Juli 2016
Jurnal Syariah 4
PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DAN HUKUM ASURANSI SYARIAH Bayu Imantoro Universitas Agung Podomoro Email:
[email protected]
Abstrak Hukum Islam di Indonesia hidup sebelum Belanda menghadirkan sistem hukumnya sebagai konsekuensi dari kolonialisme. Pasca kemerdekaan, hukum Islam, hukum adat, dan hukum peninggalan Belanda tidak serta merta diterima atau ditinggalkan, namun tetap dijalankan bahkan menjadi bahan baku bagi pembentukan hukum nasional. Dalam perkembangannya, hukum barat yang hidup dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat turut memberikan sumbangsih bagi pembentukan hukum nasional. Hukum asuransi syariah sebagai salah satu cabang dari hukum Islam telah diterima menjadi hukum positif. Oleh karena itulah, hukum asuransi syariah dapat dijadikan salah satu landasan hukum dalam pengaturan jaminan kesehatan di Indonesia. Pemaknaan Negara Hukum Pancasila yang dikemukakan oleh Muhammad Tahir Azhary dan penafsiran Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 oleh Hazairin serta teori keadilan sosial yang disampaikan Sayyid Quthb memperlihatkan bahwa terdapat legitimasi peran negara atau penguasa sebagai penyelenggara jaminan kesehatan nasional bagi rakyatnya. Jaminan kesehatan nasional dalam perspektif hukum Islam sebenarnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah, namun dalam keadaan tertentu dapat diserahkan sebagian pengelolaannya kepada masyarakat golongan mampu dengan konsep hukum asuransi syariah yang berlandaskan pada prinsip tolong-menolong dalam kebaikan. Kata kunci: hukum Islam, hukum asuransi syariah, jaminan kesehatan nasional
5
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
National Health Care and Sharia Insurance Law Abstract Islamic Law in Indonesia exists before Dutch legal system appears as a consequence of colonialism. After the independence day, Islamic Law, Customary Law and the Law of Dutch neither automatically acceptable nor abandoned but still be implemented, even become the source for the establishment of a national law. During its development, western law which alive and evolve in Europe and the United States contribute to the establishment of a national law. Sharia insurance law as one of the branches of Islamic law has been accepted into positive law. Hence, sharia insurance law may become legal basis for the regulation of national health care in Indonesia. Meaning of Pancasila State of Law put forward by Muhammad Tahir Azhary and the interpretation of Article 29 of the Constitution of 1945 by Hazairin and theories of social justice delivered by Sayyid Quthb shows that there is a legitimate role of the state or its authorities as providers of national health care for the people. National health care in the perspective of Islamic law are the responsibility of the government, but in certain circumstances can be delivered partly to wealthy communities with the legal concept of sharia insurance, based on the principle of mutual assistance in the goodness. Keywords: Islamic law, sharia insurance law, national health care
Pendahuluan Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dalam agama Islam.1 Para ahli hukum ketika membicarakan hukum Islam tidak dapat lepas dari dalil-dalil agama Islam yang berasal dari wahyu Allah SWT.2 Hukum Islam bersumber dari dua sumber utama yaitu Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi firman Tuhan dan Al-Hadits atau Sunnah3 Nabi Muhammad SAW sebagai penjelas dari firman Tuhan.4 Kedua sumber utama ini kemudian dilengkapi dengan sumber lain Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 42. 2 Ahmad Qadri Azizi, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 20. 3 As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam. Adapun al-hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru.Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut kesepakatan mayoritas atau jumhur Ulama.Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi saw dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah. As-Sunnah menurut ulama salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya. Lihat Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pengertian As-Sunnah menurut syariat,
, diakses pada 10 Februari 2016. 4 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an,
6
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
sepeninggal Nabi seperti ijtihad5 para ahli hukum Islam atau ulama6 atas permasalahan yang ada di masyarakat. Pendapat para Sahabat Nabi turut dapat menjadi sumber Hukum Islam.7 Keberadaan hukum Islam di Indonesia menjadi salah satu bahan baku bagi pembentukan hukum nasional di samping hukum adat/kebiasaan (customary/adat law) dan sistem hukum peninggalan kolonial Belanda yang berkarakter civil law. Dalam kenyataannya, selain ketiga sistem hukum tersebut, common law yang tumbuh kuat di Inggris dan Amerika Serikat turut ambil bagian mewarnai hukum nasional. Hal ini merupakan amanat pasca reformasi sesuai Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999 yang mengatakan bahwa arah kebijakan hukum nasional adalah hukum yang bersumber pada hukum agama, kebiasaan (adat istiadat masyarakat Indonesia), dan hukum peninggalan kolonial Belanda yang terus disempurnakan dan diperbaharui.8 Hukum Islam turut memberikan kontribusi bagi pembentukan hukum nasional yang terlihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan sejak kemerdekaan hingga hari ini. Hukum asuransi syariah merupakan salah satu cabang hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia. Keberadaannya diatur oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Sekalipun dalam pengaturannya masih menyatu dengan asuransi konvensional, asuransi syariah telah mendapatkan perhatian pembuat undang-undang dan masyarakat sehingga turut diberikan pengaturannya sebagai landasan yuridis keberlakuan di Indonesia.
or.id/content/1857/slash/0/hubungan-as-sunnah-dengan-al-quran/>, diakses pada 15Februari 2016. 5 Ijtihad adalah berusaha bersungguh-sungguh atau mengerahkan segala kemampuan mujtahid (orang yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad) dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum suatu masalah dengan menggunakan metodologi yang benar dari kedua sumber hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lihat Edi Suresman, Ijtihad,
, diakses pada 18 Februari 2016. 6 Ulama dalam kosakata Bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari kata alim. Artinya orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, orang pandai. Dalam Bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggal; orang yang ahli ilmu agama Islam. Kata Ulama sepadan dengan ulul albab dalam Al-Qur’an yang artinya arif. Para Ulama adalah pewaris Nabi dan penerus tugas-tugasnya di dunia, yakni membawa kabar gembira, memberi peringatan, mengajak kepada Allah dan memberi cahaya. Lihat Muhammad Chirzin, Ulama dan Umara dalam Perspektif Al-Qur’an, , diakses pada 20 Februari 2016. 7 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, diterjemahkan oleh Faiz el Muttaqien, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm 128. 8 Lihat Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999, Bab IV Arah Kebijakan Hukum, , diakses pada 20 Februari 2016.
