PENINGKATAN EFISIENSI PUPUK NITROGEN PADA PADI SAWAH DENGAN METODE BAGAN WARNA DAUN Abdul Salam Wahid Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jalan Perintis Kemerdekaan km. 17,5, Kotak Pos 1234, Makassar 90243
ABSTRAK Pupuk nitrogen (N) dalam bentuk urea sudah menjadi kebutuhan pokok bagi petani padi sawah. Umumnya petani memberikan pupuk dengan takaran tinggi, melebihi kebutuhan tanaman, sehingga menyebabkan pemborosan dan pencemaran lingkungan. Untuk mengetahui kebutuhan hara N pada tanaman, chlorophyll meter (SPAD) merupakan alat yang tepat dan praktis, namun harga alat ini relatif mahal. Hasil pengamatan status N daun dengan bagan warna daun (BWD) atau leaf color chart (LCC) berkorelasi sangat tinggi dengan hasil pengamatan dengan SPAD sehingga alat ini dapat dijadikan sebagai alternatif untuk menentukan waktu pemupukan N yang tepat. BWD terbuat dari plastik, terdiri atas 6 skala warna mulai dari skala 1 dengan warna hijau kekuningan hingga skala 6 yang berwarna hijau tua. Skala kritis tanaman padi yang ditanam pindah adalah pada skala 4 untuk varietas unggul semikerdil dan skala 4−5 untuk varietas hibrida. Untuk tanaman padi yang ditanam secara sebar langsung, nilai kritisnya berada pada skala 3. Pemupukan N berdasarkan hasil pengamatan BWD lebih efisien daripada pemupukan secara konvensional yang terjadwal. Di Filipina, penggunaan BWD dapat menghemat pupuk N 10–53% dibanding takaran umum yang digunakan untuk mencapai produktivitas yang sama. Di Vietnam, penggunaan pupuk urea butiran dapat menghemat N 20–40% dari cara petani. Di Sulawesi Selatan, penghematan pupuk N mencapai 60% dibanding takaran rekomendasi untuk mencapai hasil yang sama. Kata kunci: Padi sawah, efisiensi, pupuk nitrogen, bagan warna daun
ABSTRACT Increasing nitrogen efficiency in lowland rice using leaf color chart method Nitrogen (N) fertilizer in the form of urea is an essential requirement of rice farmers. Some farmers apply high rate of N fertilizer more than its requirement so it caused wasting and damaged environment. Chlorophyll meter (SPAD) is a right and practical tool to determine N status in rice plant, however it is relatively expensive. Observational result using leaf color chart (LCC) has high correlation with the result observed by SPAD, so that LCC could be used as an alternative determination on when N fertilizer have to be applied. The tool is made of plastic, consisted of six color scales, from scale 1 with yellowish green to scale 6 with dark green color. The critical scale for semi-dwarf variety of transplanted rice was 4 and for hybrid variety was 4–5, while the critical scale for direct seeded rice was 3. The application of N based on LCC was more efficient than that of scheduled conventional application. Results in the Philippines indicated that the use of LCC could save N fertilizer by 10−53% compared with general recommendation to reach the same yield. In Vietnam, using LCC could save fertilizer 20−40% compared to farmers method. Result of the experiment in South Sulawesi indicated that the use of LCC could save N fertilizer reaching to 60%. Keywords: Wetland rice, efficiency, nitrogen fertilizers, leaf color chart
P
upuk merupakan salah satu masukan utama pada usaha tani padi. Untuk meningkatkan produksi, umumnya petani memberikan pupuk terutama urea dan ZA dengan takaran yang cukup tinggi, mencapai 300 kg urea dan 156
50−100 kg ZA/ha. Bahkan pada beberapa daerah, takarannya mencapai 400−500 kg urea atau setara dengan 184−230 kg N/ha. Padahal berdasarkan anjuran, N cukup diberikan 90−120 kg/ha atau setara dengan 200–260 kg urea/ha. Pemberian pupuk N
yang berlebihan ini menyebabkan efisiensi pupuk menurun serta membahayakan tanaman dan lingkungan (FFTC dalam Anonim 2000a). Fageria dan Virupax (1999) menyatakan bahwa nitrogen merupakan faktor kunci dan masukan produksi yang Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
