Seminar Nosional Peternakan dan Veleriner 7997
PENINGKATAN AKTIVITAS MIKROBA RUMEN MENGGUNAKAN KECAMBAH KACANG HIJAU BuDI HARYANTO, A. PRABOWO, S. SITORUS, A. DIAJANEGARA
dan Y .
WIDIAWATI
Balai Penelitian Terak, P.O . Box 221, Ciawi-Bogor
RINGKASAN Pemanfhatan komponen serat pakan oleh ternak nuninansia ditentukan oleh aktivitas selWolitdc nukroba rumen: Disamping itu efisiensi pemanfaatan pakan juga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien,untuk proses metabolisme didalam jaringan tubuh ternak . Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi peningkatan aktivitas ensim selulase melalui induksi sintesis ensim . Dm puluh ekor dornba jantan dengan rataan berat badan 18 kg dibagi menjadi 5 kelompok untuk menguji 4 macam perlakuan induksi aktivitas ensima mikroba nimen menggunakan selobiosa (3 dan 6 ppm dari konsumsi selulosa) clan. kecambah kacang hijau (50 dan 100 g/ekor/hari) . Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan erat badan dan kecepatan pertambahan berat badan per hari paling tinggi dicapai oleh kelompok domba yang mendapatkan selobiosa 3 ppm . Disimpulkan bahwa peningkatan aktivitas selulolitik dapat dilakukan melalui penambahan selobiosa sebagai induser biosintesis selulase . Tingkat penambahan kecambah kacang hijau sampai dengan 100 g/ekor/hari cenderung menurunkan aktivitas seulolitik mikroba rumen dibandingkandengan pemberian 50 g/ekor/hari . Kata kunci: Selulolitik, induksi
PENDAHULUAN Komponen serat dalam pakan nuninansia inentpakan sumber energi bagi ternak setelah mengalanti proses degradasi dan fermentasi oleh mikroba rumen. Asam lemak mudah terbang (volatile fatty acids' _ 'VFA) adalah produk fermentasi komponen serat melalui suatu sistim hidrolisis enshnatis mikroba. ,Di dalam rumen, mikroorganisme yang berperan dalam proses fernentasi dapat dibedakan menjadi kelompok bakteria, protozoa clan fungi dengan kemampuan masing-masing : untuk menghasilkan ensim selulase . Mikroorganisme yang mampu menghasilkan ensim selulase, funggal maupun kombinasi dari beberapa komponen selulase, disebut sebagai mikroorganisme selulolitik. Kemampuan selulolitik mikroorganisme tersebut ditentukan oleh jumlah dari kesempurnaan ensima selulase yang dihasilkan . Disamping itu, kemampuan mikroba untuk melekat pada komponen serat (adhesion) merupakan awal proses degradasi komponen serat yang penting (CHENG et al ., 1981). Untuk meningkatkan kemampuan selulolitik mikroba rumen dapat dilakukan stimulasi biosintesis ensima tersebut menggunakan senyawa atau bahan yang dapat berperan sebagai' induser . misalnya selobiosa. Sementara itu, degradasi mikrobial protein pakan dapat dikurangi melalui proses perlindungan protein pakan menggunakan senyawa yang dapat menghambat kerja ensim protease yang dihasilkan mikroba rumen, atau menghambat perkembangan mikroba proteolitik di dalam rumen . Mekanisme biosintesis ensima selulase pada mikroorganisme yang dapat memanfaatkan komponen serat (NDF) telah digambarkan (,TONG dan TsAo (1979) . Biosintesis ensima selulase ini diatur oleh stnlktur gen yang mempunyai sifat dapat diinduksi atau direpresi . Perangsang biosintesis 627 I
SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1997
