STUDI PROKSEMIK MELALUI PENGAMATAN PEMILIHAN POSISI DUDUK OLEH PENUMPANG PADA ANGKUTAN KOTA DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus: Angkutan Kota Jurusan Dago-Kalapa-Dago) Penulis : Toddy Hendrawan Yupardhi
[email protected] Program Studi Magister Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No 10, Bandung, Jawa Barat. Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar Jl. Nusa Indah Denpasar, Bali.
ABSTRACT Proxemics is defined as physical distance in space for human interaction. An individual could determine his/her level of interaction with others through proxemics. Other aspects than can be determined by proxemics are personal space, surrounding environment and privacy. This research chose angkutan kota/angkot as public transport, which also serves as representation for public space. The main focus of this research is passenger seating choice in angkot as proxemics case and responses as forms of interactions. Field observation is used for gathering data and analysis was done using qualitative descriptive method. The outcome for this research shows angkot passenger who board alone rather chose to sit in corner to achieve more privacy. Passengers who wish to build desirable privacy, non-verbal activities to reserve their privacy. Passengers who board in groups were usually sit facing each other with lower privacy level. Verbal activities were more common among passengers who travel in group. Keywords : space, angkutan kota, interaction, proxemics, privacy
47 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
I. Pendahuluan Manusia merupakan mahluk sosial yang dalam kesehariannya melakukan interaksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sesama manusia ataupun terhadap suatu objek. Interaksi tersebut dan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja selama baik disadari atau tidak. Interaksi merupakan suatu aksi atau tindakan yang dilakukan secara timbal balik dan berlangsung secara dinamis antara orang dengan seseorang yang lain, seseorang dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok. Interaksi juga berlangsung antara manusia dengan lingkungan, dimana terjadi hubungan timbal balik dinamis berupa manusia melakukan aksi terhadap lingkungan atau merubah lingkungannya, begitu pula sebaliknya dimana suatu keadaan lingkungan akan menyebabkan manusia bereaksi (Hidjaz, 2011: 57). Salah satu bentuk lingkungan tempat terbentuknya interaksi manusia adalah ruang fisik (material). Ruang fisik sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh Ching (1996) adalah ruang-ruang interior yang mula-mula terbentuk dari suatu sistem struktur bangunan, kemudian lebih dipertegas lagi oleh adanya bidang dinding dan langit-langit dan melalui bukaan jendela dan pintu, yang berhubungan dengan ruang lainnya. Ruang fisik mewadahi bentuk interaksi yang terjadi pada manusia dengan manusia lain maupun terhadap ruang tersebut. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia maupun objek material, menurut Hall (1963) manusia memiliki 4 zona pribadi dimana zona yang dipakai adalah tergantung dari hubungan dengan orang lain dan aktivitas yang dilakukan. Keempat zona tersebut direpresentasikan dalam jarak-jarak fisik yang disebut juga sebagai jarak proksemik (kedekatan). Jarak-jarak tersebut terbagi dalam zona jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik yang bervariasi dalam hal kualitas dan kuantitas stimulasi (Halim, 2005:199). Sebuah jarak dapat memberikan informasi rasa aman, nyaman, privat, eksklusif dan dapat juga menunjukkan ancaman, gangguan serta bahaya dalam proses interaksi manusia. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa manusia memiliki pandangan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam sebuah ruang nyata, dan bagaimana jenis interaksi yang terjadi tergantung dari seberapa dekat hubungan seseorang dengan orang lain, jarak fisikal yang terjadi dan juga situasi yang sedang berlangsung pada saat itu. Berbagai kemungkinan bentuk interaksi dapat terjadi terkait dengan bagaimana upaya manusia dalam mempertahankan sebuah jarak yang nyaman ketika berada dalam sebuah kondisi dan lingkungan tertentu. Hal ini menjadi suatu hal yang menarik perhatian penulis untuk mengetahui bagaimana kecenderungan bentuk perilaku manusia secara umum dalam sebuah ruang publik dalam