7
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
Indonesia telah memilih mekanisme asuransi sebagai format penyelenggaraan jaminan kesehatan, sehinggga dengan demikian keberadaan hukum asuransi syariah tidak dapat dikesampingkan. Polemik Jaminan Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencuat sekitar satu bulan pasca pertemuan para Ulama di Tegal yang dianggap mengeluarkan fatwa bahwa BPJS haram secara syariah. Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin dan Ketua Sidang Pleno Ijtima’ Ulama Ma’ruf Amin telah menegaskan bahwa tidak benar ada kata haram dalam fatwa para Ulama tersebut,9 melainkan ada hal-hal yang harus diperbaiki secara syariah agar BPJS memenuhi ketentuan dalam hukum Islam.10 Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia telah menyatakan akan bersama-sama menyusun sistem mekanisme syariah untuk BPJS sehingga memberikan kepastian hukum dan ketenangan bagi masyarakat.11 Pro kontra ini sesuatu yang wajar dan menarik untuk dikaji agar didapatkan jawaban atas permasalahan yang ada, sehingga jaminan kesehatan nasional di Indonesia tidak melanggar hukum Islam sebagai bagian dari agama mayoritas rakyat Indonesia sekaligus memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pengaturan dan pengelolaannya. Tulisan ini akan mengkaji tentang penyelenggaraan jaminan kesehatan di Indonesia sebagai tanggungjawab negara terhadap kesehatan rakyat dengan menggunakan perspektif hukum asuransi syariah, teori negara hukum Pancasila oleh Muhammad Tahir Azhary, penafsiran Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 oleh Hazairin, dan teori keadilan sosialyang disampaikan oleh Sayyid Quthb. Pembahasan terdiri dari beberapa bagian yaitu, bagian pertama akan membahas prinsip hukum asuransi syariah dan prinsip jaminan kesehatan dalam hukum Islam. Bagian kedua membahas tentang Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS, bagian ketiga membahas teori negara hukum pancasila dan penafsiran atas Pasal 29 konstitusi negara, bagian keempat membahas teori keadilan sosial, dan bagian kelima adalah solusi jaminan kesehatan nasional di Indonesia yang sesuai dengan hukum Islam. Tulisan ini akan diakhiri dengan bagian terakhir, yaitu penutup. Din Syamsuddin: Tak Ada Kata Haram dalam Fatwa MUI soal BPJS Kesehatan, , diakses pada 20 Februari 2016. 10 Hasil Keputusan Komisi B2, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V, ., hal. 56. 11 Asosiasi Asuransi Syariah Dukung BPJS Syariah, , diakses pada 21 Februari 2016. 9
8
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Pembahasan Asuransi Syariah Dalam ajaran Islam, umat manusia yang ada di dunia ini merupakan satu keluarga Asuransi syariah pada pokoknya merupakan konsep: saling bertanggung jawab; saling bekerja sama atau saling membantu; saling melindungi penderitaan satu sama lain; dan menghindari unsur gharar (ketidakpastian), maisir (perjudian), dan riba13. Apabila dalam konsepnya yang konvensional asuransi tidak memperhatikan kehalalan dan keharaman sebagaimana yang dianjurkan dalam Islam, maka asuransi syariah menawarkan konsep yang berbeda. Ta’awun atau saling menolong dan gotong royong dalam kebaikan menjadi ciri khas asuransi syariah. Hal ini akan nampak dalam akad atau perjanjian di antara para pihak dalam perasuransian syariah. 12
Para ulama’ dari berbagai negara boleh dikatakan hampir sepakat tentang keharaman asuransi konvensional seperti Syaikh Ibnu Abidin al-Hanafi (ulama besar Hanafi yang hidup pada tahun 1784-1836), Mufti Mesir yang hidup pada tahun 1854-1935 Muhammad Bakhit al-Muthi’ie, pandangan para ulama dalam Muktamar Ekonomi Islam di Mekah pada tahun 1976, fatwa Majma al-Fiqh al-Islami al-‘Alami di Mekah pada tahun 1979, fatwa Kerajaan Arab Saudi yang ditandatangani Syaikh Awadullah Shalih, Hasan Abdullah, dan lainnya, Yusuf al-Qaradhawi, Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Abu Zahrah Guru Besar Universitas Kairo Mesir, K.H. Ali Yafie ulama asal Indonesia, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Nahdlatul Ulama yang ditandatangani Said Agil al-Munawar dan K.H. Moenasir, Keputusan Muktamar Muhammadiyah tahun 1987, Fatwa Majelis Hisbah Persatuan Islam tahun 1995, dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2003.14 Syed Ahmed Syamlan mengatakan bahwa: Takaful (Islamic insurance) business is a kind of insurance activity within the framework of Shari’ah. To be Shari’ah compliant Takaful operator, it needs to Uswatun Hasanah, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jurnal Asy-Syir’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol. 47 No. 1, 2013), hlm. 240. 13 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 149. 14 Syakir Sula, Asuransi Syariah Life & General Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 58-71. 12
9
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
consider not only on the conventional aspect like conventional insurance, but also must take into account the Shari’ah requirement. Some of the Shari’ah requirement is avoiding interest, uncertainty, gambling and prohibited elements.15 (Terjemah bebas: Bisnis takaful (asuransi dalam perspektif hukum Islam) adalah aktifitas bisnis perasuransian dalam kerangka syariah. Guna memenuhi persyaratan sebagai operator takaful, perlu memperhatikan tidak hanya aspek konvensional perasuransian, namun juga memperhitungkan kebutuhan pemenuhan aspek syariah. Beberapa persyaratan syariah di antaranya adalah menghindari bunga, ketidakpastian, perjudian, dan beberapa elemen yang dilarang). Menurut Mubbser Munawar Khan dan Hassan Mobeen Alam, asuransi syariah telah ada sejak sebelum datangnya Islam, dan kemudian diterima menjadi bagian dari Islam.16 Mereka menjelaskan sebagai berikut: Takaful an Arabic word means “assuring each other”. Takaful is the Islamic term used to denote Islamic insurance. Takaful is based on the principle that the pool of donations is created and is used to support each other. This is the principle of Tabarru. Takaful principles have their roots in Sharia. Sacred Orders of Allah in Quran, religious, social and commercial practices of The Holy Prophet (SAW), Qiyas (comparative arguments), and Ijma (the agreement of whole Islamic world on an issue) form the basis of Sharia. Takaful is originated from the Sharia principles especially those of Muamalatt (transactions between person) and purely is in compliance with the teachings of Islamic Sharia.17 (Terjemah bebas: Takaful dalam bahasa Arab berarti “menjamin satu sama lain”. Takaful adalah istilah dalam Islam yang digunakan untuk perasuransian syariah. Takaful didasarkan pada prinsip bahwa perlu ada kebutuhan akan sebuah tempat donasi, untuk mendukung anggotanya satu dengan yang lain Syed Ahmed Syamlan, Contemporary Issues in Takaful (Islamic Insurance), (Canadian Center of Science & Education Journal Vol. 10, No. 22, 2014), hlm. 210. 