d) Cihanjawar dengan tolal luas + 1.362.0 ha. Sub DAS Cibogo mempunyai luas + 1.362,0 ha, terdiri dari 4 cabang anak sungai yaitu Cibogo, Cipanggulaan, Cisuren dan Cihanjawar. Anak sungai Cibogo mempunyai luas DAS mikro 427,25 ha, panjang sungai ordo 1 sepanjang 10.621 m, sungai orde 2 sepanjang 5.318 m dan sungai orde 3 sepanjang 9.412 m. Anak Sungai Cipanggulaan mempunyai luas DAS mikro 151,76 ha terdiri dari dua orde yaitu orde 1 sepanjang + 681 m dan sungai ordo 2 sepanjang + 5.507 m. Anak Sungai Cisuren merupakan DAS mikro seluas + 237,2 ha terdiri dari cabang sungai orde 1 sepanjang 845 m dan cabang sungai ordo 2 sepanjang 3594 m. Sedangkan Anak Sungai Cihanjawar dengan luas DAS mikro 576,48 ha terdiri dari anak sungai orde 1 sepanjang + 4.948 m dan anak sungai ordo 2 sepanjang + 6.103 m. Data morfometrik Sub DAS Cibogo disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Morfometrik DAS dan jumlah dam parit di Sub DAS Cibogo Jumlah dam Panjang sungai (m) Nama DAS Luas No Mikro (ha) Ordo 1 Ordo 2 Ordo 3 parit (unit) 1 Cibogo 427,25 10.621 5.318 9.412 10 2 Cipanggulaan 151,20 681 3.594 0 1 3 Cisuren 229,45 845 5.507 0 7 4 Cihanjawar 554,10 4,948 6.103 0 12 Total 1.362,00 17.095 20.522 9.412 30 Pola aliran sungai di Sub DAS Cibogo yang secara fisiografis termasuk kipas volkan dengan bentuk wilayah berbikit memanjang mempunyai pola
62 drainase sejajar. Sungai umumnya bertebing terjal sampai sangat terjal dan bagian bawahnya berupa lembah sempit mempunyai beda tinggi antara dasar sungai dan punggung bukit umumnya >50 m. Pada jalur sungai umumnya terjadi erosi secara vertikal lebih kuat dibanding kesamping sehingga bentuk jalur sungai sempit menyerupai huruf V (V shape). Dasar sungai berupa bahan lava volkan yang relatif lunak dan ditutupi oleh batuan volkan lepas berupa batu besar (bolder), kerikil dan pasir yang mudah terbawa arus air. Batu/bolder andesit yang menutupi permukaan dasar sungai menjadi penahan daya gerus air. Hilangnya batuan/bolder pada dasar sungai karena masalah sosial masyarakat menyebabkan erosi baik vertikal maupun horisontal makin kuat, sehingga permukaan dasar sungai makin dalam, tebing makin terjal dan mudah longsor. Dam parit merupakan salah satu bangunan air di jalur aliran untuk mengurangi kecepatan arus dan bahaya ikutannya seperti erosi dan longsor. Pada jalur anak sungai dengan pola sejajar mempunyai bentuk catchment memanjang kurang mempunyai cabang sungai, sehingga dapat dibuat dam parit dan jaringan irigasi bertingkat dalam jumlah lebih banyak. Berdasarkan (Sawiyo 2010) Sub DAS Cibogo dengan 4 cabang anak sungai ordo 2 dan 3 yaitu Cipanggulaan, Cibogo, Cisuren dan Cihanjawar telah dibangun sebanyak 30 unit dam parit secara bertingkat dimana 27 unit diantaranya diengkapi dengan saluran irigasi. Jarak antara satu dam parit dengan lainnya pada satu jalur sungai berkisar antara 0,5 -2,0 km. •
Karakteristik Sosial Desa Penelitian Secara administrasi Sub DAS Cibogo terbagi ke dalam 4 desa yaitu Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Desa Kuta, Desa Sukagalih dan desa Sukakarya, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Karakteristik sosial ekonomi masyarakat di desa wilayah penelitian seperti jumlah penduduk, usia, tingkat pendapatan masyarakat dan lain-lain sangat penting diketahui untuk melihat kemungkinan respon terhadap penyerapan teknologi baru dari luar. Dalam pengembangan dam parit karakteristik sosial ekonomi masyarakat setempat sangat penting karena pengembangan dam parit tidak bisa berjalan tanpa dukungan masyarakat terutama penyediaan dan kesediaan masyarakat dalam menyediakan lahan baik untuk dibangun dam parit maupun bangunan saluran irigasi. Berdasarkan data penduduk desa Sukagalih tahun 2011 (Pemda 2012) diketahui bahwa jumlah kepala keluarga (KK) di wilayah tersebut adalah 1.849 KK, dengan jumlah penduduk sebanyak 8.073 jiwa, terdiri dari 3.895 jiwa perempuan dan 4.178 jiwa laki-laki. Berdasarkan jumlah penduduk menurut kelompok umur desa Sukagalih disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Komposisi penduduk Desa Sukagalih menurut kelompok umur tahun 2011 Jumlah Jiwa Kelompok umur Laki-laki Perempuan Jumlah % 0-4 503 469 972 12,01 5-9 521 503 1024 12,65 10-14 534 511 1045 12,91
63 Tabel 10. Lanjutan Kelompok umur Laki-laki 15-20 447 20-24 434 25-29 275 30-34 279 35-39 241 40-44 204 45-49 148 50-54 140 55-59 120 60-64 94 65-69 90 70 ke atas 82 Jumlah 4.112
Jumlah Jiwa Perempuan Jumlah 472 919 459 893 279 554 305 584 200 441 141 345 138 286 127 267 130 250 82 176 71 161 93 175 3.980 8.092
% 11,36 11,04 6,85 7,22 5,45 4,26 3,53 3,30 3,09 2,17 1,99 2,16 100,00
Sumber: Data potensi Desa Sukagalih tahun 2011
Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa penduduk usia balita (0-4) tahun adalah 972 jiwa atau 12,1%, penduduk usia anak dan remaja (5-19 tahun) sebanyak 2.988 jiwa atau 36,93%, penduduk usia kerja (20-59 tahun) sebanyak 3.620 jiwa atau 44,74% dan penduduk usia tua (>60 tahun) sebanyak 512 jiwa atau 6,33%. Berdasarkan data bulan Mei 2011, penduduk buta huruf sebanyak 1.668 jiwa atau 20,61%, sedangkan lainnya telah terdidik dengan berbagai tingkatan. Penduduk yang pernah bersekolah namun tidak tamat SD sebanyak 223 jiwa atau 2,76%, tamat SD sebanyak 2.886 jiwa atau 35,66%, penduduk yang tamat sekolah menengah (SMP-SMU/sederajat) sebanyak 3.110 jiwa atau 38,43%, sedangkan penduduk yang tamat pendidikan tinggi (D1-S1) relative rendah yaitu sebanyak 51 jiwa atau 0,63%. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Penduduk Desa Sukagalih menurut tingkat pendidikan tahun 2011 No Tingkat pendidikan (Jiwa) (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Belum sekolah Buta huruf Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SMU/sederajat Tamat D1 Tamat D2 Tamat D3 Tamat S1 Jumlah
Sumber: Data potensi desa Sukagalih tahun 2011
154 1.668 223 2.886 1.323 1.787 4 2 3 42 8.092
1,90 20,61 2,76 35,66 16,35 22,08 0,05 0,02 0,04 0,52 100,00
64 Jumlah penduduk desa Sukagalih yang bekerja sebanyak 2.825 jiwa atau 34,91% yang menghidupi keluarganya, sehingga rata-rata setiap pekerja menghidupi 2,86 jiwa. Sedangkan penduduk usia kerja (20-59 tahun) sebanyak 3.620 jiwa atau 44,74%. Dengan demikian maka sebanyak 795 jiwa atau 9,83% penduduk usia kerja masih menganggur atau bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga. Jenis mata pencaharian masyarakat Desa Sukagalih tahun 2011 disajikan pada Tabel 12 Tabel 12. Penduduk Desa Sukagalih pencaharian tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 14
Jenis mata pencaharian Petani pemilik tanah Petani penggarap Buruh tani Buruh perkebunan Buruh bangunan Buruh industri pengrajin Pedagang Pengusaha kecil- sedang Pengusaha besar PNS TNI/POLRI Pensiunan (PNS/TNI/POLRI) Jumlah
menurut
mata
Jumlah Jiwa % 677 24,0 426 15,1 588 20,8 159 5,6 336 11,9 92 3,3 2 0,1 126 4,5 33 1,1 2 0,1 258 9,1 1 0,0 125 4,4 2.825 100,0
Sumber: Data potensi Desa Sukagalih tahun 2011
Sebagian besar penduduk di wilayah ini bermata pencaharian sebagai petani baik petani pemilik lahan, petani penggarap, buruh tani, dan buruh perkebunan yang melibatkan 1.850 orang atau 65,49% dari jumlah penduduk yang bekerja. Penduduk lainnya bekerja sebagai buruh bangunan, buruh industri, pedagang, pengusaha, PNS dan TNI. Penyusunan Kriteria Model Kesesuaian Pengembangan Dam Parit Analisis kriteria kesesuaian dam parit dalam penelitian ini terbagi menjadi dua pendekatan yaitu : 1) Penyusunan kriteria model pengembangan dam parit secara individu dalam suatu DAS mikro, dan 2) Penyusunan kriteria pengembangan dam parit secara terpadu dalam kawasan DAS. Penyusunan Kriteria Model Kesesuaian Pengembangan Dam Parit Individual Dalam pengembangan dam parit individual yang dilakukan di DAS mikro perlu disusun suatu model kesesuaian posisi dan model kesesuaian dimensi pengembangan dam parit.
65 •
Kriteria Penentu Model Kesesuaian Posisi Pengembangan Dam Parit Individual Penyusunan kriteria model pengembangan dam parit secara individu meliputi kriteria model kesesuaian posisi dan kriteria model kesesuaian dimensi (kapasitas tampung) dam parit. Kriteria model kesesuaian posisi dan dimensi meliputi aspek iklim, biofisik lahan, hidrologi dan sosial ekonomi. Kriteria model kesesuaian posisi dari terdiri dari 6 parameter yaitu: ketersediaan air, stabilitas bangunan, aksesibilitas, distribusi air, pemanfaatan air dan sosial ekonomi masyarakat. Dari 6 parameter tersebut kemudian menurunkan 14 sub parameter dan 24 faktor penentu sub parameter. Proses matching dilakukan antara kualitas/ karakteristik faktor penentu dengan setiap kriteria faktor penentu atau kombinasi faktor penentu. Parameter, sub parameter dan faktor penentu sub parameter kesesuaian posisi pengembangan dam parit disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Kriteria parameter, kriteria sub parameter dan faktor penentu model kesesuaian posisi pengembangan Dam Parit Individual Parameter Ketersediaan air
Stabilitas bangunan
Aksisibilitas
Distribusi air
Simbol ka
sb
ab
da
Pemanfaatan air
pa
Sosial ekonomi masyarakat
sm
Sub Parameter
Simbol
Luas Daerah tangkapan air
ka2
Orde sungai Debit aliran
ka1 ka2
2.1. Jenis batuan di dasar sungai 2.2. Ketebalan bahan endapan Kemudahan jangkauan Ketersediaan bahan bangunan di sekitar Kemiringan memanjang saluran
sb1
Kemiringan tebing
da2
Efisiensi penyaluran
da3
Luas lahan target Penggunaan lahan Dukungan masyarakat Partisipasi masyarakat
pa1 pa2 sm1
sb2 ab1 ab2 da1
sm2
Faktor penentu Curah hujan Ketebalan tanah/batuan (cm) Penggunaan lahan/vegetasi Pola drainase % Pengurangan banjir Ketersediaan air di MK Luas Areal Target yang diairi Jenis batuan Jenis bahan endapan Ketebalan endapan (cm) Jarak jalan setapak Kemiringan jalan Jenis bahan Kualitas, Jumlah Kemiringan memanjang saluran Tekstur dan sifat Kemiringan tebing Tekstur dan sifat tanah Tekstur dan sifat tanah Jenis bahan saluran Luas lahan kelas I-IV Jenis penggunaan lahan Jumlah dukungan masyarakat Penyediaan lahan bangunan Tenaga kerja
66 1. Parameter Ketersediaan Air (ka). Ketersediaan air suatu jalur aliran sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim luas daerah tangkapan air. Besar kecilnya aliran sungai di gambarkan dengan hidrograf yang dipengaruhi oleh luas DAS, panjang aliran sungai utama (Bedient and Huber, 1992). Berdasarkan urain tersebut maka dalam penyusunan kriteria parameter model ketersediaan air ditentukan oleh sub parameter a) Luas daerah tangkapan air (ka1); b) Orde sungai (ka 2) dan c) Debit aliran (ka 3). •
Sub Parameter Kesesuaian Sub Parameter Luas DTA (ka1) Sub parameter tingkat kesesuaian luas daerah tangkapan air (DTA) dalam parameter ketersedian air (ka) bagi model kesesuaian posisi pengembangan dam parit ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: 1) curah hujan; 2) ketebalan tanah dan 3) penggunaan lahan/vegetasi. Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung menjadi aliran maupun tidak langsung yaitu melalui vegetasi atau media lainnnya akan membentuk siklus aliran air mulai dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah. Air hujan sebagian mengalir meresap kedalam tanah melalui proses infiltrasi, perkolasi dan aliran kapiler. Air tanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang – ruang antara butir – butir tanah dan di dalam retak – retak dari batuan (Asdak 2002). Faktor curah hujan sebagai penentu kesesuaian sub parameter luas DTA ditentukan oleh jumlah bulan kering dan bulan basah dalam rata-rata tahunan (Oldeman 1975), faktor ketebalan tanah dibagi berdasarkan tingkat kedalaman tanah (SSDS 1993), sedangkan faktor penggunaan lahan ditentukan berdasarkan jenis penggunaa lahan. Klasifikasi dari faktor-faktor penentu curah hujan berdasarkan klasifikasi sub parameter keseuaian DTA disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Klasifikasi faktor penentu sub parameter luas daerah tangkapan air (ka1) dalam parameter ketersediaan air. No 1
2 3
Debit aliran dasar Curah hujan Bulan basah/ BB (bulan) Bulan kering/BK (bulan) Simbol Ketebalan tanah/batuan (cm) Simbol Penggunaan lahan/vegetasi Simbol
Besar BB > 7, BK <2 h1 >150 t1 Hutan, belukar v1
Sedang BB 3-6, BK 3-6 h2 150-100 t2 Lahan pertanian, rumput, semak v2
Kecil BB <3, BK >6 h3 <100 t3 Lahan terbuka bangunan v3
Dari masing-masing pembagian kelas faktor penentunya yaitu curah hujan, ketebalan tanah dan penggunaan lahan/vegetasi akan menghasilkan kombinasi sifat faktor penentu kesesuaian sub parameter Luas DTA. Hasil interaksi faktor tersebut ditumpang-tepatkan dengan kualitas parameter curah hujan, ketebalan tanah dan penggunaan lahan yang penentu kemudian ditentukan luasan DTA nya dan dinilai tingkat kesesuaiannya (S1, S2, S3 dan N) sesuai pendapat pakar sebagaimana disajikan pada Tabel 15.
