PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM)
ASRI BULIYANSIH E 14201020
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
63
RINGKASAN
Asri Buliyansih. E14201020. Penilaian Dampak Kebakaran Terhadap Sifat Biologi Tanah dengan Metode Forest Health Monitoring (FHM). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina,M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda,M.Si. Kebakaran hutan merupakan peristiwa yang telah berulangkali terjadi di Indonesia dan sampai saat ini belum tertanggulangi dengan baik. Frekuensi dan luasan hutan yang terbakar cenderung meningkat. Pada tahun 1998 luasan hutan yang terbakar mencapai angka 10 juta ha. Salah satu penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah penggunaan api dalam penyiapan lahan terutama untuk pertanian. Salah satu dampak kebakaran hutan yang terjadi adalah kerusakan tanah sebagai habitat bagi makhluk hidup di hutan. Binatang tanah merupakan organisme yang hidup di tanah dan sangat dipengaruhi oleh kondisi tanahnya, sehingga kebakaran hutan akan sangat berdampak terhadap binatang tanah. Dampak kebakaran hutan terhadap binatang tanah dapat berupa berkurang, hilang atau bertambahnya jenis binatang tanah. Untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terutama terhadap binatang tanah
dapat
dilakukan
pemantauan
terhadap
kesehatan
hutan
dengan
menggunakan metode Forest Health Monitoring (FHM). Adanya FHM diharapkan informasi yang akurat tentang biodiversitas binatang tanah setelah terbakar dapat diperoleh, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengelolaan hutan bekas terbakar tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) menunjukkan bahwa pada plot terbakar terdapat 1018 individu dari 14 ordo dan 23 famili yang didominasi oleh Formicidae (semut) dan Lumbricidae (cacing tanah). Pada plot tidak terbakar terdapat 672 individu dari 17 ordo dan 30 famili yang didominasi oleh Lumbricidae. Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran di HPGW ini menyebabkan penurunan jumlah famili sebesar 23.33%, penurunan jumlah ordo sebesar 17,65% dan kenaikan jumlah individu sebesar 51,49%.
64
Analisis nilai kelimpahan, Richness, Diversity dan Evenness Indices rata-rata pada kedua plot untuk tanah dan serasah menunjukkan bahwa richness index antara kedua plot berbeda nyata, dan Evenness index untuk serasah pada kedua plot berbeda sangat nyata, sementara nilai rata-rata indeks lainnya tidak berbeda nyata. Nilai Richness rata-rata dan Evenness indices pada plot tidak terbakar lebih besar daripada plot terbakar. Hal ini merupakan dampak kebakaran yang menyebabkan hilangnya beberapa famili/ordo akibat pemanasan pada tanah dan serasah yang mematikan makrofauna tanah dan merusak habitat hidupnya. Kebakaran hutan yang terjadi termasuk fire low severity terlihat dari kondisi tegkan yang cukup baik. Berdasarkan definisi hutan yang sehat maka secara umum tegakan hutan bekas terbakar masih dapat menjalankan fungsinya sehingga dapat dikatakan sehat.
65
PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM)
Skripsi Sebagai Salah satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
ASRI BULIYANSIH E 14201020
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
66
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian
: Penilaian Dampak Kebakaran Terhadap Makrofauna Tanah Dengan Metode Forest Health Monitoring
(
FHM ) Nama mahasiswa
: Asri Buliyansih
Nomor Pokok
: E14201020
Menyetujui : Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr.Ir.Lailan Syaufina, M.Sc
Dr.Ir.Noor Farikhah Haneda, M.Si
NIP. 131849392
NIP. 131902368
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131430799
Tanggal Lulus :
67
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Muara Kibul, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi pada tanggal 04Oktober 1983 yang merupakan anak pertama dari pasangan Ahmad Sigli dan Rabiah. Penulis menyelesaikan sekolah Dasar (SD) di SD Negeri No.23 Rantau Panjang pada tahun 1995, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri No.883 Rantau Panjang pada tahun 1998 dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMU Negeri 1 Kotamadya Jambi pada tahun 2001. Penulis
diterima
menjadi
mahasiswa
Fakultas
kehutanan,
Departemen Manajemen Hutan dengan Program Studi Budidaya Hutan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB ( USMI ). Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Dewan Keluarga Mushola (DKM) Al Hurriyyah, DKM Ibaadurrahmaan, dan Forest Student Management Club (FMSC). Selain itu, penulis juga pernah menjadi Senior Residence (SR) di Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) - IPB. Saat ini penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir Departemen Manajemen Hutan, program studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) di Fakultas Kehutanan IPB.
68
KATA PENGANTAR Kebakaran hutan dan lahan yang semakin meningkat beberapa waktu belakangan ini telah menimbulkan dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Dampak yang terlihat jelas adalah terhadap ekosistem pada hutan dan lahan yang terbakar. Terpengaruhnya kondisi ekosistem ini juga menyebabkan perubahan terhadap makhluk hidup seperti binatang tanah yang ada pada areal terbakar tersebut. Penelitian yang berjudul “Penilaian Dampak Kebakaran Terhadap sifat Biologi Tanah Dengan Metode Forest Health Monitoring ( FHM )” ini dilakukan di areal hutan bekas terbakar di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data yang akurat dan terbaru tentang kondisi hutan bekas terbakar terutama kondisi biologi tanahnya serta monitoring terhadap kesehatan hutannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang aktual dan berguna dalam perencanaan pengelolaan hutan khususnya di HPGW sendiri dan sebagai masukan bagi pengelolaan hutan bekas terbakar di Indonesia. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi yang membacanya dan dapat menjadi acuan untuk penelitian-penelitian yang serupa.
Penulis
69
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan sehingga penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan ini bisa selesai dengan baik. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah mendukung saya, oleh karena itu saya ucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua saya (Amak dan Ayah), adik-adik saya (Abang, Dodi dan Juli) serta seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan dorongannya pada saya 2. Dr.Ir. Lailan Syaufina, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda,M.Si atas bimbingannya dalam penulisan skripsi ini. 3. Penguji ujian komprehensif saya, Lina Karlinasari, S.Hut, M.Sc wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Rachmad Hermawan, M.ScF wakil
dari
Departemen
Konservasi
Sumberdaya
Hutan
dan
Ekowisata 4. Pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian. Pak Wardana, Bu Ely, dan Bu Atikah atas semua bantuan dan kemudahan peminjaman peralatan penelitian. 5. Teman-teman satu bimbingan, BDH 38 dan khususnya saudarisaudariku yang dipertemukan karena Allah atas semua dukungan dan bantuannya. 6.
Keluarga besar DKM Ibaadurrahmaan yang telah memberikan perhatian dan rasa kekeluargaan yang begitu mandalam, semoga ukhuwah kita tetap terjaga.
70
7. Teman-teman seperjuangan di Wisma Arofah yang telah banyak menghibur dan memberikan motivasi serta kenyamanan sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar. 8. Proyek Penelitian Hibah Bersaing XII, Dirjen DIKTI, DEPDIKNAS, atas dukungan finansialnya pada sebagian dari penelitian ini Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi yang membacanya.
71
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................i DAFTAR TABEL ................................................................................................iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................iv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................v I. PENDAHULUAN ............................................................................................1 A. Latar Belakang............................................................................................1 B.Tujuan ..........................................................................................................3 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................4 A. Kebakaran Hutan .......................................................................................4 B. Sifat Biologi Tanah......................................................................................7 C. Dampak Kebakaran....................................................................................11 D. Forest Health Monitoring ( FHM ).............................................................19 III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................23 A. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................................23 B. Bahan dan Alat .........................................................................................23 C. Metode Penelitian .....................................................................................23 V. KONDISI UMUM LOKASI ...........................................................................32 A. Letak dan Luas ..........................................................................................32 B. Geologi dan Tanah.....................................................................................33 C. Topografi....................................................................................................34 D. Iklim dan Curah Hujan.............................................................................34 E. Flora dan Fauna.........................................................................................36 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................37 A. Kejadian Kebakaran .................................................................................37 B. Analisis Sifat Fisik Tanah..........................................................................38 C. Dampak Kebakaran Terhadap Makrofauna tanah .................................39
72
VII. KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................59 A. Kesimpulan ................................................................................................59 B. Saran .........................................................................................................60 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................61 LAMPIRAN .........................................................................................................63
DAFTAR TABEL
73
No
halaman
1.
Aktivitas masing-masing biota tanah dalam
.
siklus nutrien dan pembentukan struktur tanah....................... ........11
2.
Kelas tekstur tanah dengan metode rabaan ......................................27
3.
Data curah hujan dan hari hujan rata-rata tahun 2000 – 2002 . ........36
4.
Data curah hujan dan hari hujan rata-rata tahun 2003 – 2005 . ........36
5.
Analisis tanah dan suhu ......................................................... ........39
6.
Parameter yang berpengaruh terhadap makrofauna tanah ...... ........40
7.
Kelimpahan makrofauna tanah pada plot pengamatan ............ ........41
8.
Kelimpahan makrofauna tanah pada serasah .......................... ........45
DAFTAR GAMBAR
74
No
halaman
1.
Segitiga api...........................................................................................4
2.
Bentuk klaster FHM (USDA Forest Servis, 1997 dalam Supriyanto et al, 2001) ..............................................................30
3.
Ekstraksi makrofauna tanah dengan metode corong Barlese .................31
4.
Kelimpahan Makrofauna tanah .............................................................42
5.
Kelimpahan Makrofauna tanah Pada Serasah........................................46
6.
Nilai Kelimpahan Rata-rata Makrofauna tanah .....................................48
7.
Nilai Richness Index Rata-rata Makrofauna tanah ................................51
8.
Nilai Diversity Index Rata-rata Makrofauna tanah ................................53
9.
Nilai Evenness Index Rata-rata Makrofauna tanah................................57
10. Kelimpahan Makrofauna Tanah pada Masing-Masing Plot ...................58
75
DAFTAR LAMPIRAN No
halaman
1. ..........................................................................................................Reka pitulasi Makrofauna tanah..................................................................63 2. ..........................................................................................................Data Analisis Makrofauna tanah ................................................................65 3. ..........................................................................................................Data Analisis Uji T ....................................................................................73 4. ..........................................................................................................Gam bar-gambar Makrofauna tanah ...........................................................77
76
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan bukanlah suatu hal yang baru terjadi di hutanhutan di Indonesia. Bukti ilmiah pendataan karbon radioaktif dari endapan arang di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan dataran rendah telah berulangkali terbakar paling sedikit 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode glasial kuarter (Goldammer, 1990) dalam (FWI, 2001). Tetapi, kebakaran yang terjadi tentu saja berbeda dengan kebakaran hutan saat ini. Penggunaan api secara intensif terutama dalam kegiatan konversi lahan menyebabkan semakin meluasnya kebakaran yang terjadi di Indonesia. Sejak November 1982-April 1983, Agustus 1990, Juni-Oktober 1991, AgustusOktober 1994 dan September-November 1997 ( Februari-Mei 1998 ) kebakaran hutan dan lahan semakin luas dan menyebar. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan dampak seperti gangguan kesehatan, tercemarnya lingkungan, terganggunya aktivitas ekonomi serta hilangnya biodiversiti. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997/1998 (data World Bank, 2001) disebabkan oleh konversi lahan dalam skala besar (34%), perladangan berpindah (25%), pertanian menetap (17%), konflik sosial dengan masyarakat setempat (14%), transmigrasi (8%) dan penyebab alami (1%). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan sangat besar karena sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tergantung pada pertanian dan cara paling mudah dalam penyiapan lahannya adalah dengan menggunakan api. Selain itu pembukaan lahan dalam skala besar dengan menggunakan api untuk penyiapan lahan masih berlangsung seperti pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit. Di atas telah disebutkan beberapa dampak dari kebakaran hutan dan lahan itu sendiri. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah hilangnya biodiversiti dan rusaknya habitat makhluk hidup. Kerusakan tanah merupakan contoh kerusakan habitat yang terjadi. Hal ini berdampak pada keberadaan makhluk hidup di permukaan ataupun di bawah permukaan tanah. Kebakaran permukaan menyebabkan hilangnya vegetasi yang menutupi tanah, jika suhu yang dihasilkan tinggi atau cukup tinggi untuk memanaskan tanah sampai ke bawah permukaannya dalam jangka waktu tertentu maka akan sangat berpengaruh pada sifat biologi tanah khususnya organisme tanah seperti serangga tanahnya. Suhu kebakaran yang melebihi suhu letal serangga-
77
serangga tanah tersebut akan menyebabkan kematian. Hal ini dapat menyebabkan berkurang atau bahkan menghilangkan jenis-jenis serangga tanah tertentu. Hilangnya serangga-serangga tanah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem. Manfaat serangga-serangga tanah seperti pendekomposisi bahan organik, berperan dalam siklus nitrogen termasuk mineralisasi, denitrifikasi dan fiksasi N serta pengambilan nutrien seperti simbiosis mikoriza dengan akar tumbuhan yang membantu pengambilan P dan nutrien yang lain (DeBano et al.1998). Jika serangga-serangga tanah ini terganggu sehingga berkurang atau hilang maka manfaat-manfaatnya pun akan hilang dan akan berdampak terhadap vegetasi sendiri. Dampak pada vegetasi hutan yaitu terganggunya siklus hara sehingga tidak dapat tumbuh secara optimal, sehingga menyebabkan kerusakan hutan. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara terganggunya organisme tanah dengan kerusakan hutan. Untuk mengetahui sejauh mana gangguan yang terjadi terhadap hutan maka perlu ada monitoring terhadap kesehatan hutan. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan Forest Health Monitoring ( FHM ) dengan kerusakan terhadap sifat biologi tanah (organismeorganisme tanah) sebagai salah satu indikator kesehatan hutan. Pemantauan kondisi hutan dengan metode FHM ini sangat penting untuk dilakukan terutama pada areal hutan dan lahan bekas terbakar. Sampai saat ini penelitian dengan metode FHM pada areal hutan dan lahan bekas terbakar masih sangat sedikit dilakukan terbukti dengan kurangya informasi-informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi di areal bekas terbakar tersebut, baik kondisi lahannya maupun biodiversitasnya. Hal ini sangat memprihatinkan karena tahun 1998 kebakaran hutan yang terjadi mepunyai luasan ±10 juta Ha dan belum ada pemantauan secara kontinyu terhadap kondisi hutan tersebut, apakah hutan tersebut masih dapat menjalankan fungsi-fungsinya atau tidak. Informasi-informasi tentang kondisi hutan bekas terbakar ini sangat penting untuk pengelolaan hutan selanjutnya. Pentingnya penelitian dengan metode FHM ini juga disebabkan oleh hutan-hutan Indonesia yang mempunyai kondisi ekosistem berbeda sehingga pemantauan tidak cukup dilakukan di satu daerah saja. Perbedaan ekosistem akan menyebabkan perbedaan kondisi alam, biodiversitas serta responnya terhadap kebakaran. Metode FHM ini diharapkan mampu memantau kondisi hutan dari waktu ke waktu.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mempelajari pengaruh kebakaran hutan yang terjadi terhadap makrofauna tanah dengan metode Forest Health Monitoring ( FHM ).
78
2. Memperoleh informasi yang akurat tentang jenis-jenis organisme-organisme tanah yang hilang, berkurang atau bertambah di suatu areal akibat kebakaran yang terjadi di areal tersebut. 3. Mempelajari sifat fisik tanah (tekstur dan bulk density) yang dapat mempengaruhi keberadaan makrofauna tanah
III. TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan
Proses kebakaran
Kebakaran hutan adalah suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas, mengkonsumsi bahan bakar alami hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon (Brown and Davis, 1973). Ada 3 komponen penting untuk terjadinya kebakaran. Pertama, tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar. Kedua, panas yang dapat meningkatkan temperatur bahan bakar sehingga mencapai titik nyala, dan ketiga
79
suplai oksigen (O2) yang cukup untuk menjaga kelangsungan proses pembakaran. Ketiga komponen diatas membentuk segitiga api. Setiap komponen tersebut harus tersedia dalam waktu yang bersamaan, jika tidak maka tidak ada api (DeBano et al., 1998). Oksigen (O2)
Bahan Bakar
Sumber panas
Gambar 1. Segitiga api Menurut Brown dan Davis (1973), proses kebakaran secara kimia merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. ♣Reaksi fotosintesis : CO2 + H2O + sinar matahari → (C6H12O5)n + O2 ♣Reaksi pembakaran : (C6H12O5)n + O2 + suhu penyalaan → CO2 + H2O + panas
Ada 5 fase yang terjadi selama proses pembakaran berlangsung, yaitu : Preignition (pra penyalaan) Bahan bakar mulai terpanaskan sehingga mengalami dehidrasi dan terjadi pelepasan uap air serta pelepasan gas-gas yang mudah terbakar (methane dan hydrogen) yang berasal dari dekomposisi termal hemiselulosa, selulosa dan lignin. Reaksinya berubah dari memerlukan panas (eksotermik) menjadi pemanasan sendiri ( endotermik). Flaming (penyalaan) Proses pirolisis (pelepasan uap air dan gas-gas yang mudah terbakar) semakin meningkat. 3) Smoldering (Pembaraan)
80
Pada kebakaran bawah smoldering berjalan lambat Pada fase ini laju penjalaran api mulai menurun demikian pula panas yang dilepaskan serta suhu yang dihasilkan. 4) Glowing (Pemijaran) Merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap menghilang. Fase ini menghasilkan CO dan CO2. 5) Extinction Proses pembakaran terhenti dan semua bahan bakar sudah dikonsumsi. Penyebab Kebakaran Kebakaran di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, dan sebagian besar adalah karena ulah manusia terutama kebakaran pada tahun 1998. Penyebabpenyebab tersebut antara lain : a) Konversi lahan skala besar, dimana lahan hutan dikonversi menjadi perkebunan (kebun kelapa sawit, kebun karet) ataupun menjadi lahan non hutan lainnya (pemukiman). Sebagian besar land clearing dilakukan dengan pembakaran. b) Aktivitas
pembalakan (logging) yang tidak beraturan. Pembalakan ini
menyebabkan terbukanya tajuk hutan sehingga akses sinar matahari sangat besar. Pada musim kemarau menyebabkan pengeringan terhadap bahan bakar dan suhu tinggi dapat mempermudah terjadinya kebakaran hutan. c) Perladangan berpindah yang sampai saat ini masih menggunakan api (pembakaran) dalam penyiapan lahannya sehingga kemungkinan untuk terjadinya kebakaran cukup besar terutama jika tidak dilakukan oleh masyarakat lokal. d) Konflik sosial dengan masyarakat lokal. Untuk penyelesaian konflik terkadang masyarakat membakar lahan yang disengketakan. e) Transmigrasi yang membutuhkan lahan yang luas, sehingga pembangunan fasilitas bagi trnsmigran dilakukan pembakaran untuk pembersihan lahan. f) Pertanian menetap, pembakaran dilakukan untuk memperbaiki kondisi tanah.
81
g) Natural causes, dimana kebakaran terjadi karena peristiwa alam seperti petir, perubahan lingkungan yang spontan dan lava gunung api. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebakaran menurut Whelan (1995) adalah : a) Muatan bahan bakar Muatan bahan bakar menentukan energi maksimum yang tersedia dalam kebakaran; susunan bahan bakar mempengaruhi aerasi (ketebalan bahan bakar), penyebaran vertikal (penyebaran pada kanopi) dan penyebaran horizontal (pada bahan bakar bawah). Distribusi ukuran bahan bakar sangat mungkin mempengaruhi pada ignition awal. Kandungan kimia bahan bakar dapat meningkatkan penyalaan (resin dan minyak) atau menurunkannya (kandungan mineral). b) Iklim keseluruhan Menentukan produktivitas tumbuhan dan juga akumulasi bahan bakar rata-rata c) Curah hujan dan kelembaban Meningkatkan kelembaban bahan bakar, kombinasi dengan kelembaban relatif yang tinggi menurunkan kemungkinan adanya ignition, pembakaran rata-rata dan penyebaran api rata-rata. d) Angin Menyebabkan pengeringan bahan bakar, meningkatkan ketersediaan oksigen dalam pembakaran dan perubahan arah angin dapat meningkatkan muka api. e) Topografi Menyebabkan variasi pada iklim lokal (kelembaban bahan bakar, kelembaban relatif dan interaksi dengan angin), penyalaan api yang berasal dari atas bukit dapat menyebabkan sekat bakar alami. f) Waktu Siang hari : Kelembaban rendah, temperatur tinggi, angin kencang Malam hari : Kelembaban tinggi, temperatur rendah, angin lebih tenang Sementara, faktor-faktor yang mempengaruhi transfer panas pada tanah mineral adalah kelembaban tanah; sebagaimana serasah maka jumlah air pada
82
tanah dapat mempengaruhi transfer panas. Bahan kimia dan fisika tanah ; jumlah bahan organik, termasuk akar-akar, suplai O2 yang cukup, menentukan besarnya pembakaran terjadi di bawah lapisan serasah. Konduktivitas termal, pemanasan spesifik dan bulk density menentukan rata-rata aliran panas pada tanah mineral. Material induk tanah, porositas, kandungan air, gradien temperatur, konduktivitas hidrolik dan faktor lainnya secara tidak langsung mempengaruhi aliran panas ratarata (DeBano et al., 1998).
Sifat Biologi Tanah 1. Pengertian dan responnya terhadap kebakaran Menurut DeBano et al.(1998) sifat biologi tanah dianggap menggambarkan suatu cakupan yang luas dari organisme hidup yang mendiami tanah dan berkontribusi secara langsung terhadap produktivitas dan sutainabilitas ekosistem darat secara keseluruhan. Organisme-organisme yang hidup di tanah ini terdiri dari kumpulan flora dan fauna, dengan ragam ukuran mulai dari bakteri dan fungi yang mikroskopis sampai vertebrata kecil yang terdapat di bawah permukaan tanah dalam seluruh atau sebagian daur hidupnya. Serangga termasuk organisme biologi yang penting. Komponen biologi yang lain adalah akar dan biji-biji tumbuhan (DeBano et al.1998). Sifat biologi tanah sangat sensitif terhadap pemanasan tanah, dengan temperatur letal untuk sebagian besar organisme-organisme hidup adalah di bawah 100°C. Mikroorganisme tanah terkonsentrasi pada permukaan lapisan serasah dan lapisan duff karena lapisan ini mengandung sebagian besar bahan organik dan bagian yang aktif dalam dekomposisi dan proses mikrobial lainnya. Invertebrata terkonsentrasi pada horizon tanah bagian atas (DeBano et al., 1998). Karena organisme-organisme tanah ini terdapat permukaan atau bagian yang dekat dengan permukaan tanah maka akan sangat mudah terkena pemanasan saat terjadi kebakaran di permukaan. Kebakaran yang cukup besar dapat mematikan seluruh organisme pada lapisan serasah dan lapisan duff, sementara organisme yang terdapat pada lapisan yang lebih dalam dan terisolasi dari panas ada kemungkinan untuk dapat bertahan (DeBano et al., 1998). Tingkat kebakaran yang rendah pun dapat merusak organisme-organisme yang berada di permukaan atau dekat permukaan tanah ini
83
karena temperatur letalnya rendah, selain itu perubahan fisik dan kimia tanah selama kebakaran juga mempengaruhi keberadaan organisme-organisme tanah tersebut. 2. Pengaruh faktor-faktor tanah terhadap serangga tanah Faktor-faktor tanah yang dapat mempengaruhi keberadaan seranggaserangga tanah adalah (Szujecki, 1987) : a) Sifat fisik tanah (struktur dan mekanik tanah, kelembaban, kondisi termal, udara dan kandungan humus ) ♣Struktur dan mekanik tanah Struktur tanah mempengaruhi penetrasi dan pergerakan serangga tanah. Tanah yang keras lebih jarang dihuni oleh serangga akar dibandingkan tanah pasir atau berpasir pada areal yang sama.