16 Mubbser Munawar Khan & Hassan Mobeen Alam, Comparative Analysis of Islamic and Prevailing Insurance Practices, (Centre for Promoting Ideas United States of America, International Journal of Business and Social Science Vol. 2 No. 10, 2011), hlm. 283. 17 Mubbser Munawar Khan & Hassan Mobeen Alam, Op.Cit., hlm. 282-283. 15
10
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
nya. Demikian prinsip Tabarru. Prinsip-prinsip takaful memiliki akar dalam syariah atau hukum Islam. Firman suci Allah SWT dalam Al-Qur’an, praktik-praktik keagamaan, sosial, dan komersial Nabi Muhammad SAW, Qiyas (argumentasi perbandingan), dan Ijma (kesepakatan seluruh dunia Islam pada suatu masalah) membentuk dasar syariah. Takaful berasal dari prinsip-prinsip syariah khususnya muamalah (transaksi antar manusia) dan murni sesuai dengan ajaran Islam). Jaminan Kesehatan dalam Pandangan Hukum Islam Sebagian ahli hukum Islam, menolak konsep asuransi syariah –yang tidak lepas dari unsur mencari keuntungan—dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Menurut penafsiran mereka, penguasa berkewajiban untuk menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat dalam kesehatan tanpa ada unsur bisnis di dalamnya karena mengandung ketidakadilan.18 Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim: “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (Hadits Riwayat Bukhari dari Abdullah bin Umar)19 Yang termasuk kebutuhan-kebutuhan dasar bagi rakyat adalah kebutuhan keamanan, kesehatan dan pendidikan. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw: “Siapa saja yang saat memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya dan tersedia bahan makanan di hari itu, dia seolah-olah telah memiliki dunia semuanya” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)20 Dalam hadits tersebut ditunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan dipandang sebagai kebutuhan primer atau dasar sebagaimana makanan dan minuman. Dengan demikian keamanan dan kesehatan masuk dalam kategori kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, menurut pandangan hukum Islam.21 Taqiyuddin an Nabhani dalam Muqaddimah ad-Dustur mengemukakan bahwa Rasulullah saw pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang Al-Islam, Jaminan Kesehatan dalam Islam, , diakses pada 21 Februari 2016. 19 Ibid. 20 Ibid. 21 Ibid. 18
11
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan pengobatan dengan kay (besi panas) pada urat itu (HR Abu Dawud).22 Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw, yang bertindak sebagai kepala negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. Dalil yang lain dapat dipahami dengan maksud yang sama, sebagaimana yang terdapat di dalam Kitab Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahîhayn karya Imam al-Hakim. Disebutkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata: “Aku pernah sakit parah pada masa khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruh aku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR al-Hakim)23 Hadits di atas juga menunjukkan, bahwa khalifah Umar selaku kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya. Kedua hadits di atas merupakan dalil yang valid, bahwa dalam hukum Islam jaminan kesehatan itu wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara. Pengadaan layanan, sarana, dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya, yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab negara. Tanpa kejelasan jaminan pengobatan dari pemerintah yang merupakan tanggung jawabnya, rakyat akan terbebani dengan biaya untuk menjaga kesehatannya. Sehingga dengan demikian, hak rakyat untuk menikmati hidup sehat harus dijamin oleh penguasa. Pengelolaan keuangan negara atas jaminan kesehatan memerlukan keseriusan pemerintah untuk mendapatkan dana dari hasil usaha-usaha yang dihalalkan oleh agama. Allah SWT berfirman di dalam Al Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
Dwi Condro Triono, Jaminan Kesehatan dalam Islam, , diakses pada 22Februari 2016. 23 Dwi Condro Triono, Op.Cit. 22
12
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Al Maidah ayat 87)24 Dalam tanggung jawabnya untuk memberikan jaminan kesehatan atas rakyatnya, pemerintah/ penguasa harus mencari dana yang halal untuk menjamin kebaikan di dunia dan akhirat. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Di antaranya dapat berasal dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, kekayaan laut, minyak dan gas, juga dari sumber-sumber zakat, infak, sedekah, jizyah, ghanimah, wakaf, dan lain sebagainya. Semua itu insya Allah lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat. Kekhalifahan Islam terdahulu memiliki banyak rumah sakit dengan ribuan dokter di Baghdad, Kairo, Damaskus, Yerusalem, Cordova, dan lain sebagainya. Bahkan rumah sakit Al Mansuri di Kairo yang dibangun pada tahun 1283 mampu menampung hingga 8000 (delapan ribu) pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien dan masing-masing memiliki kamar sendiri. Obat dan makan pasien disediakan secara gratis. Khalifah Al-Muqtadir Billah dari Bani Abbasiyyah memerintahkan pada zamannya pengobatan gratis ke desa-desa.25 Di zaman pemerintahan Bani Umayyah, kesehatan dan jaminan sosial terjamin untuk orang miskin, orang tua, anak muda, baik muslim maupun non muslim dan menjadi belanja negara setiap tahunnya dengan alokasi sebesar 10.000 (sepuluh ribu) dirham.26 Menurut Ami Fauziah, Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki tiga sifat. Pertama: berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat. Kedua: bebas biaya. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara. Ketiga: seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa Al-Qur’an & Terjemahnya, (Madinah: Kompleks Percetakan Al-Qur’an Raja Fahad, 2009/ 1430 H), hal. 176. 25 Healthcare in the Khilafah, , diakses pada 23 Februari 2016. 26 Ali Muhammad ash-Shallabi, Episode Krusial Sejarah Islam Muawiyah bin Abi Sufyan Prestasi Gemilang selama 20 Tahun sebagai Gubernur dan 20 Tahun sebagai Khalifah, diterjemahkan oleh Izzudin Karimi, (Jakarta: Darul Haq, 2013), hal. 479. 24
