CATATAN ATAS INPRES NOMOR 4 TAHUN 2001 Tentang LANGKAH-LANGKAH KOMPREHENSIF DALAM RANGKA PENYELESAIAN MASALAH ACEH I.
Pendahuluan Berlawanan dengan langkah dialog dan perundingan untuk mencari solusi masalah Aceh yang dilakukan oleh Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka, Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2001 tentang Langkah-langkah Komprehensif Dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh. Langkah komprehensif ini mengatur kewenangan Wakil Presiden, 17 orang menteri yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial dan Keamanan serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang melibatkan pula Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kabakin, Gubernur dan para Bupati serta Walikota di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memandang inpres ini adalah suatu kesalahan dan upaya terburu-buru Pemerintah dalam menangani persoalan Aceh, karena selama ini sedang dibangun upaya dialog antara Pemerintah RI dan GAM. Timbul pula keraguan yang besar apakah Pemerintah mampu melaksanakan kebijakan komprehensif tersebut mengingat tidak pernah tuntasnya upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi selama ini. Kekhawatiran terbesar adalah dijadikannya inpres ini sebagai payung untuk operasi kekerasan yang lebih besar di Aceh.
II. Bacaan Kritis Terhadap Inpres Nomor 4 Tahun 2001 A. Dasar Filosofis dan Sosiologis Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk Inpres Nomor 4 Tahun 2001 ini. Bahan-bahan pertimbangan ini dimuat dalam konsiderans Menimbang. Dari sini dapat dilihat dasar filosofis dan sosiologis yang mendasari dan melatarbelakangi terbitnya inpres ini. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), mengkritisi beberapa kelemahan mendasar atas pertimbangan-pertimbangan itu, yaitu: 1. Identifikasi Atas Persoalan Aceh Pemerintah menganggap permasalahan fundamental yang mendasari persoalan Aceh adalah: (1) terjadinya ketidakpuasan masyarakat dan (2) adanya gerakan separatis bersenjata. Berdasarkan identifikasi persoalan demikian kemudian pemerintah merancang “penanganan secara bijak, cermat, menyeluruh dan terpadu”. Dari identifikasi ini dapat dilihat bahwa Pemerintah berpandangan kondisi psikologis yang mendasari persoalan ada yang bersifat sosiologis ekonomis semata yaitu ketidakpuasan yang 1
timbul karena persoalan-persoalan sosial ekonomi, sedangkan sebagian lain lebih bersifat ideologis yaitu separatisme bersenjata. Hal ini menafikan fakta adanya kelompok ketiga yaitu korban dan keluarga korban kekerasan yang, setelah menilai penanganan pemerintah terhadap keluhan dan permasalahan mereka ditambah kekerasan yang terus menerus terjadi, juga punya alasan psikologisideologis sendiri untuk tidak percaya lagi, dan cenderung menjurus pada ikut melakukan pembangkangan, terhadap negara. Ditambah lagi sekalipun mungkin ada sebagian masyarakat yang semula hanya mengadakan pembangkangan kepada negara karena soalsoal ekonomi sosial, namun penanganan dengan kekerasan oleh negara dalam waktu yang lama telah membuat perlawanan itu menjadi ideologis juga. Di lain pihak, tumbuhnya kelompok masyarakat baru yang notabene berasal dari luar wilayah konflik, bukan korban kekerasan, hidup berkecukupan dan secara politik tidak pernah mengungkapkan dukungan kepada Gerakan Aceh Merdeka, namun memiliki sikap politik yang cenderung setuju pada separatisme adalah juga fenomena yang seharusnya tidak diabaikan oleh pemerintah. Mereka setuju pada separatisme karena (1) menganggap separatisme adalah solusi komprehensif untuk seluruh soal Aceh, (2) mereka tidak percaya bahwa pendekatan apapun yang dilakukan pemerintah untuk soal Aceh adalah pendekatan yang jujur dan adil setelah mereka berkali-kali melihat sendiri proses penegakan hukum terhadap para pelanggar HAM dan pendekatan rehabilitasi yang cenderung “kosmetik” serta inkonsistensi pemerintah terhadap kepentingan rakyat Aceh secara umum, serta (3) percaya bahwa kondisi aktual-psikologis rakyat Aceh telah “tiba di titik yang tak bisa kembali lagi” dan karena itu untuk meminimalisasi harga sosial (social cost), dari