67 Tabel 15. Klasifikasi kriteria kesesuaian sub parameter luas DTA (ka1) dalam parameter ketersediaan air No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Kombinasi faktor penentu h1, t1, v1 h1, t1, v2 h1, t1, v3 h2, t1, v1 h2, t1, v2 h2, t1, v3 h3, t1, v1 h3, t1, v2 h3, t1, v3 h1, t2, v1 h1, t2, v2 h1, t2, v3 h2, t2, v1 h2, t2, v2 h2, t2, v3 h2, t3, v1 h2, t3, v2 h2, t3, v3 h1, t3, v1 h1, t3, v2 h2, t3, v3 h2, t3, v1 h2, t3, v2 h2, t3, v3 h3, t2, v1 h3, t2, v2 h3, t2, v3 h3, t3, v3
Tingkat keseuaian Sub parameter Luas DTA S1 S2 S3 N Luas DTA (ha) >75 50-75 25-50 <25 >100 75-100 50-75 <50 >125 100-125 75-100 <75 >100 75-100 50-75 <50 >125 100-125 75-100 <75 >150 125-150 150-100 <100 >150 125-150 150-100 <100 >175 150-175 100-150 <100 >200 175-200 175-125 <125 >100 75-100 50-75 <50 >125 100-125 75-100 <75 >150 125-150 150-100 <100 >125 100-125 75-100 <75 >150 125-150 150-100 <100 >175 150-175 100-150 <100 >150 125-150 150-100 <100 >175 150-175 100-150 <100 >175 150-175 100-150 <100 >125 100-125 75-100 <75 >150 125-150 150-100 <100 >175 150-175 100-150 <100 >125 100-125 75-100 <75 >150 125-150 150-100 <100 >175 150-175 100-150 <100 >150 125-150 150-100 <100 >175 150-175 100-150 <100 >200 175-200 175-125 <125 >200 175-200 175-125 <125
Keterangan: h1 = simbul untuk pengelompokan bulan basah dan bulan kering t1 = simbul untuk pengelompokan kelas ketebalan tanah v1 = simbol untuk jenis penggunaan lahan /vegetasi sesuai •
Sub Paramenter Orde Sungai (ka2) Jaringan sungai mempengaruhi besarnya debit aliran sungai yang dialirkan oleh anak-anak sungainya. Parameter ini dapat diukur secara kuantitatif dari nisbah percabangan yaitu perbandingan antara jumlah alur sungai orde tertentu dengan orde sungai satu tingkat di atasnya. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nisbah percabangan berarti sungai tersebut memiliki banyak anak-anak sungai dan fluktuasi debit yang terjadi juga semakin besar. Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai pada suatu DAS. Semakin tinggi nilai orde sungai, semakin luas dan semakin panjang pula alur sungainya (Grenti et al. 2006). Tingkat percabangan sungai (bufurcation ratio) adalah angka atau indeks yang ditentukan berdasarkan jumlah alur sungai untuk suatu orde. Dalam orde
68 sungai yang sama tidak selalu mempunyai morfometrik yang sama, namun akan berbeda–beda bergantung dari geomorfologi dan pola drainasenya, sebagaimana diuraikan dalam karakteristik bentuk wilayah. Oleh karena itu dalam menentukan tingkat kesesuaian posisi pengembangan dam parit orde sungai dibedakan untuk orde sungai pada pola drainase sejajar dan dendritik (Marsoedi et al. 1997). Untuk pola drainase dendritik atau sub dendritik, ordo sungai yang sesuai untuk pengembangan dam parit adalah ordo sungai 2 s/d 5, sedangkan untuk pola drainase sejajar yang sesuai adalah ordo sungai 2 s/d 4. Kriteria kesesuaian sub parameter ordo sungai (ka2) sesuai pendapat pakar disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Kriteria kesesuaian sub parameter ordo sungai (ka2) dalam parameter ketersediaan air No 1 2 •
Faktor penentu (Pola drainase) Paralel/sub paralel Dendritik
Tingkat Kesesuaian Sub Parameter Ordo Sungai S1 S2 S3 N 2-3 4 1 5 3-4 5 2 1 dan 6
Sub Parameter Debit Aliran (ka 3) Kriteria sub parameter debit aliran terdiri dari distribusi debit aliran sepanjang tahun baik di musim hujan maupun musim kemarau. Dam parit diharapkan dapat mengurangi debit puncak di musim hujan dan meningkatkan ketersediaan air di musim kemarau untuk pertanian dan domestik (Pawitan at al 2011). Faktor penentu kesesuaian sub parameter debit aliran ditentukan oleh 3 faktor yaitu pengurangan debit puncak dan ketersediaan air di musim kemarau. Klasifikasi faktor pengurangan debit puncak dikelompokkan berdasarkan prosentase kemampuan dam parit dalam mengurangi debit puncak yaitu: b1) = >30%, b2) = 20-30% dan b3) = <10%; ketersediaan air untuk tanaman dikelompokan berdasarkan ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan pola tanam yang dapat diusahakan pada MP, MK1 dan MK2 dan dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu: p1) = air tersedia memenuhi kebutuhan pola tanam padi-padi palawija + domestik; p2) = padi-palawija – domestik, dan p3) padi-domestik-kering. Hasil interaksi faktor tersebut ditumpang-tepatkan dengan kualitas parameter penentunya, kemudian ditentukan nilai tingkat kesesuaiannya (S1, S2, S3 dan N) sesuai pendapat pakar/ exspert disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Kriteria kesesuaian sub parameter debit aliran (ka3) dalam parameter ketersediaan air
Faktor penentu Pengurangan banjir (%)
Kelas faktor penentu
>30 10-30 <10 Penyediaan air Padi-padi - palawija untuk tanaman Padi-palawija- Domestik (MP-MK1-MK2) Padi- manusia
Simbol b1 b2 b3 p1 p2 p3
No 1 2 3 4 5 6
Kombinasi Kesesuaian faktor penentu Sub- Parameter b1.p1.i1 S1 b1.p1.i2 S1 b1.p1.i3 S2 b1.p2.i1 S2 b1.p2.i2 S1 b1.p2.i3 S1
69 Tabel 17. Lanjutan Faktor penentu Luas target yang diairi (ha) Luas target yang diairi (ha)
Kelas faktor penentu >10 5-10 >10 5-10 <10
Simbol i1 i2 i1 i2 i3
No 8 9 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Kombinasi Kesesuaian faktor penentu Sub- Parameter b1.p3.i1 S2 b1.p3.i2 S3 b1.p3.i1 S2 b1.p3.i2 S3 b1.p3.i3 S3 b2.p1.i1 S1 b2.p1.i2 S1 b2.p1.i3 S3 b2.p2.i1 S1 b2.p2.i2 S2 b2.p2.i3 S3 b2.p3.i1 S2 b2.p3.i2 S3 b2.p2.i3 N b3.p1.i1 S1 b3.p1.i2 S2 b3.p1.i3 S3 b3.p2.i1 S1 b3.p2.i2 S2 b3.p2.i3 S3 b3.p3.i1 S3 b3.p3.i2 S3 b3.p3.i3 N
Keterangan : b = pengurangan debit banjir (%), p = ketersediaan air untuk tanaman, dan i = luas target irigasi 2. Parameter Stabilitas Bangunan (sb). Pada prinsipnya bangunan dam parit akan kokoh bila dibangun di atas lapisan batuan yang kokoh. Stabilitas bangunan dam parit dipengaruhi oleh 2 sub parameter yaitu: a) jenis batuan di dasar sungai (sb1) dan b) sub parameter bahan endapan di dasar sungai (sb2). •
Sub Parameter Jenis Batuan Di Dasar Sungai (sb1) Konstruksi bangunan dam parit akan kokoh bila bertumpu batuan di dasar jalur aliran yang kuat (Dirjen DPU 1986). Dasar sungai umumnya berupa lapisan batuan yang tidak mudah tergerus oleh air dan kompak, namun sering tertutupi oleh bahan lepas berupa batu, kerikil pasir, lumpur atau kombinasinya. Pada sungai orde 1 umumnya mempunyai dasar sungai berupa tanah, sungai orde 2 sampai orde 3, dimana arus telah cukup besar yang menggerus secara vertikal maka dasar sungainya berupa batuan yang tidak mudah digerus air. Sedangkan pada ordo sungai 4 sampai ordo 5 dasar sungainya telah banyak endapan baik berupa batu, kerikil, pasir dan lumpur, karena tingkat kemiringan dasar sungai sudah kecil. Kriteria sub parameter jenis batuan di dasar sungai (sb1) untuk parameter stabilitas bangunan disajikan pada Tabel 18.
70 Tabel 18. Kriterian kesesuaian sub parameter jenis batuan di dasar sungai (sb1) dalam parameter stabilitas bangunan dam parit No 1
2 3 4
Kelompok batuan
Jenis batuan
Kompak dan keras
Diorit, Dunit, Granit, Granodiorit, Basalt, Andesit, Diabas, Kuarsa, Gabro. Agak kompak dan Lava, Batusabak, Batupasir agak keras Lunak mudah Tufa, Sekis Mika, Batuliat, Serpih, longsor Aluvium Porus dan mudah Marmer, Batugamping, Batubara larut
Kesesuaian sub parameter sb1 S1
S2 S3 N
Sumber: Asikin dan Sukendar (1979) diolah
•
Sub Parameter Ketebalan Sedimen di Dasar Sungai (sb2). Ketebalan bahan endapan yang terdapat di dasar sungai dapat menyebabkan kendala bagi kekokohan bangunan. Jenis bahan endapan umumnya berupa lumpur, pasir, kerikil dan bolder. Untuk menghindari kebocoran dam, maka perlu dilakukan pembersihan endapan yang berupa bahan lepas. Dengan demikian maka pondasi harus bertumpu pada batuan dasar sungai yang kukuh. Kriteria kesesuaian sub parameter jenis dan ketebalan bahan endapan di dasar sungai disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Kriteria kesesuaian sub parameter ketebalan sedimen (sb2) dalam parameter stabilitas bangunan Faktor penentu Jenis bahan endapan Ketebalan endapan (cm)
Jenis Bahan Endapan
Simbol
No
Kerikil batu dan bolder Pasir dan kerikil Pasir dan lumpur <50 50-100 100-150 >150
e1 e2 e3 k1 k2 k3 k4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kombinasi faktor penentu e1,k1 e1,k2 e1,k3 e1,k4 e2,k1 e2,k2 e2,k3 e2,k4 e3,k1 e3,k2 e3,k3 e3,k4
Kesesuaian Sub Parameter sb2 S1 S2 S3 S3 S1 S2 S3 N S1 S2 S3 N
Keterangan : e = simbol untuk jenis bahan endapan k = simbol untuk ketebalan bahan endapan
3. Parameter Aksesibilitas (ab) Parameter aksesibilitas dalam kesesuaian posisi pengembangan dam parit terdiri dari 2 sub yaitu: a) sub parameter kemudahan jangkauan dan ketersediaan bahan yang terdapat di lokasi titik atau disekitarnya.
71 •
Sub Parameter Kemudahan Jangkauan (ab1) Dam parit dibangun pada orde sungai 2, 3 atau 4 terdapat pada lembah dari di daerah berbukit yang umumnya berlereng terjal, sehingga pada beberapa lokasi sulit untuk dijangkau dengan jalan kaki atau melalui jalan setapak sekalipun. Tidak jarang untuk menuju lokasi dam parit harus dibuat dahulu sarana jalan setapak untuk keperluan trasportasi (Sawiyo 2010). Sub parameter kemudahan jangkauan dalam parameter aksesibilitas ditentukan oleh 2 faktor yaitu: a) jarak jangkauan dengan jalan setapak, dan b) kemiringan lahan jalan itu. Faktor jarak dibedakan menjadi 4 kelas yaitu < 0,5 km; 0,5-1,0 km; 1,5-2,0 km dan >2,0 km. sedangkan tingkat kemiringan jalan setapak dibagi menjadi 4 kategori yaitu <15%; 15-30%; 30-45% % dan > 45%. Proses penentuan kesesuaian kriteria sub parameter kemudahan jangkauan (ab1) berdasarkan parameter penentunya disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Proses penentuan kesesuaian kriteria sub parameter kemudahan jangkauan (ab1) dalam parameter aksesibilitas Faktor penentu Jarak jalan setapak (km) Tingkat kemiringan jalan (%)
•
Kelas
Simbol
0,5 0,5-1,0 1,0-2,0 >2,0 <15 15-30 30-45 >45
j1 j2 j3 j4 l1 l2 l3 l4
Kombinasi sifat j1, l1 j1, l2 j1, l3 j1, l4 j2, l1 j2, l2 j2, l3 j2, l4 j3, l1 j3, l2 J3, l3 j3, l4 j4, l1 j4, l2 j4, l3 j4, l4
Kesesuaian sub parameter ab1 S1 S1 S2 S3 S1 S2 S3 N S2 S3 S3 N S3 S3 N N
Sub Parameter Ketersediaan Bahan Bangunan Sekitar Dam Parit (ab2) Umumnya posisi pembangunan dam parit yang sulit dijangkau, sehingga ketersediaan bahan di sekitar lokasi pembangunan menjadi penting. Bahanbahan yang dimaksud adalah bahan bangunan berupa pasir dan batu, karena jumlah yang dibutuhkan relatif banyak dan berat pengangkutannya. Ketersediaan bahan bangunan diklasifikasikan adalah jenis bahan yang tersedia, jumlah dan kualitasnya. Jenis bahan bangunan batu dan pasir atau salah satu diantaranya. Kualitas batu yang baik adalah jenis batu dari batuan beku (ignesius rock), kualitas sedang adalah batuan metamorfik dari batu lunak (slate) dan batu dengan kualitas jelek (batukapur). Kualitas pasir yang baik adalah hasil hancuran dari batuan beku atau pasir primer dari erupsi gunung api yang belum banyak campurannya. Pasir sedang dan jelek bergantung dari prosentase campuran berupa tanah atau lumpur. Kriteria jumlah bahan dibedakan kedalam cukup
72 atau kurang. Kriteria kesesuaian sub parameter ketersediaan bahan bangunan (ab2) disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Kriteria kesesuaian sub parameter ketersediaan bangunan (ab2) dalam parameter aksebilitas Faktor penentu kelas
Simbol
Jenis bahan
m1 m2 m3 q1 q2 v1 v2
Batu+pasir batu pasir Kualitas bahan baik Sedang Jumlah bahan cukup Tidak cukup
bahan
Sifat faktor penentu Kesesuaian Nomor Kombinasi subparameter ab2 1 m1, q1, v1 S1 2 m1, q1, v2 S2 3 m1, q2, v1 S1 4 m1, q2, v2 S3 5 m2, q1, v1 S2 6 m2, q1, v2 S3 7 m2, q2, v1 S2 8 m2, q2, v2 S3 9 m3, q1, v1 S2 10 m3, q1, v2 S3 11 m3, q2, v1 S3 12 m3, q2, v2 S3
4. Parameter Distribusi Air (da) Distribusi air adalah bagaimana menyalurkan air dari dam parit hingga ke areal target melalui saluran irigasi secara grafitasi baik tertutup, terbuka maupun kombinasinya. Sub parameter penentunya adalah: 1. beda tinggi antara dam parit dengan areal target, 2. tingkat kemiringan tebing sungai, dan 3. kondisi ukuran kelas butir tanah (tekstur). •
Sub Parameter Kemiringan Memanjang Saluran Irigasi (da1) Penentuan kemiringan memanjang saluran irigasi dimaksudkan agar air dapat mengalir secara grafitasi ke areal target dengan lancar, namun tidak mengakibatkan erosi. Kemiringan memanjang saluran mempunyai harga maksimum dan minimum. Kemiringan memanjang saluran dapat dihitung dari jarak dan beda tinggi antara dam parit dan areal target (Dirjen DPU 1986). Usaha mencegah terjadinya sedimentasi diperlukan perhitungan kemiringan memanjang yang minimum. Untuk mencegah terjadinya erosi, perhitungan dilakukan untuk membatasi kecepatan maksimum aliran. Bila ternyata kemiringan saluran memanjang terlalu tinggi, maka perlu dirancang bangunan terjunan, sedangkan bila kemiringan terlalu kecil maka perlu dilakukan penimbunan. Penentuan tingkat kemiringan memanjang saluran irigasi akan dipengaruhi oleh jenis tanah terutama kelas ukuran butir (particle size class). Berdasarkan konsep pengembangan saluran irigasi terbuka (SCS 1977) maka tanah dengan tekstur lempung liat berdebu dan mengandung batu (G SiCL) kecepatan aliran dirancang dengan mengacu kecepatan aliran dasar 1,0-1,1 m/dt. Dengan kecepatan aliran tersebut maka kemiringan saluran yang diperbolehkan untuk kondisi tanah tersebut adalah 1,0 -3,0%. Kriteria kesesuaian kemiringan memanjang saluran adalah sebagai berikut: S1 = 1-2%; S2 = 2-3%, S3 = < 1% dan N =3%.
