PENYELESAIAN PEMBAGIAN GAJI PEGAWAI NEGERI SIPIL TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA ATASAN ATAU INSTANSI TERKAIT PASCA PERCERAIAN
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: ISNATUN NIM: 042111052
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2010
ii
iii
MOTTO
"!# $ % & ! ' () (788 :/45') * + % & ! , -+ /. + ' $ 0 1 2 Artinya: Kewajiban ayah untuk memberikan belanja dan pakaian untuk istrinya. Seseorang tidak dibebani kecuali semampunya, seorang ibu tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya, dan seorang ayah tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya. (Q.S. al∗ Baqarah: 233).
∗
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag, 1978, hlm. 57 .
iv
Persembahan
Penulis persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang telah memberi arti dalam perjalanan hidup penulis, teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya khususnya buat:
Orang tua penulis tersayang(Bapak Imam Subkhi-Ibu Siti Suwarni dan Bapak Chabibun-Ibu Siti Musyarofah) yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam menjalani hidup ini. Suami penulis tersayang Mukhammad Burhanudin yang selalu menemani penulis dalam suka dan duka, yang telah memotivasi dalam studi serta dalam penulisan skripsi ini. Putra penulis tercinta Muhammad Amilidin syifaul anam semoga menjadi anak yang soleh. Kakak penulis tersayang M.Sayidul Amin (Alm) beserta istri Siti Zumaroh dan anak Berliana Putri Febrianti yang selalu memberikan motivasi dan menghibur penulis dalam menyelesaikan skripsi. Adik-adik penulis tersayang (Ahmad Muadim,Siti Fahma Indriyani,Lina Khoirunnisa’,Ana mufidatul khusna) yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Sahabat-sahabat penulis jurusan AS’04 FAKSYA yang selalu bersamasama dalam meraih cita dan asa
Penulis
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiranpemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam
daftar
kepustakaan
yang
dijadikan bahan rujukan. Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka penulis bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar menurut peraturan yang berlaku.
Semarang, 10 Mei 2010
ISNATUN NIM: 042111052
vi
ABSTRAK Bagi pegawai negeri sipil (PNS), mengenai pembagian nafkah bagi bekas istri pegawai negeri sipil (PNS)juga sudah diatur didalamnya yaitu pada pasal 8 PP. No. 10 tahun 1983 Jo. No. 45 tahun 1990. Sedangkan di dalam PP. No. 10 tahun 1983 Jo. PP No.45 tahun 1990, disitu tidak ditemukan suatu penjelasan bahwa mengenai pembagian gaji yang mengatur adalah kepala atau instansi PNS tersebut bekerja. Yang merijadi rumusan masalah adalah bagaimana putusan Pengadilan Agama Semarang dan pertimbangan hukumnya tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian? Bagaimana efektifitas putusan Pengadilan Agama Semarang tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian metode penelitian lapangan (fieldresearch) dan penelitian dokumentasi (document research). Data Primer, yaitu putusan PA Semarang tentang penyelesaian pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan. Sebagai data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Metode pengumpulan data dengan Interview (wawancara). observasi, dan dokumentasi. Metode analisisnya adalah analisis deskriptifkualitatif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm., telah mewajibkan kepada seorang suami memberi nafkah lampau 35 bulan = Rp',500.000 = Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah). Isi putusan ini sudah sesuai dengan peran suami sebagai kepala keluarga berkewajiban memberi nafkah, karena nafkah mei-upakan bagian hak istri yang harus dipenuhi seorang suami. Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No. 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., telah menetapkan kewajiban pada suami untuk memberi nafkah pada anak perbulan minimal sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu rupiah) dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sampai anak tersebut dewasa. Putusan ini sesuai dengan kewajiban seorang ayah dalam memelihara anak. Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No. 1203/Pdl.G/2007/PA.Sm., telah menetapkan kepada suami untuk memberi mut 'ah sebesar Rp.20.000.000,(dua puluh juta rupiah). Dalam hukum Islam, apabila apabila suami menceraikan istrinya, maka itu berarti inisiatif perceraian datangnya dari suami yang kemudian disebut talaq. Karena perceraian itu atas kehendak suami maka suami memberi mut'ah yaitu pemberian barang kenangankenangan pada istri yang dicerai. Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara No. 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dan No.l203/Pdt.G/2007/PA.Sm., inti pertimbangannya menyatakan bahwa majlis hakim berpendapat bahwa masalah pembagian gaji tersebut adalah merupakan kewenangan instansi dimana pemohon bekerja dan majlis menyerahkan sepenuhya masalah ini kepada instansi tersebut untuk menyelesaikannya.
vii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “PENYELESAIAN PEMBAGIAN GAJI PEGAWAI NEGERI SIPIL TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA ATASAN ATAU INSTANSI TERKAIT PASCA PERCERAIAN” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Imam Yahya M.A selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. Eman Sulaeman, M.H selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Saekhu, M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan 5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi ABSTRAK ................................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................. ix BAB I :
BAB II :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
.................................................... 1
B. Perumusan Masalah
.................................................... 4
C. Tujuan Penelitian
.................................................... 5
D. Telaah Pustaka
.................................................... 5
E. Metode Penelitian
.................................................... 7
F. Sistematika Penulisan
.................................................... 11
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
NAFKAH
AKIBAT
PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL A. Tentang Nafkah
.................................................... 13
1. Nafkah bagi Mantan Istri PNS ........................................... 13 2. Akibat Perceraian bagi PNS............................................... 23 B. Eksekusi
.................................................... 27
1. Pengertian Eksekusi
.................................................... 27
2. Pelaksanaan Eksekusi
.................................................... 31
BAB III : GAMBARAN UMUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG TENTANG PENYELESAIAN PEMBAGIAN GAJI PNS TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA INSTANSI ATAU ATASAN TERKAIT PASCA PERCERAIAN A. Putusan Pengadilan Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/
ix
PA.Sm.
..................................... 35
1. Identitas Para Pihak
..................................... 35
2. Pertimbangan Hakim
..................................... 35
3. Putusan Hakim
..................................... 43
B. Putusan
Pengadilan
Agama
Semarang
Nomor
1135/Pdt.G/2007/PA.Sm
..................................... 44
1. Identitas Para Pihak
..................................... 44
2. Pertimbangan Hakim
..................................... 45
3. Putusan Hakim
..................................... 48
:
C. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm
..................................... 48
1. Identitas Para Pihak
..................................... 48
2. Pertimbangan Hakim
..................................... 49
3. Keputusan Hakim
..................................... 51
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG TENTANG PEMBAGIAN GAJI TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA ATASAN ATAU INSTANSI TERKAIT PASCA PERCERAIAN A. Analisis terhadap Putusan PA tentang Pemberian Gaji PNS terhadap Bekas Istri yang Diserahkan kepada Instansi Atau Atasan terkait pasca perceraian ..................................... 53 1. Putusan Pengadilan Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/PA.Sm
..................................... 59
2. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor: 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm
..................................... 65
3. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm
..................................... 68
B. Analisis Efektifitas Putusan Pengadilan Agama Semarang tentang Pembagian Gaji PNS terhadap Bekas Istri yang Diserahkan Kepada Instansi atau Atasan Terkait Pasca Perceraian
..................................... 73
x
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan
.................................................... 80
B. Saran-saran
.................................................... 81
C. Penutup
.................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama.1 Untuk meligitimasi hidup bersama itu dibuat peraturan yang mengatur perihal perkawinan. Perkawinan
merupakan
kebutuhan
fitri
setiap
manusia
yang
memberikan banyak hasil yang penting.2 Menurut Mahmud Yunus, perkawinan ialah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.3 Sejalan dengan keterangan di atas, Rasulullah bersabda:
$ : ! " ./- ,,-$ )+ : ,) $ * : ,% &' *4 56 56 + )+ ":2- 01 "- *7 89: ;- <= % &' ,) * ,,- )+ 4
.( @7) ."*
1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1981, hlm. 7 2 Ibrahim Amini, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999, hlm. 17. 3 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet. 12, 1990, hlm. 1. 4 Imam Syaukani, Nail al–Autar, Juz IV, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, tth, hlm. 171.
1
2
Artinya : Dan Dari Anas, Sesungguhnya beberapa orang dari sahabat Nabi SAW sebagian dari mereka ada yang mengatakan: “Aku tidak akan menikah”. Sebagian dari mereka lagi mengatakan: “Aku akan selalu shalat dan tidak tidur”. Dan sebagian dari mereka juga ada yang mengatakan: “Aku akan selalu berpuasa dan tidak akan berbuka”. Ketika hal itu di dengar oleh Nabi SAW beliau bersabda: apa maunya orang-orang itu, mereka bilang begini dan begitu? Padahal di samping berpuasa aku juga berbuka. Di samping sembahyang aku juga tidur. Dan aku juga menikah dengan wanita. Barang siapa yang tidak suka akan sunnahku, maka dia bukan termasuk dari golonganku. (Muttafaqun A'laih) Hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.5 Dalam masalah perkawinan, pemerintah telah mengeluarkan UU No.1 tahun 1974 untuk mengatur pelaksanaan perkawinan bagi warga Negara Indonesia. Sedangkan untuk operasionalnya dikeluarkan PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974. Dengan adanya UU perkawinan diharapkan akan terjaga hak-hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga bersama anak-anak mereka secara yuridis, pemerintah menganggap bahwa warga Negara Indonesia yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS)
5
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 1.
3
mempunyai kekhususan dari warga Negara Indonesia lainnya, sehingga diperlukan aturan tersendiri. Maka pada tanggal 21 April 1983 dikeluarkan PP No. 10 tahun 1983 Jo. PP No.45 tahun 1990 yang mengatur secara khusus tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil (PNS). Dengan kata lain, peraturan ini merupakan pangecualian dari UU No. Tahun 1974 yang bersifat umum. Pergaulan antara suami istri yang dipersatukan di dalam ikatan perkawinan tidak selamanya berjalan mulus dan wajar. Hal ini bisa saja terjadi dikarenakan oleh kondisi sosial, ekonomi, rendahnya kualitas pendidikan dan lain-lain. Dari kenyataan ini kadang kala pihak suami atau istri tidak mampu mengatasi
dan
menyelesaikan
kesulitan-kesulitan
tersebut
sehingga
perkawinan yang didambakan terciptanya damai, sejahtera dan kekal tidak tercapai dan diakhiri dengan perceraian. Apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya, Akan tetapi ada akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Begitu pula dengan tanggung jawab nafkah bagi suami tidak hanya sewaktu si istri masih menjadi istri sahnya saja dan terhadap anak-anak yang dilahirkan si istri, tetapi suami pun tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian. Untuk
menghindari
kekacauan
dan
menciptakan
kerukunan,
kedamaian serta kesejahteraan abadi, maka dalam keluarga harus saling bantu membantu untuk menciptakan kebahagiaan bersama dan menuju kepada
4
kebaikan dan kesempurnaan diperlukan suatu tertib hukum atau undangundang.6 Sedangkan bagi pegawai negeri sipil (PNS) disamping berlaku undang-undang
yang
telah
penulis
sebutkan
sebelumnya,
mengenai
pembagian nafkah bagi bekas istri pegawai negeri sipil (PNS) juga sudah diatur didalamnya yaitu pada pasal 8 PP. No. 10 tahun 1983 Jo. No. 45 tahun 1990. Sedangkan di dalam PP. No. 10 tahun 1983 Jo. PP No.45 tahun 1990, disitu tidak ditemukan suatu penjelasan bahwa mengenai pembagian gaji yang mengatur adalah kepala atau instansi PNS tersebut bekerja. Berawal dari kasus-kasus diataslah penulis ingin menelusuri lebih jauh dalam bentuk skripsi dengan judul “Penyelesaian Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil Terhadap Bekas Istri yang Diserahkan pada Atasan
atau
Instansi Terkait Pasca Perceraian”. B. Rumusan masalah Dari uraian yang telah penulis paparkan diatas maka ada beberapa permasalahan yang akan menjadi bahan penelitian yaitu: 1. Bagaimana putusan Pengadilan Agama Semarang dan pertimbangan hukumnya tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian?
