,ffiffiW[
PENUMBUHAN SEMANGAT KEBANGSAAN UNTUK MEMPERKUAT KARAKTER INDONESIA MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA Beniati Lesfyarini FBS Universitas Negeri Yogyakarta emait
[email protected] Abstfak Pembangunan karakter bangsa harus senantiasa diiringi dengan Penguatan rasa kebangsaan. Dengan semangat kebangsaan yang kuat, cerminan karakter Indonesia akan muncul dalam segala aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan kualitas bangsa. Jalur pendidikan mengambil peran penting dalam upaya pencapaian tujuan ini. Sebagai alat ekspresi diri pribadi, alat ekspresi diri makhluk sosial, alat ekspresi diri warga negara, dan alat ekspresi diri profesional, bahasa menjadi kebutuhan dasar dalam dunia pendidikan. Bahasa memiliki peran penting dalam pernbentukan karakter seseorang. Iika perspektif peran bahasa dipadukan dalam proses pendidikan guru bahasa berperan sebagai alat pengembangan kompetensi pendidik. Melalui pembelajaran bahasa yang integratif dengan didasari pemahaman historis-filosofis tentang Indonesia yang berlandaskan kearifan lokal, semangat nasional, dan wawasan global, semangat kebangsaan dapat tumbuh untuk memperkuat karakter lrrdonesia. karakteLpanbelaiaran balusa Kata Kunci: setrungatkebangsaan, IMPROVING
TO STRENGTHEN THE CHARACTER NATIONALISM THROUGH LANGUAGE LEARNING
a
OF INDONESIA
Abstracf The development of natiort's character should be associated with the reinforcement of nationalism. With the strong nationalism, the reflection of character of Indonesia will emerge in all activities for the improvement of nation qualrty. Education takes an important role in its effort. As a tool of seU o<pressionn social expressiorg nationality expression, and professionality expressiorg language is become a fundamental need in education By an integrated language learning based on :ristorlcd-philosophycal understanding about Indonesia with its local wisdom, nationalism, and cfobat horizon" the spirit of nationalism can be improved to strengthen the character of Indonesia. Keywordr: nationalisttt,clar acter,languageleaming
Dari sisi dunia pendidikan, inisiatii tersebut mmegaskan kembali pesan Pasal 3 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional berfungsi "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa". Oleh karena itu, setiap program pendidikan secara integratif-sistemik menunjang upaya pembangunan karakter dan agar dapat mempercepat keberhasilan pembangunannya sebagaimana telah dicanangku P"-
PENDATIULUAN Kondisi masyarakat dan bangsa hrdonesia saat ini dengan berbagai masalah nasional yang timbul akibat melemahnya karakter bangsa, telah mendorong pemerintah untuk mengambil inisiatif pada tahun 2010 untuk mengarusutamakan pembangunan karakter bangsa. Inisiatif ini tertuang dalam DesainlndukPmfuangunanI<araktr BangsaTaIrun 2010-20L5.Pembangunan karakter bangsa memiliki tiga fungsi: (1) pembentukan dan pengembangan potensi; (2) perbaikan dan penguatan; dan (3) penyaring. 340
".
M1. merintalr
r l t t ' l , t l t l t p q ' 1 1 1 ' 1 ' l r i l 1r 1l C1 s1a i t r i p d U k
di atas. D a l i t t t tl ) l o r l r nI t l r r t l i t l i k a tgt u r l t / p e ngUasailnlritltitsit sclt,tH:ri itlitl t'kspreSidiri pribadi, al.rt t,kspre'r+i tllri rrrnkhluksosial, alat ekspru.sirliri w.trgit ll{)gartl,dan alat ekspresi c'liri prlrft.niorrnlnrerupakan kebufuhan mcnd$sur.llerbrrgaimacam ekspresi tersebut,yrrng,nrcngatrdungpesan komunikatif, secara alami akan memperoleh tanggapanrlnri pihnk [ain, baik diminta maupun ticlak, baik negatif, netral,mau'I'anggapan pun positif. tersebutakan menjadi asupan,baik yang diolah secarasadar maupun di bawah sadar, bagi perubahan dalam diri secreorang,Singkahlya, dapat dikatakan bahwa bahasa memiliki peran penting dalam pembentukankarakter seseorang. Dari perspektif lain, bahasamemiliki berbagai peran, antara lain sebagaialat penyebaran dan penyerapan ilmu, alat pengembangan diri secaraumum, alat berpikir nalar, alat komunikasi dan pengembangan sosial-budaya,dan alat pendidikan. Jikaperspektif peran bahasadipadukan dalam proses pendidikan guru, bahasa berperan sebagai alat pengembangan kompetensi pendidik. BahasaIndonesia sebagai bahasa nasional jelas memiliki peran besar dalam pembenfukan karakter Indonesia karena dengan berbahasa nasional seseorang dapat mengekspresikanrasa dan pemahaman (semangat)keindonesiaannyakarenam€unpu berkomunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat Indonesia di mana pun mereka berada untuk berbagai macarn tujuan demi kepentingan Indonesia. Semangat itu akan lebih menguat jika isi komunikasi berkenaan dengan persoalan dan kepentingan [rdonesia. Singkabrya kemampuan berbahasa lrdonesia dalam pembicaraanpersoalan dan kepentirg* Indonesia merupakan bagian dari karakter Indonesia. Semua peran
Penumbuhan Semangat Kebangsaan untuk M*p"rt,
