BAB II IMPLEMENTASI AGREEMENT ON TRADE RELATED ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS (THE TRIPS AGREEMENT) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEPABEANAN INDONESIA
A. Tinjauan tentang Perdagangan Internasional (GATT/WTO) 1. Pengertian Perdagangan Internasional Perdagangan internasional timbul akibat dari interpendensi atau kesalingtergantungan antara satu negara dengan negara lainnya. Namun bukan berarti suatu negara yang berdaulat tergantung sepenuhnya pada negara berdaulat lainnya, melainkan suatu situasi dan kondisi dimana semuanya saling membutuhkan, saling memerlukan untuk mempertahankan keseimbangan politis dan ekonomis, dan tentu pula dalam rangka pemenuhan kepentingan masing-masing negara. 37 Satu negara mungkin mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage), terhadap negara lain atau bahkan keunggulan mutlak (absolute advantage)¸untuk itu diperlukan hubungan hukum antar negara yang meliputi individu-individu, perusahaan-perusahaan, dan atau pemerintah. Pendapat ini adalah salah satu alasan yang menjelaskan mengapa penting perdagangan internasional. Hubungan ini membutuhkan instrumen hukum yang bersifat supra nasional yang dibuat oleh dua negara atau lebih dan masing-masing negara tidak saja menaati
37
AF Elly Erawaty, Hukum Ekonomi Internasional, (Bandung: FH Parahyangan, 1998),
hal32.
Universitas Sumatera Utara
aturan tersebut dengan sukarela, tetapi sekaligus memaksa dengan maksud untuk menjamin persamaan hukum (equality) serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Carolyn Hotchkiss memberikan contoh: “Suppose that an American buyer for a clothing store in Virginia goes to Italy and purchases 100 men’s swits. He returns to United States, and Italian seller ships the swits to Virginia one week later. Even if the transaction work perfectly, both national and international law influence the business deal. When the buyer travels, he will need a passport from the U.S. government. He will have to pass the border checks for compliance with Italian and U.S. customs regulations. The purchase of suits is a contractual obligation, which may be governed by a treaty drafted by United nations, call the Convention for the International Sale of Goods. In this instance, both Italy and U.S. have rativied treaty. The shipment of good must clesr customs and is subject to tariff. Here, the tariff status in the suits is the determined by U.S. law is stuctureed within the frame work of another set of treaties and agreements known as General Agreement on tariff and Trade (GATT).” 38 Atas dasar pemikiran di atas dan keinginan yang dilatar belakangi bahwa salah satu faktor pendorong pecahnya perang dunia II adalah faktor ekonomi, dimana hubungan antar negara diwarnai dengan kebijaksanaan proteksionisme yang berlebihan atas industri masing-masing negara, juga faktor politis maupun institusional di negara-negara pendukung perdagangan internasional 39 maka negaranegara industri atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa berusaha
38
Carolyn Hotchkiss, International Law for Business, Internatioal ed., (Singapore: McGrawHill Co., 1994), hal.24-45, dalam Hikmahanto Juwana, Hukum Perdagangan Internasional, Kumpulan Bahan Kuliah Hukum Ekonomi, Pascasarjana FHUI, hal. 1. 39 The World Bank, The GATT: Law and International Economic organization, (Chicago: The University of Chicago Press (Mid Way Reprint), 1977), hal.2.
Universitas Sumatera Utara
menciptakan suatu otoritas internasional yang bertugas mengawasi perdagangan internasional. The idea that tariff should be reduced through bilateral and multilateral negotiations become part of Atlantic charter, the declaration issued by President Roosevelt and British Prime Minister Winston Churchill in 1941 as a rallying cry for nations opposing military and economic aggression of fascist Germany, Italy, and Japan. 40 Sebagai upaya mewujudkan keinginan tersebut, maka Amerika
Serikat
memelopori
diselenggarakannya
konferensi
internasional
multilateral yang diadakan di Bretton Woods, New Hamphsire, Amerika Serikat. Konferensi ini berlangsung cukup lama dan berakhir di tahun 1947 dengan menghasilkan
perjanjian-perjanjian
internasional
pembentukan
Internatioanl
Monetery Fund (IMF), International Labour Organization (ILO), dan General Agreement on tariff and Trade (GATT). Terbentuknya GATT ini bukanlah menjadi tujuan utama konferensi tersebut. 41 Pada awalnya organisasi yang ingin dibentuk oleh negara-negara peserta konferensi di Bretton Woods adalah International Trade Organization (ITO) yang akan mengatur lalu lintas perdagangan internasional. Secara bersamaan disepakati juga persetujuan internasional tentang negosiasi tarif impor serta larangan penggunaan
hambatan
perdagangan
non-tarif
yang
akan
dinamai
GATT.
Pembentukan ITO gagal karena kongres Amerika Serikat menolak mengesahkan piagam yang dikenal dengan nama Havana Charter. Karena pembentukan ITO gagal
40 41
Ibid.,hal. 355. Erawaty, op.cit., hal.25
Universitas Sumatera Utara
dan kebutuhan akan adanya organisasi internasional di bidang perdagangan sangatlah mendesak, maka disepakatilah untuk mengesahkan dan memberlakukan saja GATT. 42 Pada proses selanjutnya yang diiringi dengan perundingan-perundingan dagang multilateral (Multilateral Trade Negotiations/ MTN) ketentuan-ketentuan hukum dalam GATT tahun 1947 mengalami bebrapa perubahan dan penambahan melalui 8 putaran (Rounds), sebagai berikut: a. Geneva, Switzerland,1947; b. Annecy, France, 1948; c. Torquay, England, 1950; d. Geneva, Switzerland, 1956; e. Dillon Round, Geneva, 1960-1961; f. Kennedy Round, Geneva, 1964-1967; g. Tokyo Round, Geneva, 1973-1979; h. Uruguay Round, Marrakesh, 1986-1994. Putaran terakhir berhasil menyelesaikan seluruh agendanya dan ditutup di ibu kota Maroko tanggal 15 April 1994 yang dikenal dengan nama Final Act 1994, salah satu hasil perundingan itu adalah terbentuknya World Trade Organization sebagai penerus GATT, sehingga keseluruhan dokumen hukum tersebut dinamakan juga sebagai WTO Agreements. Disapmping itu juga putaran terakhir yang dikenal dengan Uruguay Round, tidak berfokus pada hambatan tarif (tarrif barrier) atau non-tarif saja, 42
Ibid hal 26
Universitas Sumatera Utara
melainkan di perluas dengan memasukkan materi perundingan berupa investasi, perdagangan jasa, hak milik intelektual, dan juga prosedur penyelesaian sengketa dagang antar negara. WTO dibentuk untuk menggantikan ide ITO yang gagal dibentuk tahun 1947. Dengan terbentuknya WTO maka GATT menjadi tidak ada lagi, namun tidak berarti semua kesepakatan atau persetujuan-persetujuan yang pernah dibuat dalam rangka GATT dahulu mejadi tidak berlaku melainkan mengintegrasikian persetujuan GATT berikut hasil-hasil putaran dagang sebelumnya ke dalam kewenangan organisatoris WTO. 43 Transaksi perdagangan internasional tidaklah semata-mata membutuhkan ilmu ekonomi saja, tetapi juga menyangkut seperangkat instrumen hukum yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak serta memperlancar arus ekspor-impor barang dan jasa antar negara sekaligus memberikan perlindungan dan kepastian hukum atas transaksi tersebut. Oleh karena itu GATT harus mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menjamin kepentingan para pihak atau pelaku usaha antar negara maupun dalam negeri sendiri. Prinsip-prinsipGATT menurut pendapat beberapa ahli adalah berbeda-beda, namun substansinya adalah sama dan masih dalam konteks ruang lingkup Agreement GATT, antara lain:
43
Ibid.,hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
a. Prinsip National Treatment Prinsip National Treatment eperti yang tercantum dalam pasal 3 TRIPs 44 , melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestic yang berarti pada suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu anggota, dan setelah melalui pabean serta membayar bea masuk, maka barang impor tersebut harus diperlakukan tidak lebih buruk daripada hasil dalam negeri 45 Berkaitan dengan HaKI, mewajibkan setiap anggota untuk memberikan perlindungan yang sama terhadap pemilik HaKI warga negara lain yang menjadi anggota seperti perlindungan yang diberikan kepada warga negaranya sendiri dengan memperhatikan beberapa pengecualian yang telah ada berdasarkan Konvensi Paris (1967) tentang Perlindungan terhadap Kekayaan Industrial. Konvensi Borne (1971) tentang Perlindungan terhadap Karya Sastra dan Seni versi
24 Juli 1971, Konvensi Roma (1961) tentang
Perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukan, Produser Rekaman Musik, dan Organisai Siaran yang di sepakati pada tanggal 26 Oktober 1961, dan
44
Each member shall accord to the nationals of other Members treatment no less fafourable than that it accords to its own nationals with regard to the protection of intellectual property, subject to the exceptions already provided in, respectively, the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention (1971) and the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circiuts. In respect of performers, producers of phonograms and broadcasting organizations,this obligation only applies and respect of the rights provided under this Agreement. Any member availing it self of the possibilities provided in Article 6 of the Berne Convention and paragraph 1 (b) of Article 16 of the Rome Convention shall make a notification as foressen in those provisions to the Council for Trade-Releated Aspect of of Intellectual Property Rights. 45 H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual atas Rangkaian Elektronik Terpadu yang disepakati di Washington 26 Mei 1989. b. Prinsip Most Favored Nation (MFN) atau Nondiskriminasi Prinsip utama yang menjadi dasar GATT adalah prinsip nondiskriminasi yang dalam GATT dikenal sebagai Most Favored Nation (MFN) seperti yang tercantum dalam pasal 4 TRIPs 46 . Menurut prinsip ini bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara nondiskriminatif. 47 Dikatakan lebih lanjut bahwa konsesi yang diberikan kepada satu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk lagi. 48 Berkaitan dengan HaKI, maka semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan, kemanfaatan atau perlakuan istimewa yang diberikan Anggota tertentu kepada negara lain harus seketika dan tanpa syarat diberikan pula kepada anggota lain. 46
With regard to the protection of intellectual property, any advantage, favour, privilege, or immunity granded by a Member to the nationals of any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the nationals of all other Members. Exempted from the obligation are any advantage, favour priviege or immunity accorded by a member: (a) Deriving from international agreements on judicial assistance and law enforcement of the general nature and not particulary confined to the protection of intellectual property; (b) Granded any accordance with the provisions of the Berne Convention (1971 or the Rome Convention authorizing that the treatment accorded be a function not of national treatment accorded in another country; (c) In respect of the rights of performers, producers of phonograms and broadcasting organizations not provided under this Agreement; (d) Deriving from international agreements related to the protection of intellectual property which entered into force prior to the entry into force of the Agreement Establishing the MTQ, provided that such agreement are notified to the Council for Trade-Related Aspects of intellectual property Rights and do not constitute an arbitrary or unjustifiable discrimination against nationals of other Members. 47 Kartadjoemena, loc. Cit. 48 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c.
Prinsip Reprioritas Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini
tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tariff yang didasarkan atas dasar timbal balik (resiprioritas) dan saling menguntungkan kedua belah pihak. 49 Meskipun uraian di atas adalah suatu prinsip, namun GATT memberikan dispensasi atau pengecualian untuk suatu negara atas kondisi perekonomian tertentu. Pengecualian tersebut dapat terjadi apabila memang secara objektif kondisi atau situasi perekonomian benar-benar membutuhkan penyimpangan dari prinsip-prinsip dasar tersebut. Pada prinsipnya terdpat lima kelompok pengecualian atas kewajiban negara atas anggota WTO (GATT), yaitu: 50 (1) Karena negara memiliki kesulitan neraca pembayaran, maka diizinkan membatasi impor produk dengan menggunakan kuota (Pasal XII-XIV GATT 1947). (2) Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara tersebut boleh mengenakan pembatasan impor untuk sementara waktu. Pengecualian ini dikenal dengan istilah ‘escape clause’ yang diatur olh Pasal XIX GATT 1974.
49
Huala Adof & A. Chandrawulan, Masalah-masalah hukum dalam Perdagangan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 18-19. 50 H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
(3) Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, maka negara itu diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh GATT. Dasar hukum pengecualian ini terdapat dalam Pasal XX dan XXI GATT 1947 dan disebut dengan ‘general exeptions clauses’. (4) Perlakuan MFN tak berlaku untuk hubungan ekonomi antara negara anggota kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area) dan customs union dengan negara yang bukan anggota. (5) Seluruh negara anggota dapat bertindak secara bersama-sama atau serentak untuk menghapuskan kewajiban apapun yang diperintahkan oleh GATT sesuai mandat pasal XXV. Terlihat bahwa GATT tidak rigid dalam memberlakukan semua ketentuan kepada negara-negara anggotanya. Di samping pengecualian tersebut di atas ada lagi pengecualian dalam hubungan dagang antara negara berkembang dan negara maju melalui program Generalized System of Preferences (GSP). 51 Artinya bahwa negara maju boleh saja memberikan berbagai kemudahan atau fasilitas terhadap barangbarang yang berasal dari negara tertentu tanpa ada keharusan untuk memberikan kemudahan serupa terhadap produk serupa dari negara maju (menyimpang dari prinsip MFN) dan negara berkembang tersebut tidak wajib memberikan kemudahan serupa kepada negara pemberi kemudahan tersebut. 52
51 52
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2.