73 •
Sub parameter kemiringan tebing (da 2) Dam parit dibangun pada jalur orde sungai orde 1 s/d orde 4 atau 5. Sungaisungai tersebut umumnya mempunyai tebing yang melandai sampai terjal. Saluran irigasi dari dam parit ke areal target dibuat melalui lereng tebing. Dimensi saluran (panjang, lebar dan tinggi pematang) akan menentukan jumlah tampungan. Panjang saluran akan sangat bergantung dari posisi daerah karena saluran akan dibuat sampai di daerah target. Lebar saluran ditentukan oleh kemiringan lereng, makin rendah tingkat kemiringan lereng maka makin leluasa saluran dapat dibuat. Untuk lebar saluran 0,3-1,0 m masih dapat dibuat pada tingkat kemiringan lereng maksimal 45% yaitu dengan memotong tebing setinggi 2 lebar 1 m (Dirjen DPU 1986). Ilustrasi pembuatan saluran pada daerah berlereng disajikan pada Gambar 29.
Gambar 29. Ilustrasi konstruksi saluran di lahan berlereng. Tabel 22. Kriteria kesesuaian sub parameter kemiringan tebing (da2) dalam parameter distribusi air Faktor penentu
Kemiringan tebing (%)
Tekstur tanah /ukuran besar butir
Kelas
Simb ol
Kombinasi sifat
0-15 15-30 30-60 >60% agak kasar -sedang halus mantap halus tidak mantap pasir berkerikil Singkapan batuan
11. l2 l3 l4 u1 u2 u3 u4 u5
l1 u1 l1 u2 l1 u3 l1 u4 l1 u5 l2 u1 l2 u2 l2 u3 l2 u4 l2 u5 l3 u1 l3 u2 l3 u3 l3 u4 l3 u5 l4 u1 l4 u2 l4 u3 l4 u4 l4 u5
Tingkat Kesesuaian sub parameter S1 S1 S2 S3 S3 S1 S2 S3 S3 S3 S2 S2 N S3 N S3 S3 N N N
74 Kemiringan tebing di bagi 4 yaitu : l1 0-15%, l2 = 15-30%, l3 = 30-60% dan l4 =>60% (SSDS 1993). Sedangkan untuk faktor tekstur/ukuran besar butir pasir dibagi ke dalam 5 kelas yaitu : u1 = agak kasar- sedang, u2 =halus mantap, u3 = halus tidak mantap, u4 = kasar (pasir- pasir berkerikil) dan u5 singkapan batuan (ASTM 2000). Proses penentuan kesesuaian kriteria sub parameter kemiringan tebing (da2) dalam parameter distribusi air (da) berdasarkan faktor penentunya disajikan pada Tabel 23. •
Sub parameter efisiensi penyaluranan (da3) Distribusi air dari dam parit ke lahan target diutamakan dengan saluran irigasi tanah dengan sistem terbuka. Untuk tujuan perencanaan irigasi umum, dianggap bahwa seperlima sampai seperempat dari jumlah air yang diambil akan hilang sebelum air itu sampai di areal target. Kehilangan air di jaringan irigasi sebesar 5-10% volume (Dirjen SDA, 2007). Kehilangan ini disebabkan oleh kegiatan eksploitasi, evaporasi dan perembesan. Kehilangan akibat evaporasi dan perembesan umumnya kecil saja jika dibandingkan dengan jumlah kehilangan akibat kegiatan eksploitasi. Debit sungai orde 1-4 di musim kemarau umumnya sangat kecil, oleh karena itu maka perencanaan saluran harus diperhatikan dengan cermat agar kehilangan air sedikit mungkin. Sub parameter efisiensi air ditentukan oleh tekstur tanah/ ukuran besar butir dan bahan saluran irigasinya. Klasifikasi faktor penentu dan proses ukuran kelas butir dan proses penentuan kesesuaian kriteria sub parameter efisiensi penyaluran irigasi (da3) dalam parameter distribusi air (da) disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Kriteria kesesuaian sub parameter efisiensi penyaluran irigasi (da3) dalam parameter distribusi air berdasarkan kombinasi faktor penentu Kesesuaian Faktor Kombina Kelas faktor penentu Simbol Sub parameter penentu si kelas (da3) Tekstur Agak kasar-sedang (SL, L, u1 u1 d1 S1 tanah SCL, CL, SCL, SiCL) /ukuran besar Halus mantap (SiC, C) u2 u1 d2 S1 butir Halus tidak mantap (SiC, C) u2 u1 d3 S1 smectite pasir berkerikil (LS, S, GS) u4 u2 d1 S1 Singkapan batuan u5 u2 d2 S1 Jenis bahan Saluran tanah d1 u2 d3 S1 saluran Saluran pasangan batu kali d2 u3 d1 S2 pipa d3 u3 d2 S1 u3 d3 S1 u4 d1 N u4 d2 S1 u4 d3 S1 u5 d1 S3 u5 d2 S1 u5 d3 S1
75 5. Parameter Pemanfaatan Air (Pa) Bangunan dam parit diharapkan bermanfaat bagi beberapa hal yaitu untuk mengurangi intensitas banjir dan erosi, penyediaan air bagi usaha pertanian (irigasi) terutama di lahan kering dan penyediaan air bagi keperluan domestik (Irianto et al. 2001, Heryani dan Sutrisno 2005, Sawiyo et al. 2007). Areal target irigasi dam parit adalah lahan yang berdasarkan kelas kemampuan lahannya sesuai untuk budidaya pertanian atau lahan yang secara eksisting digunakan untuk areal pertanian seperti sawah tadah hujan, tegalan, kebun campuran dll. Pada penggunaan lahan eksisting pemanfaatan air dapat diperhitungkan dari peningkatan ketersediaan air yang diikuti dengan perubahan pola tanamnya (Pawitan et al. 2010). •
Sub Parameter Luas Lahan Target Dengan Kemampuan Lahan I-IV (Pa1) dalam Parameter Pemanfaatan Air . Analisis kemampuan lahan bagi target irigasi diperlukan agar air dapat dipergunakan pada lahan dengan kelas kemampuan lahan yang aman bagi usahatani. Lahan dengan kelas kemampuan I-III merupakan lahan yang aman dimanfaatkan untuk usahatani baik untuk tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Lahan kelas kemampuan IV dengan lereng 30-450% merupakan lahan yang masih dapat dimanfaatkan lahan pertanaman baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan dengan pembuatan teras bangku bagi tanah tertentu yang tidak termasuk dalam ordo Vertisols. Lahan kelas kemampuan V merupakan lahan dengan bentuk wilayah cekung dan tergenang sehingga memerlukan drainase (Harjowigeno dan Widiatmaka 2007). Lahan dengan kelas kemampuan VI dengan lereng 45-60 % masih dapat dipergunakan untuk penggunaan terbatas seperti kebun tanaman tahunan dengan perlakuan khusus teras bangku, namun lahan ini bukan merupakan target irigasi. Sedangkan lahan dengan kelas kemampuan VII s/d VIII harus diamankan untuk hutan atau areal konservasi (USDA 1961). Dengan demikian maka lahan target irigasi untuk dam parit adalah lahan-lahan yang mempunyai kelas kemampuan lahan I s/d IV. Luasan lahan target berdasarkan tingkat kemampuan lahan kelas I-IV hasil diskusi pakar (ekspert) adalah sebagai berikut: S1 = lebih 10 ha; S2 = 5-10 ha; S3 = 1-5 ha dan N = kurang 1 ha.
•
Sub Parameter Penggunaan Lahan (Pa2) Penggunaan lahan pada areal target merupakan sub parameter yang penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan air. Target utama irigasi adalah sawah tadah hujan, tegalan/pertanian lahan kering dan lahan perkampungan, sedangkan kebun campuran, perkebunan merupakan target irigasi prioritas kedua. Hutan merupakan penggunaan lahan yang harus dihindari, karena bila penggunaan ini menjadi areal target maka akan memicu konversi hutan ke areal penggunaan lain (sawiyo et al. 2009). Tingkat kesesuaian penggunaan lahan daerah target irigasi disusun sebagai berikut: S1 = lahan sawah tadah hujan; S2 = tegalan dan perkampungan; S3 = kebun campuran dan semak dan N = hutan dan belukar.
6. Parameter sosial masyarakat ( sm) Parameter sosial terdiri dari sub parameter dukungan masyarakat dan partisipasi masyarakat. Parameter ini sangat penting karena akan menentukan
76 terbentuknya saluran irigasi secara swadaya masyarakat dan pemeliharaan nilai teknisnya (Adi N dan Nuroji 2012).
•
•
Sub parameter dukungan masyarakat (sm1) Pembangunan dam parit tidak bisa dilakukan atau sangat sulit dilakukan tanpa adanya dukungan dan partisipasi masyarakat. Pada umumnya dukungan dan partisipasi masyarakat akan timbul apabila masyarakat telah mengetahui manfaat dibangunnya dam parit. Untuk itu perlu sosialisasi baik secara oral maupun melihat langsung contoh yang telah ada. Bila masyarakat telah mengetahui dan yakin akan nilai manfaat baik untuk keperluan pertanian maupun domestik maka masyarakat akan mudah menyediakan lahan dan tenaganya untuk membangun jalur distribusi air baik secara terbuka maupun tertutup. Dukungan masyarakat di klasifikasikan sebagai berikut: S1 = >75% atau lebih masyarakat mendukung; S2 = 50-750% masyarakat mendukung; S3 = hanya didukung oleh 25-50% masyarakat dan N = <25% dukungan
•
Sub parameter partisipasi masyarakat (sm2) Partisipasi masyarakat yang diharapkan adalah keterlibatan langsung dalam pembangunan dam parit dan saluran irigasi hingga ke areal target. Partisipasi masyarakat yang diharapkan adalah berupa sumbangan lahan untuk pengembangan dam parit, sumbangan lahan untuk jalur irigasi dan bantuan tenaga baik dalam pelaksanaan maupun pemeliharaannya. Klasifikasi kesesuaian partisipasi masyarakat dalam pengembangan dam parit diklasifikasikan berdasarkan hasil konsultasi pakar adalah sebagai berikut: S1 = sumbangan lahan untuk jalur irigasi dan bangunan dam parit serta tenaga S2 = sumbangan berupa lahan untuk jalur irigasi dan lahan bangunan dam parit S3 = sumbangan berupa lahan untuk jalur irigasi dan tenaga N = tidak ada partisipasi masyarakat. Kriteria penentu model kesesuaian volume pengembangan dam parit individual Kapasitas tampung dam parit dimaksudkan adalah jumlah aliran permukaan yang dapat ditampung oleh dam parit yang terdapat dalam jalur anak sungai. Air yang ditampung tersebut dialirkan melalui saluran irigasi hingga ke areal target berupa lahan pertanian atau domestik. Untuk target domestik air ditampung melalui bak-bak tampung/kolam, sedangkan untuk target lahan pertanian ditampung di petak-petak lahan pertanian. Dengan demikian kapasitas tampung dam parit selain ditentukan oleh parameter dari karakteristik penampang sungai juga ditentukan pula oleh parameter dimensi saluran, parameter luas dan bentuk lahan target. Parameter dan sub parameter penentu keseuaian volume dam parit individual disajikan pada Tabel 24.
77 Tabel 24. Kriteria penentu model kesesuaian kapasitas tampung Dam Parit Individual. Parameter Kapasitas tampung dam
Kapasitas tampung saluran Kapasitas tampung areal target
Simbol Sub parameter ps Bentuk penampang sungai Kemiringan dasar sungai Lebar jalur aliran Tinggi tebing si Panjang saluran Penampang saluran ti Luas areal target irigasi Jenis penggunaan lahan
Simbol ps1 ps 2 ps 3 ps 4 si 1 si 2 ti 1 ti 2
1. Parameter Penampang Sungai (ps) Parameter penampang sungai yang mempengaruhi kapasitas dam parit adalah bentuk jalur sungai, lebar sungai, tinggi tebing sungai. •
Sub Parameter Bentuk Penampang Sungai (ps1) Bentuk penampang sungai yang lebar di bagian hulu dan menyempit ke bagian hilir (leher botol terbalik) merupakan bentuk ideal sebagai titik konstruksi dam parit, karena berpotensi mempunyai kapasitas tampung yang lebih besar dan bangunan bendung yang lebih pendek. Dibanding dengan bentuk penampang sungai yang lurus maupun yang menyempit di bagian hulu-melebar di bagian hilir. Nilai kesesuaian bentuk penampang sungai adalah sebagai berikut: S1 = melebar ke hulu; S2 = lurus dan S3 = melebar ke hilir.
•
Sub Parameter Lebar Sungai (ps2) Lebar sungai dimaksud adalah lebar jalur aliran dihitung dari tebing sungai satu sampai tebing sungai disisi lainnya. Lebar sungai menentukan kapasitas tampung dam, dimana makin lebar jalur sungai maka kapasitas tampung makin besar. Namun titik bendung diharapkan diletakkan pada segmen sungai yang mempunyai lebar paling sempit. Nilai kesesuaian lebar sungai adalah sebagai berikut: S1= 5-10 m; S2 = 10-15 m ; S3 = 15-20 m dan N > 20 m.
•
Sub Parameter Kemiringan Dasar Sungai (ps3) Kemiringan dasar sungai diharapkan rata atau cekung, bila dasar sungai mempunyai tingkat kemiringan tinggi maka areal genangan relatif pendek dan kapasitas tampung dam menjadi kecil, sehingga bangunan menjadi tidak efektif. Jarak genangan dam diharapkan minimal mencapai jarak 10-15 m untuk tinggi bangunan pelimpas 1 meter. Oleh karena itu maka tingkat kemiringan jalur sungai maksimal 8 %. Nilai kesesuaian kemiringan dasar sungai adalah sebagai berikut: S1 = 0-1%; S2 = 1-3%; S3 3-8%; N= >8%.