♣Kelembaban Kelembaban merupakan faktor yang sangat mempengaruhi sebaran serangga tanah, karena kelembaban tanah menentukan perkembangan serangga dalam satu atau lebih fase hidupnya (contoh : telur Melolontha atau larva Elateridae) semenjak mereka menyerap air dari tanah melalui kulitnya. Di sisi lain, kelembaban tinggi, tanah basah menyebabkan tertutupnya tubuh serangga sehingga tidak dapat bernafas dan dapat menyebabkan kematian. ♣Kondisi termal Temperatur yang tinggi sepanjang hari berhubungan dengan turunnya kelembaban yang menyebabkan serangga sulit untuk masuk ke lapisan yang lebih dalam, sementara udara sejuk pada malam hari memungkinkan serangga untuk kembali ke lapisan yang lebih dangkal. ♣Cahaya Cahaya masuk ke dalam tanah pada kedalaman 1-2 cm. Aktivitas fauna tanah akan terhambat dengan cahaya yang berlebihan terutama sinar ultra violet.
84
Kandungan pigmen serangga yang rendah pada kutikula menyebabkan rentan terhadap pengaruh cahaya. ♣Udara Ketersediaan udara di dalam tanah menentukan keberadaan serangga tanah karena sangat diperlukan dalam respirasi. Ketersediaan O2 tergantung dari kedalaman tanah, semakin dalam tanah akan semakin sedikit jumlah O2 yang ada. ♣Kandungan humus Kandungan humus mempengaruhi frekuensi organisme pada tanah. Kandungan humus pada tanah hutan dan sirkulasi nitrogen menentukan ketersediaan dan biomassa saprofage. Sifat kimia tanah (keasaman, salinitas dan kandungan kalsium) Makrofauna tanah akan lebih sedikit dijumpai pada daerah dengan keasaman tinggi dibandingkan dengan tanah yang netral. Salinitas mempengaruhi water balance pada serangga tanah dengan perubahan tekanan osmotik dan kimia dan biasanya bersifat racun. Organisme atau serangga yang dapat bertahan pada tanah dengan salinitas tinggi disebut halofilik. Mineral-mineral seperti pospat, garam potassium, nitrat dan kalsium mempengaruhi komposisi fauna tanah. Secara tidak langsung mineral-mineral tersebut mempengaruhi ketersediaan, kesuburan dan pertumbuhan makanan serangga pada tajuk pohon yang menjadi makanan serangga. 4. Peranan organisme tanah Biota tanah adalah komponen jasad hidup yang menjadikan tubuh tanah sebagai ruang untuk menjalankan sebagian atau seluruh kegiatan ekofisiologisnya. Biota tanah dipilah menjadi tiga bangsa , yaitu bangsa tumbuhan, bangsa asosiasi, dan bangsa binatang (Lutz dan Chandler, 1965) dalam Purwowidodo (2004). Bangsa makrofauna tanah sering dipilah secara non-taksonomis antara lain berdasarkan :
85
•
Lama menghuni tanah, terdiri dari kelompok binatang penghuni tanah untuk seluruh daur hidupnya ( binatang geobion ) dan untuk sebagian daur hidupnya ( binatang geofil )
•
Mintakat hunian, terdiri dari kelompok binatang penghuni serasah (binatang
epedaphon),
penghuni
serasah
membusuk
(binatang
hemiedaphon), dan binatang penghuni bahan mineral anorganik •
Cara mempengaruhi tanah, terdiri dari kelompok binatang endopedonik dan eksopedonik
•
Perilaku makan, terdiri dari kelompok binatang pemakan tumbuhan segar (binatang filofaga), pemakan sampah (binatang saprofaga), pemakan jasad renik (binatang mikrofitik) dan pemakan aneka jenis dan keadaan pakan (binatang miselanias)
•
Ukuran tubuh, terdiri dari mikrobiota, mesobiota dan makrobiota. Mikrobiota berukuran < 100 µm, mesobiota berukuran 100 µm-2 mm dan makrobiota berukuran 2-20 mm (De Bano et al., 1998)
Masing-masing organisme tersebut mempunyai peranan utama dalam memperbaiki struktur tanah dan siklus nutrien, dengan fungsi khusus pada setiap kelompok. Peranan-peranan organisme tanah tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Aktivitas masing-masing biota tanah dalam siklus nutrien dan pembentukan struktur tanah Mikrobiota
Siklus nutrien
Struktur tanah
Katabolis bahan organik,
Menghasilkan bahan oraganik
mengubah pergantian nutrien,
agregat, menjerat partikel hifa
mengatur populasi fungi dan
dalam agregat, memungkinkan
bakteri
untuk mempengaruhi struktur agregat melalui interaksi antara mikrofauna dan mikroflora
Mesobiota
Mengatur populasi fungi dan
Menghasilkan butiran feses,
mikrofauna, mengubah
membuat biopora, dan
pertukaran nutrien,
meningkatkan humifikasi
menghancurkan sisa-sisa
86
Makrobiota
tumbuhan
Mencampurkan partikel
Menghancurkan sisa-sisa
organik dan mineral,
tumbuhan dan menstimulasi
redistribusi bahan organik dan
aktivitas mikrobial
mikroorganisme, membuat biopora, meningkatkan humifikasi, menghasilkan butiran feses.
Dampak Kebakaran Hutan 1. Dampak kebakaran terhadap tanah Tanah adalah tubuh alam yang berkembang akibat adanya saling tindak antara bahan induk, bentang alam, iklim dan jasad hidup dalam rentang waktu tertentu dengan melibatkan serangkaian proses pembentukan tanah (proses-proses pedogenik) (Purwowidodo,1998). Tanah hutan adalah sumberdaya tanah yang berada di suatu kawasan hutan. Tanah hutan merupakan sebutan yang dikaitkan dengan gatra keberadaannya dan tidak menunjuk pada ada atau tidak adanya keterkaitan genetis dengan tipe masyarakat tumbuhan berwujud di kawasan itu. Fungsi-fungsi dasar tanah hutan adalah : a) penyedia ruang berjangkar dan berkembang akar tumbuhan, b) penyedia oksigen, air dan hara, c) sebagai media yang memungkinkan tumbuh-tumbuhan bersaling tindak dengan jasad tanah (Purwowidodo,1998). Profil tanah terdiri dari akumulasi bahan organik (lapisan serasah, fermentasi, humus) dan horizon tanah (horizon A, E, B, C dan R). Lapisan Fermentasi dan humus dikenal juga dengan lapisan Duff (D). Horison A mengandung banyak mineral dan terletak di bawah lapisan litter (L), Fermentation (F) dan Humus (H). Horison B terdapat setelah horizon A (jika ada) atau di bawah horizon E. Horison C dan R terdapat setelah horison B. Akar-akar tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme dapat dijumpai pada semua horizon A, E, B dan C. Akar-akar
87
tanaman yang dangkal ditemukan pada lapisan H atau setelahnya sehingga sangat mudah terkena dampak kebakaran yang terjadi di lapisan L dan D. Lapisan L, F, dan H sangat penting dalam membicarakan efek kebakaran terhadap tanah karena lapisan-lapisan ini terkena dampak langsung pemanasan dari kebakaran permukaan dan lapisan ini juga mengandung sebagian besar bahan organic yang terdapat di tanah. Ada beberapa hal yang menentukan dampak kebakaran terhadap tanah yaitu (Brown dan Davis, 1973) : a) Frekuensi kebakaran Kebakaran yang terjadi hanya sekali mungkin akan berdampak kecil pada tanah dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi dua kali atau berulangkali pada tempat yang sama, sehingga periodisitas dan waktu kebakaran harus diidentifikasi dengan teliti dalam menilai dampak kebakaran terhadap tanah. b) Durasi dan intensitas panas Kebakaran dengan intensitas panas yang rendah dalam waktu yang lama dapat terjadi pada kebakaran duff dan gambut. Kebakaran tersebut mungkin tidak akan berdampak besar tetapi ketersediaan bahan bakar seperti sisa-sisa konifer yang kering dapat menyebabkan kebakaran yang tidak lama tapi menghasilkan panas yang tinggi. c) Lantai hutan Ada atau tidaknya lapisan duff, humus dan bahan organik lainnya pada lantai hutan dan jumlahnya yang terbakar adalah kunci penting dalam menilai dampak terhadap tanah. Pada kebanyakan tipe hutan khususnya konifer, bagian tumbuhan yang hancur membentuk lapisan yang terkadang satu kaki atau lebih dalam. Suatu kebakaran permukaan pada bagian atas lapisan ini tidak menyebabkan dampak langsung terhadap tanah meskipun dampak tidak langsungnya seperti matinya pohon-pohon yang menyebabkan perubahan kondisi hutan. Kebakaran bawah pada areal yang sama akan menyebabkan terbakarnya lapisan organik ini sehingga mineral tanah menjadi terbuka dan menyebabkan dampak langsung terhadap tanah. Perubahan pada lapisan organik ini juga akan berdampak pada bahan kimia yang masuk ke dalam tanah. d) Karakteristik tanah
88
Ukuran partikel, tekstur dan struktur tanah akan menentukan dampak kebakaran terhadap tanah tersebut misalnya dengan kelembaban tanah dan kandungan organiknya. Tanah berpasir atau liat berpasir mempunyai perbedaan yang besar dalam struktur, tekstur, kelembaban dan karakteristik fisika dan kimia seperti
konduktivitas
termal
dan
struktur
koloid.
Tanah
Mull
akan
mempertahankan permeabilitasnya meskipun lapisan humus pada permukaannya hilang, sementara jenis tanah yang lain tidak dapat melakukannya. Dampak-dampak kebakaran terhadap tanah dapat dilihat melalui dampak kebakaran terhadap sifat fisika, kimia dan biologi tanah.
2. Dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah Sifat fisik tanah adalah karakteristik, proses atau reaksi pada tanah yang dapat disebabkan oleh kekuatan fisik, dapat digambarkan atau diekspresikan dalam bentuk fisik atau persamaan (Soil Science of America 1997) dalam De Bano et al.(1998). Sifat-sifat fisik tanah yang penting yaitu tekstur, kandungan liat, bulk density, porositas, struktur, rataan infiltrasi, temperatur tanah dan repelensi air (DeBano et al., 1998). Pertanian dan penebangan hutan yang buruk juga akan menyebabkan terbukanya hutan sehingga kebakaran akan lebih sering terjadi serta erosi dan aliran permukaan yang berlebihan. Terbukanya tanah akan memudahkan pemadatan tanah sehingga dapat mengurangi infiltrasi dan menyebabkan turunnya kelembaban tanah. Turunnya kelembaban tanah akan memudahkan terjadinya kebakaran, selain itu juga akan menurunkan simpanan air tanah, permukaan air tanah dan aliran sungai. Tanah yang lebih padat atau keras akan menyebabkan partikel tanah dalam ukuran yang lebih besar dan berubahnya struktur koloid. 3. Dampak kebakaran terhadap sifat kimia tanah Sifat kimia tanah adalah karakteristik, proses, atau reaksi dari badan kimia, sifat kimia dan reaksi kimia yang terjadi pada tanah. Sifat kimia tanah yang terkena dampak kabakaran adalah bahan organik, kapasitas tukar kation (KTK),
89
pH, buffer dan proses nutrien (temasuk spesies, ketersediaan, keluaran dan siklus) (DeBano et al., 1998). Dampak kimia karena kebakaran pada tanah terjadi melalui pelepasan mineral saat terbakar dan meninggalkan abu serta perubahan kondisi mikroklimat yang mengikuti kebakaran. Dampak-dampak kebakaran terhadap kimia tanah antara lain pelepasan mineral yang tercuci ke dalam tanah dan turunnya keasaman tanah. Menurut Giovannini et al. (1998) dalam DeBano et al. (1998) pemanasan diatas 460°C menguapkan kelompok hidroxyl (OH) dari liat dan merusak struktur karbonat. Perubahan tidak dapat balik ini menghasilkan tanah yang kurang porous, kurang plastis, kurang elastis dan bereridibel tinggi (DeBano et al., 1998). Kebakaran juga akan menyebabkan meningkatnya bahan organik pada lapisan permukaan tanah. 5. Dampak kebakaran terhadap sifat biologi tanah Seperti yang telah dijelaskan di atas sifat biologi tanah dianggap menggambarkan suatu cakupan yang luas dari organisme hidup yang mendiami tanah dan berkontribusi secara langsung terhadap produktivitas dan sutainabilitas ekosistem darat secara keseluruhan, menurut DeBano et al. (1998). Organisme-organisme yang hidup di tanah ini terdiri dari kumpulan binatangbinatang dan tumbuhan-tumbuhan, dengan ragam ukuran mulai dari bakteri dan fungi yang mikroskopis sampai vertebrata-vertebrata kecil yang terdapat di bawah permukaan tanah dalam seluruh atau sebagian daur hidupnya. Seranggaserangga termasuk organisme biologi yang penting. Komponen biologi yang lain adalah akar tanaman dan biji-biji tumbuhan (DeBano et a.,1998). Organisme-organisme tanah ini sangat terpengaruh dengan adanya kebakaran. Ada beberapa faktor yang menyebabkan matinya organisme tanah terutama makrofauna tanah karena kebakaran yaitu denaturasi protein, inaktivasi termal enzim yang lebih cepat daripada yang dapat dibentuk, suplai oksigen yang tidak cukup, efek temperatur yang berbeda pada reaksi metabolis yang saling terkait dan efek temperatur terhadap struktur membran (Whelan,1995). Dampak kebakaran terhadap organisme tanah ini secara langsung adalah merusak dan membunuh organisme tanah ini terutama yang berada di permukaan atau dekat dengan permukaan tanah. Dampak tidak langsungnya adalah melalui suksesi tumbuhan, transformasi bahan organik tanah dan mikroklimat (DeBano et al., 1998) serta perubahan kimia tanah yang dapat menstimulasi aktivitas biologis. a) Dampak Langsung
90
Kebakaran secara langsung mempengaruhi sebagian besar mikroorganisme yang membantu proses siklus nutrien. Suatu komponen penting pada sistem biologi tanah yang dapat dipengaruhi oleh pemanasan tanah adalah rhizosphere. Energi tersimpan dalam eksudat dan sekresi yang kaya C dihasilkan oleh rhizosphere untuk mendukung populasi bakteri pengikat N dan pelepas enzim, peningkatan hormon, antibiotik, atau chelating compound. Rhizosphere juga termasuk mycorrizae yang meningkatkan pengambilan nutrien oleh tumbuhan dan berkontribusi langsung terhadap produktivitas ekosistem darat. Pemanasan tanah membunuh organisme-organisme tanah, terutama mikrobiota, secara langsung atau dengan mengubah kapasitas reproduksinya (DeBano et al., 1998). Dampak langsung terhadap mikroorganisme juga berhubungan dengan perubahan kondisi tanah. Sebagai contoh, bakteri heterotropik dapat dipengaruhi dengan hilangnya sumber energinya selama pamanasan terhadap bahan organik, (DeBano et al., 1998). Keasaman tanah juga menurun setelah kebakaran pada tumbuhan sehingga mempengaruhi organisme yang rentan terhadap perubahan ini. b) Dampak tidak langsung Dampak tidak langsung kebakaran terhadap organisme tanah lebih kompleks dibandingkan dampak langsungnya dan dapat merubah proses ekosistem selama bertahun-tahun. Gangguan yang mematikan atau merusak tumbuhan berdampak pada organisme-organisme yang tergantung pada produk tumbuhan tersebut untuk energi, nutrien, dan habitat, khususnya fungi micorrhizae dan organisme-organisme yang termasuk rhizosphere. Demikian pula kebakaran terhadap sisa-sisa kayu yang besar, lapisan duff pada lantai hutan dan bahan organik tanah dapat menimbulkan efek dalam waktu yang lama pada produktivitas lahan, aggregasi tanah dan air dalam tanah (DeBano et al,.1998). Kebakaran dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi makrofauna tanah terutama invertebrata. Efek kebakaran terhadap invertebrata sebagaimana halnya organisme lainnya sangat tergantung pada tingkat kebakaran yang terjadi. Menurut DeBano et al.(1998) efek kebakaran terhadap invertebrata dapat sebentar ataupun dalam waktu yang lama. Secara umum invertebrata berkurang setelah kebakaran terjadi karena organisme tersebut atau telurnya mati oleh nyala api atau suhu tanah yang letal atau karena terganggunya suplai makanan dan habitatnya. Di sisi lain ada invertebrata yang mmeningkat setelah kebakaran karena pohon yang rusak atau mati menjadi habitat yang lebih sesuai untuk perkembangannya. Makroinvertebrata yang berada pada lapisan tanah yang lebih dalam akan terlindung dari kebakaran yang besar. Suatu studi di Afrika Selatan menunjukkan bahwa sebagian besar invertebrata pada kedalaman tanah 2,5 cm dapat bertahan pada kebakaran yang relatif rendah (DeBano et al., 1998). Tapi di Australia, berkurangnya lapisan litter menyebabkan turunnya jumlah dan kerapatan spesies invertebrata pada tanah dan permukaan. Tiga kelompok invertebrata permukaaan bisa dibedakan berdasarkan perbedaan reaksi, yaitu perubahan kelimpahan, pada kebakaran di lahan bekas
91
tebangan hutan pinus dan spruce. Kelompok pertama, termasuk berbagai Coleoptera, jumlah yang tersisa sedikit setelah kebakaran, meskipun yang dewasa dapat bertahan pada daerah yang tersembunyi. Pengurangan stok makanan pada daerah tersebut setelah kebakaran menyebabkan turunnya jumlah larva serangga ini. Kelompok kedua terdiri dari spesies yang kelimpahannya menunjukan osilasi yang luas pada lahan terbakar, seperti pada Collembola. Kelompok ketiga termasuk serangga seperti larva Diptera yang pasti menurun setelah kebakaran dan setelah beberapa tahun kembali pada jumlah seperti saat hutan belum terbakar ( Szujecki, 1987). Dampak kebakaran terhadap beberapa jenis invertebrata pada tanah dapat dilihat berikut ini : 1) Semut Menurut Anderson et al.(1989) dalam DeBano et al.(1998) kebakaran dapat meningkatkan populasi semut. Suatu studi di Australia terhadap vegetasi sclerophyllous menunjukkan bahwa semut menkonsumsi biji yang banyak dihasilkan pada awal suksesi tanaman setelah kebakaran. 2) Belalang Kebakaran di padang rumput Illionois menurunkan jumlah fauna tanah dan populasi serangga permukaan termasuk belalang (DeBano et al., 1998). Kerapatan belalang dewasa dan nimpa di Arizona selatan menurun lebih dari 60% pada plot yang dibakar dibandingkan dengan plot yang tidak terbakar pada tahun pertama setelah kebakaran, menurut Bock (1991) dalam DeBano et al.(1998). Perbedaan ini hilang setelah tahun kedua. 3) Cacing tanah Cacing tanah sejak lama sudah dikenal sebagai salah satu invertebrata yang penting pada komponen tanah. Cacing tanah berperan dalam dekomposisi serasah, mineralisasi C pada tanah dan lapisan permukaan. Efek pemanasan tanah pada cacing tanah tidak diketahui secara pasti. Satu studi di padang rumput yang cukup tinggi menunjukkan dampak tidak langsung dari kebakaran kemungkinan lebih penting daripada dampak langsung terhadap populasi cacing tanah (DeBano et al., 1998). Peningkatan aktivitas cacing tanah berasal dari perbedaan produktivitas tanaman setelah kebakaran, dengan tanah pada lahan terbakar benar-benar dipenetrasi oleh akar dan rhizoma tumbuhan. Cacing tanah ditemukan pada 10-20 cm di bawah permukaan tanah, jadi kemungkinan cacing tanah terhindar dari efek langsung kebakaran atau pemanasan tanah, kecuali pada kasus dimana kebakaran yang cukup parah terjadi dalam waktu yang lama pada bagian bawah log atau sisa tanaman. 6. Fire Severity
92
Menurut Simard (1991) dalam De Bano et al.(998) Fire severity adalah suatu penilaian yang menggambarkan respon ekosistem terhadap kebakaran, dapat digunakan untuk mendeskripsikan efek kebakaran pada sistem air dan tanah, ekosistem flora dan fauna, atmosfer dan manusia. Fire severity sangat tergantung pada bahan bakar alami yang tersedia dan perilaku api saat bahan bakar dibakar. Fire severity dapat diklasifikasikan berdasarkan hal-hal di bawah ini (De Bano et al., 1998): a. Dimensi vertikal dan horizontal kebakaran : - Low fire severity : Pemanasan tanah rendah terjadi jika permukaan terbakar tapi serasah yang tersisa banyak/utuh. Mineral tanah tidak berubah Moderate fire severity : Terjadi dimana permukaan hutan terbakar dan serasah terbakar dalam tetapi mineral tanah di bawah permukaan tidak terlihat perubahan. Terdapat abu yang berwarna terang. Sebagian besar sisa-sisa kayu terbakar kecuali log-log yang yang terbakar dalam. Pada semak atau rumput, terdapat abu berwarna abu-abu atau putih dan hangus terlihat pada kedalaman >1 cm pada mineral tanah, tetapi tanahnya tidak berubah. Temperatur tanah pada kedalaman 1 cm dapat mencapai 100-200°C. Suhu letal bagi organisme tanah terjadi pada kedalaman kurang dari 3-5 cm. - High fire severity : Terjadi dimana serasah seluruhnys terbakar dan mineral tanah bagian atas terlihat kemerahan/orange pada lahan yang terbakar parah. Warna tanah pada kedalaman 1 cm lebih hitam daripada bahan organic. Lapisan yang hangus dapat mencapai kedalaman ≥10 cm. Log-log terbakar atau terbakar dalam. Tekstur tanah pada lapisan permukaan berubah dan melebur, ditandai adanya arang yang dapat diamati secara lokal. Semua batang semak terbakar dan terlihat sisa-sisa yang mengarang dalam jumlah besar. Temperatur tanah 1 cm lebih dari 250°C. Temperatur letal untuk organisme tanah terjadi pada kedalaman ≤ 9-16 cm. b. Persentase dari total areal yang terbakar : - Low- severity burn : < 2% areal terbakar berat, <15% terbakar sedang dan sisanya terbakar ringan ataupun tidak terbakar. - Moderate-severity burn : <10% areal terbakar berat, tapi >15% areal terbakar sedang dan sisanya terbakar ringan ataupun tidak terbakar.
93
- High-severity burn : >10% mempunyai titik-titik yang terbakar sangat parah, >80% terbakar berat atau sedang dan sisanya terbakar ringan. c. Kerusakan pada pohon yang teramati : - Low fire severity : Minimal 50% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat,dengan sisa kebakaran berupa terbakarnya tajuk,matinya tunas (bagian atas mati tapi berkecambah), atau matinya akar, >80% pohon-pohon yang rusak/ terbakar dapat bertahan. - Moderate fire severity : 20-50% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran; 40-80% pohon-pohon yang rusak /terbakar dapat bertahan. - High fire severity : <20% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, sisa kebakaran sebagian besar berupa kematian akar, <40% Pohonpohon yang rusak/ terbakar dapat bertahan.
