PENYADURAN BUKU AJAR TEORI TERJEMAHAN (JILID 2): TERJEMAHAN DAN KEBUDAYAAN KARYA BENNY HOEDORO HOED TENTANG ‘SULIH SUARA FILM’ Tommy Andrian Universitas Darma Persada
[email protected]
ABSTRACT Dubbing, also known as rerecording, is the post-production process, used in filmmaking and video production, in which vocal recording (like dialogue) occurs subsequent to the original recording stage. The term most commonly refers to the substitution of the voices of the actors shown on the screen by those of different performers speaking a different language; however the practice also involves the rerecording of audio segments and then synchronizing the recording with the existing footage. The procedure was sometimes practiced in musicals when the actor had an unsatisfactory singing voice, and remains in use to enable the screening of audio-visual material to a mass audience in countries where viewers do not speak the same language as the original performers. Key words: dubbing, subtitling, domestication, lip sync, and casting. 1.
PENDAHULUAN
Pada tahun 1996 pernah terjadi pro- dan kontra-sulih suara (dubbing) film asing. Pada waktu itu Menteri Penerangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan semua film di televisi disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia apabila ditayangkan pada prime time. Polemik tentang pro dan kontra sulih suara dalam film ternyata telah melampaui masalah teknis penerjemahan itu sendiri. Di satu pihak ada yang berpendapat bahwa sulih suara film itu baik karena memungkinkan mereka yang tidak menguasai bahasa asing untuk memahami film asing yang bersangkutan. Di pihak lain ada pula yang berpendapat bahwa sulih suara membahayakan karena dapat berakibat masyarakat pemirsanya menyerap kebudayaan yang dicerminkan oleh film asing itu seolah-olah yang ditayangkan itu bagian dari kebudayaannya. Kalau kualitas film dan penyulihannya tidak baik, masyarakat akan diberi tayangan film yang tidak baik dan mungkin menyesatkan. Ada pula alasan ekonomi, yaitu film yang disulihsuarakan akan menyaingi film Indonesia. Kelihatannya masalah bisnis .juga tidak terlepas dari soal sulih suara. Ditinjau dari segi ideologi, kebijakan sulih suara ini merupakan ideologi domestication. Sulih suara film tidak dapat dilepaskan dari soal penerjemahan, penyelarasan naskah, dan pengarahan dialog. Oleh karena itu, sulih suara berkaitan erat dengan masalah kebahasaan. Yang ingin dibahas di sini adalah aspek kebahasaannya. Namun, dampak non-bahasa juga terpaksa harus disinggung.
2.
PENERJEMAHAN DAN DAMPAKNYA
Penerjemahan adalah upaya mengalihkan pesan dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia adalah proses mengalihkan pesan dalam suatu teks bahasa asing ke dalam teks dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan dapat disebut sebagai kegiatan komunikasi dua tahap karena tugas penerjemah adalah memahami teks suatu bahasa untuk membuat orang lain memahami pesan dari teks itu dalam bahasa lain. Dari abad ke abad, manusia menerjemahkan. Kegiatan penerjemahan hampir sama tuanya dengan kegiatan penulisan karya asli. Namun, dampak suatu terjemahan dapat saja berbeda dengan dampak karya aslinya. Hal itu karena, misalnya, sebuah karya dalam bahasa asing dibaca oleh khalayak bahasa itu, sedangkan terjemahan dalam bahasa Indonesia dibaca oleh pembaca berbahasa Indonesia yang berbeda kebudayaannya dengan masyarakat asing itu. Tidak sedikit terjemahan dari bahasa asing (misalnya, Sanskerta, Arab, Belanda, Inggris, dan Prancis) yang menjadi milik masyarakat kita. Mahabharata, Ramayana, Seribu Satu Malam, cerita-cerita fabel (hewan) Lafontaine telah diterjemahkan dan diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia dan bahkan Si Bakhil (dari L’Avare karya Moliere), atau Saudagar Venezia (dari The Merchant of Venice karya Shakespeare), tidak dirasakan lagi sebagai karya asing, dan dianggap sebagai millik kita. Bahkan karya-karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah, seperti Jawa dan Sunda. Apa yang dikemukakan di atas adalah untuk memperlihatkan bagaimana karya terjemahan akhirnya menjadi milik masyarakat bahasa sasaran, terlepas dari kenyataan bahwa sering terjadi penerjemahan yang salah. Dari kenyataan itu dapat kita perkirakan dampak baik atau buruknya suatu karya terjemahan pada masyarakat penerimanya. 