48 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
mengatur dan menyikapi bentukan jarak proksemik yang terjadi. Dalam hal ini penulis memilih untuk melakukan penelitian sederhana dengan menggunakan media Angkutan Kota (angkot) yang merupakan sebuat alat transportasi publik dengan jalur tertentu sebagai representasi ruang dalam mewadahi bentuk interaksi penumpang yang akan menjadi sample dari penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kecenderungan dari para penumpang angkot dalam memilih posisi duduk sebagai suatu bentuk upaya mendapatkan jarak yang dianggap paling nyaman pada sebuah ruang publik, serta bagaimana bentuk interaksi yang terjadi ketika manusia berinteraksi dalam sebuah ruang publik berukuran kecil serta bagaimana bentuk aktivitas yang terjadi terkait dengan tingkat privasi yang dikehendaki. 2. Landasan Teoritis 2.1. Tinjauan Tentang Proksemik Tinjauan tentang teori proksemik menurut North (1990) berawal dari Edward T.Hall yang menciptakan istilah proksemik (proxemics) yang berasal dari akar kata bahasa Latin prox- (seperti dalam proximity) dengan imbuhan –emic (seperti dalam systemic, phonemics). Hubungan programatis program penelitiannya dengan prinsip-prinsip strukturalisme lingustik ditunjukkan oleh istilah tersebut (Ibrahim, 2009; 419). Sedangkan menurut Halim (2005; 186), Proxemics (proksemik) adalah jarak antar manusia yang dianggap paling menyenangkan untuk melakukan interaksi sosial, sedangkan privasi merupakan mekanisme kontrol antar individu dalam mengatur interaksi tersebut. Pendapat lain dikemukakan oleh Balendatt dkk (2010) yang menyatakan bahwa: “Proxemics is Edward Hall`s theory of these interpersonal spatial relationships. It describes how people perceive interpret and use distance, posture and orientation to madiate relations to other people, and to the fixed (immobile) and semi-fixed (movable) features in their environtment. Proxemics theory correlates physical distance with social distance (albeit in a culturally dependent manner): intimate 6-18’, personal 1,5-4’, social 4-12’, and public 12->25’ distances. As the terms suggest, the distances lend themselves to a progression of interactions ranging from highly intimate to personal, to social and then to public. Each distance also defines a close and far phase that affects that interaction” Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa proksemik merupakan sebuah teori yang awalnya dikemukakan oleh Edward T. Hall mengenai jarak fisik yang nyaman bagi manusia dalam berinteraksi. Jarak fisik tersebut dibagi menjadi 4 jenis jarak yaitu jarak intim (0-45 cm),
49 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
jarak pribadi (45-120 cm), jarak sosial (120-360 cm) dan jarak publik (>360 cm). Temuan Hall ini sangat bermanfaat sebagai dasar dalam membuat rancangan atau mengambil keputusan desain tentang ukuran minimum atau maksimum dalam ruangan, ruang duduk (lounge), tempat pertemuan, rapat, seminar dan sebagainya, dalam upaya membangun bentuk interaksi yang diharapkan untuk terjadi (Halim, 2005: 202). Namun dalam perkembangannya, proksemik tidak hanya mengarah pada jarak interaksi antar manusia secara fisik saja, namun juga berkembang menjadi komunikasi non-verbal manusia dalam interaksinya yang melibatkan bahasa tubuh, gestur dan anggota tubuh lainnya. Interaksi yang banyak melibatkan komunikasi non-verbal biasanya terjadi apabila hubungan kedekatan (kekerabatan) antara seseorang dengan orang lain adalah jauh atau tidak ada sama sekali. Berbeda halnya dengan hubungan kekerabatan yang saling dekat atau intim dimana banyak terjadi komunikasi verbal. Kedua jenis komunikasi tersebut tercermin pada perilaku manusia dalam menempati ruangnya dan menjadi indikator untuk suatu tingkat privasi yang dikehendaki. Seperti yang dinyatakan oleh Halim (2005) bahwa jarak proksemik yang kurang sesuai dapat mengarah pada perasaan negatif dan menghasilkan respon kompensasi. Invasi ruang personal juga bisa meningkatkan perasaan negatif, meningkatnya kewaspadaan, penarikan kesimpulan yang negatif terhadap seseorang dan sebuah reaksi. Hal ini menunjukkan bagaimana eratnya kaitan antara bentukan proksemik yang terjadi dengan sebuah tingkat privasi yang diharapkan.