Forest Health Monitoring (FHM) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan ( UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ) dalam Nuhamara (2004). Menurut Helans (1998) dalam Nuhamara (2004) hutan adalah ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutupan pohon yang agak rapat dan luas, sering terdiri dari tegakan yang memiliki berbagai karakteristik seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, serta proses-proses terkait dan umumnya meliputi pula padang rumput, perairan ikan dan satwa liar. Sebagai suatu ekosistem yang luas maka hutan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Fungsi-fungsi hutan seperti konservasi tanah dan air, habitat makhluk hidup, sumber makanan, carbon storage dan sebagainya sangat diperlukan untuk menjaga lingkungan hidup. Selama suatu areal hutan dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik maka hutan tersebut bisa dikatakan ‘sehat’. Secara umum, hutan yang sehat memperlihatkan keseimbangan antara pertumbuhan, kematian dan regenerasi;
94
diversity biologi; dan kemampuan untuk bertahan dan pulih dari dampak yang ditimbulkan oleh gangguan yang bervariasi, seperti serangga atau penyakit, iklim yang tidak mendukung dan polusi udara (NASF 2002a) dalam Putra (2004). Parameter yang dapat digunakan dalam pengukuran kesehatan hutan adalah luasan total hutan, luas tiap bagian hutan, laju pertumbuhan pohon dan tanaman lainnya, jumlah pohon yang mati alami setiap tahunnya, kondisi dan diversitas tanaman di bawah lapisan kanopi hutan, dan jumlah spesies hewan yang didukung oleh ekosistem. Parameter pengukuran lain melibatkan transparansi tajuk, persentase mati pucuk pada tajuk pohon dan kerapatan tajuk (MDNR-FS 2002) dalam Putra (2004). Informasi tentang sehat atau tidaknya kondisi hutan sangat diperlukan di Indonesia sebagai dasar yang kuat dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikatakan sudah rusak. Forest Health Monitoring (FHM) merupakan salah satu cara yang berusaha diterapkan di Indonesia untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi hutan secara kontinyu. FHM/Pemantauan Kesehatan Hutan ini terutama dikembangkan dengan kegiatannya adalah pengembangan program, pengelolaan program, pelatihan, membangun plot, pengumpulan data dan analisis, pelaporan penaksiran dan pengembangan indikator (Nuhamara,2004).
1. Tujuan FHM Tujuan program FHM (di Amerika Serikat) antara lain (Nuhamara , 2004): Membuat perkiraan dengan cara yang dapat dipercaya mengenai status, perubahan, dan kecenderungan indikator-indikator terpilih mengenai kondisi ekosistem hutan berdasarkan wilayah. Menyediakan informasi mengenai kesehatan ekosistem hutan dalam bentuk ringkasan statistik tahunan dan laporan-laporan interpretasi periodik untuk keperluan pengambilan kebijakan dan pengelolaan. Memperbaiki keefektifan dan keefisienan pemantauan kesehatan hutan melalui penelitian langsung
95
Komponen Forest Health Monitoring (FHM)
Menurut Berg (2002) dalam Putra (2004) program FHM melakukan pendekatan melalui tiga komponen yang saling berkaitan : koleksi data, analisa data, dan pelaporan informasi mengenai kondisi kesehatan dari seluruh hutan yang terdapat di Amerika Serikat secara detail. Ketiga komponen tersebuat adalah: Detection Monitoring ( Apa, dimana, kapan) : merekam kondisi ekosistem hutan, melakukan estimasi pada kondisi saat ini, dan mendeteksi perubahan yang terjadi. b. Evaluation Monitoring ( Bagaimana ) : menjelaskan fenomena khusus perubahan yang terdeteksi dan jika memungkinkan menjelaskan penyebab perubahan tersebut, dan menyediakan dasar bagi tindakan-tindakan perbaikan yang perlu dilakukan c. Intensive Site Ecosystem Monitoring (Mengapa) : menyediakan informasi yang detil dan berkualitas tinggi yang memungkinkan dialukannya pendugaan yang cermat pada hubungan sebab akibat proses-proses yang membentuk ekosistem hutan, dan mendukung penelitian eksperimental pada lokasi-lokasi tertentu yang mewakili ekosistem hutan yang penting. d. Research on Monitoring Technique (ROMT) : Penelitian aspek biologi, statistik, dan analisis FHM, merupakan aktivitas keempat yang mendukung keselruhan tiga komponen yang lain.
96
97
IV. METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan bulan Juli 2005 di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada areal bekas terbakar dan areal tidak terbakar. Ekstraksi dan identifikasi makrofauna tanah dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Untuk mengidentifikasi makrofauna tanah digunakan beberapa buku seperti Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et.al, 1996), Acarology, Mites And Human Welfare (Woolley, 1988) dan The pests of Crops In Indonesia (Kalshoven,1981). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
B. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah, alkohol 70%, air, kantung plastik transparan dan kertas label. Alat-alat yang akan digunakan adalah timbangan O Hauss, termometer, kompas, Hygrometer, corong Berlis, oven, parang, pisau, meteran, cangkul, palu, ring, gelas ukur, tabung film bekas, kain kasa, botol aqua, penggaris, alat tulis dan kamera.
98
C. Metode Penelitian 1. Penentuan petak pengamatan Penentuan petak pengamatan dalam Forest Health Monitoring ( FHM ) dilakukan dengan membuat desain plot sampling. Desain plot sampling yang digunakan dalam INDO-FHM disebut Desain Cluster Plot. Desain Cluster Plot berdasarkan pada Monitoring Kesehatan Hutan : Field Methods Guide. Pada setiap cluster plot terdiri dari 4 annular plots dengan jari-jari 17,95 m dan di dalamnya terdapat sub plot dengan jari-jari 7,32 m. Di dalam sub plot dibuat mikro plot dengan jari-jari 2,07 m yang titik tengahnya terletak pada 3,66 m dari pusat sub plot dengan azimut 90º ke arah timur. Pengamatan dilakukan pada hole yang terletak pada pertengahan garis yang menghubungkan antara annular plot dengan jarak dari pusat annular plot 18,3 m. Petak pengamatan biota tanah dibuat dengan ukuran 0,5 x 0,5 m. Pengamatan dilakukan pada permukaan tanah dan tingkat kedalaman 0 –5 cm pada lahan yang tidak terbakar dan lahan yang terbakar. Binatang-makrofauna tanah yang dijumpai dan yang dapat ditangkap dimasukkan ke dalam tabung-tabung plastik berisi alkohol 70% yang telah diberi label berdasarkan petak pengamatan dan tingkat kedalamannya. Pengamatan dilakukan pada areal satu tahun setelah terbakar. Pengamatan pada areal yang tidak terbakar terletak pada 150,1 m dengan azimut 150º dari titik ikat, sedangkan areal terbakar terletak pada 91,5 m dengan azimut 140º dari titik ikat. 2. Ekstraksi makrofauna tanah Untuk mengekstraksi makrofauna tanah digunakan metode corong Barlese-Tullgren. Alat ini dapat digunakan untuk mengekstraksi Arthtropoda tanah seperti Acarina, Collembola, Isopoda, Coleoptera dari contoh tanah atau serasah. Contoh tanah yang telah diambil di lapangan diletakkan dalam corong. Pada alat ekstraktor ini ada sumber panas yang berguna untuk memaksa hewan
99
tanah turun dan jatuh ke dalam botol koleksi yang terletak di bagian bawah corong. Biasanya sumber panas itu berupa lampu listrik. Di botol koleksi hewan tanah itu terdapat zat kimia tertentu untuk mengawetkan makrofauna tanah yang masuk ke dalamnya. Zat kimia tersebut bisa berupa alkohol 76% atau asam pikrat jenuh (Suin, 1989). Pada bagian leher corong diletakkan kain kasa yang berfungsi untuk menyaring hewan tanah dan menahan tanah agar tidak jatuh ke dalam botol koleksi.
3. Analisis data Analisis
keragaman,
kekayaan
dan
kemerataan
jenis
dilakukan
pengamatan pada lahan yang terbakar dan lahan yang tidak terbakar. Uji T digunakan untuk membedakan variabel di plot yang terbakar dan tidak terbakar. 3.1. Nilai Kekayaan Jenis (Richness Index) Nilai kekayaan jenis digunakan untuk menegtahui keanekaragaman jenis berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem. Indeks yang digunakan adalah indeks kekayaan jenis Margalef : DMg = (S – 1) ln N Keterangan : DMg = Indeks Kekayaan Jenis Margalef S
= jumlah jenis yang ditemukan
N
= jumlah individu seluruh jenis
3.2. Nilai Keragaman Jenis (Diversity Index)
100
Keragaman jenis berdasarkan kelimpahan individu diketahui dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener : H’ = - ÓPi ln Pi Keterangan : H’
Pi = ni/N = indeks keragaman jenis Shannon-Wiener
ni
= jumlah individu jenis ke-I
N
= jumlah total individu
Jumlah individu jenis ke-i (ni) diperoleh dengan memperhitungkan nilai frekuensi kemunculan jenis tersebut dari seluruh petak pengamatan disetiap ekosistem. ni = Frekuensi x jumlah individu yang tertangkap Frekuensi = Ó Petak ditemukan jenis ke-i Seluruh petak yang diamati Nilai H’ berkisar antara 1,5 – 3,5. Nilai <1,5 menunjukkan keragaman rendah, nilai 1,5 – 3,5 menunjukkan keragaman sedang dan nilai > 3,5 menunjukkan keragaman tinggi (Magurran, 1998) dalam Abidin (2005).
3.3. Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index) Indeks ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan setiap jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai Evennes : E = H’/ ln S Keterangan : E
= indeks kemerataan jenis
H’
= indeks kelimpahan individu jenis Shannon-Wiener
S
= jumlah jenis yang ditemukan
Nilai E berkisar antara 0 – 1. Nilai 1 menunjukkan seluruh jenis ada dengan kelimpahan yang sama (Magurran, 1998) dalam Abidin (2005). 4. Pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat-sifat tanah
101
Analisis sifat fisik tanah berupa bobot isi tanah digunakan contoh tanah utuh yang diambil dengan menggunakan tabung silindris sedangkan untuk mengetahui tekstur tanah digunakan contoh tanah komposit yang diambil dari lahan yang terbakar dan lahan yang tidak terbakar. Sifat fisika tanah yang dianalisis meliputi tekstur dan bobot isi tanah. 4.1. Analisis tekstur tanah dengan metode rabaan Tekstur tanah adalah perbandingan nisbi aneka kelompok ukuran jarah/pisahan tanah yang menyusun massa tanah pada suatu tubuh tanah. Pisahan tanah yang dikaji adalah : pasir, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.2 – 2.0 mm, debu, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.02 – 0.2 mm, dan lempung, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.02 mm (Purwowidodo, 2004). Kelas tekstur tanah yang digunakan untuk analisis dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel. 2. Kelas tekstur tanah dengan metode rabaan No 1.
Kelas Tekstur Pasir
2.
Pasir berlempung
3.
Lempung berpasir
4.
Lempung berdebu
5.
Lempung
6.
Debu
7.
Lempung berliat
8.
Lempung liat berpasir
9.
Lempung liat berdebu
Rasa dan sifat tanah Terasa kasar, tidak dapat dibentuk menjadi pola, gulungan dan tidak melekat Terasa kasar, dapat dibentuk menjadi bola tetapi mudah hancur, sedikit melekat Agak kasar, membentuk bola agak keras, mudah hancur dan melekat Terasa licin, dapat membentuk bola, pita, dan melekat Tidak kasar dan tidak licin; dapat membentuk bola teguh, dapat digulung dan permukaannya mengkilat, melekat Terasa licin sekali, dapat membentuk bola teguh, dapat digulung dan permukaannya mengkilat, agak melekat Terasa agak kasar, dapat membentuk bola agak teguh, dapat dibentuk menjadi gulungan jika dipijit, gulungan mudah hancur, melekat Terasa agak kasar, dapat dibentuk menjadi bola agak teguh, membentuk gulungan jika dipijit, gulungan mudah hancur dan melekat Terasa licin dengan jelas, dapat membentuk bola teguh, dapat membentuk gulungan
102
10.
Liat berpasir
11.
Liat berdebu
12.
Liat
13.
Liat berat
berkilat dan melekat Terasa licin agak kasar, membentuk bola, dalam keadaan kering sukar dipijit, mudah digulung dan melekat Rasa agak licin, membentuk bola, dalam keadaan kering sukar dipijit, mudah digulung dan sangat melekat Terasa berat, dapat membentuk bola yang baik dan melekat sekali Terasa berat sekali, dapat membentuk bola dengan baik dan sangat melekat.
Penentuan tekstur tanah di lapangan dapat dilakukan dengan cara membasahi tanah kemudian dipijat-pijat dengan ibu jari dan telunjuk. Sambil dirasa-rasakan dibentuk bola lembab, digulung-gulung dan dilihat daya tahannya terhadap tekanan dan kelekatannya sewaktu jari telunjuk dan ibu jari dipisahkan. Dari hasil pembentukan bola, gulungan kelekatan, dan rasa licin/kasar dapat ditentukan tekstur tanahnya (Suin, 1989). 4.2. Penentuan bobot isi tanah dengan metode tabung silindris Penentuan bobot isi tanah dengan menggunakan metode tabung silindris dapat dilakukan dengan cara berikut (Purwowidodo, 2004) : ♣ Menetapkan titik pengambilan contoh tanah dan membersihkan permukaannya dari serasah, batu kecil dan atau tumbuhan bawah yang menutupimya. ♣ Meletakkan tabung silindris berarah cacak terhadap permukaan tanah dengan ujung yang tajam berada di bawah ♣ Menempatkan alas papan di permukaan atas tabung dan memukulnya dengan palu, berselang teratur, hingga tabung silindrisnya menerobos tubuh tanah sampai tiga perempat bagian tinggi. Kemudian ditempatkan tabung silindris kedua di atas tabung silindris pertama dengan perlakuan serupa. ♣ Menggali tanah di sekitarnya untuk mengambil kedua tabung tersebut secara rampatan dan tetap menyatu. Kedua tabung dipisahkan dengan mengiris massa tanah yang menghubungkan dan menutupinya.
103
♣ Menimbang contoh tanah dalam tabung silindris tanpa tutupnya ( = a g ) untuk mengetahui berat tanah keadaan lapangan dengan tabungnya atau di oven selama 24 jam pada suhu 105• C kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering oven dengan tabungnya ( = b g ) ♣ Mengukur tinggi tabung (t) dan Ø tabung sisi dalam (d) untuk menetapkan volume tabung sisi dalam (Vd) dengan persamaan : Vd = ¼ ëd2t ♣ Membuang contoh tanah dalam tabung silindris dan menimbang tabungnya (=cg) ♣ Menetapkan besaran bobot isi tanah pada keadaan kering lapangan dengan persamaan : bobot isi kering lapangan (g/cc) = (a-c) / Vd ♣ Menetapkan besaran bobot isi tanah pada keadaan kering oven dengan persamaan : bobot isi kering oven (g/cc) = (b-c) / Vd
4. Pengukuran suhu dan kelembaban udara Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan pada contoh di lapangan. Suhu tanah diukur dengan menggunakan termometer tanah. Suhu udara diukur dengan menggunakan termometer udara dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan Hygrometer.
104
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan bukanlah suatu hal yang baru terjadi di hutanhutan di Indonesia. Bukti ilmiah pendataan karbon radioaktif dari endapan arang di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan dataran rendah telah berulangkali terbakar paling sedikit 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode glasial kuarter (Goldammer, 1990) dalam (FWI, 2001). Tetapi, kebakaran yang terjadi tentu saja berbeda dengan kebakaran hutan saat ini. Penggunaan api secara intensif terutama dalam kegiatan konversi lahan menyebabkan semakin meluasnya kebakaran yang terjadi di Indonesia. Sejak November 1982-April 1983, Agustus 1990, Juni-Oktober 1991, AgustusOktober 1994 dan September-November 1997 ( Februari-Mei 1998 ) kebakaran hutan dan lahan semakin luas dan menyebar. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan dampak seperti gangguan kesehatan, tercemarnya lingkungan, terganggunya aktivitas ekonomi serta hilangnya biodiversiti. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997/1998 (data World Bank, 2001) disebabkan oleh konversi lahan dalam skala besar (34%), perladangan berpindah (25%), pertanian menetap (17%), konflik sosial dengan masyarakat setempat (14%), transmigrasi (8%) dan penyebab alami (1%). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan sangat besar karena sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tergantung pada pertanian dan cara paling mudah dalam penyiapan lahannya adalah dengan menggunakan api. Selain itu pembukaan lahan dalam skala besar dengan menggunakan api untuk penyiapan lahan masih berlangsung seperti pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit. Di atas telah disebutkan beberapa dampak dari kebakaran hutan dan lahan itu sendiri. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah hilangnya biodiversiti dan rusaknya habitat makhluk hidup. Kerusakan tanah merupakan contoh kerusakan habitat yang terjadi. Hal ini berdampak pada keberadaan makhluk hidup di permukaan ataupun di bawah permukaan tanah. Kebakaran permukaan menyebabkan hilangnya vegetasi yang menutupi tanah, jika suhu yang dihasilkan tinggi atau cukup tinggi untuk memanaskan tanah sampai ke bawah permukaannya dalam jangka waktu tertentu maka akan sangat berpengaruh pada sifat biologi tanah khususnya organisme tanah seperti serangga tanahnya. Suhu kebakaran yang melebihi suhu letal seranggaserangga tanah tersebut akan menyebabkan kematian. Hal ini dapat menyebabkan berkurang atau bahkan menghilangkan jenis-jenis serangga tanah tertentu. Hilangnya serangga-serangga tanah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem. Manfaat serangga-serangga tanah seperti pendekomposisi bahan organik, berperan dalam siklus nitrogen termasuk
105
mineralisasi, denitrifikasi dan fiksasi N serta pengambilan nutrien seperti simbiosis mikoriza dengan akar tumbuhan yang membantu pengambilan P dan nutrien yang lain (DeBano et al.1998). Jika serangga-serangga tanah ini terganggu sehingga berkurang atau hilang maka manfaat-manfaatnya pun akan hilang dan akan berdampak terhadap vegetasi sendiri. Dampak pada vegetasi hutan yaitu terganggunya siklus hara sehingga tidak dapat tumbuh secara optimal, sehingga menyebabkan kerusakan hutan. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara terganggunya organisme tanah dengan kerusakan hutan. Untuk mengetahui sejauh mana gangguan yang terjadi terhadap hutan maka perlu ada monitoring terhadap kesehatan hutan. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan Forest Health Monitoring ( FHM ) dengan kerusakan terhadap sifat biologi tanah (organismeorganisme tanah) sebagai salah satu indikator kesehatan hutan. Pemantauan kondisi hutan dengan metode FHM ini sangat penting untuk dilakukan terutama pada areal hutan dan lahan bekas terbakar. Sampai saat ini penelitian dengan metode FHM pada areal hutan dan lahan bekas terbakar masih sangat sedikit dilakukan terbukti dengan kurangya informasi-informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi di areal bekas terbakar tersebut, baik kondisi lahannya maupun biodiversitasnya. Hal ini sangat memprihatinkan karena tahun 1998 kebakaran hutan yang terjadi mepunyai luasan ±10 juta Ha dan belum ada pemantauan secara kontinyu terhadap kondisi hutan tersebut, apakah hutan tersebut masih dapat menjalankan fungsi-fungsinya atau tidak. Informasi-informasi tentang kondisi hutan bekas terbakar ini sangat penting untuk pengelolaan hutan selanjutnya. Pentingnya penelitian dengan metode FHM ini juga disebabkan oleh hutan-hutan Indonesia yang mempunyai kondisi ekosistem berbeda sehingga pemantauan tidak cukup dilakukan di satu daerah saja. Perbedaan ekosistem akan menyebabkan perbedaan kondisi alam, biodiversitas serta responnya terhadap kebakaran. Metode FHM ini diharapkan mampu memantau kondisi hutan dari waktu ke waktu.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 7. Mempelajari pengaruh kebakaran hutan yang terjadi terhadap makrofauna tanah dengan metode Forest Health Monitoring ( FHM ). 8. Memperoleh informasi yang akurat tentang jenis-jenis organisme-organisme tanah yang hilang, berkurang atau bertambah di suatu areal akibat kebakaran yang terjadi di areal tersebut. 9. Mempelajari sifat fisik tanah (tekstur dan bulk density) yang dapat mempengaruhi keberadaan makrofauna tanah
106
III. TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan
Proses kebakaran
Kebakaran hutan adalah suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas, mengkonsumsi bahan bakar alami hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon (Brown and Davis, 1973). Ada 3 komponen penting untuk terjadinya kebakaran. Pertama, tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar. Kedua, panas yang dapat meningkatkan temperatur bahan bakar sehingga mencapai titik nyala, dan ketiga suplai oksigen (O2) yang cukup untuk menjaga kelangsungan proses pembakaran. Ketiga komponen diatas membentuk segitiga api. Setiap komponen tersebut harus tersedia dalam waktu yang bersamaan, jika tidak maka tidak ada api (DeBano et al., 1998).
