VII. SINTESIS PENYELESAIAN MASALAH Sintesis penyelesaian akar masalah berdasarkan temuan dari penelitian ini dikelompokkan melalui dua pendekaan, yaitu pendekatan dengan (1) membangun sikap
masyarakat pro-konservasi; serta (2) perbaikan dan penyempurnaan
kebijakan pengelolaan. Kedua pendekatan sintesis penyelesaian akar masalah ini menggunakan konsep “tri-stimulus amar konservasi. Membangun sikap masyarakat pro konservasi, yaitu melalui (1) membangun sikap “tri-stimulus amar konservasi; (2) menjadikan nilai religius sebagai stimulus kuat untuk membangun sikap; dan (3) menyambungkan dan mengembangkan pengetahuan tradisional masyarakat menjadi pengetahuan modern, yaitu yang bersifat adaptif terhadap perkembangan terkini. Perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan dilakukan dengan pendekatan : (1) peraturan perundangan yang terkait; (2) aspek legalitas
pendarung sebagai
kelompok masyarakat pelestari; (3) pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung; (4) peningkatan kapasitas dan kinerja SDM pengelola; (5) membangun kemitraan industri jamu dengan masyarakat; dan (6) membangun image stimulus tumbuhan obat kedawung. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
A. Membangun Sikap Pro-konservasi Tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Ini merupakan prasyarat terwujudnya konservasi, kemandirian
dan
kesejahteraan
suatu
“masyarakat
kecil”
hutan
yang
berkelanjutan. Masyarakat kecil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat pendarung tumbuhan obat di TNMB dari kelompok generasi tua seperti Mbah Setomi, Mbah Na’am dan Mbah Rogayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Barber, Johnson dan Hafild (1999), bahwa masyarakat dengan hubungan yang beragam, ganda dan dalam waktu panjang dengan hutan lebih cenderung menghargai keutuhan jangka panjang seluruh ekosistem dibanding dengan masyarakat yang hubungannya terbatas pada satu atau dua sasaran sempit, seperti pengambilan kayu atau penambangan.
132
Menurut Dasmann, Milton dan Freeman (1977), bahwa sejak zaman dulu manusia telah memenuhi keperluan hidupnya dengan memodifikasi komunitas alam dan ekosistem, kadang-kadang dengan cara sederhana untuk meningkatkan suatu hasil tertentu yang diinginkannya. Kemudian dengan timbulnya pertanian, peradaban dan teknik moderen modifikasi itu dilakukannya dengan cara-cara yang makin radikal, yang telah menimbulkan dampak negatif yang merusak ekosistem dan lingkungan alam, yang akhir sangat mempengaruhi kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat manusia itu sendiri. Modifikasi dapat menjadi produktif dan stabil, apabila stimulus alamiah sebagai pembatas-pembatas lingkungan ekosistem alam dipahami, disikapi dan diamalkan secara benar oleh manusia. Dalam konteks sistem nilai ke 3 kelompok stimulus konservasi (alamiah, manfaat dan religius) yang telah berhasil dirumuskan pada penelitian ini tidak lain adalah kristalisasi dari nilai-nilai : “kebenaran”, “kepentingan” dan “kebaikan”. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Ndraha (2005) tentang sistem nilai dalam bukunya “Teori Budaya Organisasi”. Kristalisasi atau resultant atau kombinasi dari nilai-nilai inilah yang dapat menjadi penggerak, penyeimbang dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara kongkrit.
Hal ini dijelaskan secara rinci
sebagai berikut : 1. Membangun sikap “tri-stimulus amar konservasi” Konsep “tri-stimulus amar konservasi” merupakan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengimplementasikan pegelolaan kawasan konservasi atau taman nasional, khususnya untuk membangun sikap masyarakat yang pro-konservasi. Konservasi gagal dan sukarnya tujuan konservasi terwujud memuaskan dalam kenyataan hari ini, tidak lain penyebabnya adalah terjadi bias pemahaman dan pengalaman dalam masyarakat antara konteks nilai-nilai alamiah (bio-ekologi dan kelangkaan), nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai religius (agama, keikhlasan, moral dan sosio-budaya). Sikap konservasi masyarakat harus dibangun dan merupakan wujud dari kristalisasi “tri-stimulus amar konservasi”. Sikap masyarakat yang seperti ini merupakan prasyarat terwujudnya aksi konservasi secara nyata di lapangan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Erasmus
133
(1963) dan Rachman (2000), bicara economic sekaligus adalah bicara culture dan bicara believe, tidak bisa dipisah-pisahkan. Gambar 39 berikut menunjukkan bagan alir tiga kelompok stimulus yang harus mengkristal sebagai pendorong sikap konservasi masyarakat : Tri-Stimulus Amar Konservasi • Stimulus Alamiah
Sikap Konservasi
Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya
Cognitive persepi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan
• Stimulus Manfaat Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ekologis dan lainnya
• Stimulus Religius Nilai-nilai kebaikan, terutama ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/ tradisional, kepuasan batin dan lainnya
Perilaku Aksi Konservasi
Konservasi
Affective emosi, senangbenci, dendam, sayang, cinta dll Overt actions kecenderungan bertindak
Gambar 39. Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi Tri-stimulus amar konservasi bukanlah suatu konsep baru yang diciptakan atau diadakan dari hasil penelitian ini, tetapi merupakan perumusan determinasi stimulus melalui hasil penelitian tentang apa yang sebenarnya sudah berlaku, terjadi dan berjalan di dalam kehidupan masyarakat kecil tradisional yang telah pernah berhasil mewujudkan konservasi di dunia nyata.
Hal ini pernah terjadi
dalam masyarakat pendarung kedawung di TNMB pada generasi tua, yaitu generasi Mbah Setomi dan generasi sebelumnya. Buktinya di lapangan adalah kelimpahan populasi kedawung yang terdiri dari individu-individu pohon yang dewasa yang tersebar mendekati perkampungan masyarakat pendarung, seperti dapat di lihat pada Gambar 12. Pada Gambar 40 berikut
menggambarkan ketiga kelompok stimulus
alamiah, manfaat dan religius yang harus mengkristal menjadi satu kesatuan stimulus kuat (evoking stimulus) sebagai penggerak dan pendorong sikap untuk aksi konservasi.
134
Stimulus Religius
Sikap Konservasi
Stimulus Alamiah
Stimulus Manfaat
Gambar 40. Kristalisasi “tri-stimulus amar konservasi” Prasyarat terwujudnya sikap masyarakat “tri-stimulus amar konservasi” di lapangan adalah : (1) ditujukan untuk masyarakat lokal yang spesifik dan unik, yaitu masyarakat yang sudah bertungkus lumus berinteraksi dengan hutan dan sumberdaya hayati setempat dalam kehidupannya sehari-hari dan bahkan sudah turun temurun dan mempunyai pengetahuan lokal tentang sumberdaya hayati tersebut; (2) hak akses, hak kepemilikan, hak memanen dan hak memanfaatkan sumberdaya hayati bagi masyarakat yang dimaksud pada butir (1) harus jelas; (3) harus ada keberlanjutan pengetahuan lokal dari generasi tua kepada generasi muda dan harus ada pembinaan dan penyambungan pengetahuan lokal/tradisional ke pengetahuan moderen dalam masyarakat pada butir (1). Komponen sikap affective pada masyarakat yang selama ini negatif (perasaan dendam, benci, masa bodoh, tidak peduli, perasaan tidak memiliki dan lainnya) harus dirubah menjadi postif. Kebijakan pengelolaan taman nasional yang berlaku selama ini harus dirubah, terutama aspek legalitas akses masyarakat lokal (dalam hal ini misalnya kelompok pendarung) kepada sumberdaya hayati TNMB. Terbukti dari pengalaman sejarah pendekatan yang lazim dipakai selama ini guna membangun dan mengelola taman nasional serta hutan-hutan negara, cenderung mengakibatkan konflik-konflik sumberdaya yang tidak terelakkan, terutama dengan masyarakat lokal.