perlawanan yang tidak akan pernah berakhir versus kekukuhan negara pada NKRI, maka separatisme adalah satu-satunya solusi. KontraS sendiri melihat bahwa penyebab persoalan yang lebih substansial selain ketiga sebab tersebut adalah (1) kebijakan represif dengan melakukan tindak kekerasan oleh negara dalam skala massif dan dalam waktu lama dan (2) pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang diabaikan dan bahkan cenderung dilindungi (circle of impunity). Hal-hal seperti ini tidak dibaca atau diabaikan dengan sengaja oleh pemerintah, sesuatu yang akan mengancam efektivitas dan efesiensi inpres ini jika diberlakukan nantinya. 2. Proses Delegitimasi Pendekatan Dialog dan Legitimasi Pendekatan Kekerasan Pemerintah menganggap bahwa upaya menyelesaikan masalah Aceh melalui pendekatan persuasif dan dialog dengan GAM di dalam dan di luar negeri belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah 2
mengambil kesimpulan bahwa upaya perundingan yang selama ini dilakukan telah gagal sehingga pencarian solusi dengan jalan dialog dan persuasif sudah boleh dihentikan serta pendekatan kekerasan sudah saatnya kembali dilakukan. Sesungguhnya berbagai upaya yang telah dicoba, baik melalui Jeda Kemanusiaan dan Moratorium Kekerasan, walaupun tidak banyak menghentikan tindak kekerasan namun dapat dijadikan batu loncatan agar pendekatan melalui jalan perundingan dapat terus disempurnakan. 3. Disinformasi Situasi dan Justifikasi Pendekatan Kekerasan Pemerintah juga menganggap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat di Aceh telah mengakibatkan keresahan yang luas dalam masyarakat dan karena kepentingan pemerintah adalah kestabilan kondisi keamanan yang menjadi prasyarat pembangunan maka kondisi tidak aman itu telah mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan. Pernyataan ini telah menempatkan pemerintah dalam posisi yang tidak bersalah sama sekali terhadap konflik yang ada di Aceh pada saat ini. Padahal pemerintah melalu aparatusnya menyumbang andil amat besar terhadap keresahan yang terjadi di masyarakat. Keresahan itu sendiri pada dasarnya merupakan akibat dari polapola pendekatan keamanan yang represif serta tidak adanya jaminan keamanan bagi warga negara. Kondisi ini telah berlangsung sejak Daerah Operasi Militer diberlakukan hingga sekarang. Artinya gangguan atas jalannya pemerintahan dan pembangunan tidak terjadi semata-mata saja karena adanya aspek gerakan separatis bersenjata, tetapi juga akibat penerapan kebijakan pendekatan militeristik. Rakyat Aceh justru merasa tidak aman jika di sekitar mereka terlihat pergerakan pasukan militer dan/atau polisi. 4. Pendiskreditan GAM Dalam pertimbangan berikutnya pemerintah menyatakan bahwa sebagai sumber gangguan keamanan, gerakan separatis telah berbuat sedemikian rupa sehingga perlu pendekatan khusus. Hal ini adalah pendiskreditan terhadap GAM sebagai gerakan separatis, semata-mata sebagai pembuat kekacauan. Ini memperjelas pokok pikiran sebelumnya bahwa yang harus disalahkan semata-mata hanya GAM dan bukan pemerintah dan aparatusnya. Lebih lanjut ditegaskan perlunya “pendekatan khusus” terhadap GAM yang jika dirangkaikan dengan tuduhan sebagai pengganggu keamananan maka tindakan khusus itu tidak dapat diartikan lain selain “ditumpas sampai habis”. Ini berkebalikan dari tindakan pemerintah sebelumnya yang memandang GAM sebagai entitas perlawanan rakyat dalam negara yang diakui keberadaanya sehingga telah diajak berunding oleh Pemerintah RI. Dan seharusnya sebagaimana dalam perundingan 3
