JURNAL PSIKOLOGI TABULARASA VOLUME 9, NO.1, APRIL 2014: 1-14 ________________________________________________________________
Penyesuaian Diri Penyandang Low Vision dalam Melewati Pendidikan di Perguruan Tinggi Tommy Hari Firmanda Magister Psikologi, Universitas Airlangga Surabaya Abstract This study aimed to know adjusment of college students with low vision. This study used a qualitative approach with case study method. Data were obtained through interviews with five students with low vision who are undergoing the process of education in college. The data were analyzed thematically and use coding of the verbatim record from the interview. Strengthening the credibility of the research conducted by use investigator triangulation and checking by peers through discussion. Based on the analysis results obtained five main themes. These themes describe problems faced by Persons with low vision in the university campuses, Academic Adjustment in the university, Social Adjustment in the university, Adjustment Strategies used by persons with low vision to Solve Learning Problems in the university, and Factors Affecting Persons with low vision Academic success in Higher Education. Keywords: adjustment, social adjustment, academic adjustment, low vision Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyesuaian diri mahasiswa penyandang low vision. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara terhadap lima mahasiswa perguruan tinggi. Data dianalisa secara tematik dan menggunakan koding dari verbatim wawancara. Keabsahan data penelitian dilakukan dengan traingulasi investegator dan pengecekan melalui diskusi kelompok sebaya. Hasil analisis menunjukkan terdapat lima tema utama. Tema-tema ini menggambarkan masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa penyandang low vision yaitu penyesuaian akademik, penyesuaian sosial, strategi yang digunakan dalam menghadapi masalah di Perguruan Tinggi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan penyandang low vision di Perguruan Tinggi. Kata kunci: penyesuaian diri, penyesuaian diri, penyesuaian akademik, low vision
Pengantar1
yang muncul berikutnya adalah ketika sampai saat
Seiring dengan berkembangnya sistem pendidikan
di
Indonesia,
telah
ini
perhatian
pendidikan
dengan
pendekatan inklusi tersebut masih belum
banyak
memberikan layanan yang sesuai bagi anak-
maksimal
anak berkebutuhan khusus melalui pendekatan
disabilitas yang melanjutkan studinya hingga
inklusi
terus
tingkat perguruan tinggi, sehingga banyak
bersekolah hingga lulus SMA. Permasalahan
yang mengalami kesulitan dalam proses
sehingga
mereka
dapat
implikasinya
bagi
penyandang
pembelajarannya termasuk apa yang dialami penulis selama menempuh pendidikan tinggi.
Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan dengan menghubungi: Tommy Hari Firmanda, S.Psi., M.Si., Magister Psikologi Universitas Airlngga, Jl. Airlangga 4-6 Surabaya. Email:
[email protected]
Isu mengenai inklusi dalam pendidikan tinggi (inclution in higher education) masih belum 1
FIRMANDA
banyak
tersentuh
bahkan
oleh
hukum
sekalipun.
tergolong baru dan masih jauh dari apa yang
Setiap orang pada dasarnya baik yang normal
layanan untuk penyandang low vision masih
maupun
berkebutuhan
khusus
diharapkan. Kebijakan pelayanan pendidikan untuk low
vision
diawali
dengan surat
berpotensi mengalami masalah dalam belajar,
Mendikbud RI No. 6801/MPK/96 tanggal 16
mulai dari masalah belajar yang ringan dan
Februari 1996 dan Surat Dirjen Dikdasmen
tidak memerlukan perhatian khusus dari orang
Dedikbud No. 0195/C2/LL/96 tangal 1 April
lain karena dapat diatasi sendiri oleh orang
kepada
yang bersangkutan maupun masalah belajar
melaksanakan Uji Coba Layanan pendidikan
yang cukup berat sehingga perlu mendapatkan
bagi penyandang Kurang awas.
perhatian
dan
YPAB
dan
YPWG
untuk
Menurut Tarsidi (2007), selain kurang
bantuan dari orang lain.
Permasalahan bagi penyandang disabilitas
memberikan
terutama
mendaftarkan diri di perguruan tinggi, terlalu
tunanetra
kurang
untuk
sedikit kemajuan yang dibuat oleh pihak
kurangnya pengetahuan mengenai layanan
perguruan tinggi untuk memberikan dukungan
pendidikan
terorganisir untuk membantu siswa tunanetra.
(low yang
sesuai
terletak
siswa
pada
penglihatan
vision)
awas/lemah
kesempatan
dengan
kondisi
penyandang low vision dan kebingungan
Layanan
pemahaman orang awam termasuk pendidik
mahasiswa berkebutuhan khusus yang belajar
dalam menentukan anak-anak ini termasuk
di
berkebutuhan khusus atau termasuk anak
Indonesia. Hal ini membuat mahasiswa buta
‘normal’. Ciri anak-anak yang mengalami
dan low vision harus berusaha lebih keras dari
gangguan visual (visual impairment) secara
yang diperlukan dan tergantung pada layanan
fisik terlihat sama dengan siswa ‘normal’
sukarela untuk berhasil dalam mendapatkan
lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Scholl
hak
(1986)
pendidikan tinggi.
bahwa
orang
yang
mengalami
khusus
universitas
mereka
tidak
dan
untuk
disediakan
perguruan
mengikuti
untuk
tinggi
di
jenjang
gangguan visual dalam kelompok masyarakat
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
itu bermacam-macam, ada yang kurus dan
bahwa prestasi akademik penyandang low
gendut, tinggi dan pendek, periang dan
vision lebih rendah dari mereka yang tergolong
pemurung,
buta dan sering pula dianggap anak yang
mereka
memiliki
berbagai
karakteristik layaknya orang normal dalam
malas,
sebagai
komunitas masyarakat.
