iMposter! Asal tahu saja deh, ini adalah tulisan pertama saya setelah sekitar satu tahun penuh tidak menyentuh arsip rohani di komputer saya. Yep, saya sudah cuti nulis selama satu tahun kurang lebihnya. Kenapa? Karena dalam satu tahun itu adalah masa-masa gelap bagi saya, masa-masa di mana kegelisahan dan ketidak puasan menguasai hidup saya sehingga sesuatu yang cukup menghebohkan terjadi pada klimaksnya. Dengan dorongan JC (Jesus Christ), barulah saya mampu meninggalkan kepahitan-kepahitan itu di belakang saya dan kembali bersaksi. Dan inilah pengalaman yang ingin saya bagikan kepada Anda sekalian. Awal tahun 2010, saya mengalami kekeringan rohani yang lumayan parah. Karena beberapa pengalaman tidak mengenakan, saya memilih untuk mengutuki hidup dan tidak mau melihat ke “atas” selama beberapa waktu, berharap perasaan bete itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi rupanya, di situlah awal kejatuhan saya. Membiarkan bete berlanjut-lanjut itu menggerogoti hidup saya, yang ada bukannya “waktu menyembuhkan luka”, tapi malah “waktu membusukan luka menganga”. Singkat kata, keputusan idiot saya untuk bersikap skeptis kepada Tuhan membuka celah yang begitu lebar bagi Iblis untuk mengambil alih peran-Nya dalam kehidupan saya. Dan terjadilah hal yang paling menjijikan dalam hidup saya: Iblis memasuki hidup saya. Oops, bukan sebagai tokoh antagonis seperti biasanya, tetapi sebagai ‘pemenang’ dalam hidup saya yang sangat kalut waktu itu. Pada saat mendekati akhir tahun, saya diajak beberapa teman untuk ikut serta dalam sebuah persekutuan doa dan
penyembahan yang diadakan oleh beberapa hamba Tuhan dan alumni sekolah tempat saya belajar. Awalnya, saya agak ragu juga. Berhubung saya nyaris tidak pernah ikut persekutuan doa (selain waktu masih kanak-kanak di masa orang tua aktif dalam persekutuan wilayah), saya jadi agak ‘sungkan’ untuk mencoba hadir. Melalui beberapa rayuan dan bujukan Tuhan—yang saat itu lebih berupa dorongan secara perasaan—maka saya pun mencoba untuk ikut-ikut hadir. Rupanya manusia memang tidak bisa berbohong kepada rohnya dan Tuhan... Baru lagu pertama worship, dan saya sudah menghabiskan setengah pak tissue... Luar biasa! Saya tidak menyangka roh saya benar-benar rindu akan hadirat Tuhan!! Rasanya seperti dibungkus dalam kehangatan kasih Allah yang begitu menentramkan dan hangat... Suatu sensasi yang sudah lama saya tidak rasakan karena kekeringan rohani yang berlarut-larut! Ketagihan dengan penyembahannya, saya pun memutuskan untuk terus mengikuti persekutuan tersebut. Tapi ada yang aneh... Semenjak saya mengikuti persekutuan, hidup saya jadi tidak tenang. Saya, yang biasanya dapat dengan mudah membayangkan dan mengimani visi Yesus dan berkomunikasi dengan-Nya, mendadak menjadi sulit untuk “melihat”. Memang, sudah agak lama saya kurang berkomunikasi dengan Tuhan, tapi tidak pernah sampai merasa terhalang seperti ini. Pasti ada apa-apanya, pikir saya. Dan, lagi-lagi, itu memang benar. Pada sesi ke tiga, hamba Tuhan yang menjadi konsultan rohani di persekutuan itu mengurapi saya dengan minyak urapan dan... well, I went out of control. Roh saya yang sudah begitu lapar menjerit-jerit, berusaha menggapai Tuhan, namun tertahan oleh tubuh jasmani. Namun berbeda dari yang dulu, kali ini gapaian saya benar-benar terasa jauh dan hopeless! Bahkan selama saya diurapi dan nangis-nangis tidak keruan,