bahasa tersebut akan dapat memberi kontribusi terhadap penguatan semangat kebangsaansetiap mahasiswa, yffig akhimya bermuara pada penguatan karakter bangsa Indonesia. Integrasi dari segi pembelajaran keterampilan berbahasa dan dari segi isi keindonesiaan tersebut mesti tercermin dalam kurikulum pembelajaran bahasa dalam perspektif rencana (dokumen), pelaksanaan (prosespembelajaran),dankeluaran (penilaian hasil belajar). Bagaimana kenyataan di lapangan? Kenyataan menunjukkan bahwa kelas-kelas bahasa dalam program pendidikan guru sedikit sekali memberikan perhatian pada penguatan semangat kebangsaansebagai bagian dari karakter Indonesia. Di samping itu, pembelajaran keterampilan berbahasa masih terpisah-pisah sehingga kurang saling mendukung padahal semua keterampilan berbahasa berurusan dengan makna dan bentuk yang berpadu dalam mengekspresikan aktivitas dan pengalaman manusia baik aktivitas dan pengalaman fisrk, pikirart maupun semangat. Perhatian dosen dan mahasiswa banyak tercurahkan pada pembelajaran aspek bahasa (termasuk sastra) melalui berbagai teks, yang dalam pemilihannya jarang sekali dipertimbangkan isi yang terkait dengan persoalan keindonesiaan. ]adi, ada kesenjangan antara realitas dan kondisi . yang diharapkan. Kesenjangan tersebut menyiratkanadanya kebutuhan mendesak untuk melakukan upaya ilmiah dalam memperkuat semangatkebangsaanmelalui pembelajaran bahasa. SEMANGAT KEBANGSAAN DALAM MEMBANGUN INDONESIA: SEBUAH TINIAUAN HISTORIS Mengawali wacana mengenai sejarah Indonesia dan bagaimana rasa cinta terhadap bangsa menjelma menjadi semangat
u2 kebangsaan bukan merupakah satu hal yang sederhana. Perjuangan melawan kolonialisme yang telah sekian lama seolah menjadi bagian dari kebiasaan hidup yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Masih terekam jelas dalam buku maupun cuplikan
tampak dalam buku lama mengenai Capita Selecta edisi Pergerakan Pemuda dalam Anggaran Dasar pasal? yang m€muat tiga asas (Soehartodan Zaenoel,198L: 5), yaitu sebagaiberikut. (1) Menimboelkan pertalian antara moeridmoerid Boemipoeterapada sekolah menengah, dan cursus per-goero€an uitgebreid dan vakonderwijs. (2) Menambah pengetahuoean oemoem bagi anggota-anggotarrja. (3)Membangkitkan dan mempertadjam perasaan boeat segala bahasa dan keboedajaanIndonesia. Semangat kebangsaan yang timbul pada jiwa bangsa Indonesia dilandasi oleh rasa kebangsaan dan paham kebangsaan (Murti dkk, 2008). Rasa kebangsan adalah salah satu bentuk rasa cinta yang melahirkan jiwa kebersamaan pemiliknya. Untuk satu tujuan yang sama bangsa Indonesia membentuk lagu, bendera, dan larhbang. Lagu diiringi dengan alunan musik yang indah sehingga lahirlah berbagai rasa. Untuk bendera dan lambang dibuat bentuk serta warna yang menjadi cermin budaya bangsa sehingga menimbulkan pembelaan yang besar dari pemiliknya. Dalam kebangsaan kita mengenal adanya ras, bahasa, agama batas wilayah, budaya dan lain-lain. Tetapi ada pula negara dan bangsa yang terbentuk sendiri dari berbagai ras, bahasa, agama, serta budaya. Rasa kebangsaan merupakan sublimasi dari Sumpah Pemuda yang mmyatukan tekad menjadi bangsa yang kuat, dihormafl dan disegani di antara bangsa-bangsadi dunia. Ikatan nilai-nilai kebangsaan yang selama ini terpatri kuat dalam kehidupan bangsa lndonesia yang merupakan pmgejawantahan dari rasa cinta tanah air, bela negara, serta semangat patriotisme bangsa mulai luntur dan longgar bahkan hampir sirna. Nilai-nilai budaya gotong royong,
nnla| P0ilHllru Imaf,ter,tahun I!. Nomor3,oktober2012 !^,
u3 kesediatrrr urrlrrf.r,rliril; nlr.nghargai,dan saling mt'rrgltorrrr;rli serta ke1x.p[1.1lairn, relaanbcrkorlrrtprrrrltrkkr'pcplipgunbangsa yang c{llrtrlurrrt,lr.kirl krratc{alamsernubari masyarnkatyurrg clikcrraldengan semangat kebnngsaonnynsallgat kental terasamakin mcrripin. Adapun semangat kebangsaanatau nasionalisme merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan.Dengan semangatkebangsaan yang tinggi, kekhawatiran terjadinya ancaman terhadap keutuhan dan kesafuan bangsa dapat dielakkan. Dari semangatkebangsaan akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban, dan dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Rasa kesetiakawanan sosial akan mempertebal semangat kebangsaan suatu bangsa. Semangatrela berkorban adalah kesediaan untuk berkorban demi kepentingan yang besar atau demi negara dan bangsa telah mengantarkan bangsa Indonesia untuk merdeka. Bagi bangsa yang ingin maju dalam mencapai tujuannya selain memiliki semangat rela berkorban, juga harus di_ dukung dengan jiwa patriotik y*g tingg;r. Jiwa patriotik akan melekat pada diri seseorang manakala orang tersebut tahu un_ tuk apa mereka berkorban. PENDIDIKAN MORAL.KARAKTER INDONESIA: BERKEARIFAN LOKAL-BER. SEMANGAT NASIONALBERWAWASAN GLOBAL Diskusi mengenai moral dan pendidikan moral-karakter tidak dapat dilepaskan dari berbagai tema besar terkait dengan kehiduplm manusia dengan berbagai sisi kemanusiannya. Diawali oleh kesadaran manusia terhadap dunia dan eksistm_ sinya yang kemudian disikapi dengan berbagai aktivitas untuk membangun konstruksi diri yang terus melaju seiring de-
Penumbuhan SenrangatKebangsuurrrrr,tok
ngan perkembangan zaman, moral_karak_ ter menjadi bagian dalam diri manusia atau lebih tepaturyaentitas manusia ifu sen_ diri. Konsep eksistensialisme, konstrukti_ visme, dan progresivisme menjadi paham yang melandasi arah gerak pengembangan pribadi manusia beserta moral dan mora_ litasnya. Wujud praktis pemahaman ini akan terlihat dalam berbagai dimensi kehidupan antara lain spritualitas, sosial, politik, budaya, ekonomi, sains, dan sebagai_ nya. Kesadaran terhadap pendidikan mo_ ral dimulai sejak para filsuf dunia lahir. Plato, dengan dilandasi oleh kondisi masyarakat pada masanya ketika korupsi dan kedangkalan (comtption and slalloumess) banyak ditemukan, memimpikan sebuah republik baru di mana pendidikan dapat menransformasikan warga negaranya me_ nuju pada bentuk kebaikan (Form of the Good). Roseou, yang menyakini bahwa "men frnd women hnd lost tlemsektesin compaison utith eachotluy'' menyatakan bahwa manusia mendidik dirinya melalui alam sehingga manusia dapat belajar hidup bersarna agar menjadi warga negara yang ber_ etika lebih baik. Freire memandang bahwa pendidikan menjadi sarana yang pantas (equitable)untuk mencapai relasi. Martin tidak hanya mengenalkan konsep persamaan (sameness)dalam pendidikan nEunun lebih pada kesetaraan (equity) sehingga memberikan peluang segala gender untuk memperoleh pendidikan moral. Sekarang, perbincangan mengenai pendidikan moral lebih mangacu pada bagaimana membentuk masyarakat yang bermoral (morat citizenry) dan beretika kehidupan (commonlife ethic) Qacobsoru2010:45). |ohn Dewey menjadi tokoh pendidikan yang memegang peranan penting dalam perkembangan pendidikan moral dan karakter. Dia menyatakan moral-karakter se-