The TRIPs Agreement dan Pengaruhnya Terhadap Perlindungan Hak
Atas Kekayaan Intelektual Oleh Institusi Kepabeanan Salah satu lampiran dari persetujuan GATT adalah persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang HaKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) disingkat TRIPs, yang merupakan standar Internasional yang harus dipakai berkenaan dengan HaKI. Keterkaitan TRIPs yang erat dengan perdagangan internasional, maka TRIPs memuat dan menekankan dalam derajat yang tinggi mekanisme penegakan hukum yang dikaitkan dengan kemungkinan pembalasan silang atau cross-retaliation. 53 Apabila satu negara tidak melindungi secara efektif HaKI milik warga negara yang lain, baik dalam pengaturan maupun penegakan hukumnya, akan memberi hak kepada negara yang merasa dirugikan untuk mengambil tindakan balasan dengan menghambat impor komoditi apapun dari negara yang di tuduh, peniadaan GSP, pengenaan tarif yang lebih tinggi, dan lain-lain. Dalam tahun-tahun belakangan ini, isu mengenai perlindungan HaKI telah disatukan dengan perdagangan HaKI. Bahkan untuk beberapa negara hal tersebut telah mengubah HaKI menjadi konfrontasi perdagangan. Persetujuan TRIPs ini lahir karena adanya keinginan untuk mengurangi distorsi dan rintangan-rintangan dalam perdagangan internasional, dan pentingnya memajukan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HaKI, serta untuk menjamin bahwa langkah-langkah dan prosedur untuk melaksanakan
53
Priapantja, op. cit., hal.2.
Universitas Sumatera Utara
perlindungan terhadap HaKI tidak mengalami hambatan bagi perdagangan yang sah. 54 Amerika
Serikat
sebagai
negara
maju
menghendaki
negara-negara
berkembang untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI, dan menjadikan kondisi demikian sebagai konsesi timbal balik dalam pembuatan perjanjian ekonomi. 55 Di bidang TRIPs, Indonesia, seperti juga negara berkembang lainnya, Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI karena
banyak
faktor
yang
mempengaruhi
Indonesia
dalam
memberikan
perlindungan terhadap HaKI sebagaimana dikehendaki oleh negara maju sebagai imbalan kesediaan negara maju memberikan akses ke pasar mereka.56 Diterimanya the TRIPs Agreement telah menjadikan peranan institusi kepabeanan dalam perlindungan HaKI sebagai suatu keharusan. Ketentuan yang diatur dalam Part III TRIPs: ‘Enforcement of Intellectual Property Rights’, mencakup ‘Special Requirement Related to Border Measures’ (ketentuan yang mengatur mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan aparat kepabeanan dalam pengawasan terhadap impor-ekspor barang yang melanggar HaKI) dalam section 4, diantaranya
memuat mengenai ‘Suspension of Release by Customs Authorities’ (penangguhan pengeluaran barang dari kawasan pabean), yang merupakan ketentuan standar yang harus diformulasikan dan diatur dalam ketentuan nasional masing-masing negara 54
Ibid., hal. 3. Ibid., hal. 4. 56 Ibid. 55
Universitas Sumatera Utara
penandatanganan WTO Agreements / TRIPs. Dengan adanyaketentuan tersebut, maka di tiap-tiap negara, institusi kepabeanan harus ikut telibat dalam pelaksanaan perlindungan HaKI. Perlindungan HaKI merupakan unsur terpenting bagi perkembangan teknologi baru dan perdagangan internasional. Keyakinan dan dorongan bagi para penemu/ peneliti untuk melakukan inovasi dan penemuan-penemuan, hanya akan terjadi apabila ada jaminan perlindungan HaKI yang baik. Di tingkat internasional, Paris Convention dan Berne Convention sebelumnya telah mengatur mengenai standar perlindungan minimum yang harus diberikan terhadap HaKI. Selanjutnya, TRIPs yang diterima sebagai bagian dari Persetujuan Pembentukan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization) pada akhir Putaran Uruguay di Marakesh tahun 1994, memperluas scope perlindungan tersebut, dengan menetapkan standar perlindungan, aturan-aturan mengenai penegakan hukumnya (enforcement), dan aturan-aturan mengenai penyelesaian perselisihan (antar negara anggota WTO). Sejumlah kewajiban yang diatur dalam TRIPs menghendaki agar negara-negara mengatur dalam perundang-undangan nasional masing-masing prosedur dan tindakan-tindakan yang diperlukan sehingga penegakan hukum dapat terlaksana secara efektif. TRIPs diakui sebagai suatu dokumen yang sangat berpengaruh dalam terjadinya reformasi peraturan perundangundangan di bidang HaKI bagi negara-negara anggota WTO. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade
Universitas Sumatera Utara
Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban. Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang (opportunity), tetapi juga ancaman (threat). Dengan berlakunya TRIPs, negara-negara anggota WTO, termasuk sejumlah negara industri maju, harus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian undang-undang nasional masing-masing di bidang HaKI. Demikian juga di Indonesia, pada Tahun 1997 beberapa perundangan di bidang HaKI mengalami perubahan agar sesuai dengan ketentuan standar yang diatur dalam TRIPs. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan sebagai perubahan atas UU No.10 tahun 1995 yang lahir pada masa itu, juga mengintrodusir dan mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam WTO Agreement, termasuk pengaturan mengenai prosedur Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran HaKI, dalam pasal 54 sampai dengan pasal 64. Part III Persetujuan TRIPs, mengatur mengenai penegakan hukum di Bidang HaKI (Enforcement of IPR), dimana didalamnya diatur mengenai standar prosedur berkaitan dengan impor dan ekspor barang yang diduga melanggar HaKI (Part III Section 4: Special Requirement Related to Border Measures). Part III Section 4 ini mengatur mengenai prosedur penangguhan pengeluaran barang oleh kepabeanan. Sesuai dengan kewajiban ‘compliance’ dengan TRIPs, maka ketentuan standar tersebut telah dimuat dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang
Universitas Sumatera Utara
Perubahan atas UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yaitu dalam pasal 54 sampai dengan pasal 64. Dengan demikian, perlindungan HaKI yang dilaksanakan oleh institusi kepabeanan di Indonesia (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) telah mengacu pada standar minimum yang ditentukan dalam TRIPs, yang berlaku secara Internasional. Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ditegaskan pada pasal 54 sampai dengan pasal 64 bahwa pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara dan menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia. Ketentuan tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan merupakan implementasi dari Perjanjian Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPs) Section 4 part 3, Article 51sampai dengan Article 60 tentang Boundary Measures Suspension of Release by Customs Authorities yaitu tindakan untuk menyita barang yang melanggar HaKI yang masuk ke suatu negara. Implementasi ini adalah suatu kemajuuan dimana Indonesia telah mengadopsi ketentuan yang tercantum dalam perjanjian multilateral TRIPs-WTO. Namun dalam pelaksanaanya, hingga saat ini, Peraturan Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
tentang HaKI dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagai peraturan pelaksana belum diberlakukan / belum selesai dibuat. Kondisi ini tentu tidak optimal dalam mendukung perlindungan HaKI.