yang ada di pikiran dan hati saya hanya satu kalimat saja: “I want to be with You, Jesus.” Hanya itu. Saya tidak mampu berpikir dan ngomong yang lain. Namun tidak berhenti sampai di situ rupanya. Menurut sang hamba Tuhan tersebut, saya selama ini ‘ketempelan’ oleh roh yang asalnya bukan dari Tuhan!! Dan ialah yang membuat saya jauh dari Yesus yang asli!! Noooooooooooo!!! Shock and realization hit me. Rupanya itu alasan kenapa hidup saya tidak pernah tenang akhir-akhir ini... Itu pula alasan saya merasa tidak nyaman berada di rumah; karena pertahanan saya sudah jebol total dan mereka bebas akses di rumah saya! Ga. Wat. Saya akhirnya meminta sang hamba Tuhan dan tim pengusir dan pelepasan untuk beraksi. Sementara mereka ciprat minyak urapan ke sana-sini, saya cuma bisa duduk gemetar di anak tangga karena resonansi roh yang begitu kuat. Apalagi saya saat itu sedang dalam kondisi rapuh dan belum dilepaskan sehingga pertahanan saya nyaris nol karena Yesus tidak sepenuhnya berada di dalam saya. Singkat cerita, saya pun dilayani pelepasan oleh anakanak persekutuan dan sang hamba Tuhan... Baru deh Yesus yang asli ‘nongol’ dan berkata, “Baru sadar?” Saya nggak mampu berkata-kata. Ada perasaan lega, lemas, tenang, damai, dan juga terancam. Lho? Terancam kenapa? Karena ‘mereka’ tidak suka diusir dan kembali membawa bala tentara yang lebih besar untuk menggempur saya. Dan di sinilah di mulai peperangan rohani saya dan teman-teman melawan roh-roh jahat yang tidak suka diusir dari diri kami (kan yang dilayani pelepasan bukan cuma saya doang). Ya jelas saja, memang siapa yang suka diusir dan dipecundangi? Apalagi yang diusir adalah bapa pendendam... Sudah pasti serangan balas wajib diantisipasi.
cuciAn MenuMpuk Awal tahun 2011, mengikuti komando Tuhan, saya dan teman-teman pun bergerak untuk membuat sebuah tim doa yang tujuan utamanya adalah menjadi penyokong doa bagi siapapun yang membutuhkan. Perkembangan Tim Doa sangat luar biasa, dari mulai lima orang, dan terus bertambah sampai kami sering sekali bercanda bahwa Tuhan menimbunkan cucian pada kami. Jamahan Tuhan begitu nyata saat kami menyembah dan memuji Dia, dan itu belum selesai! Ada begitu banyak pengelihatan, strategi perang rohani, dan juga pengalaman-pengalaman yang membentuk kami sebagai fondasi awal Tim Doa ini. Bahkan tidak sedikit anak-anak TD (mulai sekarang akan saya singkat seperti ini) yang mulai mendapatkan mimpi-mimpi dari Allah. Tentu saja, perjalanan kami bukan tanpa isak tangis. Ada begitu banyak cobaan yang datang keluar masuk dalam empat bulan pertama TD dilaksanakan. Dimulai dari teror tak henti dari berbagai kalangan seperti orang tua, teman, guru, dan si Iblis langsung. Insomnia dan roh-roh manifestasi juga mengganggu. Dan yang paling menyakitkan adalah saat kami tersusupi roh karunia palsu! Puji Tuhan semua itu sudah kami lewati dan kami menangkan bersama Kristus. Kalau bukan karena Dia, kami pasti sudah hancur di tengah jalan! Salah satu hal yang kami gumuli saat TD terbentuk adalah ‘nama’. Kami punya begitu banyak nama untuk diberikan pada persekutuan ini, tapi pada akhirnya kami pun harus membawanya kepada Bapa. Setelah digumuli beberapa minggu, akhirnya jawaban pun keluar, yaitu “tanpa nama”. Kenapa TD kami tidak diberi nama? Karena kami menolak ‘pengkotak-kotakan’ dalam tubuh Kristus sehingga nama