yang sah dan adil para pihak berada dalam kedudukan yang setara, namun pokok pikiran ini tidak melihatnya demikian, GAM tidak lagi sebagai entitas yang dipandang sebagai partner berunding tapi semata-mata kelompok yang menganggu keamanan dan karenanya harus ditumpas. Melalui inpres ini sekali lagi unsur keamanan diinstruksikan untuk melakuan serangkaian tindakan fisik di lapangan. Bila dibandingkan dengan pengalaman selama ini maka bukan tidak mungkin akan terulang lagi jatuhnya korban dikalangan sipil. Dan berkebalikan dengan maksud ideal untuk menuju penyelesaian, hal ini malah akan kontraproduktif karena tentu akan menjadi bahan bakar baru bagi pementahan atau pengingkaran oleh GAM sendiri, pihak yang berseberangan dengan pemerintah. 5. Klaim Dukungan Politik dan Non Partisipatif Salah satu pertimbangan yang memberikan keberanian kepada pemerintah untuk mengeluarkan inpres ini adalah adanya dukungan politik dari parlemen. Inpres ini telah mendapat persetujuan dari Sidang Kabinet tanggal 12 Maret 2001, dan Dewan Perwakilan Rakyat pada 28 Maret 2001 serta Dewan Pertimbangan Agung pada 30 Maret 2001. Dari sini jelas terlihat bahwa militer atau siapapun yang menjadi penggagas atau pihak yang paling berkepentingan terhadap inpres ini membutuhkan legitimasi politik dan moral dari segenap pihak yang mungkin. Mereka tidak ingin disalahkan dan dituntut pertanggungjawaban sendirian sebagaimana telah terjadi pada keputusan penerapan status Daerah Operasi Militer (1989 – 1998), pada masa itu tidak ada dukungan politik secara terbuka sehingga ketika DOM dicabut pada akhir 1998 tuntutan pertanggungjawaban terhadap TNI (ketika itu ABRI) amat kuat. Adanya dukungan DPR terhadap inpres ini menunjukkan ketidakpekaan DPR pada persoalan Aceh dan terjebaknya DPR pada paradigma yang dibangun pemerintah sebagaimana telah diuraikan dalam poin-poin sebelumnya. Tanpa disadari oleh DPR dukungan ini telah membuat pemerintah dan pihak militer sebagai pelaksananya dapat menggunakan DPR sendiri sebagai tameng dari tuntutan pertanggungjawaban. Jika DPR sebagai lembaga pengawasan kinerja pemerintahan melakukan tindakan kontrol jika terjadi penyimpangan di lapangan, pemerintah bisa membalikkan penyalahan (blamming) itu ke DPR sendiri. Dari perspektif penegakan hukum dan HAM jelas dukungan ini berpotensi sebagai mata rantai yang amat penting dalam lingkaran impunitas (circle of impunity) nantinya jika pertanggungjawaban dituntut. Sisi lain yang patut diperhatikan adalah rendahnya partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan untuk menyepakati inpres ini. Wacana publik sepenuhnya diabaikan oleh DPR ketika dukungan 4
politik ini diberikan. DPR tidak pernah melakukan tindakan dengar pendapat dengan kalangan rakyat banyak sebelum memberikan persetujuannya, dan bahkan tidak memperhatikan suara rakyat Aceh yang akan menjadi korban jika inpres ini berlaku nantinya. Padahal sebelumnya amat kuat desakan dari rakyat Aceh untuk tidak keluarnya inpres ini. 6. Tiadanya Perspektif HAM Upaya penyelesaian kasus Aceh yang direncanakan akan dilakukan meliputi langkah-langkah komprehensif yang meliputi 6 bidang, yakni bidang politik, ekonomi, sosial, hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan serta informasi dan dokumentasi. Inpres ini tidak menyebut sedikitpun penegakan dan perlindungan HAM, padahal jelas inpres ini sendiri berpotensi untuk menjadi fundamen bagi pelanggaran HAM dalam praktiknya kelak. Apalagi jika dilihat selama ini telah terjadi pelanggaran HAM di Aceh, baik semasa DOM, pasca DOM maupun masa Jeda Kemanusiaan dan masa Moratorium. Sebagaimana terlihat kemudian dalam batang tubuhnya, inpres ini sama sekali tidak menyebut suatu rencana terstruktur dan sistematis untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini terjadi atau jika kelak terjadi di bawah lindungan inpres ini, padahal tuntutan masyarakat agar pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu sangat kuat. Dalam Inpres ini jelas terlihat tidak adanya keinginan politik (political will) dari negara cq pemerintah untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara komprehensif dari mulai menyelesaikan persoalan HAM. B. Dasar Yuridis Dari berbagai sumber hukum yang dijadikan pijakan yuridis untuk keluarnya inpres ini sebagaimana dimuat dalam konsiderans Mengingat maka secara umum dapat dianalisis bahwa inpres ini menggunakan beberapa paradigma yuridis sebagai berikut: 1. Paradigma Negara Kesatuan Quasi-Desentralisasi Inpres ini mengambil dasar hukum pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 30 ayat (3) dan (4) Perubahan Kedua UUD 1945, Tap MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentan Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Seluruh peraturan yang dijadikan dasar hukum itu menganut paradigma yang mendukung pada negara kesatuan yang integralistik, dengan tekanan pada kewenangan negara untuk melakukan segenap upaya dengan kekuasaan dan perangkat yang ada padanya untuk menjaga integrasi wilayah teritorial, jika perlu dengan kekerasan. 5
