ISSN 0000-0000
PENTINGNYA STANDAR DI DALAM DUNIA USAHA Aniek Wahyuati*)
ABSTRAK Dalam situasi persaingan dagang yang cukup liberal ini, standarisasi mutu industri barang atau jasa sangat diperlukan, sehingga menjadi sarana yang makin efektif dalam upaya menciptakan tertibnya kegiatan perdagangan, kepastian usaha dan berlindungnya kepentingan konsumen. Di Indonesia standarisasi mutu suatu produk telah dikenal sejak tahun 1937 terakhir dengan dikeluarkannya ISO 9000 baik untuk hasil industri barang dan jasa tahun 1998. Dengan standarisasi berarti tercapai kesamaan kualitas barang atau jasa bagi perusahaan–perusahaan yang berbeda. Dengan kesamaan kualitas berarti para produsen didorong untuk bersaing dalam efisiensi dan efektif / produktif. Persaingan secara sehat dan jujur karena biaya produksi dan harga jual dari berbagai produsen relatif tidak jauh berbeda. Dengan demikian kesadaran dan kepatuhan pada standar perlu ditumbuh kembangkan, baik untuk pelaku bisnis maupun pada masyarakat konsumen. Dalam kenyataannya ada beberapa produsen telah melanggar standar yang telah disepakati dengan cara menurunkan standar kerja dan mutu barang sehingga dapat memperoleh keuntungan yang cukup besar, yang pada hakekatnya hal tersebut melanggar etika konsumen. Untuk menghindari kecurangan para pebisnis perlu kiranya diadakan penanggulang-an, dengan upaya meningkatkan penyuluhan tentang perlunya standarisasi barang / jasa(pengujian)standar secara continue, partisipasi aktif lembaga konsumen dalam mengawasi standar mutu barang di masyarakat dengan pengambilan sampel pada barang di toko–toko, pengujian sampel, dan tindak lanjut hasil pengujian sampel atas barang perlu diberikan hukuman atau penghargaan baik oleh lembaga konsumen sendiri maupun pemerintah. Kata-kata kunci : Standar, Kualitas, Pengawasan
*)
Dra. Aniek Wahyuati, adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
38
Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 38-44
1. PENDAHULUAN Standarisasi telah dikenal di Indonesia sejak masa Hindia Belanda. Dalam bidang instalasi tenaga listrik, misalnya pada tahun 1937 telah ditetapkan AVE (Algemene Voorschriften Voorelectrisce Sterkstroon Installatles). Standar tersebut dinyatakan wajib berlaku oleh pemerintah, sehingga semua perusahaan kontraktor listrik sejak itu wajib menempuh ujian profesi untuk memperoleh ijin kerja, dan hasil kerjanya diinspeksi secara ketat oleh instansi pemerintah yang mengawasi keselamatan kerja. Dalam masa kemerdekaan, AVE telah tiga kali disesuaikan dengan perkembangan teknologi ketenagalistrikan yaitu pada tahun 1956, 1977 dan 1987. Sekarang dikenal sebagai standar nasional bernama peraturan umum instalasi listrik (PUIL) dengan nomor SNI–225–1987. Perumusan dan penerapan standar–standar perusahaan ( corporate standards ) telah lama dilaksanakan di Indonesia. Oleh perusahaan umum listrik negara (PLN), LMK bersama dengan para produsen, penyalur, konsumen, perguruan tinggi dan sebagainya. SPLN bermaksud telah dinyatakan wajib berlaku untuk semua penyambungan pada jaringan listrik PLN. Sejak itu terkenallah tanda (marking) LMK–SPLN pada alat peralatan ketenagalistrikan. Dengan prosedur yang serupa, PT. TELKOM ( dahulu PERUMTEL ) menetapkan standar–standar perusahaannya, yaitu STEL yang juga dinyatakan wajib berlaku bagi semua pengadaan dan pembelian oleh TELKOM serta bagi semua penyambungan pada jaringan telekomunikasi. Berikutnya lagi dirumuskan dan diterapkan standar–standar departemental. Oleh Departemen Perindustrian, misalnya sejak PELITA KETIGA ( 1978–1983 ) diselenggarakan rapat–rapat konsensus dan ditetapkan sejumlah standar industri Indonesia ( SII ). Berbagai SPLN dan STEL, dikukuhkan menjadi SII. Dengan prosedur yang serupa juga ditetapkan standar–standar departemental lainnya, seperti standar listrik Indonesia ( SLI ) oleh Departemen Pertambangan dan Energi, standar Pos dan Telekomunikasi , standar Perdagangan, dan lain–lain lagi. Untunglah bahwa wakil dunia usaha yang diikutsertakan dalam perumusan beraneka standar departemental tersebut, orang–orangnya adalah sama, sehingga alhamdulillah tidak terjadi kesimpangsiuran yang bisa menyulitkan para produsen, penyalur / pedagang serta konsumen. Tahap selanjutnya adalah pengukuhan berbagai standar perusahaan dan standar departemental menjadi standar nasional Indonesia ( SNI ), setelah dicocokkan pada perkembangan teknologi mutakhir. Disamping standar–standar dalam negeri yang telah disinggung diatas, dunia usaha kita juga menerapkan standar internasional serta standar dari negara–negara lain. Di bidang kelistrikan misalnya, banyak kita jumpai standar–