3. TERJEMAHAN FILM Dampak terjemahan karya-karya tertulis dari zaman ke zaman sudah kita lihat. Kita pun dapat merasakan dampak itu, baik dalam kehidupan biasa sehari-hari, kehidupan kesenian, maupun kehidupan intelektual. Akan tetapi, memang diperlukan waktu berabad-abad (bukan sekadar beberapa tahun saja) untuk terjadinya dampak itu. Kemajuan di bidang percetakan, komunikasi, informasi, dan transportasi telah menyebabkan penyebaran hasil penerjemahan terjadi dalam waktu yang cepat. Pengaruh buku terjemahan dan film terjemahan pada masyarakat kita tentunya makin cepat terjadi. Film asing (baca: Amerika) di Indonesia cenderung sering menjadi rujukan “modernisasi”. Di samping dampak visual, film memberikan dampak verbal melalui bahasa yang prosesnya lebih lambat, seperti halnya dampak melalui bacaan. Akan tetapi, dampak verbal dari film dapat bertahan lama karena yang ditangkap adalah bahasa dengan konsep-konsep di dalamnya yang dipadu dengan tayangan gambar. Melalui bahasanya penonton dapat lebih mengerti tentang film dan moral yang tersimpan dalam film tersebut. Penonton pun dapat melihat tingkah laku tokohtokoh dalam film dan pakaian serta adat kebiasaannya. Penerjemahan film memberikan dampak tertentu melalui bahasa yang dipahami pemirsa, yakni bahasa Indonesia.
Secara khusus, akan dibicarakan di sini penerjemahan film dalam bentuk sulih suara (dubbing). Masalah dampak sulih suara film pada dasarnya serupa dengan masalah dampak terjemahan pada umumnya. 4. SEGI KEBAHASAAN Banyak permasalahan yang harus ditanggulangi dalam penyulihan suara film ditinjau dari segi kebahasaan. Permasalahan kebahasaan dapat ditinjau melalui tiga segi, yaitu (a) segi penerjemahan, (b) segi penyelarasan naskah, dan (c) segi pengisian suara. 1. Penerjemahan Penerjemahan film secara umum memerlukan pengetahuan mengenai konteks sosial budaya pada film yang bersangkutan dan kemampuan untuk memperoleh kata/kalimat yang sepadan pula secara sosial budaya dalam bahasa Indonesia. Banyak hal yang harus diperhatikan, tetapi di sini hanya akan dibahas empat hal saja. Penerjemah harus memahami, paling sedikit empat masalah penting dalam penerjemahannya. Pertama, masalah penerjemahan pronomina dan kata sapaan. Kedua, mengenai kata makian. Ketiga, mengenai kata budaya. Keempat, mengenai laras dan dialek. a. Pronomina (Kata Ganti) dan Kata Sapaan Pedoman untuk penerjemahan interaksi antartokoh yang benar adalah kensep tentang sifat interaksi kebahasaan itu sendiri. Interaksi kebahasaan seperti itu mengikuti dua poros, yaitu poros “kekuasaan” atau “tidak setara” dan poros “solidaritas” atau “setara” dengan kemungkinan “akrab” dan “tidak akrab” (Brown dan Gilman, 1970: 252-275). Pronomina dan kata sapaan berkaitan dengan sifat interaksi kebahasaan antartokoh. Dalam menerjemahkannya sifat interaksi itu harus diperhatikan benar, yaitu setara, tidak setara, akrab, atau tidak akrab. Beberapa contoh dapat dilihat berikut ini. - Orang pertama, misalnya (bahasa Inggris). Padanan untuk I dalam bahasa Indonesia bervariasi, misalnya saya atau aku, atau pada anak-anak bisa dengan menyebutkan nama dirinya, Bob atau Jennie. Kemungkinan menerjemahkan seperti itu tergantung pada hubungan sosial antara tokoh yang berdialog. - Orang kedua, misalnya you (bahasa Inggris). Padanan untuk you dalam bahasa Indonesia bervariasi, misalnya engkau, kau, atau kamu (dalam interaksi tidak setara, atau setara, dan akrab); Dokter, Bapak, Ibu, Kolonel, atau Pak Guru (dalam interaksi setara, tidak akrab). Dalam hal penerjemahan pronomina orang kedua tunggal, kata Anda sering tidak dapat digunakan dalam dialog film. Anda biasanya terdapat pada bahasa iklan dan pengumuman (Hoed, 1975: 18). Pada masa ini, Anda sudah mulai digunakan dalam surat atau percakapan antara orang, yang kurang akrab hubungannya, tetapi penggunaannya tidak umum. - Orang ketiga tunggal, misalnya he/she (bahasa Inggris). Padanan untuk he/she juga bervariasi, yaitu ia atau beliau, Ibu, Bapak, atau John. Ini tergantung dari situasi sosial interaksinya dan siapa yang dirujuk oleh he/she.