344 bagai "fundamental method of social progress and reform". Dalam My Pedagogical Creed(Reed dan Tony, 2009:99),Dewey menyatakan argumennya bahwa: Moral Educatisn centersupon this conceptionof the school asa modeof sociallife, that the bestand deepest moral training is preciselythat which onegetsthrough hmting to enter into proper relations with othercin a unity of world and thought' The presmt educationalsystem,sofar as they destroyor neglectthis unity rendersit dfficult or impossibleto get any genuine,regularmoral training. Dalam uraiannya tersebut, DeweY menegaskan bahwa hubungan yang tepat (proper relation) antara sekolah dan kehidupan sosial menjadi wahana berlatih yang terbaik bagi pengembangan moral. Namurg banyak sistem pendidikan yang melupakan kesatuan antara kedua unsur ini sehingga sulit untuk mendapatkan nilai moral itu sendiri. Hal ini kemudian memunculkan berbagai perdebatan mengmai pemahaman konsep moral, moralitas, wujud moral, penilaian terhadap moral, dan sebagainya. Bagaimana upaya membantu guru dalam mengintegrasikan moral contenfdan moral manner dalam kelas? Hal ini masih menjadi diskursus dalam berbagai literatur terkait dengan definisi moral itu sendiri (Damon, 2005,2007; Muray, 200n, tempat atau seting (Socket, 2005; 9a dan Raymond, 200n. Dalam buku Debating Moral Education, Kiss dan Peter (2010) kurang mengeksplorasi debat yang terjadi terkait dengan isu pendidikan moral. Namun dalam buku ini, ada banyak survei mengenai pendidikan moral yang mmiadi topik diskusi kontributor misalnya mengenai tujuan sosial dan lingkungan, pembelajaran kewarganegaraan serta agenda multikultur. Pusaran globalisasi juga memberikan tantangan pada manusia unfuk meresPons
Fmal Pendfllkil mnfil0l, TahunIL Nomor 3, oktober 2012
segala perubahan secara cepat dan tepat. Perubahan akan selesai ketika paradigma berhenti (Futler dalam Yood, 2005:4).Sebagai konsekuensinya,paradigma-paradigma baru bermunculan sebagaijawaban sekaligus dasar kritik untuk perkembangan ilmu pengetahuan selanjubrya. Karena paradigma mencakup semua bidang, termasuk akademis, maka dibutuhkan sebuah revolusi dimana satu set ide dikuatkan oleh ide yang lain. Bidang pendidikan yang berperan sebagaiwadah sekaligus pmcipta agen perubahan (agentof change)menjadi sebuah keniscayaan untuk terus mengembangkan dan memperkuat moral dan karakter bangsa dalam menyokong kehidupan manusia. Milton (Sommerville, 2010:459) mengatakan bahwa dunia akademis harus mengeksplorasi kemungkinan jawaban-jawaban dan mendiskusikannya. Sebagai konsekuensi logis dari apa yang sudah dipaparkan di atas, di setiap pribadi manusia, dalam konteks ini civitas akademika, memerlukan pegangan yang erat agar tidak tercerabut dari akar lokalitas, budaya, nasionalisme, internasionalisme dan dilandasi dengan nilai-nilai dimensi spiritualitas. Doris (Pamental, 2010: L49) menegaskan bahwa globalisasi membawa dua klaim. Klaim pertama mmyatakan bahwa seseorang diharapkan memiliki "cross-situ.ationallyconcistance"yang berpandangan bahwa jika sesorang bertindak jujur, dalam pandangannya, dia harus selalu jujur di segala situasi yang menuntut kejujuran. Klaim kedua seperti yang dinyatakan oleh Merrit (2000:374)mmgenai motiaationalself-sufficiencyof characteryang berdasar pada pandangan Aristoteles bahwaperilaku bijak yang sesungguhnyamuncul dari karakter yang sudah terbentuk dan mantap (formedand stablecharacter\. Perkembangan era yang semakin melaju sekarang ini sampai pada masa di-
u5 mana sekat-sekatruang dan waktu sudah semakintipis karena dapat dijangkau oleh pengetahuan dan teknologi berdampak pula pada adanyaperubahandalam dunia pendidikan. Seperti penyataan Gough Qffiz) bahwa tlu influmceof globalistthinking in'education canreadilybesen in ttu proIiferationof globalizededucationstudies(pengaruh pemikir global dapat dilihat dari proliferasi studi pendidikan global). Bagaimanakonsep pendidikan globd? Studi yang dilakukanoleh Antuio Ministry of Education(OME) (Colaruso(2010) mengemukakankonsep pendidikan global sebagaiberikut. "Pendidikan global berfokus pada sekolah,pembelajaran,dan sumber daya sekolah kerja sama global sekotah; dan penekananpada pandangan global dalam panduan kurikulunn"sepertipada kurikulum Bahasa Inggris tingkat dua yang mengacupada "citizenship in global society" (OMg 2007,hal D, dan panduan untuk memasukkanisu lingkungan di semua area kurikulum (OMg 2008).Globalisasi dan masyarakatglobal dalam pendidikanada dalam pembelajarankultural dan apresiasipada pembelajaranyang melibatkan aktivitas nyata di dunia, menyediakan informasi dan kemudahanteknologi untuk membuat dunia menjadi lebitr kecil (terjangkau) dan memudahkan siswa untuk berkomunikasi di tengah kehidupan ,,masyarakatglobal". Pendidikan di Indonesia sslantiasa diarahkan dalam rangka penguatankarakter dan jati diri bangsa.Pribadi Indonesia yangberkarakterlndonesiadiharapkanmenjunjung tinggr kearifan lokal dengan menghargai dan mengembangkansegala budidaya manusia lrdonesia. Nasionalisme juga dikembangkandalam waktu yang bersamaankarena hal itu merupakan wujud kecintaan terhadap tanah air sebagai tempat hidup dan berkembang.Satu hal Penumbtrhan SeurangatKebangB"* *ttrk
