PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU MEREKA
Kasus Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan
LAILA SAKINA I34070070
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT
This study describes the assessment by street children toward the open house’s services. This assessment based on the street childreen’s satisfaction toward the open house’s services. The objective of this study is to analyse: (1) The assessment towards the open house’s services, (2) The factors that affect the street children’s assessment and (3) the correlation between the assessment of the open house’s services toward the street children’s behaviour. The functions of the open house are meeting point, assessment and referral center, facilitator, protection, curative-rehabilitative, information center,and providing access to social services and social reintegration. The result of this study showed most of the respondent (street children) were satisfied toward the open house’s services. Yet, there are two of open house’s functions, as a facilitator and as an assessment and referral center, that considered with low level of satisfaction. Then, the factors that affecting the assessment of the street children toward the open house’s services is the level of interaction of the street children at the open house. This means that the higher level of interaction happened, the higher level of assessment will be given by the street children to the open house services. After all, it was proved that the level of satisfaction give an influential effect toward their behavior. That is, the higher level of assessment will provide the better behavior of street children. Keyword: street children, the assessment, the level of satisfication, open house‟s services
iii
RINGKASAN
LAILA SAKINA. Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya dengan Perilaku Anak Jalanan: Kasus Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi. (Di bawah bimbingan DJUARA P. LUBIS) Krisis moneter yang berlangsung di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan seluruh aspek kehidupan bangsa terutama sendi-sendi perekonomian bangsa. Kemiskinan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan diyakini juga telah mengakibatkan meningkatnya eksploitasi terhadap anak. Fenomena ini terutama terjadi di daerah urban dan menyebabkan munculnya anak jalanan. Upaya untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak jalanan dengan memenuhi hak-haknya yang dirumuskan di dalam UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Realisasi dari peraturan negara ini adalah dengan dilaksanakannya rumah singgah untuk anak jalanan. Rumah singgah adalah suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai tempat pertemuan, pusat asesmen dan rujukan, fasilitator, rehabilitasi-kuratif, perlindungan, pusat informasi, akses terhadap pelayanan sosial, dan resosialisasi. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah, (2) menganalisis faktor yang mempengaruhi penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah, dan (3) menganalisis hubungan penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah dengan perilaku mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang mendapat pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi. Penetapan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Data kuantitatif yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara statistik melalui uji Chi-square, Rankspearman
dan
Mann-whitney
dengan
WindowsVersi 16.0 dan Microsoft Exel 2007.
mengunakan
software
SPSS
for
iv
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas anak jalanan memiliki penilaian yang positif yakni mereka merasa puas terhadap fungsi rumah singgah sebagai tempat pertemuan, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi. Namun, terdapat dua fungsi rumah singgah yang dinilai tidak memuaskan anak jalanan yaitu fungsi rumah singgah sebagai pusat asesmen dan rujukan dan sebagai fasilitator. Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi tidak berhubungan dengan usia anak jalanan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, alasan menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan, pengalaman anak jalanan di rumah singgah dan tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan. Pelayanan yang diberikan rumah singgah disesuaikan dengan karakteristik anak jalanan, sehingga tingkat kepuasan tidak dipengaruhi oleh faktor tersebut. Faktor yang mempengaruhi penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah adalah tingkat interaksi anak jalanan di rumah singgah. Semakin tinggi tingkat interaksi anak jalanan di dalam rumah singgah semakin baik pula penilaiannya terhadap pelayanan rumah singgah. Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah berkorelasi positif dengan perilaku anak jalanan. Artinya, semakin baik penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah maka semakin baik perilaku mereka. Pelaksanaan rumah singgah dapat
dikatakan efektif untuk
menangani
permasalahan anak jalanan. Oleh karena itu, pembina rumah singgah seharusnya memperhatikan pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah anak jalanan untuk mengurangi keberadaan anak jalanan.
v
PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU MEREKA Kasus Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, Kelurahan Jatipadang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan
LAILA SAKINA I34070070
SKRIPSI Sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini kami menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Laila Sakina
NRP
: I34070070
Judul
: Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya dengan Perilaku Mereka (Kasus Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. NIP. 19600315 198503 1 002
Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan :
vii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU MEREKA” BELUM PERNAH DIAJUKAN DAN DITULIS PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH TULISAN INI.