135
2. Menjadikan nilai religius sebagai stimulus kuat bagi sikap konservasi Sejarah masyarakat masa lalu, terutama dalam masyarakat tradisional stimulus religius sangat berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi. Aksi konservasi saat ini dan masa datang hendaknya difokuskan pada pengalaman masyarakat masa lalu, terutama pengalaman masyarakat tradisional. Masalah konservasi timbul karena terjadinya penyimpangan atau bias sikap dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan alam. Masyarakat berinteraksi dengan alam hendaknya tidak ditinjau hanya secara mekanistik dan materialistik saja, melainkan juga mengikat interaksi tersebut dengan nilai-nilai religius yang universal, nilai-nilai kearifan budaya, etika, dosa dan pahala. Nilai-nilai religius menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak semata-mata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, akan tetapi tercermin juga dalam kehidupan seharihari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya (Siagian, 2004). Nilai-nilai religius telah terbukti merupakan motivator utama dan kuat dalam sejarah kehidupan umat manusia yang hidup dimasa hayat nabi-nabi yang telah menjadi energi stimulus dan sangat efektif dalam membangun sikap dan perilaku individu manusia di zaman itu sampai zaman sekarang. Konsep religius tentang masalah lingkungan hendaknya terfokus pada pemikiran bahwa masalah lingkungan adalah masalah perilaku sebagai akibat dari penyimpangan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pada zaman moderen ini ada kecenderungan manusia berinteraksi dengan lingkungan secara materi, tanpa mengikat interaksi tersebut dengan aturan-aturan hukum dan etika. Pemecahan masalah adalah meluruskan pandangan, pola pikir, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan dengan aturan-aturan dan dasar-dasar akhlak mulia berdasarkan nilai-nilai religius.
136
Contoh sabda Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan yang bernilai religius dan dapat menjadi energi stimulus bagi setiap individu manusia muslim pada waktu itu dan masa setelahnya yang telah diamalkan oleh para sahabat Nabi dan orang-orang tua terdahulu, yaitu (artinya) : Barang siapa yang telah menanam pohon, dan pohonnya berbuah, lalu buahnya dimakan oleh orang atau binatang, maka Tuhan memberinya pahala yang tiada putus-putusnya. Dalam hadist Nabi SAW lainnya yang sangat relevan dan up to date dengan kondisi dan permasalahan saat ini untuk mendorong dan menjadi energi bagi sikap konservasi, yaitu artinya : Apabila kiamat sedang terjadi dan ditanganmu
menggenggam
benih
kurma,
sekiranya
kamu
mampu
menanamkannya, maka tanamkanlah, niscaya kamu akan memetik hasilnya di akherat kelak (Al-Jazairi, 2003). Allah memerintahkan agar manusia menggunakan semua panca indera dan nuraninya, serta pengetahuan-pengetahuan dari manusia pendahulunya yang Allah telah berikan untuk mengenal dan membaca fenomena kehidupan alam, yang harus meresap kesetiap diri sanubari menjadi stimulus yang kuat dan kenyal untuk bersikap dan berperilaku konservasi.
Kerusakan lingkungan hutan yang
berdampak buruk kepada kehidupan manusia yang tidak memahami atau tidak mau memahami atau bahkan yang memahami tapi tidak peduli dengan stimulus keinginan dan tuntutan hutan sebagai mahkluk ciptaan Allah.
Allah
mengingatkan manusia agar kembali ke jalan yang benar, kembali memahami dan meresapi fenomena alam ekosistem hutan untuk stimulus aksi konservasi.
Hal
inilah yang pernah dimiliki oleh nenek, buyut dan moyang kita terdahulu, karena mereka banyak belajar dengan sinyal-sinyal atau fenomena-fenomena yang diberikan oleh alam. Fenomena alam adalah firman Sang Pencipta yang tak tertulis, pasti mutlak benar, pastilah sangat paling ilmiah, secara global mengingatkan setiap individu manusia agar mau mengoreksi kesalahannya terhadap mengelola dan memanfaatkan lingkungan alam hidupnya. Kalau manusia mengingkarinya, maka individu manusia tersebut dapat sangsi kesusahan dimasa hidupnya di dunia berupa rusaknya alam dan sangsi siksaan azab kubur dan neraka di alam akhirat sebagai wujud pertanggungjawaban secara individual. Inilah sistem hukum yang
137
diciptakan Allah yang harus diyakini (belief), pasti terlaksana dengan sangat adil. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang selayaknya kita jadikan dan tumbuhkembangkan sebagai stimulus utama dalam melakukan keberlanjutan konservasi alam, khususnya konservasi taman nasional di Indonesia dan di dunia. Akhirnya konservasi itu baru dapat diwujudkan di dunia nyata, apabila pada setiap diri individu manusia memiliki keikhlasan dan kerelaan berkorban untuk konservasi. Umar bin Al-Khatab ra. sangat memperhatikan konservasi alam dimasa pemerintahannya di tanah Arab pada abad ke 7, yang memerintahkan untuk menjaga dan mengembangbiakkan tumbuhan dan hewan. Bukti empiris tentang perhatiannya terhadap perilaku konservasi, diriwayatkan oleh Ammarah bin Khuzaimah bin Tsabit : Aku mendengar Umar bin Al-Khatab berkata kepada ayahku, apa yang menghalangimu menanami tanahmu ? Ayahku berkata, aku adalah orang yang sudah tua, aku akan mati besok !. Maka Umar ra. berkata, aku mendorongmu untuk menanam pohon !. Umar ra. terlihat menanami pohon dengan tangannya sendiri bersama ayahku !