M.lr,p"
lagi yang menjadi bentuk kesadaran sebagai bagian dari masyarakat internasional adalah pengembangan wawasan global yang menjadi sarana dan upaya mengenal dan memahami negara lain. Upaya ini terus dilakukan untuk mengharmonisasikan berbagai dimensi kehidupan yang tercermin dari sikap, perilaku, dan kebisaaan yang terpuji dalam proses pembelajaran di kelas maupun dalam keseharian hidup. Harapannya, lrrlrbagai praktik kecurangan, tindakan amoral, dan segala perilaku yang menimbulkan keresahan dapat diatasi melalui nunifestasi pendidikan yang mendukung penguatan karakter pribadi sebagai makhluk transenden yang berketuhanan juga sebagai makhluk universal yang senantiasa saling bekeriasama dan saling membuttrl*an rnanusia lain. Hal ini akan mengantarkan pelajar, mahasiswa, dan manusia lrdonesia pada umumnya untuk menguatkan sennngat kebangsaannya melalui berbagai sarana, cara, metode, maupun strategi dalam pembelajaran. Pentingnya dimensi sosial sebagai bagran dari konstnrksi pendidikan diakui oleh berbagai ahli. Dataln bidang bahasa dan sasha misalnya, yang melibatkan resepsi dan respons kritis terhadap nilai-nilai moral, pemahaman terhadap bahasa sebagai konshuksi sosial diharapkan dapat diserap dengan lebih baik sehingga dapat lebih meningkatkan resporut peserta didik terhadap fenomena di sekitar (Borsheim, Merrit, dan Reed, 2008; Graham, Benson, Fink, 2010; Churu 2009). Paradigma pffibelajaran yang telah lama dikenalkan oleh Dewey, Freire maupun Vygotsky yang kemudian diperkuat oleh Derrida dengan teori dekonstruksinya. Dewey memahami bahwa pendidikan merupakan metode fundamental untuk kemajuan dan reformagi sosial flacobson,
346 2010:47). Dalam masyarakat multikultur, proper relationmer{adi unsur penting yang senantiasa diiringi dengan sikap dan watak yang membentuk interaksi yang tidak lain merupakan wujud perilaku demokrasi. Dalam bukunya Demouacy snd Education(bhat juga Daltory 2002),ia menegaskan bahwa "social ernironmmt forms the mmtal and emotionaldispositionof behrciorin indiztiduals by engaging thernin actioities tlut arousemtd strmgthm certain intpulses, thnt haae certain purposes and antails czrtain concequettces". Pembentukan sikap dan watak tidak dapat dilakukan melalui penyampaian keyakinan, emosi, dan pengetahuan secara langsung namun harus melalui perantara lingkungan. Sekolah dianggap sebagai lingkungan terbaik yang dapat mempengaruhi watak mental dan moral anggotanya atau dalam hal ini sebagai medium perantara. Proses menuju masyarakat dan pendidikan demokratis, seperti yang diungkapkan oleh Dewey, tidak dapat dilepaskan dari "like-miniledness"di mana para Pelakunya bebas untuk berbagi, berpartisipasi, membentuk dan membentuk kembali sikap dart watak yang memberikan ruallg bagi perluasan makna. NamurL dalam masyarakat pluralistik. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena keberagaman memunculkan pemaknaan yang berbeda-beda dan benturan-benturan sosial sering hejadi dikarenakan kepentingan yang berbedabeda pula. Oleh karena itu, model pendidikan demokratis yang mendorong terjadinya interaksi dan relasi yang tepat antar anggota maupun sistem yang terlibat menjadi kebutuhan penting untuk melangsungkan proses pendidikan. Beberapa penelitian yang dilaukan oleh kalangan universitas mmunjukkan bahwa kondisi-kondisi yang ada masih memedukan peningkatan dan penguatan untuk mewujudkan civitas akademika
fUilAl peilrufiilfll8K0l,
TahunII, Nomor 3, Oktober2012
yang berkualitas internasional sekaligus berkepribadian dan berkarakter yang baik. Seperti di University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM) yang menyelenggarakan program pendidikan denngan model Mc Knsey's 75 cryacityyang memadukan beberapa elemen yaitu strategl sistem, stuktur, skill, nilai guna, staf, dan gaya (IVlasirin, 2008:2). Kendati pengembangan kultur keilmuan di pendidikan tinggl sudah dikembangkan dengan berbagai konsep baru yang modern dan berusaha untuk mengikuti perkembangan zrrnrein,Biagioli (dalam Coheru 2002: 6) menyatakan bahwa "peer rasiats still in a problem". Pmilaian yang dikembangkan baik secara intemal maupun eksternal masih memiliki masalah yang cukup berarti. Namun, pernyataan Strathem (2000:1) menarik sekali untuk dicermati bahwa dia mendasarkan Pengamatannya pada pemyataan Tsoukas dalam Tyrmtny of Light yaitu "making the inrsisible aisible" yang kemudian menginspirasinya untuk membuat esaiTyranny of Transparmcybahwa sesuatuyang nampak bisa berarti dua hal yaitu; produktivitas riil organisasi yang dapat dilihat dan sumber potensial untuk informasi yang lebih. ]adi, tidak setiap hal perlu dibawa ke permukaan, tapi segalahal yang dibawa ke permukaan tersembunyi ke dalam lagi. Itri' menandakan bahwa ada sesuatu di dalam apapun yang nampak. Kalau kita tarik konsep ini ke dalam pengembangan kultur keilmuan maka segala hal baik diferensiasi, karakter, budaya ras, agEuna/metode, teknik, hasil penelitian yang banyak dikembangkan di universitas dan aPaPun yang ada merupakan sumber potensial untuk dicermati sekaligus dikembangkan. Termasuk pula dalam hal ini, semangat kebangsaan yang terpatri dalam jiwa masingmasing pribadi.