•
Sub Parameter Tinggi Tebing Sungai (ps4) Tinggi tebing yang dimaksud adalah tebing yang terdekat dengan aliran sungai tidak termasuk teras atau tebing sesudah dataran aluvial. Makin tinggi tebing sungai mempunyai nilai potensi tampungan yang makin besar karena
78 limpasan dapat dibuat lebih tinggi. Pada umumnya jalur aliran sungai di sub DAS Cibogo mempunyai tinggi tebing berkisar antara 2-10 m dan hanya sebagian kecil yang mempunyai tebing sungai kurang dari 2 m. Ilustrasi penampang sungai disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30. Penampang sungai pengembangan dam parit
dan
posisi
2. Parameter Dimensi Saluran Irigasi (si) Dimensi saluran (panjang, lebar dan tinggi pematang) akan menentukan jumlah tampungan. Panjang saluran akan sangat bergantung dari posisi daerah karena saluran akan dibuat sampai di daerah target. Lebar saluran ditentukan oleh kemiringan lereng, makin rendah tingkat kemiringan lereng maka makin leluasa saluran dapat dibuat. Untuk lebar saluran 0,5 m masih dapat dibuat pada tingkat kemiringan lereng maksimal 45% yaitu dengan memotong tebing setinggi 2 lebar 1 m. 3. Parameter Luas Target Irigasi (ti) Target irigasi akan menampung aliran air dari dam parit melalui saluran irigasi. Air ditampung dalam petakan lahan setinggi tertentu kemudian sebagian meresap kedalan tanah. Kapasitas tampungan di areal target bergantung luasan dan jenis penggunaan lahannya. Untuk lahan sawah atau tegalan yang dibuat teras dan petakan maka akan mempunyai kapasitas tampung yang tinggi. Sedangkan untuk keperluan domestik umumnya hanya untuk keperluan MCK yang ditampung melalui kolam atau langsung dimanfaatkan melalui saluran terbuka atau pipa. Kriteria kesesuaian parameter luas areal target irigasi dalam penentuan kapasitas tampung dam parit disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Kriteria kesesuaian parameter luas areal target irigasi Lahan sawah lahan kering No Jumlah KK Kesesuaian (ha) (ha) 1 >5,0 > 10 >50 S1 2 3-5 5-10 25-50 S2 3 1-3 2-5 10-25 S3 4 <1 <2 <10 N
79 Proses perhitungan faktor penentu dari setiap sub parameter model kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit dilakukan dengan analisis dengan membangun software sistem ekspert kesesuaian posisi dan dimensi dalam pengembangan dam parit individual (Expert system for the position and dimensions suitability of the individual channel reservoir development) disingkat ESPADS-ICRD. Dengan memasukan faktor kualitas parameter dari dalam kolom faktor dalam setiap sub parameter maka dapat diketahui kelas kesesuaian posisi dam parit dan faktor yang mempunyai nilai terkecil. Faktor yang mempunyai nilai terkecil tersebut merupakan penghambat yang harus menjadi perhatian khusus dan diatasi dalam pelaksanaan pengembangan dam parit. Tampilan soft ware sistem ekspert penentuan kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit individual (ESPADS-ICRD) disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31. Tampilan soft ware sistem ekspert penentuan kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit individual (ESPADS-ICRD) •
Kriteria Penentu Model Kesesuaian Jumlah Dam Parit Jumlah dam parit yang dapat dibangun dalam satu jalur sungai bergantung dari beberapa faktor penentu yaitu panjang sungai setiap ordenya. Panjang sungai dengan orde tertentu ditentukan oleh bentuk wilayah, kemiringan dan panjang lereng. Sungai yang panjang umumnya terdapat pada wilayah berbukit memanjang membentuk lungur. Pada bentuk wilayah ini mempunyai punggung yang melungur dari atas ke bawah tanpa terputus dengan tingkat kemiringan lereng agak melandai sampai agak curam tanpa terputus. Wilayah ini mempunyai jalur sungai yang panjang dengan arah yang relatif sejajar, sehingga dam parit dapat dibuat dalam jumlah yang lebih banyak dibanding dengan bentuk wilayah lainnya.
80 Lain hanya pada daerah dengan bentuk wilayah berbukit (hillocks), bergumuk (hummocks), antara bukit satu dengan lainnya terpisah oleh lembah sempit yang membentuk jalur aliran. Pada kondisi bentuk wilayah yang demikian mempunyai panjang lereng yang relatif pendek, sehingga dalam suatu jalur sungai hanya bisa dibuat dam parit sedikit. Dam parit dibuat di jalur aliran yang terdapat di lembah. Untuk mengalirkan air secara gravitasi dari lembah ke puncak bukit diperlukan jarak yang cukup panjang. Oleh karena itu maka daerah dengan bentuk wilayah berbukit memanjang dengan lereng memanjang akan lebih banyak kemungkinan dapat dibuat dam parit yang disertai dengan bangunan saluran irigasi. Potensi areal target pada lahan dengan bentuk wilayah yang demikian juga lebih luas. Ilustrasi bentuk wilayah dan pola drainase disajikan pada Gambar 32.
Bentuk wilayah berbukit
Bentuk wilayah berbukit memanjang Gambar 32. Ilustrasi panjang sungai pada bentuk wilayah berbeda. Analisis Pengembangan Dam Parit dalam Skala DAS Analisis dilakukan untuk mengetahui volume/kapasitas tampung dan jumlah dam parit yang harus dibangun serta bagaimana penyebarannya di suatu kawasan DAS. • Analisis Penentuan Volume Dam Parit Analisis penentuan volume/ kapasitas dam parit yang harus dibangun untuk mengurangi resiko banjir di kawasan DAS Ciliwung dilakukan berdasarkan aplikasi model hidrologi. Model hidrologi yang digunakan adalah model debit harian GR4J (Perin et al. 2001). Penentuan peluang kejadian debit maksimum dalam mengidentifikasi karakteristik banjir di DAS Ciliwung dilakukan dengan pendekatan Teori Gumbel. Metode ini untuk memperkirakan nilai-nilai ekstrim seperti sebaran peluang nilai maksimum yang diamati selama periode tahun 19902009. Tabel 26. menyajikan debit maksimum Sungai Ciliwung yang terukur di Stasiun Pengamatan Debit Bendung Katulampa, pada periode 1990-2009. Hasil analisis sebaran peluang Gumbel, diketahui debit maksimum Sungai Ciliwung
81 pada periode ulang 5, 10, 20, 50, dan 100, adalah berturut-turut sebesar 72,1; 89,0; 105,2; 126,1; dan 141,8 m3/dt (Tabel 26). Tabel 26. Data debit harian maksimum Sungai Ciliwung tahun 1990-2008 Debit maksimum Debit maksimum Tahun Tahun (m3/dt) (m3/dt) 1990 63.3 2000 43.1 1991 77.5 2001 80.1 1992 42.9 2002 42.1 1993 44.4 2003 56.0 1994 7.9 2004 21.1 1995 9.6 2005 26.1 1996 62.7 2006 44.7 1997 32.3 2007 132.8 1998 61.2 2008 52.8 1999 69.2 2009 451,57 Tabel 27. Debit maksimum Sungai Ciliwung berkaitan dengan jumlah tahun periode ulang dianalisis menggunakan metode Gumbel Periode Ulang (T), Peluang tidak Debit Maksimum (Qp), Tahun Terlampaui m3/d 5 0.80 72.1 10 0.90 89.0 20 0.95 105.2 50 0.98 126.1 100 0.99 141.8 Berdasarkan Tabel 26 dan Tabel 27 diketahui bahwa debit maksimum harian antara tahun 1990-2009 terjadi pada tahun 2007, yaitu pada tanggal 3 Februari 2007 dengan debit sebesar 132.8 m3/dt. Debit tersebut termasuk besaran debit periode ulang 50 tahunan. •
Kalibrasi Model Untuk mendapatkan parameter model GR4J DAS Ciliwung, dilakukan validasi dengan menggunakan data debit harian tahun 2007. Data tersebut dipilih karena terdapat data perekaman debit harian tertinggi sejak pengamatan tahun 1990 yang merepresentasikan debit banjir periode ulang 50 tahun. Data yang dibutuhkan untuk kalibrasi model meliputi data hujan, data evapotranspirasi potensial (ETP) dan data debit harian. Data ETP dan data hujan diambil dari stasiun iklim Citeko, Kecamatan Cisarua, dan debit dari Stasiun Debit Bendung Katulampa. Hasil validasi model ditunjukkan pada Gambar 33, dengan tingkat kemiripan antara data pengamatan dan simulasi sebesar 84 persen. Parameter model yang diperoleh dari hasil kalibrasi adalah sebagai berikut : X1: Kapasitas Maximum Simpanan Produksi = 0.00 mm X2: Parameter Tukar Air = -112.94 mm X3: Kapasitas Maksimum Simpanan Alihan = 1033.23 mm X4: Waktu dasar hidrograf satuan = 0.50 hari
82
. Gambar 33. Kalibrasi model debit Ciliwung Hulu periode 2007 Volume dan jumlah bangunan dam parit dianalisis menurut aplikasi model GR4J berdasarkan simulasi debit pada beberapa skenario perubahan input curah hujan. Simulasi debit dilakukan berdasarkan input parameter model hasil kalibrasi dan skenario perubahan input hujan sehingga puncak debit dapat diturunkan hingga mencapai batas tertentu.
Gambar 34. Simulasi penurunan debit sungai Ciliwung Hulu pada kejadi banjir periode ulang 50 tahun melalui implementasi panen hujan Gambar 34 menyajikan simulasi penurunan debit kejadian banjir periode ulang 50 tahun, dari debit puncak sebesar 133.3 m3/s hingga mencapai batas sebesar 110 m3/s (90-150 m3/dt) yaitu debit yang termasuk Siaga III Bendung
83 Katulampa (PSDA 2004). Penurunan debit puncak ini dapat dicapai apabila dilakukan implementasi pengembangan dam parit dan saluran irigasi. Hasil analisis menunjukan bahwa jeluk hujan yang harus dipanen yaitu sebesar 68,0 mm dari kejadian hujan maksimum 143 mm. Volume hujan yang harus dipanen tersebut dilakukan untuk menurunkan debit puncak sebesar 23.4 m3/s. Kelebihan hujan yang harus dipanen di kawasan DAS Ciliwung Hulu adalah sebanyak 10.591.593 m3. Dam parit yang dilengkapi dengan saluran irigasi untuk mengalirkan air ke areal target maka volumenya bukan saja dari kapasitas tampung dam, namun ditambah dengan volume tampung saluran dan kapasitas tampung lahan target. Berdasarkan hasil pengamatan langsung pada 3 buah dam parit (CH5, CH6 dan CH8) di Sub DAS Cibogo yang telah dibangun sebanyak 30 buah dam parit secara bertingkat diketahui rata-rata volume dam parit beserta saluran dan lahan target sebesar 15.988 m3/unit. Jumlah dam parit yang harus dibangun di kawasan DAS Ciliwung Hulu didasarkan pada rasio antara volume hujan yang harus dipanen (hasil simulasi) dengan rata-rata kapasitas tampung dam parit individual. Berdasarkan hasil perhitungan bahwa kelebihan hujan yang harus dipanen adalah sebanyak 10.591.593 m3 dan kapasitas tampung dam parit sebesar 15.988 m3/unit, maka diperlukan + 662 buah bangunan dam parit. Jumlah tersebut diperlukan untuk menurunkan debit puncak dari 133.3 m3/s menjadi 110 m3/s. Pada Saat ini di DAS Ciliwung Hulu telah dibangun dam parit sebanyak 110 buah dengan kapasitas tampung 2.244.214 m3 atau 21% dari jumlah yang harus dibangun. Dari 68 mm jeluk hujan yang harus dipanen dam parit dan saluran di DAS Ciliwung hulu baru dapat memanen + 14,8 mm dan dari debit puncak sebesar 23.4 m3/dt yang harus diturunkan oleh volume daam parit yang telah terbangun baru dapat menurunkan sebanyak 4,9 m3/dt. •
Analisis Penentuan Sebaran Bangunan Dam Parit Analisis sebaran posisi dam parit dilakukan dengan aplikasi model Intergrated Flood Analyziz System (IFAS). Input model berupa batas DAS, kondisi geologi, tanah, topgrafi, iklim, dan debit untuk mendapatkan jaringan drainase dalam sebagai wadah analisis selanjutnya. Input data curah hujan menggunakan data curah hujan harian stasiun Citeko tahun 2007, data debit dari stasiun pengamatan debit Katulampa tahun 2007. Kalibrasi model debit dilakukan untuk memperoleh paramater yang dapat menghasilkan debit simulasi yang memiliki tingkat kemiripan tertinggi dengan debit pengukuran. Beberapa parameter model yang dikalibrasi yaitu: parameter hidrologi permukaan, hidrologi bawah permukaan, tutupan lahan dan tanah. Hasil simulasi debit saat kalibrasi disajikan pada Gambar 35.
84
Gambar 35. Simulasi debit DAS Ciliwung Hulu dengan aplikasi model IFAS Berdarakan parameter model yang telah dikalibrasi, selanjutnya model yang telah disusun digunakan untuk menganalisis pengaruh pembangunan dam parit pada beberapa lokasi terhadap perubahan debit di outletnya. Dalam analisis ini terdapat keterbatasan model IFAS, karena jumlah dam parit yang dapat dianalisis dalam suatu kawasan DAS maksimum hanya 10 dam. Berdasarkan keterbatasan ini, analisis dilakukan pada beberapa dam parit yang terdapat di paling hilir dalam suatu jalur anak sungai. Hasil analisis perubahan debit dengan 10 dam disajikan pada Gambar 36 dan Gambar 37.
