eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2(3): 697-710 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
PENOLAKAN IRAN ATAS PERJANJIAN PERDAGANGAN SENJATA INTERNASIONAL PBB 2013 Merdianto Mangiwa1 NIM.0702045194
Abstract Broadly speaking, the purpose of the ATT is to prevent the formation of conventional weapons into the black market. During the formation process of the ATT that began in 2006, there is debate on this treaty. There are some who refuse ATT especially major countries exporters of conventional weapons such as the United States, China, and Russia. However, the majority of UN member states, agreed to the establishment of the ATT.Iran's participation in the formation process began in 2006, Iran actively participate in each meeting, as well as in the formulation of article in ATT, Iran is also active in giving opinions about ATT. However, the adoption of ATT in April, 2013, Iran refused even to take a stand. It could be argued that in contrast to the attitude of Iran during the formation of the ATT, which Iran has one of the support of the establishment of the regime. In this study, there are two main points of Iran reject reason approving content darft ATT. First, the security related to traditional iran, both related to non-traditional security. Keywords : Arms, Trade, Treaty Pada masa Perang Dingin, konflik terbuka antara negara-negara besar memang tidak lagi terjadi, tetapi konflik masih terjadi dalam skala yang lebih kecil baik intra state maupun inter state. Negara-negara yang masih mengalami konflik antara lain di kawasan Eropa adalah negara-negara pecahan Uni Soviet. Di kawasan Timur Tengah negara-negara yang masih berkonflik antara lain Israel dan Palestina yang telah berperang pada masa PD II. Setiap hari, jutaan orang merasakan konsekuensi langsung dan tidak langsung dari perdagangan senjata yang tidak bertanggung jawab: ribuan orang tewas, lainnya terluka, sementara banyak orang lain harus hidup di bawah ancaman konstan senjata. Masalah diperparah oleh meningkatnya globalisasi perdagangan senjata dan komponen yang bersumber dari seluruh dunia, produksi dan perakitan di negara yang berbeda,kurang terkontrol. Peraturan Domestik perdagangan senjata 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email: tbkenzie4@gmail. com
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 697-710
telah gagal untuk beradaptasi dengan perubahan ini, sementara kontrol nasional dan regional yang ada, tidak cukup untuk menghentikan transfer yang tidak bertanggung jawab untuk senjata dan amunisi antar negara. Rezim internasional perdagangan senjata konvensional menjadi hal yang penting karena seiring dengan meningkatnya perdagangan senjata di dunia. Pada era Perang Dingin jumlah perdagangan konvensional senjata sebesar US$37.8 triliun. Akan tetapi setelah berakhirnya Perang Dingin angka dari perdagangan senjata justru terus meningkat dan pada tahun 2008 mencapai sebesar US$55 triliun. (http://www.controlarms.org/about-controlarms), diakses pada tanggal 30 mei 2013). Menurut data SIPRI (Stockholm international peace research institute), lima negara terbesar pengekspor senjata selama periode 5 Tahun 2008-2012 antara lain: Amerika Serikat 30%, Rusia 26%, Jerman 7%, Prancis 6%, Cina 5%. dan importer senjata konvensional 5 terbesar berasal dari negara-negara asia antara lain: Singapura 45%, India 12%, Cina 6 %, Pakistan 5%, Korea Selatan 5%,(http//:forum.kompas/internasional/247422-cina-masuk-lima-besar-negaraeksportir-senjata.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2013). Dampak dari lemahnya pengontrolan perdagangan senjata konvensional pada akhirnya menimbulkan peningkatan terhadap arms violence dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga Small Arms Survey menunjukkan konflik kekerasan bersenjata dari tahun 1990 hingga 2007 telah menelan korban jiwa sebanyak 50.000 orang setiap tahunnya, (http://www.armscontrol.org/factsheets/arms_trade_treaty diakses 18 November 2013). Sedangkan United Nation Development Program (UNDP) yang menggunakan data statistik menunjukkan bahwa jumlah kematian yang diakibatkan oleh senjata konvensional berjenis small arms di negara-negara yang berbeda sebanyak 0.01 kematian per 100.000 orang di Hong Kong, 30 per 100.000 di El Salvador, 55 per 100.000 di Kolombia, dan jumlah tersebut meningkat 580 per 100.000 tiap tahunnya, (http://www.dw.de/pbb-rundingkanperjanjian-perdagangan-senjata/a-16703807), diakses pada tanggal 6 agustus 2013). Menurut data Amnesty International, Hampir 900 juta senjata ringan saat ini beredar di seluruh dunia, dan setiap satu menit satu orang tewas tertembak, (http://www.dw.de/pbb-rundingkan-perjanjian-perdagangan-senjata/a-16703807, diakses pada tanggal 6 agustus 2013). Dari data PBB yang menagani urusan perlucutan senjata, di laporkan tindak kekerasan dan pembunuhan lebih dari setengah juta orang setiap tahun, termasuk 66.000 perempuan dan anak-anak. Antara tahun 2000 dan 2010, sekitar 800 pekerja kemanusiaan tewas dalam serangan bersenjata dan hampir 700 lainnya
698
Penolakan Iran atas perjanjian perdagangan senjata PBB 2013(Merdianto M)