Kelihatan bahwa Umar bin Al-Khatab mendorong orang
tersebut
menanami tanahnya, walaupun dia mengira bahwa tidak akan melihat hasilnya. Umar ra. mengetahui bahwa perhatian terhadap pertanian adalah penting bagi generasi yang akan datang, penting juga untuk menjaga lingkungan di samping pasti adanya kemaslahatan pribadi, yaitu ganjaran pahala dari Tuhan (Al-Haritsi, 2006). Pengalaman Kaswinto, seorang sarjana kehutanan lulusan IPB yang telah melakukan pendampingan masyarakat TNMB selama 10 tahun lebih, telah banyak dapat merobah motivasi dan sikap masyarakat ke arah konservasi, yang dulunya mereka sebagai pelaku illegal logging di hutan TNMB. Inilah pengalamannya : ” Mengaitkan setiap kegiatan dengan agama merupakan salah satu cara yang paling ampuh dalam memotivasi masyarakat untuk mendukung program konservasi. Menyandarkan kepada kekuasaan dan kemurahan Allah memiliki andil yang paling besar dalam suksesnya kegiatan pendampingan masyarakat. Berprinsip bahwa keberhasilan atau kegagalan kegiatan konservasi tidak hanya dinilai berdasarkan kacamata dunia, tetapi juga akhirat. Selalu berdoa dan minta kepada Allah untuk kesuksesan dan selalu berbuat kepada masyarakat dan kepada alam dengan hati yang ikhlas dan bertawakal kepada Allah”.
138
Secara empiris berdasarkan pengalaman pribadi penulis waktu kecil di kampung Tilatang Kamang (pinggiran kota Bukittinggi), bahwa kakek penulis dahulu waktu menanam pohon durian di parak (istilah kebun campuran di daerah minang) dengan niat agar cucunya dapat memanen dan memakan buah durian “kamang” yang terkenal lezat. Stimulus religius sangat berpengaruh dalam mendorong sikap konservasi, hal ini dapat divalidasi dengan berbagai contoh dalam masyarakat tradisional. Secara empiris dalam kehidupan masyarakat tradisional stimulus religius terbukti efektif mendorong sikap masyarakat untuk rela berkorban bagi konservasi. Bukti empiris ini contohnya dapat dilihat antara lain pada sikap dan kerelaan berkorban untuk konservasi pada : (1) Masyarakat tradisional muslim Afrika Barat, ditemukan berbagai legenda, anekdot dan peribahasa tentang P. biglobosa yang berkaitan dengan nilai-nilai religius, menjadi dasar pengetahuan dan terbukti sangat berpengaruh menjadi stimulus sikap bagi perlindungan dan pelestarian spesies ini sampai hari ini (Quedraogo, 1995); (2) Masyarakat adat Toro yang hidup dipinggiran Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, mereka telah berhasil secara turun temurun melindungi hutan dan tidak menebang pohon di sekitar mata air dan sungai. Mereka menganut falsafah “Mahintuwu mampanimpu katuwua toiboli topehoi” yang berarti “Melindungi dan memelihara bersama-sama lingkungan hidup kita, seperti yang dianugerahkan Sang Pencipta” (Golar, 2006). Masyarakat adat Toro meyakini tiga pilar utama kehidupan, yaitu Tuhan Pencipta, manusia dan alam. Masyarakat Toro percaya bahwa hutan adalah milik Sang Pencipta yang dititipkan kepada masyarakat sekarang untuk generasi mendatang (Shohibuddin, 2003 dan Nainggolan, 2007). Nilai-nilai religius dalam masyarakat adat Toro terbukti telah sangat kuat memotivasi dan mengontrol sikap dan perilaku individu anggota masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlanjutan konservasi ekosistem alami yang merupakan habitat tempat hidup mereka; (3) Masyarakat tradisional suku Asmat di Irian Jaya pada saat memanen sagu, mereka melakukan upacara syukuran “pohon sagu sebagai pohon kehidupan”. Masyarakat yang banyak disebut orang “primitif” ini ternyata mereka sangat menyadari akan dosa-dosa kepada alam dan ini menandakan mereka termasuk manusia beradab (Sharp dan Compost, 1994). (4) Masyarakat suku Mee di Papua menurut kepala sukunya Neles Tebay mempunyai empat nilai fundamental yang mengandung nilai-nilai religius sebagai berikut : Hidup bekelimpahan, kebun, hewan peliharaan, sungai dan hutan merupakan kebutuhan hidup setiap orang; Komunitas, manusia dan lingkungan alam merupakan satu kesatuan utuh; Hubungan serasi, hubungan antar-manusia dengan keserasian alam lingkungan, ini tak lepas dari bantuan roh suci leluhur. kami diajarkan nenek moyang untuk melibatkan bantuan roh leluhur, hutan,
139
pohon besar, batu alam, gunung, dan benda alam lain juga bagian dari sistem alam lingkungan kami; Azas timbal balik, ini mengukuhkan hubungan antar-warga dan komunitas, termasuk hubungan menghormati hubungan dan berperilaku bagus terhadap alam. Misalnya orang mengotori sungai dan merusak lingkungan, akan mendapat balasan (sungai) banjir (Badil, 2007; dikutib dari artikel harian Kompas tanggal 20 Agustus 2007). Koentjaraningrat (1974) sekitar 33 tahun yang lalu mengemukakan nilainilai religius yang ada dalam masyarakat tradisional dalam bukunya “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan”. Namun nilai-nilai religius ini belum dikaitkan secara eksplisit dengan aksi konservasi masyarakat tradisional. Menurut pakar antroplogi ini nilai-nilai religius merupakan suatu sistem yang terdiri dari 4 komponen, yaitu : 1. Emosi religius yang menyebabkan manusia menjadi religius 2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta persepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud alam gaib (supernatural) 3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yg mendiami alam gaib 4. Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dalam butir 2 dan yang melakukan sistem upacara tersebut dalam butir 3 Keempat komponen tersebut di atas terjalin erat satu dengan lainnya menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat. Emosi religius kalau ditinjau dalam teori komponen sikap adalah termasuk komponen affective, dimana emosi religius merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa dan sikap manusia. Namun teori ini belum banyak digunakan dan diterapkan dalam program konservasi sumberdaya alam hayati, yang selama ini konservasi terpisah mengkajinya dengan nilai-nilai religius yang dianut oleh masyarakat. Koentjaraningrat (1974) mengungkapkan sistem religius dari 4 komponen dari sistem religius seperti bagan pada Gambar 41 berikut ini :
140
Sistem Kepercayaan (bilief)
Emosi religius Kelompok religius
Sistem upacara religius