Pentingnya Standar Dalam Dunia Usaha (Aniek Wahyuati)
39
standar IEC, ASTM, UL, JIS, VDE, DIN, BS, MS, SS dan sebagainya. Standar luar negeri itu diterapkan jikalau belum tersedia standar dalam negeri, atau atas permintaan khusus dari konsumen, atau untuk melayani pasaran ekspor. Sebagai contoh, bangunan bertingkat tinggi ( high rise buildings ) di Indonesia memerlukan kabel listrik yang tahan kebakaran namun belum ada standar dalam negerinya ( SPLN, SLI, SII ), maka para produsen menerapkan standar IEC (international electrotechnical commission yang meliputi 43 negara anggota ). Contoh lain : ekspor kabel listrik telah dimulai sejak PELITA KETIGA dengan pengapalan pertama ke Srilanka pada tahun 1980, dan sekarang telah berjalan misalnya, sejak tahun 1974 telah ditetapkan standar PLN ( SPLN ) untuk berbagai peralatan listrik. Perumusannya telah dilakukan oleh lembaga masalah ketenagalistrikan ( PLN ) secara rutin ke Australia, semua negara ASEAN, Hongkong, Jepang, Amerika Serikat, Iran, Arab Saudi, dan lain– lain yang kabel listriknya dipersyaratkan oleh konsumen untuk menerapkan standar masing–masing negara tujuan ekspor termaksud.
2. BEBERAPA MANFAAT STANDAR Dengan standarisasi tercapailah kesamaan kualitas dari barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan–perusahaan yang berlainan. Dengan kualitas dimaksudkan keseluruhan ciri dan karakteristik dari barang atau jasa yang menentukan kemampuannya untuk memenuhi suatu kebutuhan yang dinyatakan atau diimplikasikan. Kesamaan kualitas yang tercapai dengan memenuhi standar tertentu, terlebih–lebih standar yang sudah diberlakukan secara wajib, membawa konsekuensi bahwa para produsen dirangsang untuk berlomba dan bersaing dalam efisiensi dan produktivitas, suatu bentuk persaingan yang sehat dan jujur karena ongkos produksi dan harga jual dari berbagai produsen tidak akan berbeda jauh. Bagi konsumenpun, pemenuhan standar tertentu menjadi jaminannya untuk memperoleh barang atau jasa yang kualitas tertentu, dengan harga yang tidak berbeda jauh antara merk yang satu dengan merk berbeda jauh. Bagi konsumenpun, pemenuhan standar tertentu menjadi jaminannya untuk memperoleh barang atau jasa yang kualitas tertentu, dengan harga yang tidak berbeda jauh antara merk yang satu dengan merk yang lain. Konsumenpun akan semakin tumbuh kepercayaannya pada produsen tertentu, apabila produsen itu semakin memantapkan manajemen dan kualitas dan sistim kualitas dalam keseluruhan perusahaannya. Dewasa ini tidak lagi memadai untuk sekedar menjalankan pengawasan dan pengendalian kualitas ( quality inspection and control ) atas produknya, melainkan sudah dituntut pengelolaan mutu yang memberikan jaminan kualitas ( quality
40
Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 38-44
assurance ). Dengan jaminan kualitas dimaksudkan semua tindakan terencana dan sistematis sebagaimana diperlukan untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa suatu barang atau jasa akan memenuhi persyaratan kualitas tertentu. Kepercayaan konsumen untuk memperoleh kualitas tertentu apabila membeli barang atau jasa yang memenuhi standar,maka hal ini benar–benar merupakan barometer bagi produsen yang bersangkutan untuk mengembangkan bisnisnya dalam iklim persaingan yang kian kompetitif. Hal ini semakin mendesak lagi dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang pengaruhnya kini telah meluas masuk ke dalam dunia bisnis Indonesia. Dalam iklim sedemikian itu standardisasi perlu menjadi sarana yang semakin diefektifkan, demi mengupayakan tertib usaha niaga, kepastian berusaha dan terlindunginya kepentingan konsumen. Dalam hubungan ini terdapat kesejajaran antara upaya menegakkan etika dan sopan santun dalam peraturan bisnis dengan upaya melindungi kepentingan konsumen. Inilah titik temu utama antara kegiatan organisasi perusahaan ( asosiasi / gat ungan, federasi ) dengan organisasi masyarakat konsumen. Maka kesadaran dan kepatuhan pada standar perlu ditumbuh kembangkan, baik pada pelaku–pelaku bisnis maupun pada seluruh masyarakat konsumen. Kebersamaan mereka dalam