luka-luka, tidak adanya kebijakan yang mengatur perdagangan senjata internasional, telah menyebabkan penderitaan bagi warga sipil diantaranya adanya tindakan penindasan politik, kejahatan dan teror di kalangan penduduk sipil. Sedangkan, korban dari jenis senjata berat banyak terdapat di negara-negara yang masih berkonflik sampai saat ini antara lain di beberapa negara di kawasan Timur Tengah yaitu Israel dan Palestina yang masih melakukan serangan rudal balistik secara bergantian dan terus menerus. Semakin maraknya perdagangan senjata internasional mengakibatkan banyak pihak yang menyalahgunakan persenjataan tersebut untuk kepentingankepentingan kelompok tertentu. Pihak yang melakukan perdagangan senjata ini tidak hanya berasal dari pemerintahan resmi suatu negara, tetapi juga berasal dari kelompok-kelompok seperti pemberontak dan terorisme. Hal ini menyebabkan banyaknya korban kemanusiaan dalam penyalagunaan persenjataan tersebut. Sebagian besar korban kemanusiaan dari penyalahgunaan senjata tersebut adalah warga sipil. Melihat dari fenomena perdagangan senjata yang tidak diatur sehingga berakibat pada krisis terhadap kemanusiaan membuat individu, negara, dan entitas di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah ini dengan membentuk suatu rezim internasional terkait dengan perdagangan senjata. Rezim internasional mengenai perdagangan senjata tersebut adalah Perjanjian Perdagangan Senjata, (The Arms Trade Treaty/ATT). Kerangka Dasar Teori 1. Konsep Rezim Internasional Hubungan internasional mengalami fenomena yang berubah-ubah seiring dengan munculnya isu-isu baru yang terjadi antar aktor dalam suatu komunitas lokal, regional maupun global. Salah satu cara untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan isu-isu yang ada aktor-aktor di dalam hubungan internasional disamping melakukan hubungan bilateral, multilateral, kerjasama, dan bahkan aliansi mereka juga membentuk suatu peraturan yang disebut rezim internasional. Rezim internasional yang terkait dengan hal ini adalah mengenai ATT pada tahun 2013 yang merupakan salah satu bentuk rezim persenjataan yang dibentuk oleh aktor Negara dan PBB. Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspetasi atau pengharapan aktor-aktor yang memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan internasional. (Anak Agung Banyu Perwita. 2006).
699
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 697-710
John Ruggie juga memberikan pengertian yang hampir sama mengenai rezim internasional yaitu sekumpulan ekspektasi atau pengharapan bersama, peraturan, rencana, komitmen organisasi dan finansial yang telah diterima dan disepakati oleh sekelompok negara. Keohane dan Joseph S. Nye mendefinisikan rezim internasional sebagai serangkaian rencana yang didalamnya terdapat aturan, norma, dan prosedur-prosedur yang mengatur tingkah laku dan mengontrol efek yang ditimbulkan oleh rezim itu sendiri. (Keohane & Joseph. 1977). Dari ketiga pengertian tersebut dapat dirangkum bahwa rezim internasional adalah suatu tatanan berisi prinsip, norma, aturan, baik bersifat eksplisit maupun implisit yang didalamnya terdapat pengharapan aktor-aktor yang juga memuat kepentingan dari aktor-aktor dan pada akhirnya diterima dan disepakati oleh mereka.Maraknya perdagangan senjata serta tidak adanya aturan tentang kontrol transfer senjata internasional sehingga mengakibatkan banyaknya senjata beredar di tengah masyarakat secara legal maupun illegal, hal ini menyebabkan banyaknya korban kemanusiaan akibat penyalahgunaan senjata, oleh sebab itu aktor-aktor negara di bawah naungan PBB, membentuk suatu rezim internasional yaitu perjanjian perdagangan senjata (ATT). Pada penelitian ini teori Rezim Internasional digunakan untuk menganalisa mengenai dasar pembentukan ATT, prinsip, norma, aturan, dan ekspektasi atau harapan aktor-aktor di dalam ATT. 2. Konsep Keamanan Secara etimologis: konsep keamanan (security) berasal dari bahasa latin “securus” bermakna terbebas dari bahaya, terbebas dari ketakutan ( free from danger, free from fear), jadi definisi keamanan secara umum adalah pembebasan dari kegelisahan, atau situasi damai, tanpa risiko atau ancaman. Setiap Negara berhak membela diri demi menjaga kedaulatan negaranya sesuai dengan butir 51 piagam PBB, oleh karena itu setiap negara berusaha untuk memperkuat pertahanan keamanan dengan persenjataan militer yang canggih. pesatnya perkembangan industri senjata di sertai tidak adanya pengawasan secara global tentang perdagangan senjata ATT, sehingga senjata tersebut dengan mudahnya jatuh kepada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang dapat di salahfungsikan bahkan bisa berdampak pada hilangnya nyawa seseorang. Hal ini mendorong PBB untuk mengeluarkan sebuah perjanjian yang mengatur tentang perjanjian perdagangan senjata internasional, namun dalam perundingan perjanjian perdagangan senjata internasional tersebut mendapat penolakan dari 3 negara anggota, salah satunya adalah iran, dengan menggunakan konsep keamanan dapat menjelaskan alasan penolakan iran terhadap draft ATT tersebut. Berakhirnya perang dingin telah membuka era baru dalam pemahaman tentang keamanan. Pasca perang dingin keamanan tidak lagi di artikan secara sempit sebagai hubungan konflik atau kerjasama antar Negara (inter-state relations), tetapi juga berpusat pada keamanan masyarakat. (Simon Dalby. 1992).