segi ukuran fisiknya. Ruang publik yang berukuran kecil akan menyebabkan jarak proksemik menjadi semakin dekat, dan sebagai bentuk responnya manusia akan cenderung melakukan upaya pemenuhan kebutuhan privasi dengan bermacam cara, salah satunya juga dengan bahasa non-verbal. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pengaturan jarak proksemik pada sebuah ruang publik terlebih jika ukurannya terbatas menjadi sangat penting untuk diketahui karena akan mempengaruhi bentuk aktivitas perilaku manusia sebagai bentuk respon dalam upayanya untuk tetap memenuhi tingkat privasi yang ingin dicapai. 2.2. Identifikasi Objek Studi Kasus Angkutan Kota (angkot) merupakan salah satu sarana transportasi publik yang cukup populer di Indonesia dan salah satunya di Kota Bandung, karena telah menjadi bagian keseharian dari berbagai lapisan masyarakat. Kota Bandung memiliki sekitar 82 rute angkot yang beroperasi setiap hari, dan bahkan ada yang beroperasi hingga 24 jam (www.transportasiumum. com). Rute angkot di Bandung dapat dikenali dengan melihat kombinasi warna serta sticker yang tertulis di kaca depan dan belakang mobil yang menginformasikan arah dan tujuan. Tipe mobil yang digunakan mayoritas merupakan keluaran Mitshubisi Colt T120 SS, dengan kapasitas penumpang mencapai 13 orang dewasa.
Westin (1970, dalam Halim, 2005: 196) menyebutkan ada empat jenis privasi yang masing-masing memiliki karakteristik dan kegunaan yang berbeda. Keempat jenis privasi tersebut adalah: a. Solitude: keadaan bebas dari pengamatan orang lain b. Intimacy: keadaan bersama dengan orang lain namun bebas dari dunia luar c. Anonimity: keadaan tidak dikenali bahkan dalam keramaian d. Reserve: Keadaan dimana seseorang membuat batasan psikologis untuk mengendalikan gangguan yang tidak diinginkan. Berdasarkan pada bahasan di atas, suatu bahasa non-verbal yang ditampilkan dalam interaksi manusia menunjukkan bagaimana seseorang berupaya untuk membangun sebuah jarak yang dianggap paling nyaman bagi mereka untuk berinteraksi dalam sebuah ruang, dan juga untuk mendapatkan tingkat privasi yang diinginkan. Jarak proksemik yang berupaya dibangun di ruang publik kerap menjadi masalah ketika ruang tersebut tidak memadai dari
50 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Gambar 1. Angkot Dago-Kalapa-Dago (Sumber: www.transportasiumum.com, 2012)
Angkot sebagai salah satu fasilitas publik yang berfungsi sebagai sarana transportasi dengan berbagai jenis karakteristik penumpang yang menggunakannya, menghadirkan ruang sebagai wadah interaksi manusia yang akan diamati dalam penelitian ini. Ruang dalam (interior space) angkot merupakan ruang fisik tempat terjadinya interaksi antar manusia yang dibatasi oleh bagian body angkot. Karena sifatnya sebagai fasilitas
51 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