Gambar 36. Posisi 10 dam parit di DAS Ciliwung Hulu yang dianalisis
85
Gambar 37. Hasil simulasi debit DAS Ciliwung Hulu dengan Aplikasi model IFAS setelah dibangun 10 dam parit dam parit Analisis Dampak Pengembangan Dam Parit Pengembangan dam parit akan berpengaruh terhadap beberapa aspek lingkungan antara lain: aspek hidrologi, aspek produktivitas lahan dan aspek ekonomi baik terhadap kawasan DAS, Sub DAS maupun DAS Mikro. Analisis Dampak Pengembangan Dam Parit terhadap Aspek Hidrologi Untuk mempelajari penurunan debit puncak dampak pembangunan dam parit terhadap aspek hidrologi, dilakukan analisis debit aliran pada masing-masing dam parit dari beberapa kejadian hujan. Pengamatan dilakukan dengan interval 10 menitan pada tanggal 3, 5 dan 29 April 2012 pada 3 buah dam parit bertingkat dari bagian hulu ke hilir yaitu dam parit CH 5, CH 6 dan CH 8 pada jalur anak sungai Cihanjawar, Sub DAS Cibogo. Hasil pengamatan debit total dari 3 kejadian hujan pada ketiga dam parit disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 38. Tabel 28. Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit bertingkat di DAS mikro Cihanjawar. Tanggal 3 April 2012
13’00 13’10 13’20 13’30 13’40 13’50
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Debit CH8 Waktu (Jam) ……… m3………. 0,109 0,145 0.169 13’10 0,109 0,145 0.169 13’20 0,109 0,145 0.169 13’30 0,108 0,143 0.169 13’40 0,108 0,143 0.168 13’50 0,108 0,142 0.168 14’00
14’00 14’10 14’20 14’30 14’40 14’50 15’00 15’10
0,2 0,7 1,6 1,8 2,0 2,0 2,3 2,7
0,108 0,117 0,118 0,123 0,124 0,126 0,180 0,507
Waktu Hujan (Jam) (mm)
Debit CH5
Tanggal 5 April 2012
Debit CH6
0,142 0,155 0,157 0,164 0,166 0,168 0,240 0,676
0.168 0.180 0.182 0.190 0.192 0.194 0.278 0.783
14’10 14’20 14’30 14’40 14’50 15’00 15’10 15’20
Debit CH6
Debit CH5
Debit CH6
Debit CH8
0,0 0,0 0,8 1,5 2,0 0,1
Debit CH8 Waktu Hujan (Jam) (mm) ……… m3………. 0,065 0,078 0,091 12'30 0,6 0,065 0,078 0,091 12'40 1,1 0,065 0,078 0,091 12'50 1,2 0,066 0,079 0,093 13'00 1,1 0,066 0,079 0,093 13'10 0,6 0,065 0,078 0,091 13'20 0,6
…….. m3……… 0,119 0,145 0,166 0,119 0,145 0,166 0,119 0,145 0,166 0,119 0,145 0,166 0,123 0,150 0,172 0,137 0,167 0,191
0,1 0,0 0,1 0,0 0,4 0,1 0,7 0,7
0,068 0,066 0,068 0,069 0,068 0,07 0,086 0,088
0,140 0,150 0,162 0,165 0,165 0,175 0,167 0,139
Hujan (mm)
Debit CH5
Tanggal 29 April 2012
0,081 0,079 0,081 0,082 0,081 0,084 0,103 0,105
0,095 0,093 0,095 0,097 0,095 0,098 0,121 0,124
13'30 13'40 13'50 14'00 14'10 14'20 14'30 14'40
1,5 0,8 0,6 0,6 1,1 1,2 1,7 1,7
0,170 0,182 0,197 0,200 0,200 0,213 0,203 0,169
0,195 0,208 0,226 0,229 0,229 0,244 0,232 0,193
86 Tabel 28. Lanjutan Tanggal 3 April 2012 Debit CH6
Debit CH5
Tanggal 29 April 2012
Debit CH6
Debit CH5
Debit CH6
Debit CH8
1,0 1,0 0,8
Debit CH8 Waktu Hujan (Jam) (mm) ……… m3………. 0,090 0,108 0,126 14'50 1,2 0,091 0,109 0,128 15'00 1,3 0,085 0,102 0,119 15'10 1,5
…….. m3……… 0,137 0,167 0,191 0,113 0,137 0,157 0,121 0,147 0,168
15’20 15’30 15’40
2,1 0,0 0,0
Debit CH8 Waktu (Jam) ……… m3………. 0,571 0,762 0.882 15’30 0,646 0,862 0.998 15’40 0,464 0,619 0.717 15’50
15’50 16’00 16’10 16’20
2,5 3,5 2,3 10,4
0,345 0,311 0,352 0,298
0,460 0,414 0,469 0,387
0.533 0.521 0.543 0.498
16’00 16’10 16’20 16’30
0,6 0,6 1,2 1,4
0,090 0,091 0,100 0,109
0,108 0,109 0,120 0,130
0,126 0,128 0,140 0,153
15'20 15'30 15'40 15'50
1,2 3,4 0,8 0,3
0,162 0,227 0,261 0,446
0,197 0,276 0,317 0,542
0,226 0,316 0,363 0,620
16’30 16’40 16’50 17’00 17’10 17’20 17’30 17’40
6,3 0,1 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
0,328 0,557 0,724 0,435 0,383 0,345 0,314 0,277
0,437 0,743 0,965 0,579 0,511 0,460 0,419 0,370
0.766 0.860 1.118 0.671 0.592 0.533 0.485 0.428
16’40 16’50 17’00 17’10 17’20 17’30 17’40 17’50
0,5 2,9 3,5 0,2 0,1 0,0 0,0 0,0
0,119 0,119 0,114 0,130 0,133 0,119 0,109 0,100
0,142 0,142 0,136 0,155 0,159 0,142 0,130 0,120
0,167 0,167 0,160 0,182 0,187 0,167 0,153 0,140
16'00 16'10 16'20 16'30 16'40 16'50 17'00 17'10
0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
0,374 0,254 0,196 0,185 0,167 0,147 0,133 0,129
0,454 0,309 0,238 0,225 0,203 0,179 0,162 0,157
0,520 0,354 0,272 0,258 0,232 0,205 0,185 0,180
17’50 18’00 18’10 18’30
0,0 0,0 0,0 0,0
0,271 0,212 0,168 0,126
0,362 0,282 0,225 0,168
0.419 0.327 0.260 0.194
18’00 18’10 18’20 18’30
0,0 0,0 0,0 0,0
0,094 0,094 0,08 0,079
0,112 0,112 0,096 0,094
0,132 0,132 0,112 0,111
17'20 17'30 17'40 Jml
0,0 0,0 0,0 24,8
0,122 0,121 0,120 5,419
0,148 0,147 0,146 6,582
0,169 0,168 0,167 7,535
Jml Max Rata2 Min
40,6 10,4 1,2 0,0
8,531 0,724 0,316 0,108
11,361 0,965 0,421 0,142
13.512 1.118 0.500 0.168
18’40 18’50 19’00 19’10
0,0 0,0 0,0 0,0
0,073 0,065 0,065 0,062
0,087 0,078 0,078 0,074
0,102 0,091 0,091 0,087
Mak Rata2 Min
3,4 0,8 0,0
0,446 0,169 0,113
0,542 0,206 0,137
0,620 0,235 0,157
Jml max Rata2 Min
20,2 3,5 0,8 0,0
3,19 0,133 0,086 0,062
3,812 0,159 0,103 0,074
4,478 0,187 0,121 0,087
Waktu Hujan (Jam) (mm)
Debit CH5
Tanggal 5 April 2012 Hujan (mm)
Tabel 28. menunjukan bahwa total debit aliran yang masuk ke dalam masing-masing dam parit yang kemudian ditampung dan dialirkan ke saluran irigasi. Apabila debit sungai melebihi kapasitas tampung saluran irigasi maka kelebihan debit tersebut kemudian mengalir ke jalur sungai kembali melalui limpasan dam parit. Hasil pengamatan menunjukan bahwa debit aliran sungai berkorelasi positif dengan luas DTA. Hal ini ditunjukan bahwa debit aliran pada dam parit yang dibuat secara bertingkat dari CH5 (hulu) lebih kecil dari pada debit pada CH6 yang posisi di tengah dan debit tersebut masih lebih kecil dibanding dengan debit yang terjadi di CH 8 yang posisinya di hilir pada satu kejadian hujan. Pada kejadian hujan 40,6 mm yang terjadi selama 2 jam 50 menit dengan curah hujan maksimum sebesar 10,4 mm pada jam 16.20 menyebabkan terjadinya debit puncak pada dam parit CH5 (hulu) sebesar 0,724 m3/dt, pada CH6 (tengah) sebesar 0,965 m3/dt dan pada CH 8 (hilir) sebesar 1,118 m3/dt yang terjadi 30 menit kemudian, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 38.
87
Gambar 38. Hubungan hujan dan debit dam parit pada anak Sungai Cihanjawar, Sub DAS Cibogo, tanggal 3 April 2012 Untuk mengetahui dampak dam parit terhadap pengurangan debit puncak, maka dilakukan pengamatan debit masuk ke dam parit, debit yang melimpas dari dam parit ke sungai dan debit keluar melalui saluran irigasi. Hal ini dilakukan karena kenyataan di lapangan pada saat terjadi debit puncak, dam parit telah penuh oleh debit yang terjadi sebelumnya. Sehingga secara otomatis penurunan debit puncak hanya dipengaruhi oleh besaran debit yang dipanen melalui saluran irigasi (Sawiyo 2010). Hasil analisis debit pengukuran pada Dam parit CH 6 pada tanggal 5 April 2012 disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 39. Tabel 29. Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH 5 Waktu
CH
(Jam)
(mm)
(m3/dt)
%
(m3/dt)
%
Debit Total (m3/dt)
0,01 0,81 1,50 1,96 0,12 0,12 0,00 0,12 0,00 0,35 0,12 0,69 0,69 1,04 1,04 0,81 0,58
0,055 0,055 0,055 0,055 0,055 0,055 0,057 0,055 0,057 0,057 0,057 0,060 0,072 0,075 0,077 0,077 0,072 0,077
85,2 85,2 85,2 84,1 84,1 84,4 84,7 84,1 84,9 83,6 84,7 85,2 83,3 84,4 85,5 84,9 84,4 85,3
0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,011 0,010 0,010 0,014 0,014 0,013 0,014 0,013 0,013
14,8 14,8 14,8 15,9 15,9 15,6 15,3 15,9 15,1 16,4 15,3 14,8 16,7 15,6 14,5 15,1 15,6 14,7
0,065 0,065 0,065 0,066 0,066 0,065 0,068 0,066 0,068 0,069 0,068 0,070 0,086 0,088 0,090 0,091 0,085 0,090
13’10 13’20 13’30 13’40 13’50 14’00 14’10 14’20 14’30 14’40 14’50 15’00 15’10 15’20 15’30 15’40 15’50 16’00
Debit Limpasan
Debit Saluran
Penurunan Debit Puncak (m3/dt
88 Tabel 29. Lanjutan Waktu
CH
(Jam)
(mm)
(m3/dt)
%
(m3/dt)
%
Debit Total (m3/dt)
16’10 16’20 16’30 16’40 16’50 17’00 17’10 17’20 17’30 17’40 17’50 18’00 18’10 18’20 18’30 18’40 18’50 19’00 19’10 jumlah max rataan min
0,58 1,15 1,39 0,46 2,89 3,46 0,23 0,12 0,01
0,077 0,085 0,094 0,103 0,103 0,097 0,112 0,116 0,103 0,094 0,085 0,080 0,080 0,067 0,067 0,062 0,055 0,055 0,053 2,71 0,116 0,073 0,053
84,7 85,0 86,0 86,3 86,6 85,3 86,8 86,8 86,3 86,0 85,0 84,5 84,5 83,4 84,7 84,9 84,6 85,2 84,6 85,1 86,8 85,1 84,6
0,014 0,015 0,015 0,016 0,016 0,017 0,017 0,018 0,016 0,015 0,015 0,015 0,015 0,013 0,012 0,011 0,010 0,010 0,010 0,47 0,018 0,013 0,010
15,3 15,0 14,0 13,7 13,4 14,7 13,2 13,2 13,7 14,0 15,0 15,5 15,5 16,6 15,3 15,1 15,4 14,8 15,4 14,9 13,2 14,9 15,4
0,091 0,100 0,109 0,119 0,119 0,114 0,130 0,133 0,119 0,109 0,100 0,094 0,094 0,080 0,079 0,073 0,065 0,065 0,062 3,19 0,133 0,086 0,062
20,22 3,463 0,778 0,000
Debit Limpasan
Debit Saluran
Penurunan Debit Puncak (m3/dt 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116 0,116
Gambar 39. Hubungan debit sungai dan saluran pada dam parit CH 5 Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa jumlah curah hujan sebesar 20,22 mm terjadi mulai jam 13.00 hingga jam 17.20 selama 4 jam 20 menit. Debit sebelum hujan sebesar 0,055 m3/dt, debit tersebut tidak berubah dengan datangnya hujan sebesar 4,39 mm yang terjadi selama 50 menit awal. Debit berubah cukup besar menjadi lebih 0,10 m3 terjadi setelah total hujan sebesar 11,6 mm dengan durasi 190 menit. Debit maksimum terjadi pada saat curah hujan
89 mengalami peningkatan yang signifkan yaitu dari 0,46 mm/10 detik menjadi 2,89 -3,46 mm/10 menit pada menit ke 170-190, sehingga menimbulkan debit puncak 20 menit kemudian sebesar 0,133 m3/dt pada jam 17.20. Debit puncak sebesar sebesar 0,133 m3/dt mengalir ke sungai sebesar 0,116 m3/dt (86,8%) dan mengalir ke saluran sebesar 0,018 m3/dt (13,2%) dari total debit. Debit yang mengalir ke saluran tersebut adalah merupakan pengurangan debit puncak secara riil pada dam parit CH5 yaitu yaitu sebesar 0,018 m3/dt (13,2%). Berdasarkan analisis kurva lengkung debit dan tinggi muka air pada dam parit CH 5 berdasarkan hasil pengukuran tanggal 5 April 2012 diketahui : Kurva lengkung debit sungai adalah (Q melimpas) = 24.609 X2,034 Kurva lengkung debit saluran adalah (Q saluran = 0,375 X1,341 Dimana : - Q adalah debit (m3/dt) - X adalah tinggi muka air (m) Kurva lengkung debit dan tinggi muka air pada dam parit CH 5 terhadap debit yang mengalir melalui limpasan dam dan saluran irigasi disajikan pada Gambar 40a dan 40b.
Gambar 40a. Kurva lengkung debit sungai Gambar 40b. Kurva lengkung debit saluran pada dam parit CH 5 pada dam parit CH 5
Pengamatan hujan dan debit pada dam parit CH6 dilakukan pada limpasan dam parit dan saluran irigasi pada tanggal 29 April 2012. Kejadian hujan dimulai 12.30 dan berakhir jam 16.30 WIB selama 6 jam dengan total curah hujan sebanyak 41,2 mm. Debit pada saat awal pengamatan sebesar 0,145 m3/dt atau 145 l/dt. Hujan 10 menitan tertinggi terjadi pada jam 15.10 WIB sebesar 10,4 mm dan memberikan dampak debit puncak sebesar 0,542 m3/dt terjadi pada jam 15.50 sehingga ada perbedaan waktu (time to peak) selama 40 menit. Pada saat debit puncak debit aliran sebagian melimpas ke sungai yaitu sebesar 0,450 m3 atau 83,1% dan sebagian lainnya yaitu sebesar 0,092 m3 atau 16,9% mengalir ke saluran. Hasil pengukuran curah hujan dan debit dam parit CH6 pada satu kejadian hujan disajikan pada Gambar 41 dan Tabel 30.