700
Penolakan Iran atas perjanjian perdagangan senjata PBB 2013(Merdianto M)
Kejahatan internsional seperti terorisme, penyelundupan manusia, senjata, kejahatan lingkungan, kejahatan hak asasi manusia, dan sebagainya menunjukan peningkatan cukup tajam dan berkembang menjadi isu keamanan internasional. Silang hubungan yang berlangsung dalam proses perubahan global, regional, dan domestik lebih membentuk spectrum ancaman dan gangguan keamanan nasional suatu negara yang bersifat kompleks, karena itu isu keamanan regional dan global memerlukan keterlibatan aktif semua Negara untuk mewujudkan pedoman dan ketertiban dunia. Secara tradisional, keamanan didefinisikan dalam istilah militer, dengan fokus utama pada perlindungan negara dari ancaman terhadap kepentingan nasional. Oleh sebab itu Hans Kelsen menerbitkan tulisan Collective Security under International Law pada tahun 1957, konsep keamanan yang dimaksudkan terbatas ruang lingkup studi perlindungan seseorang terhadap penggunaan kekuatan orang lain. Konsepsi ini terkait erat dengan keamanan nasional, yang berarti perlindungan wilayah dari ancaman dan serangan militer eksternal, yang diakui sebagai yang paling raison d’etre negara berdaulat. Setiap negara berlomba-lomba memperkuat armada militernya untuk menangkal (to deter) atau mengalahkan (to defeat) serangan yang datang. Bisa disimpulkan dalam pandangan tradisional bahwa keamanan di ukur dari kapabilitas militer untuk melindungi national interest dari ancaman yang berasal dari negara lain. Keamanan kolektif menyediakan landasan normatif dan sarana pengaturan perilaku negara-negara berdaulat dan konflik di antara mereka. Selain itu keamanan kolektif menyediakan pula prosedur kelembagaan (via Dewan Keamanan) yakni legalisasi respon kolektif dalam mengatasi ancaman tradisional berorientasi militer untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Namun, tantangan terhadap kedaulatan keamanan kolektif telah muncul, terutama setelah berakhirnya Perang Dingin. Hal ini dikarenakan ancaman keamanan yang dirasakan makin beragam, seperti munculnya masalah keamanan transnasional, semakin besar peran yang dimainkan oleh aktor non-negara. Kondisi demikian pada gilirannya menumbuhkan dugaan ketidakefektifan akan pengaturan internasional dalam menanggapi tantangan-tantangan keamanan yang dinamis tersebut. Pasca berakhirnya Perang Dingin tatanan dunia ikut berubah sistem internasional yang pada awalnya bipolar berubah menjadi multipolar. Selain itu pula terjadi pergeseran isu-isu keamanan, dari yang bernuansa militer atau tradisional ( konvensional ) namun kini mengarah pada isu-isu keamanan non-tradisional (non-konvensional) seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi manusia, terorisme hingga pada masalah feminisme yang menjadi isu-isu baru. Berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya rezim komunis Uni Soviet, melahirkan kembali harapan masyarakat internasional akan terciptanya perdamaian dunia dan fokus pada pembangunan ekonomi serta mengatasi masalah-masalah lainnya ketimbang persaingan ideologi dan militer.