pendidikan
yang
akibat
dari
diberikan
pelayanan
kepada
para
Hosni (2007), memberikan pernyataan
penyandang low vision disamakan dengan
yang disampaikan pada Konferensi Nasional
yang tergolong buta yaitu menggunakan huruf
Pendidikan Tunanetra I Jaringan ICEVI di
Braille (Hosni, 2007). Perkembangan kognitif
Batam pada tanggal 24–27 Juli 2007, bahwa
anak yang mengalami gangguan visual (low
2
JURNAL PSIKOLOGI
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG LOW VISION
vision)
sebenarnya
secara
umum
tidak
untuk
menghasilkan
kualitas
keselarasan
mengalami hambatan yang cukup signifikan,
antara tuntutan dari dalam diri individu dengan
seperti yang diungkapkan oleh Hayes (dalam
tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat
Hallahan, 1987) bahwa kemampuan inteligensi
individu berada yang dalam hal ini adalah
anak yang mengalami gangguan visual tidak
tuntutan akdemis di tempat para penyandang
secara
low vision belajar, yaitu perguruan tinggi.
otomatis menjadikan diri mereka
mempunyai inteligensi yang rendah. Daya ingat
yang
kuat
disebabkan
mereka
Beberapa penyandang low vision yang akhirnya
‘berhasil’
melewati
jenjang
konseptual
pendidikan tinggi hingga semester akhir
(conceptual abilities), meskipun ingatan visual
meskipun melalui berbagai kesulitan atau
kurang baik seperti yang dialami oleh penulis
tuntutan,
sendiri. Kurang tepatnya strategi belajar baik
menghadapi
dari
literatur
perguruan tinggi telah menjadi inspirasi bagi
membuat para penyandang low vision sulit
penulis untuk meniliti tentang bagaimana cara
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan
mereka menyesuaikan diri dan faktor-faktor
pendidikan formal di dalam proses pendidikan
apa yang berpengaruh terhadap keberhasilan
terutama di tingkat perguruan tinggi. Sejalan
mengatasi berbagai kesulitan dalam proses
dengan pendapat Marzolf (dalam Busono,
pembelajaran. Faktor-faktor tersebut diprediksi
2009)
mempunyai
kemampuan
pengalaman
maupun
dari
serta
bagaimana mereka
tantangan
ketika
dapat
belajar
di
bahwa
cacat
merupakan penentu dalam proses penyesuaian
apapun
akan
sehingga para penyandang low vision dapat
mempunyai akibat dalam masalah penyesuaian
melewati jenjang pendidikan tinggi hingga
pribadinya dan tanpa perhatian yang khusus
semester akhir dengan berbagai tantangannya
akan menjurus kepada gangguan kejiwaan
tanpa bantuan layanan khusus karena program
jasmaniah (somatopsikologik).
pemerintah
yang
penglihatan
menyatakan pada
derajat
masih
belum
memberikan
Menurut Calhoun & Acocella (dalam
perhatian terhadap layanan pendidikan bagi
Sobur, 2003), penyesuaian diri dipengaruhi
penyandang low vision, seperti kebijakan yang
oleh tuntutan dunia luar atau lingkungan
dikemukakan oleh Depdiknas (2007) bahwa
tempat individu berada yang dalam hal ini
pemerintah
adalah lingkungan pendidikan. Sejalan dengan
peluang kepada anak berkebutuhan khusus
pendapat tersebut, menurut Schneiders (1964)
untuk memperoleh
penyesuaian diri merupakan suatu proses yang
sekolah umum (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
mencakup respon-respon mental dan perilaku
dan SMK/MAK), namun belum ada layanan
yang diperjuangkan individu agar berhasil
untuk jenjang perguruan tinggi. Tidak semua
menghadapi
internal,
orang dengan low vision dapat melanjutkan ke
ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta
jenjang perguruan tinggi karena selain tidak
kebutuhan-kebutuhan
JURNAL PSIKOLOGI
memberikan
kesempatan
pendidikan
dan
hanya di
3
FIRMANDA
adanya layanan pendidikan yang sesuai, orang
yang ketajaman penglihatannya antara 20/70
dengan low vision cenderung ditolak masuk
hingga 20/200 setelah mendapatkan perbaikan
perguruan tinggi dengan alasan-alasan tertentu
disebut
seperti yang dialami oleh penulis sendiri
sedangkan Luckasson (dalam Nasichin, 2002),
maupun subjek penelitian.
mendefnisikan low vision adalah mereka yang
kurang
lihat
low
atau
vision,
Berdasarkan pemaparan kasus di atas,
diklasifikasikan sebagai penyandang tunanetra
pentingnya meneliti mengenai bagaimana
tetapi masih memiliki sisa penglihatan dan
penyandang
low
penyesuaian
sehingga
kekurangannya
vision
dan
membangun
dapat
mengatasi
berhasil
memenuhi
standar-standar umum yang diperuntukkan
dengan bantuan alat-alat bantu mereka dapat membaca “huruf awas”. Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri disebut juga dengan
bagi individu tanpa kondisi low vision. Penyesuaian
tersebut
terkait
dengan
permasalahan yang dihadapi penyandang low vision dalam menempuh pendidikan serta strategi yang digunakan untuk memenuhi tuntutan akademis dan tuntutan sosial di perguruan tinggi. Penelitian ini juga ingin mengkaji hal-hal apa saja yang dirasakan mahasiswa
penyandang
low
vision
mempengaruhi keberhasilan dalam memenuhi berbagai tuntutan pendidikan di perguruan tinggi.
khusus,
istilah adjustment atau self adjustment dalam bahasa aslinya. Menurut Schneiders (1964) terdapat dua pengertian mengenai penyesuaian diri, yang pertama yaitu penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon baik mental maupun perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi
kebutuhan-kebutuhan
internal,
ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk
menghasilkan
kualitas
antara
tuntutan-tuntutan
dari
keselarasan dalam
diri
individu dengan tuntutan-tuntutan dari dunia Low Vision
luar atau lingkungan tempat individu berada.