Gambar 41. Sistem bagan keempat komponen dari religius Sejak dahulu, terutama diawal konsep konservasi dikembangkan para peneliti masalah konservasi dan lingkungan di Indonesia banyak dipengaruhi dengan konsep dari Barat, yang menganggap bahwa hubungan antara manusia dan lingkungan adalah hubungan materi semata. Konsep pengetahuan dari pengikut peradaban Barat yang materialistik terhadap hubungannya dengan lingkungan sampai saat ini terbukti belum bisa memberikan solusi yang berarti, bahkan sebaliknya permasalahan lingkungan bertambah besar dan kompleks. Scientist yang berkaitan dengan bidang konservasi sumberdaya alam dari Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan konsep tri-stimulus amar konservasi, khususnya stimulus religius sebagai penggerak utama aksi konservasi di Indonesia dan bahkan dunia, karena Indonesia negara satu-satunya di dunia yang memiliki falsafah negara PANCASILA yang bersifat universal dan konsep ini dapat diterima oleh semua religius. 3. Menyambungkan dan mengembangkan pengetahuan tradisional menjadi pengetahuan moderen Pengetahuan masyarakat Afrika Barat seharusnya dapat dikembangkan bagi penyempurnaan dan melengkapi pengetahuan masyarakat TNMB. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Harris dan Hillman (1989), bahwa hendaknya “lintas persepahaman budaya” atau “cross-cultural understanding” tentang nilai-nilai kehidupan masyarakat hutan dunia masa lalu, juga sepatutnya berkelanjutan hingga masyarakat hutan masa kini, walaupun dipastikan ada
141
perbedaan budaya maupun lingkungan alam antar masyarakat hutan dari kedua tempat ini. Hal ini amat penting karena proses pembelajaran terhadap kehidupan tumbuhan dengan segala sifatnya yang dipandang dari sisi ekologi dan perilaku di habitat hutan, dialami oleh seluruh hidup generasi tua hingga kepada generasi berikutnya secara estafet. Nilai-nilai kehidupan “masyarakat kecil” masa lalu, sepatutnya berkelanjutan hingga “masyarakat kecil” masa kini, melalui tukarmenukar informasi, pengalaman atau sharing knowledge and experience Sebenarnya masyarakat global yang hidup jauh di luar TNMB, bahkan sampai luar negeri saat ini telah menikmati produk jamu dari bahan baku kedawung, dari produksi perusahaan industri jamu yang moderen di Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa produk tumbuhan obat kedawung dari masyarakat pendarung TNMB ikut mendukung pemeliharaan kesehatan saluran pencernaan masyarakat global, walaupun masyarakat pendarung tidak mengetahuinya atau tidak menyadarinya. Ini sebagai bukti bahwa sebenarnya telah terjadi persambungan masyarakat kecil dari hutan, yaitu masyarakat pendarung
ke
masyarakat global. Namun persambungan ini tidak terjadi feed back kepada masyarakat, terutama dalam informasi IPTEK yang dapat meningkatkan kapasitas masyarakat untuk aksi konservasi dan kesejahteraan masyarakat pendarung. Peran pengelola dan perguruan tinggi sangat penting sebagai pelaku yang dapat menyambungkan pengetahuan lokal masyarakat yang sudah terputus saat ini kepada pengetahuan moderen dan sekaligus mengembangkannya dengan tetap berbasis kepada karakteristik sumberdaya keanekaragaman alam hayati lokal. Sehingga tri-stimulus amar konservasi dan sikap merupakan gabungan dari komponen cognitive, affective dan overt actions dalam setiap individu masyarakat dapat terpelihara, berlanjut dan berkembang-seimbang menjadi perilaku konservasi sumberdaya alam hayati. Akhirnya sekaligus tuntutan kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi secara berkelanjutan. Peran dan fungsi para scientist perguruan tinggi, terutama yang mendukung untuk konservasi di masa sekarang dan ke depan sangatlah diharapkan dan sangat menentukan keberhasilan untuk meminimalkan dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif dari arus globalisasi dunia. Terutama berkaitan dengan :
142
(1) penyambungan keberlanjutan pengetahuan masyarakat tradisional (semua tingkat evolusi sosiobudaya) dengan ilmu pengetahuan modern, atas dasar kearifan dan perpaduan saling menguatkan antara keduanya; (2) terpeliharanya keberlanjutan asli genetik dalam bentuk dinamika sistem bagi kesejahteraan manusia; (3) sebagai kesatuan utuh dalam keseimbangan sistem ekologi; (4) untuk kesejahteraan dan perdamaian manusia dan masyarakat seutuhnya dan seluruhnya. Masyarakat dan Perguruan Tinggi sepatutnya bersama-sama melanjutkan proses pembelajaran dengan tidak melupakan pengalaman masyarakat yang telah bertungkus lumut dengan sumberdaya tumbuhan di habitat mereka. Kemitraan upaya konservasi antara perguruan tinggi dan masyarakat perlu, tanpa itu konservasi sulit dapat berlanjut dengan memuaskan. Pada akhirnya bahwa kelestarian atau sustainability tumbuhan itu sepenuhnya diserahkan dan ada pada tangan masyarakat. Setiap laboratorium di perguruan tinggi dituntut proaktif mendidik dirinya sendiri dan berkecimpung dengan permasalahan lapangan yang berkaitan dengan pengembangan bidang keilmuan yang dimandati. Setiap laboratorium hendaknya berperan maksimal mendarma baktikan peranan “tri dharma perguruan tinggi” kepada masyarakat. Rachman (2000) juga mengemukakan bahwa laboratorium bersifat persekoncoan yang hendaknya lebih memihak kepada kepentingan jangka pendek dan jangka panjang masyarakat banyak yang merupakan kumpulan dari “masyarakat kecil-masyarakat kecil”. Kegiatan laboratorium hendaknya mencari titik temu perbedaan kepentingan antara kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang lebih profesional, berpunya dan berkemampuan, seperti kelompok pengelola taman nasional. Cabang ilmu yang relevan, berguna bagi “masyarakat kecil” sekitar taman nasional patut dikembangkan oleh laboratorium dan oleh karena itu laboratorium harus memiliki kemampuan profesional.
Sepatutnyalah laboratorium menjadi handalan
perguruan tinggi atau universitas untuk membuka pengetahuan baru kepada anak didik sebagai kader sumberdaya manusia masa depan untuk konservasi sumberdaya hayati hutan tropika Indonesia.
143
B. Kebijakan Pengelolaan 1. Peraturan perundangan Untuk mendukung paradigma pengelolaan taman nasional yang bertujuan untuk keberlanjutan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, maka perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan perundang-undangan yang berlaku. Hak-hak masyarakat kecil di sekitar hutan untuk dapat akses ke pemanfaatan secara lestari sumberdaya
taman nasional belum tegas diakomodir dalam UU Kehutanan
Nomor 41 tahun 1999, UU
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya Nomor 5 tahun 1990 dan PP Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Akses masyarakat kecil (misalnya pendarung) sangat dibatasi atau bahkan ditutup untuk memanfaatkan secara lestari sumberdaya taman nasional Pedoman operasionalnya di lapangan perlu rasionalitas, ketegasan dan kongkrit bagi kepentingan hidup mayarakat dan bagi kebutuhan konkrit pengelolaan keberlanjutan taman nasional di lapangan. Wewenang operasional yang kreatif, fleksibel, tetapi tetap dalam koridor konservasi yang bertanggung jawab perlu diberikan kepada pengelola lapangan taman nasional secara penuh. Ini yang belum banyak diakomodir dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah yang berhubungan dengan Taman Nasional. Hal ini perlu karena setiap taman nasional memiliki kekhasan sumberdaya keanekaragam hayati dan sosio-budaya yang khas pula. Hendaknya peraturan perundangan direvisi dan disempurnakan dengan memperhatikan kandungan substansi tri-stimulus amar konservasi.