termahal pada usaha padi sawah, dan apabila penggunaannya tidak tepat dapat mencemari air tanah. Kerusakan lingkungan akibat pemupukan N yang berlebihan disebabkan adanya emisi gas N 2 O pada proses amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi. Menurut Partohardjono (1999), emisi gas N2O dipengaruhi oleh takaran pupuk N yang diberikan; makin tinggi takaran N, makin besar emisi gas N2O. Lebih lanjut dinyatakan bahwa emisi gas N2O berkaitan erat dengan bentuk pupuk N. Urea tablet memberikan emisi gas N2O terendah, dan tertinggi pada pupuk urea butiran. Makin efisien penggunaan pupuk N, makin rendah tingkat emisi gas N2O. Menurut Stevens et al. (1999), pemberian pupuk N yang berlebihan pada padi dapat meningkatkan kerusakan tanaman akibat serangan hama dan penyakit, memperpanjang umur tanaman, dan menyebabkan kerebahan. Penghapusan subsidi pupuk oleh pemerintah ternyata tidak menyebabkan petani mengurangi takaran pupuk karena mereka telah terbiasa dengan pemupukan N takaran tinggi. Akibatnya biaya usaha tani meningkat dan pendapatan petani semakin menurun. Dengan pertimbangan tersebut maka penerapan teknologi yang mengarah kepada efisiensi penggunaan pupuk, khususnya pupuk N sangat diperlukan. Strategi pengelolaan hara N yang optimal bertujuan agar pemupukan dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman sehingga dapat mengurangi kehilangan N dan meningkatkan serapan N oleh tanaman. Pemberian pupuk yang tepat tidak saja akan menurunkan biaya penggunaan pupuk, tetapi dengan takaran pupuk yang lebih rendah, hasil relatif sama, tanaman lebih sehat, serta mengurangi hara yang terlarut dalam air dan penimbunan N dalam air atau bahan makanan yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia (Anonim 2000a). Upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N dapat dilakukan dengan menanam varietas unggul yang tanggap terhadap pemberian N serta memperbaiki cara budi daya tanaman, yang mencakup pengaturan kepadatan tanaman, pengairan yang tepat, serta pemberian pupuk N secara tepat baik takaran, cara dan waktu pemberian maupun sumber N. Menurut Partohardjono dan Fitts (1974), penggunaan pupuk urea berlapis belerang yang dapat Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
melepas N secara lambat dapat meningkatkan efisiensi penggunaan N pada padi sawah. Lebih lanjut Partohardjono et al. (1981) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan N meningkat bila pupuk N diberikan secara bertahap atau memberikan unsur N dalam bentuk tablet. Mempertahankan kondisi tanaman dalam keadaan cukup hara N namun tidak berlebihan merupakan salah satu alternatif meningkatkan efisiensi pupuk N. Pupuk diberikan berdasarkan kandungan N dalam daun tanaman yang ditunjukkan oleh penampakan warna daun. Penentuan kondisi tanaman kritis terhadap N dilakukan dengan menggunakan chlorophyll meter (SPAD) yang dapat mendeteksi kandungan hara tanaman. Metode terakhir ini kemudian dimodifikasi dengan suatu alat berupa bagan warna daun (BWD) atau leaf color chart (LCC) karena harga alat SPAD cukup mahal (sekitar US$ 1500/unit) sehingga sulit dijangkau oleh petani. Hasil penelitian penggunaan BWD memberikan gambaran bahwa BWD dapat mengoptimalkan penggunaan N, merupakan alat peraga untuk menduga status N daun, sangat sederhana, tidak bersifat merusak, murah dan mudah digunakan, ramah lingkungan dan dapat dimiliki oleh petani karena harganya terjangkau. Namun, alat ini tidak dapat digunakan pada daerah-daerah yang kondisi tanahnya bermasalah, seperti tanah kahat belerang (S) dan fosfor (P) atau kelebihan besi, karena hasilnya akan dikaburkan oleh pengaruh kekurangan atau keracunan hara tersebut. Oleh
karena itu, penggunaan BWD hanya direkomendasikan pada daerah-daerah yang tanahnya tidak bermasalah atau setelah kondisi tanah yang bermasalah tersebut diatasi.