Ketidakjelasan dan kesemrawutan seputar posisi dan kewenangan otonom pemerintahan daerah telah menempatkan negara dalam hal ini pemerintah pusat sebagai kekuatan sentralistik, sekalipun tema dan wacana desentralisasi didengungdengungkan. Pada praktiknya daerah, yang sekalipun diakui sebagai daerah otonom, akan sulit dan bahkan hampir mustahil melaksanakan hak-hak otonomnya secara bebas. Besarnya kepentingan kekuatan-kekuatan yang mengendalikan pemerintah pusat serta struktur kekuasaan yang ada saat ini telah membuat implementasi otonomi daerah adalah muskil. Dengan demikian posisi pemerintah daerah Aceh dalam inpres ini tidak lebih dari semata-mata pesuruh pemerintah pusat dan kekuatan-kekuatan yang mengendalikannya. Keputusan-keputusan strategis tetap saja ada pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya akan jadi pelaksana kegiatan semata. 2. Paradigma Militeristik Selanjutnya inpres ini juga mengambil dasar yuridis pada Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Indonesia, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer. Seluruh peraturan yang dijadikan dasar hukum ini memberikan legitimasi kepada militer dan kepolisian sebagai aparatus koersif untuk menggunakan kekerasan atas nama negara kesatuan. Dalam konteks kekuatan militer Indonesia yang masih merasa lepas dari pengawasan (impunity) serta kekuatan kepolisian yang militeristik dan merasa lepas dari rakyat sipil, yang seharusnya menjadi akar kekuatan kepolisian di negara-negara demokrasi, inpres ini amat mengkhawatirkan akan dijadikan sebagai dasar bagi penggunakan kekerasan secara massif di Aceh dalam masa-masa selanjutnya. 3. Penafian Terhadap Kesepakatan RI – GAM Hal yang paling mencolok dari inpres ini adalah tidak dicantumkannya, bahkan dinafikannya, dokumen-dokumen hasil perundingan Pemerintah RI dan GAM baik pada tataran ide, maupun ketentuan yuridis kesepakatan itu. Padahal jelas hasil kesepakatan Jeda Kemanusiaan dan kesepakatan-kesepakatan pelaksananya terkait erat dengan aspek-aspek yang diatur oleh inpres ini. Hal-hal seperti pengaturan keamanan dan rehabilitasi sosial telah diatur dan disepakati dalam Jeda Kemanusiaan namun diabaikan begitu saja oleh inpres ini. C. Analisis Tekstual dan Kontekstual Pasal Demi Pasal Dari pencermatan aturan pasal demi pasal dan membandingkan dengan pengalaman di masa lalu serta situasi kondisi Aceh saat ini 6
maka analisis ini mengidentifikasi beberapa hal yang menjadi persoalan manakala inpres ini diberlakukan di lapangan nantinya. Kritik diajukan pada aspek-aspek kritis yang telah diuji dari pengalaman di masa lalu dan prediksi penerapannya di masa datang. 1. Instruksi Pertama + Keduapuluh: Kewenangan Wakil Presiden dan Pertanggung-jawaban Presiden Inpres ini memberikan kewenangan kepada Wakil Presiden RI (Wapres) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan langkah-langkah terpadu dan komprehensif di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat serta bidang informasi dan komunikasi dalam rangka mendukung penyelesaian masalah Aceh. Wapres diberi pula kewajiban untuk melaporkan semua langkah yang akan, sedang dan telah dilaksanakan kepada Presiden. Ketentuan ini memberi kewenangan penuh kepada wapres untuk merencanakan dan melaksanakan seluruh pendekatan komprehensif itu, sementara kewajibannya hanyalah melapor pada presiden. Sebaliknya jelas terlihat bahwa posisi presiden adalah penanggung jawab keseluruhan proses tersebut. Ini berarti jika kelak terjadi penyimpangan atau ekses negatif maka presidenlah yang harus bertanggungjawab. 