6
hlm.25
Abduk Kadir Audah, Islam dan Perundang-Undangan, Jakarta: PT.Bulan Bintang tt,
5
2. Bagaimana efektifitas putusan Pengadilan Agama Semarang tentang pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian? C. Tujuan Penelitian Tujuan penulis dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk
mengetahui
putusan
Pengadilan
Agama
Semarang
dan
pertimbangan hukumnya tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian. 2. Untuk mengetahui efektifitas putusan Pengadilan Agama Semarang tentang pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian D. Telaah Pustaka Telaah pustaka disini adalah meneliti skripsi orang lain yang telah selesai dan ada kaitannya dengan pembahasan penulis, yaitu skripsi yang membahas tentang nafkah bekas istri terutama yang berkaitan dengan pegawai negeri sipil (PNS) dan skripsi yang membahas tentang perceraian. Berikut ini adalah beberapa karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang ada kaitannya dengan judul skripsi penulis, yaitu: 1. Tinjauan Hukum Islam terhadap pasal 8 (3) PP. No. 10 tahun 1983 tentang Kewajiban Memberikan Separoh Gaji kepada Bekas Istri bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) oleh Ghomroni, NIM. 2194003, yang berkesimpulan bahwa kewajiban PNS pria untuk menyerahkan setengah gajinya kepada bekas istrinya, dimana dalam perkawinan tidak dikaruniai
6
anak sebagaimana dinyatakan dalam pasal 8 ayat (3) PP No. 10 tahun 1983, sedangkan dipandang dari hukum Islam pemberian separoh gaji kepada bekas istri adalah sah, apabila suami ada kerelaan dan tidak ada unsur paksaan walaupun telah habis masa iddah ataupun istri telah menikah lagi. 2. Analisis Hukum Islam terhadap pasal 3 PP. No. 10 tahun 1983 tentang Keharusan Izin Cerai Kepada Pejabat Bagi Perceraian Pegawai Negeri Sipil, oleh Nasiruddin, NIM. 2193049. Dalam penelitian ini Nasiruddin lebih menitik beratkan kepada kajian maqasidul tasyri’ dan maslahat dari peraturan pemerintah (PP) tersebut dalam pandangan hukum Islam untuk mendapatkan solusi yang terkait demi kemaslahatan dan kepentingan masyarakat terutama para Pegawai Negeri Sipil (PNS). 3. Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama (Analisis Putusan Hakim Nomor 71/pdt.G/2007/PA.Pwd. tentang Pembagian Gaji PNS Pasca Perceraian di PA Purwodadi), oleh Muhammad Taufiq , NIM. 2103044. Dalam penelitian ini Muhamad Taufiq menitik beratkan pada tuntutan pembagian gaji PNS kepada bekas istri yaitu sepertiga untuk istri dan sepertiga untuk anak akan tetapi hakim tidak mengabulkan tuntutan tersebut hakim menyerahkan sepenuhnya pada instansi. Dalam skripsi ini pembahasannya lebih berbeda, karena spesifik pembahasannya tentang apa yang menjadi pertimbangan majlis hakim tentang sistem pembagian gaji PNS terhadap bekas isteri yang diserahkan kepada atasan atau instansi terkait dan apakah putusan pengadilan agama dalam
7
sistem pembagian gaji PNS terhadap bekas isteri yang diserahkan kepada atasan atau instansi terkait itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Disamping itu penulis akan membahas seberapa besar bagian bekas istri kalau si istri adalah sama-sama pegawai negeri sipil dan si istri adalah sebagai ibu rumah tangga atau tidak bekerja. E. Metode Penelitian Metode penulisan skripsi merupakan suatu pendekatan yang dipakai sebagai metodologi dan mencari penjelasan terhadap permasalahan. 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian lapangan (Fieldresearch)7.Yaitu guna memperoleh informasi terhadap masalah-masalah yang dibahas, karena penulis langsung terjun kelapangan yaitu meneliti terhadap pelaksanaan putusan PA Kendal tentang pelaksanaan pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian, maka dari itu penulis langsung terjun ke instansi tersebut guna mengetahui jawaban dari permasalahan. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan jenis penelitian dokumentasi (document research), karena permasalahannya berupa menganalisis terhadap putusan di Pengadilan Agama Kendal yaitu tentang penyelesaian pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil ( PNS) terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian. 7
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet.IV, Bandung: Remaja Rosda Karya, hlm. 153
8
Adapun sebagai sampelnya yaitu tiga putusan Pengadilan Agama Semarang tentang penyelesaian pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan pada instansi atau atasan terkait pasca perceraian. Putusan yang dimaksud yaitu perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara No.1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dan No.1203/Pdt.G/2007/PA.Sm. Alasan mengambil tiga putusan tersebut adalah pertama, tiga putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Kedua, putusan tersebut memiliki pertimbangan hukum relatif sama. Ketiga, karena keterbatasan penulis baik dalam aspek waktu maupun dana. 2. Sumber Data Sumber Data yang dimaksud dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh8. Sumber data penelitian ini terdiri dari dua, yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder. a
Sumber Data Primer Yaitu Sumber data utama yang digunakan penulis sebagai rujukan dalam penelitian skripsi ini, merupakan sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yaitu putusan PA Kendal tentang penyelesaian pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian. Sumber data primer ini meliputi putusan PA Kendal, keterangan dari atasan dan para pihak yang bersangkutan.
8
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm.115
9
b Sumber Data Sekunder Yaitu data-data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Dalam hal ini penulis gunakan untuk melengkapi sumber data primer. 3. Metode Pengumpulan Data Metode atau teknik pengumpulan data adalah bagian instrument pengumpulan data yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian, dimana kesalahan dalam penggunaan metode pengumpulan data berakibat fatal terhadap hasil penelitian. Mengumpulkan data merupakan langkah yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan penelitian dengan
pendekatan
apapun,
karena
desain
penelitiannya
dapat
dimodifikasi setiap saat, pengumpulan data menjadi satu fase yang strategis bagi dihasilkannya penelitian yang bermutu. Dalam
penelitian
akan
menggunakan
beberapa
instrument
pengumpulan data, antara lain: a. Interview (wawancara) Wawancara adalah salah satu cara memperoleh informasi dengan jalan bertanya langsung kepada pihak yang diwawancarai atau dipihak kedua. Dalam wawancara ini penulis lakukan di Pengadilan Agama Kendal dengan para responden hakim atau panitera. Disamping itu wawancara penulis lakukan di instansi terkait dengan responden yang terdiri dari pihak-pihak yang berperkara, staf kantor, dan atasan instansi
10
b. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.9 Metode observasi digunakan untuk mendapatkan data hasil pengamatan. Pengamatan bisa dilakukan terhadap suatu benda, kondisi, situasi, keadaan, kegiatan, proses atau penampilan tingkah laku seseorang. c. Dokumentasi Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, agenda, undang- undang serta peraturan perudang-uandangan yang lain.10 Dokumentasi ini berupa putusan pengadilan Agama Kendal tentang penyelesaian pembagian gaji pegawai negeri sipil (PNS) terhadap bekas istri yang diserahkan pada instansi atau atasan terkait pasca perceraian 4. Metode Analisis Data Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan analisis deskriptif kualitatif yaitu data diperoleh, dipilih dan disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif. Dalam arti lain yaitu analisis yang bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari kelompok subjek yang diteliti, yakni secara sistematis tekstual dan akurat.11
9
Ibid., hal. 234 Ibid, hal. 131 11 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: CV. Rajawali, 1999, hlm.42 10
11
Yang diteliti dan dipelajari adalah objek penelitian yang utuh, sepanjang hal itu mengenai manusia, maka hal tersebut menyangkut sejarah hidup manusia. Dengan demikian, maka dengan mempergunakan metode kualitatif, seorang peneliti dapat memahami atau mengerti gejala yang diteliti.12 F.
Sistematika penulisan Untuk mempermudah menyusun skripsi ini, dalam penyusunannya dibagi dalam beberapa bab dengan rincian sebagai berikut: BAB 1 Dalam bab ini menguraikan tentang, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, sistimatika penelitian BAB II Dalam bab ini penulis uraikan berbagai hal yang merupakan tinjauan umum tentang nafkah akibat perceraian bagi pegawai negeri sipil yang meliputi tentang nafkah (nafkah bagi mantan istri PNS, akibat perceraian bagi PNS), eksekusi (pengertian eksekusi,
pelaksanaan eksekusi).
BAB III Merupakan penjelasan gambaran umum putusan pengadilan agama Semarang tentang penyelesaian pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan pada instansi atau atasan terkait pasca perceraian yang meliputi putusan Pengadilan Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/PA.Sm. (identitas para pihak, pertimbangan hakim, putusan hakim), putusan Pengadilan
12
Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1982, hlm.32
12
Agama Semarang Nomor : 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm (identitas para pihak, pertimbangan hakim, putusan hakim), putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm (identitas para pihak, pertimbangan hakim, keputusan hakim). BAB IV Dalam Bab ini diuraikan tentang analisis putusan Pengadilan Agama Semarang tentang pembagian gaji terhadap bekas istri yang diserahkan pada atasan atau instansi terkait pasca perceraian yang meliputi analisis terhadap putusan pa tentang pemberian Gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau
atasan
(putusan
No.405/pdt.G/2005/PA.Sm,
Pengadilan
Agama
putusan
Pengadilan
Semarang Agama
Semarang Nomor: 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm, putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm), analisis efektifitas
putusan
pengadilan
agama
Semarang
tentang
pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian. BAB V Merupakan bab penutup Sebagai akhir pembahasan dalam skripsi ini, maka akan penulis simpulkan beberapa pokok masalah sebagaimana yang terdapat dalam pendahuluan. Dalam bab ini penulis juga akan berusaha mengemukakan saran-saran. Pada akhirnya penulis akan tutup dengan beberapa harapan yang tertuang dalam sub bab penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NAFKAH AKIBAT PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
A. Tentang Nafkah 1. Nafkah bagi Mantan Istri PNS Menurut bahasa, nafkah berasal dari isim mufrad (nafaqah), yang jamaknya adalah ( تnafaqâh) yang artinya barang-barang yang dibelanjakan seperti duit.1 Demikian pula dalam Kamus Al-Munawwir, ّ ا yang artinya biaya, belanja.2 Dalam Kamus al-Munjid,3 yang tertera yaitu:
. – Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi,4 dan Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, kata nafaqah berarti mengeluarkan.5 Sedang secara terminologi terdapat beberapa rumusan di antaranya: 1. Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, nafkah adalah apa saja yang diberikan kepada Istri, seperti makanan, pakaian, uang dan lainnya.6
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973, hlm. 463. 2 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1449. 3 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut Libanon: Dâr al-Masyriq, 1986, hlm. 828 4 Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Indonesia: Dâr al-Ihya al-Kitab al-Arabiah, tth, hlm. 51 5 Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Maktabah wa Matbaah, Semarang: Toha Putera , tth, hlm. 119 6 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 459
13
14
2. Menurut Zakiah Daradjat, nafkah berarti belanja, maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada istri, kerabat, dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.7 3. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.8 4. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud nafkah yaitu memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan istri jika ia seorang kaya.9 Dari beberapa rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah suatu pemberian dari seorang suami kepada istrinya. Dengan demikian, nafkah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinannya. Apabila telah sah dan sempurna suatu akad perkawinan antara seorang. laki-laki dan seorang perempuan, maka sejak itu menjadi tetaplah kedudukan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri, dan sejak itu pula suami memperoleh hak-hak tertentu beserta kewajibankewajiban tertentu pula, sebaliknya isteri memperoleh hak-hak tertentu beserta kewajiban-kewajiban tertentu pula.
7
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 141. Abdual Aziz Dahlan, et. al, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1281. 9 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 2, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, hlm. 228. 8
15
Hak yang diperoleh suami seimbang dengan kewajiban yang dipikulkan di pundaknya, sebaliknya hak yang diperoleh istri seimbang pula dengan kewajiban yang dipikulkan di pundaknya. Suami wajib mempergunakan haknya secara hak dan dilarang menyalahgunakan haknya, di samping itu ia wajib menunaikan kewajibannya dengan sebaikbaiknya, demikian juga isteri, ia wajib mempergunakan haknya secara hak dan dilarang menyalahgunakan haknya, di samping itu ia wajib menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Jika suami mempergunakan haknya secara tidak menyalahgunakan haknya serta menunaikan kewajibannya dengan baik, begitu pula istri mempergunakan haknya secara tidak menyalahgunakan haknya serta menunaikan kewajibannya dengan baik, maka menjadi sempurnalah terwujudnya sarana-sarana ke arah ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa masing-masing, terjelmalah kesejahteraan dan kebahagiaan bersama lahir batin. Apa yang menjadi kewajiban bagi suami adalah menjadi hak bagi isteri, sebaliknya apa yang menjadi kewajiban isteri adalah menjadi hak bagi suami.10 Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk istri dan anak-anaknya. Dalam hubungan ini Q.S. Al-Baqarah: 233 mengajarkan bahwa suami yang telah menjadi ayah berkewajiban memberi nafkah kepada ibu anak-anak (istri yang telah menjadi ibu)
10
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 55.
16 dengan cara ma’ruf.11 Itulah sebabnya Mahmud Yunus menandaskan bahwa suami wajib memberi nafkah untuk istrinya dan anak-anaknya, baik istrinya itu kaya atau miskin, maupun muslim atau Nasrani/Yahudi.12 Bahkan kaum muslimin sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah, seperti halnya dengan kekerabatan.13 Dengan demikian, hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Bahkan di antara ulama Syi'ah menetapkan bahwa meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib membayar nafkah. Dasar kewajibannya terdapat dalam Al-Qur'an maupun dalam hadis Nabi. Dalil dalam bentuk al-Qur'an terdapat dalam beberapa ayat. Di antara ayat Al-Qur'an yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233:
'& ( * ) " + $&, - ' . /0 !" 1 2 3 -45 2 3 67 8 !" #$% (CDD :=/A) 9 : 1 & ) ' ;:1 =< : 82 >?- ' 30 Artinya: Kewajiban ayah untuk memberikan belanja dan pakaian untuk istrinya. Seseorang tidak dibebani kecuali semampunya, seorang 11
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pers, 1999, hlm. 108. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990,
12
hlm. 101. 13
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 400.