701
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 697-710
Saat ini, dengan memperhatikan perkembangan yang ada, konsep keamanan berkembang dengan dinamis dan bermakna lebih luas. Keamanan bukan hanya meliputi aspek militer saja namun juga meliputi aspek non militer. Dalam buku Rethinking Security After the Cold War, Barry Buzan mengatakan bahwa militer bukan hanya satu-satunya aspek penting dalam keamanan, namun terdapat empat aspek non militer, yakni politik, lingkungan, ekonomi, dan sosial. (Barry Buzan. 1991). Pendapat Buzan di atas senada dengan konsep keamanan yang didefinisikan oleh PBB. Sebagaimana yang dilansir dalam laporan UNDP (United Nation Development Program) pada tahun 1993, menurut PBB, konsep keamanan hendaknya diubah dari konsep keamanan yang menitikberatkan pada keamanan negara menuju keamanan individu, dari keamanan teritorial ke keamanan pangan, HAM, dan keamanan lingkungan hidup. Konsep keamanan ini disebut sebagai konsep keamanan non-tradisional. Seperti halnya konsep keamanan yang mengalami pelebaran, aksi kejahatan pun berkembang dari masa sebelumnya. Jika pada masa lalu aksi kejahatan tidak mempunyai jaringan di negara lain, saat ini aksi kejahatan lebih terorganisasi dan mempunyai jaringan lintas negara. Kejahatan lintas negara (transnasional) yang disebut juga sebagai ancaman keamanan non-tradisional banyak macamnya. Salah satu keamanan yang juga bersifat non tradisional adalah masalah hak asasi manusia. konflik yang terjadi saat ini lebih banyak di dalam negara (within nations) daripada antar negara (international conflicts). Bagi banyak orang, perasaan tidak aman lahir lebih banyak dari kehidupan sehari-hari dari pada akibat peristiwa dunia tertentu. Misalnya, apakah mereka memiliki cukup makan? tak akan kehilangan pekerjaan? Aman berjalan di jalan umum? Akankah mereka menjadi korban karena status gender-nya? Akankah asal usul agama atau etnis mereka akan menyebabkan mereka menjadi korban penyiksaan?. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Dengan adanya konsep di atas mengungkapkan maraknya perdagangan senjata baik illegal maupun legal telah mengancam hak–hak setiap individu untuk hidup secara damai dan nyaman, banyak senjata yang beredar telah di salah gunakan oleh oknum-oknum tertentu baik secara individu maupun kelompok, sehingga menyebabkan timbulnya ketidakamanan bahkan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Definisi ancaman keamanan di atas selain menunjukan adanya perluasan makna dari perspektif tradisional menuju non-tradisional juga melibatkan actor yang beragam (non-state), yang terlihat dari dinamika interaksi antara sektor dan aktor keamanan dalam perkembangan berikutnya, buzan, ole weaver dan de wilde mengkoseptualisasikan keamanan sebagai sesuatu yang harus “staged as existential threats to a referent object by securitizing actor who there by generates endorsement of emergency measures beyond rules that would other-whise bind”
702
Penolakan Iran atas perjanjian perdagangan senjata PBB 2013(Merdianto M)
( Barry Buzan. 1998). Pemahaman terhadap konsep di atas menjelaskan kepada penempuh studi hubungan internasional bahwa sekuritisasi pada dasarnya meliputi masalahmasalah keamanan yang tidak saja di angkat menjadi agenda politik. Selain itu isu-isu keamanan yang memperoleh status sebagai existential threat menuntut adanya upaya-upaya tindakan nyata akan yang begitu besar untuk mengatasi berbagai isu atau ancaman yang di hadapi para referent actor, lebih lanjut studi mengenai securitysasi adalah studi mengenai retorika yang di gunakan dalam keterkaitanya dengan ancaman. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif analitik, dimana penulis memberikan gambaran mengenai alasan penolakan Iran atas perjanjian perdagangan senjata internasional PBB. Hasil Penelitian Beberapa bagian umum dalam penelitian ini yaitu : Perdagangan senjata, proses pembentukan Arm Trade Treaty (ATT), dan partisipasi Iran dalam Arm Trade Treaty (ATT). 1.Perdagangan Senjata Pada masa Perang Dingin, konflik terbuka antara negara-negara besar memang tidak lagi terjadi, tetapi konflik masih terjadi dalam skala yang lebih kecil baik intra state maupun inter state. Negara-negara yang masih mengalami konflik antara lain di kawasan Eropa adalah negara-negara pecahan Uni Soviet. Di kawasan Timur Tengah negara-negara yang masih berkonflik antara lain Israel dan Palestina yang telah berperang pada masa PD II. (http://nationalgeographic.co.id/berita/2011/09/10-sengketa-wilayah-palingkontroversial. diakses pada tanggal 26 November 2013) Sedangkan konflik inter state yang berkelanjutan di berbagai negara pada masa PD II hingga tahun 2014 masih banyak terjadi antara lain, di Afrika, terjadi konflik internal antara 24 negara di afrika dengan 145 kelompok milisi-gerilyawan, kelompok separatis dan kelompok anarkis. Salah satunya konflik internal di Republik afrika Tengah, terjadi antara kelompok pemerintah dengan koalisi 5 kelompok pemberontak muslim (seleka), yang telah menggulingkan pemerintah dan merebut kekuasaan pada Maret 2013 2. Proses Pembentukan ATT Meningkatnya produksi industri senjata, dan maraknya perdagangan senjata konvensional antar negara, serta kurangnya kontrol dari perdagangan senjata berdampak buruk bagi masalah kemanusiaan. Hal ini mendorong negara- negara yang di fasilitasi oleh PBB untuk membuat sebuah perjanjian tentang kontrol dalam mentransfer senjata. Sejak awal 1990-an telah ada upaya untuk meninjau dan mengembangkan prinsipprinsip dalam transfer senjata dan kode etik untuk memastikan bahwa senjata
703
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 697-710