Dalam bahasa Inggris ungkapan bagi semua poros itu boleh dikatakan sama (I, you, dan he/she), sedangkan dalam bahasa Indonesia bervariasi secara sosial. Inilah hal yang harus diketahui oleh penerjemah. b. Kata Kasar dan Makian Kata kasar dan makian seperti bloody, fucking, shit, bull shit, son of a bitch, atau mother fucker, tidak selalu bersifat “menyerang” atau “menghina”. Kata-kata itu, seperti halnya dalam bahasa Indonesia dan daerah, seperti gila, sialan, diamput, atau tai, dapat digunakan untuk memperlihatkan hubungan setara yang akrab. Jadi, harus dilihat dulu konteks penggunaan katakata makian itu. Padanan kata-kata yang digunakan berbeda dengan dalam bahasa Inggris. Ini tergantung pada konteksnya: makian betul atau keakraban saja. Misalnya, sialan (That bloody person = Orang sialan itu), anak keparat, terkutuk, atau bahkan tai kucing untuk shit. Mungkinkah dipakai ungkapan dari bahasa Jawa, seperti diamput atau diancuk? Yang jelas, kita tidak dapat menerjemahkan begitu saja kata-kata kasar dalam bahasa Inggris itu tanpa memperhitungkan konteksnya dan keberterimaannya pada penonton film yang bersangkutan. Secara sosial budaya perlu dipertimbangkan perlunya menggunakan padanan yang “sama nilainya”, meskipun bentuknya berbeda. Ini termasuk teknik modulasi. Jadi fucking dalam hubungan setara dan akrab harus dicarikan padanan yang nilainya sama, misalnya What is your fucking friend doing here? = Apa kerja teman keparatmu itu di sini, atau Ngapain teman sialanmu itu? Semua itu perlu dipertimbangkan agar tidak menyinggung perasaan penonton. c. Kata Budaya “Kata budaya” adalah kata yang terdapat dalam kebudayaan yang melatari film yang bersangkutan. Misalnya, dalam bahasa Inggris (Amerika) ada kata halloween, thank-givings day, quarter (sistem pendidikan tinggi): di Inggris ada shrove Tuesday (di Inggris festival pra-Kristen untuk menyambut perubahan iklim dengan cara membuat kue dan berkumpul bersama) yang seringkali tidak dapat diterjemahkan. Ada pula kata-kata budaya yang dapat diterjemahkan, tetapi konteksnya harus dikenali. Misalnya, dalam bahasa Inggris ada pumpkin yang tergantung dari konteksnya dapat berarti ‘labu’ atau ‘waluh’ dan biasanya berkaitan dengan halloween, atau dapat pula berarti panggilan akrab seorang ayah kepada anak perempuannya. Dalam hal terakhir ini, tidak dapat digunakan padanan Waluh atau Labu. Barangkali kita dapat menggunakan kata nak, sayang, upik atau genduk? Teknik ini termasuk modulasi. Ini juga harus dipertimbangkan. Kata-kata biasa pun menjadi ungkapan budaya kalau diujarkan dalam konteks tertentu. Misalnya My God, no! = Ya Tuhan, jangan (seringkali no diterjemahkan dengan tidak), atau Ou la la! = Ya Allah! atau Ya salam! (di Malaysia Alamak tergantung pada konteksnya. Masih banyak kata budaya yang dapat dibicarakan di sini, juga dari bahasa dan kebudayaan asing lain. Namun, cukup kiranya apa yang diuraikan itu sebagai contoh bagaimana sulitnya memperoleh padanan kata-kata budaya tertentu. Sekali lagi konteks komunikasi merupakan hal yang harus diperhatikan. d. Laras dan Dialek