17
ibu tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya, dan seorang ayah tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya. (Q.S. alBaqarah: 233).14 Di antara ayat yang mewajibkan perumahan adalah surat at-Thalaq (65) ayat 6:
:MN) GF?H 2 ; I8 ?- 5 : J F H, K GL 2 ; , (O Artinya: Beri kediamanlah mereka (istri-istri) di mana kamu bertempat tinggal sesuai dengan kemampuanmu. (Q.S. at-Thalaq: 6).15 Adapun dalam bentuk sunnah terdapat dalam beberapa hadis Nabi, di antaranya:
P 0 ! Q 6 P R 1 S 1 T F : % % A0U S:2 L V R W( X1 1 Y Z S:2 L XF A2 % P $" [ T F 8 \]" R 04 X1 % T 2 8 \]" :W^W 1 $&:A% $; #$% _ $4 ! " ` a( Q 6 &$ G$% &$ #&$b XF A2 % Q [ (T8 dA 98) _ 6:b P 5 3A4 HcW ; 16
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Adam bin Abi Iyas dari Syu'bah dari 'Adiyin bin Tsabit berkata: aku telah mendengar Abdullah bin Yazid al-Anshari dari Abu Mas'ud al-Ansari r.a., Rasulullah Saw. bersabda: "Apabila seorang Muslim memberikan belanja kepada keluarganya semata-mata karena mematuhi Allah, maka ia mendapat pahala. (H.R. al-Bukhari)
14
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:: DEPAG RI, 1978, hlm. 57. 15 Ibid., hlm. 228. 16 Abu Abdillâh al-Bukhâry, Sahîh al-Bukharî, juz III, Beirut Libanon: Dâr al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 305
18
K Ge" X1 % :R W7 1 8 S % f ) S:2 L %^6 1 #GcW S:2 L #$% X% 24 &$ G$% &$ #&$b XI A2 Q 6 Q 6 = /W/; X1 % j 2\ g G$& j " $& g GA X[ : ; h!" 5 i , 4 ! " $8]" (T8 dA 98) 8 32 17
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Yahya bin Qoza'ah dari Malik dari Syauri bin Yazid dari Abi al-Ghoisa dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda: "Siapa yang berusaha keras membantu janda dan orang miskin, sama artinya dengan. berjuang di jalan Allah atau selalu sembahyang sepanjang malam hari dan selalu berpuasa di siang hari. (H.R. al-Bukhari).
%
/%]" % F^ X1 % f ) XS:2 L Q 6 g G% !( S:2 L Q 6 &$ G$% &$ #&$b $& Q 8 k& % &$ Xl8 = /W/; X1 (T8 dA 98) fG$% ` YZ 1 W ` $& Q 6 18
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Ismail dari Malik dari Abi alZanad dari al-A'raj dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda: "Allah berfirman: 'Hai Anak Adam, belanjakanlah hartamu dijalan kebaikan, maka Aku akan membelanjaimu! (H.R. al-Bukhari)
/ % % G;/1( 1 : 0 % k G" /Am nR o5 1 : !2 c S:2 L G$% &$ #&$b XI A2 k 5 Q 6 % &$ Xl8 :R 0 % :R 0 1 $p5 X !1 Xb Q< X P $" [ ,& !1 q ) W/ X 0W &$ k" n) o5 K $os K $os Q 6 K $os [ P$" 6 Q 6 / N" r 2 [ P $" 6 Q 6 X[ V 2 k & , HW _ % 3 %:- k" /) Gm ut Gv" fHS8 w:X[ X[ 30[/ - !"$s #2HL < 6:b f 3[ P" !3 3 W:W 17
Ibid, hlm. 305. Ibid,
18
19
98) k /mZ f1 /I ?W V ) f1 x HW f0[/ W &$ g& 0 f-/ (T8 dA 19
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Katsir dari Syufyan dari Sa'ad bin Ibrahim dari 'Amir bin Sa'ad dari Sa'ad r.a., kutanya: Sewaktu saya sakit di Mekkah, Nabi saw. datang melihat saya. Saya berkata: "Saya memiliki sejumlah harta. Saya akan membuat wasiat (testament) untuk menyerahkan seluruh harta saya itu." Jawab Rasul: "Tidak boleh'." "Setengah?" kataku. "Tidak," jawab Rasul. "Apakah boleh sepertiga?" tanyaku lagi. Rasul menjawab: "Sepertiga boleh, tetapi masih terlalu banyak. Engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan melarat dan menjadi beban dan orang lain. Semua pengeluaran yang kamu belanjakan adalah sedekah dan berpahala bagimu. Bahkan sesuap nasi yang engkau berikan kepada istrimu. Mudah-mudahan janganlah Allah menjadikan engkau seorang yang berguna bagi kelompok manusia, tetapi mendatangkan malapetaka bagi kelompok lain. (H.R. al-Bukhari).
1 !L/2 :A% XS:2 L Q 6 K G$& XS:2 L Q 6 /R G % 1 : G0 S:2 L k& = /W/; X1 % y G24!" 1 % z R 3U 1 % /R [ 4 1 : m / 3 { % k 5 6:2\ / Gm Q 6 &$ G$% &$ #&$b $& Q 8 (T8 dA 98) Q 0- !1 ":1 #|v 20
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Sa'id bin Ghufair dari Lais dari 'Abdur Rahman bin Khalid bin Musafir dari ibnu Syihab dari ibnu al-Musayyab dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda: "Sedekah yang terbaik adalah yang dilakukan oleh orang yang kaya. Mulailah memberikan sedekah dengan bersedekah kepada orang yang menjadi tanggung-jawabmu! (H.R. al-Bukhari).
% G1 % Y) r; /Am y ) G; S:2 L g G% !( 1 # S:2 L X g" ; $& Q 8 W P $" 6 !$ FY % !$ X1 P 1 yW7 19
Ibid, hlm. 305 Ibid, hlm. 305
20
20
}, ; 3 H5 8 H1 P 4 3 G$% ` k" !$ X1 X1 X[ /R J 98) 3 G$% P " / J f 0 Q 6 X2 1 ; !2( }, ; (T8 dA 21
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Musa bin Ismail dari Wuhaib dari Hisyam dari bapaknya dari Zainab binti Abi Salamah dari Ummu Salamah r.a., katanya; Saya berkata kepada Rasulullah Saw.: "Ya Rasulullah, kalau saya membelanjai anak-anak Abu Salamah dan saya tidak mau meninggalkan mereka dalam keadaan terlantar, karena mereka adalah juga anak-anak saya, apakah saya memperoleh pahala?" Rasul menjawab: "Benar, engkau akan memperoleh pahala atas segala nafkah yang engkau belanjakan. (H.R. al-Bukhari). Dalam konteksnya dengan nafkah mantan istri PNS, bahwa pegawai negeri sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat diharapkan dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.22 Pegawai negeri sipil harus mentaati kewajiban tertentu dalam hal hendak melangsungkan perkawinan beristri lebih dari satu, dan atau bermaksud melakukan perceraian. Sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugasnya diharapkan tidak terganggu oleh urusan kehidupan rumah tangga atau keluarganya. Dalam pelaksanaannya, beberapa ketentuan peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1983 tidak jelas. Pegawai negeri sipil tertentu yang seharusnya terkena 21
Ibid, hlm. 306. Harmon Harun, Himpunan UU Kepegawaian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 20022004, hlm 2-3 22
21
ketentuan peraturan pemerintah Nomor 10 tahun 1983 dapat menghindar, baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu adakalanya pula pejabat tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan ketentuan peraturan pemerintah Nomor 10 tahun 1983 itu sendiri, sehingga dapat memberi peluang untuk melakukan penafsiran sendiri-sendiri. Pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat yang berwenang disini adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat dan atau memberhentikan pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembagian Pegawai Negeri Sipil terdiri dari: a. Pegawai negeri pusat Yang di maksud Pegawai negeri pusat adalah pegawai negeri sipil pusat yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan bekerja pada departemen, lembaga pemerintah non departemen, kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi negara, instansi vertikal di daerah-daerah, dan kepaniteraan pengadilan. b. Pegawai negeri sipil daerah
22
Yang dimaksud dengan pegawai negeri sipil daerah adalah pegawai negeri sipil daerah propinsi/kabupaten/kota yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan bekerja pada pemerintah daerah, atau dipekerjakan diluar instansi induknya.23 Dalam hubungannya dengan perceraian PNS, bahwa apabila usaha untuk merukunkan kembali tidak berhasil dan perceraian itu terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan bagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya. Pegawai Negeri Sipil yang diwajibkan menyerahkan bagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, wajib membuat pernyataan tertulis.24 Hak atas bagian gaji untuk bekas istri tidak diberikan, apabila perceraian terjadi karena istri terbukti telah berzina dan atau istri terbukti telah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami dan atau istri terbukti menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau istri terbukti telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Meskipun perceraian terjadi atas kehendak istri yang bersangkutan, haknya atas bagian gaji untuk bekas istri tetap diberikan apabila ternyata alasan istri mengajukan gugatan cerai karena dimadu, dan atau karena suami terbukti telah berzina, dan atau suami terbukti telah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, 23
Ibid., hlm. 19. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, hlm. 277
24
23
dan atau suami terbukti telah menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau suami terbukti telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hall lain di luar kemampuannya. Yang dimaksud dengan gaji adalah penghasilan yang diterima oleh suami dan tidak terbatas pada penghasilan suami pada waktu terjadinya perceraian. Bendaharawan gaji wajib menyerahkan secara langsung bagian gaji yang menjadi hak bekas istri dan anak-anaknya sebagai akibat perceraian. Tanpa lebih dahulu menunggu pengambilan gaji dari Pegawai Negeri Sipil bekas suami yang telah menceraikannya. Bekas istri dapat mengambil bagian gaji yang menjadi haknya secara langsung dari Bendaharawan gaji, atau dengan surat kuasa. atau dapat meminta untuk dikirimkan kepadanya. Apabila ada gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri dan setelah dilakukan upaya merukunkan kembali oleh Pejabat tidak berhasil, maka proses pemberian ijin agar diselesaikan secepatnya mematuhi dan sesuai dengan ketentuan jangka waktu yang telah ditentukan.25 2. Akibat Perceraian bagi PNS Menurut Fuad Said, perceraian adalah putusnya hubungan pernikahan antara suami istri.26 Menurut Zahry Hamid suatu pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat berakhir dalam keadaan suami istri masih hidup dan dapat pula berakhir sebab 25
Ibid., hlm. 277-278. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 1.
26
24
meninggalnya suami atau istri. Berakhirnya pernikahan dalam keadaan suami dan istri masih hidup dapat terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas kehendak istri dan terjadi di luar kehendak suami istri. Menurut hukum Islam, berakhirnya pernikahan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang disebut talak, dapat terjadi melalui apa yang disebut ila' dan dapat pula terjadi melalui apa yang disebut li'an, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut zihar.27 Berakhirnya pernikahan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak istri dapat terjadi melalui apa yang disebut khiyar aib, dapat terjadi melalui apa yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui apa yang disebut rafa' (pengaduan). Berakhirnya pernikahan di luar kehendak suami dapat terjadi atas inisiatif atau oleh sebab kehendak hakam, dapat terjadi oleh sebab kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab matinya suami atau istri.28 Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan. Undang-undang ini tidak memberi definisi tentang arti perceraian. KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh undang-undang perkawinan, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 KHI menyatakan: perkawinan dapat putus karena: a. kematian; b. perceraian, dan; c. Atas 27 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 73. 28 Ibid., hlm. 73.