B. Ketentuan dan Prosedur Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Dalam kerangka perlindungan HAKI, tindakan atau kewenangan yang dapat dilaksanakan
oleh
DJBC
adalah
tindakan’’penangguhan
sementara
waktu
pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean’ atau yang dalam TRIPs disebut sebagai ‘suspension of release by customs’. 57 Tindakan “border measurement” oleh DJBC tersebut dianggap cukup efektif untuk mencegah adanya pelanggaran HaKI. Tindakan penangguhan yang dilaksanakan pada ‘exit’ atau ‘entry point’ di kawasan Pabean ini dapat mencegah barang yang diduga melanggar HaKI, sebelum barang tersebut masuk ke dalam jalur distrbusi komersial di daerah bebas, dimana pencegahannya akan lebih rumit dan memakan biaya yang besar. 57
Lihat Article 51 the TRIPs Agreement: “Member shall, in conformity with the provision set out below adopt procedures to anable a right holder, who has valid grounds for suspecting that the importation of counterfeit trade mark or pirated copyrhigt goods may take place, to lodge an application in writing with competent authorities, administrative or judicial, for the suspension by the customs authorities of the release into free circulation of such goods. Member may anable such an application to be made inrespect of goods wich involveother infringements of intellectual property rights, provided that the requirements of this Section are met. Member may also provide for corresponding procedures concerningthe suspension by the customs authorities of the release of infringing goods destined for exportation from their territories.”
Universitas Sumatera Utara
Perlu dicatat bahwa walaupun pejabat DJBC adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam kasus pelanggaran kepabeanan, tetapi PPNS Bea dan Cukai di bidang HaKI tidak mempunyai kewenangan ‘ex oficio’ karena jabatan, penanganan kasusnya seterusnya diserahkan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau PPNS Direktorat Jenderal HaKI, untuk proses hukum lebih lanjut. Dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, tindakan penangguhan pengeluaran barang yang diduga melanggar HaKI oleh Bea dan Cukai dapat dilaksanakan berdasarkan dua alasan, yaitu: 1. Berdasarkan Perintah Tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat; 58 2. Dilakukan karena jabatan (ex oficio), apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta. 59 1. Penangguhan Ketua
Pengeluaran
Berdasarkan
Perintah
Tertulis
dari
Pengadilan Negeri Setempat/ Pengadilan Niaga Setempat Dalam Article 51 TRIPs Agreement diatur bahwa dalam hal pemilik atau
pemegang hak memiliki bukti yang cukup untuk menduga adanya impor barang yang melanggar hak merek atau hak cipta, ia dapat mengajukan permintaan tertulis kepada pihak yang berwenang –administratif atau judicial- untuk dilakukannya penangguhan pengeluaran barang tersebut oleh Bea dan Cukai.
58
Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No.75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 54. 59 Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No.75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 54.
Universitas Sumatera Utara
TRIPs tidak menentukan kepada pihak mana (competent authorities) permintaan penangguhan ini harus diajukan, hal ini tergantung pada ketentuan yang berlaku di masing-masing negara, dengan demikian permintaan tersebut dapat diajukan kepada pihak pengadilan (judicial) atau kepada instansi-instansi lain (administratif) termasuk yang diajukan langsung kepada pihak kepabeanan. Berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, maka di Indonesia permintaan (oleh pemilik atau pemegang hak) tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat. Dengan dipilihnya jalur permintaan melalui pengadilan ini, maka diperlukan adanya Perintah Tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk melaksanakan penangguhan pengeluaran barang. Masalahnya adalah terdapat perbedaan jurisdiksi pengadilan yang berwenang menetapkan penangguhan sementara (injunction) maupun memeriksa pelanggaran HaKI antara Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (menunjuk Pengadilan Negeri) dengan perundang-undangan di bidang HaKI (menunjuk Pengadilan Niaga). Sehingga ada kemungkinan dua alternatif yang bisa diajukan: a.
Memberikan kewenangan ke Pengadilan Niaga untuk menetapkan injunction maupun untuk memutus perkara pelanggaran HaKI, dengan pertimbangan sebagai upaya penundukan diri kepada rezim HaKI sesuai adagium lex posteriori derogate lex priori (undang-undang yang berlaku belakangan
Universitas Sumatera Utara
mengesampingkan undang-undang yang berlaku terdahulu. Sedangkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga, pemegang hak dapat melakukan upaya mekanisme penangguhan karena jabatan (ex oficio). b.
Tetap memberikan kewenangan ke Pengadilan Negeri untuk menetapkan injunction maupun untuk memutus perkara pelanggaran HaKI, dengan pertimbangan untuk menampung ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan serta untuk mengatasi keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga dibandingkan Pengadilan Negeri yang terdapat hampir di semua border DBJC. Di beberapa negara, permintaan semacam ini diajukan kepada Bea dan Cukai
tanpa melalui pengadilan. Prosedur pengajuan permintaan kepada Bea dan Cukai ini dalam pelaksanaannya jauh lebih efektif dibandingkan dengan pengajuan permintaan kepada Pengadilan Negeri, karena Bea dan Cukai dapat bertindak langsung berdasarkan data-data yang disampaikan pemilik atau pemegang hak dalam permohonannya. 60 Kewajiban Pejabat Bea dan Cukai atas penerimaan Perintah Tertulis dari Pengadilan Negeri adalah: 61
60
Lihat Nill Vistor, Trademark Anticounterfeiting in Asia and The Pasific, (New York: International Trademark Assosiation, 2001), hal 44-46 (mengenai penanganan HKI oleh Bea Cukai Amerika Serikat) dan hal. 295-296 (mengenai penanganan HKI oleh Bea Cukai Jepang). Lihat juga Ade Maman Suherman, “Penegakan Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23 No. 1, 2004, hal 86-91. 61 Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No.75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 55.
Universitas Sumatera Utara
a. Memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspornya; b. Melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan Pabean, terhitung tanggal diterimanya Perintah Tertulis. Berdasarkan Pasal 55 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2006 62 , maka permintaan penangguhan pengeluaran barang kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat, diajukan dengan disertai: a. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan; b. Bukti pemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan; c. Perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluaran barangnya agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan d. Jaminan.
62
Bandingkan dengan Article 52 the TRIPs Agreement: “Any right holder initiating the procedures under Article 51 shall be required ti provide adequate evidence to satisfy the competent authorities that, under the laws of the country of importation, there is prima facie an infringement of the right holder’s intellectual property right and to supply a sufficiently detailed description of the goods to make them readily recognizable by the customs authorities. The competent authorities shall inform the applicant within a reasonable period wheter they hava accepted the application and, where determined by the competent authorities, the period for with the customcs authorities will take action.”