Laras (disebut juga register) adalah variasi (atau ragam) bahasa yang menentukan makna suatu kata akibat konteks penggunaannya. Kata seperti entertainment dapat berarti hiburan (dalam laras perhotelan dan pariwisata), atau acara bebas atau acara kesenian (dalam laras konferensi nasional atau internasional). Kata the bar dalam laras hukum sulit diterjemahkan (mungkin, kalangan pengacara, tergantung konteksnya), sedangkan dalam laras perhotelan = bar. Kata cheese dalam laras pemotretan dapat diterjemahkan dengan ketawa atau senyum, sedangkan dalam laras masak-memasak = keju. Kata chips dalam laras masak-memasak dapat diterjemahkan dengan kue kering (chocolate chip) atau keripik kentang (fish and chips), tetapi dalam laras komputer sementara ini masih belum ada terjemahannya sehingga tidak diterjemahkan. Dialek terdiri atas dialek geografis dan dialek sosial. Dialek geografis adalah variasi kebahasaan berdasarkan perbedaan asal geografis. Dalam bahasa Inggris Amerika dan variasi dialektal Texas atau Mid-West. Dalam bahasa .Prancis ada variasi dialek utara yang berbeda dengan variasi dialektal selatan. Begitu pula dalam bahasa Jerman, ada perbedaan antara dialek utara dan dialek selatan. Variasi itu, dalam bahasa lisan, cirinya adalah ucapannya. Kadang-kadang juga ada katakata tertentu yang khas bagi dialek tertentu. Dialek seperti di Amerika sulit diberi padanan dalam bahasa Indonesia. Mungkin dalam bahasa Indonesia kita dapat berbicara tentang variasi dialektal Jawa, Batak, atau Ambon, yang ciri utamanya terlihat pada fonologi, struktur sintaktis, atau pilihan kata. Jenis dialek terdapat dalam bahasa Jawa yang membedakan bahasa jawa Surabaya atau Jawa Timur, Tegal, Banyumas, Yogyakarta, dan Solo. Dalam bahasa Melayu kita dapat membedakan dialek Betawi, Manado, Ambon, dan Sulawesi Selatan. Kesulitan timbul apabila tokoh yang menggunakan dialek ini memainkan peran seorang yang jahat. Jika dipadankan dengan salah satu dialek bahasa Indonesia tentunya dapat menyinggung perasaan suku bangsa yang dialeknya dijadikan padanan. Oleh karena itu, dialek seringkali tidak diterjemahkan dengan dialek lagi dalam sulih suara, tetapi dengan bahasa baku. Ini membuat hasil sulih suara menjadi tidak wajar (bahasa Indonesianya tidak sesuai dengan situasi dialog tidak formal). Dialek sosial adalah variasi kebahasaan akibat perbedaan kelompok sosial. Dalam banyak bahasa asing (Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol) selalu ada perbedaan, khususnya ucapan, tetapi juga ungkapan, antara kelompok sosial di “bawah” dan di “atas”, antara mahasiswa dan dosen, antara laki-laki dan perempuan. Meskipun bahasa Indonesia juga memiliki variasi berdasarkan dialek sosial, sulit untuk memperoleh padanan yang sesuai karena tidak selalu sama dasar perbedaannya. Namun, kita dapat mengidentifikasi perbedaan antara bahasa Indonesia baku dan bahasa gaul. Bahasa gaul adalah dialek sosial. Salah satu contoh adalah dialek sosial “bawah” di Amerika, yaitu He ain’t my boss no more. Apa padanannya dalam bahasa Indonesia? Jika diterjemahkan dengan Dia bukan bos saya lagi, ciri sosialnya masih juga belum kelihatan. Salah satu pilihan adalah Dia bukan bos kita lagi. Apakah saya dapat diganti dengan gue atau kita? Sangat penting untuk kita semua mempelajari ciri-ciri sosial variasi bahasa Indonesia agar dapat mengalihkan situasi sosial budaya secara verbal dari bahasa asli ke dalam bahasa Indonesia