publik, ruang fisik angkot pun kemudian menjadi sebuah ruang yang bersifat publik. Dalam penelitian ini angkot digunakan sebagai representasi ruang aktivitas manusia dan perilakunya. Angkot jurusan Dago-Kalapa-Dago merupakan objek studi kasus, dipilih karena rute yang dilalui berawal dari pinggiran kota Bandung menuju daerah tengah kota sehingga diharapkan tipe penumpang yang akan menjadi populasi dari penelitian ini lebih bervariasi. Rute yang dilalui oleh angkot jurusan Dago-Kalapa-Dago adalah: Terminal Kebon Kelapa – Jl. Dewi Sartika – Jl. Kautamaan Istri – Jl. Balong Gede – Jl. Pungkur – Jl. Karapitan – Jl. Sunda – Jl. Sumbawa – Jl. Belitung – Jl. Sumatera – Jl. Aceh – Jl. Sulawesi – Jl. Seram – Jl. RE Martadinata (Riau) – Jl. Ir. H. Juanda (Dago) – RS. Boromeus (Dago) – ITB (Jl. Ganesha, Dago) – Simpang Dago – Terminal Dago – Jl. H. Juanda (Dago) – Simpang Dago – ITB (Jl. Ganesha, Dago) – RS. Boromeus (Dago) – Jl. Sultan Agung – Jl. Trunojoyo – Jl. RE. Martadinata – BIP (Jl. Merdeka Dago) – Jl. Aceh – Jl. Kalimantan – Jl. Belitung – Jl. Sumatera – Jl. Tamblong – Jl. Lengkong Besar – Jl. Ciateul – Jl. Dewi Sartika – Terminal Kebon Kelapa (www.transportasiumum.com).
Populasi penelitian ini adalah seluruh penumpang angkot di Bandung dan sampelnya ditentukan berdasarkan kriteria penulis. Kriteria tersebut adalah: pria dan wanita yang berada dalam angkot jurusan Dago-Kalapa-Dago dan berusia diatas 10 tahun. Penunjukan angkot dilakukan secara random, disesuaikan dengan rute yang dimulai dari posisi awal di Terminal Dago menuju Terminal Kebon Kalapa dan kembali ke Terminal Dago, disesuaikan dengan waktu pendataan yang telah ditentukan. Sampel dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yaitu individual dan komunal. Penumpang individual adalah penumpang yang dalam keadaan seorang diri tanpa ada hubungan relasi atau kenal dengan penumpang lain. Sedangkan penumpang komunal adalah penumpang yang terdiri lebih dari 1 orang dan ada hubungan relasi atau kenal. Pengambilan data dilakukan dengan cara mendokumentasikan bagaimana kecenderungan pemilihan posisi duduk di dalam angkot oleh penumpang, sebagai bentuk interaksi dan komunikasi non-verbal antara penumpang yang satu dengan penumpang lainnya berdasarkan pada kondisi lingkungan di dalam angkot tersebut. Pengamatan dilakukan dengan melihat, mencatat dan mengambil gambar pemilihan posisi duduk penumpang pada saat kondisi angkot tidak penuh (penumpang kurang dari 2 orang). Aktivitas yang terjadi pada penumpang juga didokumentasikan untuk mengetahui bagaimana bentuk respon penumpang terhadap jarak proksemik dalam ruang publik berukuran kecil.
3. Data Lapangan 3.1.
Proses Pengambilan Data Lapangan
Proses pengambilan data lapangan untuk penelitian sederhana ini dilakukan sebanyak 3 kali sesuai dengan yang tercantum pada Tabel 1. Pemilihan waktu sendiri didasari pada pertimbangan hari kerja dan jam sibuk dimana kemungkinan jumlah penumpang yang masuk lebih besar dan bervariasi. NO 1
2
HARI
WAKTU
ALASAN PEMILIHAN Hari kerja, KAMIS, jam awal 08.00-11.00 berangkat 23 FEBRUARI 2012 kerja JUM`AT, Hari kerja, jam 15.00-18.00 pulang kerja 24 FEBRUARI 2012
3 SABTU, 07.00-10.00 Akhir pekan 25 FEBRUARI 2012
SAMPEL Seluruh Penumpang Angkot Jurusan DagoKalapa-Dago, Pria dan wanita berusia di atas 10 th, naik pada saat penumpang angkot tidak penuh (maks. 2 org).