Seseorang dinyatakan tunanetra jika
Singkatnya penyesuaian diri adalah reaksi
setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan
seseorang
terhadap
dari dalam diri sendiri maupun reaksi terhadap
kemampuan
visualnya,
ternyata
ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200 atau
setelah
dilakukan
berbagai
upaya
terhadap
rangsangan-rangsangan
situasi yang berasal dari lingkungannya. Kedua,
Schneiders
(1964)
juga
perbaikan terhadap kemampuan visualnya
menjelaskan bahwa penyesuaian diri dapat
ternyata pandangannya tidak melebihi 20
ditinjau
derajat (Hallahan & Kaufman, 2006).
penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi
Kirk
dan
Galagher
(1962)
dari
3
sudut
pandang,
yaitu
(adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk
mendefinisikan low vision sebagai mereka
4
JURNAL PSIKOLOGI
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG LOW VISION
konformitas (conformity) dan penyesuaian diri
akan selalu berusaha seoptimal mungkin serta
sebagai suatu usaha penguasaan (mastery).
harus
memiliki
keyakinan
akan
kemampuannya guna mencapai tujuannya Penyesuaian Diri Penyandang Low Vision
hingga berhasil melewati jenjang pendidikan
Penelitian ini didasarkan atas pernyataan Marzolf
yang
Adler (dalam Feist & Feist, 2008),
menyatakan bahwa cacat penglihatan pada
terkait dengan usaha mencapai sukses (striving
derajat apapun akan mempunyai akibat dalam
for succes), yaitu suatu bentuk usaha yang
masalah penyesuaian pribadinya dan tanpa
dilakukan untuk mengatasi kesulitan agar
perhatian yang khusus akan menjurus kepada
seorang penyandang ketunaan dapat menjadi
gangguan
jasmaniah
pribadi-pribadi yang sukses seperti pada anak
(somatopsikologik). Hal ini menunjukkan jika
normal lainnya, maka dibutuhkan kemampuan
penyandang
penyesuaian diri agar tujuan-tujuan pendidikan
masalah
(dalam
Busono,
2009)
tinggi. (Schneiders, 1964).
kejiwaan tunanetra
dalam
akan
penyesuaian
mengalami sosial
dan
bisa tercapai.
akademiknya. Menurut
Schneiders
social
(1964),
Metode
adjustment atau penyesuaian sosial adalah
Pendekatan
yang
digunakan
dalam
suatu kapasitas untuk bereaksi secara efektif
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
dan sehat pada realitas sosial, situasi dan relasi
Penelitian ini menggunakan metode studi
sosial, sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk
kasus
kehidupan sosial terpenuhi dalam cara yang
dimaksudkan untuk mengetahui penyesuaian
dapat diterima dan memuaskan. Kematangan
diri dari setiap penyandang low vision selama
dalam
mengikuti proses pembelajaran di perguruan
penyesuaian
sosial
dapat
dicapai
yang
tinggi
dengan orang lain, memperhatikan orang lain,
mempengaruhi keberhasilan mereka dalam
mengembangkan
melalui
yang
baik
faktor-faktor
jenjang
apa
yang
individu dengan menciptakan relasi yang baik persahabatan
dan
diperbandingkan
pendidikan
yang tinggi.
dengan orang lain, berperan secara aktif dalam
Rancangan/desain studi kasus yang digunakan
kegiatan sosial, serta menghargai nilai-nilai
adalah studi kasus tipe instrumental.
yang berlaku. Penyesuaian akademik adalah implikasi kemampuan atau proses di mana tuntutan dan persyaratan akademis dipenuhi secara adekuat, berguna
atau
sehat
dan
memuaskan.
Mahasiswa yang memiliki kemauan untuk memenuhi tuntutan akademiknya, tentunya JURNAL PSIKOLOGI
Subyek Penelitian Subjek atau partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa penyandang low vision yang sudah mnempuh proses perkuliahan hingga semestar akhir dengan kriteria telah mengalami
kondisi
low
vision
sebelum
5
FIRMANDA
memasuki jenjang pendidikan tinggi, berstatus
catatan
sebagai
Melakukan
mahasiswa
S1
Reguler,
dengan
lapangan
yang
penomoran
diperoleh,
secara
urut
2) dan
diagnosa penyebab low vision yang bervariasi
kontinyu pada baris-baris transkrip dan/atau
seperti retinitis pigmentosa (RP), gangguan
catatan lapangan tersebut, dan 3) memberikan
pada syaraf (nervus opticus disorder), dan lazy
nama untuk masing-masing berkas dengan
eyes. Subjek atau partisipan dalam penelitian
kode yang mudah diingat dan dianggap paling
ini ditentukan secara purposif, subjek dipilih
tepat untuk mewakili berkas tersebut. Langkah
dengan
Berdasarkan
selanjutnya yang dilakukan penulis adalah
pertimbangkan jarak tempat tinggal para
dengan melakukan tiga langkah koding, yaitu
subjek dan keterbatasan fisik dari penulis
1) open Coding, 2) axial coding, dan 3)
maka
kriteria
penulis
penelitian
dan
tertentu
tidak
menetapkan
lokasi
selective coding. Berdasarkan hasil analisis
mengarah
pada
didapatkan tema-tema. Tema-tema tersebut
lebih
fleksibilitas kondisi di lapangan.
secara
minimal
fenomena, Teknik Pengumpulan Data
dapat
dan
mendeskripsikan
secara
maksimal
memungkinkan interpretasi.