Peraturan
perundangan yang perlu direvisi dan disempurnakan segera adalah : (1) UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Nomor 5 tahun 1990. Pasal 31 ayat (1) Di dalam taman nasional, …….. dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
Saran penyempurnaan,
ditambahkan dengan : pemanfaatan secara tradisional oleh masyarakat lokal yang diketahui secara pasti sudah lama hidup berinteraksi positif dengan sumberdaya hutan. Pasal 36 ayat (1) ditambahkan butir i. pemanenan secara lestari hasil hutan non-kayu, khusus untuk masyarakat lokal yang unik
144
diketahui secara pasti sudah lama hidup berinteraksi positif dengan sumberdaya hutan. (2) PP Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51, yaitu masing-masing pada ayat (1) butir d. kegiatan penunjang budidaya ditambahkan dengan kata-kata : pemanenan secara lestari hasil hutan non-kayu, khusus untuk masyarakat lokal yang unik diketahui secara pasti sudah lama hidup berinteraksi positif dengan sumberdaya hutan. (3) Peraturan Menhut No. : P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Substansi peraturan menteri kehutanan ini perlu direvisi secara menyeluruh, terutama yang berkaitan stimulus manfaat yang berkaitan langsung bagi masyarakat kecil yang hidup di habitat sekitar kawasan hutan taman nasional. (4) Peraturan Menhut No.: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional .
Sebaiknya kegiatan pemanfaatan tradisional sumberdaya alam
hayati oleh masyarakat kecil dan unik yang telah hidup turun temurun di dalam atau di sekitar taman nasional, tidak dibatasi dalam bentuk wilayah atau zona tradisional. Tetapi yang perlu dibuat batasan dan definisi yang jelas adalah terhadap spesies, bentuk, sifat dan intensitas kegiatan pemanfaatan tradisional apa saja yang boleh dilakukan. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat bukti-bukti empiris di lapangan, seperti contoh kasus kedawung bahwa ada hubungan yang bersifat positif antara masyarakat dengan konservasi potensi sumberdaya hayati kedawung. Sehingga kurang relevan kalau pemanfaatan tradisional di batasi oleh wilayah atau areal tradisional saja, karena ada kemungkinan penyebaran spesies yang menjadi kebutuhan masyarakat ada di berbagai zona taman nasional. 2. Aspek legalitas pendarung sebagai kelompok masyarakat “pelestari” Stimulus setiap spesies atau unit suatu sumberdaya hayati itu (misalnya kedawung) adalah bersifat spesifik, sehingga stimulus itu juga ditujukan kepada subjek atau masyarakat yang spesifik pula, bukan ditujukan kepada masyarakat umum. Suatu sinyal, baru menjadi informasi dan menjadi stimulus, apabila sinyal
145
tersebut ditangkap oleh subjek yang memang memahami sifat dan karakteristik dari objek yang mengeluarkan sinyal tersebut. Stimulus kedawung seharusnya terutama ditujukan kepada masyarakat pendarung kedawung dan kepada kelompok pengelola taman nasional yang bertugas untuk pengelola sumberadaya alam hayati Masyarakat pendarung kedawung, merupakan masyarakat kecil sekitar hutan yang terbentuk alami secara turun temurun, kalau dibina sikap dan perilakunya dengan kaedah “tri-stimulus amar konservasi”, maka mereka adalah aset pelaku aksi konservasi di lapangan.
Pandangan negatif kepada masyarakat
pendarung, sebagai pelaku utama ancaman konservasi taman nasional tidaklah semuanya benar, bahkan sebaliknya telah ditunjukkan dengan kasus masyarakat pendarung kedawung yang telah berlangsung lama, mereka berperan positif bagi konservasi sebagai penyebar utama biji di hutan alam, walaupun itu umumnya mereka lakukan secara tidak sengaja. Kebijakan pengelolaan taman nasional hendaknya disempurnakan dengan menjadikan masyarakat pendarung atau masyarakat hutan atau masyarakat lokal atau masyarakat kecil atau masyarakat tradisional sebagai subjek yang ikut mengelola taman nasional . Sekaligus membangun akses kelompok masyarakat pendarung ini kepada sumberdaya alam hayati taman nasional. Terutama akses kepada hasil hutan non-kayu dari spesies yang selama ini telah bertungkus lumut berinteraksi positif dengan masyarakat pendarung.
Tentunya masyarakat
pendarung perlu dilakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas
dengan
membangun sikap dan perilaku tri-stimulus amar konservasi. Kelompok
masyarakat
pendarung
fungsikan
sebagai
kelompok
masyarakat kecil yang paling bertanggungjawab dengan keberlanjutan konservasi kedawung di TNMB. Pengelola TNMB hendaknya menetapkan aspek legal membership group dari pendarung dengan secara periodik melakukan pendataan membership, pembinaan dan pengembangan program kepada membershippendarung dengan berbasis konsep tri-stimulus amar konservasi. Kembangkan program berdasarkan konsep ini, bahkan harus sampai kepada persyaratan minimal yang harus dimiliki oleh setiap individu pendarung dan secara periodik harus dilakukan pembinaan untuk meningkatkan kapasitas individu pendarung.
146
Membership-pendarung harus relatif tetap dan terdaftar baik, bahkan kalau perlu menggunakan card-membership-pendarung, tetapi semua ini hendaknya diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat pendarung, pengelola TNMB dan perguruan tinggi sebaiknya berfungsi sebagai fasilitator dan pembina. Berubahnya membership- group akan dapat pula mengubah sikap seseorang, akan dapat berubah pula norma-norma yang ada dalam diri individu itu. Di masa lalu taman nasional sebagaimana didefinisikan oleh IUCN merupakan kawasan yang relatif luas, dimana penguasa tertinggi di sebuah negara mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau melenyapkan sesegera mungkin pemukiman penduduk dalam seluruh wilayah dan memberlakukan penghargaan lebih tinggi kepada nilai-nilai unsur-unsur biologi, ekologi, geomorfologi, atau estetis yang membentuk pembangunannya, ketimbang manusia masyarakat lokalnya.