3.2. Tabulasi Data Lapangan
Angkot dipilih secara random.
Dari hasil observasi lapangan, adapun hasil pendataan kecenderungan posisi duduk dan aktivitas (interaksi yang terjadi) yang dipaparkan pada tabel berikut ini:
Gambar 2. Lay out posisi duduk Angkot Dago-Kalapa-Dago (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
Tabel 1. Jadwal Pengambilan Data Lapangan (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
52 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
53 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Jenis Penumpang Pria sendiri
Pria 2 orang (hub. kenal)
Kamis Jum`at Sabtu Posisi 23-02-2012 24-02-2012 25-02-2012 (lihat gambar 2) 8.00-11.00 15.00-18.00 07.00-10.00 5x 4x 6x Depan, tengah, belakang (2=2x, 4= 3x, 5=1x, 6=1x, 10= 5x, 13=3x
3x (6 org)
2x (4 org)
-
Aktivitas/ Interaksi
Duduk, diam, sesekali menggu nakan ponsel/ mendengarkan musik melalui earphone) Tengah (4&5= Duduk, sesekali 2x, 5&6 = 1x, mengobrol, 10&11 =2x) sesekali menggunakan ponsel Tengah, Duduk, Belakang (4, 5, mengobrol 10=3x, 12,13,9= ramai 1x)
Pria > 2 orang (hub. kenal)
3x (9 org)
1x (3 org)
-
Wanitasendiri
11x
15x
10x
Depan, Tengah, belakang,(1=2x, 2=2x, 4=5x, 5=2x, 6=3x, 7=2x 8=2x, 9=5x, 10=6x, 11=1x,12=1x,13= 5x
Duduk, diam, menggunakan ponsel dari masuk angkot hingga turun di tujuan
Wanita 2 orang (hub. kenal)
4x (8 org)
2x (4 org)
1x (2 org)
Tengah, belakang (5&6= 2x), (10&11= 3x) (9&13=2x)
Duduk, mengobrol, sering menggunakan ponsel
Wanita>2 orang (hub.Kenal)
1x (4 org)
1x (4 org)
1x (3 org)
Tengah (4,5,6,10 = 1x), (4,5,10,11=1x) (6,10,11= 1x)
Duduk, mengobrol ramai, sesekali menggunakan ponsel
Pria+Wanita (hub.Kenal)
54 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
-
1x (2 org)
1x (2 org)
Belakang (7&8=1x), (8&9=1x)
Duduk, sesekali mengobrol
Wanita>Pria (hub. Kenal)
1x (2 W, 1 P)
1x (3 W, 1 P)
1x (2 P, 1 W)
Tengah, Belakang (4,5,6,10=1x), (12,13,9 =1x)
Duduk, mengobrol ramai
Pria >Wanita (hub. Kenal)
1x (2 P, 1 W)
-
1x (2 P, 1 W)
Tengah (4,5,10=1x) (10,11,6, = 1x)
Duduk, mengobrol ramai
Total
49 orang
40 orang
26 orang
Tabel 2. Tabulasi data pengguna angkot jurusan Dago-Kalapa-Dago, Bandung (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa penumpang angkot jurusan Dago-Kalapa-Dago pada saat penelitian frekuensi terbesarnya merupakan penumpang yang dalam kondisi seorang diri (individual). Penumpang komunal dihitung per satuan grup (tidak secara jumlah individu). Secara keseluruhan, berdasar pada data di Tabel 2, tingkat frekuensi pemilihan posisi duduk dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 1. Frekuensi pemilihan posisi duduk dalam angkot Kalapa-Dago-Kalapa (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
Melalui Tabel 2 dan Grafik 1 dapat diuraikan bahwa penumpang yang dalam keadaan menumpang sendiri (individual) saat angkot masih dalam keadaan tidak penuh (penumpang kurang dari 2 orang), lebih memilih duduk pada posisi sudut ruang angkot atau terpisah menjauh dari penumpang lain yang sudah terlebih dahulu duduk. Posisi nomor 4, 9, 10 dan 13 merupakan posisi yang paling tinggi frekuensinya untuk diduduki oleh penumpang yang
55 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
dalam keadaan sendiri. Sedangkan posisi 3 tidak pernah dipilih pada saat angkot belum penuh, dan posisi ini biasanya paling akhir untuk diisi ketika angkot mulai penuh.
(Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
Sedangkan bagi penumpang yang terdiri dari 2 orang atau lebih (komunal) yang dalam hal ini memiliki hubungan kekerabatan atau perkenalan, lebih banyak memilih posisi tengah dan belakang dari ruang angkot, dimana interaksi dan komunikasi secara verbal lebih banyak terjadi. Posisi nomor 4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 merupakan posisi yang paling tinggi frekuensinya untuk dipilih sebagai posisi duduk bagi penumpang yang berkelompok. Selain itu, beberapa posisi yang kerap terjadi antara lain: 1. Jika sesama pria 2 orang, lebih cenderung untuk duduk berdampingan (posisi 4 & 5, 10 dan 11), kegiatannya lebih banyak diam, sesekali mengobrol.
Gambar 4. Posisi 4, 9, 10 dan 13 (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
Kegiatan yang terjadi pun bagi penumpang individual pria hanya duduk dan diam sambil sesekali menggunakan ponsel, sedangkan untuk penumpang individual wanita frekuensi menggunakan ponsel lebih tinggi. Penumpang wanita lebih banyak berinteraksi dengan ponsel, baik untuk sekedar bermain game, mengirim teks pesan atau mendengarkan musik selama berada didalam angkot. Hal ini menunjukkan jika pada ruang publik penandaan privasi ditunjukkan melalui aktivitas penggunaan ponsel, gestur melipat tangan di dada ataupun dengan menempatkan barang di hadapan (di pangkuan) mereka. Tidak banyak terjadi hubungan verbal antar individu pada kelompok ini, privasi lebih dijaga baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
2. Sesama wanita 2 orang, lebih cenderung untuk duduk berdampingan (posisi, 5 & 6, 10 dan 11) namun sesekali berhadapan (9 &13). Kegiatannya lebih banyak menggunakan ponsel dan sesekali mengobrol. Lihat gambar 5. 3. Jika sesama pria lebih dari 2 orang), misalnya penumpang dengan jumlah 3 orang, mereka berkecenderungan untuk 2 orang duduk berdampingan dan 1 duduk saling berhadapan (posisi belakang 9,12,13). Kegiatan lebih banyak mengobrol dengan ramai. 4. Jika sesama wanita lebih dari 2 orang, cenderung untuk duduk berdampingan dan berhadapan (posisi tengah 5, 6, 10, 11), lebih banyak mengobrol dengan ramai. 5. Jika penumpang wanita berpasangan dengan pria, cenderung untuk duduk berdampingan di bagian belakang (7,8,9), kegiatannya lebih banyak diam atau mengobrol berdua. 6. Jika penumpang kelompok pria lebih banyak dari wanita, ataupun sebaliknya, kecenderungannya mengarah pada pemilihan posisi duduk di daerah tengah (4,5,6,7,10,11) dengan posisi saling berhadapan dan kegiatannya mengobrol ramai.