107
Oksigen (O2)
Bahan Bakar
Sumber panas
Gambar 1. Segitiga api Menurut Brown dan Davis (1973), proses kebakaran secara kimia merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. ♣Reaksi fotosintesis : CO2 + H2O + sinar matahari → (C6H12O5)n + O2 ♣Reaksi pembakaran : (C6H12O5)n + O2 + suhu penyalaan → CO2 + H2O + panas
Ada 5 fase yang terjadi selama proses pembakaran berlangsung, yaitu : Preignition (pra penyalaan) Bahan bakar mulai terpanaskan sehingga mengalami dehidrasi dan terjadi pelepasan uap air serta pelepasan gas-gas yang mudah terbakar (methane dan hydrogen) yang berasal dari dekomposisi termal hemiselulosa, selulosa dan lignin. Reaksinya berubah dari memerlukan panas (eksotermik) menjadi pemanasan sendiri ( endotermik). Flaming (penyalaan) Proses pirolisis (pelepasan uap air dan gas-gas yang mudah terbakar) semakin meningkat. 3) Smoldering (Pembaraan) Pada kebakaran bawah smoldering berjalan lambat Pada fase ini laju penjalaran api mulai menurun demikian pula panas yang dilepaskan serta suhu yang dihasilkan. 4) Glowing (Pemijaran)
108
Merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap menghilang. Fase ini menghasilkan CO dan CO2. 5) Extinction Proses pembakaran terhenti dan semua bahan bakar sudah dikonsumsi. Penyebab Kebakaran Kebakaran di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, dan sebagian besar adalah karena ulah manusia terutama kebakaran pada tahun 1998. Penyebabpenyebab tersebut antara lain : h) Konversi lahan skala besar, dimana lahan hutan dikonversi menjadi perkebunan (kebun kelapa sawit, kebun karet) ataupun menjadi lahan non hutan lainnya (pemukiman). Sebagian besar land clearing dilakukan dengan pembakaran. i) Aktivitas
pembalakan (logging) yang tidak beraturan. Pembalakan ini
menyebabkan terbukanya tajuk hutan sehingga akses sinar matahari sangat besar. Pada musim kemarau menyebabkan pengeringan terhadap bahan bakar dan suhu tinggi dapat mempermudah terjadinya kebakaran hutan. j) Perladangan berpindah yang sampai saat ini masih menggunakan api (pembakaran) dalam penyiapan lahannya sehingga kemungkinan untuk terjadinya kebakaran cukup besar terutama jika tidak dilakukan oleh masyarakat lokal. k) Konflik sosial dengan masyarakat lokal. Untuk penyelesaian konflik terkadang masyarakat membakar lahan yang disengketakan. l) Transmigrasi yang membutuhkan lahan yang luas, sehingga pembangunan fasilitas bagi trnsmigran dilakukan pembakaran untuk pembersihan lahan. m) Pertanian menetap, pembakaran dilakukan untuk memperbaiki kondisi tanah. n) Natural causes, dimana kebakaran terjadi karena peristiwa alam seperti petir, perubahan lingkungan yang spontan dan lava gunung api. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran
109
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebakaran menurut Whelan (1995) adalah : g) Muatan bahan bakar Muatan bahan bakar menentukan energi maksimum yang tersedia dalam kebakaran; susunan bahan bakar mempengaruhi aerasi (ketebalan bahan bakar), penyebaran vertikal (penyebaran pada kanopi) dan penyebaran horizontal (pada bahan bakar bawah). Distribusi ukuran bahan bakar sangat mungkin mempengaruhi pada ignition awal. Kandungan kimia bahan bakar dapat meningkatkan penyalaan (resin dan minyak) atau menurunkannya (kandungan mineral). h) Iklim keseluruhan Menentukan produktivitas tumbuhan dan juga akumulasi bahan bakar rata-rata i) Curah hujan dan kelembaban Meningkatkan kelembaban bahan bakar, kombinasi dengan kelembaban relatif yang tinggi menurunkan kemungkinan adanya ignition, pembakaran rata-rata dan penyebaran api rata-rata. j) Angin Menyebabkan pengeringan bahan bakar, meningkatkan ketersediaan oksigen dalam pembakaran dan perubahan arah angin dapat meningkatkan muka api. k) Topografi Menyebabkan variasi pada iklim lokal (kelembaban bahan bakar, kelembaban relatif dan interaksi dengan angin), penyalaan api yang berasal dari atas bukit dapat menyebabkan sekat bakar alami. l) Waktu Siang hari : Kelembaban rendah, temperatur tinggi, angin kencang Malam hari : Kelembaban tinggi, temperatur rendah, angin lebih tenang Sementara, faktor-faktor yang mempengaruhi transfer panas pada tanah mineral adalah kelembaban tanah; sebagaimana serasah maka jumlah air pada tanah dapat mempengaruhi transfer panas. Bahan kimia dan fisika tanah ; jumlah bahan organik, termasuk akar-akar, suplai O2 yang cukup, menentukan besarnya pembakaran terjadi di bawah lapisan serasah. Konduktivitas termal, pemanasan spesifik dan bulk density menentukan rata-rata aliran panas pada tanah mineral. Material induk tanah, porositas, kandungan air, gradien temperatur, konduktivitas
110
hidrolik dan faktor lainnya secara tidak langsung mempengaruhi aliran panas ratarata (DeBano et al., 1998).
Sifat Biologi Tanah 1. Pengertian dan responnya terhadap kebakaran Menurut DeBano et al.(1998) sifat biologi tanah dianggap menggambarkan suatu cakupan yang luas dari organisme hidup yang mendiami tanah dan berkontribusi secara langsung terhadap produktivitas dan sutainabilitas ekosistem darat secara keseluruhan. Organisme-organisme yang hidup di tanah ini terdiri dari kumpulan flora dan fauna, dengan ragam ukuran mulai dari bakteri dan fungi yang mikroskopis sampai vertebrata kecil yang terdapat di bawah permukaan tanah dalam seluruh atau sebagian daur hidupnya. Serangga termasuk organisme biologi yang penting. Komponen biologi yang lain adalah akar dan biji-biji tumbuhan (DeBano et al.1998). Sifat biologi tanah sangat sensitif terhadap pemanasan tanah, dengan temperatur letal untuk sebagian besar organisme-organisme hidup adalah di bawah 100°C. Mikroorganisme tanah terkonsentrasi pada permukaan lapisan serasah dan lapisan duff karena lapisan ini mengandung sebagian besar bahan organik dan bagian yang aktif dalam dekomposisi dan proses mikrobial lainnya. Invertebrata terkonsentrasi pada horizon tanah bagian atas (DeBano et al., 1998). Karena organisme-organisme tanah ini terdapat permukaan atau bagian yang dekat dengan permukaan tanah maka akan sangat mudah terkena pemanasan saat terjadi kebakaran di permukaan. Kebakaran yang cukup besar dapat mematikan seluruh organisme pada lapisan serasah dan lapisan duff, sementara organisme yang terdapat pada lapisan yang lebih dalam dan terisolasi dari panas ada kemungkinan untuk dapat bertahan (DeBano et al., 1998). Tingkat kebakaran yang rendah pun dapat merusak organisme-organisme yang berada di permukaan atau dekat permukaan tanah ini karena temperatur letalnya rendah, selain itu perubahan fisik dan kimia tanah selama kebakaran juga mempengaruhi keberadaan organisme-organisme tanah tersebut. 2. Pengaruh faktor-faktor tanah terhadap serangga tanah
111
Faktor-faktor tanah yang dapat mempengaruhi keberadaan seranggaserangga tanah adalah (Szujecki, 1987) : a) Sifat fisik tanah (struktur dan mekanik tanah, kelembaban, kondisi termal, udara dan kandungan humus ) ♣Struktur dan mekanik tanah Struktur tanah mempengaruhi penetrasi dan pergerakan serangga tanah. Tanah yang keras lebih jarang dihuni oleh serangga akar dibandingkan tanah pasir atau berpasir pada areal yang sama.
♣Kelembaban Kelembaban merupakan faktor yang sangat mempengaruhi sebaran serangga tanah, karena kelembaban tanah menentukan perkembangan serangga dalam satu atau lebih fase hidupnya (contoh : telur Melolontha atau larva Elateridae) semenjak mereka menyerap air dari tanah melalui kulitnya. Di sisi lain, kelembaban tinggi, tanah basah menyebabkan tertutupnya tubuh serangga sehingga tidak dapat bernafas dan dapat menyebabkan kematian. ♣Kondisi termal Temperatur yang tinggi sepanjang hari berhubungan dengan turunnya kelembaban yang menyebabkan serangga sulit untuk masuk ke lapisan yang lebih dalam, sementara udara sejuk pada malam hari memungkinkan serangga untuk kembali ke lapisan yang lebih dangkal. ♣Cahaya Cahaya masuk ke dalam tanah pada kedalaman 1-2 cm. Aktivitas fauna tanah akan terhambat dengan cahaya yang berlebihan terutama sinar ultra violet. Kandungan pigmen serangga yang rendah pada kutikula menyebabkan rentan terhadap pengaruh cahaya. ♣Udara
112
Ketersediaan udara di dalam tanah menentukan keberadaan serangga tanah karena sangat diperlukan dalam respirasi. Ketersediaan O2 tergantung dari kedalaman tanah, semakin dalam tanah akan semakin sedikit jumlah O2 yang ada. ♣Kandungan humus Kandungan humus mempengaruhi frekuensi organisme pada tanah. Kandungan humus pada tanah hutan dan sirkulasi nitrogen menentukan ketersediaan dan biomassa saprofage. Sifat kimia tanah (keasaman, salinitas dan kandungan kalsium) Makrofauna tanah akan lebih sedikit dijumpai pada daerah dengan keasaman tinggi dibandingkan dengan tanah yang netral. Salinitas mempengaruhi water balance pada serangga tanah dengan perubahan tekanan osmotik dan kimia dan biasanya bersifat racun. Organisme atau serangga yang dapat bertahan pada tanah dengan salinitas tinggi disebut halofilik. Mineral-mineral seperti pospat, garam potassium, nitrat dan kalsium mempengaruhi komposisi fauna tanah. Secara tidak langsung mineral-mineral tersebut mempengaruhi ketersediaan, kesuburan dan pertumbuhan makanan serangga pada tajuk pohon yang menjadi makanan serangga. 10.
Peranan organisme tanah Biota tanah adalah komponen jasad hidup yang menjadikan tubuh tanah
sebagai ruang untuk menjalankan sebagian atau seluruh kegiatan ekofisiologisnya. Biota tanah dipilah menjadi tiga bangsa , yaitu bangsa tumbuhan, bangsa asosiasi, dan bangsa binatang (Lutz dan Chandler, 1965) dalam Purwowidodo (2004). Bangsa makrofauna tanah sering dipilah secara non-taksonomis antara lain berdasarkan : •
Lama menghuni tanah, terdiri dari kelompok binatang penghuni tanah untuk seluruh daur hidupnya ( binatang geobion ) dan untuk sebagian daur hidupnya ( binatang geofil )
113
•
Mintakat hunian, terdiri dari kelompok binatang penghuni serasah (binatang
epedaphon),
penghuni
serasah
membusuk
(binatang
hemiedaphon), dan binatang penghuni bahan mineral anorganik •
Cara mempengaruhi tanah, terdiri dari kelompok binatang endopedonik dan eksopedonik
•
Perilaku makan, terdiri dari kelompok binatang pemakan tumbuhan segar (binatang filofaga), pemakan sampah (binatang saprofaga), pemakan jasad renik (binatang mikrofitik) dan pemakan aneka jenis dan keadaan pakan (binatang miselanias)
•
Ukuran tubuh, terdiri dari mikrobiota, mesobiota dan makrobiota. Mikrobiota berukuran < 100 µm, mesobiota berukuran 100 µm-2 mm dan makrobiota berukuran 2-20 mm (De Bano et al., 1998)
Masing-masing organisme tersebut mempunyai peranan utama dalam memperbaiki struktur tanah dan siklus nutrien, dengan fungsi khusus pada setiap kelompok. Peranan-peranan organisme tanah tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Aktivitas masing-masing biota tanah dalam siklus nutrien dan pembentukan struktur tanah Mikrobiota
Siklus nutrien
Struktur tanah
Katabolis bahan organik,
Menghasilkan bahan oraganik
mengubah pergantian nutrien,
agregat, menjerat partikel hifa
mengatur populasi fungi dan
dalam agregat, memungkinkan
bakteri
untuk mempengaruhi struktur agregat melalui interaksi antara mikrofauna dan mikroflora
Mesobiota
Mengatur populasi fungi dan
Menghasilkan butiran feses,
mikrofauna, mengubah
membuat biopora, dan
pertukaran nutrien,
meningkatkan humifikasi
menghancurkan sisa-sisa tumbuhan Makrobiota
Menghancurkan sisa-sisa
Mencampurkan partikel
tumbuhan dan menstimulasi
organik dan mineral, redistribusi bahan organik dan
114
aktivitas mikrobial
mikroorganisme, membuat biopora, meningkatkan humifikasi, menghasilkan butiran feses.
Dampak Kebakaran Hutan 1. Dampak kebakaran terhadap tanah Tanah adalah tubuh alam yang berkembang akibat adanya saling tindak antara bahan induk, bentang alam, iklim dan jasad hidup dalam rentang waktu tertentu dengan melibatkan serangkaian proses pembentukan tanah (proses-proses pedogenik) (Purwowidodo,1998). Tanah hutan adalah sumberdaya tanah yang berada di suatu kawasan hutan. Tanah hutan merupakan sebutan yang dikaitkan dengan gatra keberadaannya dan tidak menunjuk pada ada atau tidak adanya keterkaitan genetis dengan tipe masyarakat tumbuhan berwujud di kawasan itu. Fungsi-fungsi dasar tanah hutan adalah : a) penyedia ruang berjangkar dan berkembang akar tumbuhan, b) penyedia oksigen, air dan hara, c) sebagai media yang memungkinkan tumbuh-tumbuhan bersaling tindak dengan jasad tanah (Purwowidodo,1998). Profil tanah terdiri dari akumulasi bahan organik (lapisan serasah, fermentasi, humus) dan horizon tanah (horizon A, E, B, C dan R). Lapisan Fermentasi dan humus dikenal juga dengan lapisan Duff (D). Horison A mengandung banyak mineral dan terletak di bawah lapisan litter (L), Fermentation (F) dan Humus (H). Horison B terdapat setelah horizon A (jika ada) atau di bawah horizon E. Horison C dan R terdapat setelah horison B. Akar-akar tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme dapat dijumpai pada semua horizon A, E, B dan C. Akar-akar tanaman yang dangkal ditemukan pada lapisan H atau setelahnya sehingga sangat mudah terkena dampak kebakaran yang terjadi di lapisan L dan D. Lapisan L, F, dan H sangat penting dalam membicarakan efek kebakaran terhadap tanah karena lapisan-lapisan ini terkena dampak langsung pemanasan
115
dari kebakaran permukaan dan lapisan ini juga mengandung sebagian besar bahan organic yang terdapat di tanah. Ada beberapa hal yang menentukan dampak kebakaran terhadap tanah yaitu (Brown dan Davis, 1973) : e) Frekuensi kebakaran Kebakaran yang terjadi hanya sekali mungkin akan berdampak kecil pada tanah dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi dua kali atau berulangkali pada tempat yang sama, sehingga periodisitas dan waktu kebakaran harus diidentifikasi dengan teliti dalam menilai dampak kebakaran terhadap tanah. f) Durasi dan intensitas panas Kebakaran dengan intensitas panas yang rendah dalam waktu yang lama dapat terjadi pada kebakaran duff dan gambut. Kebakaran tersebut mungkin tidak akan berdampak besar tetapi ketersediaan bahan bakar seperti sisa-sisa konifer yang kering dapat menyebabkan kebakaran yang tidak lama tapi menghasilkan panas yang tinggi. g) Lantai hutan Ada atau tidaknya lapisan duff, humus dan bahan organik lainnya pada lantai hutan dan jumlahnya yang terbakar adalah kunci penting dalam menilai dampak terhadap tanah. Pada kebanyakan tipe hutan khususnya konifer, bagian tumbuhan yang hancur membentuk lapisan yang terkadang satu kaki atau lebih dalam. Suatu kebakaran permukaan pada bagian atas lapisan ini tidak menyebabkan dampak langsung terhadap tanah meskipun dampak tidak langsungnya seperti matinya pohon-pohon yang menyebabkan perubahan kondisi hutan. Kebakaran bawah pada areal yang sama akan menyebabkan terbakarnya lapisan organik ini sehingga mineral tanah menjadi terbuka dan menyebabkan dampak langsung terhadap tanah. Perubahan pada lapisan organik ini juga akan berdampak pada bahan kimia yang masuk ke dalam tanah. h) Karakteristik tanah Ukuran partikel, tekstur dan struktur tanah akan menentukan dampak kebakaran terhadap tanah tersebut misalnya dengan kelembaban tanah dan kandungan organiknya. Tanah berpasir atau liat berpasir mempunyai perbedaan yang besar dalam struktur, tekstur, kelembaban dan karakteristik fisika dan kimia
116
seperti
konduktivitas
termal
dan
struktur
koloid.
Tanah
Mull
akan
mempertahankan permeabilitasnya meskipun lapisan humus pada permukaannya hilang, sementara jenis tanah yang lain tidak dapat melakukannya. Dampak-dampak kebakaran terhadap tanah dapat dilihat melalui dampak kebakaran terhadap sifat fisika, kimia dan biologi tanah.
2. Dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah Sifat fisik tanah adalah karakteristik, proses atau reaksi pada tanah yang dapat disebabkan oleh kekuatan fisik, dapat digambarkan atau diekspresikan dalam bentuk fisik atau persamaan (Soil Science of America 1997) dalam De Bano et al.(1998). Sifat-sifat fisik tanah yang penting yaitu tekstur, kandungan liat, bulk density, porositas, struktur, rataan infiltrasi, temperatur tanah dan repelensi air (DeBano et al., 1998). Pertanian dan penebangan hutan yang buruk juga akan menyebabkan terbukanya hutan sehingga kebakaran akan lebih sering terjadi serta erosi dan aliran permukaan yang berlebihan. Terbukanya tanah akan memudahkan pemadatan tanah sehingga dapat mengurangi infiltrasi dan menyebabkan turunnya kelembaban tanah. Turunnya kelembaban tanah akan memudahkan terjadinya kebakaran, selain itu juga akan menurunkan simpanan air tanah, permukaan air tanah dan aliran sungai. Tanah yang lebih padat atau keras akan menyebabkan partikel tanah dalam ukuran yang lebih besar dan berubahnya struktur koloid. 3. Dampak kebakaran terhadap sifat kimia tanah Sifat kimia tanah adalah karakteristik, proses, atau reaksi dari badan kimia, sifat kimia dan reaksi kimia yang terjadi pada tanah. Sifat kimia tanah yang terkena dampak kabakaran adalah bahan organik, kapasitas tukar kation (KTK), pH, buffer dan proses nutrien (temasuk spesies, ketersediaan, keluaran dan siklus) (DeBano et al., 1998). Dampak kimia karena kebakaran pada tanah terjadi melalui pelepasan mineral saat terbakar dan meninggalkan abu serta perubahan kondisi mikroklimat yang mengikuti kebakaran.
117
Dampak-dampak kebakaran terhadap kimia tanah antara lain pelepasan mineral yang tercuci ke dalam tanah dan turunnya keasaman tanah. Menurut Giovannini et al. (1998) dalam DeBano et al. (1998) pemanasan diatas 460°C menguapkan kelompok hidroxyl (OH) dari liat dan merusak struktur karbonat. Perubahan tidak dapat balik ini menghasilkan tanah yang kurang porous, kurang plastis, kurang elastis dan bereridibel tinggi (DeBano et al., 1998). Kebakaran juga akan menyebabkan meningkatnya bahan organik pada lapisan permukaan tanah. 11.
Dampak kebakaran terhadap sifat biologi tanah
Seperti yang telah dijelaskan di atas sifat biologi tanah dianggap menggambarkan suatu cakupan yang luas dari organisme hidup yang mendiami tanah dan berkontribusi secara langsung terhadap produktivitas dan sutainabilitas ekosistem darat secara keseluruhan, menurut DeBano et al. (1998). Organisme-organisme yang hidup di tanah ini terdiri dari kumpulan binatangbinatang dan tumbuhan-tumbuhan, dengan ragam ukuran mulai dari bakteri dan fungi yang mikroskopis sampai vertebrata-vertebrata kecil yang terdapat di bawah permukaan tanah dalam seluruh atau sebagian daur hidupnya. Seranggaserangga termasuk organisme biologi yang penting. Komponen biologi yang lain adalah akar tanaman dan biji-biji tumbuhan (DeBano et a.,1998). Organisme-organisme tanah ini sangat terpengaruh dengan adanya kebakaran. Ada beberapa faktor yang menyebabkan matinya organisme tanah terutama makrofauna tanah karena kebakaran yaitu denaturasi protein, inaktivasi termal enzim yang lebih cepat daripada yang dapat dibentuk, suplai oksigen yang tidak cukup, efek temperatur yang berbeda pada reaksi metabolis yang saling terkait dan efek temperatur terhadap struktur membran (Whelan,1995). Dampak kebakaran terhadap organisme tanah ini secara langsung adalah merusak dan membunuh organisme tanah ini terutama yang berada di permukaan atau dekat dengan permukaan tanah. Dampak tidak langsungnya adalah melalui suksesi tumbuhan, transformasi bahan organik tanah dan mikroklimat (DeBano et al., 1998) serta perubahan kimia tanah yang dapat menstimulasi aktivitas biologis. c) Dampak Langsung Kebakaran secara langsung mempengaruhi sebagian besar mikroorganisme yang membantu proses siklus nutrien. Suatu komponen penting pada sistem biologi tanah yang dapat dipengaruhi oleh pemanasan tanah adalah rhizosphere. Energi tersimpan dalam eksudat dan sekresi yang kaya C dihasilkan oleh rhizosphere untuk mendukung populasi bakteri pengikat N dan pelepas enzim, peningkatan hormon, antibiotik, atau chelating compound.
118
Rhizosphere juga termasuk mycorrizae yang meningkatkan pengambilan nutrien oleh tumbuhan dan berkontribusi langsung terhadap produktivitas ekosistem darat. Pemanasan tanah membunuh organisme-organisme tanah, terutama mikrobiota, secara langsung atau dengan mengubah kapasitas reproduksinya (DeBano et al., 1998). Dampak langsung terhadap mikroorganisme juga berhubungan dengan perubahan kondisi tanah. Sebagai contoh, bakteri heterotropik dapat dipengaruhi dengan hilangnya sumber energinya selama pamanasan terhadap bahan organik, (DeBano et al., 1998). Keasaman tanah juga menurun setelah kebakaran pada tumbuhan sehingga mempengaruhi organisme yang rentan terhadap perubahan ini. d) Dampak tidak langsung Dampak tidak langsung kebakaran terhadap organisme tanah lebih kompleks dibandingkan dampak langsungnya dan dapat merubah proses ekosistem selama bertahun-tahun. Gangguan yang mematikan atau merusak tumbuhan berdampak pada organisme-organisme yang tergantung pada produk tumbuhan tersebut untuk energi, nutrien, dan habitat, khususnya fungi micorrhizae dan organisme-organisme yang termasuk rhizosphere. Demikian pula kebakaran terhadap sisa-sisa kayu yang besar, lapisan duff pada lantai hutan dan bahan organik tanah dapat menimbulkan efek dalam waktu yang lama pada produktivitas lahan, aggregasi tanah dan air dalam tanah (DeBano et al,.1998). Kebakaran dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi makrofauna tanah terutama invertebrata. Efek kebakaran terhadap invertebrata sebagaimana halnya organisme lainnya sangat tergantung pada tingkat kebakaran yang terjadi. Menurut DeBano et al.(1998) efek kebakaran terhadap invertebrata dapat sebentar ataupun dalam waktu yang lama. Secara umum invertebrata berkurang setelah kebakaran terjadi karena organisme tersebut atau telurnya mati oleh nyala api atau suhu tanah yang letal atau karena terganggunya suplai makanan dan habitatnya. Di sisi lain ada invertebrata yang mmeningkat setelah kebakaran karena pohon yang rusak atau mati menjadi habitat yang lebih sesuai untuk perkembangannya. Makroinvertebrata yang berada pada lapisan tanah yang lebih dalam akan terlindung dari kebakaran yang besar. Suatu studi di Afrika Selatan menunjukkan bahwa sebagian besar invertebrata pada kedalaman tanah 2,5 cm dapat bertahan pada kebakaran yang relatif rendah (DeBano et al., 1998). Tapi di Australia, berkurangnya lapisan litter menyebabkan turunnya jumlah dan kerapatan spesies invertebrata pada tanah dan permukaan. Tiga kelompok invertebrata permukaaan bisa dibedakan berdasarkan perbedaan reaksi, yaitu perubahan kelimpahan, pada kebakaran di lahan bekas tebangan hutan pinus dan spruce. Kelompok pertama, termasuk berbagai Coleoptera, jumlah yang tersisa sedikit setelah kebakaran, meskipun yang dewasa dapat bertahan pada daerah yang tersembunyi. Pengurangan stok makanan pada daerah tersebut setelah kebakaran menyebabkan turunnya jumlah larva serangga ini. Kelompok kedua terdiri dari spesies yang kelimpahannya menunjukan osilasi yang luas pada lahan terbakar, seperti pada
119
Collembola. Kelompok ketiga termasuk serangga seperti larva Diptera yang pasti menurun setelah kebakaran dan setelah beberapa tahun kembali pada jumlah seperti saat hutan belum terbakar ( Szujecki, 1987). Dampak kebakaran terhadap beberapa jenis invertebrata pada tanah dapat dilihat berikut ini : 1) Semut Menurut Anderson et al.(1989) dalam DeBano et al.(1998) kebakaran dapat meningkatkan populasi semut. Suatu studi di Australia terhadap vegetasi sclerophyllous menunjukkan bahwa semut menkonsumsi biji yang banyak dihasilkan pada awal suksesi tanaman setelah kebakaran. 2) Belalang Kebakaran di padang rumput Illionois menurunkan jumlah fauna tanah dan populasi serangga permukaan termasuk belalang (DeBano et al., 1998). Kerapatan belalang dewasa dan nimpa di Arizona selatan menurun lebih dari 60% pada plot yang dibakar dibandingkan dengan plot yang tidak terbakar pada tahun pertama setelah kebakaran, menurut Bock (1991) dalam DeBano et al.(1998). Perbedaan ini hilang setelah tahun kedua. 3) Cacing tanah Cacing tanah sejak lama sudah dikenal sebagai salah satu invertebrata yang penting pada komponen tanah. Cacing tanah berperan dalam dekomposisi serasah, mineralisasi C pada tanah dan lapisan permukaan. Efek pemanasan tanah pada cacing tanah tidak diketahui secara pasti. Satu studi di padang rumput yang cukup tinggi menunjukkan dampak tidak langsung dari kebakaran kemungkinan lebih penting daripada dampak langsung terhadap populasi cacing tanah (DeBano et al., 1998). Peningkatan aktivitas cacing tanah berasal dari perbedaan produktivitas tanaman setelah kebakaran, dengan tanah pada lahan terbakar benar-benar dipenetrasi oleh akar dan rhizoma tumbuhan. Cacing tanah ditemukan pada 10-20 cm di bawah permukaan tanah, jadi kemungkinan cacing tanah terhindar dari efek langsung kebakaran atau pemanasan tanah, kecuali pada kasus dimana kebakaran yang cukup parah terjadi dalam waktu yang lama pada bagian bawah log atau sisa tanaman. 12.