PENGERTIAN BAGAN WARNA DAUN Bagan warna daun (BWD) merupakan alat skala warna yang terbuat dari plastik, terdiri atas enam skala warna mulai dari skala 1 dengan warna hijau kekuningan hingga skala 6 dengan warna hijau tua, berukuran 7 cm x 19,50 cm (Gambar 1). Skala tersebut diperhitungkan berdasarkan skala pada alat SPAD yang efektif digunakan sebagai petunjuk untuk pemupukan N pada tanaman padi. Alat ini dapat mendeteksi status kandungan N pada tanaman padi. Batas kritis skala warna daun dipengaruhi oleh varietas, cara tanam, populasi tanaman, dan status hara tanah. Konsep pemupukan yang didasarkan atas perubahan warna daun sebenarnya telah lama diterapkan secara praktis oleh petani. Biasanya petani memberikan pupuk pada tanaman padi bila warna daun berubah menjadi kuning, walaupun tidak menggunakan alat standar warna. Peneliti di Cal Tech pada sekitar tahun 1920 juga telah mengidentifikasi warna daun sebagai indikasi kandungan hara N tanaman. Pada tahun 1980-an peneliti di California University menguatkan temuan tersebut (Boyd 2001). Kemudian pada tahun 1987
Gambar 1. Bagan warna daun (BWD) atau leaf color chart (LCC). 157
Furuya mengembangkan prototipe indikator warna daun yang disebut dengan LCC atau BWD yang berfungsi untuk membantu petani menentukan kapan tanaman padi seharusnya dipupuk (Zaini dan Erythrina 2002).
Tabel 1. Estimasi kandungan nitrogen daun di Akitakomachi dengan menggunakan Minolta Chlorophyll Meter atau Fuji Color Chart . Nilai Chlorophyll meter (SPAD) Skala %N
SKALA KRITIS BAGAN WARNA DAUN Tingkat skala warna daun tanaman padi dipengaruhi oleh populasi tanaman, fase pertumbuhan tanaman, varietas yang digunakan, cara tanam, dan status hara N dalam tanah. Hasil penelitian di Filipina menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat SPAD, titik kritis tanaman padi terhadap hara N pada musim kemarau adalah pada skala 30 untuk sistem tanam benih langsung (tabela) secara sebar dengan jumlah anakan sekitar 800 tanaman/m2 (produktivitas 6,85 t/ha), dan pada skala 32 untuk cara tanam tabela secara larikan dengan jumlah anakan produktif tidak kurang dari 650 tanaman/ m2 (produktivitas yang dicapai 6,83 t/ha) (Balasubramanian et al. 1998). Selanjutnya Balasubramanian et al. (1999) menyatakan bahwa nilai kritis SPAD tanaman padi tanam pindah pada musim kemarau adalah pada skala 35, sedangkan pada padi musim hujan yang ditanam secara tabela nilai kritisnya berada pada skala 32. Namun di India, nilai kritis SPAD adalah pada skala 36–38 untuk tanam pindah pada musim kemarau dan 33−35 pada musim hujan (Ramanathan dan Nagarayan 2000). Menurut Boyd (2001), hasil pengamatan dengan SPAD berkorelasi sangat tinggi dengan hasil pengamatan dengan BWD. Dengan mengacu pada estimasi Mutters (1999) yang menganalisis hubungan Minolta chlorophyll meter dan Fuji color chart (Tabel 1), maka apabila skala kritis SPAD tanaman padi pada musim kemarau adalah 35, berarti kandungan hara N pada daun sama dengan 2,90%. Nilai ini identik dengan skala 4 pada BWD. Demikian pula dengan skala SPAD 32 pada padi yang ditanam secara tabela atau tanam pindah pada musim hujan, berarti kandungan hara N tanaman adalah 2,60%, atau identik dengan skala sekitar 3,20 pada skala BWD. Hal ini sesuai dengan IRRICREMNET (1998) dan Asis (2001) yang menyatakan bahwa nilai kritis BWD 158
26 1,90
27 2
28 2,10
29 2,30
30 2,40
31 2,50
32 2,60
33 2,70
34 2,80
35 2,90
36 2,90
37 3
Skala bagan warna daun (BWD) Skala %N
1 1,60
2 2
3 2,50
4 2,90
5 3,30
6 3,70
7 4
Sumber: Mutters (1999).