Universitas Sumatera Utara
Contoh bukti-bukti mengenai adanya pelanggaran merek yang dapat diajukan antara lain: 63 a. Nama dan alamat importer atau eksportir dan atau penerima barang yang diduga melanggar HaKI; b. Negara asal barang yang diduga melanggar HaKI; c. Negara pembuat barang yang diduga melanggar HaKI; d. Nama dan alamat orang atau perusahaan yang terlibat dalam pembuatan dan pendistribusian barang yang diduga melanggar HaKI; e. Cara pengangkutan dan identitas alat pengangkut yang diduga melanggar HaKI; f. Perkiraan pelabuhan dimana pemberitahuan impor/ ekspor akan diajukan;
g. Perkiraan tanggal penyerahan pemberitahuan impor/ ekspor kepada Bea dan Cukai; h. Nomor Tarif Pos Harmonized System dari barang yang diduga melanggar HaKI (apabila diketahui). Masalahnya adalah, karena dengan belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai definisi “bukti yang cukup” dan besarnya jaminan yang dipertaruhkan tersebut, dapat menimbulkan masalah dilematis terutama bagi para
63
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, op.cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
pihak DJBC dan Ketua Pengadilan Niaga atau Negeri dalam memutuskan perkara ekspor-impor barang hasil pelanggaran HaKI tersebut. Bukti permulaan yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI merupakan syarat mutlak sebelum mengambil keputusan untuk menangguhkan pengeluaran barang dari kawasan pabean, baik bagi Ketua Pengadilan Niaga/ Pengadilan Negeri dalam passive action procedure maupun bagi pihak DJBC dalam active procedure. Sementara itu, ketentuan mengenai jaminan yang dipertaruhkan oleh pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang juga sangat penting dan bersifat mutlak. Hal ini untuk menghindarkan penyalahgunaan tindakan penangguhan tersebut untuk praktik dagang yang merugikan pihak lain, antara lain untuk melumpuhkan atau melemahkan saingan dagangnya. 64 Oleh karena itu, pihak yang meminta penangguhan pelanggaran barang wajib menaruh jaminan yang cukup nilainya, yang tujuannya adalah: a.
Melindungi pihak yang diduga melakukan pelanggaran dari kerugian yang tidak perlu;
b.
Mengurangi kemungkinan berlangsungnya penyalahgunaan hak; dan c. Melindungi pejabat Bea dan Cukai dari lingkungan adanya tuntutan ganti rugi karena dilaksanakannya perintah penangguhan.
64
Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Penjelesan Pasal 55. Bandingkan dengan Article 53 (1) the TRIPs Agreement: “The competent authorities shall have the authority to require an applicant to provide a security or equivalent assurance sufficient to protect the defendant and the competent authorities and to prevent abuse. Such security or equivalent assurance shall not unreasonably deter recourse to these procedures”.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga apabila barang yang diduga melanggar HaKI telah ditangguhkan pengeluarannya oleh Bea dan Cukai, maka pemiliki atau pemegang hak menggunakan kesemmpatan dalam jangka waktu 10 hari kerja (dan mungkin diperpanjang 10 hari kerja lagi) untuk melakukan langkah-langkah atau upaya-upaya hukum dalam mempertahankan haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat. 65 Kepentingan pemilik barang diabaikan, sehingga dalam keadaan tertentu (misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak), importir, eksportir atau pemilik barang impor atau ekspor, dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memerintahkan secara tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai agar mengakhiri penangguhan pengeluaran barang. Dalam pengajuan permintaan ini, pihak-pihak tersebut juga harus menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, huruf (d).
65
Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tantang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 57. Bnndingkan dengan Article 55 the TRIPs Agreement: “If, Within a period not exceeding 10 working days after applicant has been served notice of the suspension, the customs authorities have not been informed that proceedings leading to a decision on the merits of the case have been initiated by a party other than the defendant, or that duly empowered authority has taken provisional measures prolonging the suspension of the goods, the goods shall be released, provided that all other other conditions for importation or exportation have been complied with; in appropriate cases, the timelimit may be extended by another 10 working days. If preceedings leading to a decision on the merits of the case have been initiated, a review, including a right to be heard, shall take place upon request of the defendant with a view to deciding, within a reasonable period, whether these measures shall be modified, revoked or confirmed. Nothwithstanding the above, where the suspension of the release of goods is carried out or continued in accordance with a provisional judicial measure, the provisions of paragraph 6 of Article 50 shall apply.”
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya apabila hasil pemeriksaan perkara kemudian terbukti bahwa barang impor atau ekspor yang ditangguhkan ternyata tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik/pemegang hak yang meminta penangguhan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud diatas diatur dalam Article 56 the TRIPs Agreement (Indemnification of the Importer and of the Owner of the Goods), yaitu pembayaran kompensasi yang memadai atas kerugian yang terjadi karena penangguhan yang salah. 66 Prinsip yang berlaku dalam perlindungan HaKI ialah bahwa pemilik atau pemegang hak (right owner atau right holder) harus aktif untuk mempertahankan hak-haknya 67 , sedangkan peranan Bea dan Cukai adalah membantu terlaksananya
66
Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 61 ayat (1) dan (2). Bandingkan dengan Article 56 the TRIPs Agreement: “Relevant authorities shall have the authority to order the applicant to pay the importer, the consignee and the owner of the goods appropriate compensation for any injury caused to them through the wrongful detention of goods or through the detention of goods released pursuant to Article 55.” 67 Lihat A. Zen Umar Purba, “Perlindungan dan Penegakan Hukum HaKI,” Makalah Disampaikan Pada Acara Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme, Diselenggarakan Oleh Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Makassar, 20 November, hal. 4. Dalam perubahan perundangundangan bidang HaKI yang baru, status delik berubah dari delik biasa menjadi delik aduan dengan alas an sebagai berikut : 1. Delik aduan sesuai dengan sifat HaKI adalah hak privat (walaupun kita maklum hak privat itu pada gilirannya memegang peranan penting dalam dunis usaha). 2. Hanya pemegang hak-lah yang athu ada tidaknya pelanggaran atau tindak pidana terhadap karya intelektualnya sendiri (yang notabene telah mendapatkan perlindungan); dalam beberapa kasus para pihak yang bersengketa dalam kaitan dengan HaKI, kemudia berdamai; namun sementara itukasus telah dilaporkan ke polisi atas dugaan tindak pidana oleh satu pihak; pelaporan tersebut tidak dapat dicabut kembali. 3. Delik biasa dapat menjadi boomerang karena setiap pihak termasuk pihak luar sangat mengharapkan dilakukannya tindakan “pembersihan” terus menerus terhadap tindak pidana termaksud tanpa perlunya diadukan; ini merupakan boomerang bagi kita sendiri. Namun demikian pemerintah berpendapat akan tetap dipertahankannya status kejahatan biasa di bidang Hak Cipta.