taat–standar itu akan turut menentukan citra tentang tertib usaha niaga di Indonesia. Taat–standar merupakan panggilan dan tanggung jawab yang sama bobotnya bagi pelaku bisnis dan bagi masyarakat konsumen. Banyaknya contoh–contoh menggemairakan yang dapat dikemukakan tentang interaksi positif yang terwujud kalau produsen dan konsumen sama–sama sadar dan patuh pada standardisasi. Kita ambilkan contoh kasus kabel listrik. Konsumen kabel listrik seperti PLN dan lain–lain penyedia tenaga listrik, TELKOM dan lain–lain penyedia jasa telekomunikasi, beraneka industri yang memerlukan kabel listrik untuk dijadikan komponen ke dalam barang atau jasa hasil produksinya, perusahaan di negara lain yang mengimpor kabel listrik dari Indonesia, dan sebagainya, praktis semua taat–standar. Merekapun kebanyakan memiliki keahlian tentang kabel listrik serta fasilitas untuk melakukan pengujian sebelum kabel listrik itu diaksep ( acceptance test ). Dengan konsumen sejenis itu pabrik kabel listrik melakukan interaksi positif tentang penerapan standar. Dalam hal demikian standar benar–benar menjadi sarana ampuh untuk mewujudkan persaingan yang sehat dan jujur, perlindungan kepentingan konsumen, tertib usaha niaga, serta mencerminkan etika bisnis yang luhur dalam rangka meningkatnya kualitas hidup bangsa.
Pentingnya Standar Dalam Dunia Usaha (Aniek Wahyuati)
41
3. PERBUATAN CURANG DAN PENANGGULANGANNYA Anomali timbul di dalam penerapan standardisasi apabila terdapat produsen dan / atau konsumen yang kurang sadar dan kurang patuh pada standar. Kemudian pihak yang kurang taat standar itu merayu atau menyeret pihak yang lain untuk melakukan ketidaktertiban dalam usaha niaga dengan melecehkan etika bisnis. Mengambil kasus kabel listrik sebagai contoh lagi, kecurangan itu berupa diproduksi dan diperdagangkannya kabel yang kualitasnya dibawah standar (sub standar) atau bahkan instruksi kabelnya menyimpang dari standar ( non standar ). Kabel yang menyimpang dari standar itu harganya bisa 30–10% lebih murah, suatu daya saing yang ampuh di dalam masyarakat konsumen yang masih terbatas tingkat pengetahuan maupun daya belinya. Hal ini masih saja terjadi, walaupun telah bertahun–tahun diwajibkan berlakunya standar SII dan SP untuk beberapa jenis kabel tegangan rendah ( low voltage cables ). Maka, baik memproduksi maupun memperdagangkan dan memasok kabel yang kualitasnya menyimpang dari standar jelaslah merupakan pelanggaran terhadap terhadap perundangan yang berlaku. Perbuatan itu melecehkan etika bisnis dalam aspek persaingan yang sehat serta perlindungan kepentingan konsumen. Lalu bagaimanakah kredibilitas dan wibawa peraturan perundangan yang menetapkan wajib berlakunya standar itu ? Cukupkah persiapannya sewaktu peraturan perundangan itu diterbitkan ?. Tindakan–tindakan penanggulangan yang disarankan adalah sebagai berikut : a. Frekuensi dan intensitas bimbingan dan penyuluhan mengenai standardisasi perlu ditingkatkan, baik tertuju pada produsen, penyalur / pedagang, pengusaha perantara maupun tertuju pada masyarakat konsumen. Ini terutama mengenai standar–standar yang telah dinyatakan wajib berlaku. b. Inspeksi dan pengujian perlu dilakukan secara rutin ( tetapi mendadak ) di pabrik tempat memproduksi barang yang standarnya sudah wajib berlaku. c. Standar wajib itu juga diberlakukan terhadap barang impor, jadi perusahaan surveyor perlu melaksanakan pengujian dan menerbitkan sertifikat mengenai konformitas dengan standar dalam negeri. Kewajiban ini juga mencakup barang yang diimpor lewat masterlist proyek penanaman modal. d. Pengambilan samples dipasar dan pengujian terhadap barang yang wajib standar perlu terus menerus dilakukan dengan frekuensi cukup tinggi dan meliputi seluruh Indonesia. Disarankan untuk memakai sistim inspektorat, yaitu samples diambil dari sembarang pedagang eceran ( jadi bukan dari distributor atau agen ), tanpa diketahui
42
Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 38-44
oleh pedagangnya siapakah pengambil samples itu dan apakah maksudnya. Sistim inspektorat lebih representatif, lebih mendekati realita dipasar, dan lebih efektif daripada sistim kupon yang diterapkan oleh Departemen Perdagangan selama ini. e. Partisipasi organisasi konsumen di dalam turut melaksanakan pengambilan samples, pengujian dan tindak lanjut perlu diajak dan dibina oleh pemerintah. f.