u7 BAHASA Hti||A(;At At A I tiKsl'ttHsl DIIU l)AN iilMtl( )1, l{lil'l{llsIiN'I'ASI B U D A Y AI I A N ( ; H A M t ' l n I t t I I r a lt q s a ,t t t a tt t t e l i t t l i t 1r . tt t l l r : n g -
eksprcsiknrr reg,alnpelrrlL.irnrr yirrrgdimiIiki. [)nlnrtr Lortleks halrrrnn lnclonesia, Soejatrtroltu (2(XltJ; 1,1 I ) rrrerrrrlrtLtrrg lrahasa Indoncsirr te,lalrnlefll6(ll wnrlnh tunggal yarrgtllperlrrkrrrr tranfornrirnl urltuk kemajuan dan p€ltnbsngunen.Dengirn masuknya berbEgalt'6f6 lrcnyflmpaianinformasi, pertanyaarrserkarnrrg ynng muncul adalah apa yang hnrur clllakukandengan bahasa agar bahnnn lrrtkrnesla nungguh-sungguh diintegrasikan dalarn dalam kebudayaan komunitae? Ueaha meraRgsangdinamika pembanl4unandarl bawah membuka kembali masalah pertrnandan hubungan dwitunggal antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah sekaligus potensi keduanya untuk merangsangclinarnikatersebut. Disku$i tentangkaitan antara bahasa, kekuatary dan komunitas sebenaryasudah diawali dari sekitar tahun 1970. Kuhn dalam We Structureof ScientificRanolutions (Yood, 2005:5) mengatakan bahwa perubahan intelektual dibangun dalam komunitas. Namun, Kuhn tidak bisa memberikan penjelasanmengenai hubungan recursif bahwa komunitas akan berperan untuk umrun dan untuk dirinya sendiri juga dengan perjuangan yang terus-menerus unfuk menemukan makna dan relevansi dalam disiplin akademis. Fuller dalam sumber yang sama mengemukakan konsep "pergerakan sosial" (social mwement) sebagai altematif paradigma. Dalam konsep ini, pengetahuan baru dimaknai dalam konteks perubahan intelektual dan politik dan dalam respon terhadap citra profesi yang diciptakannya sendiri. Yood (2005:3) menambahkan uraiannya sebagai tanggapan terhadap pandangan Fuller, bahwa pengetahuan yang terus
berkembang dan berubah tidak hanya dari perkembangan ide saja tetapi juga interaksi antara ide dan publik serta interaksi antara pemikiran komunitas tentang pengetahuan dan aktualisasinya dalam bidang politik dan dunia penulisan. Pengetahuan merupakan hal yang refleksif, dalam hubungannya dengan pencitraan diri sekaligus perubahan lingkungan. Hal ini membutuhkan sebuah pergerakan sosial dan intelektual dalam masyarakat yang transformatif . Di Indonesia sebenarnya sosok Ki Hajar Dewantara sangat patut menjadi panutan. Dalam bukuny+ Menuju Manusia Merdel
Penumbuhan SernangatKebangsaan untuk Memperlqrat Karakter lrdonesia melalui lemUeta;aran Bahasa
348 Bahasa dalam hal ini memiliki Peranan yang sangat penting sebagai sarana penguatan semangat kebangsaan. Kekuatan bahasa sebagai alat ekspresi diri dan simbol representasi budaya Namun, periuangan kelas-kelas yang terdeskriminasi terutama di Eropa telah membawa keberhasilan gemilang dengan mmggunakan sarana literasi (kebahasaan) sebagai alat perjuangan kelas seperti dari beberapa hasil penelitian dalam buku Making Race Visible: Literary Researdtfor Cultural Understanding(Greenedan Perkins (2003). PENDIDIKAN MORALKARAKTER IN. DONESIA DALAM PEMBELAJARAN jika kita menilik konsep pendidikan yang diutarakan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantar4 ada nilai-nilai luar biasa yang lahir di zaman itu, yang belum banyak manusia khususnya praktisi pendidikan peduli akan pentingnya karakter dan sifat dasar pendidikan. Dalam uraiannya Dewantara (2009:3a) menegaskan maknapendidikan bahwa "Pendidikan merupakan tuntunan hidup ..... Kekuatan kodrati yang ada pada seorang anak tiada lain adalah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir karena kekuasaan kodrat. Kita sebagai pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kekuatan itu agar dapat memperbaiki lakunya." Kodrat seperti yang diutarakan oleh dewantara di atas sejalan dengan karakter dasar manusia dan inilah b"g,* karakter Indonesia yang digagas oleh para pendahulu.Hal ini juga menjadi bahasanmenarik dalamtulisan Komarudin Hidayat (Zuchdi, 2008)bahwa manusia perlu melakukan life's journey yaitu upaya memahami kecenderungan sifat-sifat dasar watak atau karakter manusia. Watak-watak ini disebut dengan inner guiiles. Jika manusia bisa melakukan life's journey, maka dia akan mudah
Ima[ pemnfal ftntler, TahunII, Nomor 3, Oktober2012
mengenali, mengendalikan, mengarahkan serta mengoreksinya. Hal ini tentu sajamemiliki hubungan dengan tantangan global yang mentrnfut manusia unfuk mampu mengontrol dirinya agar tidak mudah terjerumus dalam pusaran arus informasi dan teknologi yang memungkinkan adanya penyalahgunaan hal-hal y*g dapat merusak pribadi, komunitas, rtegara,maupun dunia, misalnya pemboman di Bali India kerusuhan daerah, konflik antar sekolah, dan sebagainya. Seperti yang dinyatakan oleh Lickona (1991.:51),pendidikan karakter harus melibatkan aspek "knowing the good" (moral lcnouting),"desiring the good" atau "loving the good" (moral feeling), dan "acting the good" (moral action). Perkembangan lanjut mengmai pendidikan karakter seperti yang dikemukakan oleh Elias (2010:47)mertyalakan bahwa "aplikasi perkembangan sosial emosional dan karakter di kelas yakni tentang mengajarkan, memraktikkan, dan meneladankan kebiasaan pribadi yang penting dan kehidupan masyarakat serta keterampilan yang dipahami secara universal dapat membuat manusia menjadi pribadi yang baik. Kebiasaan ini meliputi penghargaan, tanggung jawa, integritas, kepedulian, keterbukaan, dan pemecahan masalah secarakonstruktif". ' Dalam uraian lanjubr/a Elias mengemukakan ada delapan cara unfuk membangun perkembangan sosiaf emosional dan karakter antara lain melakukan perbincangan tentang karakter, menunjukkan karakter pribadi, bereaksi dalam kehidupan nyata, membaca fiksi maupun nonfiksi, menulis sebagai sarana berekspresi, berpartisipasi di sekolah maupun komunitas, strategi mengajar dmgan pendekatan sosial, emosional dan karakter, serta membantu siswa ketika mereka membutuhkan