tidak dijual kepada pelanggar hak asasi manusia. Proposal awal untuk Perjanjian Perdagangan Senjata Internasional PBB tahun 2001, di prakarsai oleh kampanye LSM (Oxfam, Amnesty International, Christian Aid, Safer World, BASIC dan Gerakan Pembangunan Dunia) di Eropa pada tahun 1998, sehingga menghasilkan hukum Code of Conduct. Ide perjanjian ini tidak hanya untuk mencakup senjata kecil dan senjata ringan, tetapi semua senjata konvensional. Terinspirasi oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan dikembangkan oleh, organisasi hak asasi manusia, dan LSM kemanusiaan, perjanjian mulai mendapat banyak dukungan dari berbagai negara, serta lebih dari 600 organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia mendukung perjanjian perdagangan senjata. Pada tahun 2005, pemerintah Inggris berjanji untuk mempromosikan perjanjian perdagangan senjata selama, menjabat sebagai presiden atas kelompok G8 dari Negara-negara Uni Eropa. Pada tanggal 24 Juli 2006, usulan pembentukan ATT untuk pertama kalinya disampaikan dalam Sidang Majelis Umum ke 61 dan disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.61/89 terdapat 139 negara mendukung Resolusi tersebut, 24 negara memilih untuk abstain, dan 1 negara menolak yaitu Amerika Serikat. Alasan penolakan AS dalam Resolusi tersebut karena AS menilai bahwa untuk mereduksi perdagangan gelap senjata konvensional, pembentukan instrument bukan hal yang tepat. (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/27/mlvxvf-iransiap-luncurkan-senjata-dan-alat-militer-terbaru. Diakses pada tangal 20 Februari 2014) 3. Partisipasi Iran dalam ATT Iran turut berpartisipasi dalam pengaturan kontrol senjata internasional. Tujuan yang ingin di capai Iran dalam perumusan draft ATT antara lain : a) Mempromosikan koordinasi antar negara untuk mencegah perdagangan gelap senjata konvensional. b) Melindungi hak setiap negara untuk berpartisipasi dalam transfer internasional dan perdagangan senjata konvensional dan industri terkait, teknologi, termasuk impor dari dan ekspor ke negara lain, dan c) Tidak menghambat atau merusak, dengan cara apapun, hak negara untuk keamanan dan kebutuhan keamanan nasional dan kepentingan mereka dalam kemampuan untuk mempertahankan kedaulatan negaranya. Meskipun pada awal proses pembentukan Arms Trade Treaty (ATT), Iran aktif terlibat di dalamnya, namun Iran akhirnya menolak menandatangani traktat ini. Ada 2 alasan utama Iran menolak ATT tersebut, yaitu masalah yang terkait keamanan tradisional, dan keamanan non-tradisional. A. Keamanan Tradisional Dilihat dari sudut pandang keamanan tradisional, Iran merupakan salah satu Negara yang menjadi korban terbesar senjata kimiadalam perang Iran-Irak pada tahun 1980-1988. Menurut organisasi veteran, ketika Irak menyerang Iran sekitar
704
Penolakan Iran atas perjanjian perdagangan senjata PBB 2013(Merdianto M)
100.000 tentara Iran menjadi korban serangan senjata kimia Irak, korban tersebut belum termasuk masyarakat sipil Iran. Senjata kimia yang di gunakan Irak berupa bom yang berisi gas mustard. (http://Indonesian.irib.ir/telisik/-/assetpublisher/k028/content/senjata-kimia-dan -kejahatan-barat-atas-Iran. diakses pada tangal 23 Maret 2014). Oleh sebab itu Iran menjadi negara yang paling berusaha untuk menerapkan secara total pelarangan senjata kimia. Selain itu aksi terorisme pada masa revolusi republik islam Iran, banyak menelan korban kemanusiaan akibat penyalahgunaan senjata. Menurut Iran, kontrol dalam produksi dan perdagangan senjata internasional perlu, karena dapat mencegah upaya penyalahgunaan produksi senjata oleh negara-negara besar. Sesuai dengan visi Iran yang mengakui hak setiap negara untuk mempertahankan diri, iran memiliki hak untuk mempertahankan diri, sebab dalam sistem internasional yang anarki, pertahanan keamanan atau defense interest bertujuan untuk melindungi suatu negara dan rakyatnya dari ancaman yang bersifat eksternal maupun internal dalam suatu negara. Adapun ancaman yang bersifat eksternal adalah Negara-negara di dalam lingkungan internasional. Pada tingkat internal, kepentingan pertahanan memiliki peran untuk mencegah terjadinya kerusuhan social dan politik yang dapat meruntuhkan rezim pemerintah yang ada, atau menimbulkan kehancuran. (Donald E.Nuchterlein. 1979). Untuk memaksimalkan upaya untuk mempertahankan integritas dan kedaulatan negaranya dari ancaman keamanan eksternal dan internal, disamping memiliki personil militer yang professional, bagi Iran, negaranya harus memiliki alustsista yang modern. Hal ini sesuai dengan, pasal 51 dari Piagam PBB, yang berisi hak semua negara untuk melakukan produksi, ekspor, impor, transfer, dan menyimpan senjata untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan. Karena Iran menyadari bahwa kebutuhan persenjataan sangat penting dalam mempertahankan keamanan internal maupun eksternal sebuah negara, maka Iran pada awalnya aktif dalam perancangan ATT. Namun, bagi Iran rancangan akhir ATT pada beberapa pasal bermotif politik dan bias sehingga cenderung menguntungkan negara-negara besar produsen senjata, Iran berpandangan seharusnya memiliki ketentuan yang seimbang dalam mengatur negara eksportir dan importir. Keberatan Iran tersebut terdapat pada Pasal 6 (1) dan (3) yang melarang transfer senjata, amunisi, komponen, dan suku cadang jika negara di nilai melakukan pelanggaran. Pelanggaran di lakukan jika negara tetap melakukan pembelian senjata meskipun telah di embargo oleh Dewan Keamanan PBB, atau negara tersebut menggunakan senjata untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan melakukan kejahatan perang.