13
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.27 Pendapat sebagian ahli hukum Islam ini ada benarnya, apalagi dibangun di atas dalil-dalil yang jelas dalam agama. Namun demikian, dalam keadaan negara atau keuangan yang tidak memungkinkan, sebagian ahli hukum Islam sebenarnya dapat menerima konsep asuransi syariah sebagai alternatif dalam pengaturan dan pengelolaan jaminan kesehatan. Sayyid Quthb dalam bukunya mengutip pendapat Al- Imam Asy-Syatibi, bahwa untuk keperluan distribusi kekayaan kepada fakir miskin, jika kondisi baitul maal kosong atau tidak mencukupi, maka negara dapat memungut sebagian harta dari orang kaya, hingga baitul maal terisi lagi dan cukup untuk alokasi kesejahteraan umat.28 Dengan demikian masalah kesehatan nasional turut menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat yang memiliki kelebihan harta. Jaminan Kesehatan Nasional dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pemerintah Republik Indonesia telah mewajibkan kepesertaan warga negara dan penduduk dalam sistem jaminan sosial nasional melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Undang-Undang BPJS). Undang-Undang BPJS ini menyatakan secara tegas bahwa penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden Republik Indonesia ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.29 Ami Fauziah, BPJS versus Jaminan Kesehatan dalam Islam, , diakses pada 22 Februari 2016. 28 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan oleh Afif Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 196. 29 Indonesia, Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No. 24 Tahun 2011, LN No. 116 Tahun 2011, TLN No. 5256, Penjelasan, Bagian I. Umum. 27
14
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Diawali dengan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Tahun 2000, Presiden Republik Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial oleh Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra dan Taskin). Pada akhirnya keluarlah Keputusan Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/ KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sejalan dengan pernyataan Presiden, Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA RI) melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera. Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”. Pada tahun 2001, Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN).30 Pada tahun 2004, Negara Republik Indonesia memiliki Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Undang-Undang SJSN) yang mengamanatkan penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional pada bentuk badan penyelenggara. Undang-Undang SJSN inilah yang menjadi cikal bakal pembentukan Undang-Undang BPJS. Undang-Undang SJSN sendiri telah menjelaskan sembilan prinsip penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional yaitu: kegotong-royongan; nirlaba; keterbukaan; kehati-hatian; akuntabilitas; portabilitas; kepesertaan bersifat wajib; dana amanat; dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.31 Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan
Sejarah Sistem Jaminan Sosial di Indonesia, , diakses pada 20 Februari 2016. 31 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 40 Tahun 2004, LN No. 150 Tahun 2004, TLN No. 4456, Pasal 4. 30
15
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial.32 Pengelolaan atas Dana Jaminan Sosial dibebankan kepada BPJS sebagai badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial nasional sesuai amanat UndangUndang BPJS.33 Dalam menjalankan fungsinya tersebut, BPJS memiliki kewenangan menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.34 Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh BPJS sebagai badan hukum penyelenggara jaminan sosial nasional.35Bahkan hasil pengelolaan yang sebesar-besar untuk kepentingan peserta telah menjadi salah satu prinsip dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional.36 Keberadaan sistem jaminan nasional dan BPJS sebagai bentuk kehadiran negara untuk melayani warga negara dan penduduknya tentu sejalan dengan konsep hukum Islam yang memberikan porsi perhatian besar bagi kemanusiaan dan hak-hak masyarakat, termasuk orang-orang yang lemah.37 Sehingga dengan demikian, pengelolaan BPJS dan sistem jaminan sosial nasional, termasuk dana jaminan sosial nasional, yang memiliki kesesuaian dengan hukum Islam merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi mengingat karakteristik hukum Islam yang unik, yaitu tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain serta penguasa dalam masyarakat, namun juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta manusia. Hukum Islam tidak membatasi pandangannya pada konsekuensi-konsekuensi duniawi saja, tetapi juga memandang konsekuensi akhirat, sebagai konsekuensi hidup setelah kehidupan di dunia berakhir kelak.38
Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Op.Cit., Pasal 1, Angka 3. Ibid., Pasal 9, Ayat (1), (2), dan Pasal 10, Huruf d. 34 Ibid., Pasal 11. 35 Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Op.Cit., Pasal 13, Huruf b. 36 Ibid., Pasal 4, Huruf i. 37 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid SyariahModerasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, diterjemahkan oleh Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 25-26. 38 Daud Ali, Op.Cit., hal. 219-220. 32 33
16