tanaman padi dengan cara tanam pindah berada pada skala 4 dan untuk tanam secara tabela pada skala 3. Balasubramanian dalam Anonymous (2000b) lebih rinci melaporkan bahwa nilai kritis skala warna BWD padi tanam pindah untuk varietas aromatik adalah pada skala 3, varietas indica tipe semikerdil pada skala 4, dan varietas hibrida pada skala 4− 5. Pada padi yang ditanam secara tabela, untuk varietas semikerdil nilai kritisnya
adalah pada skala 3 dan untuk hibrida pada skala 4. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan skala yang lebih besar (sampai skala 5) pada semua lokasi cenderung meningkatkan hasil (Tabel 2). Namun, tingkat efisiensi agronomis dan faktor produktivitas parsial N (FPP-N) semakin menurun. Peningkatan hasil dari skala BWD-3 menjadi BWD-4 berkisar 20− 27%, sedangkan dari BWD-4 menjadi
Tabel 2. Efisiensi agronomis (EA) pemupukan N pada padi sawah varietas IR64 di beberapa lokasi di Sumatera Utara. Hasil (t/ha)
Pengaruh pupuk N (t/ha)
0 80 80 40 70 100
3,12 5,14 5,48 4,32 5,22 5,50
− 2,02 2,36 1,20 2,10 2,38
− 25,20 29,50 29,90 29,90 23,80
− 64 69 108 74 55
Deli Serdang MH 1999/2000 Tanpa pupuk N 0 N diberikan 3 x 80 N diberikan 5 x 80 BWD-3 40 BWD-4 70 BWD-5 100
3,34 5,24 5,60 4,42 5,63 5,81
− 1,89 2,25 1,08 2,29 2,46
− 23,70 28,10 27 32,70 24,60
− 65 70 111 80 58
Langkat MH 1999/2000 Tanpa pupuk N 0 N diberikan 3 x 80 N diberikan 5 x 80 BWD-3 40 BWD-4 70 BWD-5 100
3,54 5,12 5,44 4,54 5,45 5,62
− 1,58 1,89 1 1,91 2,08
− 19,70 23,70 25,10 27,30 20,80
− 64 68 114 78 56
Lokasi/ perlakuan N
Takaran N (kg/ha)
Simalungun MK 1998 Tanpa pupuk N N diberikan 3 x N diberikan 5 x BWD-3 BWD-4 BWD-5
EA (kg gabah/kg N)
FPP-N (hasil gabah/ kg N)
FPP-N = faktor produktivitas parsial pupuk N. Sumber: Zaini dan Erythrina (2002).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
BWD-5 hanya 3−5%. Dilihat dari efisiensi agronomis, tampaknya perlakuan BWD-4 mampu memberikan hasil tertinggi (30 kg gabah/kg N), sedangkan bila dilihat dari FPP-N, BWD-3 memberikan nilai terbaik (rata-rata 111 kg gabah/kg N). Hasil penelitian Wahid et al. (2001) juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Sampai dengan skala BWD-5, hasil padi mencapai 7,31 t/ha dibanding skala BWD-4 yang hanya 6,52 t/ha. Berdasarkan hasil pengamatan warna daun selama di lapang, warna daun untuk BWD-5 tidak pernah mencapai skala 5 (Tabel 3). Hal ini menggambarkan bahwa penggunaan BWD-5 telah terjadi kelebihan pupuk N, yang sesuai pula dengan Zaini dan Erythrina (2002). Hasil kajian Wahid et al. (2000) dengan menggunakan skala BWD4,5 pada tanaman padi varietas Ciliwung di Kabupaten Enrekang menunjukkan bahwa BWD-4,5 dapat memberikan hasil 6,01 t/ha atau 10,20% lebih tinggi dari paket pemupukan rekomendasi, dan 21% lebih tinggi daripada hasil yang dicapai petani. Tingkat efisiensi penggunaan hara N pada BWD- 4,5 juga lebih tinggi, yaitu setiap 1 kg N dapat menghasilkan 54,60 kg GKG, sedangkan pada pemupukan rekomendasi, setiap kilogram pupuk N menghasilkan 53,40 kg GKG.