Universitas Sumatera Utara
perlindungan HaKI. Oleh karena itulah maka dalam prosedur penangguhan berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini, pemilik atau pemegang hak harus aktif untuk mengumpulkan bukti-bukti, menyiapkan persyaratan yang diperlukan, dan mengajukan permintaan penangguhan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. 68 Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum atau langkah-langkah untuk mempertahankan hal. Pemeriksaan dilakukan dengan sepengetahuan Pejabat Bea dan Cukai. 69 Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, maka kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan untuk menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang dirahasiakan (yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut). Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik,
68
Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 58 ayat (1) dan (2). Bandingkan dengan Article 57 the TRIPs Agreement: “Without prejudice to the protection of confidential information, Members shall provide the detained by the customs authorities inspected in order to substantiate the right holder’s claims. The competent authorities shall also have authority to give the impoter an equivalent opportunity to have any such goods inspected. Where a positive determination has been made on the merits of a case. Members may provide the competent authorities the authority to inform the right holder of the names and addresses of the consignor, the importer and the consignee and of the quantity of the goods in question.” 69 Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 58 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
sekedar
untuk
mengidentifikasi
atau
mencacah
barang
yang
dimintakan
penangguhan. 70 Sebagaimana diuraikan diatas, jangka waktu penangguhan pengeluaran barang selama sepuluh dari kerja harus digunakan oleh pihak yang meminta penangguhan untuk melakukan tindakan hukum yang diperlukan dalam mempertahankan haknya. Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan dalam jangka waktu sepuluh hari pihak yang meminta penangguhan wajib secepatnya melaporkan kepada Pejabat Bea dan Cukai. 71 Apabila dalam jangka waktu sepuluh hari kerja Pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan bahwa tindakan hukum telah dilakukan, dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memperpanjang secara tertulis, Pejabat Bea dan Cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang. Selanjutnya barang diproses/diselesaikan sesuai ketentuan kepabeanan. 72 Dalam hal tindakan hukum telah diberitahukan dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, Pejabat Bea dan Cukai mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang. 73 70
Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 58 ayat (2). 71 Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 59 ayat (2). 72 Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 59 ayat (1). 73 Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 59 ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
2. Penangguhan Pengeluaran Barang Karena Jabatan (Ex-Officio Action) Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat juga dilakukan karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai, apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta. 74 Pasal 62 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak menguraikan pengertian “tindakan penangguhan karena jabatan” ini serta ruang lingkupnya. Pada Penjelasan Pasal 62 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan hanya dinyatakan bahwa tindakan ini dilakukan hanya kalau dimiliki bukti-bukti yang cukup, dan tujuannya adalah untuk mencegah peredaran barang-barang yang melanggar merek dan hak cipta yang berdampak buruk terhadap perekonomian pada umumnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam hal diambil tindakan penangguhan karena
jabatan, maka berlaku sepenuhnya tata cara sebagaimana diatur dalam UndangUndang Merek dan Undang-Undang Hak Cipta. Dalam Article 58 TRIPs Agreement secara sekilas dinyatakan bahwa “ex-officio action” ini merupakan tindakan
74
Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 62.
Universitas Sumatera Utara
penanggugan pengeluaran barang yang dilaksanakan atas inisiatif dari instansi yang berkompeten (dalam hal ini Bea dan Cukai). 75 Dalam action procedure, pejabat DJBC, karena jabatannya (ex-officio) wajib mengambil inisiatif untuk menangguhkan pengeluaran barang dari Kawasan Pabean jika bukti yang cukup menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari pelanggaran atas HaKI. Untuk selanjutnya pihak Bea dan Cukai wajib memberitahukan penangguhan tadi kepada pihak yang berkepentingan, yaitu pemilik atau pemegang hak dan pemilik barang atau kuasanya. Bilamana kemudian benarbenar terbukti adanya pelanggaran atas HaKI, perkaranya akan diselesaikan berdasarkan perundang-undangan bersangkutan, yaitu Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Merek. Dalam praktiknya, hal ini menjadi suatu kejanggalan bagi para aparat lapangan, karena ternyata setelah barang tersebut ditegah, kemudian diberitahukan kepada si pemilik hak, maka yang bersangkutan bersikap tidak acuh dan tidak menghiraukan atas pelanggaran ini. Sehingga sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Bab X Pasal 57 ayat (1) dan (2) penangguhan harus diakhiri. 75
Lihat Article 58 the TRIPs Agreement: “Where members require competent authorities to act upon their own initiative and to suspend the release of goods in respect of which they have acquired prima facie evidence that an intellectual property right is being infringed: (a) The competent authorities may at any time seek from the right holder any information that may assist them to exercise these powers; (b) The importer and the right holder shall be promptly notified of the suspension. Where the importer has lodged an appeal against the suspension with the competen; authorities, the suspension shall be subject to the conditions, mutandis, set out at Article 55. (c) Members shall only exemp both public authorities and afficials from liability to appropriate remedial measures where actions are taken or intended in good faith.”
Universitas Sumatera Utara
Pasal tersebut berbunyi pada ayat (1): “Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama sepuluh hari kerja”. Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa “Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sepuluh hari kerja dengan perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat”. Karena ketidakpedulian si pemilik hak inilah, maka penangguhan itu pun dihentikan dan barang dapat dikeluarkan. Atas dasar hal tersebut, kewenangan DJBC dari segi active action procedures perlu kiranya diberikan landasan yang kuat. Walaupun si pemegang hak tidak merasa keberatan dengan pelanggaran atas haknya, maka proses hukum harus tetap dijalankan atas dasar pelanggarannya terhadap HaKI tersebut, bukan atas pengaduan dari si pemegang. Bertolak dari hal itu perlu kiranya ditempuh beberapa upaya penambahan ketentuan dalam peraturan dimaksud, berupa dimungkinkannya diadakan kerjasama antara pemegang hak dengan pihak DJBC, bahwa dalam hal active action procedures DJBC dapat melakukan penegahan terhadap barang ekspor dan impor sebagai hasil pelanggaran HaKI. Atau cara lainnya dimungkinkannya atas tugas Negara, DJBC berhak menegah sementara waktu untuk memeriksa barang tersebut dengan tanpa jaminan sampai terbukti yang bersangkutan betul-betul melanggar HaKI. 76
76
Viktor, loc.it., lihat penanganan HaKI oleh Bea Cukai Amerika Serikat dan Jepang. Lihat juga Suherman, loc.it.