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Negara Hukum Pancasila dan Tafsiran Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Muhammad Tahir Azhary mengatakan bahwa Negara Hukum Pancasila memiliki ciri-ciri: (1) ada hubungan yang erat antara agama dan negara; (2) bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) kebebasan beragama dalam arti positif; (4) ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5) asas kekeluargaan dan kerukunan.39 Menurut Tahir Azhary, dalam Negara Hukum Pancasila harus diperhatikan dua hal yaitu (1) kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang positif sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa, atau sikap yang memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dibenarkan; dan (2) ada hubungan yang erat antara agama dan negara, sehingga baik secara rigid/mutlak atau longgar/nisbi, Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan agama dan negara karena pemisahan ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.40 Hazairin, guru besar Hukum Adat dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengemukakan tafsiran Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dengan makna sebagai berikut: 1. Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah agama Nasrani bagi ummat Nasrani atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu bagi orang-orang Hindu atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha; 2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu bagi orang Hindu, dalam hal menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara; 3. Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat berdiri sendiri, dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agaman Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 97-98. 40 Ibid., hal. 98. 39
17
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
ya masing-masing; 4. Jika karena salah tafsir atau oleh karena dalam kitab-kitab agama, mungkin secara terselip dijumpai suatu peraturan yang bertentangan dengan sila ketiga, keempat, dan kelima dalam Pancasila, maka peraturan agama yang seperti itu, setelah dirembukkan dengan pemuka agama yang bersangkutan, wajib dinonaktifkan; 5. Hubungan suatu agama dengan sila kedua dalam Pancasila dibiarkan kepada norma-norma agama itu sendiri atau kepada kebijaksanaan pemeluk-pemeluk agama itu. Maksudnya, suatu norma dalam sila ke-2 itu yang bertentangan dengan norma suatu agama atau dengan paham umum pemeluk-pemeluknya berdasarkan corak agamanya, tidak berlaku bagi mereka; 6. Rakyat Indonesia yang belum termasuk ke dalam agama-agama yang tadi, yaitu rakyat yang masih memuja ruh nenek moyang dan makhluk lain seperti binatang, pohon, dan ciptaan khayal seperti mambang dan peri, ditundukkan kepada sila ke-2, 3, 4, dan 5 Pancasila dalam menjalankan kebudayaan yang normatif yang ditimbulkan oleh pergaulan hidup mereka yang lazimnya disebut adat mereka (hukum adat, kesusilaan kemasyarakatan dan kesenian yang tradisionil), yaitu dalam menunggu berhasilnya usaha-usaha peningkatan hidup keruhanian mereka ke taraf hidup keagamaan yang berketuhanan Yang Maha Esa.41 Pendapat Muhammad Tahir Azhary dan Hazairin tersebut merupakan penjelasan yang sangat masuk akal dan relevan bagi keberadaan pengelolaan jaminan kesehatan nasional yang sesuai dengan hukum Islam. Hubungan yang erat antara negara dan agama berwujud kewajiban penguasa/ negara untuk memberikan fasilitas serta regulasi yang menjamin pengadaan dan pengelolaan jaminan kesehatan yang sesuai dengan hukum agama yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia. Asas kekeluargaan dan kerukunan adalah asas yang fundamental dalam hukum Islam sehingga penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional sudah seharusnya memperhatikan asas yang mulia ini.
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1973), hal. 18-19.
41
18
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Keadilan Sosial Sayyid Quthb Sayyid Quthb dalam bukunya Al- ‘Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh John B. Hardie berjudul Social Justice in Islam mengemukakan tentang Teori Keadilan Sosial dalam Islam.42 Dalam bukunya ini, Sayyid Quthb menjelaskan bahwa Islam menetapkan kaidah-kaidah keadilan sosial dalam bentuk jaminan hak fakir miskin yang ada dalam harta orang kaya, menentukan aturan yang adil dalam masalah hukum dan pengaturan atas harta kekayaan, dan di sisi lain tidak menganjurkan manusia meninggalkan hak mereka atas kepemilikan harta. Kepemilikan atas harta merupakan hal terpuji asal tidak bermewah-mewahan, dan diikuti dengan pengeluaran sebagian harta orang kaya untuk fakir miskin. Bermewah-mewahan dalam Islam merupakan sikap yang terlarang bahkan Allah turunkan surat khusus dalam Al-Qur’an tentang larangan ini. Islam mewujudkan keadilan dan keseimbangan dengan cara memberikan ruang gerak yang cukup bagi nilai-nilai ekonomi yang menunjang kehidupan. Pemberian kesempatan bagi individu, membiarkan mereka melakukan pekerjaan dan mendapatkan imbalannya dalam batas-batas tertentu yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sehingga perbedaan kekayaan adalah logis, didasarkan pada keterampilan dan kemampuan kerja yang berbeda-beda. Justru keadaan antara kaya dan miskin inilah yang dijadikan jembatan oleh Islam untuk menciptakan keadilan sosial dengan perolehan rizki dan pembagiannya bagi pihak-pihak yang telah ditetapkan oleh agama. Islam tidak menetapkan persamaan dalam harta, sebab penghasilan sejalan dengan kemampuan yang dimiliki. Keadilan yang mutlak justru membutuhkan perbedaan imbalan, ada kelebihan sebagian dari yang lainnya, di samping realisasi keadilan dalam segi kemanusiaan berupa pemberian kesempatan yang merata dan luas bagi setiap anggota masyarakat. Jadi, di dalam hukum Islam ada keseimbangan antara hak fakir miskin dan kebutuhan mereka, serta jaminan atas pemenuhan kebutuhan dan pertumbuhan finansial individu. Menurut Sayyid Quthb, di dalam ajaran Islam, keadilan sosial memiliki tiga asas:
43
Sayed Kotb, Social Justice in Islam, translated by John B. Hardie and revised by Hamid Algar, (Washington DC: American Council of Learned Societies, 1953). 43 Quthb, Op.Cit., hlm. 43. 42
19
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
1.