Konsep ini memunculkan pandangan, bahwa
wilayah-wilayah bernilai tinggi bagi negara
secara keseluruhan hanya dapat
dikelola untuk melindungi sumberdaya hayati secara baik, apabila penduduk tidak menghuni atau jauh dari wilayah itu. Konsep ini ternyata banyak tidak relevan dengan pengalaman dan fakta yang terjadi di lapangan atau di dunia nyata. Konservasi alam di Indonesia berupa “pengawetan dan perlindungan hutan” yang menekan sekecil mungkin interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat hendaknya dirubah menjadi meningkatkan interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat berbasis konsep tri-stimulus amar konservasi. Selama ini yang terjadi di kehidupan dunia nyata secara tidak disadari melepaskan “sistem nilai” kearifan dan pengetahuan masyarakat lokal terhadap hutan. Padahal “sistem nilai” hutan dalam masyarakat lokal ini telah melekat dan mentradisi sudah secara turun temurun sebagai aset, sumber dan bagian dari kehidupannya dan sekaligus telah terbangun suatu kearifan lokal yang justru dapat mendukung ke arah terwujudnya konservasi hutan itu sendiri. Uraian di atas dapat diringkas bahwa perlu ditetapkan segera hak-hak masyarakat pendarung dengan definisi dan batasan yang jelas, yaitu meliputi : (1) hak akses (2) hak berpartisipasi untuk mengelola, (3) hak memanen, (4) hak memanfaatkan dan (5) hak menjual-membeli. Tentunya hak-hak ini dibatasi hanya kepada sumberdaya alam hayati, bukan kepada kawasan. Hal ini sangat
147
sesuai dan sejalan dengan pernyataan Barber, Johnson dan Hafild (1999), bahwa suatu masyarakat kecil yang memiliki sumberdaya dan lahan hutan setempat, mereka cenderung memelihara sumber daya tersebut dalam jangka panjang. Bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan, tetapi mempunyai kepentingan, seperti upah yang ditimbulkan oleh penebangan, taruhan mereka dalam keseluruhan kesehatan hutan jangka panjang adalah kecil. 3. Pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung dan keanekaragam hayati khas Meru Betiri Penerapan konsep tri-stimulus amar konservasi ini sebagai alternatif pemecahan masalah yang merupakan titik temu antara masyarakat sekitar hutan dan kebijakan pemerintah untuk pengelolaan taman nasional di masa mendatang. Khusus untuk TNMB titik temu ini adalah meneruskan program rehabilitasi hutan di zona rehabilitasi seluas sekitar 4023 ha. Kegiatan rehabilitasi ini dimulai sejak tahun 2000 dengan mengacu demplot 7 ha yang dibangun tahun 1994. Masyarakat hutan menamakan lahan rehabilitasi ini dengan istilah tetelan. Masyarakat yang terlibat dalam program ini sampai tahun 2005 sebanyak 3556 kepala keluarga, terdiri dari 108 kelompok petani tetelan yang berasal dari 5 desa dengan luas kawasan yang direhabilitasi 2250 ha. Hendaknya program rehabilitasi ini merupakan pengembangan hutan kebun keanekaragaman hayati menggunakan konsep tri-stimulus amar konservasi. Tetelan dapat merupakan suatu model hutan sistem agroforesty khas masyarakat Meru Betiri yang bercirikan
keanekaragaman spesies tumbuhan obat.
Keberhasilan konservasi melalui pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan hak kepemilikan yang jelas dapat kita ketahui dari beberapa contoh berikut. Seperti yang sudah kita kenal dengan parak di Sumatera Barat, pelak di Kerinci Jambi, tembawang di Kalimantan Barat, talun di Jawa Barat dan repong di Pesisir Krui Lampung, masing-masing dengan ciri khasnya (Foresta, Kusworo, Michon dan Djatmiko, 2000). Hendaknya pengelola TNMB segera melakukan program evaluasi kebijakan program rehabilitasi dengan melibatkan perguruan tinggi agar tetelan benar-benar secara bertahap tapi mantap merupakan titik temu antara masyarakat hutan
148
dengan kebijakan pengelolaan TNMB, sehingga tujuan ideal TNMB dapat terwujud di dunia nyata. Kebijakan pengelolaan zona rehabilitasi TNMB yang mendesak untuk dilakukan adalah : (1) Melakukan penjarangan tanaman pokok kedawung untuk sesama spesiesnya, minimal dengan jarak 30 m, kalau ini tidak segera dilakukan akan terjadi kegagalan konservasi kedawung ex situ. (2) Melakukan domestikasi serta pengembangan budidaya dari berbagai spesies tumbuhan obat selain kedawung yang telah banyak berinteraksi dengan masyarakat pendarung dan telah menjadi komoditi ekonomi masyarakat, yaitu kemiri (Aleurites moluccana),
pakem (Pangium edule), kemukus (Piper
cubeba), joho lawe (Terminalia balerica),
joho keling (Vitex quinata),
kapulaga (Amomum cardonomum), cabe jawa (Piper retrofractum), serawu (Piper canimum), bendoh (Entada phaseoloides), kulit batang pule (Alstonia scholaris), arjasa (Agenandra javanica), suren (Toona sureni), kayu selasih, aren (Arenga pinnata)
dan pinang (Areca catechu), serta berbagai jenis
bambu dan lain-lain. (3) Melakukan domestikasi dan budidaya berbagai spesies tumbuhan yang berasosiasi dengan kedawung di hutan alam tempat habitat alaminya. Adapun daftar spesies tumbuhan yang dimaksud dapat dilihat pada Lampiran 11. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk membangun habitat kedawung agar mendekati habitat alaminya, sehingga proses-proses bioekologisnya seperti siklus hara dan proses penyerbukan dapat terjadi secara normal dan bahkan kalau bisa lebih optimal. (4) Melakukan domestikasi dan budidaya jenis kayu komersial sebagai bahan baku bangunan, perabot rumah tangga (furniture), badan perahu, bahan baku minyak wangi (parfum), dan lain-lain.
Jenis kayu komersial yang sering
diambil masyarakat dari TNMB, antara lain : kayu garu (Chicoheton divergen), kayu kembang rekisi (Michelia velutina), kayu selasihan (Cinnamomum porrectum), kayu pacar gunung (Cassine glauca), kayu bindung (Tetrameles mudiflora), kayu suren (Toona sureni), kayu sapen (Pometia tomentosa), kayu kepuh (Sterculia foetida), kayu bendo (Artocarpus
149
elasticus), kayu takir (Duabanga moluccana), kayu putat (Plachonella elasticus) dan kayu bungur (Lagerstroemia speciosa). Program rehabilitasi dengan menanam tanaman pokok dari spesies pohon asli dari taman nasional yang bermanfaat dan bernilai ekonomi yang sudah lama dikenal dan berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga kedepan bisa memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara berkelanjutan dan sekaligus terwujudnya konservasi keanekaragaman hayati taman nasional yang benar-benar langsung dapat dilakukan aksi konservasinya oleh masyarakat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Selama ini kita bicara konservasi plasma nutfah, namun sangat kurang sekali menggali dan mengembangkan manfaat plasma nutfah tumbuhan hutan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Pihak pengelola bekerjasama dengan akademisi perguruan tinggi hendaknya melakukan kajian-kajian yang intensif dan sistematis untuk menjadikan dan meningkatkan nilai tambah sumberdaya keanekaragaman hayati yang terdapat dalam kawasan konservasi agar menjadi komoditi yang dapat bermanfaat
secara
langsung
maupun
tak
langsung
bagi
meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sekitar hutan, baik untuk pangan, papan dan kesehatan. Jenis-jenis tumbuhan obat yang selama ini dikembangkan perlu diteruskan dengan konsep Agro-forestry sekaligus mengembangkan agroindustry skala rumah tangga. Sekitar 16 jenis tumbuhan obat unggulan yang sudah lama dipanen dari hutan oleh masyarakat, seperti kedawung, cabe jawa, kemiri, kluwek, joho lawe, pule pandak, kemukus, pule dan lain-lain. Begitu juga jenis-jenis penghasil kayu untuk perumahan rakyat seperti jenis suren, aromatik untuk parfum, penyedap pangan dari tumbuhan hutan seperti kluwek. Pengembangan lebah madu dan termasuk kemampuan untuk proses paska panen madu, peningkatan kualitas dan pengemasan harus sudah dimiliki kemampuan ini oleh masyarakat. Masyarakat peserta rahabilitasi lahan tetelan dan ini dapat menjadikan hutan semi alami seperti wujud hutan kebun repong yang sudah dibangun dan dikembangkan lebih 100 tahun yang lalu oleh masyarakat hutan di Pesisir Krui Lampung. Komposisi spesies vegetasi yang tumbuh di sekitar pohon kedawung di hutan secara alami sangatlah penting untuk dijadikan acuan dalam pengembangan
150
penanaman pohon kedawung secara agroforestry di tetelan zona rehabilitasi. Selama ini dalam pengembangan kedawung di zona rehabilitasi belum mengikut sertakan penanaman spesies-spesies seperti acuan di atas.