Bogor, Februari 2011
Laila Sakina I34070070
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 27 Mei 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Dede Purnawarman dan Ibu Resmuni Yuliati. Pendidikan formal ditempuh penulis di SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2004 hingga 2007. Setelah lulus SMA, penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) Tahun 2007 dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Mayarakat, Fakutas Ekologi Manusia. Selama
menjadi
mahasiswa,
penulis
aktif
mengikuti
kegiatan
ekstrakurikuler, seperti UKM Music Agriculture X-pression!! (MAX!!), UKM Gentra Kaheman, dan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA). Dalam organisasi, penulis pernah memegang jabatan sebagai Bendahara UKM MAX!! periode 2008/2009, Divisi Seni Tari UKM Gentra Kaheman periode 2009/2010 dan Bendahara Divisi Public Relation HIMASIERA periode 2009/2010. Penulis juga dipercaya untuk terlibat dalam berbagai kepanitiaan, diantaranya sebagai Bendahara Festival Musik MIXMAX!!, Divisi Acara ETNIX!!, Divisi Acara FRESH, Divisi Basket OMI dan berbagai kepanitiaan lainnya. Penulis pernah mengikuti program magang pada divisi Editing di PT Mirage Rabbani. Sebagai bentuk pengabdian terhadap bidang pendidikan, penulis menjalankan amanah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Dasar-dasar Komunikasi selama tiga semester pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya dalam mengerjakan skripsi ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya dengan Perilaku Mereka” ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dan pengaruhnya terhadap perilaku anak jalanan. Penulisan skripsi ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi pmerintah, pengelola rumah singgah dan masyarakat dalam upaya pemberdayaan anak jalanan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran perbaikan dan masukan yang membangun demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Februari 2011
Laila Sakina I34070070
x
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan ridhoNya akhirnya skripsi berjudul “Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya dengan Perilaku Mereka” dapat terselesaikan. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. selaku dosen pembimbing studi pustaka dan skripsi yang telah memberikan masukan dan bimbingan dengan sabar kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA. selaku penguji utama dan Ibu Ir. Yatri I. Kusumastuti, MSi. selaku penguji perwakilan departemen yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun bagi penulis. 3. Bapak Martua Sihaloho, SP. MSi. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan demi kelancaran kegiatan akademik penulis. 4. Ibunda
tercinta
Resmuni
Yuliati
dan
ayahanda
terkasih
Dede
Purnawarman yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa tiada henti kepada penulis. 5. Kakak dan adik tersayang, Ridwan Mukorrobin dan Hanif Alghifary yang memberikan doa dan semangat kepada penulis. 6. Faiz Nasrullah Samara beserta keluarga yang senantiasa memberikan doa, semangat dan motivasi kepada penulis. 7. Kak Abdus Saleh Maller selaku pimpinan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, Ali Santoso sebagai pendamping selama penelitian dan seluruh anak binaan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi. 8. Keluarga Besar Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 44 atas kebersamaan dan persahabatan yang telah terjalin selama ini.
xi
9. Navalinesia, Dimitra, Asri, Biola, Fera, Karina, Maya, Astri dan seluruh sahabat penulis yang memberikan keceriaan dan kebersamaannya. 10. Seluruh teman-teman seperjuangan akselerasi, Astri, Dina, Maya, Zuhaida, Amanda, Bio, Navalinesia, Syifa, Frisca, Debos, Nyimas, Nendy, Thresa, Isma, Yunita, Ummi, MV dan Geidy, yang senantiasa memberikan motivasi kepada penulis. 11. Keluarga Kuliah Kerja Profesi A1, Bio, Dewi, Adiarti, Dida, dan Gilang atas perhatian, kerjasama, dan kebersamaan. 12. Keluarga baru di Griya Biru dan Zulfa yang memberikan pengalaman dan keceriaan selama masa kuliah. 13. Teman-teman
UKM
MAX!!