ensima selulase dapat bentpa senyawa antara dalam proses hidrolisis polisakarida (selulosa), misalnya selobiosa . Sophorosa, laktosa clan glukosa juga dilaporkan dapat berperan sebagai inducer. Tingkat penggunaan selobiosa sebagai perangsang biosintesis ensima selulase beltun diketahui -secara tepat, namun MANDEL.S clan REESE (1960) yang dikutip oleh GoNC clan TSAo (1979) menyebutkan bahwa dalam jumlah kecil selobiosa dapat berfungsi sebagai perangsang sedangkan dalam jumlah . besar berperan sebagai penghambat. Degradasi komponen serat diawali oleh proses pelekatan (attachment) bakteri penghasil ensima selulase pada partikel pakan (CHENC et al., 1990). Pelekatan ini terjadi melalui peranan glikokalix bakteria pada permukaan partikel pakan, atau karena adanya "cellulose binding domain" yang terdapat pads ensima selulase . Dengan pelekatan bakteria pada permukaan partikel pakan tersebut, selulase yang dihasilkan dapat langsung berfungsi pada substratnya sehingga segera dihasilkan produk hidrolisk yang terlarut pada cairan rumen . Produk tersebut merupakan substrat bagi mikfoorganisme lain (secondary microbes) sehingga akan terjadi koloni yang lebih besar dengan jenis mikroba vang lebili beragam . Struktur dinding sel tanaman (NDF) dengan kandungan lignin bervariasi menurut species tanaman serta umur fisiologisnya juga menentukan nilai kecernaan mikrobial rumen . Kandungan lignin yang meningkat dengan umur tanaman menyebabkan kecernaan selulosa menurun clan fraksi selulosa yang potensial dapat dicerna (potentially digestible cellulose fraction) juga menjadi lebih rendah . Dalam upaya peningkatan pemanfaatan komponen serat ini perlu didorong pertumbuhan mikroba rumen yang dapat menghasilkan ensima selulase. Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh ketersediaan unsur nitrogen clan energi (dalam bentuk Adenosin Triphosphate = ATP). ATP merupakan bentuk energi phosphat yang antara lain dihasilkan dari adanya proses phosphorilasi clan dephosphorilasi dalain proses fermentasi polisakarida . Ketersediaan ATP akan lebih banyak apabila proses degradasi komponen serat menjadi fraksi serat dengan berat molekul yang rendah (low molecular weight fraction) seperti oligosakarida juga berlangsung lebih cepat. Ketersediaan unsur lain (seperti nitrogen/NH3 clan mineral) akari mendorong pertumbuhan mikroba lebih lanjut yang pada gilirannya akan dapat dihasilkan ensima selulase dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Mikroba nunen terdiri dari banyak spesies dengan aneka ragam fungsi clan fdak semua mikroba berperanan secara mutualistis . Persaingan (antagonistik) antar spesies mikroba tertentu terjadi karena keterbatasan substrat atau predasi satu spesies terhadap yang lainnya . Pertumbuhan spesies mikroba yang lebili cepat mungkin akan menghambat pertumbuhan spesies mikroba yang lain. Kondisi lingkungan rumen (pH, konsentrasi asam lemak mudah terbang, NH3, tekanan osmotik) juga mempenganihi pola pertumbuhan masing-masing spesies mikroba . Keseimbangan mikroba dalam rumen menipakan faktor penentu tingkat pemanfaatan zat pakan melalui proses fermentasi. Respon ternak dalam bentuk periambahan berat badan din parameter produksi yang lain merupakan manifestasi dari pemanfaatan zat pakan tersebut . Pemanfaatan selobiosa sebagai perangsang biosintesis ensima selulase (HARYANTo, 1995) menunjukkan bahwa penggunaan larutan selobiosa sebesar 3 ppm (parts per million) dari konsumsi selulosa memberikan respon pertumbuhan berat badan domba yang paling tinggi dibandingkan t4npa penggunaan selobiosa maupun pada tingkat 1 atau 6 ppm . Kecernaan lignoselulosa (ADF) juga lebih tinggi . Berdasarkvr hasil pengamatan ini diduga bahwa balm pakan sumber polisakarida yang mudah didegradasi sehingga terbentuk selobiosa dapat pula digunakan sebagai perangsang biosintesis ensima selulase, antara lain tanaman muda seperti kecambah biji-bijian . 628