dalam sulih suara. Ini adalah lahan penelitian yang masih belum banyak digarap oleh para pakar bahasa. 2. Penyelarasan Naskah Penyelarasan naskah menuntut kemampuan memahami benar tidaknya penerjemahan. Jika hasil penerjemahan baik, tentunya pekerjaan penyelarasan naskah menjadi lebih berat. Penyelaras naskah harus mampu menemukan terjemahan yang tepat bagi situasi sosial budaya yang sepadan dalam bahasa Indonesia dan berterima di kalangan masyarakat penonton. Namun, tidak hanya itu tugas penyelaras naskah. Ia harus mampu menyesuaikan penerjemahan dengan gerak bibir (lip sync) tokoh yang berbicara, jika hal itu tidak dilakukan oleh penerjemah. la harus menulis kembali terjemahan dengan kata-kata lain yang sesuai dengan gerak bibir dan waktu penurunan. Tidak akan semua jenis kegiatan penyelarasan naskah akan diuraikan di sini. Yang penting adalah perbedaan tugas penyelarasan naskah dengan penerjemahan. Proses penerjemahan dimulai dengan pemahaman isi dan latar film secara global. Kemudian baru hal-hal yang berkaitan dengan bahasa dan latar sosial budayanya digarap. Untuk efisiensi, penerjemahan dilakukan dengan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan di atas. Penyelarasan naskah dilakukan dengan dasar yang sama dengan penerjemahan. Dalam proses penerjemahan teks bukan film, pekerjaan penyelarasan teks dilakukan oleh seorang reviser. Namun, dalam proses sulih suara film penyelarasan naskah berarti juga menyelaraskan naskah terjemahaan dengan situasi film, khususnya gerak bibir (lip sync) dan waktu pengujaran. Ini adalah kegiatan khusus yang tidak ditemukan dalam proses penerjemahan biasa. Dalam subtitling penyelarasan ini mencakupi kegiatan menyesuaikan teks dengan ruang pada layar dan tidak boleh melebihi dua baris. Jadi, pekerjaan penyelarasan naskah dalam rangka sulih suara lebih ke arah bahasa Indonesianya, yang tidak sekadar baik, tetapi terutama benar ditinjau dari segi sosial budaya dan sinematografis. 3. Pengisian Suara Dalam proses sulih suara ada kegiatan pengisian suara yang merupakan bagian yang memberikan hasil akhir yang ditonton dan didengarkan oleh pemirsa. Dalam kenyataan, proses ini dilakukan di bawah arahan pengarah dialog yang juga harus menguasai segi kebahasaannya. Namun, kegiatan pengarahan dialog tidak akan secara khusus dibicarakan di sini. Proses pengisian suara dibicarakan hanya dari segi kebahasaannya. Secara teknis sinematografis suana harus sesuai dengan karakter suara tokoh yang disulih. Di situ kita berhadapan dengan pelaksanaan casting pengisi suara. Di Prancis dan Italia, misalnya, para pengisi suara adalah artis profesional yang biasa main dalam film layar besar atau sinetron, atau dalam teater. Ditinjau dari segi kebahasaan, pengisi suara harus pula memahami segi sosial budaya yang diuraikan di atas. Ini akan menentukan segi pengujarannya yang harus sesuai dan wajar (benar) ditinjau dari
konteks sosial budaya itu. Pengisi suara harus memahami benar tokoh dan situasi sosial budaya yang melatarinya. Dalam hubungan ini, kemampuan mengatur artikulasi sangat penting. Ia harus seperti seorang dalang yang dapat menuturkan kalimat-kalimatnya dengan karakter sosial dan intonasi serta tekanan yang tepat. Inilah segi kebahasaan yang harus diterapkan dalam proses pengisian suara. Pengawasan dan pengarahan proses pengisian suara dilakukan oleh pengarah dialog. Dalam sulih suara di Indonesia, kita masih melihat banyak kelemahan, terutama dalam lip sync dan karakter suara tokoh.