Kebebasan jiwa yang mutlak;
2.
Persamaan kemanusiaan; dan
3.
Jaminan sosial yang kuat.
Kebebasan jiwa yang dalam dan mutlak menjadi penopang paling kuat dalam peningkatan kehidupan yang lemah. Namun mereka yang kuat harus menunjukkanke-tawadhu-an (sikap tidak sombong dan rendah hati). Kedua hal ini akan bertemu dalam satu titik jiwa keyakinan kepada Allah dalam satu kesatuan dan kerjasama, baik dalam kemanusiaan dan jaminan oleh Nya.Pembebasan jiwa meliputi segala bentuk peribadatan selain kepada Allah, atau pengkultusan kepada seseorang di antara anak-anak Adam. Kebebasan juga bermakna bebas dari segala rasa takut, penderitaan, kemiskinan dan kehinaan. Kebebasan jiwa akan mampu untuk memberikan dorongan kuat bagi seseorang menuntut haknya, melawan kelemahan, kepasrahan, dan sikap kultus pada individu. Kebebasan jiwa terkait dengan pentingnya keikhlasan, atau merelakan segala sesuatunya kepada Yang Maha Kuasa. Dalilnya adalah surat al Ikhlas dalam AlQur’an yang bermakna Allah Maha Esa, tempat bergantung kepada Nya segala sesuatu. Di dalam surat al-Fatihah juga disebutkan iyya kana’ budu wa iyya kanasta’in, yang bermakna “hanya kepadaMulah kami menyembah dan kepadamulah kami memohon pertolongan.” Keikhlasan menuntut tidak boleh adanya riya’ (keinginan untuk dipuji), maka amal kebajikan akan beterbangan jika mengharap imbalan/ pujian dari selain Allah swt. Amalan yang niatnya keliru akan mengotori jiwa, akal, dan nurani. Tidak ada yang lebih merendahkan jiwa selain mengharapkan balasan bagi suatu pemberian, tidak ada yang lebih dianggap hina dan merusak hati selain riya’. Islam telah menentukan hak atas kebutuhan hidup seseorang ditanggung oleh negara (penguasa) dan orang-orang yang mampu di dalam masyarakatnya. Diikuti dengan kewajiban dan sanksi yang mengikat dunia akhirat. Sanksi dunia salah satunya adalah diperangi, sementara sanksi akhirat adanya perhitungan neraca amal kebaikan dan keburukan. Contoh instrumen dalam distribusi kekayaan ada dalam zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, koperasi (BMT), dan lain sebagainya. Semua manusia berasal dari tanah, air mani yang hina. Hal ini berlaku bagi semua anak Nabi Adam sejak pertama sampai akhir kehidupan dunia tanpa kecuali. 20
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Tidak ada darah biru di dalam Islam. Tidak ada kemuliaan orang Arab di atas orang non-Arab ataupun sebaliknya. Tidak ada kemuliaan orang Romawi di atas orang Arab atau sebaliknya. Persamaan derajat ini ditegakkan atas teori kemanusiaan yang bersih dari segala fanatisme, hingga fanatisme keagamaan sekalipun. Orang-orang non muslim juga diberikan hak-haknya dalam penjagaan atas jiwa dan harta mereka, sepanjang mereka hidup dalam perjanjian damai dengan kaum muslimin. Sayyid Quthb melanjutkan, bahwa di dalam Islam dikenal beberapa prinsip mengenai jaminan:44 1. Jaminan individu terhadap dirinya sendiri. Jaminan seseorang terhadap dirinya sendiri agar tidak melampaui batas, menempuh jalan yang baik dan selamat, serta tidak memperturutkan hawa nafsu; 2. Jaminan individu atas keluarganya. Contohnya adalah perintah Allah untuk berbakti kepada orang tua, hingga mengeluarkan harta waris sesuai ketetapan Allah, dan lain sebagainya; 3. Jaminan individu dan masyarakatnya (ada hubungan timbal balik). Contohnya perintah Allah swt untuk manusia agar memberi makan orang yang miskin. Lihat Al-Qur’anSurat ke-107 ayat 1 sampai dengan 3. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin.” Lihat juga Al-Qur’an Surat ke-17 ayat 16. “Dan kami perintahkan kepada orangorang yang hidup dalam kemewahan untuk mentaati Allah, namun ternyata mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri tersebut, maka Allah hancurkan dan binasakan negeri itu sehancur-hancurnya.” Hal ini menunjukkan pentingnya amar makruf nahi munkar. Sebab jika dalam negeri tersebut kebanyakan masyarakatnya diam dan tidak bergerak untuk menasihati dan berbuat baik, maka semua baik yang shalih dan yang jahat akan ikut hancur. Islam menciptakan keadilan mencakup semua segi di atas dua tiang pokok: 1) hati nurani, dan 2) ketentuan Allah swt.45 Contohnya adalah zakat dan sedekah. Zakat di satu sisi merupakan instrumen yang memberikan jaminan bagi orang-orang Lihat selengkapnya dalam Quthb, Op.Cit., hlm. 80-98. Quthb, Op.Cit.,hlm. 100.