Universitas Sumatera Utara
Perlu juga dipertimbangkan untuk memberikan kewenangan kepada Pejabat Bea dan Cukai (ex-officio) untuk menyita dan memusnahkan barang yang melanggar HaKI atau memerintahkan si importer untuk mengirim kembali barang tersebut. Dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, diatur mengenai pengecualian tersebut di atas, dimana ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran HaKI, tidak diberlakukan terhadap jenisjenis barang sebagai berikut: barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan. Syaratnya ialah bahwa barang tersebut tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial. Dalam rangka meningkatkan kelancaran arus barang, maka terhadap barang ekspor prinsipnya dilakukan penelitian dokumen, sedangkan pemeriksaan fisik hanya dilaksanakan dalam hal-hal tertentu. Terhadap barang impor, pemeriksaan fisik hanya dilaksanakan secara selektif mendasarkan diri pada risk management. Pemeriksaan fisik atas barang impor hanya dilakukan terhadap importasi barang yang dikategorikan memiliki risiko yang tinggi, misalnya bea masuknya yang tinggi, berbahaya bagi Negara dan masyarakat, atau pengimporan oleh importer yang mempunyai catatan yang kurang baik. Sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah seperti di atas, maka relatif sempit peluang Bea dan Cukai untuk melaksanakan active action procedures. Dengan relatif sempitnya peluang untuk bertindak aktif, maka pihak Bea dan Cukai meningkatkan upaya-upaya lain dalam rangka mengefektifkan tugas penegndalian
Universitas Sumatera Utara
atas empor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI. Misalnya mengadakan pendidikan khusus di bidang HaKI bagi para aparat dan pejabat, dan membangun database system yang mampu mengakses ke database negara-negara maju dan WTO sehingga mudah memperoleh informasi tentang data-data pemilikan atau pelanggaran di bidang HaKI. 3. Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Pasal 63 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal 54 sampai Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Dengan adanya ketentuan tersebut dan kenyataan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 63 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan masih belum terinci dengan jelas, maka adanya Peraturan Pemerintah tersebut mutlak diperlukan. Namun demikian sampai saat ini Peraturan Pemerintah dimaksud belum ada. Belum ada Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, merupakan salah satu ganjalan yang menghambat pelaksanaan perlindungan HaKI oleh Bea dan Cukai. Pemilik / pemegang hak dan pihak lain yang terkait daam perlindungan HaKI tidak biasa melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan, karena peraturan yang lebih rinci dan jelas belum ada. Rincian yang diperlukan meliputi antara lain :
Universitas Sumatera Utara
a. Jurisdiksi Pengadilan Terdapat perbedaan jurisdiksi pengadilan yang berwenang menetapkan penangguhan sementara (injunction) maupun memeriksa perkara pelanggaran HaKI antara Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (menunjuk Pengadilan Negeri) dengan Peraturan perundang-undangan di bidang HaKI (menunjuk Pengadilan Niaga). Sehingga ada kemungkinan dua alternative yang bias diajukan : (1) Memberikan kewenangan Pengadilan Niaga untuk menetapkan injunction maupun untuk memutus perkara pelanggaran HaKI, dengan pertimbangan sebagai upaya penundukan diri kepada rezim HaKI sesuai adagium lex posteriori derogate lex priori (undangundang yang berlaku belakangan mengesampingkan undangundang yang berlaku terdahulu). Sedangkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga, pemegang hak dapat melakukan upaya mekanisme penangguhan karena jabatan (ex afficio). (2) Tetap memberikan kewenangan ke Pengadilan Negeri untuk menetapkan
injunction
maupun
untuk
memutus
perkara
pelanggaran HaKI, dengan pertimbangan untuk menampung ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Universitas Sumatera Utara
Kepabeanan,
serta
untuk
mengatasi
keterbatasan
jumlah
Pengadilan Niaga dibandingkan Pengadilan Negeri yang terdapat hampir di semua border DJBC b. Jenis-Jenis HaKI Yang Dapat Ditangguhkan Pengeluarannya Berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, maka jenis-jenis HaKI yang dapat dimintakan penangguhan pengeluaran oleh Bea dan Cukai hanya meliputi: Merek dan Hak Cipta. Menurut Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dengan Peraturan Pemerintah, pengendalian impor atau ekspor barang yang melanggar HaKI juga dapat diperluas untuk jenis HaKI selain merek dan hak cipta, mengingat jenis HaKI lainnya sudah diatur dalam Undang-undang tersendiri (misalnya terhadap: paten, desain industry, dan desain tata letak sirkuit terpadu). Perluasan pelanggaran HaKI yang dapat ditangguhkan oleh Bea dan Cukai ini. Menurut Penjelasan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kemampuan dan kesiapan pengelolaan sistem HaKI. Dalam TRIPs sendiri, standar minimum yang ditentukan bagi jenis HaKI yang dapat ditangguhkan pengeluarannya oleh Bea dan Cukai, hanya meliputu merek dan hak cipta. Di Australia, Australia Customs Service hanya
Universitas Sumatera Utara
melakukan penangguhan pengeluaran untukk barang yang melanggar hak cipta dan merek, sedangkan di Jepang, sesuai dengan kepentingan negaranya, tindakan penangguhan oleh Bea dan Cukai meliputi : hak cipta, merek, paten, desain circuit-layout, dan utility model. 77 c. Definisi Bukti yang Cukup Bukti permulaan yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI merupakan
syarat
mutlak
sebelum
mengambil
keputusan
untuk
menangguhkan pengeluaran barang dari Kawasan Pabean, baik bagi Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga dalam passive action procedure maupun bagi pihak DJBC dalam active action procedure. Tentunya yang dimaksudkan dengan bukti yang cukup tadi adalah bukti permulaan yang cukup. Dan untukmemahami apa itu bukti-bukti permulaan yang cukup mengenai adanya pelanggaran hak atas merek atau hak cipta, kita perlu kembali kepada arti pelanggaran hak atas merek atau hak cipta. Pertama-tama yang perlu diuji atau diketahui adalah bukti kepemilikannya. Selanjutnya pengujian terhadap obyek pemilikannya atau barangnya. Pembuktian atas hak merek akan relative lebih mudah daripada atas hak cipta, karena pemilikannya merek didasarkan pada pendaftaran atau pengalihan hak sedangkan pemilikan hak cipta belum tentu didaftarkan.
