Published: March 2016
ISSN: 2502–8634
Volume 1, Number 2
LSC INSIGHTS The Contemporary Policy Issues in Indonesia
PENYELESAIAN MASALAH PAPUA: PERLUNYA PENDEKATAN KOMPREHENSIF Bustanul Arifin Department of International Relations, Leeds Beckett University
Ringkasan Eksekutif Pada tulisan ini, Bustanul Arifin memberikan peta jalan untuk rekonsiliasi konflik di Papua dengan menganatomi peta konfliknya, belajar dari masalah Aceh. Ia menawarkan lima langkah strategis, yaitu (1) perlunya mediator independen; (2) pendekatan kepada semua kelompok; (3) seruan perdamaian kepada tokoh lokal; (4) fokus pada pembangunan ekonomi lokal; dan (5) perbaikan kualitas pendidikan.
www.policyreview.id
Pendahuluan Konflik Papua telah menjadi seperti bara api yang belum terpadamkan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terakhir, konflik serupa di Aceh yang memakan waktu tiga dekade telah berhasil diselesaikan dengan lahirnya Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005. Oleh karena itu, konflik Papua adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus segera diselesai oleh pemerintah Jokowi karena konflik Papua telah berlarut-larut selama 50 tahun. Konflik Papua yang lahir sejak tahun 1965 dengan terbentuknya Organisasi Papua Merdeka (OPM) jauh lebih tua dibandingkan konflik di Aceh yang muncul tahun 1976 yang didirikan oleh Hasan Tiro. Ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi telah menjadi faktor utama pemberontakan di tanah Papua terhadap pemerintah Indonesia. Hal itu juga pernah diungkapkan oleh Jusuf Kalla pada 12 Desember 2014 lalu bahwa penyebab konflik di Papua adalah masalah sosial yang berhubungan dengan ekonomi. Akan tetapi, itu bukan hal baru di Indonesia. Konflik Aceh juga lahir dari hal yang sama ketika ekploitasi gas alam besar-besaran oleh PT. Arun LNG di Lhokseumawe – yang merupakan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara ketika itu— tidak dapat memberikan suatu kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Malah pemerintah lokal hanya bisa menonton sumber daya alamnya diambil. Hal yang sama juga dirasakan oleh rakyat Papua ketika mereka hanya bisa menonton dilayar televisi bagaimana rakyat pulau Jawa menikmati indah dan canggihya infratruktur, pendidikan, pelayanan publik dan kesehatan.
Kompleksitas Problem Permasalah di Papua adalah seperti masalah klasik yang harus kembali diseriuskan. Konflik ini telah muncul sejak presiden Soekarno dan belum terselesaikan sampai sekarang. Penduduk di tanah Papua yang sampai sekarang masih disebut sebagai rakyat dari negara Indonesia merasa seperti cinta yang sedang digantungkan. Harapan dan kejelasan keamanan untuk kehidupan anak cucu mereka masih digantung-gantungkan oleh pemerintah Indonesia tanpa tahu kapan mereka akan menikmati kedamaian dan pembagunan, entah dimasa hidup mereka sekarang atau tidak sampai anak cucu mereka. Padahal Indonesia telah belajar banyak dari konflik di Aceh, namun progress terhadap penyelesaian konflik di Papua masih belum jelas sampai hari ini. Pendekatan yang lebih komprehensif dari pemerintah Indonesia sangat dibutuhkan sekarang. Presiden Jokowi sudah pernah mengutarakan niat serius untuk menyelesaikan konflik di Papua dan itu diikuti dengan langkah membebaskan beberapa tahanan politik dari Papua pada awal tahun 2015. Namun sampai hari ini 1
permasalahan pemerintah Indonesia dengan kelompok separatis belum tuntas sehingga masih ada ketidakpastian keamanan bagi sebagian masyarakat di Papua karena kelompok OPM masih aktif. Aceh dan Papua: Apa yang Berbeda? Memang permasalahan di Papua jauh lebih kompleks dibandingkan dengan konflik di Aceh. Pertama, banyaknya kubu OPM yang muncul sekarang karena OPM sudah pecah kedalam beberapa kubu. Sedangkan GAM memiliki satu alur komando yang jelas mulai dari Hasan Tiro sampai ke pimpinan di level desa, sehingga ketika pimpinan tertinggi GAM bisa dinegosiasikan, maka para pemberontak di level bawah akan mengikuti arahan dari pimpinan komando. Jadi akan sulit memang, kubu OPM mana yang harus dinegosiasi oleh pemerintah Indonesia. Ketika satu kelompok bisa di ajak untuk berdialog belum tentu kelompok lain setuju. Dan setiap kelompok bisa jadi memiliki perbedaan kepentingan. Kedua, di Aceh tidak ada suku sebanyak di Papua dan tidak mengadopsi sistem adat yang seperti di Papua. Di Papua sesama suku adat ada muncul perbedaan dan sering berselisih. Sehingga ketika OPM bisa di ajak bicara belum tentu para suku adat setuju karena ada perbedaan pandangan serta gengsi sesama suku yang menganggap anggota dari OPM ada yang bagian dari suku tertentu. Namun, upaya penyelesaian konflik harus tetap ditingkatkan demi terwujudnya kepastian keamanan yang berkelanjutan bagi rakyat Papua dan juga demi integritas Republik Indonesia.