Pengumpulan data di lapangan yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan
Teknik Pemantapan Kredibilitas Penilitian
menggunakan metode wawancara. Tipe variasi
Penelitian
ini
menggunakan
tehnik
wawancara yang digunakan dalam penelitian
triangulasi
ini adalah wawancara dengan pedoman umum
memanfaatkan pengamat lain untuk mengecek
semi terstruktur. Penelitian ini menggunakan
kembali
pedoman wawancara untuk mengingatkan
menggunakan
peneliti mengenai aspek-aspek yang harus
melalui diskusi.
penyidik derajat
yang
kepercayaan
teknik
berarti data
pengecekan
dan
sejawat
dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek relevan tersebut telah
Hasil dan Pembahasan
dibahas atau ditanyakan.
Berdasarkan tiga tujuan utama penelitian yang sudah disebutkan sebelumnya, maka
Teknik Analisis Data
didapatkan lima tema yang dikembangkan dari
Teknik analisis data digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa tematik sebagaimana yang sering dilakukan dalam penelitian kualitatif. Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah melakukan koding, yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh,
dengan langkah-
hasil
analisis
tematik
kelima
partisipan
penelitian. Tema-tema ini menjelaskan tentang bagaimana proses penyesuaian diri para mahasiswa penyandang low visiom selama menjalani proses belajar di universitas atau perguruan tinggi. Tema-tema tersebut adalah permasalahan yang di hadapi selama belajar,
langkah 1) menyusun trankripsi verbatim atau 6
JURNAL PSIKOLOGI
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG LOW VISION
strategi
untuk
mengatasi
permasalahan,
mempengaruhi kesuksesan para mahasiswa
penyesuaian sosial, penyesuaian akademik,
low
dan
akademik di perguruan tinggi. Terpenuhinya
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kesuksesan belajar.
vision
dalam
memenuhi
tuntutan
kriteria penyesuaian akademik bagi seorang penyandang
low
vision
Peneyesuaian Diri Penyandang Low Vision di
dipengaruhi
oleh
kemampuan
Perguruan Tinggi
dalam hal akademik, usaha yang seimbang
Pencapaian penyesuaian akademik yang baik dicapai mahasiswa penyandang low vision dalam penelitian ini yang ditunjukkan dengan pemenuhan tuntutan dan persyaratan akademis yang dipenuhi secara adekuat, atau
sehat
dan
memuaskan.
Keberhasilan mahasiswa dalam menyesuaikan diri terhadap bidang akademiknya, ditandai dengan prestasi akademik yaitu nilai-nilai optimal yang diperoleh melalui IP maupun IPK
serta
ketepatan
waktu
dalam
menyelesaikan studi. Mahasiswa penyandang low
vision
dapat
mencapai
kesuksesan
akademik salah satunya karena memiliki kemauan
untuk
akademiknya
atau
memenuhi
tuntutan
memiliki
motivasi
berprestasi dan motivasi intrinsik berupa keinginan menunjukkan bahwa mahasiswa LV mampu belajar seperti orang lain, selalu berusaha seoptimal mungkin serta memiliki keyakinan
akan
kemampuan
diri
terkait
dengan kecerdasan sehingga mampu mencapai tujuan akademik yang mereka inginkan hingga berhasil melewati jenjang pendidikan tinggi. Tidak semua mahasiswa low vision dalam penelitian ini mampu mendapatkan hasil yang optimal karena faktor-faktor tertentu yang JURNAL PSIKOLOGI
banyak intelektual
dalam mencapai tujuan akademik, adanya
Penyesuaian akademik
berguna
lebih
dukungan lingkungan terutama dari pihak kampus dan juga pengaruh kondisi fisik atau keterbatasan. Menurut Schneiders (1964), siswa yang memiliki
riwayat
akademik
yang
kesehatan baik
dan
akan
kriteria
mendapatkan
kesuksesan dalam bidang akademik, namun dalam penelitian ini mahasiswa penyandang low
vision
kesehatan
membuktikan (keterbatasan)
penghalang
dalam
jika
kondisi
tidak
memenuhi
menjadi tuntutan-
tuntutan akademik di perguruan tinggi selama ada dukungan yang tepat dan sesuai meskipun hasil yang dicapai oleh mahasiswa low vision ini tidak maksimal dan membutuhkan usaha yang dua kali lebih besar dibandingkan orang normal. Pencapaian akademik tersebut terlihat dari usaha pemenuhan tuntutan akademik seperti mahasiswa LV tidak mudah menyerah dengan keadaan ketika menghadapi masalah ujian, tugas yang banyak, bila merasa kurang yakin
dapat
mahasiswa
LV
kemampuannya
menyelesaikan merasa untuk
sesuatu,
yakin
dapat
akan
memenuhi
ketentuan-ketentuan akademik yang begitu banyak, dan dapat menyelesaikan tugas tepat waktu. 7
FIRMANDA
mahasiswa low vision dalam situasi sosial adalah kesulitan untuk dapat mempersepsi Penyesuaian sosial
isyarat-isyarat komunikasi nonverbal (yang
Mahasiswa low vision dalam penelitian
pada umumnya visual) seperti ekspresi wajah,
ini cenderung memiliki penyesuaian sosial
kontak mata, senyuman atau lambaian tangan,
yang kurang baik. Hal ini terlihat dari kurang
mengakibatkan
mampunya para mahasiswa ini memenuhi
mengalami masalah dalam interaksi sosial.