WAKTU DAN CARA PENGAMATAN DENGAN BWD DAN TAKARAN PUPUK Pengamatan dengan BWD dilakukan selang 7–10 hari setelah pemupukan pertama hingga tanaman bunting. Waktu pengamatan sebaiknya dilakukan pada pukul 08.00–10.00 dan 14.00–16.00 untuk menghindari kesalahan membaca akibat pantulan cahaya matahari. Pengamatan dilakukan dengan memilih secara acak 10 tanaman sampel yang sehat (tidak terinfeksi penyakit maupun terdapat gejala defisiensi/ keracunan hara selain N) dalam hamparan yang seragam. Alat diletakkan di belakang permukaan daun termuda yang sudah membuka, kemudian disesuaikan dengan skala warna sampai warna daun sama dengan warna alat (Gambar 1). Skala warna dicatat kemudian berpindah ke sampel tanaman lain hingga sampel ke-10. Apabila nilai rata-rata skala yang tercatat sama atau kurang dari skala yang ditentukan (4), maka tanaman padi perlu segera dipupuk. Pada saat membaca skala warna, daun harus dihindarkan dari cahaya matahari langsung. Caranya pengamat membelakangi arah matahari
sehingga daun terlindung oleh bayangan badan pengamat. Apabila hamparan petak sawah tidak seragam (heterogen), maka petak sawah dikelompokkan berdasarkan keseragamannya. Jumlah pupuk SP-36 dan KCl yang diberikan untuk pemupukan pertama (dasar) disesuaikan dengan takaran rekomendasi setempat. Pupuk diberikan sebelum tanam atau bersamaan dengan pemupukan N pertama yaitu pada umur 14 hari setelah tanam (HST) untuk padi tanam pindah dan 21 HST untuk tabela. Takaran pupuk N yang diberikan adalah 30 kg N/ha atau setara dengan 65 kg pertanaman urea untuk musim kemarau dan 23 kg N atau setara 50 kg urea untuk musim hujan. Apabila lokasi penanaman kekurangan S, maka pemupukan pertama disubstitusi dengan pupuk ZA. Pupuk susulan dengan takaran 45 kg N/ha atau setara 100 kg urea/ha untuk pertanaman musim kemarau dan 30 kg N/ ha atau setara dengan 65 kg urea/ha untuk musim hujan, diberikan pada saat hasil pengamatan BWD rata-rata di bawah nilai 4. Jadi pupuk susulan diberikan sesuai hasil pengamatan BWD. Pada periode pengamatan yang terakhir (fase primordia bunga atau mendekati fase bunting), apabila didapatkan skala daun di bawah
Tabel 3. Hasil pengamatan BWD skala 4 dan 5 selama percobaan lapang di Desa Nepo, Barru, Sulawesi Selatan MK 2000. Waktu pengamatan Pengamatan warna daun Umur 10 HST Umur 20 HST Umur 30 HST Umur 40 HST Umur 50 HST Umur 60 HST Umur 70 HST Takaran pupuk N (kg/ha) Hasil (t/ha) Penghematan N vs. rekomendasi (kg) FPP-N (hasil gabah/kg N) Keuntungan (Rp/ha)4 Biaya/kg gabah (Rp) R/C rasio
Rata-rata hasil pengamatan warna daun BWD-4
BWD-5
Rekomendasi3
Cara petani
Pupuk awal1 4,20 (tp) 2 3,80 (p) 4,10 (tp) 4,20 (tp) 3,80 (p) Sudah bunting 50 6,52 75
Pupuk awal 4,30 (p) 4,65 (p) 4,45 (p) 4,70 (p) 4,70 (p) Sudah bunting 110 7,31 15
Pupuk awal 4,20 4,50 4,30 4,35 4 Sudah bunting 125 7,28 −