Gambar 5. Posisi penandaan upaya privasi
Gambar 6. Penumpang sesama wanita 2 orang
56 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
(Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
57 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
4. Analisis Data
Gambar 8. Kondisi jok posisi nomor 10 dan 13 (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
Penumpang yang masuk berkelompok dan saling mengenal lebih cenderung untuk duduk saling berhadapan sehingga mereka bisa berkomunikasi secara verbal dan bertatap muka daripada duduk saling berdampingan. Gambar 7. Penumpang pada angkot yang tidak terisi penuh memilih duduk di sudut (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
Berdasar pada hasil pendataan yang telah dilakukan, nampak bahwa kecenderungan posisi duduk yang paling sering ditempati bagi penumpang individual adalah posisi pada sudut-sudut ruang angkot, yang mana pemilihan sudut ruang angkot merupakan posisi yang dirasakan paling privat karena ada batas pinggir yang dimiliki sendiri dan kemungkinan untuk bergeser karena ada penumpang lain yang masuk adalah sangat kecil. Disini privasi seseorang mendapatkan pengakuannya baik secara disadari maupun tidak. Pada saat penumpang dalam keadaan sendiri, posisi duduk nomor 10 merupakan posisi duduk paling tinggi frekuensinya untuk diduduki (lihat Grafik 1), karena paling dekat dengan pintu keluar, tidak harus bergeser kebelakang jika ada penumpang lain yang masuk, dan juga tidak merasa kepanasan saat angkot penuh dengan muatan karena mendapat hembusan angin dari pintu yang terbuka. Demikian halnya dengan posisi sudut belakang (no. 10 dan 13) yang menjadi favorit karena posisi ini tidak akan terganggu oleh keluar masuknya penumpang lain. Hal ini bisa dilihat dari kondisi jok angkot yang menunjukkan kerusakan lebih banyak pada bagian nomor 10 dan 13 karena frekuensi penggunaan yang lebih tinggi.
58 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Posisi nomor 4, 5, 6, 9, 10, 13 mendapatkan frekuensi tinggi ketika penumpang dalam bentuk kelompok dan saling kenal. Kebutuhan akan privasi tidak nampak terlalu dominan pada kondisi ini, lebih banyak komunikasi verbal yang terjadi. Posisi duduk di tengah yang dekat dengan pintu keluar, dan posisi belakang yang lebih privat untuk pembicaraan berkelompok menjadi pilihan dari jenis penumpang ini. Posisi duduk nomor 3 merupakan posisi duduk yang paling tidak diminati oleh penumpang individual maupun komunal ketika angkot dalam keadaan tidak penuh. Posisi nomor 3 biasanya terisi ketika angkot sudah mulai penuh diisi penumpang baik di depan maupun di tengah dan belakang. Posisinya yang dekat dengan pintu keluar masuk menyebabkan orang enggan untuk memilih posisi ini sebab akan menghalangi akses dan membuat penumpang yang duduk disana mendapat banyak intervensi dari penumpang lain yang akan masuk atau keluar sehingga privasinya dan kenyamanannya menjadi mudah terganggu. Jika melihat kembali pada teori proksemik dimana privasi merupakan mekanisme kontrol antar individu dalam mengatur interaksi, terlihat pada pemilihan posisi duduk pada ruang angkot. Kecenderungan pemilihan posisi yang dianggap privat tanpa mendapat intervensi dari pengguna lain menjadi tinggi karena kebutuhan privasi tersebut. Maka dari itu, posisi 4,5,9,10,13 mendapatkan frekuensi yang tinggi dimana posisi nomor 10 menjadi posisi duduk terfavorit berdasarkan penelitian ini. Privasi dalam ruang publik yang terkondisikan sangat dekat dengan intervensi dari pihak lain seperti halnya dalam angkot ini, diperkuat dengan berbagai penanda seperti pemakaian ponsel untuk menunjukkan seseorang sedang serius pada suatu hal dan
59 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
tidak ingin diganggu, dan juga gestur tubuh yang menunjukan penolakan terhadap intervensi dari luar, seperti dengan melipat tangan di dada dan penempatan barang di pangkuan sebagai penghalang.