tuntutan-tuntutan
lingkungan
Terkait usaha untuk mengatasi masalah ini,
universitas. Permasalahan interaksi sosial ini
mahasiswa low vision menyesuaikan diri
lebih besar disebabkan karena keterbatasan
dengan cara-cara khusus untuk memperoleh
yang dimiliki mahasiswa. Sehubungan dengan
keterampilan
setting tempat, Preisler (dalam McGaha &
untuk
Farran, 2001) menemukan bahwa penyandang
interaksi. Hal yang dilakukan oleh para
tunanetra lebih senang beraktivitas di dalam
penyandang low vision ini adalah dengan
ruangan daripada di luar, dan menghindari
mengenali suara orang yang sebelumnya
tempat terbuka yang luas, terutama yang tidak
dikenal atau sering berbicara dengan mereka,
memiliki landmark sebagai titik rujukan. Hal
mengenali suara langkah dan mengenali
ini tampaknya terkait dengan keterampilan
bentuk
orientasi dan mobilitas tunanetra. Selain itu
keterampilan sosial semacam ini, seorang
sosial
di
mengawali
tubuh
seperti dan
lawan
keterampilan
mempertahankan
bicara.
Tanpa
tunanetra sering kehilangan kesempatan untuk
menghindari keramaian dan tempat yang
berinteraksi dan menjadi terpencil dalam
pencahayaannya kurang atau aktivitas malam
kelompoknya. Kekelis, Sacks dan Preisler
hari. Hal ini juga menyebabkan aktivitas sosial
(dalam McGaha & Farran, 2001) melaporkan
menjadi terbatas dan interaksi sosial juga
bahwa anak-anak awas pada mulanya berminat
menjadi berkurang, karena itu mahasiswa low
untuk berinteraksi dengan anak tunanetra,
vision kurang dapat berpartisipasi aktif dalam
tetapi lama kelamaan kehilangan minatnya itu
kegiatan-kegiatan
ketika isyarat mereka tidak memperoleh
penyandang
vision
sosial,
vision
juga
mahasiswa
low
low
mahasiswa
kemahasiswaan
atau
kegiatan-kegiatan kampus.
respon yang diharapkan. Selain dari itu, di
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan
kalangan
sebayanya,
individu
tunanetra
oleh McGaha & Farran (2001) terhadap
memerlukan waktu untuk dapat diterima
sejumlah hasil penelitian tentang tunanetra
karena penerimaan sosial sering didasarkan
menunjukkan bahwa anak tunanetra baik buta
atas kesamaan. Anak cenderung mengalami
maupun
low
vision
tantangan dalam
menghadapi
banyak
penolakan
sosial
bila mereka
dipersepsi
interaksi sosial dengan
sebagai berbeda dari teman-teman sebayanya
sebayanya yang awas. Kesulitan yang dihadapi
(Asher, et al. dalam Burton, 1986) meskipun
8
JURNAL PSIKOLOGI
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG LOW VISION
dalam tataran jenjang perguruan tinggi sikap-
perpustakaan
sikap seperti ini tidak banyak terlihat atau
membaca.
karena
keterbatasan
dalam
bahkan tidak ada karena kematangan berpikir
Masalah yang terkait dengan akses
yang membuat teman-teman sebaya lebih
menuju bantun teknologi bukan menjadi
dewasa dalam menyikapi kondisi penyandang
masalah saat ini bagi para mahasiswa low
low vision. Selain di persepsikan berbeda,
vision dengan adanya kemajuan teknologi
mahasiswa low vision juga cenderung di
seperti program komputer bicara, mesin ketik
persepsikan sombong karena sering tidak
Braille, scanner dan lain-lainnya.
dapat mengenali isyarat non verbal ketika teman
menyapa
atau
cenderung
jarang
menyapa teman.
Salah satu masalah utama yang dihadapi mahaiswa low vision terkait adaptasi dengan lingkungan yang baru seperti gedung kampus adalah masalah orientasi dan mobilitas di lingkungan kampus maupun di tempat lain
Permasalahan yang dihadapi Para
mahasiswa
low
vision
dalam
seperti perpustakaan kampus.
penelitian ini juga mengalami kesulitan belajar
Menurut Tarsidi (2007) terdapat lima
yang disebabkan karena dosen yang cenderung
tantangan paling signifikan yang dihadapi para
menghambat pencapaian prestasi atau proses
mahasiswa penyandang tunanetra buta dan
pembelajaran di perguruan tinggi. Kurangnya
mahasiswa tunanetra low vision yang ingin
pengetahuan dan pemahaman mengenai low
belajar di tingkat universitas meliputi: (1)
vision serta kurang terbukanya penyandang
sikap yang menghambat dalam komunitas
low vision itu sendiri mengenai kondisinya
pendidikan tinggi, (2) akses ke bahan bacaan,
memunculkan
(3) akses ke teknologi bantu, (4) orientasi dan
masalah
keterbukaan
dan
aksesibilitas lingkungan, dan (5) dukungan
penerimaan dari pihak fakultas. Terkait
dengan
masalah
akses
ke
keuangan.