− − − − − − Sudah bunting 102 5,64 13
130 3.838.100 373,10 2,68
67 4.192.400 381 2,62
56 3.685.000 400 2,50
55 3.359.400 407,10 2,46
Pupuk awal 10 kg N berasal dari pupuk ZA + 100 kg SP-36 + 50 kg KCl. (p) = dipupuk dengan takaran 20 kg N/ha; (tp) = tidak dipupuk. 3 100 kg urea + 50 ZA + 100 kg SP-36 + 50 kg KCl pada 10 HST kemudian pupuk susulan 150 kg urea/ha. 4 Asumsi harga pupuk (Rp/kg) urea, ZA, SP-36, dan KCl berturut-turut: Rp 1.100, 900, 1.500, dan 1.500. − = tidak diamati. Sumber: Wahid et al. (2001). 1 2
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
159
4, takaran pupuk dikurangi menjadi 30 kg N pada musim kemarau dan 20 kg N/ha pada musim hujan.
EFISIENSI PENGGUNAAN NITROGEN Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai hasil padi yang optimum, pemberian pupuk N berdasarkan hasil pengamatan warna daun (BWD) lebih efisien daripada pemberian N secara konvensional (terjadwal) atau cara petani. Tabel 2 memperlihatkan bahwa dari tiga lokasi percobaan di Sumatera Utara, pemupukan N secara terjadwal 3 dan 5 kali dengan takaran masing-masing 80 kg N/ ha, memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan BWD dengan takaran 40– 70 kg N/ha, kecuali BWD-5. Hasil penelitian di Maligaya, Filipina (Tabel 4) memperlihatkan bahwa dengan menerapkan BWD skala 4, petani kooperator dapat menghemat penggunaan pupuk N 10–53 kg N/ha atau sekitar 10– 58% dari takaran yang umum diterapkan oleh petani untuk mencapai produktivitas yang sama. Serangan penyakit bakteri bercak daun dan penyakit bergaris merah juga tidak banyak dijumpai pada petak yang menerapkan BWD (Morales 2000). Di Vietnam, petani kooperator yang menerapkan BWD-3 maupun BWD-4 pada musim kemarau dapat menghemat penggunaan pupuk N 18–43 kg N/ha atau 20– 40% dari cara petani setempat dengan tingkat produktivitas yang sama. Di Propinsi Cantho, tingkat produktivitas yang dicapai bahkan lebih tinggi dengan penghematan N 10–18 kg N/ha. Kartaatmadja et al. (2001) menyataan bahwa penerapan BWD dapat menghemat penggunaan pupuk N dalam usaha tani padi. Abdulrachman et al. (2001) juga melaporkan bahwa pemberian pupuk N berdasarkan status khlorofil daun dengan menggunakan SPAD meter atau BWD dapat menghemat pupuk urea 30– 40%. Wahid et al. (2001) melaporkan bahwa keuntungan usaha tani padi dengan menerapkan BWD-4 dan BWD-5 lebih tinggi daripada cara petani atau pemupukan sesuai rekomendasi (Tabel 3). Penghematan pupuk N dibandingkan dengan takaran rekomendasi sebesar 75 kg N (60%) untuk BWD-4 dan sekitar 15 kg N (12%) untuk BWD-5. R/C rasio yang dicapai dengan BWD-4 dan BWD-5 masing-masing adalah 2,68 dan 2,62, 160
Tabel 4. Perbandingan metode BWD dengan cara petani atau rekomendasi lokal dalam pengelolaan N pada tanaman padi di Filipina dan Vietnam, 1996−1999. Lokasi/ perlakuan
Takaran N (kg/ha)