90
Gambar 41. Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH6. Tabel 30. Hubungan curah hujan dan debit dam parit CH 6 tanggal 29 April 2012 Waktu Jam 12'30 12'40 12'50 13'00 13'10 13'20 13'30 13'40 13'50 14'00 14'10 14'20 14'30 14'40 14'50 15'00 15'10 15'20 15'30 15'40 15'50 16'00 16'10 16'20 16'30 16'40 16'50 17'00 17'10 17'20 17'30 17'40 Jumlah
Curah hujan (mm) 0,0 0,2 0,7 1,6 1,8 2,0 2,0 2,3 2,7 2,1 0,0 0,0 0,0 0,0 2,5 3,5 2,3 10,4 6,3 0,1 0,1 0,0 0,2 0,1 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 41,2
Debit Melimpas Dam (m3/dt) (%) 0,117 81,2 0,117 81,2 0,117 81,2 0,117 81,2 0,122 81,3 0,138 82,5 0,140 82,0 0,151 82,8 0,166 84,0 0,168 84,2 0,168 84,2 0,179 84,3 0,171 84,4 0,138 81,7 0,136 81,3 0,116 84,3 0,123 83,6 0,170 86,3 0,231 83,6 0,264 83,2 0,450 83,1 0,371 81,8 0,253 82,0 0,198 83,1 0,186 82,7 0,168 82,9 0,147 82,0 0,131 80,8 0,128 81,2 0,120 80,9 0,119 80,9 0,118 80,8 5,436
Debit Saluran (m3/dt) (%) 0,027 18,8 0,027 18,8 0,027 18,8 0,027 18,8 0,028 18,7 0,029 17,5 0,031 18,0 0,031 17,2 0,031 16,0 0,031 15,8 0,031 15,8 0,033 15,7 0,032 15,6 0,031 18,3 0,031 18,7 0,022 15,7 0,024 16,4 0,027 13,7 0,045 16,4 0,053 16,8 0,092 16,9 0,083 18,2 0,056 18,0 0,040 16,9 0,039 17,3 0,035 17,1 0,032 18,0 0,031 19,2 0,029 18,8 0,028 19,1 0,028 19,1 0,028 19,2 1,142
Debit Total (m3/dt) 0,145 0,145 0,145 0,145 0,150 0,167 0,170 0,182 0,197 0,200 0,200 0,213 0,203 0,169 0,167 0,137 0,147 0,197 0,276 0,317 0,542 0,454 0,309 0,238 0,225 0,203 0,179 0,162 0,157 0,148 0,147 0,146 6,578
91 Dari pengamatan tinggi dan debit dapat diketahui nilai rating kurva untuk debit yang melimpas ke sungai maupun yang mengalir di saluran irigasi sebagaimana disajikan pada Gambar 42a dan 42b.
Gambar 42a. Kurva lengkung debit melimpas sungai pada dam parit CH 6
Gambar 42b. Kurva lengkung debit saluran pada dam parit CH 6
Berdasarkan analisis debit dan tinggi muka air pada dam parit CH 6 pada tanggal 29 April 2012 diketahui : kurva lengkung debit melimpas ke sungai adalah Q = 2,9805 x 1,3593 kurva lengkung debit salurannya adalah Q = 0,435 x 1,6914 3 Dimana Q adalah debit (m /dt) dan x adalah tinggi muka air (m) Pengamatan hujan dan debit pada dam parit CH 8 (hilir) dilakukan pada tanggal 3 April 2012. Hasil pengamatan diketahui bahwa waktu hujan terjadi mulai jam 14.20 hingga jam 16.40 selama 2 jam 20 menit. Jumlah curah hujan sebesar 24,8 mm, hujan maksimum 10 menitan sebesar 1,63 mm terjadi pada jam 15.00 dan debit maksimum melimpas sebesar 0,998 m3/dt terjadi pada jam 15.30 sehingga terdapat selisih waktu (time to peak) selama + 30 menit. Dari total debit tersebut yang mengalir melimpas ke sungai sebesar 0,5158 m3/dt atau 51,5% dan mengalir ke saluran sebesar 0,484 m3/dt atau 48,5 %. Debit yang mengalir ke saluran tersebut merupakan pengurangan debit sebesar 48.5% yang ditampung dalam saluran irigasi sepanjang 1.848 m dan lahan target irigsi seluas 21,63 ha. Dengan pengurangan debit maksimum sebesar 48 %. Hasil analisis debit disajikan pada Gambar 43 dan data pengamatan curah hujan dan debit disajikan pada Tabel 31.
Gambar 43.
Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH8
92 Tabel 31. Curah hujan, debit sungai dan debit saluran CH 8 tanggal 3 April 2012 Waktu Jam 14-00 14-10 14-20 14-30 14-40 14-50 15-00 15-10 15-20 15-30 15-40 15-50 16-00 16-10 16-20 16-30 16-40 16-50 17-00 17-10 17-20 17-30 17-40 17-50 18-00 18-10 18-30 Jumlah Maksimum Minimum Rata-rata
Curah hujan (mm) 0,58 0,60 0,59 0,92 1,63 1,13 0,95 0,77 1,07 0,68 0,57 1,30 1,05 0,76 0,51 13,11 1,63 0,51 0,87
Debit melimpas (m3/dt) 0,05 0,06 0,05 0,06 0,06 0,06 0,10 0,40 0,45 0,51 0,36 0,24 0,21 0,25 0,20 0,17 0,45 0,34 0,29 0,26 0,23 0,19 0,18 0,14 0,09 0,06 0,05 5,52 0,51 0,05 0,20
% 29,60 33,19 28,44 29,06 28,77 28,65 35,69 51,58 50,61 51,48 50,66 45,08 43,58 45,15 45,28 44,27 52,70 50,09 49,69 48,16 46,90 44,31 44,09 43,13 35,15 33,40 32,22 1120,94 52,70 28,44 41,52
Debit Saluran (m3/dt) 0,118 0,120 0,131 0,135 0,137 0,138 0,179 0,379 0,436 0,484 0,354 0,293 0,271 0,298 0,245 0,217 0,407 0,335 0,298 0,276 0,257 0,238 0,234 0,186 0,169 0,129 0,114 6,58 0,48 0,11 0,24
% 70,40 66,81 71,56 70,94 71,23 71,35 64,31 48,42 49,39 48,52 49,34 54,92 56,42 54,85 54,72 55,73 47,30 49,91 50,31 51,84 53,10 55,69 55,91 56,87 64,85 66,60 67,78 1579,06 71,56 47,30 58,48
Debit Total (m3/dt) 0,168 0,180 0,182 0,190 0,192 0,194 0,278 0,783 0,882 0,998 0,717 0,533 0,480 0,543 0,448 0,389 0,860 0,671 0,592 0,533 0,485 0,428 0,419 0,327 0,260 0,194 0,169 12,09 1,00 0,17 0,45
Dari pengamatan tinggi dan debit dapat diketahui nilai kurva lengkung debit untuk debit yang melimpas ke sungai maupun yang mengalir disaluran irigasi sebagai-mana disajikan pada Gambar 44a dan Gambar 44b.
Gambar 44a. Kurva lengkung debit sungai Gambar 44b. Kurva lengkung debit dam parit CH 8 saluran dam parit CH 8
93 Berdasarkan analisis debit dan tinggi muka air pada dam parit CH 8 pada tanggal 3 April 2012 diketahui: Kurva lengkung debit melimpas ke sungai adalah Q = 11,068 X 1.6733 Kurva lengkung debit salurannya adalah Q = 8,1899 X 1,9035 Dimana Q adalah debit (m3/dt), X adalah tinggi muka air (m) Dari hasil pengamatan debit melimpas dan debit saluran 3 buah dam parit diketahui bahwa jumlah air yang masuk ke dalam saluran dan selanjutnya masuk ke lahan target ternyata cukup signifikan dalam mengurangi debit puncak. Volume air yang masuk ke areal target melalui saluran selain mengurangi debit puncak dan memperlambat waktu respon, sebagian volume air tersebut dapat meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi menjadi cadangan air tanah (ground water discharge) yang merupakan sumber aliran dasar suatu jalur aliran. Analisis Dampak Pengembangan Dam Parit terhadap Peningkatan Produktivitas Lahan Studi manfaat dam parit sebagai penyedia air bagi pertanian dilakukan di Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada 30 buah dam parit telah dibangun secara bertingkat pada 4 jalur anak sungai di Sub DAS Cibogo. Dari jumlah tersebut 24 buah dam parit diantaranya dilengkapi dengan saluran irigasi ke lahan target berupa sawah tadah hujan tegalan dan perkampungan, sedangkan 6 buah lainnya tidak dibuat saluran irigasi karena penggunaan lahannya berupa hutan pinus, semak belukar dan kebun teh. Air yang bersumber dari dam parit tersebut dimanfaatkan untuk keperluan pertanian maupun domestik. Penyebaran dam parit dan saluran irigasi disajikan pada Gambar 45 dan legendanya disajikan pada Tabel 32.
94 #PETA JARINGAN SUNGAI DAN SEBARAN DAM PARIT # SUB DAS CIBOGO, DAS #CILIWUNG HULU # KABUPATEN BOGOR, # PROVINSI JAWA#BARAT #
# # BOGOR FAKULTAS PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN
# #
2012
CBG11 #
#
#
CBG12
#
CBG10 # CSR7 #
# #
# #
CHJ12
#
N # W
E S
#
#
#
#CSR6
#
CHJ11
#
CBG9 #
#CSR5
#
#
CHJ10
#
#
#CSR4
CBG7 # CBG6 #
CHJ9 # CHJ8 CSR3 # # CHJ7 # CBG5 CHJ6 Tarikolot # # CHJ5 CSR2 # # # CHJ4 # # CHJ2 CSR1 # # # CHJ3 # #CPG1 # CHJ1 #
#
#
CBG8 #
#
#
#
#
# #
CBG4 # CBG3 #
#
#
# #
CBG2 # CBG1 #
Legenda : #
Dam Parit
#
Sungai
#
Batas Sub DAS Cibogo INDEKS PETA 6°36'
106°51'
106°54'
106°57'
107°00'
#
6°39'
6°39'
6°36'
N
DAS Ciliwung Hulu
6°42'
6°42'
Sub DAS Cibogo
6°45'
6°45'
PETA LOKASI PENELITIAN N
Skala 1:200.000 106°51'
106°54'
106°57'
107°00'
Gambar 45. Peta jaringan sungai dan sebaran dam parit Sub DAS Cibogo Tabel 32. Sebaran dam parit di Sub DAS Cibogo. No
Nama Anak sungai
Luas No. Dam Vol. dam DAS Parit parit (m3) Mikro (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Cibogo Cibogo Cibogo Cibogo Cibogo Cibogo Cibogo Cibogo Cibogo
CB1 CB2 CB3 CB4 CB5 CB6 CB7 CB8 CB 9
1100 1000 300 1250 300 250 250 250 200
Luas DTA Dam (ha) 90,37 108,24 142,89 151,16 211,22 223,28 257,00 263,00 282,00
Penggunaa Luas target Irigasi (ha) n lahan Panjang 1.Hutan Di dalam Di luar Saluran 2.Non (m) Sub DAS Sub DAS hutan Cibogo Cibogo 1+2 1+2 1+2 1+2 25,28 1.530 1+2 5,790 1.150 1+2 3,48 933 1+2 30,58 2.260 1+2 28,18 2.170 1+2 21,12 1.670
95 Tabel 32. Lanjutan No
Nama Anak sungai
Luas No. Dam Vol. dam DAS Parit parit (m3) Mikro (ha)
10 Cibogo Cb 10 Total Cibogo 11 Cipanggulaan CP1 Total Cipanggulaan 12 Cisuren CS1 13 Cisuren CS2 14 Cisuren CS3 15 Cisuren CS4 16 Cisuren CS5 17 Cisuren CS6 18 Cisuren CS7 Total Cisuren 19 Cihanjawar CH1 20 Cihanjawar CH2 21 Cihanjawar CH3 22 Cihanjawar CH4 23 Cihanjawar CH5 24 Cihanjawar CH6 25 Cihanjawar CH7 26 Cihanjawar CH8 27 Cihanjawar CH9 28 Cihanjawar CH10 29 Cihanjawar CH11 30 Cihanjawar CH12 Total Cihanjawar Total sub DAS Cibogo
400 5300 400 400 200 200 200 150 150 150 147 750 600 500 300 200 150 400 150 200 200 200 200 400 2900 9.350
417.26 148.19 148.19
227.50
551,99 1.362,4
Penggunaa Luas target Irigasi (ha) n lahan Panjang 1.Hutan Di dalam Di luar Saluran 2.Non (m) Sub DAS Sub DAS hutan Cibogo Cibogo 306,00 1+2 16,88 1.690 326,00 131,29 - 11.410 101,50 1+2 6,80 1.23 101,50 6.80 1.300 65,77 1+2 79,29 1+2 18,30 920 92,76 1+2 17,90 1.880 109,09 1+2 9,88 1.460 139,00 1+2 22,78 1.560 151,00 1+2 23,95 2.160 164,00 1+2 3,13 573 164,00 95,93 8.550 134,74 1+2 140,48 1+2 162,08 1+2 176,94 1+2 9,13 842 207,36 1+2 8.80 992 237,46 1+2 3,34 4,54 960 243,14 1+2 8,22 998 260,02 1+2 17,31 4,32 1.848 296,01 1+2 8,36 3,21 716 343,55 1+2 11,82 4,76 1.752 384,83 1+2 12,050 6,45 2.778 422,72 1+2 24,49 2,30 3.167 422,72 104,34 25,59 14.053 338,36 25,59 35.315
Luas DTA Dam (ha)
Berdasarkan Tabel 32 diketahui luas DAS Cibogo adalah 1.344,93 ha, mempunyai sawah tadah hujan seluas 374,73 ha, telah dibangun 30 buah dam parit dengan total kapasitas tampung 9.350 m3 diikuti pembangunan saluran irigasi sederhana secara swadaya sepanjang 34.171 m mempunyai areal target irigasi seluas 418,79 ha yang terdapat dalam sub DAS Cibogo dan 25,59 ha di luar kawasan sub DAS Cibogo/ tetangganya. Jenis lahan target irigasi adalah sawah tadah hujan, tegalan, pekarangan dan kebun campuran. DAS Mikro Cihanjawar yang mempunyai luas + 551.99 ha, panjang sungai adalah 11.051 km terdiri dari sungai ordo 1 sepanjang 4, 948 km dan sungai orde 2 sepanjang 6,103 km telah dibangun sebanyak 12 buah dam parit dengan kapasitas tampung 2.900 m3. Sebagian dam parit ( 9 buah) diantaranya dilengkapi dengan bangunan saluran irigasi sedangkan 3 buah lainnya yang terletak di bagian paling hulu tidak dilengkapi dengan saluran irigasi karena kondisi tebing yang terjal, debit yang tidak kontinyu dan penggunaan lahan berupa hutan. Total panjang saluran adalah 14,053 km dan ditargetkan untuk mengaliri areal seluas + 133,03 ha atau 24,1% dari total luas areal DAS Mikro tersebut. Dam parit berdampak terhadap pola tanam, perubahan jenis tanaman dan peningkatan masa pertumbuhan tanaman. Dengan ketersediaan air yang cukup sepanjang tahun intensitas tanam (IP) di daerah target irigasi dapat ditingkatkan
96 dari 100-200 menjadi minimum 300%. Selain itu perubahan jenis tanaman oleh petani dilakukan dari tanaman komoditas sayuran daun/umbi menjadi jenis sayuran bunga dan buah (cabe rawit) yang mempunyai nilai ekonomis relatif tinggi. Berdasarkan keterangan petani pemilihan jenis tanaman dan waktu tanam tersebut disebabkan keyakinan bahwa kekurangan air di musim kemarau dapat diatasi dengan adanya air yang berasal dari dam parit. Pemilihan waktu tanam sangat penting mengingat cabe rawit berumur cukup panjang, dan harga berfluktuasi. Harga produk ini akan tinggi bila permintaan bahan tinggi yaitu pada bulan banyak acara keagamaan atau pada saat daerah lain tidak bisa tanam. Dampak pengembangan dam parit terhadap ketersediaan air melalui saluran irigasi pada tiap target irigasi dapat diketahui dari sebelum dan sesudah tersedia dam parit. Sebelum dam parit dan saluran irigasi sumber air bagi pertanian dan domestik hanya berasal dari curah hujan. Bagi pertanian air dari curah hujan akan bertahan dalam beberapa hari, namun untuk keperluan domestik air hujan akan habis beberapa jam setelah hujan berhenti. Sumber air dari dam parit dialirkan melalui saluran irigasi dapat meningkatkan ketersediaan air untuk keperluan tersebut. Analisis ketersediaan air untuk beberapa dam parit di DAS mikro Cihanjawar disajikan pada Gambar 46.