Kedawung tidak
menyukai sesama spesiesnya hidup berdekatan, tetapi spesies lain yang beranekaragam seperti yang disebutkan di atas dia dapat hidup sehat, hal ini antara lain sebagai suplai nutrisi melalui pembusukan dan pendauran serasah dari beranekaragam
spesies,
maupun
fungsi-fungsi
interaksi
yang
saling
menguntungkan yang belum banyak diketahui, seperti habitat hewan pelaku proses penyerbukan, dan lain-lain. Semua ini diduga akan sangat memberi pengaruh terhadap berbuahnya pohon kedawung yang ditanam selama ini. Berikut dikemukan suatu pengalaman di hutan Amazona Brasilia yang dikemukan oleh Mendes (1994) mengenai domestikasi sejenis pohon polongpolongan, yaitu kacang Brazil (Bertholletia excelsa) secara monokultur yang gagal menghasilkan buah di suatu areal perkebunan. Amerika Serikat setiap tahunnya mengimpor lebih dari 16 juta dolar polong- polongan Brasil yang dikumpulkan orang Indian dan masyarakat pengumpul dari pohon-ohon yang bertebaran di hutan-hutan alam Amazona. Beberapa tahun yang lalu, seorang pengusaha memutuskan untuk menanam pohon polong-polongan itu di sebuah perkebunan, karena dianggapnya lebih efisien. Pohon-pohon itupun ditanam dan tumbuh dengan baik dan pada masanya pohon-pohon itupun berbunga. Tapi pohon-pohon itu tidak berbuah. Tak seorangpun tahu pasti bagaimana pohon polong-polongan Brasil diserbuki. Tapi tampaknya itu bergantung pada kerja gabungan berbagai jenis lebah tertentu dan anggrek yang kesemuanya tidak ada di perkebunan. Penyerbukan atau perkembangbiakan spesies ini bergantung pada suatu interaksi yang rumit dengan lingkungannya, maka membersihkan lingkungannya secara efektif akan membunuh pohon itu.
Inilah juga yang dikhawatir bisa atau sedang terjadi di lahan tetelan zona rehabilitasi, bahwa pohon kedawung yang sudah ditanam secara agroforestry sejak tahun 1994 dengan berbagai jenis tanaman semusim belum ada yang berbuah, tidak seperti pohon kedawung yang terdapat di hutan alam.
Perlu
diwaspadai pengalaman di Brazil dengan penanaman pohon kacang Brazil secara besar-besaran yang disebutkan di atas, yang gagal berbuah. Pengalaman masyarakat hutan Meru Betiri ada kesamaan dengan pengalaman masyarakat hutan Amazona Brasil yang sama-sama merupakan ekosistem hutan hujan tropika. Peran perguruan tinggi dimasa global ini seperti yang dimuat kerangka pemikiran dalam penelitian ini,
sangatlah penting. 151
Terutama berhubungan dengan perkembangan pengetahuan dan tukar menukar informasi dan pengalaman bagi masyarakat hutan dan pengelola untuk penyempurnakan pengelolaan hutan yang lestari pada masing-masing tempat. Sehingga tidak membuat kesalahan yang sama yang menimbulkan pemborosan waktu, tenaga dan biaya, sehingga segera terwujudnya kesejahteraan masyarakat hutan yang berkesinambungan dan sekaligus konservasi taman nasional tercapai. 4. Peningkatan kapasitas dan kinerja SDM pengelola Kapasitas sumber daya manusia pengelola TNMB perlu segera ditingkatkan, terutama staf fungsional untuk (1) penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat di lapangan; (2) memahami dan mampu menyusun dan menterjemahkan program sesuai dengan
peraturan dan perundangan yang
mendukung dan berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaannya yang berkelanjutan. Peningkatan kapasitas SDM harus dapat meningkatkan kemampuan dan penguasaan karakteristik bioekologi potensi sumberdaya keanekaragaman hayati TNMB. Sekaligus memahami sosio-budaya masyarakat, agar mampu memotivasi dan mendorong masyarakat untuk bersikap dan berperilaku untuk aksi konservasi. Kapasitas SDM pengelola sangat akan berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan taman nasional. Namun sebagai salah satu prasyarat agar kinerja SDM pengelola TNMB dapat baik dan meningkat adalah cukupnya insentif dan reward yang diperoleh secara legal oleh setiap individu pengelola untuk memenuhi kebutuhan hidup materilnya secara normal, wajar dan rasional. Argumen pakar ekonomi UI Tarmidi (2005) yang dikemukakannya di harian Kompas tanggal 16 Mei 2005 tentang kinerja dan perlunya kenaikan gaji pegawai negeri sangatlah ilmiah dan dapat diterima akal sehat. Menaikkan gaji pegawai negeri adalah yang utama lebih dahulu dilakukan. Bagaimana benang bisa ditegakkan jika tidak digosok lilin dulu? Mengambil contoh negara-negara maju, di sana tingkat gaji pegawai negeri sudah setara dengan sektor swasta atau harga pasar, sehingga orang bisa konsentrasi bekerja dengan tenang melaksanakan tugasnya masing-masing tanpa harus memikirkan akan makan apa, bagaimana membiaya anak yang sakit atau sekolah. Sebaliknya, tidak mungkin bisa
152
m mengharapk kan pegawai negeri denngan gaji renndah bisa mengabdi m denngan jujur, b baik, dan saarana yang teersedia. Naamun, ini barru memenuhhi necessaryy condition, b belum mem menuhi prassyarat sufficcient condittion. Tanpa dilengkapii sufficient c condition in ni, program pemberanttasan korupssi tidak akaan berhasil. Sufficient c conditions yang y harus dipenuhi d adallah penegakkkan hukum, dan program m ini harus t terus dijalan nkan dengaan konsistenn. Syarat suf ufficient conndition lainnnya adalah m menempatka an pejabat-ppejabat yangg jujur dan berkompeteen di jajarann pimpinan d dan menjad dikan keberrsihan diri sebagai accuan untukk menduduk ki jabatan. T Tindakan teerakhir ini akan a menjaddi senjata ampuh, a kareena orang taahu, hanya p pegawai yanng bersih yanng bisa mendduduki jabattan pimpinann. 5 Memban 5. ngun kemitrraan industrri jamu den ngan masyarrakat pendaarung Berd dasarkan hasil wawancarra dengan maasyarakat peendarung, baahwa setiap t tahun hasil panenan biiji kedawunng habis terj rjual untuk industri jam mu, melaui p perantara ten ngkulak. Hal H ini sesuai dengan peenelitian Purrwandari (20001) semua h hasil biji keedawung haabis terserapp oleh indusstri jamu dii Jawa dan kebutuhan i industri masih belum bisa b terpenuuhi, suplai biji b kedawuung
langsung diserap