705
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 697-710
Inti dari ketentuan ATT tersebut sangat jelas sangat memberatkan Iran, karena seperti Iran merupakan salah satu negara yang terkena embargo senjata oleh Dewan Keamanan PBB. DK PBB telah memberlakukan empat putaran sanksi terhadap Iran karena menolak menghentikan program pengembangan nuklirnya, laporan DK PBB juga menemukan Iran bersalah karena secara Illegal mentransfer senjata dan bom untuk Suriah, Suriah terus menerus menjadi pihak pusat transfer senjata illegal Iran, laporan Dewan Keamanan telah menemukan pengiriman senjata illegal Iran ke Damaskus dari senapan serbu, senapan mesin, bahan peledak, detonator, 60mm dan 120 mm dan item lainnya. (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/27/mlvxvf-iransiap-luncurkan-senjata-dan-alat-militer-terbaru. Diakses pada tangal 20 Februari 2014) Ketentuan ATT dalam pasal 6 secara tidak langsung menutup pintu masuk impor senjata Iran, karena setiap negara eksportir yang akan menjual senjata ke Iran akan melanggar pasal 6 (1) dari ketentuan ATT, dengan demikian Iran mengambil keputusan untuk menolak draft ATT tersebut karena telah membatasi hak negaranya, untuk mempertahankan kedaulatanya. Menurut Iran tidak ada aktor yang dapat meberikan jaminan keamanan suatu negara, kecuali negara itu sendiri, meskipun persenjataan iran sebagian besar di produksi di dalam negeri, tapi tidak menutup kemungkinan untuk mengimpor senjata dari luar negeri guna modernisasi angkatan bersenjata dan pertahanan keamanan. H.E. Eshagh Al Habib selaku wakil deputi Republik Islam Iran menyatakan : The most important principle that the ATT shall be based upon is the sovereign and inherent right of States to acquire, manufacture, export, import and retain conventional arms, technology and know-how for their self-defense and security needs in accordance with Article 51 of the UN Charter. (http://www.un.org/disarmament/ATT/docs/Draft, di akses pada tanggal 29 Mei 2013). Yang paling penting bahwa ATT harus didasarkan atas hak berdaulat dan melekat dari suatu negara untuk memperoleh, memproduksi, ekspor, impor dan mempertahankan senjata konvensional, teknologi dan untuk pertahanan diri dan keamanan kebutuhan mereka, sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB. ATT akan menjadi seimbang, non-diskriminatif serta berlaku universal, jika instrument dan ketentuan tidak akan mengizinkan, dengan cara apapun, campur tangan dalam urusan internal negara atau membatasi dan melemahkan kemampuan negara untuk membeladiri, dan mempertahankan integritas teritorialnya. Dengan demikian, ATT harus memuat sebuah artikel mengenai komitmen penuh, tegas, dan jelas untuk menghormati prinsip ini dan menahan diri, dengan cara apapun, untuk mengambil sebuah tindakan, mengenai pembatasan yang tidak
706
Penolakan Iran atas perjanjian perdagangan senjata PBB 2013(Merdianto M)
semestinya atau penerapan langkah-langkah paksaan sepihak, untuk mengurangi hak fundamental negara. Dalam pandangan delegasi Iran, pembatasan tersebut tidak harus diterapkan untuk mentransfer senjata konvensional, suku cadang dan komponen, atau untuk jasa pertahanan dan pengetahuan, teknologi dan peralatan berkaitan dengan produksi dalam negeri Iran. Hal ini penting dalam konteks ini bahwa transfer internasional peralatan, produk, jasa, teknologi dan pengetahuan untuk tujuan sipil sangat penting untuk pengembangan ekonomi, khususnya negara-negara berkembang. Oleh karena itu, harus ada artikel di ATT untuk secara eksplisit menyatakan bahwa akses ke produk tersebut dan teknologi harus tidak dibatasi atau ditolak dengan cara dan alasan apapun. B. Terkait Keamanan Non-Tradisional Dilihat dari sudut pandang keamanan non-tradisional, alasan Iran menolak draft ATT karena, teks jatuh jauh dari harapan tujuan pertemuan, tuntutan sebagian besar negara untuk memasukkan larangan transfer senjata konvensional untuk aggressor telah gagal. Iran berpendapat bahwa, akan sulit mengurangi penderitaan manusia jika negaranegara anggota PBB menutup mata terhadap agresi yang dapat menelan korban ribuan orang yang tidak bersalah, dengan tidak adanya larangan transfer senjata terhadap negara aggressor akan menguntungkan pihak aggressor, hal