Gambar 46. Hasil analisis ketersediaan air pada dam parit di DAS mikro Cihanjawar Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa debit rendah di anak sungai Cihanjawar terjadi mulai tanggal 20 juli s/d 8 September. Dalam periode tersebut terjadi hujan kiriman minggu III bulan Agustus. Debit terendah terjadi pada dam yang paling hulu (CH5) sebesar 7,3 liter/detik terjadi pada minggu I s/d III bulan Agustus. Analisis ketersediaan dan kebutuhan air di daerah target irigasi CH 5 untuk pola tanam Padi-padi-jagung disajikan pada Gambar 47.
97
Gambar 47. Hasil analisis ketersediaan air untuk dam parit CH5 Berdasarkan hasil analisis kebutuhan dan ketersediaan untuk pola tanam padi-pad-jagung, diketahui bahwa dam parit CH 5 dapat menyediaakan air untuk tanaman padi selama 2 musim seluas 12,7 ha dan untuk tanaman jagung (MT3) seluas 9,5 ha (74,9%) dari areal target. Komoditas pertanian di lokasi penelitian yang dikonsentrasikan di mikro DAS Cihanjawar Sub DAS Cibogo didominasi oleh 9 jenis tanaman, yaitu : padi, jagung manis, caisin, pakcoy, tomat, cabe merah, wortel dan ubijalar. Tabel 33. Perubahan pola tanam akibat pembangunan dam parit di daerah target Sebelum pengembangan dam Sesudah pengembangan dam pari parit Padi - padi - palawija Padi - padi - (jagung manis+caisin) Padi-palawija-bera padi - palawija - palawija Padi - (jagung manis+caisin) - tomat +caisin) Padi - (ubijalar+caisin) - (tomat + pakcoi) Cabe rawit - (tomat+sawi) Palawija-palawija-bera padi - palawija-palawija Ubijalar- caisin (padi)- (Ubijalar+caisin)-(tomat+sawi) Cabe rawit – (tomat+sawi) Palawija -bera Cabe-rawit-(tomat+sawi) Padi menempati luas terbesar hampir 50% dari luas lahan pertanian kemudian diikuti oleh jenis tanaman lainnya dengan proporsi sama. Pada lahan yang sama padi hanya ditanam maksimal 2 kali/tahun. Pola tanam di wilayah penelitian dilakukan secara bergilir antara tanaman padi dan sayuran. Pola tanam di wilayah penelitian yaitu target irigasi CH5, CH6 dan CH8 sebelum dan sesudah pengembangan dam parit disajikan pada Tabel 33. Analisis Dampak Finansial •
Analisis Finansial Usahatani Analisis dampak ekonomi pengembangan dam parit dilakukan di 3 buah daerah target irigasi dam parit CH5, CH6, dan CH8 yang dibangun pada anak
98 sungai Cihanjawar dengan kapasitas tampung masing-masing 150-200 m3 yang dilengkapi dengan saluran irigasi sepanjang + 3.237 m ditargetkan dapat mengairi lahan seluas 38,30 ha yang terdapat di kampung Cihanjawar dan Coblong, Desa Sukagalih. Untuk dam parit CH 5 dibangun dengan kapasitas tampung 150 m3 dengan saluran terbuka dari tanah sepanjang 992 m dengan target irigasi seluas 8,85 ha. Pola dan luasan tanam daerah target dam parit CH5, CH6 dan CH8 disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Pola dan luasan tanam pada areal target dam parit CH5, CH6 dan CH8 No
PT1 PT2
PT3
PT4 PT5
Pola tanam Luas (ha) Sebelum dibangun Sesudah dibangun CH5 CH6 CH8 Total dam parit Padi-palawija-bera Padi - padi - (jagung 3.50 3.50 9.00 16.00 manis + caisin) padi - (jagung manis Padi - (jagung manis 0.00 1.50 5.00 6.50 + caisin) - bera + caisin) - (tomat +pakcoi) Padi Padi 2.50 3.00 5.50 Ubijalar+caisin) - (ubijalar+caisin) bera (jagung manis + pakcoi) Palawija-palawija - Padi - (wortel +caisin) 1.30 1.00 1.60 3.90 bera - (tomat + sawi) Ubijalar- caisin Cabe rawit - (tomat + 1.50 1.90 3.00 6.40 sawi) Total 8.80 7.90 21.6 38.30
Tabel 34 menjelaskan bahwa dam parit Ch5 dengan saluran irigasi dapat merubah pola tanam dan intensitas tanam dari 2 kali menjadi 3 kali/ tahun. Dengan tersedianya air di lahan target maka petani dapat memilih jenis tanaman sesuai dengan selera pasar yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi. Petani dalam mengusahakan tanaman umumnya dilakukan secara tumpang sari (campuran) dengan tanaman dengan umur produksi berbeda. Hal ini dilakukan agar memperoleh hasil produksi yang lebih cepat guna mendapatkan penghasilan untuk menutupi kebutuhannya. Analisis finansial usahatani dilakukan untuk mengetahui tingkat pendapatan dari setiap pola tanam yang dilakukan di areal ini. Hasil analisis disajikan pada Tabel 35. Berdasarkan Tabel 35 diketahui bahwa pola tanam yang memerlukan biaya terkecil adalah bertanam padi secara monokultur (Rp 9.243.333,-) dan biaya usahatani terbesar yaitu pola tanam cabe keriting (Rp 46.628.000,-). Sedangkan hasil usahatani terendah adalah untuk pola tanam padi monokultur dan pendapatan tertinggi diperoleh pada usahatani cabe keriting. Perbandingan pendapatan dan modal (R/C) terendah diperoleh untuk tanaman padi (2,01) sedangkan tertinggi diperoleh untuk pola tanam tomat+sawi (2,71). Hasil perhitungan perbandingan keuntungan terendah juga ditemukan pada pada pola tanam yang sama yaitu BC rasio terendah diperoleh hari hasil usahatani padi monokultur (1,01) sedangkan untuk yang tertinggi diperleh pada pola tanam tomat dan sawi. Secara keseluruhan usahatani tanaman pangan dan sayuran di lahan target irigasi CH5 sangat menguntungkan ditujukan oleh R/C sebesar 2,4 dan B/C sebesar 1,4.
99 Perhitungan keuntungan (benefit) usahatani akibat penyediaan air di wilayah target irigasi dam parit CH5 dilakukan analisis usahatani di seluruh areal target dari seluruh pola tanam selama 1 tahun yang disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Hasil analisis finansial usahatani tiap komoditas pada lahan target dam parit CH5 Biaya usahatani pola tanam tiap hektar (Rp) dalam ribu (000) PengoBenih Benih lahan Pupuk I II tanah 1.666 1.100 300 1.600 1.666 900 320 200 3.000
Sewa tanah
Komoditas Padi Jagung manis + caisin Tomat +sawi Tomat + pakcoi Cabe keriting Ubi jalar + Caisin wortel +caisin Ju mlah
1.666 1.666 3.333 1.666
2.000 2.000 3.600 1.200
328 328 790 200
180 200 200
5.471 5.471 11.600 3.500
1.666
2.000
200
100
3.900
Obat 450 875
0
1.261 5.700 1.261 5.700 6.300 10.275 465 0 875
Tenaga Kerja II 4.000 0 2.500 2.075
Bahan Tenaga lain Kerja I
0
Total biaya 9.243 16.463
3.600 3.600
2.055 925 10.730 6.750 2.075 2.375
Pendapatan usahatani tiap pola tanam tiap hektar (Rp) dalam ribu (000) Komoditas Hasil kotor Hasil kotor Hasil kotor Laba R/C Tanaman I tanaman II Total (Rp) bersih (Rp) Rasio Padi 18.360 18.360 9.243 2,01 Jagung manis + caisin 20.000 8.000 28.000 16.796 2,50 Tomat + sawi 47.400 12.000 59.400 37.470 2,71 Tomat + pakcoi 47.400 8.075 55.475 34.655 2,66 Cabe keriting 99.792 99.792 53.830 2,17 Ubi jalar +Caisin 25.000 8.000 33.000 16.943 2,06 wortel +caisin 24.000 8.000 32.000 19.958 2,66 Total 326.027 188.898 2,40
925
22.262 21.152 46.628 16.056 12.041 137.128
BC Rasio 1,01 1,50 1,71 1,66 1,17 1,06 1,66 1,40
Tabel 36. Analisis keuntungan (benefit) usahatani akibat penyediaan air di wilayah target irigasi dam parit CH5 Dalam ribu (000) No Pola Tanam
Luas tana m (ha)
PT1
3,5
PT3
2,5
63.141
51.360
128.400
65.258
91.941
79.360 198.400
PT4
1,3
43.762
91.400
118.820
75.057
56.989
109.760 142.688
PT5
1,5
56.645
92.400
138.600
81.954
103.336
235.236 281.520
548.080
312.843
358.153
Jumlah 8,8
Biaya dan pendapatan sebelum dam parit (Rp) PendaPendaBiaya patan laba patan Total 71.686 46.360 162.260 90.573
(B) Biaya dan pendapatan sesudah dam parit (Rp) PendaPendaBiaya patan Laba patan Total 105.886 64.720 226.520 120.633
Selisih laba (Rp)
selisih laba bersih (Rp)
30.060
25.851
106.458
41.200
35.432
85.698
10.641
9.151
159.192 238.788
135.451
53.497
46.007
413.032 806.396
448.242
135.398
116.442
Tabel 36 menganalisis pendapatan sebelum dan sesudah pengembangan dam parit dan saluran irigasi untuk areal target seluas 8,8 ha. Hasil perhitungan menujukan bahwa pengembangan dam parit CH5 memberikan peningkatan pendapatan sebesar Rp 135.398.500,-/tahun atau Rp 15.386.193/ha/tahun Untuk menghitung tingkat kelayakan bangunan dam pari maka dilakukan analisis cashflow dan perhitungan IRR yang disajikan pada Tabel 37 dan Tabel 38. Tabel 37. Cashflow usahatani di areal target irigasi dam parit Dlm ribu (000)
100 Tahun
Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4 Ke-5 Ke-6 Ke-7 Ke-8 Ke-9 Ke-10
Pengeluaran (Cost) Investasi Biaya Total DAM Usahatani Cost Parit (Rp) (Rp) (Rp) 119.200 358.153 477.353 0 358.153 358.153 0 358.153 358.153 0 358.153 358.153 0 358.153 358.153 0 358.153 358.153 0 358.153 358.153 0 358.153 358.153 0 358.153 358.153 0 358.153 358.153
Penerim Keuntun Discount aan gan Factor DAM (14%) Parit (Rp) (Rp) 806.396 329.042 1,14 806.396 448.242 1,02 806.396 448.242 1,03 806.396 448.242 1,04 806.396 448.242 1,05 806.396 448.242 1,06 806.396 448.242 1,08 806.396 448.242 1,09 806.396 448.242 1,1 806.396 448.242 1,12
Pendapat an Terdisko nto (Rp) 276.526 384.233 383.605 382.977 382.350 381.722 380.467 379.840 379.212 377.957
Tabel 38. Kriteria kelayakan dari hasil analisis biaya dan manfaat dam parit Kriteria Net Present Value (NPV) BC Ratio DAM Parit Payback Periode
Nilai Rp 448.392.007 1,4 3 th
NPV pd saat Payback period
Rp 383.605.509
Internal Rate of Return (IRR)
> 50%
Keterangan Menguntungkan karena NPV > 0 Menguntungkan Termasuk cepat Di atas investasi dam parit (Rp 358.153.993) > dari suku bunga 14% sangat menguntungkan
Berdasarkan Tabel 37 dan 38 dilakukan perhitungan dengan asumsi umur teknis dari dam parit adalah 10 tahun, tingkat suku bunga investasi yang terjadi pada saat penelitian adalah 18%. Biaya investasi dam parit sepenuhnya dikeluarkan pada tahun pertama terdiri dari biaya bangunan fisik (dam parit dan saluran irigasi) dan biaya usahatani. Biaya fisik dam parit CH5 sebesar Rp. 119.200.000,- terdiri dari bangunan dam parit sebesar Rp 20.000.000,- dan untuk biaya pembuatan saluran irigasi terbuka dengan dasar tanah sebesar Rp 99.200.000,-. Sedangkan biaya usahatani adalah biaya dikeluarkan untuk pembiayaan usahatani komoditas yang diusahakan selama 1 tahun dengan luasan masing-masing. Nilai NPV sebesar Rp 383.605.509, berarti dengan bunga 18 % maka NPV masih menunjukan nilai positif, sehingga pembangunan dam parit layak untuk dilaksanakan. Bila net B/C > 1 maka usaha tersebut menguntungkan dan dapat dilaksanakan, sedangkan pengembangan dam parit mempunyai besaran B/C =1,4 artinya menguntungkan dan pengembangan dam parit juga dapat dilaksanakan. IRR lebih 50 % maka berarti bila dibanding dengan bunga Bank sebesar 20 % maka investasi pengembangan dam parit layak untuk dilakukan. Arus biaya dan penerimaan dam parit diperoleh dari analisis usahatani per hektar per tahun dikalikan potensi pertambahan luas areal karena dam parit. Tabel 36 menyajikan biaya dan penerimaan yang dihasilkan oleh pembangunan dam parit. Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa penerimaan (revenue) dari dam parit per tahunnya adalah sebesar Rp 116.442.710,-.