bahan/materi bacaan, para mahasiswa low vision mengalami permasalahan dalam hal
Strategi penyesuaian
membaca dan juga menulis. Permasalahan
Beberapa mahasiswa low vision dengan
seperti kesulitan membaca tulisan maupun
tingkat kondisi mata yang masih tergolong
gambar di papan tulis, kesulitan membaca
memiliki sisa penglihatan atau termasuk dalam
materi di buku atau referensi lain, selain itu
kategori ringan cenderung tidak selalu dapat
juga kesulitan dalam menulis di buku sehingga
mengembangkan
hasil tulisan cenderung buruk atau tidak dapat
bervariasi dibandingkan mahasiswa dengan
di baca. Selain itu mahasiswa low vision juga
kondisi yang tergolong berat atau yang masih
kesulitan
bisa melihat namun dalam belajar hanya
dalam
mencari
referensi
di
menggunakan JURNAL PSIKOLOGI
strategi
indera
belajar
pendengaran
yang
dan 9
FIRMANDA
perabaannya (moderate). Mahasiswa yang
penyesuaian terhadap kondisi low vision
masih tergolong ringan cenderung masih
terkait teknologi.
menggunakan visual dan auditory learning,
Temuan baru lainnya dalam penelitian
sedangkan mahasiswa dengan kondisi berat
ini terkait dengan strategi dalam penyesuaian
cenderung menggunakan auditory dan tactile
sosial,
learning.
low
Mahasiswa
vision
dengan
mahasiswa
menggunakan
low
beberapa
vision strategi
yang seperti
kondisi berat cenderung hanya menggunkan
bersikap aktif dalam interaksi sosial dan
sisa penglihatan untuk mobilitas saja.
aktivitas sosial, toleran dalam menghadapi
Mahasiswa low vision yang sudah tidak mampu
menggunkan
persepsi
lingkungan,
dan
menggunakan
penglihatannya,
strategi non visual dan optimalisasi sisa
cenderung lebih membutuhkan bantuan seperti
penglihatan seperti mengenali orang lain
di bantu untuk membacakan materi dan
menggunakan
merekam ke dalam kaset. Selain itu para
bicara, suara langkah) dan sisa penglihatan
mahasiswa ini juga menggunakan perabaan
(bentuk tubuh). Strategi-strategi ini digunakan
seperti
menggunakan
mendapatkan Mayoritas
dan
siswa
pendengaran
(suara
lawan
Braille
untuk
untuk mengatasi permasalahan sosial yang
memahami
materi.
dihadapi oleh mahasiswa penyandang low
buta
dan
low
vision
vision.
mempersiapkan catatan mereka sendiri dengan bantuan pembaca sukarela. Selain itu akses
Faktor-Faktor
untuk
Kesuksesan Belajar di Perguruan Tinggi
memahami
bahan
bacaan
adalah
menggunakan kaset atau buku dengan huruf dalam
penelitian
ini
Mempengaruhi
mahasiswa
memunculkan
Braille (Tarsidi, 2007). Temuan
Para
yang
mempengaruhi
low
vision
faktor-faktor kesuksesan
mereka
melewati
teknologi sangat membantu para mahasiswa
berdasarkan kesimpulan-kesimpulan terhadap
dengan low vision terkait dengan kemandirian
pengalaman-pengalaman
belajar
belajar.
perguruan
ini
komputer
bicara
tinggi.
pendidikan
dalam
menunjukkan bahwa penggunaan atau bantuan
Penggunaan
jenjang
yang
Hal
tinggi saat
seperti
di yang
menggunakan program screen reader menjadi
diungkapkan oleh Weiner (Weiner, 1972;
salah satu strategi yang banyak digunakan,
Weiner, et.al., 1971; Weiner, 1983) bahwa
namun
atribusi
bagi
penglihatan
mahasiswa masih
belum
dengan
sisa
menggunakan
program screen magnifier dan setting kontras untuk
membantu
merupakan
suatu
kesimpulan-
kesimpulan yang dibuat seseorang mengenai sebab-sebab pengalaman atau prilakunya.
mempermudah
pengoperasian komputer. Hal ini diakibatkan
Faktor internal
karena kurangnya pengetahuan tentang strategi 10
JURNAL PSIKOLOGI
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG LOW VISION
Faktor internal seperti keterbatasan fisik
yang kurang baik juga disebabkan karena
sebagai seorang penyandang low vision tidak
sebagian mahasiswa low vision memang
mempengaruhi pencapaian kesuksesan dalam
memiliki kemampuan kognitif yang tidak
melewati jenjang perguruan tinggi, namun
terlalu baik sehingga sebanyak apa pun usaha
mahasiswa low vision yang memiliki persepsi
atau strategi yang dilakukan untuk memenuhi
bahwa keterbatasan mempengaruhi prestasinya
tuntuttan akademik menjadi tidak terlalu
maka pencapaian prestasinya juga tidak baik.
signifikan hasilnya.
Hal ini memjadi wajar karena gangguan pada
Motivasi memegang peranan penting
panca indera dapat mempengaruhi pencapaian
dalam memberikan gairah, semangat, dan rasa
keberhasilan dalam belajar. Orang belajar
senang dalam belajar sehingga mahasiswa low
dengan membaca, melihat contoh atau model,
vision
melakukan
mempunyai
observasi,
mengamati
hasil
yang
mempunyai energi
yang
motivasi
tinggi
banyak
untuk
eksperimen, mendengarkan keterangan guru
melaksanakan kegiatan belajar dan memenuhi
dan orang lain, mendengarkan ceramah, dan
tuntutan-tuntutan akademik yang di berikan
lain sebagainya, sedangkan penyandang low
padanya.
vision kurang mampu memenuhi tuntutan
motivasi tinggi sangat sedikit yang tertinggal
belajar ini. Adanya bantuan layanan yang
dalam belajarnya. Kuat lemahnya motivasi
sesuai dan strategi belajar yang tepat, masalah
belajar
ini dapat diatasi oleh subjek-subjek dalam
keberhasilan belajar. Motivasi yang muncul
penelitian ini.