tersebut adalah cacat hukum, dan benar-benar tidak bisa diterima untuk delegasi Iran, dan merupakan sumber utama keberatan Iran kepada perjanjian. Selain itu Iran menyatakan sebagian besar, negara eksportir senjata merupakan negara yang kerap kali melakukan agresi terhadap negara lain sehingga berdampak pada pelanggaran terhadap kemanusiaan. Oleh sebab itu sumber keberatan Iran dalam pasal 7, mengenai ekspor dan penilaian ekspor, terkait keamanan non-tradisional adalah mengenai parameter penilaian pelanggaran HAM dan hukum humaniter diberikan kepada negara eksportir. Dalam pasal 7 (1) menyatakan, negara pengekspor memiliki hak untuk memutuskan apakah mengizinkan atau tidak suatu ekspor. Artinya yang berhak menilai atau memastikan senjata bisa ditransfer ke negara lain adalah Negara pengekspor. Ayat 3 dari pasal 7 merupakan inti dari ATT, menyatakan setelah melakukan penilaian, system kontrol nasional harus menetapkan bahwa resiko negatif dari impor senjata dapat dikurangi. Jika negara pengekspor menilai senjata atau barang lainya yang di transfer dapat dikurangi. Jika negara pengekspor menilai senjata atau barang lainya yang di transfer dapat merusak perdamaian dan keamanan negara maka negara pengekspor memiliki hak untuk tidak mengizinkan transfer. Artinya, dengan memberikan kewenanganan khusus terhadap negara eksportir untuk melakukan penilaian ekspor, maka akan menguntungkan negara eksportir tersebut, karena dalam kenyataanya negara eksportir dalam mentransfer senjata
707
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 697-710
tidak menilai apakah senjata tersebut dapat merusak perdamaian dan berdampak kepada kemanusiaan atau tidak, melainkan kebanyakaan negara ekspor hanya mementingkan keuntungan finansial yang di dapat oleh negaranya dalam mentransfer senjata tersebut tanpa memperdulikan dampak yang akan ditimbulkan dari transfer yang dilakukan oleh negara eksportir senjata, sehingga berdampak pada penyalahgunaan senjata dan dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, serta penderitaan dalam masyarakat sipil. Menurut Iran, peran tidak langsung negara barat dalam memicu konflik di sejumlah negara, telah menyingkap sebuah kebijakan standar ganda, terkait perdagangan senjata. Salah satu alasan Iran, bersikap kritis dalam pasal-pasal di ATT khususnya dalam pasal 7, yaitu karena sepanjang perang 8 tahun Iran-Irak, Iran menanggung banyak kerugian, baik itu materil dan non-materil akibat kejahatan perang yang dilakukan Irak terhadap Iran. Serangan bom kimia, yang dilakukan Irak pada tanggal 28 Juni 1987 di Iran, banyak menelan korban jiwa, sebanyak 350 orang tewas, termasuk anak-anak dan perempuan, dan 7000 orang lainya terluka, dan sebagian korban hingga tahun 2014 masih merasakan efek dari bom kimia. Aktor utama dalam suplai senjata Irak dalam perang Iran-Irak 19801988 adalah Amerika. Oleh sebab itu Iran keberatan jika produsen senjata utama, diberikan kewenangan khusus dalam ATT, untuk melakukan penilaian terhadap transfer senjata. Selain itu, beberapa produsen utama senjata khususnya Amerika Serikat, Inggris, dan perancis telah mengirim senjata kepada pemberontak Suriah, yang berujung pada pembantaian warga sipil. Mohammad Khazaie, selaku Duta Besar Iran di PBB menyatakan bahwa, selain ekspor senjata yang dilakukan Amerika dalam bentuk kontrak transparan dan bilateral dengan negara-negara lain, Amerika juga mempersenjatai rezim aggressor seperti Israel. Amerika juga mempersenjatai kelompok-kelompok teroris dan berperan penting dalam setiap konfrontasi berdarah dan perang di Timur Tengah dan kawasan lain. Hal ini merupakan bentuk politisasi terhadap negara yang tergantung pada ekspor senjata. Dengan memanfaatkan kacaunya stabilitas politik dalam negeri suatu negara yang berkonflik, negara eksportir senjata bisa memperoleh keuntungan besar, tanpa memikirkan efek yang ditimbulkan, seperti yang terjadi selama ini di negara-negara Afrika, negara-negara ekportir menjual senjata pada pihak pemberontak sehingga mengakibatkan penyalahgunaan senjata, dan mengancam hak-hak setiap individu untuk hidup secara damai dan nyaman, hak untuk hidup telah di renggut, dalam peristiwa tersebut, sehingga hak asasi manusia (HAM) di negara tersebut telah dil langgar oleh negara eksportir. Menurut Iran, tujuan utama dari ATT telah di gagalkan dalam pasal 7 tersebut, karena salah tujuan utama di buatnya Arms Trade Treaty (ATT), adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Dalam kenyataanya ketentuan dalam pasal 7 di ATT, lebih menguntungkan pihak eksportir senjata yang telah terbukti, melakukan pelanggaran HAM dalam setiap kebijakan ekspor senjatanya khususnya ekspor