101
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Penelitian dam parit di DAS Ciliwung menghasilkan panduan teknis pengembangan dam parit yang berkelanjutan. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu, secara geologis merupakan formasi Qvpo terbentuk dari endapan bahan volkan berupa endapan lahar dan lava bersusun andesit-basal. Kondisi fisiografi termasuk volkan berlapis yang didominasi oleh kipas volkan dengan bentuk wilayah berbukit memanjang. Penggunaan lahannya berupa hutan, kebun‘teh, lahan kering, kebun campuran, sawah dan perkampungan. Tanahnya didominasi oleh jenis tanah Regosol Andik, Andosol Ortik dan Latosol Haplik yang setara dengan Typic/Lithic Udhorthens, Typic Hapludands dan Typic Eutrudepts, dengan kelas kemampuan lahan yang didominasi oleh kelas I-IV. Curah hujan rata-tara tahunan sebesar 3.119,5 mm jumlah hari hujan 167,7 hari dan evapotransipirasi 1.298,1 mm/tahun. Jumlah bulan basah 7 bulan dan bulan kering dan 2 bulan. Sungai Cibogo memiliki jaringan sungai hingga orde 3 dengan pola aliran sejajar. Model pengembangan dam parit yang dihasilkan mempunyai dua komponen aspek desain, yaitu aspek kesesuaian posisi dan aspek dimensi pengembangan dam parit individual. Dengan teknik padu-serasi (matching) antara kualitas parameter dengan kriteria parameter dari kedua aspek tersebut, dapat ditentukan lokasi dan dimensi dam parit yang berkelanjutan. Parameter penentu model kesesuaian posisi pengembangan dam parit terdiri dari 6 parameter yaitu : a) ketersediaan air, b) stabilitas bangunan, c) aksesibilitas, d) distribusi air, e) pemanfaatan air, dan f) kondisi sosial masyarakat. Keenam parameter penentu model kesesuaian posisi dam parit tersusun dari 14 sub parameter dan 24 faktor penentu. Sedangkan parameter penentu model kesesuaian dimensi/kapasitas tampung dam parit terdiri dari: a) penampang sungai, b) dimensi saluran, dan c) luas dan bentuk lahan target. Untuk mempermudah proses penentuan kelas kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit maka disusun perangkat lunak sistem pakar yang diberi nama ESPADS-ICRD (Expert system for the position and dimension suitability of the individual channel reservoir development). Aplikasi model hidrologi menunjukkan bahwa untuk menurunkan debit banjir Sungai Ciliwung Hulu periode ulang 50 tahunan hingga mencapai batas aman, diperlukan upaya panen hujan sebesar 68 mm agar dapat menurunkan debit puncak hingga sebesar 23,4 m3/dt. Panen hujan sebesar 68 mm tersebut setara dengan volume aliran permukaan sebesar 10.591.593 m3, yang membutuhkan pembangunan dam parit sebanyak 663 unit dengan penyebaran pengembangannya dilakukan pada jalur sungai orde 2, 3, dan 4. Hasil evaluasi dampak pengembangan dam parit secara individual di sub DAS Cibogo dapat menurunkan debit pucak penyebab terjadinya banjir berkisar antara 13,2% - 48,5%, meningkatkan produktivitas lahan dari IP 1,5 – 2,0 menjadi 3,0. dan meningkatkan pendapatan petani dengan memperoleh keuntungan
102 sebesar Rp 16,9 juta/ha/tahun. Hasil analisis usahatani menujukan bahwa pengembangan dam parit dapat memberikan keuntungan sebesar Rp 15.386.193/ ha/tahun. Dengan BC ratio 1,4 dan IRR >50 %, waktu pengembalian modal selama 3 tahun maka investasi pengembangan dam parit layak untuk dilakukan. Saran Untuk mengatasi banjir DAS Ciliwung Hulu perlu diterapkan berbagai tenik panen hujan, baik vegetatif maupun teknik sipil. Kapasitas tampung sungai Ciliwung perlu ditingkatkan dengan cara pengerukan endapan pada areal tampungan air bendung Katulampa
DAFTAR PUSTAKA Adi N and Nuroji 2012. Kajian Pembangunan Sarana Prasarana Irigasi Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani Dalam Program PNPM di Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten Tahun 2007-2011. Asikin dan Sukendar 1979. Dasar-Dasar Geologi Struktur. Departemen Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Ansori I 2009. Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Menyeluruh dan Terpadu. Dewan Sumber Daya Air Nasional. Asdak C 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Asikin dan Sukendar 1979. Dasar-Dasar Geologi Struktur. Departemen Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung [ASTM-D2487-00] American Society for Testing Materials. 2000. Standard Classification of Soils for Engineering Purposes (Unified Soil Classification System), Annual Book of ASTM Standards, Philadelphia, PA. [Bakornas PBP] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi 2005. Kekeringan. Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Biro Mitigasi, Sekretariat Bakornas PBP, Jakarta . [Bakornas PBP] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi 2007. Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei Pemetaan Nasional 1999. Peta Rupa Bumi Digital. Skala 1:25.000. Lembar Ciawi (Ed I) 1209-141, Lembar Cisarua (Ed I) 1209-142, Lembar Bogor 1209-314, Bogor [Balitklimat] Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi 2007. Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Menanggulangi Banjir dan Kekeringan Serta Mengembangkan Komoditas Unggulan. Pustaka.Litbang. [Bappenas] Badan Perencanaan Nasional 2007. Laporan Perkiraan Kerusakan dan Kerugian Pasca Banjir Awal Februari 2007 di Wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Jakarta.
103 [BMKG] Badan Meteorologi Klimtologi dan Geofisika, Stasiun Citeko 2011. Data Iklim Stasiun Harian Stasiun Citeko, Bogor, Jawa Barat Tahun 20002011 [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 2009. Pengelolaan Banjir dan Kekeringan. Kebijakan Deptan . Informasi Pengelolaan DAS CitarumCiliwung, 23 Maret 2009. Chapman C, Finkel M, and Yoqneam. 1991. History and perspectives of water harvesting. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Chen C T A, Liu J T and Tsuang B J 2004. Island-based Catchment – The Taiwan Example. Reg. Environ.Change 4, 39-48. Departemen Kehutanan RI. 2009. SK Menhut No 328/ Menhut-II/2009. Tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014 Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi. Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP – 03, Departemen Pekerjaan. Umum, Jakarta. Dinas PU Bogor. 2011. Data Debit Stasiun Katulampa 2004-2009. Direktorat Jendral Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi-Kriteria Perencanaan 04, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta,1986. Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H dan Hidayat A 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi lahan untuk Komoditas Pertanian. Edisi pertama. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian. Bogor. ISBN 979-947425-6. Edijatno, Nascimento N O, Yang X, Makhlouf Z, Michel C 1999. GR3J: A Daily Watershed Model With Three Free Parameters. Hydrological Sciences Journal 44(2), 263-277. Edijatno, Michel C 1989. Un Modele Pluie-Debit Journa lier a Trois Parameters. La Houille Blanche (2), 1989, 113 – 121 Efendi AC, Kusuma dan Hermato B. 1998. Peta Geologi Lembar Bogor, Jawa, Skala 1 : 100.000 Edisi kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Direktorat Geologi. Bandung FAO and CIFOR. 2005. Hutan dan Banjir, Tenggelam dalam suatufiksi, atau berkembang dalam fakta?, Indonesia Printer ISBN 979-3361-75-1© 2005 Fukami K, Shiraishi Y, Inomata H and Ozawa G 2009. Development of Integrated Flood Analysis System (IFAS) Using Satellite-Based Rainfall Products with A Self-Correction Method. International Centre for Water Hazard and Risk Management under The Auspices Of Unesco (Icharm), Public Works Research Institute (PWRI) Tsukuba, Japan Grenti L I. 2006. Peringatan Dini Banjir Pada DAS Ciliwung Dengan Menggunakan Data Curah Hujan. Thesis. SPS. Institut Pertanian Bogor. Habibie NM, Sasmito A, Kurniawan R 2011. Kajian Potensi Energi Angin di Wilayah Sulawesi dan Maluku. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Volume 12 Nomor 2 - September 2011: 181 – 187. Puslitbang BMKG, Jakarta Hairiah K 2009. Perubahan Iklim Global. Penyebab dan Dampaknya Terhadap Lingkungan dan Kehidupan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.
104 Hardjowigeno S dan Widiatmaka 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Bogor: Gadjah Mada University Press. Jakarta. Harlan D, Wangsadipura M, and Munajat M C 2010. Rain Fall-Run Off Modeling Of Citarum Hulu River Basin By Using GR4J. Proceedings of the World Congress on Engineering 2010 Vol II WCE. 2010. London UK. Heryani N dan Sutrisno N. 2005. Panen Hujan dan Aliran Permukaan Serta Peranan Dam Parit Dalam Peningkatan Produktivitas Lahan. Jurnal Sumberdaya Lahan. 2005. Vol 1 no. 1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Deptan. Irianto G, Le Istiqlal Amin dan Elza Surmaini 2000. Keragaman Iklim Sebagai Peluang Diversifikasi. Pusat penelitian Tanah Bogor. Irianto G, Pujilestari W, dan Heryani N. 2001. Pengembangan Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan,Laporan Akhir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Irianto G 2004. Evaluasi banjir dan kekeringan: Analisis sistem, adaptasi, dan mitigasinya. Badan Litbang Pertanian, Jakarta (Tidak dipublikasikan). Irianto G 2004. Kumpulan Pemikiran: Banjir dan Kekeringan – Penyebab dan antisipasi dan Solusinya. CV Universal Pustaka Media, Bogor, 135 hal Kemenhut 2000. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 328/MenhutII/2009 Tahun 2009 Tanggal 12 Juni 2000 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Komeji AD 2010. Penentuan Batas Ambang Curah Hujan Penyebab Banjir Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu. Thesis. SPS Institut Pertanian Bogor. Lakitan dan Benyamin 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Cetakan Ke-dua. Raja Grafindo Persada. Jakarta Machlab H 2009. Rainwater Harvesting Seen as Solution for Drought and Flood Control. In Kenyan Cities Like Nairobi, Rainwater Harvesting is Seen as A Solution to Multiple Problems. Marsoedi DS, Widagdo, Dai J, Suharta N, Darul SWP, Hardjowigeno S, Hof J dan Jorden ER 1997. Pedoman Klasifikasi Lndform. LT5. Versi 3.0. LREP II. Puslitanak. Bogor. [MWRMD and KRA] Minister for Water Resources Management and Development and Kenya Rainwater Association. 2004. Rainwater Harvesting In Kenya, Contribution to the Global Environmental Ministers Forum Jeju. Nairobi, Kenya. Nasir A A dan Koesmaryono Y 1990. Pengantar Ilmu Iklim untuk Pertanian, Pustaka Jaya, Bogor. Nugroho P S 2008. Analisis Curah Hujan Penyebab Banjir Besar, … JAI Vol.4, No.1 2008 Pusat Teknologi Pengelolaan Lahan, Wilayah dan Mitigasi Bencana BPPT. Oldeman J R 1975. An Agro-Climatic Map of Java. C. R. J. Agr. Bogor. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor, No.16/1975. Pawitan H, Purwanto MYJ, Subagjono K, Kartiwa B, Heryani dan Sawiyo 2009. Analisis Proses Hubungan Proses Aliran Permukaan dengan Ketersediaan Air Secara Spasial dan Temporal untuk Keberlanjutan Pengelolaan Air di Dalam DAS. Laporan Akhir KKP3T. Tidak dipublikasikan
105 Pawitan H, Purwanto MYJ, Kartiwa B, Heryani dan Sawiyo 2010. Analisis Proses Pembentukan Aliran Permukaan dan Keterkaitannya dengan Ketersediaan air Secara Spasial dan Temporal Mendukung Pemenuhan Kebutuhan Air untuk Pertanian. Laporan Akhir KKP3T. Tidak dipublikasikan. Pemda Sukagalih 2012. Data Potensi Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Bogor Tahun 2011. Perrin C 2000. Towards An Improvement Of A Lumped Rainfall-Runoff Model Through A Comparative Approach (In French). Ph.D Thesis, University P Joseph Fourier, Grenoble. Perrin C, Andréassian V, Michel C, Oudin L. 2001. GR4J : A Parsimonious Model for Rainfall-Runoff Simulations. Cemagref, Hydrosystems Research Unit. Antony, France Perrin C 2002. Improvement of A Parsimonious Model for Stream Flow Simulation. Journal of Hydrology 279 (1-4) 275-289. [PPT] Pusat Penelitian Tanah 1983. Term of Reference. Survai Kapabilitas Tanah. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT). Pusat Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. [PSDA] Pengelolaan Sumberdaya Air Ciliwung – Cisadane 2004. Kegiatan Manajemen DPS Dan Hidrologi Balai Pendaya-gunaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane. Laporan. Kalibrasi Bendung Ciliwung – Katulampa. Bogor. [PSDA] Pengelolaan Sumberdaya Air Ciliwung – Cisadane 2010. Data Debit Harian Bendung Katulampa tahun 2000-2009. Purnomo H dan Rizal. 2000. Pengaruh Kelembaban,Temperatur Udara dan BebanKerja terhadap Kondisi Faal Tubuh Manusia. Logika, Volume 4, Nomor 5, 2000 ISSN: 1410-2315 Pusat Penelitian Tanah. 1983. TOR Klasifikasi Tanah Indonesia. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT). Bogor : Badan. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. [Puslitanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1994. Pedoman Pengamatan Tanah di Lapang. Puslitanak, Badan Litbang Pertanian. [Puslitanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1999. Peta tanah semi detai daerah Jabodetabek Skala 1:50.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian. Rejekiningrum P dan Hartati U 2002. Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Kering, di Nyatnyono, DAS Kaligarang, Semarang. Journal Agromet 16 (1&2): 61-75,200. Ropik dan Hapid 2000. Petunjuk Kode Komputer untuk Pengisian formulir Basis Data Tanah. Puslitanak. Bogor. Santoso H dan Forner C. 2007. Climate change projections for Indonesia. TroFCCz. Sawiyo, Kartiwa B, Sosiawan H, Sudarman K 2007. Panen Air dengan Dam Parit dan Aplikasi Irigasi Suplementer untuk Peningkatan Produktivitas Lahan. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor. Sawiyo, Sudarman K, Sosiawan H, Adhi S H 2008. Panen Air dengan Dam Parit dan Aplikasi Irigasi. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
106 Sawiyo 2010. Petunjuk Teknis. Pengembangan Teknologi Alternatif Panen Hujan Untuk Efisiensi Air dan Pengurangan Resiko Banjir. Satuan Kerja Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. ISBN : 987-602-9065-00-8 [SCS] Soil Conservation Service 1977. Design of Open Channels, United States Departement of Agriculture. Washington DC. Soewarno 1991. Hidrologi: Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Nova. Bandung [SSS] Soil Survey Staff 1990. Key to Soil Taxonomy Forth Edition. United States Departement of Agriculture- Natural Resources Conservation Service. Washington DC [SSS] Soil Survey Staff. 1998, Key to Soil Taxonomy 8th Edition. United States Departement of Agriculture- Natural Resources Conservation Service. Washington DC. [SSDS] Soil Survey Division Staff 1993. Soil Survey Manual. United States Departement of Agriculture. Handbook No. 18. Strahler AN.1964. Quantitative Geomorphology of Brainage Basins and Channel Networks. Section 4-11 Handbook of Applied Hydrology Mc Grow-Hill. New York. Tigor MHL Tobing dan Anas Lutfhi 1995. Peta Geologi Teknik Lembar Bogor, Jawa Barat Skala 1:100.000. Direktorat Geologi Tata Lingkungan Tjasjono B 2004. Klimatologi. Cetakan ke-2 ITB Press. Bandung. Tomonobu Sugiura, Kazuhiko Fukami, Naoki Fujiwara, Kenichirou Hamaguchi, Shigeru Nakamura, Kazuhiro Nakamura, Takahiro Wada, Masato Ishikawa, Takao Shimizu And Hironori Inomata 2009. Development of Integrated Flood Analysis System (IFAS) and Its Applications. 7th ISE & 8th HIC, Chile, 2009 [USDA] United State Departement of Agriculture 1961. Agriculture Handbook No. 210: Land-Capability Classification. Washington: USDA Soil Conservation Service. Viesman W, Knapp J, Lewis G, Harbaugh T 1977. Introductio to Hydrology. Harper and Row. New York. Wibawa W 2007. Peta Satuan Lahan DAS Ciliwung Hulu Skala 1: 25.000. Desertasi S3 IPB.