Hasil (t/ha)
AEN
FPP-N
Penghematan N (kg/ha)
Maligaya, Filipina Tapin, MH 1996 (17 petani) 3,16 4,16 4,18
− 10 21
− 41 87
− − 53
Tapin, MH 1997 (12 petani) Kontrol 0 Cara petani 97 BWD-4 87
3,49 4,49 4,29
− 10 9
− 46 49
− − 10
Tapin, MH 1998 (11 petani) Kontrol 0 Cara petani 78 BWD-4 33
3,43 3,97 3,87
− 9 20
− 51 117
− − 45
Tapin, MH 1999 (11 petani) Kontrol 0 Cara petani 74 BWD-4 46
3,71 4,49 4,68
− 12 19
− 61 102
− − 28
Tabela, MK 1998 (6 petani) Kontrol 0 Cara petani 151 BWD-4 125
3,62 4,53 5,15
− 6 14
− 30 41
− − 26
Tapin, MK 1998 (14 petani) Kontrol 0 Cara petani 116 BWD-4 130
3,84 5,75 6,05
− 19 19
− 49 46
− − - 14
Tapin, MK 1999 (9 petani) Kontrol 0 Cara petani 121 BWD-4 135
3,33 5,10 5,30
− 15 16
− 42 39
− − - 14
107 64
4,87 4,91
− −
46 77
− 43
MK 1998 (10 petani) Cara petani 88 BWD-4 70
7,01 7,23
− −
79 103
− 18
MK 1999 (7 petani) Cara petani 99 BWD-4 70
6,34 6,31
− −
64 90
− 29
Distrik Omon dan Thotnot, MK 1999 (20 petani) Cara petani 108 4,44 − BWD-4 98 4,81 −
41 49
− 10
Distrik Huven, MK 1999 (18 petani) Cara petani 98 4,63 BWD-4 80 4,92
47 62
− 18
Kontrol Cara petani BWD-4
0 101 48
Vietnam Distrik Cai Lay MK 1997 (14 petani) Cara petani BWD-3
− −
Sumber: Morales (2000).
sedangkan pemupukan sesuai rekomendasi dan cara petani masing-masing 2,50 dan 2,46. Dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan setiap kilogram gabah, BWD-4 adalah yang
paling rendah (Rp 373), disusul BWD-5 Rp 381, takaran rekomendasi Rp 400, dan cara petani Rp 407/kg gabah. Umumnya petani dapat menerapkan pemupukan berdasarkan BWD. Faktor Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
pembatas penggunaan BWD adalah penentuan pengelompokan varietas, populasi/kepadatan tanaman, radiasi matahari antarmusim, status hara tanah dan tanaman, serta cekaman biotik atau abiotik karena dapat mempengaruhi warna daun.
KESIMPULAN DAN SARAN
tensitas warna daun yang berfungsi untuk mengetahui waktu pemupukan yang tepat. Untuk padi tanam pindah, titik kritis dengan menggunakan BWD berada pada skala 4 (varietas unggul semikerdil), untuk padi hibrida pada skala 4–5, dan untuk padi tabela pada skala 3. Pemberian pupuk N yang didasarkan pada skala BWD dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N 10−53% dibanding takaran rekomendasi.
Alat BWD mudah digunakan, murah, dan dapat diterima oleh petani. Kelemahan BWD adalah tidak dapat digunakan pada tanah kahat S atau P, kecuali masalah tersebut ditanggulangi lebih dahulu. Untuk memasyarakatkan metode pemupukan berdasarkan BWD, perlu diadakan pelatihan tentang cara penggunaan alat tersebut kepada petani.
Fageria, N.K. and B. Virupax. 1999. Nitrogen management for lowland rice production on an Inceptisol. Agricultural Research Service, USDA, NAA, AFSRC, Beaver.
management regimes. Contr. Centr. Res. Inst. Agr. Bogor 11: 1−14.