Pembiayaan untuk melakukan inspeksi di pabrik, mengambil samples di pasar, serta menguji, dapat dibebankan pada produsen berdasarkan atas jumlah barang yang diperdagangkan di pasar. Sebagai contoh / Presiden dapat dipelajari perjanjian sistim pengawasan mutu ( SPM ) yang berlaku untuk lembaga masalah ketenagalistrikan ( PLN–LMK ) dengan pabrik yang diijinkan mencantumkan tanda ( marking ) LMK– SPLN pada produknya. PLN–LMK bersama APKKABEL menerapkan sistim inspektorat termaksud di atas.
g. Terhadap produsen dan penyalur / pedagang serta penguasaan perantara yang memproduksi memperdagangkan memasok barang yang kualitasnya menyimpang dari standar, perlu dikenakan sanksi atau penalty yang gradasinya edukatif, persuasif dan coersive. Mengingat budaya manajemen yang masih berlaku pada kebanyakan perusahaan di Indonesia, perlu difikirkan apakah sanksi atau penalty termaksud dikenakan terhadap pimpinan perusahaan yang bersangkutan ataukah terhadap pemilik perusahaannya. Jikalau belum ada peraturan perundangan untuk itu atau belum memadai, perlu segera diadakan dan dilengkapkan. Dlaam hubungan itu pula sudah perlu diterbitkan Undang–Undang perlindungan konsumen. h. Kualitas barang yang wajib standar sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan baku dan bahan penolongnya. Maka semestinya juga dilakukan pengawasan dan pengujian atas bahan itu, dengan persayaratan sama ketat seperti terhadap barang jadinya, oleh instansi pengawas dan penguji barang jadi yang wajib standar. i.
Lembaga / laboratorium penguji semestinya berstatus independen, menjaga jarak sama jauh terhadap penguasa / pemerintah, terhadap produsen dan terhadap konsumen, serta memperoleh akreditas dari jaringan laboratoria independen sedunia.
j.
Pada hakekatnya konsumenlah yang menjadi penentu akhir ( final decision maker ) mengenai keberhasilan standardisasi. Apakah keseluruhan masyarakat konsumen sudah secara konsisten sadar dan patuh pada standar, tidak akan ada peluang lagi untuk pelaku bisnis guna berbuat curang dalam aspek penerapan standar, baik produsen dan penyalur / pedagang maupun pengusaha perantara.
Pentingnya Standar Dalam Dunia Usaha (Aniek Wahyuati)
43
k. Perusahaan asuransi ( baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa ) berkepentingan langsung dengan penerapan standar–standar yang menyangkut keamanan dan keselamatan, maka perlu mewaspada ketertibannya.
4. KESIMPULAN 1. Etika bisnis antara lain mencakup kesadaran dan kepatuhan pada standar, terlebih– lebih standar yang telah ditetapkan wajib berlaku. 2. Penerapan standar secara tertib merupakan sarana ampuh untuk mewujudkan iklim persaingan yang sehat dan jujur serta perlindungan kepentingan konsumen. 3. Penerapan standar secara tertib menjadi panggilan tanggung jawab yang sama bobotnya bagi pelaku bisnis dan bagi konsumen. Interaksi positif terwujud kalau kedua pihak sama–sama taat standar. 4. Dari keseluruhan siklus standardisasi, bagian yang rawan dan belum cukup ditangani adalah penerapan standar wajib di lapangan, pengawasannya, serta penindakan terhadap pelanggarnya. 5. Program memerangi kebodohan dan kemiskinan dan pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua ( PJPT–II ), perlu juga mencakup gerakan seluruh masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan kepatuhan pada standar, serta menggelorakan nilai moral untuk menjunjung etika bisnis. Taat standar serta menjunjung etika bisnis termasuk diantara ciri–ciri peningkatan kualitas hidup bangsa serta peningkatan kualitas manusia Indonesia.
5. DAFTAR PUSTAKA Sudarsono, Business Ethics Paper, Widya Manggala, Semarang 1993. Ramlli Pamujie, Gerakan Moral dan Business, Paper, Universitas Dr. Soetomo, Surabaya 1992. Tanri Abeng, Paper, Universitas Kristen Satya Wacana, Solotiga 1992. Syahrir, Kejahatan Kera Putih Dan Sistem Ekonomi Indonesia, Bisnis Indonesia, Jakarta 31 Oktober 1992.
44
Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 38-44