kami nanti tidak disalah gunakan untuk ekslusivitas semata. Lagipula anak-anak yang tergabung dalam TD sangat bervariasi suku, ras, dan bahkan agamanya! Jadi kenapa harus memusingkan nama? Toh tujuan kami sama: menyembah Tuhan. Kegiatan TD umumnya diisi dengan berbagai doa; mulai dari doa syafaat, doa perang, sampai ke doa rantai. Kami juga terus belajar memuji dan menyembah Allah dalam roh dan kebenaran seperti yang dituliskan dalam Alkitab. Saling bertukar pengalaman dan membagi ilmu juga salah satu bagian yang seru, karena banyak sekali pengalaman pribadi teman-teman yang luar biasa setelah mereka serius mau melayani dalam TD ini. Pengalaman doa bersama kami juga tidak kalah seru: ada banyak sekali kejadian aneh dan pengelihatan yang kami dapatkan saat kami setuju untuk mengangkat panji Kristus dan berlatih perang bersama-Nya! Tapi jangan minta saya mendaftarkan semuanya karena pasti jadi setebal kamus kedokteran buku ini nanti. Omong-omong, dalam pembentukan TD, Tuhan mempertingati saya untuk ‘tidak memimpin’ dan tidak menjadi pemimpin. Ia sendiri yang menunujuk orang-orang yang dipilihNya untuk menjadi pemimpin doa perang dan juga pemandu pujian. Jadi tugas saya apa? “Hansip,” jawab-Nya. Dan setelah saya gumuli dan coba lakukan, ya tugas saya memang benar-benar jadi hansip: mengawasi dan membimbing bila diperlukan. Tapi karena pada dasarnya saya juga belum sempurna, maka yang jadi prinsip utama dalam TD adalah “saling geret” dalam lomba mencapai Surga. Ya, saling membantu dan saling mengingatkan. Saling menegur bila ada kesalahan yang terjadi, dan saling mengajarkan satu sama lain sesuai pengalaman dan karunianya.
Melalui Tim Doa itulah saya dibentuk Tuhan lebih jauh, terutama dalam hal berdoa dan bersyafaat. Tuhan menugasi anak-anak TD untuk bersyafaat setiap hari dan belajar berpuasa rohani. Ia juga menguasi kami untuk membaca Alkitab secara keseluruhan, dan membimbing kami untuk lebih peka terhadap suara-Nya dan bersaat teduh. Memang itulah yang kami lakukan. Saya pun berani bilang kalau perubahan yang saya lihat dari diri teman-teman saya luar biasa! Banyak yang meninggalkan kecanduannya terhadap barang-barang duniawi, berhenti berkata-kata kasar dan menyumpah, dan mulai semangat meneliti firman Allah serta berdoa. Dan saya harus bersyukur Ia sudi menjamah anak-Nya yang bandel dan malas bukan main ini. Oke, cukup soal awal muasal terbentuknya TD. Sekarang kita akan masuk ke inti permasalahannya: kapankah tugas kita terbilang selesai di hadapan Allah? Ini merupakan pertanyaan klise yang sering saya tanyakan pada Tuhan. Tentu saja, Ia selalu menjawab dengan sabar bahwa apapun yang bisa saya lakukan harus saya tuntaskan selama masih diberi waktu untuk melayani. Namun jawaban itu kurang memuaskan saya yang menyukai detail dari sesuatu. Saya masih terus dan terus mempertanyakan mengapa saya hidup dan untuk apa saya bekerja. Garis besarnya sudah tentu bertemakan “bagi Tuhan”, tapi saya ingin detailnya. Suatu kali, saat saya tidur siang, saya diberikan Tuhan suatu mimpi yang aneh. Saya berada di tempat pencucian baju yang agak asing bagi saya. Saya, berdiri di depan salah satu bak cuci, mendapati diri sedang menggosok sebuah pakaian berwarna putih yang bernoda. Saat saya celingak-celinguk, saya baru sadar kalau ada dua bak besar di kiri dan kanan