4. DAMPAK TERJEMAHAN FILM Pada bagian terakhir, ada baiknya jika dibicarakan bagaimana segi kebahasaan sebuah film memberikan dampak kepada penontonnya. Jadi, aspek luar-bahasanya. Siapa yang menerima dampak dari film, khususnya dampak verbal? Ini tergantung dari bagaimana bahasa film tersebut dipahami oleh penontonnya. Ada tiga kemungkinan khalayak sasaran sebuah film asing, yaitu: 1. Khalayak yang dapat memahami bahasa asli film tersebut; 2. Khalayak yang dapat memahami bahasa film tersebut melalui terjemahan tertulis (subtitle); 3. Khalayak yang lebih dapat memahami bahasa film tersebut jika melalui sulih suara (dubbing). Khalayak jenis pertama jumlahnya terbatas, terutama kelas menengah yang terpelajar dan yang menguasai bahasa asing. Khalayak jenis kedua jumlahnya jauh lebih banyak karena ditambah dengan mereka dari kalangan menengah bawah yang mampu membaca dengan cepat. Sedangkan khalayak yang ketiga jauh lebih banyak dan terdiri atas hampir seluruh masyarakat kita, remaja dan dewasa, yang tidak dapat membaca cepat. Penelitian di bidang ini sejauh ini belum dilakukan. Namun pembagian kelompok khalayak yang memahami film asing itu sudah dapat kita perkirakan atas dasar logika bahwa jumlah yang menguasai bahasa asing lebih terbatas dan lebih kritis karena tingkat pendidikannya daripada mereka yang hanya dapat memahami berdasarkan terjemahan tertulis, apalagi berdasarkan sulih suara. Jadi, masalah sulih suara sebenarnya bukan sekadar masalah bahasa, tetapi masalah dampak suatu film pada khalayak tertentu. Dampak itu tidak hanya melalui segi visualnya tetapi juga melalui segi verbalnya, yakni sulih suara seperti telah dikemukakan tadi. Dengan sulih suara, kendala bahasa dikurangi menjadi hampir nol sehingga film yang bersangkutan lambat laun dirasakan seperti bukan film asing. Akhirnya, pesan dalam film itu bisa menjadi milik masyarakat luas dengan proses yang seringkali tanpa kritik karena kebanyakan penontonnya dari kalangan yang paling kurang terpelajar, dan dengan demikian lebih mudah diserap. Dalam hal pengaruh film-film Amerika yang melanda masyarakat kita, seperti disebutkan di atas,
meskipun pengaruhnya ada, seluruh tokohnya masih dianggap tokoh asing karena dialognya tidak disulihsuarakan dengan bahasa Indonesia. Namun, film Mandarin dan India pada umumnya disulihsuarakan. Bahkan praktis semuanya, karena bahasanya tidak dikenal secara luas di Indonesia. Jadi, salah satu dampak budaya yang mudah dilihat adalah timbulnya tokoh-tokoh panutan yang, dalam hal film-film bersulih suara, cenderung mudah diadopsi sebagai tokoh kita sendiri dan bukan lagi tokoh asing. Dalam hal ini dapat kita masukkan sulih suara film-film kartun Jepang yang tokoh-tokohnya sudah menyatu dengan dunia anak-anak Indonesia (seperti Dora Emon, Shizuka). Hal lain yang timbul dari sulih suara adalah masalah ekonomi. Film-film asing dapat menyaingi film-film Indonesia dalam televisi karena (1) mungkin dianggap lebih memenuhi selera banyak pemirsa, dan (2) pemahaman film asing dengan sulih suara lebih mudah sehingga posisinya sama dengan film Indonesia. Tentu saja ini dapat mengakibatkan meruginya sanggar-sanggar produksi yang menghasilkan film sinetron. Namun, hal ini seharusnya menjadi pendorong bagi sanggar produksi sinetron kita untuk menghasilkan film yang baik. Banyaknya sinetron Indonesia tentunya diharapkan menciptakan banyak tokoh asli yang dikenali dan disenangi masyarakat luas. Tokoh asli itu tentunya harus bersaing dengan tokoh asing yang diimpor. Perkembangan terakhir memperlihatkan jumlah film sinetron asli makin banyak sehingga kekhawatiran untuk kalah bersaing dengan film Mandarin dan India yang dilaksanakan menjadi berkurang. Namun, kartun masih tidak memiliki saingan. Kita tidak memiliki film kartun atau animasi sendiri sehingga tidak ada tokoh yang masuk ke dalam dunia anak-anak kita. Padahal ada tokoh Unyil dan Pak Ogah, tetapi sekarang sudah tiada. 