!_
u9 b a n t r r , r r rM . n r i l u p 't ,n r l f t i l l ,r, t r t r tl n i t l i r l r i t i k a n
cerdas dan berakhlak mulia (berkarakter baik) adalah sistem yang bersifat humanis, l \ , r r r l i t l i k r u r k n r ' ; r l . * l r .lru ( . n l i u l g l n e n _ yang memposisikan subjek didik sebagai j a d i l t ' r r r . rf f r ' l t l t , d lr r r . r r l rk r . l r i j , r k i r r r pribadi dan anggota masyarakat yang per_ Pcrrc{idikan ltitsioltnl ynrrg illtru.grlkrrrr tcrlaksana lu dibantu dan didorong agar memiliki kedari tarlrrrrr 201(lsarrr;raitirhtrrr2025.Dalam bisaaan efektif, pelpaduan antara pengeta_ buku yurrg (lll(.t,Irill..1n olt,lr l,crncrintah RI huaru keterampilan, dan keinginan (Zuchtahun 2()l()rnerrgrrralpr.rnlrinlFiultan karakdi, 2009:57). Perpaduan ketiganya secara ter bangso, url,r lipirt l'rurgsi utama pembaharmonis menyebabkan seseorang atau ngunan karirktt'r lrrrng,nu, ynkni sebagai be_ suatu komunitas meninggalkan ketergan_ rikut. tungan (dependarce)menuju kemandirian (1) Fungsi pr:n1[H,]1 tlt kan (liln pcrngembang(indeput dence).Kesalingtergantungan sangat an potenei ynllu ntcmtrerrtukdan me_ diperlukan dalam kehidupan modem sengembatlgkrln protc'nsimanusia atau perti sekarang ini karena permasalahan warga rregorr lrrrlont.siaagar berpikiran yang kompleks hanya dapat diatasi dengan baik, berrhntlbaik, dan herperilakubaik kerjasama dan kolaborasi yang baik desesuaidengtrnfalsafahhidup pancasila. ngan sesEuna. (2) Fungsi perbaikarrdan penguatan yaitu Ada beberapa hal yang harus dimiliuntuk memperbaiki dan memperkuat ki oleh guru sebagai pendidik yang mengperan keluarga, safuan pendidikan, ma_ integrasikan pendidikan moral dan karak_ syarakat,dan pemerintah untuk ikut ber_ ter pada anak didiknya. Xie dan Zhang partisipasi dan bertanggungjawab da_ (2011) menyatakan bahwa seorang pendi_ lam pengembangan potensi warga ne_ dik harus melakukan (1) Cultiaation a noble gara dan pembangunan bangsamenuju of mind di mana dia akan memenuhi kewabangsa yang maju, mandiri, dan sejah_ jiban dan mencintai pekerjaan serta metera. ngembangkan karakter pribadi yang baik; (3) Fungsi penyaring, yaitu untuk memilah Q) Imprwing of teachingability; (3) study of budaya bangsa sendiri dan menyaring the thcoriesof'education scimce; (4) particibudaya bangsa lain yang tidak sesuai pation in tlu scientific researchactiaity; (S) dengan nilai-nilai budaya dan karakter possession of mmtagemmtcapability. bangsayang bermartabat. Terkait dengan bagaimana integrasi. Alur pikir pengembangan pendidikpendidikan karakter dalam pembelajaran, an karakfer telah diterbitkan oleh pemerin_ konsep dan alur pikir mengenai hal ini tah melalui Kementerian pendidikan Nadigambarkiul seciua sistematis dalam konsional (2010) dan saat ini. pengembangan teks mikro pengembangan pendidikan kakarakter mencakup berbagai dimensi kehirakter. Konsep ini menjadi panduan dalam dupan dengan berlandaskan pada pennakerja praktis di lapangan khususnya di sasalahan-permasalahan bangsa landasan fituan pendidikan yang diharapkan dapat losofi, ideologis, dan legalitas. Hal ini termelaksanakan proses pembelajaran yang tuang dalam alur pikir pembangunan ka_ integratif denganpendidikan karakter. Konrakter bangsa yang dijabarkan ke dalam teks mikro pengembangan pendidikan kakonteks makro pengembangan karakter. rakter (Kemdiknas,2010) dapat dilihat paSistem pendidikan yang sesuai untuk da Gambar 1. menghasilkan kualitas masyarakat yang P r a k t i I t r V r l r i r . r ' i u 'l1r ' lr l l r r l r . li l
Penumbuhan Semangat Keb"rgru*
urrtok Vf"*
350 Metode dalam implementasi pendidikan karakter komprehensif ada empat macam, yaitu inkulkasi (inatlcation), keteiadanan (modeling),fasilitasi (facilitation),dan pengembangan keterampilan (skills building) (Zuchdi,2009:\9). Dalam inkulkasi ada beberapakegiatan yang bisa dilakukar; yaitu: mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya memperlakukan orang secara adif menghargai pandangan orang lain, mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percata disertai dengan alasan dan sikap hormat, tidak sepmuhnya mmgontrol lingkungan,
menciptaan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki, membuat aturan, memberikan penghargaan dan konsekuensi disertai alasan, membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, memberikan kebebasan bagi perilaku yang berbeda-beda. Keteladanan merupakan nilai di mana pendidik dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik dan peserta didik dapat meniru hal yang baik dari pendidik. Fasilitasi melatih subjek didik untuk mengatasi masalah-masalah dan memberikan kesempatan kepada peserta didik.
kah .kaieHtH;r Kb'fiqH $:;;...ffi,t$fQ1.,1.;pQn;d|df
Gambar 1. Konteks Mikro PengembanganPendidikan Karakter Pengembangan keterampilan meliputi keterampilan akademik dan sosial yang meliputi berpikir kritis, b".piki" kreatif, berkomunikasi dengan jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik. Melalui penerapan pendekatan ini, proses habifuasi penanaman nilai karakter yang baik bagi mahasiswa sebagai calon guru diharapkan dapat terwujud.