Gambar 9. Gestur tubuh menandakan upaya privasi (sumber: Dokumentasi Penulis, 2012)
Dalam kasus penelitian, ditemukan bahwa penumpang yang sendirian lebih memilih posisi sudut-sudut pada angkot, sedangkan yang komunal dan saling kenal memilih posisi ditengah. Ketika angkot semakin penuh, privasi menjadi semakin berkurang dan kemudian timbul berbagai bentuk upaya pemenuhan privasi. Tingkat privasi bagi penumpang wanita pada kasus ini lebih tinggi dibandingkan pria, terlihat dari bagaimana gestur dan sikap yang diperlihatkan penumpang terutama wanita pada saat angkot mulai penuh. Bahasa non-verbal yang ditampilkan mulai dari melipat tangan di dada, menempatkan tas atau barang di depannya, menggunakan handphone atau memasang earphone untuk mendengarkan musik. Sikap-sikap ini menandai bagaimana seseorang berupaya untuk mendapatkan privasinya pada sebuah ruang publik. Jenis privasi yang dilakukan pada ruang publik angkot ini cenderung mengarah pada tipe privasi reserve dimana seseorang membuat batasan psikologis untuk mengendalikan gangguan yang tidak diinginkan. Penelitian ini juga memberikan gambaran tentang bagaimana terbentuknya beberapa bentuk interaksi dalam ruang publik terbatas, bagaimana jarak fisik memberikan kenyamanan dan apa bentuk aktivitas yang terjadi ketika manusia berusaha membangun sebuah kondisi privasi pada tingkat yang diinginkan pada ruang publik. Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi, wawasan dan pengetahuan pada bidang kajian manusia, ruang dan perilaku.
Berdasar pada teori yang disebutkan oleh Westin (1970, dalam Halim, 2005: 196), upaya pembentukan privasi yang dilakukan penumpang angkot cenderung mengarah pada jenis privasi reserve yakni keadaan dimana seseorang membuat batasan psikologis untuk mengendalikan gangguan yang tidak diinginkan. Hasil penelitian di atas secara keseluruhan menunjukkan bahwa pemilihan posisi duduk dalam angkot terkait dengan sebuah harapan pembentukan jarak interaksi yang nyaman serta tingkat privasi tertentu pada ruang publik, dan adanya bentuk aktivitas non-verbal sebagai sebuah upaya membangun atau mempertahankan privasi tersebut. 5. Kesimpulan Manusia dalam berinteraksi dengan sesama maupun lingkungannya memiliki 4 zona yaitu zona intim, pribadi, sosial dan publik. Secara fisik masingmasing zona memiliki jarak tertentu. Manusia selalu berusaha untuk menjaga wilayah pribadi (privasinya) dari intervensi pihak lain. Salah satunya tercermin dalam pemilihan posisi duduk di angkot, dimana penumpang berupaya untuk meminimalisasi adanya gangguan privasi dengan cenderung memilih posisi duduk yang paling sedikit mengalami intervensi publik. Apalagi dalam kondisi ruang angkot yang secara fisik tidak luas, jarak pribadi dan jarak sosial atau publik sudah menjadi tidak jelas. Penandaan privasi pun menjadi salah satu bentuk upaya menangkal intervensi berlebih dari pihak luar.
60 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
61 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Daftar Pustaka Ballendat, Till dan Marquardt, Nicolai dan Greenberg, Saul, 2010, Proxemic Interaction: Designing Orientation-Aware Environtment, Saarbuken-Germany: Journal On Departement Of Computer Science University Of Calgary Canada Ching, Francis DK. 1996. Ilustrasi Desain Interior. Jakarta: Penerbit Erlangga. Halim, Deddy, 2005, Psikologi Arsitektur Pengantar Kajian Lintas Disiplin, Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) Hidjaz, Taufan. 2011. Interaksi Psiko-Sosial di Ruang Interior. Bandung: Itenas dan HDII. Ibrahim , Abd. Syukur (editor penerjemah), 2009, Semiotik: Winfried Noth Handbook of Semiotics (Advances in Semiotics) (terj.), Surabaya: Airlangga University Press
Sumber website: www.transportasiumum.com diunduh tanggal 22 Februari 2012 Sumber Foto: Dokumentasi Penulis, 2012
62 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013