5. KESIMPULAN Sebenarnya apa yang terjadi selama ini dalam hal sulih suara film adalah salah satu gejala masuknya arus globalisasi ke dalam masyarakat kita yang akan makin dipermudah dengan penggunaan bahasa Indonesia hasil penyulihan suara. Mereka yang keberatan dengan sulih suara film tentunya melihat dari seginya masing-masing, yakni, segi budaya atau segi ekonomi. Semuanya ini merupakan tantangan bagi kita. Oleh karena itu, di sini disarankan agar: 1. Meningkatkan kemampuan tenaga kebahasaan yang terlibat dalam proses penyulihan suara, khususnya para penerjemah, dan terutama para penyelaras naskah. Dalam hal ini peran Pusat Bahasa sebenarnya sangat penting. 2. Dalam hal mengantisipasi masalah dari segi budaya, perlu dipilih film yang sesuai untuk kebaikan masyarakat pemirsa secara umum. Kemudian, ditentukan apakah baik untuk disulihsuarakan atau lebih baik hanya diberi terjemahan tertulis saja (subtitle). Juga perlu dipertimbangkan jam penayangannya. 3. Ditinjau dari segi ekonomi, ini merupakan tantangan bagi para pembuat sinetron agar dapar menandingi yang sekarang disulihsuarakan itu. Ini merupakan “latihan” bagi kita dalam menghadapi abad mendatang di mana kita masuk ke dalam zaman liberalisasi perdagangan. Para produsen film sinetron kita harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan film yang baik, misalnya yang tanpa dibebani oleh “pesan-pesan” yang sifatnya menggurui; yang memiliki teknik sinematografis dan cerita yang orisinal; atau yang menghasilkan tokoh-tokoh yang dapat “hidup” dalam masyarakat kita (seperti halnya beberapa film asing). 4. Perlu dihidupkan film kartun dan animasi yang berisi tokoh dan cerita dari Indonesia sendiri.
Upaya sulih suara harus disertai dengan peningkatan kualitas terjemahan yang berkaitan dengan lip sync dan kualitas sumber daya manusia penyulih suara serta pemilihan “warna” suara dan karakteristik tokoh yang sesuai. Tanpa memenuhi persyaratan kualitas di atas, upaya sulih suara akan menghasilkan film yang buruk. 6.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, R. dan A Gilman. 1970. “The Pronouns of Power and Solidarity” dalam J.A. Fishman (Ed.). Readings in the Sociology of Language: 252-275. Den Haag: Mouton. Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Hasibuan, Sofia Rangkuti. 1991. Teori Terjemahan dan Kaitannya dengan Tata Bahasa Inggris. Jakarta: Dian Rakyat. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1992. Discourse and the Translator. London: Longman. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1997. The Translator as Communicator. London: Routledge. Hatim, Basil. 2001. Teaching and Researching Translation. London: Longman. Hervey, Sándor dan Ian Higgins. 1992. Thinking Translation. New York: Routledge. Hoed, Benny H. 1975. “Nasib Anda di Tangan Siapa?” alam Tempo, 25 Oktober: 18. Hoed, Benny H. 2006. Teori dan Masalah Penerjemahan. Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: ProDC. Hoed, Benny H., Tresnati S. Solichin, dan Rochayah M. 1993. Pengetahuan Dasar Tentang Penerjemahan. Jakarta: Pusat Penerjemahan FSUI. Hoed, Benny. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu. Hornby, Marry Snell. 1995. Translation Studies. An Integrated Approach. Amsterdam: Jon Benjamin Publishing Co. Léderer, M. 1994. Latraductionaujord’hui. Vanves: Hachette FLE. Larson, Mildred L. 1989. Meaning Based Translation, A Guide to Cross-language Equivalence. Terj. Kencanawati Taniran. Jakarta: Penerbit Arcan. Machali, Rochayah. 2009. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Mizan Pustaka. Moentaha, Salihen. 2008. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc Nababan, Rudolf M. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. New York: Pergamon. Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall. Nida, E.A. dan Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Venuti, Lawrence. 2004. The Translation Studies Reader. New York: Routledge. Vermeer, H.J. (1986) 2000. Voraussetzungen für eine Translationtheorie: Enige Kapitel KulturUnd Sparachtheorie. Heidelberg: Groos. Widyamartaya, A. 1989. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Williams, Henny dan Andrew Chesterman. 2002. The MAP. A beginner’s Guide to Doing Research in Translation Studies. Manchester: St. Jerome Publishing.