25
putusan pengadilan. Dalam Pasal 117 KHI ditegaskan bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131. Sejalan dengan prinsip perkawinan dalam Islam yang antara lain disebutkan bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, tidak boleh dibatasi dalam waktu tertentu, dalam masalah talak pun Islam memberikan pedoman dasar sebagai berikut, 1. Pada dasarnya Islam mempersempit pintu perceraian. Dalam hubungan ini hadis Nabi riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah mengajarkan, "Hal yang halal, yang paling mudah mendatangkan murka Allah adalah talak." Hadis Nabi riwayat Daruquthni mengajarkan, "Ciptaan Allah yang paling mudah mendatangkan murka-Nya adalah talak." AlQurthubi dalam kitab Tafsir Ayat-Ayat Hukum mengutip hadis Nabi berasal dari Ali bin Abi Thalib yang mengajarkan, "Kawinlah kamu, tetapi jangan suka talak sebab talak itu menggoncangkan arsy." Dari banyak hadis Nabi mengenai talak itu, dapat kita peroleh ketentuan bahwa aturan talak diadakan guna mengatasi hal-hal yang memang telah amat mendesak dan terpaksa. 2. Apabila terjadi sikap membangkang/melalaikan kewajiban (nusyus) dari salah satu suami atau istri, jangan segera melakukan pemutusan perkawinan. Hendaklah diadakan penyelesaian yang sebaik-baiknya antara suami dan istri sendiri. Apabila nusyus terjadi dari pihak istri,
26
suami supaya memberi nasihat dengan cara yang baik. Apabila nasihat tidak membawakan perbaikan, hendaklah berpisah tidur dari istrinya. Apabila berpisah tidur tidak juga membawa perbaikan, berilah pelajaran dengan memukul, tetapi tidak boleh pada bagian muka, dan jangan sampai mengakibatkan luka. 3. Apabila perselisihan suami istri telah sampai kepada tingkat syiqaq (perselisihan yang mengkhawatirkan bercerai), hendaklah dicari penyelesaian dengan jalan mengangkat hakam (wasit) dari keluarga suami dan istri, yang akan mengusahakan dengan sekuat tenaga agar kerukunan hidup suami istri dapat dipulihkan kembali.29 4. Apabila terpaksa perceraian tidak dapat dihindarkan dan talak benarbenar terjadi, harus diadakan usaha agar mereka dapat rujuk kembali, memulai hidup baru. Di sinilah letak pentingnya, mengapa Islam mengatur bilangan talak sampai tiga kali. 5. Meskipun talak benar-benar terjadi, pemeliharaan hubungan dan sikap baik antara bekas suami istri harus senantiasa dipupuk. Hal ini hanya dapat tercapai, apabila talak terjadi bukan karena dorongan nafsu, melainkan dengan pertimbangan untuk kebaikan hidup masingmasing.30 Dalam konteksnya dengan perceraian PNS bahwa apabila perceraian terjadi atas kehendak kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak29
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UUI Press, Yogyakarta, 1999, hlm.
71-72. 30
Ibid., hlm. 72.
27
anaknya. Pembagian gaji tersebut sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya. Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya. Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya. Ketentuan sebagaimana dimaksud tidak berlaku, apabila isteri meminta cerai karena dimadu. Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi. maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.31 B. Eksekusi 1. Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan pengadilan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mati melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya.32 Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang 31
Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan P.erceraiann badi PNS yang kemudian diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 32 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media, 2005. hlm. 313.
28
mempunyai kekuatan eksekutorial. Adapun yang memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan pengadilan terletak pada kepada putusan yang berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Di samping itu. putusan pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang bersifat atau yang mengandung amar "condemnatoir, sedangkan putusan pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif tidak dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankannya.
Menurut
Sudikno
Mertokusumo
eksekusi
pada
hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan tersebut. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa (execution force).33 Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus dipegangi oleh pihak pengadilan, yakni sebagai berikut: a. Putusan pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah tidak ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat pertama, bisa juga dalam bentuk putusan tingkat banding dan kasasi. Sifat dan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah litis finiri opperte, maksudnya tidak bisa lagi disengketakan oleh pihak-pihak
33
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998,
hlm.201.
29
yang berperkara. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai kekuatan mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli waris serta pihak-pihak yang mengambil manfaat atau mendapat hak dan mereka. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dipaksa pemenuhannya melalui pengadilan jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara sukarela. Pengecualian terhadap asas ini adalah: (1) pelaksanaan putusan uit voerbaar hij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) R.Bg, dan Pasal 180 ayat (2) pelaksanaan putusan provisi sesuai dengan Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) R.Bg dan Pasal 54 Rv. (3) pelaksanaan putusan perdamaian. sesuai dengan Pasal- 130 ayat (2) HIR dan Pasal 154 ayat (2) R.Bg, (4) eksekusi berdasarkan Grose akta sesuai dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 R.Bg. b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR dan Pasal 207 R.Bg, maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu dengan cara sukarela karena pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut. dan dengan cara paksa melalui proses eksekusi oleh pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan secara paksa dilaksanakan dengan bantuan pihak kepolisian sesuai dengan Pasal 200 ayat (1) HIR.
30
c. Putusan mengandung amar Condemnatoir. Putusan yang bersifat condemnatoir biasanya dilahirkan dari perkara yang bersifat contensius dengan proses pemeriksaan secara contradidoir. Para pihak yang berperkara terdiri dari para pihak Penggugat dan Tergugat yang bersifat partai. Adapun ciri putusan yang bersifat condemnatoir mengandung salah satu dinar yang menyatakan: (1) Menghukum atau memerintahkan untuk "menyerahkan". (2) Menghukum atau memerintahkan untuk "pengosongan"; (3) Menghukum atau memerintahkan untuk "membagi". (4) Menghukum atau memerintahkan untuk "melakukan sesuatu". (5) Menghukum atau memerintahkan untuk "menghentikan". (6) Menghukum atau memerintahkan untuk "membayar". (7) Menghukum atau memerintahkan untuk "membongkar". (8) Menghukum atau memerintahkan untuk "tidak melakukan sesuatu" d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Menurut Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1) R.Bg. yang berwenang melakukan eksekusi adalah pengadilan yang memutus perkara yang di minta eksekusi tersebut sesuai dengan kompetensi relatif. pengadilan tingkat banding tidak diperkenankan melaksanakan eksekusi. Sebelum melaksanakan eksekusi, Ketua Pengadilan Agama terlebih dahulu mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada
31
Panitera/juru Sita untuk melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi tersebut dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama. 2. Pelaksanaan Eksekusi Dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama .dapat ditempuh tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Permohonan pihak yang menang Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan Agama secara sukarela. maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutuskan perkara tersebut untuk dijalankan secara paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam amar putusan. Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan tersebut dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 207 ayat (1) R.Bg dan Pasal 196 HIR. Jika para pihak yang menang ingin putusan Pengadilan supaya dijalankan secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara, memohon agar putusan supaya dijalankan secara paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut. Tanpa ada
surat
permohonan
dilaksanakan.
tersebut
maka
eksekusi
tidak
dapat
32
b. Penaksiran biaya eksekusi Jika Ketua Pengadilan Agama telah menerima permohonan eksekusi dari pihak yang berkepentingan. maka segera memerintahkan meja satu untuk menaksir biaya eksekusi yang diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi yang dilaksanakannya. Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi, dan biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi kepada Panitera atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah permohonan eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi.34 c. Melaksanakan peringatan (Aan maning) Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama berupa teguran kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi putusan secara sukarela. Aan maning dilakukan dengan melakukan panggilan terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal, dan jam persidangan dalam surat panggilan tersebut. Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara: (1) melakukan sidang insidental yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan Agama, Panitera dan pihak yang kalah, (2) memberikan peringatan atau teguran supaya ia menjalankan putusan hakim dalam waktu
34
Abdul Mannan, op.cit.. hlm. 317
33
delapan hari, (3) membuat berita acara Aan waning dengan mencatat semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti autentik, bahwa Aan maning telah dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya. Apabila pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan maning, dan ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka ketidakhadirannya itu dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil kembali untuk Aan maning yang kedua kalinya. Jika ketidakhadiran pihak yang kalah setelah dipanggil secara resmi dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka gugur haknya untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak ada tenggang masa peringatan. Secara ex officio Ketua Pengadilan Agama dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada Panitera/Juru Sita.35 d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan (Aan maning) sudah lewat dan ternyata pihak yang kalah tidak menjalankan putusan, dan tidak mau menghadiri panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan perintah eksekusi dengan ketentuan: (1) perintah eksekusi itu berupa penetapan, (2) perintah ditujukan kepada Panitera atau Juru Sita yang
35
Ibid.. hlm. 3 17.
34
namanya harus disebut dengan jelas. (3) harus menyebut dengan jelas nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang yang hendak dieksekusi, (4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan tidak boleh di belakang meja, (5) isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan amar putusan. e. Pelaksanaan eksekusi nil. Perintah eksekusi yang dibuat Ketua Pengadilan Agama, Panitera atau apabila ia berhalangan dapat diwakilkan kepada Juru Sita dengan ketentuan harus menyebut dengan jelas nama petugas dan jabatannya yang bertugas melaksanakan eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) HIR dan Pasal 209 R.Bg. Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, Panitera atau Juru Sita dibantu dua orang saksi berumur 21 tahun, jujur dan dapat dipercaya yang berfungsi membantu Panitera atau Juru Sita yang melaksanakan eksekusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (6) H'lR dan Pasal 210 R.Bg.
BAB III GAMBARAN UMUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG TENTANG PENYELESAIAN PEMBAGIAN GAJI PNS TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA INSTANSI ATAU ATASAN TERKAIT PASCA PERCERAIAN
A. Putusan Pengadilan Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/PA.Sm. 1. Identitas Para Pihak Suami istri yang sah, yang telah menikah pada tanggal 27 juli 2001 dihadapan pejabat Kantor Urusan Agama
Purworejo Pasuruan Jawa
Timur yaitu Wahyu Setyaji Ismaryanto bin Ismono, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS ( kantor pajak ), tempat tinggal di jalan tikung baru 7
RT.10
RW.VI
kelurahan Bandarharjo kecamatan
Semarang Utara kota semarang, sebagai pemohon. Melawan Yulianti Magdalena binti Salimin, umur 27, agama Islam, pekerjaan PNS (pajak), tempat tinggal di jalan Suren Timur 1 No.85 Banyumanik, sebagai termohon. 2. Pertimbangan Hakim Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh mendamaikan kedua belah pihak, namun tidak berhasil;
35
36
Menimbang, bahwa sesuai dengan bukti P,1 dapat dibuktikan bahwa Pemohon dan Termohon terikat dalam pernikahannya yang sah tanggal 27 Juli 2001; Menimbang, bahwa Pemohon sebagai PNS telah mendapatkan ijin untuk bercerai dari atasan Pemohon yakni Dirjen Pajak Wilayah Jateng tanggal 12 Agustus 2004 No.Kep.13/WPJ.10/2004 sebagaimana bukti P.2 dan Termohon dengan bukti T.1 telah mendapatkan surat Keterangan dari atasan yang bersangkutan maka Penggugat dan Tergugat telah memenuhi ketentuan pasal 3 Peraturan.Pemerintah No. 10 tahun 1983 yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah No.45 tahun 1990; Menimbang, bahwa berdasarkan jawab menjawab antara Pemohon dengan Termohon dapat ditemukan pokok permasalahan dalam perkara ini adalah sebagai berikut : a. Bahwa retaknya hubungan suami isteri antara Pemohon dengan Termohon sehingga keduanya sering terjadi pertengkaran terus menerus penyebabnya adalah api cemburu yang telah berkobar dihati keduanya, ditambah lagi keduanya bertempat tinggal berjauhan , Pemohon di Semarang sedangkan Termohon di Pasuruhan; b. Bahwa ungkapan Termohon kepada Pemohon dengan mengatakan kalau saya dilamar orang bagaimana? dimaksudkan memancing agar Pemohon lebih memperhatikan Termohon sebagai isterinya akan tetapi
oleh
Pemohon
ditanggapi
sebaliknya
seolah-olah
37
kecemburuannya beralasan, sehingga hal ini sebagai puncak perselisihan dan pertengkaran yang terjadi pada lebaran tahun 2002 ; Menimbang, bahwa dalil Pemohon sebagian besar diakui Termohon terlebih tentang telah terjadinya pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon telah diakui oleh Termohon, lagi pula pengakuan tersebut telah dikuatkan oleh para saksi dari kedua belah pihak antara lain : a. Indaryati
menyatakan
Pemohon
dan
Termohon
bertengkar
dirumahnya, Termohon memegang pisau; b. Aan Setiawan menyatakan sejak Termohon
pindah ke Semarang