saya, masing-masing penuh dengan pakaian (sampai menggunung!). Bak di kiri berisi pakaian kotor yang—well... sangat kotor—dan bak di kanan adalah tempat di mana cucian yang sudah lumayan bersih direndam air berbusa. Setelah saya teliti, bak di kanan saya ternyata tidak menyimpan baju yang bersih saja, tetapi masih ada beberapa baju yang agak kotor! Dan jumlahnya tidak sedikit! Di saat itulah saya terbangun. “Kamu tahu maksudnya?” celetuk Tuhan. Saya mengangguk, belum bisa berbicara karena masih terbayang mimpi tersebut. “Kalau cucianmu habis, ya kamu Kupanggil kembali.” “Maksudnya saya baru bisa pulang setelah cucian saya habis?” “Iya, makanya pakailah waktu dengan bijaksana, supaya cucianmu selesai semua pada waktunya,” lanjut Tuhan. Saya pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Sudah mulai terjawab sedikit demi sedikit, baik melalui Tim Doa maupun hidup pribadi, bahwa tugas anak-anak Tuhan di dunia ini adalah menjadi terang bagi sesamanya, siapapun itu. Saya bersyukur sekali Tuhan mau memakai saya menjadi ‘hansip’ TD dan mau memberikan pencerahan pada saya mengenai arti dan tugas hidup pengikut Kristus. Tentu saja, kita tidak bisa berjalan di bukit terjal bernama ‘dunia’ seorang diri. Akan lebih mudah bila kita berjalan dalam kelompok dan mendaki bersama-sama, bahu membahu. Dan yang terutama, dengan Pemandu kita menjadi pedoman dan panutan setiap langkah!
Ask for it Tidak mudah kembali pada Tuhan setelah nyasar setengah tahun. Bulan penuh puasa, doa, dedikasi benar-benar membuat saya sadar bahwa ada harga yang harus saya bayar untuk mengambil kembali apa yang sudah saya buang. Untungnya, Tuhan benar-benar Allah yang peduli dan baik. Walau pada awal pemulihan roh tersebut saya berjalan dengan tersendat-sendat menuju takhta-Nya, Ia dengan kasih dan kemuliaan-Nya justru membuka tangan-Nya menyambut saya. Kalau ditanya perjalanan kembali itu seperti apa rasanya, ya saya cuma bisa bilang “sakit” saja. Itu jujur, simpel, dan memang apa adanya. Ada begitu banyak rintangan yang menghalangi jalan saya kembali ke hadapan Tuhan: di mulai dari caci maki, perseteruan dengan temanteman dan saudara, terganggunya kesehatan fisik, sampai ke hari-hari penuh insomnia dan air mata. Weits, saya bukan lagi sok ber-melankolis nih. Tapi memang benar saya menghabiskan stok tissue di kamar dalam waktu empat-lima kali lebih cepat dibanding biasanya! Iblis sangat tidak suka determinasi anak-anak Tuhan yang ingin kembali kepada Bapa! Mereka akan dengan segala cara menghancurkan mental siapapun yang mencoba mendekat pada Tuhan, dan saya juga salah satu korbannya. Mereka terus ‘mendakwa’ saya, mengatakan bahwa hidup saya selama tujuh belas tahun itu bersama Yesus yang palsu. Hamba-hamba Tuhan yang mulanya saya pikir baik ternyata juga mereka jadikan senjata penghakiman—saya diklaim ‘anak baru nyasar’, dipikir stres, dan sebagainya! Tuhan benar-benar bekerja dobel pada saat itu: menempa mental saya, sekaligus membuat saya belajar untuk tidak menaruh harapan pada manusia manapun. Di saat-saat depresi seperti