Fire Severity Menurut Simard (1991) dalam De Bano et al.(998) Fire severity adalah
suatu penilaian yang menggambarkan respon ekosistem terhadap kebakaran, dapat digunakan untuk mendeskripsikan efek kebakaran pada sistem air dan tanah, ekosistem flora dan fauna, atmosfer dan manusia. Fire severity sangat tergantung pada bahan bakar alami yang tersedia dan perilaku api saat bahan bakar dibakar.
120
Fire severity dapat diklasifikasikan berdasarkan hal-hal di bawah ini (De Bano et al., 1998): a. Dimensi vertikal dan horizontal kebakaran : - Low fire severity : Pemanasan tanah rendah terjadi jika permukaan terbakar tapi serasah yang tersisa banyak/utuh. Mineral tanah tidak berubah Moderate fire severity : Terjadi dimana permukaan hutan terbakar dan serasah terbakar dalam tetapi mineral tanah di bawah permukaan tidak terlihat perubahan. Terdapat abu yang berwarna terang. Sebagian besar sisa-sisa kayu terbakar kecuali log-log yang yang terbakar dalam. Pada semak atau rumput, terdapat abu berwarna abu-abu atau putih dan hangus terlihat pada kedalaman >1 cm pada mineral tanah, tetapi tanahnya tidak berubah. Temperatur tanah pada kedalaman 1 cm dapat mencapai 100-200°C. Suhu letal bagi organisme tanah terjadi pada kedalaman kurang dari 3-5 cm. - High fire severity : Terjadi dimana serasah seluruhnys terbakar dan mineral tanah bagian atas terlihat kemerahan/orange pada lahan yang terbakar parah. Warna tanah pada kedalaman 1 cm lebih hitam daripada bahan organic. Lapisan yang hangus dapat mencapai kedalaman ≥10 cm. Log-log terbakar atau terbakar dalam. Tekstur tanah pada lapisan permukaan berubah dan melebur, ditandai adanya arang yang dapat diamati secara lokal. Semua batang semak terbakar dan terlihat sisa-sisa yang mengarang dalam jumlah besar. Temperatur tanah 1 cm lebih dari 250°C. Temperatur letal untuk organisme tanah terjadi pada kedalaman ≤ 9-16 cm. b. Persentase dari total areal yang terbakar : - Low- severity burn : < 2% areal terbakar berat, <15% terbakar sedang dan sisanya terbakar ringan ataupun tidak terbakar. - Moderate-severity burn : <10% areal terbakar berat, tapi >15% areal terbakar sedang dan sisanya terbakar ringan ataupun tidak terbakar. - High-severity burn : >10% mempunyai titik-titik yang terbakar sangat parah, >80% terbakar berat atau sedang dan sisanya terbakar ringan. c. Kerusakan pada pohon yang teramati : - Low fire severity : Minimal 50% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat,dengan sisa kebakaran berupa terbakarnya tajuk,matinya tunas
121
(bagian atas mati tapi berkecambah), atau matinya akar, >80% pohon-pohon yang rusak/ terbakar dapat bertahan. - Moderate fire severity : 20-50% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran; 40-80% pohon-pohon yang rusak /terbakar dapat bertahan. - High fire severity : <20% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, sisa kebakaran sebagian besar berupa kematian akar, <40% Pohonpohon yang rusak/ terbakar dapat bertahan.
Forest Health Monitoring (FHM) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan ( UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ) dalam Nuhamara (2004). Menurut Helans (1998) dalam Nuhamara (2004) hutan adalah ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutupan pohon yang agak rapat dan luas, sering terdiri dari tegakan yang memiliki berbagai karakteristik seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, serta proses-proses terkait dan umumnya meliputi pula padang rumput, perairan ikan dan satwa liar. Sebagai suatu ekosistem yang luas maka hutan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Fungsi-fungsi hutan seperti konservasi tanah dan air, habitat makhluk hidup, sumber makanan, carbon storage dan sebagainya sangat diperlukan untuk menjaga lingkungan hidup. Selama suatu areal hutan dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik maka hutan tersebut bisa dikatakan ‘sehat’. Secara umum, hutan yang sehat memperlihatkan keseimbangan antara pertumbuhan, kematian dan regenerasi; diversity biologi; dan kemampuan untuk bertahan dan pulih dari dampak yang ditimbulkan oleh gangguan yang bervariasi, seperti serangga atau penyakit, iklim yang tidak mendukung dan polusi udara (NASF 2002a) dalam Putra (2004). Parameter yang dapat digunakan dalam pengukuran kesehatan hutan adalah luasan total hutan, luas tiap bagian hutan, laju pertumbuhan pohon dan
122
tanaman lainnya, jumlah pohon yang mati alami setiap tahunnya, kondisi dan diversitas tanaman di bawah lapisan kanopi hutan, dan jumlah spesies hewan yang didukung oleh ekosistem. Parameter pengukuran lain melibatkan transparansi tajuk, persentase mati pucuk pada tajuk pohon dan kerapatan tajuk (MDNR-FS 2002) dalam Putra (2004). Informasi tentang sehat atau tidaknya kondisi hutan sangat diperlukan di Indonesia sebagai dasar yang kuat dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikatakan sudah rusak. Forest Health Monitoring (FHM) merupakan salah satu cara yang berusaha diterapkan di Indonesia untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi hutan secara kontinyu. FHM/Pemantauan Kesehatan Hutan ini terutama dikembangkan dengan kegiatannya adalah pengembangan program, pengelolaan program, pelatihan, membangun plot, pengumpulan data dan analisis, pelaporan penaksiran dan pengembangan indikator (Nuhamara,2004).
1. Tujuan FHM Tujuan program FHM (di Amerika Serikat) antara lain (Nuhamara , 2004): Membuat perkiraan dengan cara yang dapat dipercaya mengenai status, perubahan, dan kecenderungan indikator-indikator terpilih mengenai kondisi ekosistem hutan berdasarkan wilayah. Menyediakan informasi mengenai kesehatan ekosistem hutan dalam bentuk ringkasan statistik tahunan dan laporan-laporan interpretasi periodik untuk keperluan pengambilan kebijakan dan pengelolaan. Memperbaiki keefektifan dan keefisienan pemantauan kesehatan hutan melalui penelitian langsung
Komponen Forest Health Monitoring (FHM)
123
Menurut Berg (2002) dalam Putra (2004) program FHM melakukan pendekatan melalui tiga komponen yang saling berkaitan : koleksi data, analisa data, dan pelaporan informasi mengenai kondisi kesehatan dari seluruh hutan yang terdapat di Amerika Serikat secara detail. Ketiga komponen tersebuat adalah: Detection Monitoring ( Apa, dimana, kapan) : merekam kondisi ekosistem hutan, melakukan estimasi pada kondisi saat ini, dan mendeteksi perubahan yang terjadi. b. Evaluation Monitoring ( Bagaimana ) : menjelaskan fenomena khusus perubahan yang terdeteksi dan jika memungkinkan menjelaskan penyebab perubahan tersebut, dan menyediakan dasar bagi tindakan-tindakan perbaikan yang perlu dilakukan c. Intensive Site Ecosystem Monitoring (Mengapa) : menyediakan informasi yang detil dan berkualitas tinggi yang memungkinkan dialukannya pendugaan yang cermat pada hubungan sebab akibat proses-proses yang membentuk ekosistem hutan, dan mendukung penelitian eksperimental pada lokasi-lokasi tertentu yang mewakili ekosistem hutan yang penting. d. Research on Monitoring Technique (ROMT) : Penelitian aspek biologi, statistik, dan analisis FHM, merupakan aktivitas keempat yang mendukung keselruhan tiga komponen yang lain.
124
125
IV. METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan bulan Juli 2005 di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada areal bekas terbakar dan areal tidak terbakar. Ekstraksi dan identifikasi makrofauna tanah dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Untuk mengidentifikasi makrofauna tanah digunakan beberapa buku seperti Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et.al, 1996), Acarology, Mites And Human Welfare (Woolley, 1988) dan The pests of Crops In Indonesia (Kalshoven,1981). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
B. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah, alkohol 70%, air, kantung plastik transparan dan kertas label. Alat-alat yang akan digunakan adalah timbangan O Hauss, termometer, kompas, Hygrometer, corong Berlis, oven, parang, pisau, meteran, cangkul, palu, ring, gelas ukur, tabung film bekas, kain kasa, botol aqua, penggaris, alat tulis dan kamera.
126
C. Metode Penelitian 1. Penentuan petak pengamatan Penentuan petak pengamatan dalam Forest Health Monitoring ( FHM ) dilakukan dengan membuat desain plot sampling. Desain plot sampling yang digunakan dalam INDO-FHM disebut Desain Cluster Plot. Desain Cluster Plot berdasarkan pada Monitoring Kesehatan Hutan : Field Methods Guide. Pada setiap cluster plot terdiri dari 4 annular plots dengan jari-jari 17,95 m dan di dalamnya terdapat sub plot dengan jari-jari 7,32 m. Di dalam sub plot dibuat mikro plot dengan jari-jari 2,07 m yang titik tengahnya terletak pada 3,66 m dari pusat sub plot dengan azimut 90º ke arah timur. Pengamatan dilakukan pada hole yang terletak pada pertengahan garis yang menghubungkan antara annular plot dengan jarak dari pusat annular plot 18,3 m. Petak pengamatan biota tanah dibuat dengan ukuran 0,5 x 0,5 m. Pengamatan dilakukan pada permukaan tanah dan tingkat kedalaman 0 –5 cm pada lahan yang tidak terbakar dan lahan yang terbakar. Binatang-makrofauna tanah yang dijumpai dan yang dapat ditangkap dimasukkan ke dalam tabung-tabung plastik berisi alkohol 70% yang telah diberi label berdasarkan petak pengamatan dan tingkat kedalamannya. Pengamatan dilakukan pada areal satu tahun setelah terbakar. Pengamatan pada areal yang tidak terbakar terletak pada 150,1 m dengan azimut 150º dari titik ikat, sedangkan areal terbakar terletak pada 91,5 m dengan azimut 140º dari titik ikat. 2. Ekstraksi makrofauna tanah Untuk mengekstraksi makrofauna tanah digunakan metode corong Barlese-Tullgren. Alat ini dapat digunakan untuk mengekstraksi Arthtropoda tanah seperti Acarina, Collembola, Isopoda, Coleoptera dari contoh tanah atau serasah. Contoh tanah yang telah diambil di lapangan diletakkan dalam corong. Pada alat ekstraktor ini ada sumber panas yang berguna untuk memaksa hewan tanah turun dan jatuh ke dalam botol koleksi yang terletak di bagian bawah
127
corong. Biasanya sumber panas itu berupa lampu listrik. Di botol koleksi hewan tanah itu terdapat zat kimia tertentu untuk mengawetkan makrofauna tanah yang masuk ke dalamnya. Zat kimia tersebut bisa berupa alkohol 76% atau asam pikrat jenuh (Suin, 1989). Pada bagian leher corong diletakkan kain kasa yang berfungsi untuk menyaring hewan tanah dan menahan tanah agar tidak jatuh ke dalam botol koleksi.
3. Analisis data Analisis
keragaman,
kekayaan
dan
kemerataan
jenis
dilakukan
pengamatan pada lahan yang terbakar dan lahan yang tidak terbakar. Uji T digunakan untuk membedakan variabel di plot yang terbakar dan tidak terbakar. 3.1. Nilai Kekayaan Jenis (Richness Index) Nilai kekayaan jenis digunakan untuk menegtahui keanekaragaman jenis berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem. Indeks yang digunakan adalah indeks kekayaan jenis Margalef : DMg = (S – 1) ln N Keterangan : DMg = Indeks Kekayaan Jenis Margalef S
= jumlah jenis yang ditemukan
N
= jumlah individu seluruh jenis
3.2. Nilai Keragaman Jenis (Diversity Index) Keragaman jenis berdasarkan kelimpahan individu diketahui dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener :
128
H’ = - ÓPi ln Pi Keterangan : H’
Pi = ni/N = indeks keragaman jenis Shannon-Wiener
ni
= jumlah individu jenis ke-I
N
= jumlah total individu
Jumlah individu jenis ke-i (ni) diperoleh dengan memperhitungkan nilai frekuensi kemunculan jenis tersebut dari seluruh petak pengamatan disetiap ekosistem. ni = Frekuensi x jumlah individu yang tertangkap Frekuensi = Ó Petak ditemukan jenis ke-i Seluruh petak yang diamati Nilai H’ berkisar antara 1,5 – 3,5. Nilai <1,5 menunjukkan keragaman rendah, nilai 1,5 – 3,5 menunjukkan keragaman sedang dan nilai > 3,5 menunjukkan keragaman tinggi (Magurran, 1998) dalam Abidin (2005).
3.3. Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index) Indeks ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan setiap jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai Evennes : E = H’/ ln S Keterangan : E
= indeks kemerataan jenis
H’
= indeks kelimpahan individu jenis Shannon-Wiener
S
= jumlah jenis yang ditemukan
Nilai E berkisar antara 0 – 1. Nilai 1 menunjukkan seluruh jenis ada dengan kelimpahan yang sama (Magurran, 1998) dalam Abidin (2005). 4. Pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat-sifat tanah Analisis sifat fisik tanah berupa bobot isi tanah digunakan contoh tanah utuh yang diambil dengan menggunakan tabung silindris sedangkan untuk mengetahui tekstur tanah digunakan contoh tanah komposit yang diambil dari
129
lahan yang terbakar dan lahan yang tidak terbakar. Sifat fisika tanah yang dianalisis meliputi tekstur dan bobot isi tanah. 4.2. Analisis tekstur tanah dengan metode rabaan Tekstur tanah adalah perbandingan nisbi aneka kelompok ukuran jarah/pisahan tanah yang menyusun massa tanah pada suatu tubuh tanah. Pisahan tanah yang dikaji adalah : pasir, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.2 – 2.0 mm, debu, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.02 – 0.2 mm, dan lempung, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.02 mm (Purwowidodo, 2004). Kelas tekstur tanah yang digunakan untuk analisis dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel. 2. Kelas tekstur tanah dengan metode rabaan No 1.
Kelas Tekstur Pasir
2.
Pasir berlempung
3.
Lempung berpasir
4.
Lempung berdebu
5.
Lempung
6.
Debu
7.
Lempung berliat
8.
Lempung liat berpasir
9.
Lempung liat berdebu
10.
Liat berpasir
Rasa dan sifat tanah Terasa kasar, tidak dapat dibentuk menjadi pola, gulungan dan tidak melekat Terasa kasar, dapat dibentuk menjadi bola tetapi mudah hancur, sedikit melekat Agak kasar, membentuk bola agak keras, mudah hancur dan melekat Terasa licin, dapat membentuk bola, pita, dan melekat Tidak kasar dan tidak licin; dapat membentuk bola teguh, dapat digulung dan permukaannya mengkilat, melekat Terasa licin sekali, dapat membentuk bola teguh, dapat digulung dan permukaannya mengkilat, agak melekat Terasa agak kasar, dapat membentuk bola agak teguh, dapat dibentuk menjadi gulungan jika dipijit, gulungan mudah hancur, melekat Terasa agak kasar, dapat dibentuk menjadi bola agak teguh, membentuk gulungan jika dipijit, gulungan mudah hancur dan melekat Terasa licin dengan jelas, dapat membentuk bola teguh, dapat membentuk gulungan berkilat dan melekat Terasa licin agak kasar, membentuk bola, dalam keadaan kering sukar dipijit, mudah digulung dan melekat
130
11.
Liat berdebu
12.
Liat
13.
Liat berat
Rasa agak licin, membentuk bola, dalam keadaan kering sukar dipijit, mudah digulung dan sangat melekat Terasa berat, dapat membentuk bola yang baik dan melekat sekali Terasa berat sekali, dapat membentuk bola dengan baik dan sangat melekat.
Penentuan tekstur tanah di lapangan dapat dilakukan dengan cara membasahi tanah kemudian dipijat-pijat dengan ibu jari dan telunjuk. Sambil dirasa-rasakan dibentuk bola lembab, digulung-gulung dan dilihat daya tahannya terhadap tekanan dan kelekatannya sewaktu jari telunjuk dan ibu jari dipisahkan. Dari hasil pembentukan bola, gulungan kelekatan, dan rasa licin/kasar dapat ditentukan tekstur tanahnya (Suin, 1989). 4.2. Penentuan bobot isi tanah dengan metode tabung silindris Penentuan bobot isi tanah dengan menggunakan metode tabung silindris dapat dilakukan dengan cara berikut (Purwowidodo, 2004) : ♣ Menetapkan titik pengambilan contoh tanah dan membersihkan permukaannya dari serasah, batu kecil dan atau tumbuhan bawah yang menutupimya. ♣ Meletakkan tabung silindris berarah cacak terhadap permukaan tanah dengan ujung yang tajam berada di bawah ♣ Menempatkan alas papan di permukaan atas tabung dan memukulnya dengan palu, berselang teratur, hingga tabung silindrisnya menerobos tubuh tanah sampai tiga perempat bagian tinggi. Kemudian ditempatkan tabung silindris kedua di atas tabung silindris pertama dengan perlakuan serupa. ♣ Menggali tanah di sekitarnya untuk mengambil kedua tabung tersebut secara rampatan dan tetap menyatu. Kedua tabung dipisahkan dengan mengiris massa tanah yang menghubungkan dan menutupinya. ♣ Menimbang contoh tanah dalam tabung silindris tanpa tutupnya ( = a g ) untuk mengetahui berat tanah keadaan lapangan dengan tabungnya atau di oven selama 24 jam pada suhu 105• C kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering oven dengan tabungnya ( = b g )
131
♣ Mengukur tinggi tabung (t) dan Ø tabung sisi dalam (d) untuk menetapkan volume tabung sisi dalam (Vd) dengan persamaan : Vd = ¼ ëd2t ♣ Membuang contoh tanah dalam tabung silindris dan menimbang tabungnya (=cg) ♣ Menetapkan besaran bobot isi tanah pada keadaan kering lapangan dengan persamaan : bobot isi kering lapangan (g/cc) = (a-c) / Vd ♣ Menetapkan besaran bobot isi tanah pada keadaan kering oven dengan persamaan : bobot isi kering oven (g/cc) = (b-c) / Vd
4. Pengukuran suhu dan kelembaban udara Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan pada contoh di lapangan. Suhu tanah diukur dengan menggunakan termometer tanah. Suhu udara diukur dengan menggunakan termometer udara dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan Hygrometer.
132
Azimuth 1-2 3600 Azimuth 1-3 1200 Azimuth 1-4 2400
Subplot
Annular plot Jari-jari 58.9’ (17.95 m)
2
Jari-jari 24.0’ (7.32 m)
1
Jarak antara tiap titik pusat plot : 120`(36,6 m) Letak Petak Pengamatan Makrofauna Tanah
4
3
Microplot Jari-jari 6.8’ (2.07 m) azimuth 90 0 dari titik pusat subplot (3.66m)
Gambar 2. Bentuk klaster FHM (USDA Forest Servis, 1997 dalam Supriyanto et al, 2001)
133
Gambar 3. Ekstraksi binatang tanah dengan tabung Berlese Keterangan : A = Lampu listrik B = Corong Barlese C = Kain kasa D = Kaki tiga E = Tabung/ botol penampung binatang tanah
134
V. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Luas Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak sekitar 2,5 km kearah selatan dari jalan Bogor-Sukabumi yang berjarak 55 km dari Bogor dan 15 km dari Sukabumi. Pada tahun 1958 HPGW mempunyai luasan + 100 ha yang berupa hutan tanaman dan sisanya berupa tanah kosong yang ditumbuhi semak, alangalang, dan beberapa pohon yang sangat jarang. Secara geografis kawasan ini terletak pada 060 53’35” -060 55’10” Lintang selatan (LS) dan 106047’50” -106051’30” Bu jur Timur (BT) dengan ketingggian 557 meter di atas permukaan laut (m dpl) dengan luasan semula adalah 359 ha dan kini menjadi sekitar 349 ha. Secara administratif, HPGW terletak di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi, Jawa Barat. Berdasarkan pembagian wilayah kehutanannya kawasan HPGW termasuk dalam administrasi Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gede Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sukabumi, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Kawasan ini ditetapkan sebagai hutan pendidikan pada tahun 1969 dengn luasan 359 ha. Secara umum, HPGW dibagi menjadi tiga blok kawasan pengelolaaan, yaitu : Blok I (Cikatomas), areal sebelah timur dengan luasan sekitar 120 ha. Blok II (Cimenyan), areal sebelah barat dengan luasan sekitar 125 ha. Blok III (Tangkalak), areal bagian tengah dengan luasan sekitar 114 ha. (Fahutan –IPB, 2001) dalam (Raharjo, 2003). Berdasarkan
SK.