Pemohon dan Termohon tidak pernah tinggal serumah hingga sekarang ; c. Muh Saliman menyatakan bahwa Pemohon dan Termohon rumah tangganya tidak harmonis, telah didamaikan tidak berhasil, dan ketiga saksi tersebut tidak mengetahui sebab-sebab pertengkaran ; Menimbang, bahwa berdasarkan Keterangan Pemohon pengakuan Termohon yang dikuatkan para saksi tersebut dapat ditemukan fakta sebagai berikut : a. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah sebagai suami isteri yang belum dikaruniai anak b. Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak harmonis , telah terjadi pertengkaran yang tajam Termohon memegang pisau , sejak akhir 2002 atau setidaknya sejak Termohon pindah di Semarang,
38
Pemohon dan Termohon sudah tidak serumah lagi dan telah didamaikan tidak berhasil; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut Majelis Hakim berpendapat
bahwa telah terjadi pertengkaran
tajam yang sulit untuk
didamaikan yang tidak ada harapan dapat disatukan dalam rumah tangga dan rumah tangga yang demikian sebenarnya telah pecah tidak utuh lagi; Menimbang, bahwa jika rumah tangga telah pecah maka tidak perlu mencari siapa yang salah, akan tetapi Majelis akan menilai apakah masih mungkin rumah tangga tersebut dapat disatukan kembali hal ini sesuai Yurisprodensi MARI Reg No.38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991; Menimbang, 'bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, Majlis berpendapat bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak sesuai dengan tujuan perkawinan sebagaimana tercantum pada pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 3 Kompilasi Hukum Islam; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut dimuka, maka Permohonan Pemohon telah sesuai dan memenuhi maksud pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam harus dinyatakan terbukti menurut hukum, oleh karena itu telah cukup alasan Majelis Hakim mengabulkan Permohonan Pemohon ; Menimbang, bahwa Pemohon mendalilkan Termohon Nuzus, Termohon menolak dengan keras tuduhan tersebut maka sebelum Majelis
39
Hakim mempertimbangkan hal ini terlebih dahulu akan dikemukakan batasan nuzus berdasarkan kitab mughi ibnu Qudumah Vl: 295 yang selanjutnya telah diambil alih menjadi pendapat majelis bahwa nusuz ialah : apabila si isteri tidak mau seketiduran atau keluar rumah tanpa ijin suami; Menimbang, bahwa atas tuduhan Termohon nuzus di depan sidang Termohon telah mengajukan bukti T.2 jenis surat keputusan mutasi atas nama Termohon dari Kantor Pajak Pasuruhan ke Kantor Pajak Semarang barat, hal ini telah menunjukkan adanya indikasi iktikat baik dari Termohon untuk mengikuti Pemohon yang bekerja di Semarang; Menimbang, bahwa Pemohon tidak cukup memiliki bukti atas tuduhan tersebut sehingga dalil yang menyatakan Termohon nusuz harus dinyatakan tidak terbukti dan harus dikesampingkan ; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 41 (c) Undangundang No.1/74 jo pasal 149 (b) Kompilasi Hukum Islam, Majelis Hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah yang harus dibayar Pemohon terhadap Termohon yang besarnya akan dicantumkan dalam amar putusan ini; Dalam Rekonpensi Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan rekonpensi sebagai tersebut di atas; Menimbang, bahwa Penggugat mengajukan gugat rekonpensi antara lain: a. Nafkah lampau selama 49 bulan Rp.1.000.000,- = Rp.49.000.000,-;
40
b. Mut'ah sebesar = Rp.5.000.000,-; c. Penggugat berhak % gaji dari Tergugat ; d. Menetapkan harta tersebut yang terurai dalam gugatan rekonpensi sebagai harta bersama; e. Menghukum Tergugat menyerahkan y-i dari harta bersama tersebut kepada penggugat , f. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara ; Menimbang, bahwa atas tuntutan Penggugat tersebut Majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut : Tentang tuntutan Nafkah lampau untuk mengabulkan atau tidaknya tuntutan tersebut maka terlebih dahulu apakah Penggugat sebagai isteri nusuz atau tidak, dalam hal ini Majelis Hakim telah mempertimbangkan dalam Konpensi bahwa Penggugat tidak terbukti nusuz oleh karena itu tuntutan Penggugat patut dipertimbangkan; Menimbang, bahwa sesuai fakta yang telah terurai dalam pertimbangan hukum dalam Konpensi Penggugat dan Tergugat mulai berpisah dan Penggugat tidak memberi nafkah sejak lebaran 2002 atau setidaknya sejak bulan Desember 2002 hingga kini ( Nopember 2005) = 36 bulan, oleh karena tuntutan Penggugat patut dikabulkan yang jumlahnya akan dipertimbangkan dengan keadaan Tergugat maupun Penggugat yang mana Penggugat juga sebagai PNS;
41
Menimbang, bahwa tentang tuntutan mut'ah, Majelis Hakim menilai bahwa tuntutan Penggugat tersebut tidak berlebihan sehingga patut; Menimbang, bahwa tuntutan Penggugat yang berkaitan dengan pembagian gaji, gaji Tergugat sebagai PNS dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat
bahwa Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal
tersebut adalah sebagai aturan Disiplin PNS, oleh karena itu sudah sepatutnya tentang tuntutan yang berkaitan dengan gaji tersebut diserahkan pelaksanaannya kepada atasan PNS ditempat Tergugat bekerja ; Menimbang, bahwa tentang tuntutan harta yang berupa sebidang tanah dan sebuah bangunan rumah di atasnya sebagaimana tertuang dalam bukti Penggugat dan pemeriksaan setempat tanggal 17 Oktober 2006 oleh karena harta tersebut pengadaannya dalam masa perkawinan Penggugat dengan Tergugat maka harta tersebut sebagai harta bersama antara Penggugat dengan Tergugat sesuai pasal 35 (a) Undang-undang No.1 tahun 1974 dan masing-masing Penggugat dan Tergugat mendapatkan 1/2 bagian dari harta bersama tersebut sesuai pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu tuntutan tersebut patut dipertimbangkan; Menimbang, bahwa terhadap bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak yang tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dianggap tidak relevan dan hams dikesampingkan ;
42
Menimbang, bahwa
oleh karena
tidak seluruhnya dalil gugatan
Penggugat terbukti maka gugatan Penggugat hams dinyatakan dikabulkan sebagian dan menolak selain dan selebihnya ; Dalam Konpensi Dan Rekonpensi Menimbang, bahwa sesuai pasal 89 (1) Undang-undang No.7 tahun 1989 maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon Konpensi /Tergugat rekonpensi; Dasar Hukum Majlis Hakim Menimbang bahwa atas tuntutan penggugat tersebut majlis hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut: a. Tentang tuntutan nafkah lampau untuk mengabulkan atau tidaknya tuntutan tersebut maka terlebih dahulu apakah penggugat sebagai istri nusuz atau tidak, dalam hal ini majlis hakim telah mempertimbangkan dalam konpensi bahwa penggugat tidak terbukti nusuz oleh karena itu tuntutan penggugat patut di pertimbangkan b. Menimbang bahwa sesuai fakta yang telah terurai dalam pertimbangan hukum dalam konferensi penggugat dan tergugat mulai berpisah dan penggugat tidak memberi nafkah sejak lebaran 2002 atau sejak bulan desember 2002 hingga kini (November 2005) = 36 bulan, oleh karena tuntutan penggugat patut dikabulkan yang jumlahnya akan di pertimbangkan dengan keadaan tergugat maupun penggugat yang mana penggugat juga sebagai PNS
43
c. Menimbang bahwa tentang tuntutan mu'tah majlis hakim menilai bahwa tuntutan penggugat terse4but tidak berlebihan sehingga patut dikabulkan d. Menimbang bahwa tuntutan penggugat yang berkaitan dengan pembagian gaji, tergugat sebagai PNS dalam hal ini majlis hakim berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut adalah sebagai aturan disiplin PNS oleh karena itu sudah sepatutnya tentang tuntutan yang berkaitan dengan gaji tersebut diserahkan pelaksanaannya kepada atasan PNS di tempat tergugat bekerja 3. Putusan Hakim a. Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya; b. Memberi ijin kepada Pemohon (Wahyu Setyaji Ismaryanto bin Ismono) untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon (Yulianti Magdalena binti Salimin) dihadapan sidang Pengadilan Agama c. Menghukum kepada Pemohon untuk membayar nafkah iddah sebesar Rp. 1,500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah); Dalam Rekonpensi d. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; e. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa : f. Nafkah Lampau 35 bulan = Rp.500.000 = Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) ; g. Uang Mut'ah sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) ;
44
h. Menetapkan sebidang tanah dan bangunan rumah diatasnya yang terletak di Perum Pudak Payung Permai Asri Blok D No.76 Pudak Payung Semarang dengan batas-batas: - Sebelah Timur
; Jl. Paving Perumahan;
- Sebelah Selatan
: Jalan Paving Perumahan;
- Sebelah Barat
: Tanah kosong PT Wahyu Multi Prakasa
- Sebelah Utara :
Tanah Kosong PT Wahyu Multi Prakarsa
Adalah sebagai harta bersama Penggugat dengan Tergugat ; i. Menetapkan bagian masing-masing Penggugat dan Tergugat separo bagian dari harta tersebut; j. Menghukum kepada Penggugat dan Tergugat atau siapa saja yang menguasai harta tersebut untuk menyerahkan kepada yang berhak yakni Penggugat dan Tergugat, apabila tidak dapat dibagi secara natura maka akan dijual secara pelelangan umum ; k. Menolak selain dan selebihnya ; Dalam Konpensi dan Rekonpensi Membebankan kepada Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp.671.000,- (enam ratus tujuh puluh satu ribu rupiah ); B. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor : 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm. l. Identitas Para Pihak Drs. Prasetyo bin Abdurrochim umur 43 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS, tempat tinggal di jl Sadewa III no 7, Kelurahan Pandrikan
45
Kidul kecamatan semarang tengah, kota semarang sebagai pemohon. Melawan Maudy Schepper binti J.N.Schepper umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak ada, tempat tinggal di jalan Sadewa III No.21, kelurahan Pandrikan Kidul, kecamatan Semarang Tengah, kota Semarang termohon 2. Pertimbangan Hakim Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok perkaranya terlebih dahulu dipertimbangkan tentang status pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil yang menurut pasal 3 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990, untuk melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dulu dari pejabat Menimbang bahwa berdasarkan keterangan pemohon yang diakui kebenarannya oleh termohon dan dikuatkan dengan kutipan akta nikah nomor 566/13/III/1994 yang merupakan akta otentik, maka harus dinyatakan terbukti menurut hukum bahwa pemohon dengan termohon telah terikat dalam perkawinan yang sah sebagai suami istri sejak 26 Maret1994 Menimbang bahwa oleh karena dalil-dalil permohonan pemohon yang berkaitan dengan alas an perceraian telah di bantah kebenarannya oleh termohon maka sudah seharusnya pemohon dibebani untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil permohonannya, demikian pula sebaliknya termohon harus dibebani untuk membuktikan kebenaran dalili-dalil bantahannya, karena barang siapa yang mengatakan ia mempunyai suatu hak atau
46
mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu (pasal 163 HIR) Menimbang bahwa oleh karena alasan-alasan tersebut antara penggugat dan tergugat saling membantah, maka kedua belah pihak telah mengajukan saksi-saksi yang telah memberi keterangan di bawah sumpah Menimbang bahwa oleh karena keterangan saksi-saksi permohonan tersebut didasarkan atas pengetahuan mereka sendiri dan keterangan mereka saling bersesuaian serta saling mendukung satu sama lain maka keterangan tersebut dapat dipercaya kebenarannya dan dapat dipertimbangkan Dasar Hukum Majlis Hakim Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan majlis hakim berpendapat bahwa rumah tangga pemohon dengan termohon telah benar-benar pecah sehingga karenanya majlis hakim berkesimpulan bahwa sudah cukup alasan untuk dapat mengabulkan permohonan pemohon dengan memberikan izin kepada pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon. Hal ini sesuai dengan pasal 19 huruf f peraturan pemerintah nomor 9tahun 1975 Jo pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam Menimbang bahwa nafkah iddah merupakan kewajiban yang harus di penuhi oleh suami yang menceraikan istrinya dengan talak roj’i dan oleh karena tidak ternyata termohon sebagai istri nusyuz, maka sudah sepatutnya apabila pemohon dihukum untuk memberikan nafkah kepada termohon. Hal
47
ini sesuai dengan pasal 41 huruf b undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo.pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam. Menimbang bahwa selain nafkah iddah sudah sepatutnya pemohon di hukum pula untuk memberikan mut’ah kepada termohon karena pemberian mut’ah juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami yang menceraikan istrinya kecuali bekas istri qobla dukhul. Hal ini sesuai pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf a Kompilasi Hukum Islam Menimbang bahwa sesuai penghasilan pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil golongan III/c serta batas-batas kewajaran maka majlis berpendapat adalah layak apabila pemohon diwajibkan memberikan nafkah iddah kepada termohon yang di perhitungkan selama 3 bulan sebesar Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah) Menimbang bahwa mengenai mut’ah yang harus dibayarkan pemohon kepada termohon, majlis hakim berpendapat bahwa kewajiban pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menceraikan istrinya untuk memberikan sebagian gajinya kepada istri yang telah diceraikannya sebagaimana dimaksud pasal Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 merupakan kewenangan instansi terkait . Menimbang bahwa oleh karena dalam perkawinan pemohon dengan termohon telah mengangkat seorang anak perempuan yang sekarang berada di dalam asuhan termohon, maka untuk keperluan kehidupan dan
48
pendidikan anak kepada pemohon patut pula dibebani untuk memberikan nafkah anak kepada termohon yang diperhitungkan sekurang-kurangnya perbulan sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu rupih) dengan kenaikan 10% pertahun sampai anakitu dewasa. 3. Putusan Hakim a. mengabulkan permohonan pemohon b. menetapkan memberoi izin kepada pemohon (DRS. PRASETYO bin ABDURROCHIM) untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon ( MAUDY SCHEPPER binti J.N. SCHEPPER) dihadapan siding pengadilan agama semarang c. menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon o nafkah iddah sebesar: Rp.5000.000,-(lima juta rupiah) o mut’ah sebesar : Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah) o nafkah anak perbulan minimal sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu rupiah) dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sampai anak tersebut dewasa d. membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar 126.000,-(seratus dua puluh enam ribu rupiah) C. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm 1. Identitas Para Pihak Drs. al Zunaidi, MSI bin Achmad Saroni, pekerjaan PNS, agama Islam, alamat jln.Tirtoyoso tengah No.41 Semarang, selanjutnya disebut sebagai pemohon. Melawan Sri Lestari binti Parto Sudarmo, umur 45
49