2. Instruksi Kedua: Keterlibatan Masyarakat Hal penting dalam instruksi kedua ini adalah disebut-sebutnya idiom “melibatkan masyarakat” dalam langkah-langkah di bidang politik, sosial, hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat serta bidang informasi dan komunikasi yang dikoordinir oleh Menko Polsoskam. Pertanyaannya adalah siapa masyarakat yang akan dilibatkan itu, hal ini penting mengingat proses keluarnya inpres ini yang rendah partisipasi. Jika keterlibatan DPR dan/atau DPRD sebagai jawabannya, maka jelas sifat anti partisipasi inpres ini juga terulang lagi dalam pelaksanaannya. Bahkan sekalipun ada kelompok masyarakat sipil yang diikutkan persoalan partisipasi ini masih tetap rentan untuk dipertanyakan, dalam masyarakat dan iklim politik yang rentan penggalangan dan mobilisasi maka keterlibatan masyarakat secara bebas dan murni sungguh amat jarang terjadi. Menjadi suatu pertanyaan tersendiri ketika pemerintah harus menentukan masyarakat yang mana yang akan dilibatkan? Apakah keterlibatan masyarakat itu harus mewakili kelompok tertentu atau hanya elite birokrat yang notabene selalu mendukung kebijakan yang dikeluarkan pemerintah RI. Artinya keterlibatan masyarakat itu harus mewakili seluruh lapisan dan tidak hanya bersifat sebagai pengikut, tetapi bagian dari penentu kebijakan yang akan dikeluarkan. Dari pengalaman sejarah bukan tidak mungkin pelibatan rakyat ini dilakukan secara paksa atau menempatkan anggota 7
rakyat Aceh dalam posisi yang mengancam keselamatan jiwa dan kepentingannya. Operasi keamanan yang menempatkan rakyat sebagai bagian dari sweeper adalah salah satu bentuk keterlibatan yang jelas-jelas negatif namun terjadi di masa lalu. Dalam operasioperasi seperti ini rakyat sipil diajak dan dipaksa untuk ikut dalam pencarian anggota gerakan separatis, tindakan ini tentu saja membahayakan keselamatan jiwa anggota rakyat sipil tersebut. Selanjutnya dalam tahap apakah pelibatan itu dilakukan dari tahap-tahap perencanana, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Paling tidak pada tahap perancangan peraturan rakyat tidak dilibatkan, dikhawatirkan dalam tahap selanjutnya juga demikian adanya. Sekalipun nantinya ada kelompok-kelompok rakyat yang melakukan pengawasan dan evaluasi maka hampir dapat dipastikan itu adalah inisiatif kelompok itu sendiri yang sayangnya hasilnya kerap kali ditolak kesahihannya jika dikonfrontir dengan pelaksana. 3. Instruksi Ketiga + Ketujuh: Pembangunan Ekonomi di Tengah Ancaman Keamanan dan Korupsi Menko Perekonomian mendapat tugas untuk mengkoordinir langkah-langkah terpadu dan komprehensif dalam bidang ekonomi dengan fokus pada konkritisasi percepatan pembangunan di sektor pertanian, pembangunan infrastruktur perekonomian dan perluasan lapangan kerja. Keseluruhan langkah ekonomi ini dilakukan untuk menyelesaikan msalah Aceh secara lintas sektoral dan melibatkan masyarakat. Beban yang demikian besar dan waktu pelaksanaan yang demikian pendek sungguh menimbulkan pertanyaan bagaimana hal itu bisa terlaksana. Bahkan dalam masa-masa normal sekalipun pemulihan keadaan ekonomi dan sosial hanya dapat dilakukankan melalui masa yang cukup panjang. Apalagi bidang ini menuntut prasyarat keamanan yang harus dituntaskan terlebih dahulu. Pengalaman dari upaya-upaya di bidang yang sama pada masa-masa sebelumnya menunjukkan bahwa segala yang telah dibangun akan sia-sia jika kondisi keamanan tidak diperhatikan. Rumah dan bangunan yang dibangun kembali oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari program rehabilitasi sosial bahkan ada yang belum sempat digunakan sudah dirusak kembali dalam konflik bersenjata yang tak kunjung reda ini. Pelibatan masyarakat juga menjadi pertanyaan yang sama. Pelibatan kelompok masyarakat yang satu dalam kegiatan ekonomi cenderung akan memancing kecemburuan masyarakat yang lain, dan bukan tidak mungkin menjadi lahan baru konflik di masa berikutnya. Peluang korupsi juga harus diperhatikan dengan mengaca pada pengalaman sebelumnya. Sebagian besar di antara paketpaket bantuan untuk rakyat Aceh tidak sampai ke tangan yang berhak karena korupsi. 8