Menteri
Kehutanan
Republik
Indonesia
No :
188/Menhut– II/2005 tanggal 8 juli 2005 tentang penunjukkan dan penetapan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 ha di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat sebagai kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (HDTK) untuk hutan Pendidikan dan Latihan Fakultas Kehutanan IPB yang pengelolaannya diserahkan secara penuh kepada Fakultas Kehutanan IPB. Salah satu realisasi dari SK tersebut adalah digunakannya HPGW untuk kegiatan
135
akademik yaitu praktek lapang untuk program Diploma Budidaya Hutan dan Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Geologi dan Tanah Kandungan batu alam di HPGW terdiri dari batuan sedimen vulkanik berwarna hijau semu abu-abu yang membentuk seri lapisan yang sangat tebal hingga mencapai sekitar 35 cm. Lokasi HPGW pada struktur sosialnya terdiri atas lapisan tufa dasit yang pada horizon tertentu diselingi dengan batuan tufa andesit yang merupakan bagian dari formasi breksi tua yang berumur myosin. Keadaan geologi di HPGW merupakan pulau myosin di tengah-tengah batuan vulkanik kwarter yang berasal dari Gunung Gede dan Gunung Salak. Menurut Peta Geologi lembar Bogor-Jawa Barat (1974), Gunung Walat dan sekitarnya dibangun oleh batuan sedimen tersier bawah (oligosen) yang disebut formasi Walat. Formasi Walat ini terutama tersusun oleh batuan pasir kuarsa yang berlapis silang, konglomerat keral kuarsa, lempung karbonat, lignit dan lapisan-lapisan arang tipis. Makin ke atas ukuran butiran bertambah dan tersingkap di Gunung Walat dekat Cibadak dan sekitarnya. Pasir dari formasi ini dapat digunakan untuk pembuatan gelas dan tebalnya diperkirakan mencapai 1000-1373 meter (Fahutan – IPB, 2001) dalam (Rahardjo, 2003) Kondisi tanah di kawasan HPGW umumnya terdiri dari jenis tanah yang kompleks, diantaranya podsolik merah kuning, latosol dan litosol dari batuan endapan dan beku di daerah bukit. Secara detail, Gunung Walat termasuk jenis tanah dari keluarga tropohumult tipik (latosol merah kuning), tropodult tipik (latosol cokelat), dystripept tipik (podsolik merah kuning), dan troportent lipik (litosol). Keadaan ini menunjukkan kondisi tanah pada kawasan ini heterogen (Fahutan-IPB, 2001) dalam (Rahardjo, 2003). Pada bagian barat daya kawasan HPGW terdapat areal peralihan dengan jenis batuan karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst/gamping. Salah satunya adalah gua alam Cipeureu yang terbentuk dari batuan karst. Bagian selatan kawasan HPGW memiliki anak sungai yang berair
136
sepanjang tahun yang merupakan sumber air bersih bagi masyarakat sekitarnya (Fahutan-IPB, 2001) dalam (Rahardjo,2003).
C. Topografi HPGW terletak pada ketinggian 500-700m dpl dengan topografi yang bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan. Sementara di bagian utara memiliki kondisi topografi yang semakin berat. Kondisi topografi di kawasan HPGW ini adalah bergunung (98 ha), berbukit (42 ha), bergelombang (23 ha), berombak (9 ha) dan datar (4 ha). Di sebelah utara kawasan ini terdapat punggung bukit yang memanjang dari ujung timur sampai ujung barat. Di bagian tengah punggung bukit terdapat patok triangulasi KQ 2212 dengan ketinggian 676 m dpl. Sedangkan di bagian timur penggung bukit terdapat patok triangulasi KQ 2213 dengan ketinggian 726 m dpl dan merupakan titik tertinggi di kawasan HPGW (Fahutan-IPB, 2001) dalam (Rahardjo, 2003). D. Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan data curah hujan Gunung Walat tahun 2000 – 2005 dari Laboratorium Pengaruh hutan Fakultas Kehutanan IPB diperoleh curah hujan ratarata sebesar 2272.79 ml/bulan dengan rata-rata hari hujan 10 hari/bulan. Curah hujan rata-rata terendah terjadi pada tahun 2001 (1797.67 ml/bulan). Iklim dan curah hujan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kebakaran hutan yang terjadi di HPGW. Tinggi atau rendahnya curah hujan akan mempengaruhi kondisi bahan bakar. Curah hujan yang rendah menyebabkan pengeringan bahan bakar pada hutan yang akan mempermudah terjadinya kebakaran hutan. Data curah hujan dan hari hujan di HPGW pada tahun 2000 – 2005 dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
137
Tabel. 3. Data curah hujan dan hari hujan rata-rata tahun 2000-2002 Tahun 2000 2001 2002 curah hujan hari hujan curah hujan hari hujan curah hujan hari hujan 1 3676 23 4323 21 1982 15 2 0 0 2091 17 2030 18 3 3664 16 4013 21 3420 17 4 4710 16 2065 16 3508 22 5 1683 11 1240 13 596 10 6 595 4 604 10 815 5 7 418 3 240 10 3508 6 8 295 2 121 4 153 1 9 1516 8 98 10 1184 1 10 2633 16 452 23 2714 3 11 4596 18 2410 23 1690 20 12 1816 12 3915 5 5232 15 Rata-rata 2133.50 11 1797.67 14 2236.00 11 Sumber : Laboratorium Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan IPB (2005) Bulan
Tabel. 4. Data Curah hujan dan hari hujan rata-rata tahun 2003-2005 Tahun 2003 2004 2005 curah hujan hari hujan curah hujan hari hujan curah hujan hari hujan 1 5247 8 2388 12 1243 8 2 4420 12 991 5 2840 9 3 3150 14 2794 13 2118 5 4 3282 13 4712 18 1453 9 5 2402 3 36 2 2078 12 6 2638 2 240 2 3927 10 7 1011 0 971 5 8 699 3 0 0 9 1134 5 671 6 10 3966 14 1197 6 11 4355 8 2371 11 12 1286 16 12358 16 Rata-rata 2799.17 8 2394.08 8 2276.50 9 Sumber : Laboratorium Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan IPB (2005) Bulan
Keterangan : ♣ Pada bulan Februari 2000 tidak ada pengukuran karena ada kerusakan alat ♣ Bulan Juli – Desember belum ada data pengukuran curah hujan
138
E. Flora dan Fauna Kondisi penutupan lahan oleh vegetasi di kawasan HPGW sekitar 75 % adalah hutan tanaman yang ditanam sejak tahun 1958 dengan dominasi jenis damar (Agathis dammara), tusam-pinus (Pinus merkusii), mahoni (Swietenia macrophylla), beberapa jenis pinus asing (Pinus oocarpa, Pinus caribaea, pinus insularis), sonokeling (Dalbergia latifolia), rasamala (Altingia excelasa), cendana (Santalum album), puspa (Shcima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), jenis-jenis acacia (Acacia auriculiformis dan Acacia mangium). Tumbuhan bawah yang terdapat di kawasan HPGW ini antara lain alangalang (Imperata cylindrica), harendong (Melastoma malabathricum), pakis areuy (Nekania scanden), pakis rane (Selaginella plana), rumput antaran (Viola odorata), rumput jampang (Phastrophus compressus), rumput jukut ki pait (Paspalum conjugatum), rumput teki (Kyllingamono cephala) dan jenis kapulaga (Amomum cordamomum) (Fahutan – IPB 2001 ) dalam (Rahardjo, 2003). Jenis satwa liar yang terdapat di HPGW antara lain musang (Paradoxurus hemaphroditus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp), bajing (Callossiurus sp), babi hutan (Sus crofa). Beberapa jenis burung yang ada yaitu kutilang (Pycononotus aurigastere), Perkutut (Goepelia striata), burung madu (Nectarinia jugularis pectolaris), serta burung srengenge (Anthreptes malaccesnsis mystacalis). Jenis- jenis reptil yang ada yaitu ular piton (Phyton molurus), biawak (Varanus salvator) dan berbagai jenis reptil kecil seperti kadal, tokek dan bunglon (Fahutan-IPB, 2001-Gundoyo, 2002) dalam (Rahardjo, 2003).
139
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kejadian Kebakaran 1. Sejarah Kebakaran Kebakaran merupakan peristiwa yang telah berulang kali terjadi di HPGW. Berdasarkan buku catatan tentang kondisi HPGW pernah terjadi enam kali peristiwa kebakaran hutan selama tahun 2002. Kebakaran terjadi pada bulan Agustus, September dan Oktober pada lokasi dan waktu yang berbeda. Kebakaran terbesar terjadi pada jalur Cimenyan di tegakan Pinus pada tanggal 17 September 2002. Tipe kebakaran yang terjadi adalah kebakaran permukaan (surface fire) dan kebakaran tajuk (crown fire). Pada kebakaran ini api membakar bahan bakar yang ada di permukaan seperti serasah, ranting-ranting pohon yang jatuh, batang pohon dan tajuk pohon. Studi perilaku api menunjukkan bahwa titik awal api berasal dari pembukaan lahan dengan cara membakar pada lahan milik PT. Indocement. Hal ini ditandai dengan adanya rumpukan atau pengumpulan bahan bakar untuk dibakar dengan jarak lapang ± 200 m dari batas terluar kawasan hutan blok Cimenyan dengan kelerengan 62% atau 280. Penggunaan lahan untuk kegiatan berladang ditandai dengan adanya penanaman benih kacang menggunakan tugal (batang kayu yang diruncingkan ujungnya) serta adanya biji yang telah berkecambah (Hendrawan, 2003). Pada bulan Agustus dan September 2002 ini hanya ada satu hari hujan. Rendahnya curah hujan menyebabkan pengeringan bahan bakar (Pinus) sehingga kebakaran lebih mudah terjadi. Selain itu, kandungan resin pada Pinus membuat api lebih mudah menyala dan sulit untuk dipadamkan. Perubahan arah angin menyebabkan api menjalar ke arah tegakan yang belum terbakar. Angin merupakan pensuplai oksigen untuk pembakaran dan mempercepat pengeringan bahan bakar, sehingga kebakaran menjadi besar dan lebih sulit dikendalikan.
140
Kebakaran terjadi + pukul 9 pagi WIB dan baru dapat dipadamkan setelah pukul 21 WIB. Hal ini terjadi karena besarnya nyala api. Pemadaman kebakaran dilakukan oleh karyawan HPGW, masyarakat Segog dan aparat kepolisian dengan cara membuat ilaran api antara tegakan yang terbakar dengan tegakan yang belum terbakar. Luasan lahan yang terbakar adalah ± 30 ha dan saat ini kondisi tegakan bekas terbakar cukup baik. 2. Fire Severity Menurut DeBano et al. (1998) fire Severity adalah suatu penilaian yang menggambarkan respon ekosistem terhadap kebakaran, dapat digunakan untuk mendeskripsikan efek kebakaran pada sistem air dan tanah, ekosistem flora dan fauna, atmosfer dan manusia. Fire severity sangat tergantung pada bahan bakar alami yang tersedia dan perilaku api saat bahan bakar dibakar. Berdasarkan kondisi tegakan saat ini maka kebakaran yang terjadi tahun 2002 tersebut termasuk low fire severity. Hal ini dibuktikan dengan kondisi tegakan dimana > 50 % pohon-pohonnya mengalami kerusakan yang tidak terlihat dan > 80% pohon- pohon yang rusak/ terbakar dapat bertahan. Selain itu warna permukaan tanah pada plot terbakar sedikit lebih hitam dibandingkan plot yang tidak terbakar dengan kedalaman 0-5 cm. Kondisi lokasi juga menunjukkan bahwa kebakaran yang terjadi adalah low severity burn dimana < 2% areal terbakar berat, <15% areal terbakar sedang dan sisanya terbakar ringan atau tidak terbakar.
B. Analisis Sifat Fisik Tanah Analisis sifat fisik tanah yang dilakukan adalah uji rabaan untuk menentukkan tekstur tanah dan bobot isi (bulk density) pada plot bekas terbakar dan plot tidak terbakar. Secara tidak langsung, bulk density dapat menggambarkan kondisi kesarangan tanah. Semakin besar bulk density maka akan semakin kecil kesarangan tanahnya, demikian pula sebaliknya semakin kecil bulk density maka
141
semakin besar kesarangan tanahnya. Hasil dari analisis sifat tanah tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel.5. Analisis tanah dan suhu Bulk Density
Suhu Rata3
Plot Contoh
Tekstur
Rata-Rata (g/cm )
Rata (0C)
Terbakar
Lempung liat berpasir
0.868
27.43
Tidak Terbakar
Lempung liat berpasir
0.959
27.06
Tanah pada kedua plot mempunyai tekstur lempung liat berdebu, terlihat dari nilai bulk density yang tidak jauh berbeda. Tanahnya terasa licin dengan jelas, dapat membentuk bola teguh, dan dapat membentuk gulungan berkilat dan melekat (Suin, 1989). Tanah pada plot yang tidak terbakar terdapat pasir-pasir halus di permukaannya (± 1mm), tetapi tidak sampai masuk ke dalam tanah. Nilai bulk density pada plot terbakar lebih kecil dibandingkan dengan nilai bulk density pada plot tidak terbakar. Suhu tanah rata-rata pada plot terbakar adalah 27.43 0C dan pada plot tidak terbakar adalah 27.06 0C. Secara tidak langsung nilai ini menunjukkan bahwa tanah pada plot terbakar lebih sarang dibandingkan dengan tanah pada plot tidak terbakar. Hal ini merupakan dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah dimana kebakaran dapat meningkatkan kesarangan tanah, menurunkan porositas tanah, kandungan air tanah dan permeabilitas tanah. C. Dampak Kebakaran Terhadap Makrofauna Tanah Keberadaan makrofauna tanah pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh kondisi habitat tersebut. Makrofauna tanah akan melimpah pada habitat yang mampu menyediakan faktor-faktor yang dapat mendukung kehidupan makrofauna tanah seperti ketersediaan makanan, suhu yang optimal, dan ada atau tidaknya musuh alami.
Beberapa parameter yang dapat mempengaruhi keberadaan
makrofauna tanah pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
142
Tabel 6. Parameter yang Mempengaruhi Makrofauna tanah Parameter Nitrogen rata-rata (%)* Suhu serasah rata-rata (0C) Tebal serasah rata-rata (cm)
Mikro Habitat Terbakar Tidak Terbakar 0.11 0.08 27.93 28.24 3.89 2.11 Clidemia hirta, Patorium inufolium, Leucos lavandulaefolia, Dimeria Curculigo ornithopoda latifolia 44.38 21.43
Tumbuhan bawah Bukaan tajuk (%)** Keterangan : * Priandi (2005) ** Wahyuningriyanti (2005) 1. Kelimpahan MakrofaunaTanah
Kelimpahan makrofauna tanah mengacu pada jumlah total individu makrofauna tanah yang ditemukan pada lokasi penelitian yaitu pada plot terbakar dan plot yang tidak terbakar. Untuk menggambarkan hasil yang diperoleh dari kedua plot tersebut digunakan nilai rata-rata dari kelimpahan makrofauna tanah yang ada. Perbandingan kelimpahan makrofauna tanah pada plot terbakar dan tidak terbakar dapat disajikan sebagai berikut. a. Pada lapisan tanah (0-5 cm) Kelimpahan
makrofauna
tanah
sangat
dipengaruhi
oleh
kondisi
lingkungan sekitarnya sehingga faktor ini harus benar-benar diperhatikan. Perubahan pada lingkungan akan berdampak pada keberadaan makrofauna tanah baik secara langsung atau tidak langsung. Kondisi lingkungan pada plot terbakar dan tidak terbakar di lokasi penelitian dapat digambarkan dengan parameter pada Tabel 5. dan Tabel 6. Pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa plot terbakar dan plot tidak terbakar mempunyai tekstur tanah yang sama yaitu lempung liat berdebu, hanya saja pada
143
permukaan tanah pada plot tidak terbakar terdapat pasir-pasir halus. Tanah pada plot tidak terbakar ini juga lebih padat dan lebih lembab dibandingkan dengan tanah pada plot tebakar. Kelembaban tanah ini mempengaruhi suhu tanah dimana suhu tanah rata-rata pada plot terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan plot tidak terbakar. Sementara, kandungan nitrogen sebagai salah satu unsur yang penting bagi makhluk hidup lebih tinggi pada plot terbakar. Kelimpahan makrofauna tanah pada plot terbakar dan plot tidak terbakar berdasarkan hasil penelitian dapat disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kelimpahan Makrofauna tanah pada Plot Pengamatan Ordo Annelida Araneida
Famili Lumbricidae Araneidae
Oxyopidae Lycosidae Salticidae Tetragnathidae Blattaria Blattidae Chelonethida Chilopoda Geophilidae Coleoptera Oedemeridae Tenebrionidae Staphylinidae Reduviidae Scydmaenidae Scarabaidae Cryptostigmata Schlerobatidae Diplopoda Julidae Polydesmidae Homoptera Cercopidae Hymenoptera Formicidae Isopoda Trichoniscidae Isoptera Termitidae Mantodea Mantidae Mesostigmata Tetranychidae Laelapidae Orthoptera Acrididae Grillidae Jumlah Total
Kelimpahan Plot Tidak terbakar Plot Terbakar 241 171 6 4 12 3 1 5 44 48 1 1 45 1 1 44 44 1 7 3 69 36 1 1 1 1 1 651
1 2 1 1 1 4 1 513 13 12 86 1 809
144
Pada Tabel 7 dapat dilihat sebaran kelimpahan makrofauna tanah di plot terbakar dan plot tidak terbakar berdasarkan ordo-ordo dan famili-famili yang ditemukan. Kelimpahan makrofauna tanah pada masing-masing ordo dapat dilihat pada gambar 4.
600 P lo t T idak T erbak ar 500
P lo t T erbak ar
Kelim pahan
400 300 200 100
il o
Ch
ne
e lo Ch
C o p od a le Cr y p op te to s r ti g a ma D i ta p lo H o p od m a H y o p te me r no a pte ra I so po d I so a p te ra M M a nto e so de s ti a gm O r a ta tho p te ra
da
a ari
thi
a e id
Bl
a tt
a
an
Ar
An
ne
l id
0
Ordo
Gambar 4. Kelimpahan Makrofauna Tanah Pada tanah yang terbakar total individu yang ditemukan sejumlah 809 individu dari 10 ordo dan 12 famili yang ada, sementara pada tanah yang tidak terbakar adalah 651 individu dengan 15 ordo dan 26 famili (Tabel 7.). Ordo yang mempunyai kelimpahan terbesar pada plot terbakar adalah Hymenoptera (semut) sejumlah 513 individu, kemudian Annelida (cacing tanah) sejumlah 171 individu dan Mesostigmata sejumlah 86 individu (Gambar 4.). Jumlah Formicidae dan Lumbricidae ini menyebabkan besarnya jumlah individu total pada tanah yang terbakar walaupun jumlah famili yang ditemukan lebih sedikit (Tabel 7). Ordo-ordo serangga seperti Coleoptera, Mantodea, Isoptera, Homoptera dan Blattaria sangat jarang ditemukan pada tanah di plot bekas terbakar. Menurut Szujecki (1987) invasi serangga pada tegakan hutan bekas terbakar dengan luasan
145
• 5 ha terjadi terutama pada tahun pertama dan kedua setelah kebakaran. Pada areal yang lebih luas, hal ini terjadi pada tahun ketiga atau keempat sejak terbatasnya kapasitas populasi serangga untuk invasi pada areal yang luas di tegakan hutan yang kurang mendukung. Kebakaran di HPGW ini terjadi 3 tahun lalu dengan luasan > 5 ha sehingga jumlah serangga yang ditemukan pada plot bekas terbakar tidak banyak bahkan ada yang tidak ditemukan sama sekali seperti Coleoptera. Szujecki (1987) menyebutkan
bahwa
Coleptera
termasuk
invertebrata
permukaan
yang
kelimpahannya tersisa sedikit pada kebakaran di lahan bekas tebangan hutan pinus dan spruce. Pengurangan stok makanan pada daerah tersebut menyebabkan turunnya jumlah larva serangga ini. Jika jumlah Coleoptera menurun maka Hymenoptera (semut) justru meningkat. DeBano et al. (1998) menyebutkan bahwa kebakaran dapat meningkatkan populasi semut. Suatu studi di Australia terhadap vegetasi Sclerophylluous menunjukkan bahwa semut mengkonsumsi biji yang banyak dihasilkan pada awal suksesi tanaman setelah kebakaran. Pada tanah tidak terbakar dengan jumlah famili yang lebih besar mempunyai total individu yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan sedikitnya jumlah individu pada masing – masing famili yang ditemukan. Famili Lumbricidae mempunyai jumlah terbesar pada tanah tidak terbakar yaitu 241 individu, sementara famili-famili lainnya rata-rata 16-17 individu. Besarnya jumlah cacing tanah ini menunjukkan terjadinya kolonisasi cacing tanah yang disebabkan kondisi lingkungan yang cukup mendukung seperti kelembaban tanah tidak terganggu dan tidak adanya predator. Pada ordo-ordo lainnya seperti Mesotigmata dan Cryptostigmata yang jumlahnya dipengaruhi oleh kehadiran predator yaitu Chilopoda. Lewis (1965) menemukan bahwa isi dari usus
Lithobius Variegatus dan Lithobius forficatus (spesies dari Chilopoda)
terdiri dari serangga-serangga kecil (terbang dan tidak terbang), Collembola, Acarina, laba-laba, Nematoda, dan Mollusca serta sejumlah dedaunan.
146
b. Pada Lapisan Serasah Serasah merupakan salah satu habitat hidup yang digunakan oleh makrofauna tanah terutama yang ada dipermukaan atau dekat permukaan tanah. Kondisi serasah sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kelimpahan binatang tanah, sehingga penting untuk diamati. Plot terbakar mempunyai ketebalan serasah 3.89 cm, lebih tebal dibandingkan dengan plot tidak terbakar yang hanya 2.11 cm. Ketebalan serasah ini dipengaruhi oleh tumbuhan bawah dan kondisi tajuk pada plot pengamatan. Pada plot terbakar terdapat beberapa tumbuhan bawah yang dominan yaitu Clidemia
hirta,
Patorium
inufolium,
Leucos
lavandulaefolia,
Dimeria
ornithopoda sementara pada plot tidak terbakar tumbuhan bawah yang mendominasi adalah Curculigo latifolia (Tabel 6.). Tumbuhan bawah pada plot terbakar umumnya tumbuh mengelompok sehingga tidak menutupi permukaan tanah, berbeda dengan tumbuhan bawah pada plot tidak terbakar yang tumbuhnya menjalar sehingga menutupi permukaan tanah. Hal ini menyebabkan serasah yang jatuh pada plot terbakar dapat terkumpul pada lantai hutan sementara pada plot tidak terbakar serasah yang jatuh menyangkut pada tumbuhan bawah sehingga tidak terakumulasi di lantai hutan. Serasah pada plot tidak terbakar lebih homogen (serasah Pinus) dibandingkan dengan serasah pada plot terbakar. Ketebalan serasah yang terakumulasi pada plot terbakar juga disebabkan oleh kondisi tajuk pohon dimana banyak tajuk pohon yang menghitam sehingga serasah berupa daun lebih mudah jatuh. Bukaan tajuk yang lebih besar (44.3%) menyebabkan akses ke lantai hutan lebih terbuka terutama cahaya dan hujan sehingga serasah yang jatuh lebih mudah untuk terdekomposisi. Dekomposisi serasah menghasilkan sejumlah bahan-bahan organik yang dapat mendukung kehidupan makhluk hidup (biota tanah). Semakin banyak serasah maka bahan untuk dekomposisi juga lebih banyak sehingga decomposer juga lebih banyak. Serasah merupakan lapisan teratas yang menutupi lantai hutan sehingga lebih rentan terhadap berbagai gangguan atau perubahan-perubahan.