tahun, pekerjaan wiraswasta, agama Islam, alamat jln.penun bukit manyaran asri blok k 31 rt.05 rw.08, Kelurahan Manyaran, Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang, selanjutnya disebut sebagai termohon. 2. Pertimbangan Hakim Menimbang bahwa majlis hakim telah berusaha mendamaikan kepada pemohon dan termohon agar mau rukun lagi dalam satu rumah tangga dan membina rumah tangganya menuju yang lebih baik lagi namun tidak berhasil Menimbang bahwa pemohon dan termohon telah mengajukan bukti-bukti dipersidangan, selanjutnya setelah diteliti dan didengar keteranganya majlis hakim telah menilai bahwa bukti-bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat minimal sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah Menimbang berdasarkan bukti tertulis dan keterangan saksi-saksi dipersidangan telah ditemuka fakta-fakta yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: a. Bahwa berdasarkan bukti kutipan akta nikah pemohon dan termohon adalah pasangan suami istri sah yang menikah tahun 1997 dan kini dikaruniai 2 (dua) orang anak b. Bahwa pemohon dan termohon sejak kelahiran anak kedua telah terjadi konflik dalam rumah tangga dan akhirnya terjadi pisah rumah selama dua tahunsejak bulan januari 2006 sampai sekarang
50
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa rumah tangga pemohon dan termohon telah pecah dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam satu rumah tangga, oleh karena itu permohonan pemohon telah memenuhi alasan perceraian pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975 dan psal 116 huruf f Kompilasi Hokum Islam Menimbang
bahwa
berdasarkan
pertiimbangan-pertimbangan
tersebut diatas pemohon telah dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil permohonanya sedangkan permohonan pemohon cukup beralasan dan tidak melawan hokum oleh karena permohonan pemohon dapat dikabulkan Dalam Rekonpensi Menimbang bahwa termohon pada dasarnya keberatan atas permohonan cerai pemohon namun termohon menyadari bahwa memang di dalam kehidupan rumah tangganya telah tidak harmonisdan tidak mungkin dapat dipertahankan dan akhirnya termohon bersedia diseraikan oleh pemohon dengan mengajukan beberapa tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemohon yaitu termohon menuntut 2/3 gaji pemohon agar diberikan kepada kedua anaknya dan tuntutan materiil 100.000.000,-(seratus juta rupiah ). Dalam Konpensi dan Rekonpensi Menimbang bahwa pemohon konpensi menuntut agar biaya yang timbul akibat adanya perkara ini dibebankan kepada termohon konpensi Dasar Hukum Majlis Hakim
51
Menimbang bahwa pemohon dalam mengajukan perkara ini kedudukan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) terikat dengan peraturan pemerintah No.10 tahun 1983 dan peraturan pemerintah No.45 tahun 1990 dan pemohon telah dapat menunjukkan surat izin untuk melakukan perceraian dari gubernur jawa tengah dengan suratnya No.474.2/83/2007 tanggal 27 september 2007 dengan demikian pemohon telah memenuhi aturan-aturan sebagaimana yang telah ditentukan dalam PP No.10/1983 dan PP No.45/1990 Menimbang bahwa terhadap tuntutan tersebut majlis hakim berpendapat bahwa sesuai pasal 89 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama, maka biaya perkara ini dibebankan kepada pemohon konpensi, oleh karena itu tuntutan pemohon konpensi tersebut harus dinyatakan ditolak Menimbang
bahwa
tergugat
dalam
jawabannya
mengenai
rekonpensi telah menanggapinya yang pada pokoknya bahwa pemohon akan memberikan 1/3gaji untuk anaknya sampai kedua anaknya menikah Menimbang bahwa terhadap tuntutan 2/3 gaji untuk anaknya, majlis hakim berpendapat bahwa masalah pembagian gaji tersebut adalah merupakan kewenangan instansi dimana pemohon bekerja dan majlis menyerahkan sepenuhya masalah ini kepada instansi tersebut untuk menyelesaikannya. 3. Keputusan Hakim a. mengabulkan permohonan pemohon sebagian
52
b. memberi izin kepada pemohon (DRS. AL ZUNAEDI, MSI bin ACHMAD SARONI) untuk menjatuhkan talak satu roj’I kepada termohon (SRI LESTARI binti PARTO SUDARMO) didepan sidang pengadilan agama semarang. c. Menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon berupa: 1) Mut’ah sebesar Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah) 2) Nafkah iddah selama 3 bulan sebesar Rp.1.800.000,-(satu juta delapan ratus ribu rupiah) 3) Nafkah kedua orang anak setiap bulan sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah) sampai kedua anak itu dewasa atau mandiri. Dalam Rekonpensi Menolak gugatan penggugat Dalam Konpensi dan Rekonpensi Membebankan kepada pemohon konpensi untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.186.000,-(seratus delapan puluh enam ribu rupiah)
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG TENTANG PEMBAGIAN GAJI TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA ATASAN ATAU INSTANSI TERKAIT PASCA PERCERAIAN
Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi. Dengan putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang beperkara ditetapkan untuk selama-lamanya dengan maksud supaya, apabila tidak ditaati secara sukarela, dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara (dengan kekuatan umum).1 Berdasarkan keterangan tersebut, penulis membagi dalam tiga bahasan, pertama: Analisis terhadap putusan PA Semarang dan pertimbangan hukumnya tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan, kedua: Analisis efektifitas putusan Pengadilan Agama Semarang tentang pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan pertimbangan hukum tentang pembagian gaji yang diserahkan kepada instansi atau atasan. A. Analisis terhadap Putusan PA tentang Pemberian Gaji PNS terhadap Bekas Istri yang Diserahkan kepada Instansi Atau Atasan Terkait Pasca Perceraian Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa 1
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1982, hlm. 124.
53
54
yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa atau perkaranya. Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa, yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya. Contohnya: sebuah mobil tabrakan, dengan sepeda motor. Pengendara mobil dan sepeda motor saling menyalahkan. "Saudara tidak menurut peraturan" kata yang satu. Yang lain menjawab: "Mungkin, tetapi saya tidak dapat menurut peraturannya. Karena perbuatan saudara saya terpaksa berbuat apa yang telah saya lakukan". Hakim akhirnya akan menemukan kesalahan dengan menilai peristiwa itu keseluruhannya. Di dalam peristiwa itu sendiri tersimpul hukumnya. Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara obyektif tentang duduknya perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedang pertimbangannya baru kemudian dikonstruir. Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui hakim dari pembuktian. Jadi bukannya .putusan itu lahir dalam proses secara a priori dan kemudian baru dikonstruksi atau direka pertimbangan pembuktiannya, tetapi harus dipertimbangkan lebih dulu tentang terbukti tidaknya baru kemudian sampai pada putusan. Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa
55
yang berarti bahwa hakim telah dapat mengconstatir peristiwa yang menjadi sengketa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Ia harus menemukan hukumnya: ia harus mengkualifisir peristiwa yang dianggapnya terbukti. Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya adalah urusan hakim dan bukan soalnya kedua belah pihak. Maka oleh karena itu hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak (ps. 178 ayat 1 HIR, 189 ayat I Rbg). Putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut, pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam berperkara yang mereka hadapi.2 Di dalam pasal 28 (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menyatakan : ” bahwasannya hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Tahapan–tahapan dalam penetapan persidangan untuk diambilnya suatu keputusan adalah sebagai berikut: 1. Tahap sidang pertama sampai anjuran untuk perdamaian 2. Tahap jawab menjawab dalam bahasa hukum disebut dengan replik duplik 2
hlm. 191
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998,
56
3. Tahap pembuktian 4. Tahap penyusunan konklusi 5. Musyawaroh majlis hakim 6. Pengucapan keputusan hakim3 Setelah penulis meneliti dengan seksama bahwasannya putusan perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm majlis hakim telah melakukan beberapa tahapan dalam menangani masalah tersebut mulai dari memperdamaikan antara kedua belah pihak yang berperkara sampai memutuskan perkara atau putusnya perkara tersebut. Dalam hal ini majlis hakim memutuskan perkara tentang pembagian gaji terhadap bekas istri diserahkan pada instansi dianggap lebih baik atau lebih efektif antara pemohon dan termohon karena yang namanya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus disiplin hukum, maka setiap orang yang menyandang posisi PNS tidak bisa melakukan hal seenaknya sendiri, dalam putusan PA semarang majlis hakim tetap berpedoman pada undang-undang yang ada yang mengatur hal tersebut. Begitu juga dalam putusan perkara No.1135/Pdt.G/2007/PA.Sm, putusan perkara No.1203/Pdt.G/2007/PA.Sm. majlis hakim memutuskan perkara yang sama dan upaya hukum yang dilakukanpun juga sama. Peranan majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara
No.
405/Pdt.G/2005/PA.Sm,
No.1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., 3
129-133
dan
putusan
No.1203/Pdt.G/2007/PA.Sm.,
perkara sebagai
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, hlm.
57
aparat kekuasaan kehakiman pasca-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada prinsipnya tidak lain daripada melaksanakan fungsi Peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi peradilan ini, majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwachmatigheit), dan kepastian (rechtsecherheit). Ketiga hal telah mendapat perhatian yang seimbang secara profesional dari majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian. Hakim harus berusaha semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung asas tersebut di atas. Jangan sampai ada putusan hakim yang justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi pencari keadilan. Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Putusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna mengakhiri sengketa yang diperiksanya. Putusan hakim tersebut disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang berperkara tidak lagi
58
menyampaikan sesuatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya. Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan. Putusan itu adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara. Dapat juga dikatakan bahwa putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang beperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Setiap putusan Pengadilan Agama harus dibuat oleh hakim dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Hakim Anggota yang ikut memeriksa perkara sesuai dengan penetapan Majelis Hakim yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Agama, serta ditandatangani pula oleh Panitera Pengganti yang ikut sidang sesuai penetapan panitera. Apa yang diucapkan oleh hakim dalam sidang haruslah benar-benar sama dengan apa yang tertulis, dan apa yang dituliskan haruslah benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang pengadilan. Dalam putusan yang bersifat perdata, Pasal 178 ayat (2) HIR dan Pasal 189 ayat (2) R.Bg mewajibkan para hakim untuk mengadili semua tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Hakim dilarang menjatuhkan
59
putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut sebagaimana tersebut dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) R.Bg. Kecuali apabila hal-hal yang tidak dituntut itu disebutkan dalam .peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 Ic Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975dan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam. 1. Putusan Pengadilan Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/PA.Sm,. berisi: a. Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya; b. Memberi ijin kepada Pemohon (Wahyu Setyaji Ismaryanto bin Ismono) untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon (Yulianti Magdalena binti Salimin) dihadapan sidang Pengadilan Agama c. Menghukum kepada Pemohon untuk membayar nafkah iddah sebesar Rp. 1,500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah); Dalam Rekonpensi d. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; e. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa : f. Nafkah Lampau 35 bulan = Rp.500.000 = Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) ; g. Uang Mut'ah sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) ; h. Menetapkan sebidang tanah dan bangunan rumah diatasnya yang terletak di Perum Pudak Payung Permai Asri Blok D No.76 Pudak Payung Semarang dengan batas-batas: - Sebelah Timur ; Jl. Paving Perumahan; - Sebelah Selatan : Jalan Paving Perumahan; - Sebelah Barat : Tanah kosong PT Wahyu Multi Prakasa - Sebelah Utara : Tanah Kosong PT Wahyu Multi Prakarsa Adalah sebagai harta bersama Penggugat dengan Tergugat ; i. Menetapkan bagian masing-masing Penggugat dan Tergugat separo bagian dari harta tersebut; j. Menghukum kepada Penggugat dan Tergugat atau siapa saja yang menguasai harta tersebut untuk menyerahkan kepada yang berhak yakni Penggugat dan Tergugat, apabila tidak dapat dibagi secara natura maka akan dijual secara pelelangan umum ; k. Menolak selain dan selebihnya ; Dalam Konpensi dan Rekonpensi
60
Membebankan kepada Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp.671.000,- (enam ratus tujuh puluh satu ribu rupiah); Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No, 405/Pdt.G/2005/PA.Sm., telah mewajibkan kepada seorang suami memberi nafkah lampau 35 bulan = Rp.500.000 = Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah). Isi putusan ini sudah sesuai dengan peran suami. Syari’at mewajibkan suami untuk menafkahi isterinya, karena dengan adanya ikatan perkawinan yang sah itu seorang isteri menjadi terikat sematamata kepada suaminya, dan tertahan sebagai miliknya. Karena itu ia berhak menikmatinya secara terus-menerus. Isteri wajib taat kepada suami, tinggal di rumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anakanaknya. Sebaliknya bagi suami berkewajiban memenuhi kebutuhannya, dan memberi belanja kepadanya, selama ikatan suami isteri masih berjalan, dan isteri tidak durhaka atau karena ada hal-hal lain yang menghalangi penerimaan belanja.4 Oleh karena itu, apabila terjadi perceraian, suami tidak boleh menarik kembali pemberian yang telah diberikan kepada istrinya. Al-Qur'an dan hadis tidak menyebutkan dengan tegas kadar atau jumlah nafkah, baik minimal atau maksimal, yang wajib diberikan suami kepada isterinya. Hanya saja dalam al-Qur'an surat al-Thalaq:6-7 dijelaskan:
! " # $ ! " % & '
% )( *+ , $ &
- .$ / 01+ 32 , $ 4 % )5
6 7 ' 8 9
+ 8 " & )5 : 2 8& , ; ! ; 8, %( % <+ ! 4
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turast, tth, hlm. 229.