dan
HIMASIERA
atas
kerjasama,
pengalaman, dan ilmu yang bermanfaat. 14. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasama selama pengerjaan skripsi ini.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2
Masalah Penelitian ................................................................................. 3
1.3
Tujuan Penelitian ................................................................................... 3
1.4
Kegunaan Penelitian ............................................................................... 3
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS ................................................................... 4
2.1
Tinjauan Pustaka .................................................................................... 4 2.1.1 Anak Jalanan ............................................................................. 4 2.1.2 Model Penanganan Anak Jalanan ............................................... 9 2.1.3 Rumah Singgah........................................................................ 10 2.1.4 Pemberdayaan.......................................................................... 14 2.1.5 Perilaku ................................................................................... 15 2.1.6 Penilaian .................................................................................. 17
2.2
Kerangka Pemikiran ............................................................................. 20
2.3
Hipotesis Penelitian .............................................................................. 23
2.4
Definisi Operasional ............................................................................. 24
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ............................................................. 29 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 29
3.2
Metode Penelitian................................................................................. 29
3.3
Teknik Pemilihan Responden dan Informan ......................................... 30
3.4
Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 30
3.5
Teknik Analisis Data ............................................................................ 31
BAB IV GAMBARAN UMUM ......................................................................... 33 4.1
Gambaran Umum Lokasi...................................................................... 33
4.2
Gambaran Umum Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi .......................... 34 4.2.1. Sejarah ..................................................................................... 34 4.2.2. Visi, Misi dan Tujuan .............................................................. 35 4.2.3. Struktur Organisasi .................................................................. 36
xiii
4.2.4. Anak Binaan ............................................................................ 37 4.2.5. Rekruitment Anak Binaan ........................................................ 38 4.2.6. Model Layanan ........................................................................ 39 4.2.7. Program Kegiatan .................................................................... 40 4.2.8. Fasilitas ................................................................................... 43 BAB V
PROFIL RESPONDEN ........................................................................ 45
5.1.
Usia...................................................................................................... 45
5.2.
Tingkat Pendidikan .............................................................................. 45
5.3.
Jenis Pekerjaan ..................................................................................... 48
5.4.
Alasan Menjadi Anak Jalanan .............................................................. 50
5.5.
Tipe Anak Jalanan ................................................................................ 53
5.6.
Pengalaman Menjadi Anak Jalanan ...................................................... 54
5.7.
Tingkat Kekerasan yang Dialami .......................................................... 55
5.8.
Perilaku Menyimpang .......................................................................... 57
5.9.
Ikhtisar ................................................................................................. 60
BAB VI PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH ............................................................................. 62 6.1
Tempat Pertemuan (Meeting Point) ...................................................... 62
6.2
Pusat Asesmendan Rujukan .................................................................. 64
6.3
Fasilitator ............................................................................................. 65
6.4
Perlindungan ........................................................................................ 67
6.5
Pusat Informasi .................................................................................... 68
6.6
Kuratif-Rehabilitatif ............................................................................. 70
6.7
Akses Terhadap Pelayanan ................................................................... 72
6.8
Resosialisasi ......................................................................................... 73
6.9
Ikhtisar ................................................................................................. 74
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH ............................................................................. 77 7. 1
Faktor Internal ...................................................................................... 77 7.1.1 Hubungan Usia dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ....................................................... 77
xiv
7.1.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ............................ 79 7.1.3 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ......................................... 80 7.1.4 Hubungan Alasan Utama Menjadi Anak Jalanan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah.... 82 7.1.5 Hubungan Tipe Anak Jalanan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ......................................... 84 7.1.6 Hubungan Pengalaman di Rumah Singgah dengan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah.................. 86 7. 2
Faktor Eksternal ................................................................................... 87 7.2.1 Hubungan Tingkat Kekerasan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ......................................... 87 7.2.2 Hubungan Tingkat Interaksi dalam Rumah Singgah dengan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah .. 89 7.2.3 Ikhtisar .................................................................................... 91
BAB VIII HUBUNGAN PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH DENGAN PERILAKU MEREKA ............................................................................................. 92 8.1
Hubungan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah dengan Perilaku Anak Jalanan ................................................ 93
8.2
Perubahan Perilaku Anak Jalanan ......................................................... 95
8.3
Ikhtisar ................................................................................................. 97
BAB IX PENUTUP ............................................................................................ 99 9.1
Kesimpulan .......................................................................................... 99
9.2
Saran .................................................................................................. 100
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.