Persoalan pengungsi juga titik kritis yang selalu menjadi persoalan yang harus diperhatikan. Penanganan terhadap para pengungsi internal (internally displaced peoples – IDP’s) oleh pemerintah selama ini terlihat hanya tambal sulam dan tidak fundamental. Persoalan pengungsi hanya semata-mata dilihat sebagai persoalan domestik seperti makanan. Seharusnya pemerintah memperhatikan hal yang lebih mendasar yaitu konflik dan keamanan yang menyebabkan mereka mengungsi. 4. Instruksi Keempat: UU Otonomi Khusus, Partisipasi Semu dan Pemberdayaan Instansi Inpres ini menugaskan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Otonomi Khusus Aceh, memfasilitasi dialog dan memberdayakan instansi. Padahal RUU Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak mengatur hal-hal yang selama ini menjadi tuntutan orang Aceh, namun semata-mata mengatur seputar pembagian keuangan, suatu hal yang saat ini menempati urutan kesekian dalam daftar prioritas rakyat Aceh. Instruksi ini juga menyebut tentang dialog. Tentu yang dimaksudkan bukan dialog dengan pihak GAM karena hal itu memang telah dari awal ditolak oleh inpres ini, lebih mungkin yang dimaksudkan adalah dialog dengan unsur rakyat Aceh yang lain seperti pemerintah daerah, ulama dan sebagainya. Namun pengalaman selalu menjukkan bahwa dialog yang tidak melibatkan unsur GAM adalah tidak ada artinya, sementara dialog dengan unsur lain juga rawan penggalangan dan mobilisasi. 5. Instruksi Kelima: Opini Publik Luar Negeri Menteri luar negeri mendapat tugas dan kewenangan berdasarkan inpres ini untuk menggalang opini di masyarakat luar negeri. Ini adalah upaya untuk menutup-tutupi kenyataan tentang kekerasan yang dilakukan negara di Aceh dan perkembanganperkembangan selanjutnya, termasuk akibat dari dikeluarkannya inpres ini. Padahal untuk mendapatkan efek kontrol masyarakat internasional, yang peduli pada penghormatan HAM dan martabat kemanusiaan rakyat Aceh, perlu mengetahui fakta sesungguhnya. Masyarakat internasional perlu diberitahu secara teratur perkembangan penerapan inpres ini sendiri mengingat inpres ini begitu sarat muatan dari pihak militer yang selama masa-masa sebelumnya menjadi pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM. 6. Instruksi Keenam: Negara Sabahat Antara Refugee dan Satelit Kegiatan Intelijen Tugas untuk bekerja sama di bidang pertahanan keamanan dengan negara sahabat dibebankan kepada Menhan. Unsur kritis di 9
sini adalah pengalaman di masa lalu menunjukkan kerja sama seperti ini cenderung menjadi lahan baru pelanggaran hak-hak rakyat Aceh. Malaysia sebagai contoh pernah memulangkan pengungsi Aceh yang berada di Malaysia pada tahun 1998, pemulangan itu berakibat kekerasan yang menimbulkan korban puluhan rakyat Aceh tewas dan ratusan luka-luka. Dalam contoh yang sama, ada negara sahabat yang menutup mata bahwa wilayahnya menjadi lahan beroperasinya intelijen Indonesia untuk memata-matai warga Aceh yang berada di negara tersebut. Operasi intelijen ini tidak jarang berakibat kekerasan. Kasus-kasus pembunuhan kilat (summary excecution) dan penculikan dan penghilangan secara paksa (kidnapping and involuntary disappearance) terhadap rakyat Aceh yang terjadi di Malaysia dalam kurun waktu 1999 – 2000 adalah sekedar contoh yang bukan tidak mungin bisa saja terjadi di negara tersebut atau negara-negara lainnya yang menjadi rekanan kerja sama yang dimaksud inpres ini. 7. Instruksi Kedelapan: Perhubungan dan Keamanan plus Komunikasi dan Intelijen Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi diperintahkan untuk memberikan dukungan perhubungan dan telekomunikasi untuk memperlancar langkah-langkah komprehensif tersebut. Yang menjadi persoalan adalah seperti apakah dukugan itu diberikan dan bagaimana dukungan itu implikatif? Pengalaman mogoknya, sekurang-kurangnya sudah 3 (tiga) kali dilakukan termasuk yang sedang terjadi hari-hari ini, sopir-sopir angkutan umum Medan-Banda Aceh karena banyaknya pungutan liar oleh aparat militer dan kepolisian sepanjang perjalanan mereka seharusnya dilihat sebagai input yang harus amat diperhatikan. Pemogokan itu telah membuat pengangkutan bahan-bahan pokok terhenti dan Aceh terancam bahaya kelaparan. Dukungan di bidang telekomunikasi juga membuka peluang untuk terjadinya intelijensi komunikasi. Negara menjadi punya hak untuk mengawasi percakapan warga negara dengan alat komunikasi, dan bukan tidak mungkin pelarangan penggunaan alat komunikasi, baik massa, bergerak (HP dan HT) maupun statis (telepon, fax, internet, dll). 8. Instruksi Kesembilan + Kesepuluh: Pendidikan dan Agama sebagai Alat Hegemoni Menteri Agama dan Menteri Pendidikan ditugaskan untuk memberikan dukungan melalui jalur keagamaan dan pendidikan. Ini menjelaskan pendekatan hegemonik yang memang telah dilakukan negara sebelumnya untuk mempertahankan kekuasaannya. 9. Instruksi Kesebelas + Keempatbelas Kekerasan Demi Negara Kesatuan 10