61
B C , D / ( + 6 EF 6 E 6 & " G2 & " H D / {@} = 8> % J89- 82 9 & ; 6 I 3 & M " C I5 J9(/0 6 I K L! - 6 I Artinya: Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan mereka. Dan jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (QS al-Thalaq: 6 – 7).5 Ayat di atas memberikan gambaran umum, bahwa nafkah itu diberikan kepada isteri menurut yang patut, dalam arti cukup untuk keperluan isteri dan sesuai pula dengan penghasilan suami. Karena itu jumlah nafkah yang diberikan hendaklah sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan suami, apalagi menimbulkan mudarat baginya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jumlah nafkah itu juga harus disesuaikan dengan kedudukan isteri.6 Karena itu kemudian timbul perbedaan pendapat tentang kriteria nafkah wajib yang harus diberikan suami kepada istrinya. Imam Syafi'i menetapkan bahwa setiap hari, suami yang mampu, wajib membayar nafkah sebanyak 2 mudd (1.350 gram gandum/beras), suami yang kondisinya
5 6
145.
Depag RI, Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 946 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid II, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Waqaf, 1995, hlm.
62
menengah 1,5 mudd dan suami yang tidak mampu wajib membayarkan sebanyak 1 mudd (1,5 kg gram).7 Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syara, tetapi berdasarkan keadaan suami-istri keduaduanya, karena untuk menjaga kepentingan bersama, dan ini akan berbedabeda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Silang pendapat ini disebabkan karena ketidakjelasan nafkah, apakah disamakan dengan pemberian makan dalam kafarat8 atau dengan pemberian pakaian. Karena fuqaha sependapat bahwa pemberian pakaian itu tidak ada batasnya, sedang pemberian makanan itu ada batasnya.9 UU Perkawinan secara khusus tidak membicarakan masalah nafkah, namun apa yang dituntut ulama fiqh berkenaan dengan nafkah tersebut telah diakomodir UU Perkawinan yang tercakup dalam hak dan kewajiban suami istri. KHI juga tidak secara spesifik membicarakan nafkah. KHI secara panjang lebar mengatur hak dan kewajiban suami istri yang menguatkan, menegaskan, dan merinci apa yang dikehendaki oleh UU Perkawinan. Hampir keseluruhan aturan dalam KHI itu yang termuat dalam Pasal 77 sampai
7
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, tth, hlm. 95 8 Kifarat adalah bentuk sighah mubalaghah dari kata al-kufru yang berarti al-sitru (penutup). Yang dimaksud di sini adalah segala bentuk pekerjaan yang dapat mengampuni dan menutupi dosa sehingga tidak meninggalkan pengaruh/bekas yang menyebabkan adanya sanksi di dunia dan di akhirat. TM. Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan kifarat berarti menutup sesuatu, yang dikeluarkan atau diberikan untuk menutup dosa, seperti memerdekakan budak dan lain-lain (Lihat Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. hlm. 507-508. Lihat juga TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm 234). 9 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 41
63
dengan 82 mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang pada umumnya mengikuti paham jumhur ulama khususnya al-Syafi'iyah secara lengkap sebagai berikut: Bagian Kesatu Umum: Pasal 77 (1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (2) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain. (3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anakanak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya, dan pendidikan agamanya. (4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya. (5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
Pasal 78 (1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami istri bersama.
Bagian Kedua Kedudukan Suami Istri Pasal79 (1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga Kewajiban Suami
64
Pasal 80 (1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama. (2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi anak dan istri; dan c. biaya pendidikan bagi anak. (5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada Ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah adanya tamkin sempurna dari istrinya. (6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada Ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud Ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
Bagian Keempat Tempat Kediaman Pasal 81 (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah. (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan atau dalam iddah talak atau wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dari mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
65
2. Putusan
Pengadilan
Agama
Semarang
Nomor:
1135/Pdt.G/2007/PA.Sm a. mengabulkan permohonan pemohon b. menetapkan memberoi izin kepada pemohon (DRS. PRASETYO bin ABDURROCHIM) untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon ( MAUDY SCHEPPER binti J.N. SCHEPPER) dihadapan siding pengadilan agama semarang c. menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon o nafkah iddah sebesar: Rp.5000.000,-(lima juta rupiah) o mut’ah sebesar : Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah) o nafkah anak perbulan minimal sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu rupiah) dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sampai anak tersebut dewasa d. membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar 126.000,-(seratus dua puluh enam ribu rupiah). Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No.1135/Pdt,G/2007/PA.Sm., telah menetapkan kewajiban pada suami untuk memberi nafkah pada anak perbulan minimal sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu rupiah) dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sampai anak tersebut dewasa. Putusan ini sesuai dengan kewajiban seorang ayah dalam memelihara anak. Perceraian itu dibolehkan manakala ada alasan yang kuat dan dibenarkan syara. Namun masalahnya jika suami istri yang bercerai memiliki anak, siapakah yang berhak memelihara anak itu dan siapakah yang wajib memberi nafkah pada anak itu serta adakah sanksi hukum bagi pihak yang tidak memberi nafkah. Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadânah. Secara etimologis, hadânah ini berarti di samping atau berada di bawah ketiak. Sedangkan secara terminologisnya, hadânah merawat dan mendidik seseorang
66
yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.10 Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2) ayat 233:
G '8 - )% N % , $ N O % & ' 8 - 4
( & " OI 5 Q P /( 0 K I! O : 8& , (; 9 EF 6 N , ( . )( *+ T
H 3 U( V
( . B ; 6 I NP O ; SR < O )% N % )( 5 , W
X + 2 Y , Z 2 8 OJ [+ N % : 8& , (; C , I" H5 ! W
X + N O % ( &' 8 9
(^__ :S8` ) {^__} \P [ ; ) , & ,; 6 ] )I % ( , 6 ] ( Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. al-Baqarah: 233).11 10
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 415. 11 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama 1986, hlm. 57.
67
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.12 Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadânah, mendidik dan merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadânah ini menjadi hak orangtua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hak hadânah itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama, hadânah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah al-Zuhaily, hak hadanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.13 Hadânah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.14 Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut 12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm. 328. 13 Ibid., 14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1977, hlm. 235.
68
mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia lepas dari tanggung jawab orang tua.15 Dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan: Dalam hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya, sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, ia dapat
memilih
antara
ayah
atau
ibunya
untuk
bertindak
sebagai
pemeliharanya. 3. Putusan
Pengadilan
Agama
Semarang
Nomor
1203/Pdt.G/2007/PA.Sm a. mengabulkan permohonan pemohon sebagian b. memberi izin kepada pemohon (DRS. AL ZUNAEDI, MSI bin ACHMAD SARONI) untuk menjatuhkan talak satu roj’i kepada 15
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 263.
69
termohon (SRI LESTARI binti PARTO SUDARMO) didepan sidang pengadilan agama semarang. c. Menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon berupa: a. Mut’ah sebesar Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah) b. Nafkah iddah selama 3 bulan sebesar Rp.1.800.000,-(satu juta delapan ratus ribu rupiah) c. Nafkah kedua orang anak setiap bulan sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah) sampai kedua anak itu dewasa atau mandiri. Dalam Rekonpensi Menolak gugatan penggugat Dalam Konpensi dan Rekonpensi Membebankan kepada pemohon konpensi untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.186.000,-(seratus delapan puluh enam ribu rupiah) Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm., telah menetapkan kepada suami untuk memberi mut'ah sebesar RP. 20.000.000.,-(dua puluh juta rupiah). Dalam hukum Islam, apabila apabila suami menceraikan istrinya, maka itu berarti inisiatif perceraian datangnya dari suami yang kemudian disebut talaq. Karena perceraian itu atas kehendak suami maka suami memberi mut'ah yaitu pemberian barang kenangan-kenangan pada istri yang dicerai. Mengenai hukumnya mut'ah ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa pemberian untuk menyenangkan hati istri (mut'ah) tidak diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai. Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa mut'ah wajib untuk setiap istri yang dicerai. Segolongan fuqaha berpendapat bahwa mut'ah hanya disunatkan, tidak diwajibkan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Malik. Abu Hanifah berpendapat bahwa mut'ah
70
diwajibkan untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli, sedang suami belum menentukan maskawin untuknya.16 Imam Syafi'i berpendapat bahwa mut'ah diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dari pihak suami, kecuali istri yang telah ditentukan maskawin untuknya dan dicerai sebelum digauli. Jumhur ulama juga memegangi pendapat ini.17 Abu Hanifah beralasan dengan firman Allah:
)% 3 `E ,( Ic d 4 e , ( f ! 0 H5 C -gI -% J$ 8" $8 " &, + 0 & S2 ! ,+ 9,
(lm :i j$k ) X J ,
Artinya: orang-orang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menggaulinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya." (QS. al-Ahzab: 49).18 Maka Allah mensyaratkan mut'ah diberikan pada istri yang belum didukhul. Allah berfirman:
K [ + GJ
-8+ ' 8 + E 9, )% 3 `E ,( Ic )5
(^_n :S8` ) ' 8 + Artinya: Jika kamu menceraikan istri-istri sebelum kamu menggauli mereka, padahal kamu telah menentukan maskawin bagi mereka, maka bayarlah separuh dari maskawin yang telah kamu tentukan itu." (QS. al-Baqarah: 237).19
16
Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 73. 17 Ibid., hlm. 74. 18 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 672. 19 Ibid., hlm. 58.
71
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa istri tidak memperoleh mut'ah apabila telah ada penentuan maskawin dan talak terjadi sebelum ada pergaulan. Sebab, apabila pemberian maskawin untuk istri tidak wajib, tentu pemberian mut'ah untuknya lebih tidak wajib lagi. Menurut Ibnu Rusyd, pendapat ini sungguh membingungkan karena apabila maskawin belum ditetapkan untuknya, maka ditetapkanlah mut'ah sebagai penggantinya, dan apabila separuh maskawin dikembalikan dari tangan istri, maka tidak ditetapkan sesuatu pun untuknya.20 Mengenai firman Allah:
(^_@ :S8` ) B E 8 ( , ( . B E 7 " ,( . &
Artinya: Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)." (QS. al-Baqarah: 236).21 Imam Syafi'i mengartikan perintah tentang mut'ah pada ayat ini kepada keumuman orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maskawinnya dan diceraikan sebelum digauli. Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah memberikan mut'ah itu kepada keumumannya. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang memperoleh khulu' tidak memperoleh mut'ah, karena kedudukannya sebagai pihak yang memberi, seperti halnya wanita yang ditalak sebelum digauli sesudah ada penentuan maskawin. Dalam pada itu, fuqaha Zhahiri mengatakan bahwa khulu' adalah aturan syara', itu bisa yang memperoleh dan bisa memberi. Dalam 20 21
Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 74. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 58.
72
mengartikan perintah memberikan mut'ah itu "sunah". Malik beralasan dengan firman Allah pada akhir ayat tersebut, yaitu:
(^_@ :S8` ) o
9 f , ( . J] $
Artinya: Yang demikian itu merupakan ketentuan (kewajiban) bagi orangorang yang berbuat kebajikan." (QS. al-Baqarah: 236).22 Yakni bagi orang yang bermurah hati dalam berbuat baik, dan sesuatu hal yang termasuk dalam urusan kemurahan dan kebaikan hati tidak termasuk perkara yang wajib. Dalam Pasal 1 butir (i) Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditegaskan, mut'ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talaq berupa benda atau uang dan lainnya. Dalam Pasal 158 KHI dinyatakan, Mut'ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: (a) belum ditetapkan mahar bagi istri ba'da al-dukhul; (b) perceraian itu atas kehendak suami. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka mut'ah sunnat diberikan oleh bekas suami (Pasal 159 KHI). Besarnya mut'ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami (Pasal 160 KHI). Berdasarkan keterangan tersebut, maka perceraian dengan memberi mut'ah ini tidak memberatkan suami karena disesuaikan dengan kemampuan suami.