inilah saya akan mengakui kebenaran kata-kata Alkitab: “Semua manusia adalah penipu.” Seiring waktu, yang saya dapatkan dari pengalaman berjalan kembali itu hanyalah kepahitan walaupun saya mulai belajar berbagai macam hal dari Tuhan. Dan satu hal yang membuat saya sedikit terhibur adalah adanya teman-teman yang mau membela saya di depan para ‘pendakwa’ saya. Saya sungguh bersyukur Tuhan mau menguatkan saya melalui saudara-saudara sebaya saya, dan Ia pun melakukannya dengan tidak setengah-setengah. Ia duduk bersama saya saat saya menangis, memangku saya saat saya tergeletak kelelahan setelah berdoa perang, bahkan mengajarkan bermacammacam bentuk hikmat lewat berbagai macam mimpi, ciptaan dan penafsiran ayat-ayat Alkitab. Ia bahkan mengajarkan saya bagaimana melukis dengan cat minyak (sesuatu yang masih asing bagi saya waktu itu), dan menuntun saya menyusun acara Tim Doa dan berbagai proyek rohani lainnya. Namun, ternyata bukan sampai di situ perjuangan saya. Trauma akan ‘Yesus’ palsu itu masih ada. Dan kuat. Iblis kerap kali memainkan memori saya, menodai pikiran dan ingatan saya akan Tuhan. Mereka membuat saya menjadi jijik dengan ingatan-ingatan saya akan Dia— memasukan sisipan-sisipan palsu yang merusak memori dan kenangan saya seumur hidup. Dan itu membuat saya menjadi takut dan ragu untuk ‘menghampiri’ takhta Allah. Sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan perintah Alkitab, di mana kita diajak untuk ‘menghampiri takhta kemuliaan-Nya dengan berani’. Ya, mereka ingin saya putus asa. Mereka ingin saya berhenti mencari Yesus. Mereka ingin saya mati dalam arti yang sesungguhnya: kematian roh. Di situlah saya melewati minggu-minggu pergumulan yang berat. Pada awalnya saya akan berusaha mengalahkan
trauma tersebut dengan berdoa dan bersyafaat. Menambah bacaan porsi Alkitab juga saya lakukan, dan itu cukup membantu. Namun, setelah empat bulan berusaha dan belajar di kaki Yesus, saya masih merasa janggal. Saya tidak merasa menang dari rasa ragu dan takut itu. Memang, saya berusaha mengalahkannya, tapi saya tahu saya tidak menang. Dan sejujurnya, dengan bodoh, saya malah tidak pernah menanyakan hal itu pada Bapa yang tahu segalanya! Sampai pada suatu sore, saat saya sedang bergumul dengan rasa canggung itu, saya berkata begini: “Tolong, Tuhan! Tolong supaya saya bisa menang dari trauma ini! Saya nggak bisa, tapi Anda pasti bisa!” Dan Tuhan secepat kilat pun berseru: “That’s it!” (“Itu dia!”) Rupanya Tuhan menunggu saya meminta! Selama ini saya selalu berusaha menang dengan kekuatan sendiri. Dalam doa, saya hanya mengatakan bahwa saya pasti bisa asal Tuhan mau saya lepas dari trauma itu. Tapi ternyata itu belum cukup! Ia adalah Tuhan yang adil; Ia memberikan apa yang kita butuhkan dan kita minta! Dan saat itulah Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya, manusia diberikan ‘kehendak pribadi’ untuk menyempurnakan hikmat di dalam Allah: yaitu untuk membawa pergumulan kita pada-Nya. Ada sejuta pengetahuan dan hikmat untuk Ia bagikan bagi mereka yang mau meminta dan punya waktu untuk duduk mendengarkan di kaki-Nya. Secara personal, diajar Bapa mengenai bagaimana sesuatu terjadi dan berproses adalah saat-saat paling luar biasa dalam hidup saya. Kenapa? Karena dari situlah saya belajar bahwa Tuhan memang ada di mana-mana, di setiap ciptaanNya.
Tidak akan saya jabarkan lagi apa, mengapa dan untuk apa, karena Anda harus mencari jawaban hikmat itu sendiri. Mendekatlah pada-Nya, maka Ia pun akan mendekat pada Anda. Itu kata firman-Nya. Jadi, mintalah!