+
Kelimabelas:
Dalam Inpres ini Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dibantu TNI memiliki kewenangan dalam upaya penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat dan upaya pemulihan keamanan di seluruh Propinsi DI Aceh dengan gangguan keamanan gerakan separatis bersenjata. Disini terjadi ambiguitas atas peran TNI dengan memberikan peran pada TNI dalam masalah keamanan negara. Selain itu tidak tepat memposisikan TNI dan Polri sebagai pihak yang melakukan upaya penegakan hukum padahal mereka adalah pelaku pelanggaran terhadap hukum dan HAM yang ada di Aceh. Sehingga tugas Menteri Kehakiman dan HAM serta Jaksa Agung yang mengkoordinasikan dukungan terhadap proses pembinaan dan penegakan hukum dan upaya penyelesaian kasuskasus pelanggaran HAM justru akan mendukung dan dapat dijadikan alat legitimasi atas pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi. Maka akan terjadi sebuah pola impunity baru. Tidak pernah jelas apa yang dimaksudkan dengan “mengatasi dan menanggulangi gerakan separatis dengan sasaran terpilih”. Fakta-fakta dari tindakan TNI/Polri sebelumnya selalu menunjukkan bahwa “sasaran terpilih” tidak pernah ada, yang ada hanyalah kekerasan massif terhadap rakyat Aceh tanpa pandang bulu. 10. Instruksi Keduabelas + Ketigabelas: Penegakan Hukum Minus Hakim Minus Penegakan HAM Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman dan HAM memiliki peran menurut inpres ini untuk melakukan pembinaan dan penegakan hukum. Harus dipertanyakan mengapa penegakan HAM sama sekali tidak disebut-sebut, padahal mengingat potensinya inpres ini dapat menjadi pendorong untuk tumbuhnya keberanian personil TNI/Polri di level lapangan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat Aceh. Pada issue penegakan hukum sendiri ada persoalan besar tentang administrasi peradilan. Saat ini di seluruh pengadilan negeri dalamw ilayah hukum Pengadilan Tinggi Aceh hanya ada satu majelis (PN Sabang) dan satu hakim tunggal (PN Banda Aceh), hakim-hakim yang ditugaskan di Aceh tidak lagi menjalankan tugasnya dan pindah ke daerah lain karena alasan keamanan. Akibatnya ada puluhan orang rakyat Aceh yang ditahan dalam tahanan-tahanan di seluruh Aceh yang tidak diadili, hal ini jelas menjadi salah satu bentuk pelanggaran hak rakyat Aceh yaitu penahanan sewenang-wenang (arbitrary detention). Terkait dengan hal ini adalah berhentinya penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Apalagi konflik elit politik di tingkat pusat telah menyebabkan posisi kejaksaan agung sedemikian sibuknya sehingga tidak sempat lagi menyelidiki kasuskasus pelanggaran HAM yang terus menerus terjadi. Hal ini jelas bahwa penegakkan hukum hanya dalam perspektif pembelaan 11
terhadap kepentingan pragmatis pemerintah, tidak dalam perspektif keadilan. 11. Instruksi Keenambelas: Anggaran di Luar Kesanggupan dan Pemalakan Militer Menteri Keuangan diperintahkan untuk menyiapkan anggaran khusus untuk inpres ini. Secara umum anggaran khusus ini dibutuhkan untuk dua hal yaitu untuk membiayai operasi militer dan untuk pembangunan dan rehabilitasi sosial. Yang menjadi pertanyaan adalah dari mana sumber pendanaan ini dan bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya. Di tengah kesulitan keuangan negara saat ini, sementara dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan inpres ini cukup besar, setelah begitu banyak harta benda rakyat yang hancur atau hilang, ketersediaan dana ini cukup menimbulkan pertanyaan. Berkenaan dengan dana rehabilitasi sosial proses penyalurannya dapat pula menimbulkan masalah. Pengalaman dengan dana bantuan Sultan Brunei seharusnya menjadi pelajaran untuk tidak terulang lagi. Demikian pula harus benar-benar diperhatikan metode asessment untuk menentukan siapa yang berhak menerimanya, sehingga dana tersebut tidak jatuh kepada orang yang tidak berhak dan korupsi dapat dicegah. Khusus untuk anggaran kegiatan militer, harus ditentukan secara khusus dan detail penggunaan dan pertanggungjawabannya sehingga pemalakan-pemalakan terhadap rakyar yang dilakukan aparat milter di lapangan dengan alasan biaya operasi yang tidak mencukupi dapat dicegah. Pemalakan itu dengan segala bentuknya masih kerap terjadi. 