44 45
21
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
yang berhak menerimanya. Ia adalah kewajiban agama, namun di sisi lain zakat merupakan bentuk kerelaan orang-orang kaya karena dorongan Islam yang menggerakkan kalbu/ nurani mereka. Sedekah adalah hasil dari ikatan persaudaraan, kasih sayang, bisikan hati dan perasaan, sebagai realisasi ikatan jaminan sosial yang diarahkan untuk dua tujuan: 1) pendidikan jiwa yang mendalam, dan 2) solidaritas kemanusiaan yang kuat, melampaui batas-batas persaudaraan seagama.46 Sayyid Quthb juga mengatakan bahwa politik/ komitmen pemerintah menjadi sesuatu yang penting dalam Islam karena memiliki keterkaitan yang kuat bagi pemerintah untuk: 1) menegakkan hukum, 2) mengikat masyarakat, 3) merealisasikan keadilan dan keseimbangan, 4) membagikan harta kekayaan sesuai kaidah hukum Islam. Politik dalam Islam sendiri dibangun di atas dua konsep dasar: 1) pemikiran integral tentang jenis manusia, watak, dan pertumbuhannya; serta 2) sistem universal yang abadi bagi kemanusiaan.47 Politik/ komitmen pemerintah dalam persepektif hukum Islam dibangun di atas 3 (tiga) asas, yaitu: 1. Keadilan Penguasa; 2. Ketaatan Rakyat; dan 3. Musyawarah antara Rakyat dan Penguasa. Islam hadir mempersempit hak-hak pribadi penguasa, namun membuka luas ruang gerak penguasa dalam menentukan hukum yang tidak ada nash atau teks nya, guna menjaga kepentingan sosial (al maslahah mursalah). Maka penguasa haruslah melibatkan diri untuk mengembangkan kewajiban zakat dalam bentuk lain, meningkatkan pendapatan masyarakat, menghindarkan penumpukan harta, memberantas korupsi, dan menggali sumber-sumber pendapatan yang halal dan bermanfaat untuk masyarakat. Politik/ komitmen pemerintah dalam perspektif hukum Islam dibangun di atas dua prinsip yaitu (1) hati nurani dan (2) ketentuan agama. Penguasa harus meyakini pengawasan Allah swt di setiap detiknya, sehingga rasa takut kepada Allah bahu membahu dengan pelaksanaan ketentuan hukum bagi terealisasinya keadilan. Sebab Quthb, Op.Cit., hlm. 105-106. Lihat selengkapnya penjelasan Sayyid Quthb dalam Quthb, Op.Cit., hlm. 121-139.
46 47
22
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
syariat/ hukum dapat saja diselewengkan oleh hakim, penguasa, dan orang-orang yang tidak jujur. Adapun teori kepemilikan dalam Islam, menurut Sayyid Quthb terdiri atas dua prinsip. Pertama, pemilik harta adalah Allah, manusia hanya ditugaskan melakukan pengurusan. Contohnya dalam hal hak milik atas tanah, dalam Islam hanya diberikan jangka waktu 3 (tiga) tahun untuk mengolahnya. Jika tidak diolah dalam jangka waktu tiga tahun, hak milik gugur, dikembalikan kepada negara untuk dimanfaatkan. Namun di sisi lain Islam memberikan perlindungan atas hak milik, dengan hukuman atas pencurian, perampasan, perampokan, dan yang lainnya. Pengaturan dalam hak kepemilikan pribadi bukan merupakan bentuk turut campur tangannya Islam, namun semata mata pembatasan dalam pembelanjaan harta (seperti mencegah perbuatan boros/ mubazir, bermewah-mewah dengan harta, membuang harta di jalan yang tidak bermanfaat, tidak boleh ada riba dalam transaksi keuangan, tidak boleh mendapatkan dan membelanjakan harta dengan jalan yang diharamkan agama). Kedua, harta tidak boleh hanya berada di tangan sekelompok orang saja sementara yang lain tidak menikmatinya. Hukum Islam memberikan pengaturan konsekuensi kepemilikan atas harta (dengan berbagai instrumen seperti zakat, infak, sedekah, hibah, dan waris) yang harus didistribusikan tidak hanya bagi diri dan keluarga namun juga untuk memberikan manfaat bagi sekitarnya.48 Untuk menjamin kepentingan masyarakat kecil, Sayyid Quthb mengatakan bahwa terdapat pendapat al-Imam asy-Syatibi yang mengatakan bahwa jika baitul maal (kas negara) kosong atau tidak mencukupi untuk membiayai keperluan negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, maka negara dapat melakukan pemungutan dari orang-orang kaya, hingga baitul maal atau kas negara terisi lagi dan mencukupi.49 Menurut Sayyid Quthb, di masa yang akan datang, negara perlu hadir menerapkan Hukum Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Umum, Hukum Pusat Pelayanan dan Santunan Sosial, termasuk juga penetapan Hukum Tolong Menolong/ ta’awun (asuransi syariah). Jaminan Kesehatan Nasional yang Aman Syariah Republik Indonesia sebagai negara yang didiami oleh hampir 90% umat Islam tentu membutuhkan pengaturan dan pengelolaan jaminan kesehatan nasional yang Lihat selengkapnya penjelasan Sayyid Quthb dalam Quthb, Op.Cit., hlm. 140-201. 49 Quthb, Op.Cit., hlm. 196. 48
23
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
sesuai dengan tuntunan hukum agamanya. Apalagi hukum agama mendapatkan posisi yang baik sebagai salah satu dari sumber hukum nasional. Penerapan hukum Islam di Indonesia tidaklah serta merta kemudian dikatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara Islam. Namun keberlakuannya lebih merupakan wujud dari pemeliharaan hukum Islam yaitu menjaga agama, harta, jiwa, akal, dan keturunan, agar manusia selamat di dunia dan kehidupan setelah kematian. Tafsiran Hazairin dan Muhammad Tahir Azhary sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, memberikan kejelasan landasan yuridis dan filosofis keberlakuan jaminan kesehatan nasional yang --seharusnya wajib-- sesuai dengan hukum agama mayoritas warga negara dan penduduk Indonesia. Teori dan pendapat yang dikemukakan Sayyid Quthb menjadi penguat bahwa jaminan kesehatan nasional yang sesuai dengan hukum Islam merupakan sebuah kebutuhan bagi seorang muslim dan muslimah untuk kebahagiaan dirinya di dunia dan di akhirat.