77
Suherman, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
Karena itu terutama untuk yang tidak didaftarkan, pembuktian pemilikan atas hak cipta merupakan problem tersendiri. Mengenai pengujian atas barangnya (objek pemilikannya). Dalam hal merek, terutama merek terkenal, bukti permulaan yang cukup bisa diperoleh dari data atau dokumen yang diajukan oleh pihak yang meminta penangguhan, yaitu bukti pemilikan hak yang dipunyai serta rincian dari keterangan yang jelas mengenai fisik barangnya. Namun dalam beberapa kejadian, mengenai merek ini dan terutama hak cipta, data atau dokumen yang diajukan belum memadai untuk dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup tentang adanya pelanggaran. Dalam hal merek, masalah yang sering timbul adalah yang berkaitan dengan tingkat/derajat kesamaan antara produk yang sejenis. Sedangkan dalam hak cipta, berkaitan dengan tingkat / derajat kesamaan, baik di antara produk sejenis maupun antara produk yang satu dengan produk lain yang tidak sejenis (misalnya kesamaan antara motif pada barang tekstil dengan motif pada lukisan). Dalam hal demikian, bukti permulaan yang cukup mungkin baru terpenuhi setelah melihat fisik barang. Masalahnya, bila bukti permulaan yang cukup baru terpenuhi setelah melihat fisik barang, tentunya akan timbul keraguan pada Ketua Pengadilan Negeri untuk memerintahkan penangguhan pengeluaran barang. Bahkan untuk pengujian atas tingkat/derajat barang. Bahkan untuk pengujian atas tingkat/derajat barang kesamaan barang yang tidak terlalu rumit, keraguan dapat timbul karena data barang pada dokumen impor tidak sejelas data
Universitas Sumatera Utara
barang pada bukti pemilikannya haknya. Secara umum, dokumen impor yang dapat diperoleh pemilik / pemegang hak merek atau hak cipta adalah sebatas dokumen pengapalan atau manifest dengan uraian tentang barang yang kurang detail. Bukti permulaan yang cukup dapat diperoleh dengan membandingkan data pemilikan HaKI dengan data barang yang tercantum pada dokumen pengalan. Namun sering bukti permulaan yang cukup itu hanya dapat diperoleh setelah dilakukan penelitian pada dokumen impor/ekspor yang lebih detail, seperti invoice dan packing list, dan bahkan setelah melihat fisik barang. Berdasarkan kesulitan-kesulitan seperti disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa active action procedure, yaitu penangguhan pengeluaran barang yang dilakukan oleh pejabat Bea dan Cukai karena jabatannya (ex officio), sebenarnya akan lebih efektif dibandingkan dengan cara passive action procedure, yaitu penangguhan pengeluaran barang oleh Pejabat Bea dan Cukai berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri / pengadilan niaga atas permintaan pemilik / pemegang HaKI. d. Jumlah dan Bentuk Jaminan Dalam pelaksanaan passive action procedure, suatu jaminan dengan nilai yang cukup diperlukan untuk melindungi pemilik barang (yang diduga melakukan pelanggaran) dan kerugian yang tidak perlu yang timbul karena pengeluaran barangnya ditangguhkan, dan dengan demikian dapat mengurangi kemungkinan penyalahgunaan hak. Jaminan yang cukup juga dapat melindungi pihak Bea dan
Universitas Sumatera Utara
Cukai dan kemungkinan adanya tuntutan ganti rugi karena pelaksanaan penangguhan pengeluaran (active action procedure). Yang menjadi masalah, apa yang menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan jumlah dan bentuk jaminan yang perlu dipertaruhkan, dan bagaimana kaitannya dengan efektivitas tugas pengendalian impor / ekspor barang hasil pelanggaran HaKI. Besarnya kerugian pemilik barang sebagai akibat penangguhan pengeluaran barangnya adalah sangat relatif dan sulit diukur. Di samping keadaan dan sifat barang yang bersangkutan, keadaan pasar juga sangat menentukan. Dalam hal kerugian karena keadaan atau sifat barang (misal: barangnya cepat rusak), besarnya kerugian relatif lebih mudah diukur dan dapat dihindarkan atau ditekan dengan mengeluarkan barang terlebih dahulu atas persetujuan Ketua Pengadilan Negeri / Ketua Pengadilan Niaga dengan mempertaruhkan jaminan. Namun, kerugian yang disebabkan karena keterlambatan akses ke pasar dapat mengakibatkan hilangnya peluang karena pasar bisa saja berkembang menjadi sudah jenuh. Demikian pula keterlibatan pengiriman barang untuk suatu proyek dapat mengakibatkan permasalahan yang kompleks. Maka penetapan besarnya jaminan yang perlu dipertaruhkan oleh pihak yang mengajukan permintaan penangguhan bukanlah hal yang mudah. Persaingan. merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dan kegiatan perdagangan. Sepanjang persaingan itu dilakukan dalam keadaan “fair” tidak menjadi masalah. Pengaturan penegakan hukum dalam bidang HaKI yang dilakukan oleh pihak Pabean adalah salah satu cara untuk mencegab persaingan yang tidak sehat. Ikut dipertimbangkan, misalnya, jika jaminan yang perlu dipertaruhkan jumlahnya relatif
Universitas Sumatera Utara
kecil dibandingkan dengan keuntungan yang akan diperoleh dengan menguasai pasar terlebih dahulu, bukan tidak mungkin upaya hukum permintaan penangguhan pengeluaran barang dimanfaatkaa oleh pihak-pihak tertentu. Sebaliknya, jika jumlah jaminan relatif besar, bukan tidak mungkin si pemilik / pemegang HaKI menghadapi kesulitan untuk menggunakan upaya hukum ini. Akibatnya relatif sulit untuk menentukan besarnya jaminan yang dapat dianggap memenuhi rasa keadilan semua pihak yang terkait. 78 e. Lingkup Kewenangan Pejabat Bea dan Cukai (Ex Officio) Pasal 62 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak menguraikan pengertian “tindakan penangguhan karena jabatan” ini serta ruang lingkupnya. Pada Penjelasan Pasal 62 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan hanya dinyatakan bahwa tindakan ini dilakukan hanya kalau dimiliki bukti-bukti yang cukup, dan tujuannya adalah untuk mencegah peredaran barang-barang yang melanggar merek dan hak cipta yang berdampak buruk terhadap perekonomian pada umumnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam hal diambil tindakan penangguhan karena jabatan, maka berlaku sepenuhnya tata cara sebagaimana diatur dalam UndangUndang Merek dan Undang-Undang Hak Cipta.
78
Lihat Article 53 TRIPs Agreement. Lihat juga Vistor, op.cit., hal. 415 (Bea Cukai Singapura menetapkan jaminan berupa fee S$200) dan hal. 173 (Bea Cukai Australia menetapkanjaminan sebesar US $7,000).
Universitas Sumatera Utara
Sehingga perlu untuk dijabarkan dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, agar jelas batasan, ruang lingkup dan beban tanggung-jawabnya. Perlu juga dipertimbangkan dalam kerangka ex officio, Pejabat Bea dan Cukai dapat diberikan kewenangan untuk dapat menyita dan memusnahkan barang yang melanggar HaKI atau memerintahkan si importir untuk mengirim kembali barang tersebut. 79 Namun juga harus herhati-hati dalam melaksanakan ‘ex-officio action’ ini, karena tidak seperti penangguhan pengeluaran barang berdasarkan perintah pengadilan, dalam penangguhan pengetuaran barang ini tidak diatur mengenai uang jaminan yang harus diserahkan maka pihak Bea dan Cukai menghadapi risiko untuk menghadapi ganti rugi, apabila terjadi kesalahan / kekurang akuratan dalam melaksanakan tindakan tersebut.
79
Lihat Suherman, loc.cit., penanganan HaKI okh Bea Cukai Amerika Serikat dan Jepang. Lihat juga Article 59 the TRIPs Agreement: “Without prejudice to other rights of action open to the right holder and subject to the right of the defendant to seek review by a judicial authority, competent authorities shall have he authority to order the destruction or disposal of infringing goods in accordance with the principles set out in Article 46. In regard to counterfeit trademark goods, the authorities shall not allow the re-exportation of the infringing goods in an unaltered stale or subject them to a different customs procedure, other than in exceptional circumstances.”
Universitas Sumatera Utara