lulsl Ptcmffifln f0nllel, TahunII, Nomor 3, Oktober2012
PENUMBUHAN EKSPRESI KEBANGSA. AN MELALUI INTEGRASI PEMBELA. JARAN BAHASA Berbicara mengenai pembelajaran bahasa maka hal ini tidak dapat dilepaskan dari keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Satu hal yang dapat dipahami adalah bahwa pembicara yang baik adalah penyimak yang baik, penulis yang baik merupakan pembaca yang baik. Sejak tahun 1980an, beberapa pme-
351 l i t i a n t t t t , r r r r r r f r r h fl.rrrrrllrr w r r , r r lki rc u n t u n g an-kt.rtrrltrnHrill dl.lU ntililflt.ll _yirrrgdapat diraih kr'llkn lrtplnn1'q'11111i:rirrr tlan kegiatan rl menr lrir('.rr I I korrrI rrirsI kn rr, Shnntrhan (1990) mengonluk{tkrill d(lrl llge rnnnfailt utama dalarn pclnlulafirrfl 11nrr,fflbucadan menulis yang terilttcgrtr$1, (1) Menclptnkan
ktenclnran komunikatif,
yang trerclnsnr pada gagasan bahwa membaea dan menullH merupakan aktivitas komunlkatll ketlka penulis melakukan transakni pada teks pada saat itu juga penulie menunjukkan peranalrnya sebagai pembaca kritls
terhadap teks
yang ditulis. Sama halnya dengan pembaca ketlka melakukan transaksi terhadap teks pada saat yang sama sebenar-
nya pembacamenuliskan kembali yang menunjukkan peranan penulis (Rosenblatt,2004). (2) Bersifat fungsional, dimana integrasi antara membaca dan menulis memberikan tempat bagi siswa untuk merespon. (3) Menekankan pada proses kognitif terpadu antara membaca dan menulis yang akan memperkaya pengetahuan, bahkan memperkuat dimensi meta pengetahuan. Sebagaimanayang dikemukakan pada b"Sut sebelumnya bahwa bahasa dipandang sebagai alat ekspresi diri pribadi, alat ekspresi diri makhluk sosial, alat ekspresi diri warga negara, dan alat ekspresi diri professional Berbagai macam ekspresi tersebut, yang mengandung pesan komunikatif, secara alami akan memperoleh targgapan dari pihak lain, baik diminta maupun tidak, baik negatif, netral, maupun positif. Bahasa juga memiliki berbagai peran sebagai alat penyebaran dan pmyerapan ilmu, alat pengembangan diri secEraumum, alat berpikir nalar, alat komunikasi dan pengembangan sosial-bu day 1dan alat pendidikan.
Dalam praktik penulisan di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut unfuk menjadi pembelajar yang lebih mandrr, yang mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta mengetahui bagaimana menyikapi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Selain itu, kepekaan dan respons terhadap segala fenomena yang terjadi di sekitar, baik dalam li.gk,rp lokal, nasional, maupun global juga semestinya dimiliki dengan dilandasi pemahaman yang baik, perilaku yang baik, dan kepedulian unhrk mengatasi berbagai persoalan. Segalafenomena sosial, budaya politik, keamanan, yang dapat menunfun menuju rasa bangga dan cinta terhadap bangsa Indonesi4 dengan dilandasi oleh pemahanr.anterhadap Indonesia dan segala keIndosia-an yang dimiliki akan membekali mahasiswa untuk menjadi insan yang memiliki semangat kebangsaan yang tangguh. Melalui pembelajaran bahasa yang integratif, mahasiswa akan belajar dan pada akhimya diharapkan rnampu menumbuhkan karakter sebagai bangsa Indonesia. Hal ini akan memberikan kontribusi pemikiran setiap warga negara terdidik, dan keterlibatan dalam pergulatan pikiran dan rasa tentang Indonesia dalam diskusi serta membuat fulisan tentang suahr persoalan bersama pemikiran pemecahanrrya, baik persoalan bangsa secara umum maupun persoalan yang terkait dengan bidang studi yang ditekuninya. PENUTUP Semangatkebangsaan menempati posisi penting dalam upaya memperkuat karakter dan jati diri bangsa. Berbagai persoalan yang terjadi yang diindikasikan s€bagai bentuk melemahnya karakter Indonesia tidak hanya menjadi bahan diskusi penting saat ini, n€unun juga memerlukan upaya solutif. Pendidikan merrjadi tempat
Penumbn'rhan SemangatKebangsaan untuk MemperkuarKarakter[rdon*1"@
352 dimana transformasipengetahuandapat dicapai. Dalam hal ini, bahasa yang dipahami sebagai alat ekspresi dan simbol representasi budaya dapat menjadi sarana dalam menguatkan semangat kebangsaan. Pemahaman terhadap landasan filosofis dan historis pembangunan bangsa menjadi dasar dalam bagi terciptanya semangat kebangsaanyang kuat. Disamping itu, nilai-nilai lokalitas, wawasan nasional, dan pemahatnan terhadap berbagai fenomena di era global merupakan wujud dari upaya komprehensif memahami diri sebagai bangsa dan semangat kebangsaan dalam diri. Pembelajaran bahasa yang integratif dapat dijadikan sebagai salah satu wahana dalam meningkatkan rasa dan semangat nasionalisme peserta didik yang pada akhirnya dapat memperkuat karakter bangsaLndonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Redaktur Jurnal Pmdidikan Karakter atas kesempatan yang diberikan untuk mempublikasikan artikel ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rwieuter artil<elyang telah memberikan masukan sebagai wujud penyempurnaan artikel. Semoga artikel ini dapat berguna sebagai bentuk diskusi tertulis serta menambah wawasan khususnya mengenai semangat kebangsaan untuk memperkuat karakter Indonesia melalui pembelajaranbahasa. DAFTAR PUSTAKA Borsheim, Carlin, Kelly Merritt, & Dawn Reed. 2008."Beyond Technology for Technology's Sake:Advancing MultiIiteracies in the Twenty-First Century" dalam TheClearingHouseNovember-Desember. www.proquest.umi.pqd/ web.