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji peranan selobiosa dan., kecambah kacang hijau sebagai perangsang biosintesis ensima selulase serta kemungkinan penghambatan degradasi protein pakan oleh mikroba rumen . MATERI DAN METODE Selobiosa dalam bentuk larutan digunakan sebagai pembanding sumber selobiosa alarm dalam bentuk tanaman muda, yaitu kecambah kacang hijau. Dua puluh (20) ekor domba jantan dengan rataan berat badan 18,5 _+ 2,48 kg dikelompokkan menjadi 5 berdasarkan berat badan. Selobiosa dan kecambah kacang hijau diberikan pada ternak, masing-masing Main dua tingkat yaitu larutan Selobiosa setara dengan 3 dan 6 ppm dari konsumsi selulosa harian, dan 50 atau 100 g kecambah kacang hijau per ekor per hari. Rumput raja (Pennisetum purpuphoides) diberikan ad libitum . Pakan konsentrat komersial dengan kandungan protein 17% dan TDN 68% diberikan kepada semua temak sebanyak 100 g/ekor/hari . Komposisi kimia rumput raja, kecambah kacang hijau dan konsentrat komersial yang digunakan dalam peneftian ini ditunjukkan dalam Tabel 1 . Tabel 1.Komposisi kimia rumput raja, kecambah kacang hijau dan konsentrat komersial (% dari bahan kering) Parameter NDF ADF Protein Abu
Rumput Raja 16,28 47,11 10,13 13,17
Kecambali kacang hijau 28,14 13,26 35,98 6,03
Konsentrat komersial 53,75 11,74 17,23 6,80
Jumlah pemberian rumput dan sisanya dicatat setiap hari. Berat badan domba ditimbang setiap minggu . Air minuet, tersedia setiap saat . Pengumpulan data produksi feses dilakukan pads minggu ke-12, selama 7 hari menggunakan metode "total fecal collection" . Contoh feses, pakan dan sisa pakan dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 48 jam. Analisa neutral detergent fiber (NDF) dan acid detergent fiber (ADF) dilakukan menurut metode GOERINo dan VAN SOEST (1970) yang dimodifikasi vAN SoEsT dan ROBERTSON (1980), sedangkan protein dianalisa menggunakan metode semi-mikro KiELDAHL (AoAc, 1984). Konsentrasi ammonia di dalam cairan rumen dianalisa menggunakan,metobe milcrodifusi (CoNwAy, 1957), sedangkan derajad keasaman (pH) cairan rumen ditentukan dengan menggunakan pH-meter. Data dianalisa statistik menggunakan rancangan kelompok (STEEL dan TORRIE, ' 1980) menggunakan prosedur General Linear Model (SAs, 1987). HASIL DAN PEMBAHASAN Respon ternak domba dalamn bentuk pertambahan berat badan selama periode penelitian selama 12 minggu ditunjukkan dalam Tabel 2. Pertambahan berat badan menunjukkan bahwa pemberian rumput raja sebagai hijauan basal dengan tambahan pakan konsentrat sebanyak 1017 g/ekor/hari belum mampu mendorong ternak 629
3ensnarNasional Peternakan-danVeteriner1997
untuk memberikan respon produksi yang optimal . Hat ini dinyatakan dcngan keoepatan per7ambahan berat badan harian rata-rata yang hanya 50 g. Angka ini sebenarnya masih `lebih tinggi ± 30% clibandingkan dengan pemberian pakan tradisional pada kondisi pvdesaan ~OBST et al., 1980). Namun demikian, sebenarnya masih dapat ditingkatkan lebih tinggi -1agi . HARYANTo (1992) melaporkan bahwa pertambahan berat badan,harian domba lokal dapat mencapai sekitar 115 g. Kualitas hijauan yang diber kan mempengaruhi respon produksi te.mak. Pertambahan berat badan selama 12 minggu periode penelitian tertinggi (4,22 kg) ditunjukkan pada kelompok domba yang mendapatkan tambahan larutan selobiosa sebanyak 3 ppm dari konsumsi selulosa . Tabel 2 . Pertambahan berat badan domba clan konsumsi bahan kering hijauan selama penelitian Parameter Berat awal, kg Berat akhir, kg PBB, kg PBBH, g Konsumsi BK, kg Konsumsi harian, g/ekor Bahan Kering NDF Konsumsi BK ; % BB Keterangan :
A
B
18.18 22,40 4,22 50,24 19,75 408 291 1,83
Perlakuan
C
D
18,76 22,82 4,06 48,33 19,50
18,12 22,06 3,94 46,90 17 ;60
18,90 22,34 3,44 40,95 17,60
421 300 1,82
373 264 1,71
384 272 1,69
A: penambahan 3 ppm selobiosa ; B : penambahan 6 ppm selobiosa; C : peruunbahan kecambah kaeang hijau 100 g/ekor/hari ; D : penambahan kecambah kaeang hijau 50 g/ekor/hari
Tabel 3. Kecernaan bahan kering clan komponen serat (NDF clan ADF) Parameter Kecemaan, Bahan Kering NDF ADF
B 53,03 55,03 42,04
Perlakuan
46,12 48,73 34,18
C 52,94 55,12 43,11
56,51 59,29 47,91 .