708
Penolakan Iran atas perjanjian perdagangan senjata PBB 2013(Merdianto M)
senjata ke Timur Tengah. Selain itu belum ada pasal di ATT yang secara tegas, mengatur sanksi, jika negara eksportir terbukti melakukanpelanggaran HAM, dalam setiap kebijakan ekspor senjatanya. Oleh sebab itu Iran menyatakan dengan memasukan larangan transfer senjata konvensional untuk negara aggressor dan tidak memberikan penilaian ekspor kepada negara produsen senjata yang terbukti melakukan pelanggaran HAM, maka di harapkan dapat mengurangi ancaman keamanan non-tradisional suatu negara. Kesimpulan Ide mengenai pembentukan ATT dimulai dari tahun 1990an, akan tetapi pembentukan ATT dimulai pada tahun 2006. Secara garis besar, tujuan dari pembentukan ATT adalah untuk mencegah senjata konvensional masuk ke dalam pasar gelap. Selama proses pembentukan ATT yang dimulai pada tahun 2006, terdapat perdebatan mengenai perjanjian ini. Terdapat beberapa pihak yang menolak ATT khususnya negara-negara utama eksportir senjata konvensional seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia. Akan tetapi, mayoritas negara-negara anggota PBB, setuju terhadap pembentukan ATT. Partisipasi Iran dalam proses pembentukan dimulai pada tahun 2006, Iran berpartisipasi aktif dalam setiap pertemuan, selain itu dalam perumusan pasal dalam ATT, Iran juga aktif dalam memberikan pendapat tentang ATT. Akan tetapi pada pengadopsian ATT bulan April 2013, Iran justru mengambil sikap menolak. Dapat dikatakan hal tersebut bertolak belakang dengan sikap Iran selama pembentukan ATT, dimana Iran menjadi salah satu negara yang mendukung dibentuknya rezim tersebut. Pada penelitian ini terdapat 2 poin utama alasan Iran menolak menyetujui isi darft ATT. Pertama, terkait keaman tradisional iran, kedua terkait keamanan nontradisional. Daftar Pustaka 1. Buku Banyu Perwita. A &Yanyan, M, “Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”. Bandung : Remaja Rosdakarya. Buzan, Barry. 1991.”People, States and Fear: The National Security Problems in International Relations”. Brighton: Wheatsheaf . Dalby, Simon. 1992 ”security, modernity, ecology: the dilemmasof post, cold war security discourse”alternatives, vol 17. No.1 Keohane, Robert O. & Joseph S. Nye. 1977.”Power and Interdependence: World Politics in Transition”. Boston : Little Brown Company. Nuchterlein, Donald E. 1979.“The Concepts of National Interest: A Time for New Approach”, Vol. 23.No. 1.
709
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 697-710
2. Media Internet Kampanye Control arms, terdapat di, http://www.controlarms.org/aboutcontrolarms , diakses pada tanggal 30 Mei 2013. Korban Senjata Kimia di Iran, terdapat di http://Indonesian.irib.ir/telisik/-/assetpublisher/k028/content/senjata-kimia-dan -kejahatan-barat-atas-Iran. diakses pada tangal 23 Maret 2014 Negara ekportir dan importir senjata konvensional, di posting oleh kompas forum, terdapat,di http//:forum.kompas/internasional/247422-cina-masuk-limabesar-negara-eksportir-senjata.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2013. Perundingan perjanjian perdagangan senjata, di posting oleh redaksi berita criminal, terdapat di, http://www.dw.de/pbb-rundingkan-perjanjianperdagangan-senjata/a-16703807, diakses pada tanggal 30 april 2013. Pengadopsian Resolusi Oleh Majelis Umum, terdapat di http://www.un.org/disartmament/ATT/docs/Draft_ATT_text_27_Maret_ 2013-E.pdf. diakses pada tanggal 20 November 2013 Peluncuran Senjata Iran”, terdapat di http://republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/27/mlvxf-Iransiap-lunccurkan-senjata-dan-alat-militer -baru, di aksespada tanggal 20 Maret 2013. The Arms Trade Treaty At a Glance, terdapat di http://www.armscontrol.org/factsheets/arms_trade_treaty diakses 18 November 2013.diakses pada tanggal 19 September 2013.
710