Tabel 13.
Halaman Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Status Pendidikan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……………………………………………………………. 46 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Tingkat Pendidikan Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…………………………………………………… 47 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Pekerjaan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………… 49 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Tipe Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…….. 53 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Pengalaman Menjadi Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…..…………………………………...……. 55 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Pernah Tidaknya Mengkonsumsi Minuman Keras, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……………………………... 58 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Pernah Tidaknya Mengkonsumsi Narkoba, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……………………………………… 58 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Pernah Tidaknya Melakukan Hubungan Seksual Sebelum Menikah, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………….. 59 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………………………………………. 77 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010.………………..…… 79 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…………………….. 81 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Alasan Menjadi Anak Jalanan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010….……… 83 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Anak Jalanan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…………………….. 85
xvi
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Anak Jalanan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010….………………….. 86 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Kekerasan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…………………….. 88 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Kekerasan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…………………….. 90 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………………………………………. 93 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Anak Jalanan Sebelum dan Setelah Menjadi Anak Binaan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……………………………... 95
xvii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15.
Halaman Kerangka Berpikir…………………………………………….. 23 Jumlah Anak Jalanan yang Dibina Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi Berdasarkan Kelompok Usia………………….. 37 Distribusi Responden Berdasarkan Usia…………………….. 45 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Utama Menjadi Anak Jalanan………………………………………………… 51 Distribusi Responden Berdasakan Tingkat Kekerasan Nonfisik…………………………………………………………… 56 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kekerasan Fisik... 57 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Tempat Pertemuan………………………………….. 63 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Pusat Asesmen dan Rujukan………………………... 64 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah sebagai Fasilitator…………………………………................. 66 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Tempat Perlindungan……………………………….. 67 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Pusat Informasi……………….…………………….. 69 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah dalam Upaya Kuratif-Rehabilitatif….……………………….. 70 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Akses Pelayanan Sosial…………………………….. 72 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Melakukan Resosialisasi……………………………………... 73 Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah………………………………………………………. 75
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Krisis moneter yang berlangsung di Indonesia sejak pertengahan tahun
1997 telah memporak-porandakan seluruh aspek kehidupan bangsa terutama sendi-sendi perekonomian bangsa. Krisis moneter mengakibatkan meningkatnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi sekitar 80 juta penduduk dan diperkirakan sekitar 20 juta angkatan kerja menganggur. Akibatnya mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Kemiskinan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan diyakini telah mengakibatkan peningkatan eksploitasi terhadap anak dalam melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan dan keahlian tertentu, seperti pemulung, pedagang asongan, dan prostitusi. Fenomena ini terutama terjadi di daerah urban dan menyebabkan munculnya anak jalanan dan terlantar (Depdiknas, 2002). Berdasarkan hasil survei dan pemetaan sosial anak jalanan pada tahun 1999 yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 orang, yang tersebar di 12 kota besar. Pada tahun 2004, menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan sebesar 98.113 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Khusus di wilayah Bandung kurang lebih berjumlah 5.500 anak jalanan; di wilayah Bogor 3.023 orang; dan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta kurang lebih berjumlah 8.000 orang (Sugiharto, 2004). Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktu sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan atau tempat umum lainya (Departemen Sosial, 2005). Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan. UNDP & Departemen Sosial sebagaimana dikutip Saripudin dkk (2009) menjelaskan bahwa anak jalanan menghadapi situasi di mana hak-hak sebagai anak kurang terpenuhi, baik dari aspek pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan pelindungan. Selain itu, Ennew sebagaimana dikutip oleh
2
Triyanti (2001) menjelaskan bahwa anak jalanan berada dalam lingkungan yang tidak kondusif baik bagi fisik maupun kejiwaan sebagai anak, sebab anak jalanan rentan terhadap berbagai bentuk penindasan, baik yang secara nyata maupun terselubung. Melihat permasalahan yang dihadapi anak jalanan tersebut maka diperlukan upaya perlindungan dan kesejahteraan anak jalanan dengan memenuhi hak-haknya. Di Indonesia, untuk mewujudkan hak-hak anak telah dikeluarkan UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak. UU tersebut menjelaskan bahwa anak berhak untuk tumbuh kembang secara wajar serta memperoleh perawatan, pelayanan, asuhan dan perlindungan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Rumah singgah merupakan model penangan anak jalanan sebagai perwujudan daru UU tersebut (Krismiyarsi dkk, 2004). Munajat (2001) menjelaskan rumah singgah merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah anak jalanan. Rumah singgah adalah suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihakpihak yang akan membantu mereka. Tujuan umum diselenggarakannya rumah singgah adalah membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Adapun tujuan khusus rumah singgah antara lain: (1) membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, (2) mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau di panti dan lembaga pengganti lainya jika diperlukan dan (3) memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak. Rumah Singgah memiliki beberapa fungsi, yaitu tempat pertemuan, pusat asesmen dan rujukan, fasilitator, rehabilitasi-kuratif, perlindungan, pusat informasi, akses terhadap pelayanan, dan resosialisasi. Untuk mengetahui keberfungsian rumah singgah maka dapat dilihat dari segi proses maupun hasil proses rumah singgah, salah satunya yaitu dengan melihat penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dan perilaku anak jalanan setelah mendapat layanan rumah singgah. Terkait dengan hal tersebut maka penelitian evaluatif
3
mengenai penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dan hubungannya dengan perilaku mereka perlu dilakukan.
1.2
Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah? 2. Apa saja faktor yang mempengaruhi penialaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah? 3. Bagaimana hubungan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dengan perilaku mereka?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. 2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. 3. Menganalisis hubungan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dengan perilaku mereka.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan masalah anak jalanan, yaitu: 1. Kalangan akademisi yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai anak jalanan dan rumah singgah terkait dengan pemberdayaan masyarakat 2. Praktisi, pemerintah, dan swasta dapat bermanfaat sebagai sebuah pertimbangan dalam mengambil kebijakan mengenai penanganan dan pelayanan anak jalanan melalui rumah singgah 3. Masyarakat, dapat memperluas wawasan mengenai pelaksanaan rumah singgah dan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah ringgah.
4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Anak Jalanan UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai those who have abandoned their home, school, and immediate communities before they are sixteen yeas of age have drifted into a nomadic street life (anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekat, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah). Anak jalanan merupakan anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial, 2005). Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan yang menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Penampilan anak jalanan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, dan sampah masyarakat yang harus diasingkan (Arief, 2002). Pusdatin Kesos Departemen Sosial RI sebagaimana dikutip oleh Zulfadli (2004) menjelaskan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan di jalanan atau di tempat-tempat umum, dengan usia antara 6 sampai 21 tahun yang melakukan kegiatan di jalan atau di tempat umum seperti: pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, dan lainlain.Kegiatan yang dilakukan dapat membahayakan dirinya sendiri atau mengganggu ketertiban umum. Anak jalananan merupakan anak yang berkeliaran dan tidak jelas kegiatannya dengan status pendidikan masih sekolah dan ada pula