22
Ibid.,
73
B. Analisis Efektifitas Putusan Pengadilan Agama Semarang tentang Pembagian Gaji PNS terhadap Bekas Istri yang Diserahkan Kepada Instansi atau Atasan Terkait Pasca Perceraian Sebagaimana
penulis
paparkan
sebelumnya
pertimbangan-
pertimbangan yang digunakan majlis hakim dalam menetapkan putusan perkara tersebut diatas maka penulis akan memaparkan atau menganalisis pertimbangan hakim yang digunakan majlis hakim tentang pembagian gaji yang diserahkan pada instansi. Mengingat bahwa seorang pegawai negeri sipil (PNS) apabila melakukan perceraian dia sudah atau harus minta izin dengan atasan dimana dia bekerja, dan apabila perceraian itu terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya. Pembagian gaji yang dimaksud ialah sepertiga untuk pria (suami), sepertiga untuk bekas istri dan sepertiga untuk anak kalau memang mempunyai anak. Jika tidak memiliki anak maka istri mendapatkan bagian setengah. Lain halnya apabila yang meminta cerai adalah dari pihak istri, maka istri tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya. Akan tetapi apabila alasan istri meminta cerai karena tidak bersedia dimadu maka istri bisa meminta bagian gaji dari suami.23 Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983
yang
tersebut diatas maka pegawai negeri sipil tidak bisa seenaknya sendiri misalnya dalam hal perceraian. Jadi pertimbangan majlis hakim dalam hal pembagian gaji diserahkan pada instansi atau atasan karena yang lebih
23
Wipress, Peraturan pemerintah tentang PNS,wacana intelektual,2007, hlm.336-337
74
berwenang adalah atasan atau instansi terkait pasca perceraian mengingat sudah ada peraturannya sendiri bukan majlis hakim. Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara No.l 135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dan No.l203/Pdt.G/2007/PA.Sm., inti pertimbangannya menyatakan bahwa majlis hakim berpendapat bahwa masalah pembagian gaji tersebut adalah merupakan kewenangan instansi dimana pemohon bekerja dan majlis menyerahkan sepenuhya masalah ini kepada instansi tersebut untuk menyelesaikannya. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa majlis Hakim Pengadilan Agama Semarang tidak bersifat sombong meskipun tahu akan hukumnya namun majlis menyadari bahwa tentang penyelesaian pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas istri lebih tepat diserahkan pada atasan atau instansi terkait. Dari sini tampak bahwa majlis hakim sungguh-sungguh menghargai dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dalam pertimbangan hukum ini majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara No.l 135/Pdt.G/2007/PA.Sm, dan No.l203/Pdt.G/2007/PA.Sm., tampak telah mempertimbangkan dalil pemohon, bantahan, atau eksepsi dari termohon, serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada. Dari pertimbangan hukum hakim menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya gugatan itu. Di sinilah argumentasi majlis Hakim Pengadilan Agama
75
Semarang dipertaruhkan dalam mengonstatir segala peristiwa yang terjadi selama persidangan berlangsung. Setelah hal-hal tersebut di atas dipertimbangkan satu per satu secara kronologis, kemudian majlis Hakim Pengadilah Agama Semarang menulis dalil-dalil hukum syara' yang menjadi sandaran pertimbangannya. Demikian pula dalil yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis, pendapat para ulama yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Dalil-dalil tersebut disinkronkan satu dengan yang lain sehingga ada hubungan hukum dengan perkara yang disidangkan. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari putusan itu. Menurut keterangan Bapak Wahyu Setiaji Ismaryanto sebagai pemohon perkara No.405/pdt.G/2005/PA.Sm., menyatakan:
"Putusan
Pengadilan Agama Semarang yang menyerahkan pembagian gaji PNS terhadap bekas istrinya kepada atasan/instansi terkait pasca perceraian itu sudah tepat".24 Keterangan Bapak Wahyu Setiaji Ismaryanto di .atas menunjukkan Pengadilan Agama Semarang telah membuat putusan yang sesuai dengan keinginan pihak termohon dan pemohon. Dengan kata lain pemohon dan termohon tidak merasa dirugikan khususnya dalam aspek pembagian gaji Menurut
Ibu
Yulianti
Magdalena
sebagai
termohon
perkara
No.405/pdt.G/2005/PA.Sm., bahwa gaji suami PNS tersebut dipotong.25
24
Wawancara dengan Bapak Wahyu Setiaji Ismaryanto sebagai pemohon perkara No.405/pdt.G/2005/PA.Sm 05/pdt.G/2005/PA.Sm., tgl 8 Januari 2009. 25 Wawancara dengan Ibu Yulianti Magdalena sebagai termohon perkara No.405/pdt.G/2005/PA.Sm., tgl 9 Januari 2009
76
Pernyataan Ibu Yulianti Magdalena menganggap bahwa putusan Pengadilan Agama Semarang dapat memberi kepastian hukum sehingga termohon merasa dilindungi hukum terhadap hak-haknya sebagai mantan seorang istri. Keterangan dari bapak Drs. Prasetyo bin Abdurrochim sebagai pemohon perkara Nomor : 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., menuturkan: "saya sebagai PNS setuju dengan kebijakan instansi/atasan.26 Kebijakan instansi atau atasan yang bersifat adil dan tidak memberatkan sebelah pihak telah ditempuh instansi atau atasan Dirjen Pajak Jateng I, hal ini sebagaimana dikatakan salah seorang pegawai bagian Humas Dirjen Pajak Jateng I bahwa instansi telah mengambil kebijakan yang proposional dengan melihat dari berbagai aspek. Misalkan dilihat dari PNS tersebut telah berani bercerai dengan istri padahal dia notabenenya sebagai seorang PNS yang seharusnya dia disiplin hukum maka dia harus menerima konskensinya yaitu sesuai dengan undang-undang no 10 tahun 1983 yaitu tentang pembagian 1/3 gaji PNS terhadap bekas istri. Dengan adanya peraturan tersebut hak-hak istri terlindungi. Maudy Schepper binti J.N.Schepper sebagai termohon perkara Nomor: 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dalam penuturannya menyatakan bahwa mantan suami saya sebagai PNS telah melaksanakan dengan baik pembagian gaji terhadap bekas istrinya.27 Drs. al Zunaidi, MSI bin Achmad Saroni sebagai
26
Wawancara dengan bapak Drs. Prasetyo bin Abdurrochim sebagai pemohon perkara Nomor: 1135/Pdt.G/2007/PA,Sm., tgl 10 Januari 2009 27 Wawancara dengan Ibu Maudy Schepper binti J.N.Schepper sebagai termohon perkara Nomor: 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm.,tgl 11 Januari 2009
77
pemohon perkara Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm menerangkan bahwa "putusan Pengadilan Agama Semarang yang menyerahkan pembagian gaji PNS terhadap bekas istrinya kepada atasan/instansi terkait itu sudah tepat".28 Sri Lestari binti Parto Sudarmo sebagai Termohon perkara Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm.. i-nenjelaskan bahwa gaji suami PNS tersebut dipotong.29 Apabila memperhatikan perkara sebagaimana yang telah disebutkan diatas dalam hal ini putusan Pengadilan Agama Semarang dapat dijelaskan bahwa Pengadilan Agama Semarang telah mengambil putusan yang bukan saja mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum tetapi juga putusan itu mencerminkan sikap arifdan bijaksana. Karena Pengadilan Agama Semarang telah memberi dan melimpahakan masalah pembagian gaji kepada instansi atau atasan PNS itu bekerja. Tidak adanya sikap arogansi Pengadilan Agama Semarang mengandung arti majlis hakim menyadari akan wewenang dan pengetahuannya di bidang masalah pembagian gaji. Kenyataan menunjukkan tidak sedikit pengadilan yang merasa dirinya memiliki wewenang yang luas apalagi ada semboyan "hakim tahu akan hukumnya", sering kali pengadilan bersikap congkak dalam memutus perkara dengan hanya bertumpu pada undang-undang dan bersifat kaku tanpa memperdulikan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam
28
Wawancara dengan Bapak Drs. al Zunaidi, MS1 bin Achmad Saroni sebagai pemohon perkara Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm., tgl 12 Januari 2009 29 Wawancara dengan Ibu Sri Lestari binti Parto Sudarmo sebagai Termohon perkara Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm., tgl 13 Januari 2009
78
masyarakat. Berdasarkan hal itu kearifan Majlis Hakim Pengadilan Agama Semarang dapat dijadikan contoh atau setidaknya dapat dijadikan studi banding oleh pengadilan lainnya guna mendapatkan apresiasi dari masyarakat khususnya para pencari keadilan. Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan kaidah fiqh/ushul fiqh, maka penyelesaian pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas istri lebih diserahkan pada atasan atau instansi terkait pasca perceraian menjadi petunjuk bahwa majlis Hakim Pengadilan Agama Semarang sangat menghargai adat kebiasaan yang berkembang antara instansi pemerintah. Sedangkan adat kebiasaan itu boleh saja menjadi hukum, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh sebagai berikut:
GR , !I f
S N & Artinya: Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
G ! 1( G F kp ( 8 q ; r !$ 1( 8 q 8 ! - O Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat
cJ 8 t s 8 Y , ( +J8 : 8 & , ( Artinya: Yang baik itu menjadi 'urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat
v u ; w ;IU : 8 & (; w ;IU Artinya: Yang ditetapkan melalui 'urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau hadits).
79
. 6 + 7 8 - G q { .+ O 6 + 6 x ; ' O J y( z 8 Y ( 6 ; N 3{ : 8 & ( Artinya: Setiap yang datang dengannya syara secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara 'maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah kepada 'urf.
8 > 1 ) N D ;9( ) , ( ,0 | /(O 6 3 , f =gI : 8 & Artinya: 'urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum) hanyalah yang datang beriringan atau mendahului dan bukan yang datang kemudian.
Pertimbangan ini menunjukkan bahwa majlis Hakim Pengadilan Agama Semarang tidak bersifat sombong meskipun tahu akan hukumnya namun majlis menyadari bahwa tentang penyelesaian pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas istri lebih tepat diserahkan pada atasan atau instansi terkait. Dari sini tampak bahwa majlis hakim sungguh-sungguh menghargai dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan diatas, maka selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan dalam skripsi ini: 1. Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm., telah mewajibkan kepada seorang, suami memberi nafl
80
81
atas kehendak suami maka suami memberi mut'ah yaitu pemberian barang kenangan-kenangan pada istri yang dicerai. 2. Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara No.l 135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dan No.l203/Pdt.G/2007/PA.Sm., inti pertimbangannya menyatakan bahwa majlis hakim berpendapat bahwa masalah pembagian gaji tersebut adalah merupakan kewenangan instansi dimana pemohon bekerja dan majlis menyerahkan sepenuhya masalah ini kepada instansi tersebut, untuk menyelesaikannya. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa majlis Hakim Pengadilan Agama Semarang tidak bersifat sombong meskipun tahu akan hukumnya namun majlis menyadari bahwa tentang penyelesaian pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas istri lebih tepat diserahkan pada atasan atau instansi terkait. Dari sini tampak bahwa majlis hakim sungguh-sungguh menghargai dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. B. Saran Setelah penulis paparkan dari awal sampai akhir perkenankanlah penulis menyampaikan saran-saran, yaitu sebagai berikut: 1. Seorang hakim harus mempunyai dasar dalam hal memutuskan perkara 2. Hakim harus mempunyai sifat netral agar antara kedua belah pihak merasa tidak dirugikan 3. Dalam memutuskan perkara hakim harus benar-benar memahami permasalahan yang ada
82
4. Apabila hakim dalam memutuskan perkara mengalami kebingungan, maka hakim dianjurkan melakukan ijtihad atau musyawarah majlis hakim untuk mengambil jalan yang terbaik. C. Penutup Syukur alkhamdulillah penulis panjatkan kehadirat allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayahnya kepada penulis sehingga penulis bisa menyusun skripsi ini. Penulis sadar akan kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan skripsi tersebut maka penulis mohon kritik dan saran pada pembaca yang budiman demi kesempurnaan skripsi tersebut. Penulis berdo’a dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pada pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, Ibrahim, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Audah, Abduk Kadir, Islam dan Perundang-Undangan, Jakarta: PT.Bulan Bintang tt. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, UUI Press, Yogyakarta, 1999. Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993. Effendy, Pokok-Pokok Hukum Adat Jilid II, Semarang: Triadan jaya, 1994. Hakim, Rahmat, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978. Harun, Harmon, Himpunan UU Kepegawaian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002-2004. Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth. Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986. Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1972. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998. Moloeng, Lexy j., Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet.IV, Bandung: Remaja Rosda Karya. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1981. Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth. Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994. Saleh, K. Wancik, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Santoso, Aman, Metode Penelitian Hukum Normative dan Sosiologis dengan Analisa Kualitatif, Semarang: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 2003. Soekanto, Soerjono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1982. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1982. Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981. Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: CV. Rajawali, 1999. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006. Syaukani, Imam, Nail al–Autar, Juz IV, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, tth. Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar, " Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998. Wipress, Peraturan pemerintah tentang PNS,wacana intelektual,2007. Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet. 12, 1990. --------,
Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973.
Yayasan
Penyelenggara