147
Perubahan terhadap lapisan serasah ini akan sangat berpengaruh terhadap kondisi biota tanah. Untuk suhu rata-rata serasah pada plot yang terbakar adalah 27.930C dan untuk plot yang tidak terbakar 28,24 0C. Suhu serasah ini selalu lebih tinggi dibanding dengan suhu pada tanah di bawahnya . Kelimpahan makrofauna tanah pada lapisan serasah plot terbakar dan plot tidak terbakar dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kelimpahan Makrofauna Tanah Pada Serasah Ordo
Family
Araneida
Thomisidae Linyphiidae Geophilidae Nitidulidae Ellateridae Isotomidae Podoridae Sminthuridae
Chilopoda Coleoptera Collembola Chelonethida Cryptostigmata
Diplopoda Hymenoptera Mesostigmata
Metastigmata Thysanoptera Total
Zetorchestidae Schlerobatidae Ephylohmaiidae Rhysotritiidae Polydesmidae Formicidae Phytoseiidae Veigaiidae Laelapidae Tetranychidae Argasidae Thripidae
Kelimpahan Terbakar Tidak Terbakar 1 1 1 3 1 1 104 5 4 4 1 6 15 4 6 1 1 16 1 4 1 22 5 2 21 1 209 21
Kelimpahan makrofauna tanah pada serasah di plot terbakar dan plot tidak terbakar berdasarkan jumlah individu pada masing-masing ordo dapat dilihat pada Gambar 5.
148
120
P lo t T idak T e r ba k ar P lo t T er bak a r
K e lim pa ha n
100 80 60 40 20
a te r op
Th
ys
an
sti e ta
M
es
os
tig
gm
m
te r op M
en m
a ta
a ta
a
a od op pl
gm
a ta Di
Hy
Cr
yp
to
sti
ne
th i
da
o la e lo
lle
mb
Ch
e ra pt
Co
Co
le o
po ilo
Ch
Ar
an
e id
a
da
0
O r do
Gambar 5. Kelimpahan Makrofauna Tanah pada Serasah Jumlah total individu yang ditemukan di serasah terbakar adalah 209 individu dari 10 ordo dan 20 famili. Pada serasah tidak terbakar ditemukan 21 individu dari 8 ordo dan 8 famili. Pada Gambar 5. terlihat jumlah Collembola mendominasi pada plot terbakar dengan 112 individu karena serasahnya banyak. Pada plot tidak terbakar individu yang banyak ditemukan adalah Collembola dan Acarina sejumlah 16 individu. Sementara ordo Coleoptera, Chilopoda, Araneida, Diplopoda,Thysanoptera dan Chelonethida kelimpahannya kecil. Pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa serasah pada plot terbakar lebih tebal dibandingkan serasah pada plot tidak terbakar. Ketebalan serasah ini berpengaruh terhadap jumlah serasah yang dapat terdekomposisi, semakin tebal serasah maka akan sebanyak bahan organik yang dihasilkan. Bukaan tajuk pada plot terbakar yang lebih besar menyebabkan dekomposisi serasah pada lantai hutan lebih aktif dan cepat. Szujeki (1987) menyebutkan bahwa Colembolla merupakan invertebrata yang kelimpahannya menunjukkan osilasi (kisaran) yang luas pada lahan terbakar. Menurut Wallwork (1970), biasanya pada sebagian besar padang rumput, tanah mor dan tanah hutan, Collembola adalah fauna yang paling mewakili, dari
149
segi jumlah individu dan spesies, pada lapisan organik di bagian atas 10-15 cm. Dalam skala kedalaman ini, populasi terbesar Colembola biasanya terdapat pad tingkat kedalaman dimana dekomposisi bahan organik secara aktif terjadi; pada profil tipe mor, tingkatan ini dikenal sebagai ‘zona fermentasi’, yang berbeda dan terpisah dari lapisan litter dan lapisan humus. Burgers dan Raw (1967) menyimpulkan, dari analisis usus Collembola bahwa jenis Collembola yang lebih besar memakan fungi, sebaliknya yang berukuran lebih kecil langsung memakan humus. Collembola juga mengkonsumsi bagian tanaman yang lapuk, spora, Collembola yang lain, bagian cacing tanah yang terdekomposisi dan kutikulanya sendiri. Sebagai dekomposer Collembola berperan menghancurkan feses arthropoda yang lebih besar, menghasilkan kitin agar tersedia di tanah dan memudahkan proses dekomposisi oleh dekomposer yang lain. Sama seperti Collembola, Acarina juga merupakan mesofauna yang banyak ditemukan pada lapisan permukaan, lapisan fermentasi dan lapisan humus. Acarina mengkonsumsi tanaman yang lapuk, lumut, fungi dan alga. Acarina juga berperan sebagai dekomposer. Pada lahan hutan yang tidak kondusif bagi dekomposer yang lebih besar maka dekomposisi bagian tanaman dilakukan oleh Acarina. Ordo Cryptostigmata berperan dalam mencampurkan bahan organik pada lapisan tanah di bawah permukaan. Untuk menggambarkan kelimpahan makrofauna tanah pada plot terbakar dan plot tidak terbakar nilai kelimpahan rata-rata makrofauna tanah. Perbedaan kelimpahan biota tanah di plot terbakar dan plot tidak terbakar dilakukan dengan uji T (Gambar 6).
150
300
K elim pa ha n R a ta -R a ta
250
a a
P lo t T idak T e rbak a r P lo t T e rbak a r
200 150
a
100 50
a
0 Tanah
Serasah
H a bi ta t
Keterangan : Huruf yang sama pada habitat yang sama menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata tidak berbeda nyata. Gambar 6. Kelimpahan Rata-Rata Makrofauna Tanah Berdasarkan hasil uji T, kelimpahan rata-rata dari tanah yang terbakar dengan tanah tidak terbakar tidak berbeda nyata (P < 0.7142), demikian pula pada serasah yang terbakar dan serasah tidak terbakar ( P < 1.104 ). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jumlah total individu yang ditemukan pada kedua plot tidak signifikan, artinya kebakaran yang terjadi memberikan dampak yang ringan. Jumlah individu total di plot yang terbakar adalah 1018 individu dan di plot tidak terbakar 672 individu. Meskipun dari hasil uji T kelimpahan pada kedua plot ini tidak berbeda nyata tetapi kecenderungan menunjukkan bahwa kelimpahan makrofauna tanah di plot terbakar lebih besar daripada kelimpahan makrofauna tanah di plot tidak terbakar. 2. Indeks Kekayaan (Richness Index) Biota Tanah Kekayaan jenis (Richness) makrofauna tanah mengacu pada banyaknya spesies yang ditemukan pada suatu ekosistem. Jumlah total spesies dalam suatu komunitas (S) tergantung pada ukuran sampel dan waktu. Beberapa indeks dianjurkan untuk mengukur spesies Richness yang tidak tergantung pada ukuran
151
sampel tetapi berdasarkan hubungan antara S dan jumlah total individu yang diamati (N) yang meningkat dengan meningkatkan ukuran sampel (Ludwig dan Reynolds, 1976). Richnesss Index yang digunakan dalam menganalisa kekayaan jenis biota tanah pada penelitian ini adalah Margalef index karena kalkulasi atau perhitungannya lebih mudah. Kekayaan jenis biota tanah ditunjukkan dalam banyaknya famili biota tanah yang dapat ditemukan pada plot terbakar dan plot tidak terbakar. Nama famili dan jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 7. dan Tabel 8. a. Pada Lapisan Tanah Pada tanah tidak terbakar terdapat 16 ordo dengan 25 famili, sementara pada tanah terbakar terdapat 10 ordo dengan 11 famili, perbedaan ini cukup besar dimana terdapat selisih 6 ordo dan 14 famili yang merupakan suatu lingkup taksonomi yang besar. Ordo yang terdapat pada tanah tidak terbakar tetapi tidak pada tanah terbakar adalah Blattaria, Coleoptera, Cryptostigmata, Diplopoda, Mantodea dan Homoptera. Sedangkan famili-famili yang tidak terdapat di tanah terbakar adalah Polydesmidae, Julidae, Mantidae, dan Cercopidae. Sebagian besar famili yang tidak ada adalah dari ordo Coleoptera, famili Mantidae dan Cercopidae dimana famili-famili ini adalah pemakan tumbuhan ataupun memakan bagian dari tumbuhan. Kebakaran menyebabkan pengurangan dan hilangnya stok makan mereka sehingga dapat mengganggu perkembangbiakan dan keberadaannya. Selain itu, kebakaran juga dapat mematikan larva serangga-serangga ini yang umumnya terdapat pada permukaan tanah. Famili Blattidae, Polydesmidae dan Julidae merupakan famili yang sebagian besar hidup di permukaan tanah ataupun di dalam tanah yang dekat ke permukaan. Saat terjadinya kebakaran maka binatang yang ada di permukaan tanah ataupun yang dekat dengan permukaan tanah akan sangat mudah terkena dampak kebakaran walaupun kebakaran yang terjadi adalah low severity burn.
152
Dampak kebakaran ini bisa berupa pengurangan jumlah makrofauna tanah maupun hilangnya famili atau jenis makrofauna tanah tertentu. b. Pada Lapisan Serasah Pada serasah di plot terbakar terdapat 11 ordo dengan 17 famili, sementara pada serasah di plot yang tidak terbakar terdapat 8 ordo dengan 9 famili. Ordoordo yang tidak terdapat pada serasah tidak terbakar adalah Chilopoda dan Diplopoda. Sementara famili-famili yang tidak ada pada serasah tidak terbakar adalah
Linyphiidae,
Geophilidae,
Nitidulidae,
Podoridae,
Sminthuridae,
Zetorchestidae, Ephylohmaiidae, Rhysotriidae, Polydesmidae, Phytoseiidae, Veigaiidae dan Argasidae. Sebagian besar famili yang tidak terdapat pada serasah tidak terbakar merupakan Acarina. Banyaknya jumlah famili Acarina yang ditemukan menyebabkan serasah yang terbakar mempunyai famili-famili yang lebih beragam dibandingkan dengan serasah yang tidak terbakar. Dalam Wallwork (1976) disebutkan bahwa Acarina adalah yang paling umum meskipun bukan yang paling mewakili pada sebagian besar tanah, dan banyak terdapat pada tanah organik tinggi dan lahan hutan. Pada kebanyakan tipe hutan khususnya konifer, bagian tumbuhan yang hancur membentuk lapisan yang terkadang satu kaki atau lebih dalam Brown dan Davis (1973). Kebakaran menyebabkan terbukanya akses ke lantai hutan sehingga dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat. Kondisi ini menyebabkan tersedianya habitat yang baik untuk perkembangan Acarina setelah kebakaran. Untuk mengetahui perbedaan Richness Index pada plot terbakar dan plot tidak terbakar dilakukan uji T. Hasil uji T nilai Richness Index rata-rata pada plot terbakar dan plot tidak terbakar dapat dilihat pada Gambar 7.
153
R ichness Index R a ta -R a ta
3 .5 3
a
Plot TidakTerbakar Plot Terbakar
2 .5
a
2
b
1 .5 1
b
0 .5 0 T an a h
Serasah H a bi ta t
Keterangan : Perbedaan huruf pada habitat yang sama menunjukkan Richness index rata-rata berbeda nyata Gambar 7. Nilai Richness Index Rata-Rata Makrofauna Tanah Hasil uji T untuk Richness Index rata-rata pada tanah terbakar dan tanah tidak terbakar
memperoleh nilai P < 0.0234, artinya kedua habitat tersebut
mempunyai Richness Index yang berbeda nyata. Nilai Richness Index rata-rata pada serasah terbakar dan serasah tidak terbakar juga menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai probability (P) sebesar 0.0279. Dari nilai ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan jumlah famili pada plot terbakar dan plot tidak terbakar signifikan. Pada Gambar 7 terlihat bahwa nilai Richness Index pada plot tidak terbakar lebih besar daripada nilai Richness Index rata-rata pada plot terbakar. 3. Indeks Keragaman (Diversity Index) Makrofauna tanah Diversity index menyatukan spesies richness dan evenness dalam satu nilai (Ludwig dan Reynolds, 1988). Diversity index yang digunakan dalam analisis data adalah Diversity index Shannon –Winner (H’). Indeks ini mempunyai dua properti yang membuat indeks ini banyak digunakan untuk keragaman spesies, (1) H’=0 jika hanya jika ada satu spesies dalam sampel, (2) H’ maksimum hanya saat (jumlah total spesies dalam komunitas/S) semua spesies diwakili oleh
154
jumlah individu yang sama, yang merupakan distribusi kelimpahan yang sempurna (Ludwig dan Reynolds, 1988). Nilai H’ berkisar antara 1.5 -3.6. Nilai < 1.5 menunjukkan keragaman rendah, nilai 1.5-3.5 menunjukkan nilai keragaman sedang dan nilai >3.5 menunjukkan keragaman tinggi (Magurran, 1998) dalam Abidin (2005). a. Pada Lapisan Tanah Pada
tanah
terbakar,
nilai
keragaman
rata-ratanya
adalah
0.72
(Gambar 8.), artinya keragamannya rendah karena < 1,5. Hal ini dapat terlihat dari sebaran kelimpahan jumlah individu pada setiap famili yang tidak merata. Ada beberapa famili yang mempunyai kelimpahan yang besar yaitu Lumbricidae, Formicidae dan Laelapidae. Nilai keragaman rata-rata pada tanah tidak terbakar adalah 1.76 yang berada pada selang 1.5 – 3.5 sehingga keragamannya termasuk sedang. Famili yang banyak ditemukan pada tanah tidak terbakar adalah Lumbricidae, Formicidae,
Geophilidae,
Staphylinidae,
Scarabaidae,
Chelonethida,
Schlerobatidae, dan Trichoniscidae. Sementara, famili yang jarang ditemukan berjumlah
17
Tetragnathidae,
famili
diantaranya
Blattidae,
Araneidae,
Oedemeridae,
Oxyopidae,
Tenebrionidae,
Salticidae, Reduviidae,
Scydmaenidae, Julidae, Termitidae, Mantidae dan Laelapidae. Pada tanah yang terbakar Formicidae (semut) mempunyai kelimpahan terbesar (Anderson et al. 1989) dalam DeBano et al.(1998) menyebutkan bahwa kebakaran dapat meningkatkan populasi semut. Suatu studi di Australia terhadap vegetasi Sclerophyllous menunjukkan bahwa semut mengkonsumsi biji yang banyak dihasilkan pada awal suksesi tanaman setelah kebakaran (Andersen, 1988) dalam DeBano et al. (1988). Pinus merupakan salah satu spesies fire yang berkembang lebih baik setelah kebakaran. Di lokasi penelitian, biji pinus lebih banyak ditemukan pada areal yang terbakar dibandingkan areal yang tidak terbakar sehingga areal yang terbakar menjadi tempat yang lebih baik untuk perkembangan semut.
155
b. Pada Lapisan Serasah Pada serasah terbakar nilai keragaman rata-ratanya adalah 1.28 dan pada serasah tidak terbakar bernilai 1.39 dimana kedua nilai ini berada pada selang < 1.5 sehingga keragaman keduanya termasuk rendah (Gambar 8.). Family Isotomidae (ordo Collembola) merupakan famili yang paling banyak ditemukan pada serasah bekas terbakar. Dalam Wallwork (1970) disebutkan bahwa Collembola biasanya melimpah pada tanah di padang rumput dan tanah mor seperti pada lantai hutan dengan skala kepadatan 5000-50000/m2, terkadang lebih besar. Collembola merupakan invertebrata yang mempunyai penyebaran luas karena dapat tersebar terbawa angin, aliran air ataupun menempel pada kaki burung. Setelah terjadi kebakaran terdapat akumulasi bahan organik dipermukaan tanah, sehingga jika ada Colembolla yang sampai di daerah tersebut akan mudah berkembang karena salah satu makanan alaminya adalah bagian tumbuhan yang melapuk. Nilai indeks keragaman rata-rata pada plot terbakar dan plot tidak terbakar
D iversity In d ex R ata-R ata
berdasarkan hasil uji T dapat dilihat pada Gambar 8. 2
a
P lo t T ida k T e r ba k a r P lo t T e r ba k a r a a
1 .5 1
a
0 .5 0 T an ah
Se r a sa h Hab itat
Keterangan : Huruf yang sama pada habitat yang sama menunjukkan bahwa Diversity Index rata-rata tidak berbeda nyata. Gambar 8. Diversity Index Rata-rata Makrofauna tanah Pada Gambar 8 dapat dilihat nilai keragaman binatang rata-rata pada tanah terbakar dan tanah tidak terbakar. Berdasarkan hasil uji T diketahui bahwa
156
keragaman binatang pada lapisan tanah tidak berbeda nyata (nilai probabilitynya 0.0794). Nilai keragaman rata-rata pada serasah terbakar dan serasah tidak terbakar juga tidak berbeda nyata (nilai probilitynya 0.7604). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan diversity atau keragaman famili makrofauna tanah pada plot terbakar dan plot tidak signifikan, meskipun nilai Diversity Index pada plot tidak terbakar cenderung lebih besar. 4. Indeks Kemerataan (Evenness Index) Biota Ludwig dan Reynolds (1988) mengatakan bahwa evenness (kemerataan) mengacu pada bagaimana kelimpahan spesies (jumlah individu, biomass, penutupan dan lain-lain) didistribusikan diantara spesies. Sebagai contoh, dalam suatu komunitas yang terdiri dari 10 spesies, jika 90% individu tergabung dalam satu spesies dan 10% tersebar dalam sembilan spesies lainnya. Berarti evemmessnya rendah. Di sisi lain, jika masing-masing dari 10 spesies terdiri dari 10 % jumlah total individu, maka evennessnya tinggi. Evenness (kemerataan ) ini merupakan salah satu komponen dari diversity. Nilai evenness index berkisar antara 0 - 1. Nilai satu menunjukkan semua jenis ada dalam kelimpahan yang sama (Magurran, 1998) dalam Abidin (2005). a. Pada Lapisan Tanah Pada Tabel 7 terlihat bahwa Lumbricidae merupakan famili yang mempunyai jumlah individu terbesar pada kedua habitat tanah terutama pada tanah tidak terbakar. Pada tanah tidak terbakar Lumbricidae berjumlah 37.02% dari total individu, kemudian Trichonischidae (10.60%), Geophilidae (7.37%), Chelonethidae, Staphylinidae, Scarabaidae, dan Schlerobatidae sebesar (± 6.91%), Termitidae (5.50%) dan famili lainnya sebesar 11.87%. Pada tanah terbakar famili Formicidae (semut) mempunyai jumlah individu terbanyak yaitu 63.41% dari jumlah total individu yang ada, kemudian famili Lumbricidae (21.13%), Laelapidae (10.63%) dan 4.83% tersebar pada famili lainnya.
157
Cacing tanah (Lumbricidae) merupakan biota yang paling umum ditemukan ditanah. DeBano et al. (1998) menyebutkan bahwa cacing tanah ditemukan pada 10-20 cm di bawah permukaan tanah , jadi kemungkinan terhindar dari efek langsung kebakaran atau pemanasan tanah, kecuali pada kasus dimana kebakaran yang cukup parah terjadi dalam waktu yang lama pada bagian bawah log atau sisa tanaman. Namun, pada lokasi penelitian pada kedalaman 0-5 cm saja cacing tanah sudah banyak ditemukan sehingga kebakaran dengan intensitas yang rendah kemungkinan telah menyebabkan pengurangan jumlah dari cacing tanah akibat pemanasan seperti pada tanah terbakar. Famili-famili
seperti
Trichonischidae
dan
Geophilidae
termasuk
invertebrata permukaan yang kemungkinan berkurang atau hilang setelah terjadinya kebakaran. Selain itu hilangnya lapisan serasah menyebabkan berkurangnya stok makanan karena Trichonischidae teramasuk ordo Isopoda yang makanannya adalah bahan organik yang mati atau lapuk. Sementara Geophilidae termasuk ordo Chilopoda yang dapat masuk ke dalam tanah beberapa inchi saja sehingga sangat rentan terhadap pemanasan tanah akibat kebakaran. Famili-famili yang berasal dari ordo Coleoptera (Staphylinidae dan Scarabaidae) merupakan pemakan tumbuhan yang jumlahnya pasti berkurang setelah kebakaran karena hilangnya tumbuhan sebagai bahan makanan mereka dan matinya larva serangga ini yang terdapat di permukaan tanah. Pada tanah yang terbakar Formicidae (semut) mempunyai jumlah individu yang besar. Besarnya jumlah semut ini terkait dengan produksi biji tanaman setelah terbakar. Pinus menghasilkan biji yang banyak setelah kebakaran terjadi sehingga bahan makan bagi semut tersedia lebih banyak dibandingkan dengan biji yang dihasilkan pada tegakan yang tidak terbakar. b. Pada Lapisan Serasah Pada serasah di plot terbakar famili Isotomidae (Collembola) mempunyai jumlah individu 49.76% dari jumlah total individu yang ditemukan, kemudian Laelapidae (10,53%), Argasidae (10.05%), Schlerobatidae dan Formicidae (± 7.66%) dan 22.00% individu dari famili lainnya. Dari sebaran persentase
158
jumlah individu pada setiap famili terlihat bahwa sebaran kelimpahan pada setiap famili tidak merata. Banyaknya jumlah Collembola pada serasah plot terbakar dipengaruhi oleh kondisi tegakan setelah kebakaran. Bukaan tajuk pada plot terbakar ini sebesar 44.34%, lebih besar dibandingkan dengan plot tidak terbakar yang hanya 21.43% (Tabel 6). Terbukanya tajuk menyebabkan akses yang besar kelantai hutan seperti cahaya matahari dan hujan, hal ini dapat mempercerpat proses dekomposisi tumbuhan atau bagian tumbuhan yang ada di lantai hutan seperti serasah sehingga bahan organik terbentuk lebih cepat. Collembola merupakan invertebrata yang banyak tedapat pada lapisan tanah yang aktif terdekomposisi. Pada plot yang tidak terbakar, lapisan serasahnya lebih tipis dibandingkan dengan serasah pada plot yang terbakar karena sebagian serasah tertahan pada tumbuhan bawah sehingga tidak sampai ke tanah. Pada serasah plot terbakar juga banyak terdapat Acarina. Eksperimen kultur menunjukkan bahwa macrochelids dan veigaiids dapat memakan beberapa varietas binatang, termasuk Collembola, Protura, Pauropoda, nematoda dan Enchytreids, dan telur Musca domestica (Wallwork ,1970). Dengan melimpahnya Collembola maka makanan bagi Acarina akan tersedia, sehingga populasinya dapat berkembang.