Keteran=an : A : penambahan 3 ppm selobiosa ; B : penambahan 6 ppm selobiosa; C: penambahm kecainbah kaeang hijau . 100 g/ekorftiari; D: penambahan keambah kaeang hijau SO g/ekor/hui
Berdasarkan nilai konsumsi nutrien yang dapat dicerna serta parameter biologis lainnya, rendahnya pertambahan berat badan yang dicapai adalah wajar. Konsumsi serat tercerna (g/hari) berturut-tunit adalah 163, 152, 146 clan 166 untuk kelompok perlakuan A, B, C clan D. Hasil pengamatan konsentrasi amonia di dalam cairan rumen menunjukkan variasi dari 18,1 sampai dengan 22,3 mM dengan rataan masing-masing portakuan 21,8; 18,1 ; 22,3 clan 18,2 mM untuk perlakuan A, B, C clan D. Sernentara itu, pH c aimn rumen bervariasi dari 5,94 sampai dengan 6,12 . Nilai kecenlaan komponen serat (NDF, selulosa clan henuselulosa) ditunjukkan dalam Tabel 3 . 630
Seminar Nasional Feternakan don Veteriner 1997
Kecrnaan bahan: kering, NDF dan ADF yang tidak berbeda antar perlakuan disebabkan oleh kisaran nilai kecernaan yang luas, karena adanya seekor domba yang memberikan nilai kecernaan yang jauh menyimpang dari rataan pada masing-masing perlakuan . Apabila data yang menyimpang tersebut dianggap -sebagai outlier dan tidak diikutsenakan dalam analisa statistik, maka didapatkan perbedaan yang nyata (P<0,05) pads nilai kecernaan bahan kering, NDF dan ADF (Tabel 4). Nilai kecernaan NDF clan ADF yang relatif rendah tersebut kemungkinan disebabkan oleh kualitas rumput Raja yang digunakan sebagai hijauan basal. Penambahan kecambah kacang hijau sebanyak 50 g/ekor/hari ~memnjukkan nilai kecernaan NDF yang lebih tinggi dibandingkan pemberian tambahan selobiosa pada tingkat 3 ppm dari konsumsi selulosa. Penambahan kecambah kacang hijau pada tingkat yang lebih tinggi (100 g/ekor/hari) justru menurunkan kecernaan NDF : Diduga bahwa degradasi selulosa dari kecambah kacang hijau menghasilkan selobiosa dalam jumlah yang cukup untuk memberikan rangsangan biosintesis ensima selulase . Tabel 4. Kecernaan*bahan kering, NDF clan ADF terkoreksi Parameter Kecrnaan, Bahan Kering NDF ADF Keterangan r A :
A
B
48,4" 6 50,6'6 36,36
42,86 45,3 6 28,56
Perlakuan
C
D
48'gab 51,3°6 38,4ab
60,0° 63,2' 52,7'
penambahan 3 ppm selobiosa; B: penambahan 6 ppm selobiosa; C : penambahan kecambah kacang hijau 100 g/ekor/hari; D: penambahan kecambah kacang hijau 50 g/ekor/hari
Angka yang diikuti oleh hurufyang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Hal ini merupakan phenomena yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut karena dengan demikian akan dapat dilakukan manipulasi proses fermentasi komponen serat pakan dengan car' sederhana dan mudah dilaksanakan. Perlu diketahui lebih lanjut tingkat degradabilitas selulosa dari kecambah kacang hijau pada berbagai umur perkecambahan maupun dari berbagai jenis bijibijian lain. Tingkat pemberian kecambah kacang hijau sebanyak i00 g/ekor/hari mungkin menghasilkan selobiosa dalam jumlah yang terlalu besar untuk berperan positif dalam merangsang biosintesis ensima selulase. Perkiraan jumlah selobiosa yang diperoleh dengan penambahan 50 g kecambah kacang hijau per ekor/hari adalah sekitar 5 ppm, berdasarkan asumsi bahwa 25% kecambah kacang hijau yang diberikan akan segera dimakan pada 10 menit pertama,. 10% komponen selulosa (ADF) akan mengalami degradasi secara cepat dengan laju degradasi sebesar 41/6/jam . Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kecambah kacang hijau sebagai sumber selobiosa memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kecernaan NDF . Perbedaan kecernaan NDF sebagai dampak dari pemberian selobiosa dalam bentuk larutan dan kecambah kacang hijau menunjukkan adanya faktor lain yang ikut berperan, misalnya ketersediaan NH3 yang lebih tinggi dari protein kecambah kacang hijau tersebut . Meskipun demikian; penelitian lebili lanjut masih diperlttkan untuk meyakinkan dugaan tersebut: Pemberian kecambah kacang hijau sebanyak 100 g/ekor/hari yang tidak disertai dengan ketersediaan energi yang cukup menyebabkan pertumbuhan mikrbea rumen tidak optimal yang pada gilirannya justru menghambat pertumbuhan mikroba sehingga ketersediaan ensim pemeeah serat berkurang . Kadar amonia yang didapatkan dari data terkoreksi adalah 23,12