fimal Pcilnlfanf,arallet, TahunII, Nomor 3, oktober 2012
Chun. 2009. "Critical Literacies and Graphic Novels for English-Language Learners: Teaching Maus" dalam lournal of AdolescentI Adult Literacy 53 (2) Oktober.Intemational Reading Association. www.proquest.umi.pqd/web. Colaruso, Dana M. 2010."Teaching English in a Multicultural Society: Three Models of Reform" dalam Canadian lournal of Education, 33, 2. www.proquest.umi.pqd/ web. Coheru Sande. 2002. 'The Academic 'Thingl: A,n Introduction to the Spe'Academic cial Issue on Culfure Disciplines and Disjunctions', lournal of Emergence-s. Volume 12 No 1. Daltory Thomas C. 2W2. Becoming lohn Drwey: Dilemmasof a Philosopherand N aturalist Bloomington: Indiana University Press. Damon, W. 2005. "Personality test: The Dispositional Dispute in TeacherPreparationToday,andWhat to Do about It" dalam Fwd: Arresting lnsights in Education, 2(3), 1,-5. www.proquest. umi.pqdlweb. DamorL W. zWT. "Dispositions and Teacher Assessment The Need for a More Rigorous Definition" .lournal of Teacher Education,5I (5), 365-369. Dewantara, Ki Hadjar. 20W. Menuju ManusiaMerdeka.Yogyakarta: Leutika. Elias, Maurice. 2010."Qraracter Education: Better Students Better PeopIe". The EducationDigest.www.proquest.umi. pqd/web.
353
G o r r 1 , , l r ,N
, t lH l l l
" l u , r t l l t t p r ,( t t t t i t r t l t t t t t
l tsr l l t t ' { , l u l r * l \ z t l l n F i r " 'l r t t t t t t r t l f i f1 1 1 l 1 6 o l { t t t I t t t t l t ( t t !t ' t t t r l l r a , l . ' ( ' l ) , l ' l ( ) w w w , P l . l r { l t l c t sl lll l l l ' l t r l tl / w t ' l t '
"\47'
Grahittn, Meatlow ltlret'ril, Slrt'il,r lletrstttr, l , i * r r rS l o t ' t t r l ; l n l . , ? 0 1 0 , " A $ p r i n g 'l'ltntt ir lfrielgc: Divittg boitrtl l{nlller' intrr Mttltltttotlnl
l,ilt'rrtcy".
English
lounutl(tligh Srhodl"litilm) Urbana: Nrtvt'ttttx'r,vnl 200,lSil. Greenc dtttt I't'rkitrn, 2(X)i' Making Race Visihlr: I'ilrurv [lttstnrchfor Cultutal lJndcrslundittg,Ncw York: Teacher Colltlge,f lolumbia U niversitY. Jacobson,Riclrard B. 2010."Motal Educa'lhe Academic of Being Hution and man Tclgether". lournal of Thought, Spring Summer. www.Proquest.umi. pqd/web. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Draft Induk PendidikmKarakter. Kiss, Elizabeth & I. Peter Euben (eds).2010. D ebating Moral Education:Rethinking The RoIe of Modern Uniaersity. Dur' ham: Duke UniversiW. Lickona Thomas. 1997. Educatingfor Character: Hws Our Schoolcan TeachRespect and ResPonsibilitY.New York: Bantam Books. Masirin, Mohammad, dkk. 2008. "Transformation of Malaysian Higher Education: A Case StudY of UniversitY Tun Hussein Onn MalaYsia (UTIIM) Rela' Towards University-Industry tion and Intemationalization. Mal
Merrit, Maria. 2000. "Virtue Ethics and Situationist Personality Psycholory" . Ethical Thzary and Moral Practice, 3. www.proquest.umi.Pqd/ web. http / / www.Murti, dkk. 2003.Kebangsaan. murti.blogspot.com. 'A Qa, S. N., & Reimaru A. I. 2007. PersConstmctivist-Deveiopmental pective" dalam M. E. Diez & J. Raths (Eds.), Dispositionsin teachcreducation lpp. 93-117).Charlotte, NC: lnformation Age Publishing. Pamental, Matthew P. 2010. "Dewey, Situationism, and Mora-l Education". EducationalTheory, 60, 2. www.Proquest.umi.pqd/web. Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Kebijakan N asional Pembangum Karakter BangsaTaltun 2010-2025. Creed. Reed dan Tony. 2009.W Ped"agogical New York Griftin, Ltd. Rosenblatt, L.M. 20M. "The Transactional Theory of Reading and Writing", dalam R.B. Ruddell & N.J. Unrau (eds), TheoreticalModels and Processes of Reading,Smedition. Newark DE: Intemational Reading Association. Shanahan, T. 1990. Reading and Writing Together: What Does it ReallY Mean? Dalam T. Shanahan (ed.), Reading and Writing Together: New PersPective forthe Classroom.Norwood, MA' Christopher4ordon Publishers. Sockett,H.zAM. "Character, Rules, and Relations"dalam H. Sockett (Ed.), Teach-
Karakter trdonesia melalui Pembelajaran Bahasa
er dispositions:Building a TeaclrctEducation Frmnruork of Moral Standards. New York: American Association of Colleges of Teacher Education Publi-
Strathern, Marilyn. 2000. "The Tyranny of Transparenry" . British EilucationalResearchlournal, Volume 26 No. 3.
cations.
Xie, Guoyong & Fengzhi Zhang. 207'1." A Brief Talk on the Cultivation and Improvement of Moral Education Teacher'sQuality". Asian SocialScience,7,1. www.proquest.umi.pqd/web.
Soedjahnoko.2009.Meniadi BangsaTerdidik. fakarta: Penerbit Buku Kompas. Soeharto, Pitut & A. Zainoel lhsan. 1981. IvIaju Setapak:CapitaSelectalQtiga.lakarta: Aksara Jayasakti. Sommerville, C. ]ohn. 2010. "How Serious Are We About Moral Education". Cltistian Sclnlars Rwieu). www.Proquest.umi.pqd/web.
I[tTs[ pcilffiillmftl0l,
Yood, Jessica. 2005. Present-Process: The Composition of Change. lournal of BasicWriting Fall Volume 24. www.proquest.umi.pqd/ web. Zuchdi, Darmiyati, dkk. 2009. Pmdidilutt Karakter: Grand Design dan Nilai-nilai Target.Yogyakarta: UNY Press.
Tahuntr, Nomor 3, Oktober2012 .^