i industri jamuu meningkatt setiap tahuunnya dan ratta-rata per taahun mencaapai 88 ton. B kedawu Biji ung digunakaan oleh 10 iindustri jam mu di Jawa uuntuk memproduksi 51 m macam prodduk obat traddisional atauu jamu yang sebagian prooduknya telaah diekspor k mancanegara. Kecenderungan ssuplay-demaand biji kedaawung selam ke ma 5 tahun ( (1995 – 19999) oleh 2 inndustri jamuu yang terbannyak membuutuhkan biji kedawung u untuk produ uk jamunya ditunjukkan d p pada Gambaar 42 berikutt (Purwandarri, 2001) :
Ton
60 40 A Air Mancur 20
Jamu Jago
0 1995 1996 1997 1998 1999 Tahun
G Gambar 42. Serapan bijji kedawung oleh dua inddustri jamu bbesar tahun 1995 – 1999 Masaa kini dan mendatang m peerlu dijalin kerjasama k yaang saling menguntung m a antara masy yarakat, penngelola dan industri jaamu untuk konservasi k kedawung. 153
Pemerintah daerah seharusnya berperan sebagai fasilitator dan regulator secara proaktif bagi kepentingan ketiga belah pihak dengan prinsip keadilan yang berkelanjutan, misalnya pajak yang dipungut oleh pemerintah dari industri jamu hendaknya disalurkan untuk kepentingan penelitian, peningkatan IPTEK dan kapasitas masyarakat bagi konservasi kedawung dan peningkatan nilai tambahnya bagi masyarakat. Pemerintah daerah hendaknya memfasilitasi untuk menjalin kemitraan masyarakat pendarung dengan industri jamu, terutama industri jamu yang menggunakan bahan baku kedawung dan bahan baku tumbuhan obat lainnya yang berasal masyarakat pendarung kawasan TNMB. Kemitraan ini penting dijalin agar pihak industri jamu maupun masyarakat pendarung dapat memberikan feed back kepada kedua belah pihak, terutama feed back berupa nilai tambah kepada masyarakat pendarung yang berada pada posisi nilai tawar yang lebih rendah. Pihak industri jamu hendaknya mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk investasi dalam bentuk menyediakan dana pendidikan dan penelitian untuk pengembangan IPTEK konservasi sumberdaya alam hayati tumbuhan obat. Adanya kemitraan yang saling menguntungkan dengan aturan main yang disepakati kedua belah pihak ini dapat mendorong secara nyata terwujudnya tujuan ideal taman nasional, yaitu terpeliharanya potensi keanekaragaman hayati dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional. Akhirnya akan berdampak positif, yaitu terwujudnya kelompok stakehoders kedawung yang kuat dan tangguh dari hulu sampai hilir, sehingga dapat berperan dan diperhitungkan di dunia global. 6. Membangun image stimulus tumbuhan obat kedawung sebagai pohon kehidupan untuk memelihara kesehatan rakyat Sejarah manfaat kedawung sangat dikenal dizaman penjajahan Belanda sampai di awal kemerdekaan, informasi ini dapat dilihat dalam buku Heyne (1987) dan Kloppenburgh-Veerteegh (1983), terutama pada masyarakat dari suku Jawa dan Melayu. Berdasarkan wawancara langsung dengan seorang mantan pejabat tinggi Departemen Kehutanan, yaitu Bpk. Ir. Soedjadi Hartono sesepuh yang lahir tahun 1935, bahwa dimasa kecilnya di Jawa Timur sejak umur 7 tahun sudah mengenal dan
mengetahui manfaat kedawung.
Beliau mengatakan 154
berdasarkan pengalamannya bahwa masyarakat suku Jawa umumnya dahulu mengenal dan menggunakan biji kedawung untuk mengobati sakit perut dan untuk peluruh kentut. Bukti dapat dilihat betapa tingginya dahulu masyarakat Jawa mengingati kedawung sebagai pohon penting, antara lain dengan memberi nama dan lambang perusahaan yang pernah besar di Jawa Timur dengan ”kedawung”. Begitu juga berdasarkan wawancara langsung dengan etnis Jawa, Madura di TNMB dan etnis Dayak di Sintang Kalimantan Barat tahun 2005 menunjukkan bahwa walaupun tidak ada terjadi komunikasi antar etnis, tetapi ada kesamaan manfaat kedawung, mereka semua telah memberikan pernyataan yang sama bahwa kedawung dikenal dan digunakan untuk obat kembung, sakit perut dan memperlancar proses pencernaan. Ini ada kesamaan dengan masyarakat tradisional sekitar hutan tropika di Afrika Barat (Hall, Tomlinson, Oni, Buchy dan Aebischer, 1997; Quedraogo, 1995). Fakta ini menunjukkan ada nilai-nilai universal yang terdapat dalam tumbuhan obat kedawung, yaitu tumbuhan yang berkhasiat mengobati dan memelihara kesehatan pencernaan masyarakat dunia. Menurut Rubi (2005) pada tahun 2000, penyakit diare dan gastritis merupakan urutan penderita terbesar ke 3 dan ke 4 dari sepuluh terbanyak macam penyakit yang diderita penduduk miskin di Indonesia. Sudah menjadi pendapat umum di dunia kesehatan dan dunia kedokteran, bahwa segala macam penyakit fisik yang diderita manusia, umumnya berawal dari terganggunya proses pencernaan dan penyakit perut khronis yang tidak segera diobati.
Sehingga dengan fakta ini pohon kedawung tidak saja penting fungsi
keberadaannya di ekosistem hutan, tetapi juga penting bagi kehidupan masyarakat untuk memelihara kesehatan masyarakat seperti yang sudah sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat generasi tua, terutama di Jawa dan Kalimantan. Berdasarkan fakta dan keterangan di atas, maka sangat strategis untuk membangun kembali image stimulus tumbuhan obat kedawung sebagai pohon kehidupan yang mempunyai multi-effect, baik dipandang dari aspek ekologis, ekonomi rakyat, maupun kesehatan rakyat banyak. Seharusnyalah dapat terwujud kesehatan masyarakat Indonesia dengan mudah dan murah, yaitu mentradisikan kembali konsumsi biji kedawung melalui makanan ataupun minuman sehari-hari.
155
Tumbuhan obat kedawung hendaknya dikembangkan dengan baik, yaitu mulai berangkat dari
pengetahuan tradisional sampai bersambung dengan IPTEK
terkini, sehingga kedawung benar-benar dapat berdampak positif didalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk mendukung paradigma sehat yang sudah dicanangkan pemerintah pada tahun 2000 yang lalu. Sintesis penyelesaian masalah yang diungkapkan semua di atas yaitu membangun sikap pro-konservasi dan menyempurnakan kebijakan pengelolaan hendaknya dilakukan secara simultan dan berkelanjutan dengan pentahapan yang runut dan sistematis. Hal ini mengingat karena umumnya semua aspek yang dikemukakan di atas saling berkaitan dan saling mempengaruhi.
156