12. Instruksi Ketujuhbelas: Intelijen dan Kekerasan Kepala Badan Intelejen Negara diberi kewenangan untuk memberikan dukungan intelejen dalam rangka pelaksanaan 6 langkah komprehensif. Dukungan intelijen itu harus ditegaskan akan dilakukan dalam bentuk-bentuk yang tidak melanggar hukum dan HAM. Pengalaman menunjukkan bahwa operasi intelijen di Aceh bersifat prokekerasan. Sebagian kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh, termasuk pembunuhan kilat, penghilangan orang, serta penangkapan dan penahana sewenangwenang, dilakukan oleh aparat-aparat intelijen atau dilakukan dengan alasan-alasan operasi intelijen. 13. Instruksi Kedelapanbelas: Pelayanan Umum Gubernur Propinsi DI Aceh dan para Bupati/ Walikota dalam lingkup DI Aceh diberikan kewenangan untuk melaksanakan upaya pemberdayaan aparatur dan instansi pemerintah di daerah sampai ke tingkat desa serta memfungsikan kembali semua pelayanan umum masyarakat. 12
Lumpuhnya beberapa fungsi pelayanan umum masyarakat tidak lepas dari kondisi keamanan. Tanpa jaminan keamanan, fungsi-fungsi tersebut tetap tidak akan berjalan sebagaimana dikehendaki. 14. Instruksi Kesembilanbelas + Keduapuluhsatu Salah satu hal yang menjadi kelemahan inpres ini adalah dengan cakupan persoalan yang diatur yang sedemikian besar dan komprehensif, inpres ini hanya menjadi ketentuan umum sedangkan ketentuan pelaksanaannya diserahkan kepada instransi yang bersangkutan untuk menjabarkannya lebih lanjut. Hal ini membuka peluang kepada masing-masing instansi untuk menjabarkan dengan kepentingan yang bisa saja berbeda, bahkan bertolak belakang, dengan kepentingan presiden sebagai penanggung jawab inpres ini. III.
Penutup A. Rekomendasi Berdasarkan bacaan kritis di atas dan mengingat potensi inpres ini untuk menjadi alasan pembenar suatu kekerasan oleh negara terhadap rakyat Aceh maka direkomendasikan kepada pemerintah untuk: 1. Bersungguh-sungguh melaksanakan pengawasan internal kepada aparatusnya, 2. Merancang dan menerapkan sistem pertanggungjawaban HAM yang terjadi dalam masa berlakunya inpres ini 3. Memantau pelaksanaan dan mencabut kepres ini segera setelah masa berlakunya usai Sedangkan kepada masyarakat sipil dan pemerhati HAM direkomendasikan untuk secarabersama-sama dan sungguh-sungguh memantau pelaksanaan inpres ini B. Penutup Dalam Inpres disebutkan bahwa pelaksanaan atas langkahlangkah komprehensif ini dilakukan hampir di semua bidang, padahal terlihat jelas peran TNI dan Polri dalam menentukan kebijakan nasional melalui pendekatan keamanan sedangkan peran pada bidang yang lain terkesan hanya sebagai pelengkap saja. TNI dan Polri memiliki kewenangan besar untuk menegakkan hukum dan HAM di Aceh, namun karena mereka adalah pelaku pelanggaran HAM yang terjadi justru menimbulkan kesangsian tersendiri akan pulihnya bidang-bidang kehidupan yang lain, termasuk bidang ekonomi dan sosial. Penerapan yang dilakukan melalui pendekatan kekerasan dan elemen bersenjata dalam konflik justru akan melanggengkan konflik. Selain itu ada persoalan pada mitos yang selama ini berlaku, yakni 13
bahwa integrasi dan perdamaian hanya dapat bertahan jika ditentukan oleh militer. Secara universal Inpres ini juga masih tidak menggambarkan secara tegas, sebagaimana hakikat dari Inpres harus bersifat teknis, bahwa kurangnya penanganan (masalah-masalah sosial) tentang masyarakat atau penduduk sipil, sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Geneva 1949.
Jakarta, 14 Mei 2001
Divisi Kajian Hukum dan Perundang-undangan Kajian dan Monitoring KontraS
14