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
mM apabila diberikan 100 g kecarnbah kacang hijau per ekor/hari dibandingkan 17,63 MM amonia pada domba yang diberi 50 g kecambah .kacang hijau per ekor/hari . Konsumsi bahan kering yang berkisar dari 1,2 sampai dengan 2,1 % dari berat badan, menunjukkan bahwa jumlah bahan kering yang dikonsumsi belum mencukupi kebutuhan (± 3% dari berat badan). HARYANTO (1992) menda-patkan total bahan kering dalam saluran pencernaan domba kurang lebih adalah 2,3% dari berat badan. Kecernaan NDF yang relatif rendah dengan konsumsi bahan kering yang readah kemungkman berkaitan dengan lambatnya degradasi partikel pakan dan laju aliran digesta. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa aktivitas selulolitik mikroba rumen dapat ditingkatkan dengan penambahan larutan selobiosa. Penambahan kecambah kacang hijau sebagai bahan alarm untuk merangsang aktivitas selulolitik mikroba rumen cukup diberikan dalam jumlah kurang dari 100 g/ekor/hari, dimana penambahan tersebut setara dengan penambahan selobiosa sebanyak 5 ppm . Data dasar kerampuan berbagai bahan alarm untuk merangsang biosintesis ensima selulolitik mikroba rumen sangat diperlukan. Untuk itu disarankan adanya penelitian degradabilitas selulosa berbagai kecambah biji-bijian pada umur tertentu sehingga dapat digunakan untuk menentukan kuantitas selobiosa yang cukup untuk merangsang biosintesis selulase mikroba rumen . UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. K. Sumanto yang telah membantu penanganan ternak, serta kepada Sdr . Abdurahman, Nina Marlina, Haryono dan . Surayah yang telah membantu dalam analisa labpratorium . DAFTAR PUSTAKA AoAc. 1984. Official Methods of Analysis. 14th ed. Association ofOfficial Analytical Chemists. Washington, DC. CrrENG, K-J., T.A. McALLISTER, H. Kuno and J.W. COSTERTON . 1990. The importance of adhesion in the microbial digestion of plant materials . In: The rumen Ecosystem. S. Hoshino, R. Onodeta, H. Minato and H. Itabashi (eds) . JapanSci . Soc . Press. Tokyo. 129-135 . CoNwKAY, E.J. 1957. Microdiffusion analysis and volumetric error. 4th ed. Cosby Lockwood and Son Ltd. London. p 98 . GOERING, H.K . and P.J. VAN SOEST. 1970. Forage fiber analysis (apparatus, reagents, procedures and some applications). USDA Agric. Handbook . No. 379 . Washington, D.C. USA. GONG, C.S. and G.T. TsAo . 1979. Cellulase and biosynthesis regulation. Ann . Reports on Fermentation Processes. Vol . 3:111-140 . HARYANTo, B. 1992. Pengaruh tutgkat penambahan btlqgkil kedelai berformaldehid pada pakan konsentrat komersial terhadap produksi karkas domba. Pros. Optimalisasi Sumberdaya dalam Pembangunan Peternakan Menuju Swasembada Protein Hewani . ISPI Cabang Bogor .
632
Seminar NasionalPerernakan don Vereriner 1997
Growth response of sheep fed Peruiisetum purpuphoides supplemented with cellobiose . Manuscript presented to the 2nd International Conference of Agricultural Biotechnology. Jakarta.
HARYANTO, B. 1995 .
and T. BoyEs. 1980 . Survey of sheep and goats slaughtered at Bogor, West Java, Indonesia. Report No . 10 . Centre of Animal Research and Development. Bogor. Indonesia.
OBST, J.M ., T.D . CHANIAGo SAS.
1987. SAS user's guide for personal computers, SAS Institute. Cary. North Carolina . USA. L.D . and L.L. SLYTER . 1974 . Effect of ammonia concentration on rumen microbial protein production in vitro. Br . J. Nutr . 32 : 199-208.
SATTER, STEEL,
R.G .D . and J.H . York .
TORRIE.
1980. Principles and Procedures of Statistics . McGraw-Hill Book Co . New
and J.B . ROBERTSON. 1980 . System of analysis for evaluating fibrous feeds. Proc . Standardization of analytical methodology for feeds. Pigden, W.J ., C .C . Batch and M. Graham (eds). IDRC 134e. Ottawa . Canada. pp 49-60.
VAN SOEST, P.J . .