Bagan warna daun (BWD) merupakan suatu alat peraga untuk menduga in-
DAFTAR PUSTAKA Abdulrachman, S., Suparyono, I N. Widiarta, U. S. Nugraha, dan A. Hasanuddin. 2001. Teknologi untuk peningkatan produksi padi nasional. Lokakarya Padi: Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Sukamandi 22 Maret 2000. hlm. 49−67. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Anonim. 2000a. Penggunaan unsur hara yang tepat dalam pemupukan. Bahan Pelatihan Efisiensi Pemupukan dengan Penerapan LCC. Denpasar, 22−26 Mei 2000. IPPTP Denpasar, Bali. Anonymous. 2000b. Leaf color chart. Nutrient Management in rice. Trop Rice (Internet). Asis, O.R. 2001. Save P1.000 per ha with leaf color chart. Media Releases News. PhilRice Inst. Philippines. Rice Research Institute. Maligaya science 3119 Nueva Ecija, Philippines. Balasubramanian,V., A.C. Morales, and R.T. Cruz. 1998. Chlorophyll meter threshold values for N management in direct wet seeded, irrigated rice. Paper presented at the National CREMNET Workshop Cum Group Meetings. Directorate of Rice Research, Hyderabad, India, 7−9 January 1998. Balasubramanian, V., A.C. Morales, R.T. Cruz, and S. Abdulrachman. 1999. On-farm adaptation of knowledge-intensive nitrogen management technologies for rice systems. Nutr. Cycle Agroecosyst. 53: 93–101. Boyd, V. 2001. A low-tech, high tech tool. Economical leaf color chart helps you chek the crop for nitrogen. UC Farm advisor cass mutters. (rg mutters.ucdevis.edu@worldnet)
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
IRRI-CREMNET. 1998. Progress Report for 1997. International Rice Research Institute – Crop and Resource Management Network. IRRI, Los Banos, Philippines. Kartaatmadja, S., T. Alihamsyah, Suwarno, dan Sumarno. 2001. Strategi peningkatan produksi padi untuk keamanan pangan nasional. Lokakarya Padi. Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. hlm. 12−24. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Morales, T. 2000. Bagan warna daun alat yang mudah dan murah untuk pengelolaan N berdasarkan pertumbuhan tanaman padi. Bahan Pelatihan Penggunaan Chlorophyll Meter dan Bagan Warna Daun untuk Pengelolaan N pada Padi dan Teknik Pelaksanaan Lapang, Denpasar, 22–26 Mei 2000. IPPTP Denpasar, Bali. Mutters, C. 1999. Nitrogen Management in Akitakomachi. Butte County Rice Industry, Japan. Partohardjono, S. 1999. Upaya peningkatan efisiensi penggunaan pupuk nitrogen untuk menekan emisi gas N2O dari lahan sawah. hlm. 1−11. Dalam S. Partohardjono, J. Soejitno, dan Hermanto (Ed.). Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Partohardjono, S. and J.B. Fitts. 1974. Sulfur coated urea (SCU) effectiveness on yield of lowland rice grown under several water
Partohardjono, S., B.S. Soepardi, and A. Munandar. 1981. Effect of ordinary urea, granular urea, sulfur coated urea and urea briquet on the yield of PB26 lowland rice. Penelitian Pertanian 1(1): 10−12. Ramanathan, S.P. and R. Nagarayan. 2000. Assessment of chlorophyll meter-based N application at critical growth stages of irrigated transplanted rice. Paper presented at Second CREMNET India Workshop CumGroup-Meeting Held at the Soil and Water Management Research Institute, India, 24− 27 August 1999. Stevens, G., S. Hefner, and E. Tanner. 1999. Monitoring Crop Nitrogen in Rice Using Portable Chlorophyll Meters. Missouri Rice form 1997−98. University of Missouri-Delta Center. Wahid, A.S., Nasruddin, dan S. Saenong. 2000. Pengkajian uji adaptif teknologi budi daya padi gogo rancah pada sawah tadah hujan di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian Kerja Sama IPPTP Makassar dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Sulawesi Selatan. (Tidak dipublikasikan). Wahid, A.S., Nasruddin, dan S. Saenong. 2001. Efisiensi dan diseminasi pemupukan nitrogen dengan metode LCC pada tanaman padi sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 4(2): 108−117. Zaini, Z. dan Erythrina. 2002. Panduan Teknis Penggunaan Bagan Warna Daun untuk Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Urea pada Tanaman Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
161