Penutup Jaminan kesehatan nasional dalam perspektif hukum Islam pada prinsipnya merupakan tanggung jawab penuh penguasa atas rakyatnya. Pengelolaan atas jaminan kesehatan dapat diambil dari sumber-sumber yang halal yang telah digariskan ketetapannya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa melalui firman dan utusan Nya di muka bumi. Sumber-sumber yang halal tersebut di antaranya adalah zakat, infak, sedekah, jizyah, ghanimah, wakaf, dan lain sebagainya. Keberadaan pengaturan dan pengelolaan jaminan kesehatan yang sesuai dengan hukum Islam, tidak harus dipertentangkan dengan kondisi hukum nasional di Republik Indonesia. Tidak ada yang keliru dari pengaturan dan penerapan jaminan kesehatan nasional yang sesuai dengan hukum Islam apabila kita timbang dari sisi konstitusi negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain menjadi sumber hukum nasional, di Indonesia hukum Islam berlaku secara limitatif hanya bagi orang yang beragama Islam. Jaminan kesehatan bagi umat Islam merupakan kebutuhan dan oleh karena nya seyogyanya dikelola dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Bahkan jaminan kesehatan dalam kerangka hukum Islam, harus jugamemberikan manfaat pada orang-orang yang tidak beragama Islam yang ada di dalam sebuah negara/ kekuasaan. 24
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Pendekatan pengaturan dan pengelolaan jaminan kesehatan melalui tangan penuh penguasa/ pemerintah saat keuangan negara berada dalam posisi yang mencukupi, merupakan bentuk ideal pengelolaan jaminan kesehatan. Hukum Islam memberikan alternatif pengaturan dan pengelolaan jaminan kesehatan nasional apabila keuangan negara dan sumber-sumber yang halal belum mencukupi. Partisipasi orang-orang yang kaya/ mampu yang diwakilkan para pemberi kerja menjadi solusi bagi pengaturan dan pengelolaan jaminan kesehatan nasional. Skema asuransi syariah merupakan sarana pengelolaan jaminan kesehatan yang lebih sesuai dengan ketentuan hukum Islam sekaligus memberikan ruang bagi distribusi kekayaan dan keadilan sosial menggunakan konsep tolong-menolong (ta’awun) antara penguasa, orang-orang berkecukupan, dengan masyarakat yang kurang mampu.
Referensi Ahmed Syamlan, Syed. Contemporary Issues in Takaful (Islamic Insurance). Canadian Center of Science & Education Journal, Toronto, Vol. 10, No. 22, 2014. Asosiasi Asuransi Syariah Dukung BPJS Syariah. . Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Kencana, Jakarta, 2003. Chirzin, Muhammad. Ulama dan Umara dalam Perspektif Al-Qur’an. . Condro Triono, Dwi. Jaminan Kesehatan dalam Islam. . Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Rajawali Press, Jakarta, 2012. Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Kencana, Jakarta, 2007. 25
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
Fauziah, Ami. BPJS versus Jaminan Kesehatan dalam Islam.. Hasanah, Uswatun. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Asy-Syir’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Vol. 47 No. 1, 2013. Hazairin. Demokrasi Pancasila. Tintamas Indonesia, Jakarta, 1973. Healthcare in the Khilafah.. Indonesia. Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. UU No. 24 Tahun 2011. LN No. 116 Tahun 2011. TLN No. 5256. _______. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Perubahan I Tahun 1999 s/d Perubahan IV Tahun 2002) dalam satu naskah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 2012. _______. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. UU No. 40 Tahun 2004. LN No. 150 Tahun 2004. TLN No. 4456. Al-Islam. Jaminan Kesehatan dalam Islam. . Jawas, Yazid. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an. . _______________. Pengertian As-Sunnah menurut Syariat. . Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Diterjemahkan oleh Faiz el Muttaqien. Pustaka Amani, Jakarta, 2003. Khan, Mubbser Munawar & Hassan Mobeen Alam. Comparative Analysis of Islamic and Prevailing Insurance Practices. Centre for Promoting Ideas United States of America, International Journal of Business and Social Science, Vancouver, Vol. 2 No. 10, 2011. 26
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Kotb, Sayed. Social Justice in Islam. Translated by John B. Hardie and revised by Hamid Algar, American Council of Learned Societies, Washington D.C., 1953. Majelis Permusyawaratan Rakyat. Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999, Bab IV Arah Kebijakan Hukum. . Majelis Ulama Indonesia. Hasil Keputusan Komisi B2, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V. . Qadri Azizi, Ahmad. Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum. Teraju, Jakarta, 2004. Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqih Maqashid SyariahModerasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal. Diterjemahkan oleh Arif Munandar Riswanto, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007. Al-Qur’an & Terjemahnya, Kompleks Percetakan Al-Qur’an Raja Fahad, Madinah, 2009/ 1430 H. Quthb, Sayyid. Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan oleh Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1994. Ash-Shallabi, Muhammad Ali. Episode Krusial Sejarah Islam Muawiyah bin Abi Sufyan Prestasi Gemilang selama 20 Tahun sebagai Gubernur dan 20 Tahun sebagai Khalifah. Diterjemahkan oleh Izzudin Karimi, Darul Haq, Jakarta, 2013. Sejarah Sistem Jaminan Sosial di Indonesia.. Sula, Syakir. Asuransi Syariah Life & General Konsep dan Sistem Operasional. Gema Insani Press, Jakarta, 2004. Suresman, Edi.Ijtihad. . Syamsuddin, Muhammad Sirajuddin.Tak Ada Kata Haram dalam Fatwa MUI soal BPJS Kesehatan.
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
Din.Syamsuddin.Tak.Ada.Kata.Haram.dalam.Fatwa.MUI.ssoa.BPJS.Kesehatan>.
28