159
1
a
P lo t T ida k T e r ba k a r P lo t T e r ba k a r
N ila i Ev e n n ess R a t a - ra t a
0.9 0.8 0.7
a
b
0.6 0.5 0.4
a
0.3 0.2 0.1 0 tanah
ser asah
H a bi ta t
Keterangan : - Huruf yang sama pada habitat yang sama menunjukkan bahwa Evenness Index rata-rata tidak berbeda nyata Perbedaan huruf pada habitat yang sama menunjukkan evenness index rata-rata berbeda nyata Gambar 9. Nilai Evenness Index Rata-rata Makrofauna tanah Besarnya nilai Evenness Index rata-rata pada plot terbakar dan plot tidak terbakar dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil uji T, diperoleh nilai probability antara tanah terbakar dan tanah tidak terbakar sebesar 0.1953 artinya kedua habitat tersebut tidak berbeda nyata. Nilai evenness index rata-rata pada tanah terbakar adalah 0.34 dan tanah tidak terbakar lebih besar yaitu sebesar 0.62. Nilai Evennes Index yang kurang dari 1 ini menunjukkan bahwa sebaran kelimpahan individu pada setiap famili tidak merata. Nilai Evenness Index rata-rata pada serasah terbakar dan serasah yang tidak terbakar adalah 0.63 dan 0.94, dimana serasah yang tidak terbakar mempunyai Evenness Index rata-rata yang lebih tinggi. Nilai Evenness Index ratarata pada kedua habitat ini berbeda sangat nyata, terlihat dari nilai probabilitynya sebesar 0.0057. Serasah yang tidak terbakar mempunyai nilai Evenness Index rata-rata sebesar 0.94, dimana nilai ini hampir mendekati 1. Artinya, sebaran kelimpahan individu pada masing-masing famili hampir merata, jadi tidak ada famili yang jumlah individunya mendominasi. Pada pembahasan di atas telah dijelaskan perbandingan antara tanah dan serasah di plot terbakar dan plot tidak terbakar berdasarkan uji T. Untuk mengetahui perpindahan makrofauna tanah secara vertikal maka dilakukan uji T
160
antara lapisan tanah terbakar dengan serasah terbakar dan lapisan tanah tidak terbakar dengan serasah tidak terbakar. Uji T dilakukan berdasarkan kelimpahan rata-rata pada masing-masing habitat yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 10.
K elim p ah an R ata-R ata
3 00
a
Tan ah
2 50
a
S e ra s a h
2 00 1 50 1 00
a
50 b 0 ter ba kar
tida k terb aka r Hab itat
Keterangan : - Huruf yang sama pada habitat yang sama menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata tidak berbeda nyata Perbedaan huruf pada habitat yang sama menunjukkan kelimpahan rata-rata berbeda nyata Gambar 10. Kelimpahan Makrofauna Tanah pada masing-masing Plot Dari uji T diperoleh nilai probability untuk perbandingan serasah dan tanah pada plot terbakar sebesar 0.2163, artinya kelimpahannya tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa saat kebakaran tidak terjadi perpindahan vertikal makrofauna tanah dari lapisan serasah ke dalam tanah. Pada plot tidak terbakar, perbandingan antara serasah tidak terbakar dan tanah tidak terbakar mempunyai nilai probability sebesar 0.0157, artinya kelimpahannya berbeda nyata dimana makrofauna tanah yang terdapat pada plot tidak terbakar hidup pada habitatnya masing-masing (tanah atau serasah).
161
VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kebakaran yang terjadi di HPGW pada bulan September 2002 ini menyebabkan penurunan jumlah ordo dari 17 menjadi 14 ordo (17,65%), penurunan jumlah famili dari 30 menjadi 23 famili (23,33%), tetapi terjadi peningkatan jumlah individu dari 672 menjadi 1018 individu (51,49%). 2. Kebakaran yang terjadi termasuk low fire severity dengan tipe kebakaran adalah kebakaran permukaan (surface fire) dan kebakaran tajuk (crown fire). Berdasarkan definisi hutan yang tidak sehat maka tegakan bekas terbakar ini masih dapat menjalankan fungsinya, walaupun ada perubahan dalam ekosistemnya tetapi tidak signifikan 3. Nilai kelimpahan, Richness, Diversity dan Evenness indices rata-rata pada kedua plot untuk tanah dan serasah menunjukkan bahwa hanya spesies richness antara
kedua plot berbeda nyata, dan Evenness index untuk
serasah pada kedua plot berbeda sangat nyata, sementara nilai rata-rata selainnya tidak berbeda nyata 4. Ada beberapa famili yang hilang setelah kebakaran yaitu Thripidae, Tetranichidae,
Ellateridae,
Polydesmidae,
Blattidae,
Tenebrionidae,
Acrididae,
Staphylinidae, Oedemeridae, Reduviidae,
Scarabaidae,
Julidae,
Cercopidae,
Mantidae,
Scydmaenidae,
Oxyopidae,
Salticidae dan Tetragnathidae. Ordo-ordo yang tidak ditemukan pada plot bekas terbakar adalah Blattaria, Homoptera, Mantodea, dan Thysanoptera. 5. Famili yang hanya terdapat di plot terbakar adalah Linyphiidae, Podoridae, Sminthuridae,Zetorchestidae,
Ephylohmalidae,
Rhysotritiidae,
Phytoseiidae, Argasidae, Veigaiidae dan Nitidulidae. Ordo yang hanya ditemukan pada plot bekas terbakar adalah Metastigmata.
162
B. Saran
Saran-saran yang dapat diberikan adalah : 1. Diperlukan pengamatan berkala terhadap plot terbakar sehingga dapat dilihat perkembangan kondisi biota tanah seperti kelimpahan, kekayaan, keragaman dan kemerataan jenisnya, apakah dapat kembali seperti semula atau tidak. 2. Pengelolaan atau penggunaan lahan bekas terbakar harus sangat diperhatikan agar tidak menghambat proses pemulihan kondisi tegakan.
163
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2005. Studi Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Biota Tanah Dengan Metode Forest Health Monitoring (FHM) di Taman Buru Masigit Gunung Kareumbi Sumedang . [Skripsi] Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Blower, J. Gordon. 1974. Myriapoda. London : Academic Press Borror, Donald J., Charles A. Triplehorn dan Norman F. Johnson (1996). Pengenalan Pelajaran Serangga (Edisi ke-6). Gajah Mada University Press. Brown, A.A dan K.P. Davis. 1973. Forest Fire Control Use. Mc. Grow – Hill Books Company. USA. Burgers, A, F. Raw. 1967. Soil Biology. London : Academic Press. Chandler, C., P. Cheney, P. Thomas, L. Traband, dan D. William. 1983. Fire in Forestry Volume I dan II : Forest Fire Behaviour and Effects. John Wiley and Sons, Inc. Canada – USA. DeBano, C.F, D.G. Neay dan P.F. Folliot. 1998. Fire’s Effect On Ecosystems. John Wiley and Sons. Inc. New York. P : 319 FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia : Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch Hendrawan, S. 2003. Studi Prilaku Api Pada Kebakaran Hutan Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat. [ Skripsi ] Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops In Indonesia. Pt. Ikhtiar Baru Van Hoeve : Jakarta Nuhamara, T.S. 2004. Inventarisasi Kerusakan Hutan. Laboratorium Penyakit Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Purwowidodo. 1998. Mengenal Tanah Hutan : Penampang Tanah. Laboratorium Pengaruh Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Purwowidodo. 2004. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan : Mengenal Tanah Hutan. Laboratorium Pengaruh Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Putra, I, E. 2004. Pengembangan Metode Penilaian Kesehatan Hutan Alam Produksi. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.
164
Rahardjo, S. 2003. Komposisi Jenis dan Adaptasi Tumbuhan Bawah Pada Areal Bekas Kebakaran di Bawah Tegakan . [ Tesis ] Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta : Bumi Aksara Supriyanto, I.C. Stuckle, C.A. Siregar dan J. Kartana. 2001. Forest Health Monitoring To Monitor The Sustainability Of Indonesian Tropical Rain Forest, Volume I. ITTO-SEAMEO BIOTROP. Bogor. Supriyanto, I.C. Stuckle, C.A. Siregar dan J. Kartana. 2001. Forest Health Monitoring To Monitor The Sustainability Of Indonesian Tropical Rain Forest, Volume II. ITTO-SEAMEO BIOTROP. Bogor. Szujecki, A. 1987. Ecology of Forest Insect. PWN – Polish Scientific Publisher. Warzawa. [USDA-FS] USDA Forest Service. 1995. Forest Health Monitoring Field Methods Guide ( International 1995 ). Samuel A. Alexander : USDA Forest Service Research Triangle Park. Wahyuningriyanti, R. 2005. Penilaian Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Vegetasi Dengan Metode Forest Health Monitoring (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat , Kabupaten Sukabumi). [ Skripsi ] Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Wallwork, John A. 1970. Ecology of Soil Animals. McGraw-Hill Publishing Company Limited. England. Whelan, R.J. 1995. The Ecology of Fire. Cambridge University Press. New York. 343 p Wooley, Tyler A. 1988. Acarology, Mites and Human Welfare. John Wiley & Son, Inc. USA
165
Lampiran 1 REKAPITULASI MAKROFAUNA TANAH 1. Makrofauna tanah Pada Plot Terbakar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Family/ordo Araneidae/araneida Argasidae/Metastigmata Chelonatida Ephylohmaiidae/Cryptostigmata Formicidae/hymenoptera Geophilidae/chilopoda Grillidae Isotomidae/collembola Julidae/Iulida Laelapidae/Metastigmata Linyphiidae/araneida Lumbricidae/annelida Lycosidae/araneida Nitidulidae Phytoseiidae/Mesostigmata Podoridae/collembola Polydesmidae/Polydesmida Rhysotriidae/Cryptostigmata Schlerobatidae/Cryptostigmata Sminthuridae/collembola Termitidae Tetragnathidae/Araneida Thomosidae/araneida Trichonischidae/isopoda Vegaiidae/Metastigmata Zetorchestidae/Cryptostigmata
Jumlah 1 21 1 6 529 7 1 104 1 108 1 171 2 1 4 4 1 1 15 4 12 1 1 13 1 6
166
Lampiran 1. (Lanjutan) 2. Makrofauna tanah Pada Plot Tidak Terbakar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Family/ordo Acrididae Araneidae/Araneida Blattidae/Blattaria Cercopidae/Homoptera Chelonetida Ellateridae Formicidae/Hymenoptera Geophilidae/Chilopoda Grillidae Isotomidae/Collembola Julidae/Diplopoda Laelapidae/Mesostigmata Lumbricidae/Annelida Lycosidae/Araneida Mantidae/Mantodea Oedemeridae/Coleoptera Oxyopidae/araneida Polydesmidae/Diplopoda Reduviidae Salticidae/Araneida Scarabaidae/Coleoptera Schlerobatidae/Cryptostigmata Scydmaenidae Staphylinidae/Coleoptera Tenebrionidae Termitidae Tetragnathidae/Araneida Tetranychidae/Mesostigmata Thomisidae/Araneida Trichoniscidae/Isopoda Triphidae/Thysanoptera
Jumlah 1 6 5 3 45 1 39 48 1 5 1 5 241 12 1 1 4 7 1 3 44 47 1 45 1 36 1 3 1 69 1
167
Lampiran 2. DATA ANALISIS MAKROFAUNA TANAH A. Rekapitulasi Data Tanah Tidak Terbakar - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 26 R1 = 3.851651 R2 = 1.012816 DIVERSITY --------LAMBDA = .1737643 H' = 2.223489 N1 = 9.239507 N2 = 5.754923
EVENNESS -------E1 = .6824503 E2 = .3553656 E3 = .3295803 E4 = .6228604 E5 = .5770883
1. Data Tanah Tidak Terbakar Petak I - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 19 R1 = 3.538017 R2 = 1.492781 DIVERSITY --------LAMBDA = .2829538 H' = 1.706052 N1 = 5.507175 N2 = 3.534147 E5 = .5622473
EVENNESS -------E1 = .5794149 E2 = .2898513 E3 = .2503986 E4 = .641735
168
Lampiran 2 (lanjutan) 2. Data Tanah Tidak Terbakar Petak II -
- - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES
RICHNESS -------N0 = 14 R1 = 2.537099 R2 = 1.080123 DIVERSITY -------LAMBDA = .3300542 H' = 1.492667 N1 = 4.448944 N2 = 3.029806
EVENNESS -------E1 = .565606 E2 = .3177817 E3 = .2653034 E4 = .6810168 E5 = .5885295
3. Data Tanah Tidak Terbakar Petak III -
- - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES - - -
RICHNESS -------N0 = 18 R1 = 2.945538 R2 = 1.004662 DIVERSITY --------LAMBDA = .1581971 H' = 2.088437 N1 = 8.07229 N2 = 6.321231 E5 = .7524056
EVENNESS -------E1 = .7225496 E2 = .4484605 E3 = .416017 E4 = .7830778
B. Rekapitulai Data Tanah Terbakar - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES - RICHNESS -------N0 = 12 R1 = 1.643733 R2 = .422682
DIVERSITY --------LAMBDA = .4613504 H' = 1.067202 N1 = 2.907234 N2 = 2.16755
66
Lampiran 2 (lanjutan) EVENNESS -------E1 = .4294737 E2 = .2422695 E3 = .1733849 E4 = .7455713 E5 = .6121693 1. Data Tanah Terbakar Petak I -
- - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES
RICHNESS -------N0 = 6 R1 = .8025063 R2 = .266207 DIVERSITY --------LAMBDA = .6234605 H' = .7445271 N1 = 2.105446 N2 = 1.603951
EVENNESS -------E1 = .4155285 E2 = .3509076 E3 = .2210891 E4 = .7618107 E5 = .5463416
2. Data Tanah Terbakar Petak II - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 11 R1 = 1.807211 R2 = .6915641 DIVERSITY --------LAMBDA = .312849 H' = 1.419983 N1 = 4.137051 N2 = 3.196431
EVENNESS -------E1 = .592179 E2 = .3760955 E3 = .3137051 E4 = .7726351 E5 = .7001578
67
Lampiran 2 (lanjutan) 3. Data Tanah Terbakar Petak III Division by zero Division by zero RICHNESS -------N0 = 1 R1 = 0 R2 = .1443376 DIVERSITY --------LAMBDA = 1 H' = 0 N1 = 1 N2 = 1
EVENNESS -------E1 = 1.701412 E2 = 1 E3 = 1.701412 E4 = 1 E5 = 1.701412
C. Rekapitulasi Data Serasah Terbakar -
- - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES
RICHNESS -------N0 = 17 R1 = 2.989616 R2 = 1.170328 DIVERSITY --------LAMBDA = .2741142 H' = 1.83826 N1 = 6.285593 N2 = 3.648114
EVENNESS -------E1 = .6488252 E2 = .3697408 E3 = .3303496 E4 = .580393 E5 = .5010061
1. Data Serasah Terbakar Petak I - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 11 R1 = 2.078059 R2 = .9918366
DIVERSITY --------LAMBDA = .2696255 H' = 1.7021 N1 = 5.485454 N2 = 3.708848
68
Lampiran 2 (lanjutan) EVENNESS -------E1 = .7098307 E2 = .4986776 E3 = .4485454 E4 = .6761243 E5 = .6039185 2. Data Serasah Terbakar Petak II - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 11 R1 = 2.386832 R2 = 1.354006 DIVERSITY --------LAMBDA = .4526807 H' = 1.245366 N1 = 3.474205 N2 = 2.209063
EVENNESS -------E1 = .5193578 E2 = .3158368 E3 = .2474205 E4 = .635847 E5 = .4886672
3. Data Serasah Terbakar Petak III - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 4 R1 = 1.001425 R2 = .8944272 DIVERSITY --------LAMBDA = .5 H' = .9142856 N1 = 2.494992 N2 = 2
EVENNESS -------E1 = .6595177 E2 = .6237481 E3 = .4983308 E4 = .8016057 E5 = .6688998
69
Lampiran 2 (lanjutan) D. Rekapitulasi Data Serasah Tidak Terbakar - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 9 R1 = 2.62767 R2 = 1.963961 DIVERSITY --------LAMBDA = .1285714 H' = 1.948053 N1 = 7.015017 N2 = 7.777777
EVENNESS -------E1 = .8865972 E2 = .7794463 E3 = .7518771 E4 = 1.108733 E5 = 1.126809
1. Data Serasah Tidak Terbakar Petak I - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 4 R1 = 1.864005 R2 = 1.788854 DIVERSITY --------LAMBDA = .1 H' = 1.332179 N1 = 3.789291 N2 = 10
EVENNESS -------E1 = .9609641 E2 = .9473228 E3 = .9297638 E4 = 2.639016 E5 = 3.226626
2. Data Serasah Tidak Terbakar Petak II - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 7 R1 = 2.414578 R2 = 2.020726
DIVERSITY --------LAMBDA = .1212121 H' = 1.79176 N1 = 6.000002 N2 = 8.25
70
Lampiran 2 (lanjutan) EVENNESS -------E1 = .9207823 E2 = .8571431 E3 = .8333336 E4 = 1.375 E5 = 1.45 3. Data Serasah Tidak Terbakar Petak III - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 3 R1 = 1.442695 R2 = 1.5 DIVERSITY --------LAMBDA = .1666667 H' = 1.039721 N1 = 2.828427 N2 = 6
EVENNESS -------E1 = .9463946 E2 = .9428091 E3 = .9142136 E4 = 2.121321 E5 = 2.734591
REKAPITULASI FAUNA TANAH TERBAKAR - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES RICHNESS -------N0 = 26 R1 = 3.610311 R2 = .8152914 DIVERSITY --------LAMBDA = .3210268 H' = 1.608853 N1 = 4.997077
N2 = 3.115004 EVENNESS -------E1 = .4938016 E2 = .1921953 E3 = .1598831 E4 = .6233653 E5 = .5291378
71
Lampiran 2 (lanjutan) REKAPITULASI FAUNA TANAH TIDAK TERBAKAR - - - - - - -PART II. COMPUTATION OF INDICES
72
RICHNESS -------N0 = 31 R1 = 4.600789 R2 = 1.189671 DIVERSITY --------LAMBDA = .1647356 H' = 2.315145 N1 = 10.12639 N2 = 6.070335 EVENNESS -------E1 = .6741855 E2 = .3266576 E3 = .3042129 E4 = .5994573 E5 = .5555688
73
Lampiran 3. DATA ANALISIS UJI T A. LAPISAN TANAH 1. TTest Berdasarkan Kelimpahan Biota Tanah Variable: DENS TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------fire 3 269.6666667 230.4524535 133.0517861 0.3931 2.5 0.7261 nonf 3 214.0000000 84.0416563 48.5214729 0.3931 4.0 0.7143 For H0: Variances are equal, F' = 7.52 0.23
DF = (2,2)
Variances --------Unequal Equal Prob>F' =
2. TTest Berdasarkan Richness Index Variable: RICH TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------fire 3 0.87000000 0.90702811 0.52367293 -3.5677 3.1 0.0358 nonf 3 3.00666667 0.50332230 0.29059326 -3.5677 4.0 0.0234
Variances
For H0: Variances are equal, F' = 3.25 0.4709
DF = (2,2)
Prob>F' =
TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------fire 3 0.72000000 0.71021124 0.41004065 -2.3397 2.7 0.1138
Variances
--------Unequal Equal
3. TTest Berdasarkan Diversity Index Variable: DIVR
--------Unequal
Lampiran 3. (Lanjutan) nonf -2.3397
3
4.0
1.76333333 0.30353473 0.0794
For H0: Variances are equal, F' = 5.47 0.3089
0.17524586
Equal
DF = (2,2)
Prob>F' =
4. TTest Berdasarkan Evenness Index Variable: EVEN
74
TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------fire 3 0.33666667 0.30369941 0.17534094 -1.5532 2.3 0.2467 nonf 3 0.62000000 0.08717798 0.05033223 -1.5532 4.0 0.1953 For H0: Variances are equal, F' = = 0.1523
12.14
DF = (2,2)
Variances --------Unequal Equal Prob>F'
B. LAPISAN SERASAH 1. TTest Berdasarkan kelimpahan Variable: DENS TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------fire 3 69.66666667 51.59780357 29.79000578 2.0961 2.0 0.1698 nonf 3 7.00000000 4.35889894 2.51661148 2.0961 4.0 0.1041 For H0: Variances are equal, F' = 140.12 = 0.0142
DF = (2,2)
Variances --------Unequal Equal Prob>F'
Lampiran 3. (Lanjutan) 2. TTest Berdasarkan Richness Index Variable: RICH TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------fire 3 1.07666667 0.24193663 0.13968218 -3.3773 4.0 0.0282 nonf 3 1.77000000 0.26057628 0.15044379 -3.3773 4.0 0.0279
Variances
Unequal
For H0: Variances are equal, F' = 1.16 0.9259
DF = (2,2)
Prob>F' =
TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------fire 3 1.28333333 0.39677870 0.22908029 -0.3265 4.0 0.7605
Variances
---------
Equal
3. TTest Berdasarkan Diversity Index Variable: DIVR
--------Unequal
75
nonf -0.3265
3
0.21835242
Equal
DF = (2,2)
Prob>F' =
TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------fire 3 0.63000000 0.09848858 0.05686241 -5.3913 2.2 0.0291 nonf 3 0.94333333 0.02081666 0.01201850 -5.3913 4.0 0.0057
Variances
4.0
1.38666667 0.37819748 0.7604
For H0: Variances are equal, F' = 1.10 0.9521
4. TTest Berdasarkan Evenness Index Variable: EVEN
For H0: Variances are equal, F' = = 0.0855
22.38
DF = (2,2)
--------Unequal Equal Prob>F'
Lampiran 3 (Lanjutan) 5. TTest Berdasarkan Kelimpahan tanah dan serasah terbakar Variable: DENS TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------sera 3 69.6666667 51.5978036 29.7900058 -1.4669 2.2 0.2718 tant 3 269.6666667 230.4524535 133.0517861 -1.4669 4.0 0.2163 For H0: Variances are equal, F' = = 0.0955
19.95
DF = (2,2)
Variances --------Unequal Equal Prob>F'
6. TTest Berdasarkan Kelimpahan tanah dan serasah tidak terbakar Variable: DENS TREAT N Mean Std Dev Std Error T DF Prob>|T| --------------------------------------------------------------------------------sera 3 7.0000000 4.35889894 2.51661148 -4.0315 2.0 0.0561 tant 3 217.0000000 90.11659115 52.02883816 -4.0315 4.0 0.0157 For H0: Variances are equal, F' = 427.42 = 0.0047
DF = (2,2)
Variances --------Unequal Equal Prob>F'
76
Lampiran 4 Gambar-Gambar Makrofauna Tanah
A
B
C
D *
E
F
Gambar 1. Makrofauna tanah yang termasuk insecta ; A. Homoptera/ Cercopidae ( 30x ), B. Orthoptera/ Acrididae ( 8.5x ), C. Hemiptera/ Reduviidae (14x), D. Collembola / Sminthuridae*, E. Collembola / Podoridae*, F. Collembola / Isotomidae*
Keterangan : * Koleksi : Noor F. Haneda (2005)
77
Lampiran 4 (Lanjutan)
G
J
H
K
I
L
Gambar 2. Makrofauna tanah yang termasuk Insecta ; G.Hymenoptera/ Formicidae (15x), H. Isoptera/ Termitidae (13.5x), I. Blattaria/ Blattidae (15x), J. Coleoptera/ Scarabaidae ( 9.1x ), K. Coleoptera/ Oedemeridae (22x), L. Coleoptera/ Staphylinidae (26x)
78
Lampiran 4 (Lanjutan)
M
P
N
Q
O
R
Gambar 3. Makrofauna tanah lain yang ditemukan; M. Diplopoda/ Polydesmidae (18x), N. Chilopoda/ Geophilidae (11x), O. Isopoda/ Trichoniscidae (17x), P. Chelonethida (21x), Q. Mantodea/ Mantidae (7x), R. Annelida/ Lumbricidae (7x)
79
Lampiran 4 (Lanjutan)
S
T
U
Gambar 4. Makrofauna tanah dari ordo Araneida; S. Lycosidae (7x), Thomisidae (30x), dan U. Salticidae (12x)
80