Lima Langkah Strategis Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam melakukan rekonsiliasi dan resolusi konflik di Papua. Pertama, mengajak mediator independen untuk membantu pemerintah bernegosiasi dengan kelompok OPM. Kehadiran sebuah mediator menjadi sangat penting untuk menjembatani komunikasi antar kubu. Lalu kehadiran mediator asing sangat perlu dikarenakan sudah tidak ada mutual trust (saling percaya) antara kelompok separatis dan pemerintah Indonesia. Pihak separatis di Papua sudah tidak mempercayai lagi mediator dalam negeri karena mereka akan curiga bahwa mediator lokal bisa dipengaruhi oleh pemerintah Indonesia. Alternatifnya, pemerintah bisa menggunakan mediator yang memiliki kredibilitas yang lebih fair, baik dalam skala domestik atau internasional. Hal ini sebetulnya sama seperti yang terjadi dengan kasus GAM di Aceh. Perjanjian perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan GAM di mediatori oleh Crisis Management Initiative (CMI) dari Finlandia. Pemerintah Indonesia sudah mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh CMI, Martti Ahtisaari, ketika ia menjabat Presiden Finlandia melalui kerja sama kedua negara dan juga sudah mengetahui 2
reputasi tokoh CMI, sehingga bisa memudahkan dalam proses rekonsiliasi di Aceh. Oleh karena itu, bercermin pada pengalaman ini, pemerintah Indonesia bisa mengajak mediator independen untuk membantu pemerintah menyelesaikan konflik di Papua. Kedua, akan lebih baik jika pemerintah Indonesia melakukan pendekatan terhadap semua kubu yang bertikai. Hal ini bisa jadi akan cukup berat karena akan menguras banyak energi. Namun, setidaknya, persoalan menjadi tidak berlarut-larut. Pemerintah Indonesia harus membangun komunikasi dengan para pimpinan OPM dari semua kubu sehingga pemerintah dapat memahami permintaan dan perbedaan dari setiap kubu. Sehingga, pemerintah bisa mempertimbangkan strategi yang bisa dilakukan untuk mengajukan proposal perdamaian dengan para OPM. Dari titik tersebut, pemerintah akan bisa melakukan penyesuaian dalam pendekatan terhadap konflik Papua ini. Ketiga, mengajak para tokoh lokal di Papua untuk menyerukan perdamaian demi masa depan anak-anak Papua. Para tokoh lokal akan mempunyai pengaruh yang sangat besar karena rakyat Papua menganut hukum adat yang kuat sehingga mereka sangat menghormati para tokoh agama dan sosial disana. Pendekatan harus dilakukan terhadap mereka dan juga harus ada sosialisasi dari pemerintah mengenai perlunya penyelesaian konflik, sehingga para tokoh lokal bisa diajak untuk menyuarakan perdamaian dan berkomunikasi denga para OPM. Keempat, memfokuskan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat Papua seperti yang sudah diutarakan oleh presiden Jokowi. Tinggal sekarang sejauh mana realisasi dilapangan. Langkah itu harus dipercepat demi munculnya kepercayaan dari publik Papua terhadap pemerintahan baru sekarang. Pemerintah pusat tidak boleh hanya mengandalkan pemerintah lokal dengan dana otsus yang sudah diberikan. Pemerintah pusat harus memberikan suatu porsi khusus secara nasional dalam kegiatan pembagunan Papua seperti pembaguan infrastruktur, karena pihak swasta akan sangat sulit masuk ke Papua karena nilai komersialnya sangat rendah bagi pelaku bisnis. Oleh karena itu pemerintah pusat harus turun tangan langsung dalam membangun infratruktur besar seperti bandara, pelabuhan, jala raya, kereta api, sekolah, rumah sakit dan infratruktur krusial lainnya. Dana otsus yang sudah dikucurkan masih belum mampu mendorong pembangunan yang signifikan, sehingga kalau pemerintah ingin memacu pertumbuhan yang lebih besar harus mau terlibat langsung dengan menggarap proyek infrastuktur nasional di Papua. Sehingga bisa memperkecil masalah sosial khususnya ekonomi rakyat disana. Kelima, memperbaiki kualitas pendidikan bagi generasi penerus bangsa yang ada di tanah Papua. Senjata yang paling ampuh dalam membangun nilai kebangsaan diantara anak-anak Papua adalah dengan pendidikan mereka. Serta 3
pendidikan menjadi lokomotif utama untuk merubah nasib kesejahteraan dan pembagunan Papua. Pendidikan merupakan senjata utama untuk merubah nasib ketertinggalan anak-anak Papua dan pendidikan akan mampu berperan penting dalam memberikan dan menjaga nilai-nilai perdamaian yang berkelanjutan bagi anak-anak Papua.
Catatan Akhir Pendekatan yang serius dan komprehensif sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik di Papua. Permasalahan di tanah Papua haruslah segera diselesaikan demi anak-anak bangsa disana supaya tidak tertinggal terlalu jauh dibandingkan dengan anak-anak Indonesia di pulau lain. Pemerintah juga harus meninggalkan pendekatan “hard power” dengan mengandalkan kekuatan militer di tanah Papua. Akan tetapi, pendekatan “soft power” dengan menggunakan pendekatan yang lebih persuasif seperti negosiasi dan dialog harus diutamakan dan di pasang di ujung tombak untuk menyelesaikan konflik. Karena pendekatan hard power tidak akan pernah efektif terhadap konflik domestik dan itu sudah terbukti di Aceh dimana hanya “soft power approach” yang bisa menyelesaikan konflik pada akhirnya.
Bustanul Arifin adalah Mahasiswa MA International Relations di Leeds Beckett University dan Koordinator Lingkar Studi Cendekia UK. Ia berasal dari Aceh dan menempuh studi sarjananya di President University, Jakarta. Kajiannya berada di bidang resolusi konflik dan perdamaian.
4