dari dalam diri mehasiswa penyandang low
Mahasiswa
seseorang
yang
turut
mempunyai
mempengaruhi
Kemampuan kognitif atau kecerdasan
vision (motivasi intrinsik) adalah motivasi
lebih banyak berpengaruh pada pencapaian
berprestasi, motivasi untuk menunjukkan dan
tujuan akademik yang diinginkan seperti
membuktikan
mendapatkan nilai atau prestasi yang baik
meskipun
karena dengan prestasi yang baik maka proses
mampu untuk melewati pendidikan tinggi,
pendidikan juga menjadi lancar. Hal-hal
dapat bersaing dengan orang yang normal dan
seperti mengulang mata kuliah, nilai yang
mendapat hak yang sama. Motivasi eksternal
buruk atau hal yang menghambat proses
datang
pendidikan
keinginan orantua dan tuntutan pekerjaan.
tidak
akan
terjadi
meskipun
kemampuan
memiliki
dari
tuntutan
diri
bahwa
keterbatasan
mereka
lingkungan
seperti
memiliki keterbatasan. Tingkat intelegensi
Konsep diri juga menjadi salah satu
seseorang yang rendah meskipun memiliki
faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan
usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar,
mahasiswa penyandang low vision dalam
jika tidak ada bantuan orang tua atau pendidik
mengatasi kesuliatan dan memenuhi tuntutan
maka usaha belajarnya juga tidak akan
akademik. Pengaruh konsep diri terhadap
berhasil. Pencapaian penyesuaian akademik
prestasi belajar telaha banyak diteliti seperti
JURNAL PSIKOLOGI
11
FIRMANDA
hasil penelitian Hawadi (2001) dan Sugiarti
hasil belajar. Hasil penelitian ini sejalan
(2010). Hawadi (2001) menyebutkan bahwa
dengan teori yang dikemukakan oleh Hurlock
salah satu faktor dalam pencapaian prestasi
(2001) yang berpendapat bahwa dukungan
belajar adalah konsep diri, yang menunjukan
sosial juga berperan dalam prestasi belajar atau
bagaimana seseorang memandang dirinya serta
pencapaian akdemik seseorang. Dukungan
kemampuan
(dalam
lingkunga dapat berupa dukungan emosional
Pudjijogyanti, 1985) juga menyatakan bahwa
(semangat), dukungan penghargaan, dukungan
siswa
instrumental (fasilitas belajar seperti alat-alat
yang
yang
dimiliki.
tergolong
Fink
berprestasi
tinggi
mempunyai konsep diri yang lebih positif,
bantu,
sedangkan siswa yang berprestasi kurang akan
pengajaran,
memandang diri mereka sebagai orang yuang
dukungan informasi. Selain itu penerimaan
tidak rnempunyai kemampuan dan kurang
lingkungan baik penerimaan orangtua maupun
dapat menyesuaikan diri dengan orang lain.
lingkungan universitas seperti penerimaan
Kesuksesan yang dicapai oleh penyandang low
teman
vision terkait prestasi akademik dicapai oleh
mempengaruhi kesuksesan mahasiswa terkait
penyandang low vision dengan konsep diri
dengan
positif yang lebih besar daripada konsep diri
nyaman dan aman dalam proses pembelajaran.
negatifnya. Penyandang low vision yang
Faktor yang berpengaruh secara tidak
memiliki
konsep
diri
negatif
modifikasi
lingkungan,
kebijakan
dan
inklusi)
pihak
masalah
metode maupun
fakultas
psikologis
sangat
seperti
rasa
cenderung
langsung adalah adanya persepsi lingkungan
memiliki nilai akademik yang tidak terlalu
terhadap mahasiswa penyandang low vision.
bagus namun tidak berarti ia tidak mempu
Persepsi lingkungan dalam hal ini persepsi
memenuhi
tuntutan
hanya
dosen terhadap masiswa penyandang low
mengalami
penyesuaian
yang
vision secara tidak langsung berpengaruh
akademik, akademik
terhadap prestasi belajar mahasiswa tersebut.
kurang baik.
Persepsi yang cenderung negatif yang dimiliki Faktor eksternal
dosen terhadap mahasiswa mempengaruhi
Faktor eksternal yang mempengaruhi kesuksesan mahasiswa penyandang low vision dalam melewati jenjang pendidikan tinggi berasal
dari
lingkungan
sosial
seperti
dukungan dari keluarga, teman dan juga pihak fakultas.
Lingkungan
berwujud
manusia
sosial, dan
baik
yang
representasinya
(wakilnya), walaupun yang berwujud hal yang lain langsung berpengaruh terhadap proses dan
12
sikap dosen tersebut terhadap mahasiswa dengan
low
vision
menghambat
sehingga
proses
cenderung
pembelajaran.
Lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang, salah satunya adalah pandangan masyarakat (Robbins,
atau 1996).
persepsi Persepsi
lingkuangn lingkungan
terhadap penyandang low vision, selain orang menganggap bahwa penyandang low vision JURNAL PSIKOLOGI
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG LOW VISION
adalah orang yang normal atau tampak seperti
diperhatikan
orang yang normal karena tampilan fisik dan
perguruan tinggi. Hal ini disebabkan karena
perilaku kesehariannya, dalam situasi sosial,
dua faktor yaitu keterbatasan penglihatan yang
orang umum cenderung menganggap bahwa
menghambat mobilitas dan interaksi sosial,
penyandang low vision adalah orang yang
serta penerimaan lingkungan.
sombong,
dengan
vision
di
Permasalahan yang di hadapi oleh para
membalas sapaan mereka terutama tanda non
penyandang low vision dalam menyesuaikan
verbal seperti senyuman atau lambaian tangan.
diri di lingkungan dan memenuhi tuntutan
Selain itu sebagian orang berpikir bahwa
akademik di perguruan tinggi dapat dibagi ke
penyandang low vision itu mungkin berbohong
dalam tiga masalah mendasar yaitu : (1)
mengenai
sedang
masalah akademik yang berkaiten dengan
berpura-pura tidak bisa melihat. Dianggap
penyesuaian dalam hal akademi, (2) masalah
aneh dan tidak niat kuliah juga menjadi
orientasi, mobilitas (termasuk pencahayaan)
beberapa
oleh
dan aksesibilitas, serta (3) masalah sosial yang
lebih
berkaitan
kondisi
label
lingkunagan.
tidak
low
pernah
diakibatkan
alasan
penyandang
matanya
yang
Semua karena
atau
diberikan
hal
di
atas
kurangnya
informasi
dengan
lingkungan
penyesuaian
sosial,
sikap-sikap
terhadap yang
mengenai low vision dan ketidaktahuan orang
menghambat dan penerimaan lingkungan.
awam bahwa orang dengan low vision
Strategi penyesuaian yang digunakan dalam
mengalami
mengatasi berbagai permasalahan berdasarkan
gangguan
dengan penglihatan
mereka.
pada kondisi penglihatan yang disandang. Mahasiswa dengan kondisi low vision Ringan menggunakan strategi-strategi visual seperti
Kesimpulan Penyesuaian akademik dapat dicapai oleh
mahasiswa
penyandang
low
vision
apabila mereka mampu untuk memenuhi tuntutan akademik seperti pencapaian prestasi akademik yang baik. Pencapaian kesuksesan akademik
ini
dipengaruhi
oleh
faktor
kemampuan kognitif (kecerdasan), motivasi intrinsik, usaha atau strategi belajar yang cukup dan adanya dukungan dari lingkungan seperti
adanya
bantuan
layanan
khusus.
Penyesuaian sosial yang cenderung kurang baik menjadi sebuah masalah yang harus
JURNAL PSIKOLOGI
efisiensi dan optimalisasi sisa penglihatan yang
memperhatikan
aspek
cahaya,
kekontrasan, ukuran serta jarak, sedangkan mahasiswa dengan kondisi low vision Sedang dan Berat membutuhkan fungsi indera lain untuk belajar dengan menggunakan strategi auditori dan taktil. Penggunaan alat-alat bantu dan teknologi menjadi hal yang penting dalam mendukung strategi-strategi belajar untuk penyandang low vision di perguruan tinggi. Alat bantu seperti tongkat dan strategi peta kognitif dalam hal orientasi dan mobilitas dapat digunakan untuk mengatasi masalah 13
FIRMANDA
adaptasi dengan lingkungan fisik. Ketrampilan sosial
diperlukan
sebagai
strategi
untuk
mengatasi masalah interaksi sosial. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kesuksesan seorang penyandang low vision dalam
melewati
jenjang
pendidikan
di
perguruan tinggi dibagi ke dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Halhal yang termasuk dalam faktor internal adalah: kemampuan kognitif (kecerdasan), konsep diri, motivasi, dan strategi penyesuaian belajar. Sedangkan faktor eksternal yaitu: dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan pihak perguruan tinggi/universitas. Dukungan perguruan tinggi ini dibagi ke dalam tiga bentuk dukungan yang lebih spesifik yaitu: dukungan pihak fakultas berupa kebijakan atau kesempatan, dukungan dosen yang berhubungan secara langsung dengan mahasiswa penyandang low vision, seperti penerimaan
dosen
dan
bantuan
belajar,
dukungan fasilitas belajar, baik fisik maupun non fisik seperti layanan pendidikan khusus. Kepustakaan Busono, H. (2009). Usaha pendidikan anak penderita kurang penglihatan. Diakses 3 Februari 2013, dari www.infodiknas.com/usaha-pendidikananak-penderita-kurang-penglihatan-lowvison.html.
special education (International th Edition, 10 ed). Boston : Alynn & Bacon. Psikologi Hawadi, P.A. (2001). pengembangan anak: Mengenal sifat, bakat, dan kemampuan anak. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Hosni, I. (2007). Layanan Terpadu Low Vision dalam Mendukung Inklusi. Model Pusat Layanan Terpadu Low Vision YPWG kerjasama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat dan RS Mata Cicendo. Hurlock, E.B. (2001). Psikologi perkembangan: Sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). Interactions in any inclusive classroom: The effects of visual status and setting. Journal of Visual Impairments and Blindness, February 2001, 80-94. Pudjijogyanti, C.R. (1985). Konsep diri dalam proses belajar mengajar. Jakarta: Pusat Penelitian Unika Atma Jaya Jakarta. Robbins, P. S. (1996). Organizational behavior: Concept, controversies, and application. New York: Prentice Hall Inc. Tarsidi, D. (2002). Pengantar tentang ketunanetraan. Bandung: PLB. __________. (2007). Higher education for students with visual impairment in indonesia. Makalah dipresentasikan pada the 2nd International Conference on Higher Education for Students with Disabilities, Waseda University, Tokyo, Japan, March 27.
Hallahan, D. P. (1987). Commentary on palincsar and brown's: Enhancing instructional time through attention to metacognition. Journal of Learning Disabilities, 20(3), 153-156. Hallahan, D. P & Kauffman, J. M. (2006). Exceptional children: Introduction to
14
JURNAL PSIKOLOGI