5
yang tidak bersekolah. Kebanyakan mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu. Berdasarkan intensitasnya di jalanan, anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama (Depdiknas, 2002), yaitu: 1. Chidren of the street Anak yang hidup/tinggal di jalanan dan tidak ada hubungan dengan keluarganya. Kelompok ini biasanya tinggal di terminal, stasiun kereta api, emperan toko dan kolong jembatan. 2. Children on the street Anak yang bekerja di jalanan. Umumnya mereka adalah anak putus sekolah, masih ada hubungannya dengan keluarga namun tidak teratur yakni mereka pulang ke rumahnya secara periodik. 3. Vulberable children to be street children Anak yang rentan menjadi anak jalanan. Umumya mereka masih sekolah dan putus sekolah, dan masih ada hubungan teratur (tinggal) dengan orang tuanya. Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen Sosial yang dikutip oleh Yudi (2006) dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: 1. Usaha dagang yang terdiri atas pedagang asongan, penjual koran, majalah, serta menjual sapu atau lap kaca mobil. 2. Usaha di bidang jasa yang terdiri atas pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan kenek. 3. Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan lain-lain. 4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Suhartini (2008) memaparkan bahwa pola kerja anak jalanan dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk strategi bertahan hidup yaitu bertahan hidup kompleks, sedang dan sederhana. Sebagian besar anak
6
jalanan memiliki strategi bertahan hidup kompleks dan sedang dengan jenis pekerjaan pengamen. Menurut Sanusi sebagaimana dikutip Yudi (2006), latar belakang anak turun ke jalan secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kondisi ekonomi keluarga Kegiatan anak-anak di jalanan berhubungan dengan kemiskinan keluarga di mana orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) dari anggota keluarganya sehingga dengan terpaksa ataupun sukarela mencari penghidupan di jalan untuk membantu orangtua. 2. Konflik dengan/antar orangtua Selain faktor ekonomi, perselisihan dengan orangtua ataupun antar orangtua (disharmoni keluarga) menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak turun ke jalan dan akhirnya menjadi anak jalanan. 3. Mencari pengalaman Tidak jarang anak melakukan aktivitas di jalan dengan alasan mencari pengalaman untuk memperoleh penghasilan sendiri. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar Jakarta yang pergi ke Jakarta untuk mencari pengalaman baru dan kehidupan baru yang lebih baik. Sebagian besar dari mereka tidak datang bersama orangtua, melainkan saudara atau teman sebaya.Hal ini berhubungan dengan motivasi untuk bekerja. Menurut Suhartini (2008) karakter anak jalanan dapat dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan alasan anak turun ke jalan. Usia anak jalanan berusia 13 sampai 18 tahun. Sebagian besar anak jalanan adalah laki-laki dengan jenis pekerjaan sebagai pengamen. Alasan anak turun ke jalan sangat bervariasi, sebagian dari mereka turun ke jalan karena kesulitan ekonomi dan sebagian lagi untuk tambahan uang saku dan rekreasi. Sebagian besar anak jalanan hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), diantara SD dan SMP tersebut ada yang tidak tamat sekolah. Pada kategori pekerjaan, mayoritas anak jalanan adalah pengamen. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Menurut Zulfadli (2004) keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anaknya, atau ayah
7
dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang keluarga berkaitan erat dengan perginya anak ke jalanan. Pada anak jalanan, salah satu permasalahan yang dihadapi mereka adalah telah bergesernya fungsi keluarga, salah satu contohnya fungsi ayah sebagai pencari nafkah yang digantikan oleh anak-anak mereka. Orang tua sangat mempengaruhi keputusan anak dalam rangka mencari nafkah. Dukungan ini dapat berupa dukungan langsung maupun tidak langsung. Dukungan ini ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang meminta uang „setoran‟ pada anak jalanan. Keadaan sosial ekonomi keluarga yang serba kekurangan mendorong anak jalanan untuk mendapatkan penghasilan lebih. Keadaan sosial ekonomi keluarga dapat dilihat salah satunya melalui pekerjaan orang tua (Purwaningsih, 2003). Selain itu, berdasarkan penelitian Suhartini (2008) tingkat ekonomi keluarga anak jalanan dapat dilihat dari jumlah penghasilan orangtua anak jalanan. Hartini dkk. sebagaimana dikutip oleh Pramuchtia (2008) menyatakan bentukbentuk tindakan kekerasan yang dialami anak jalanan dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: 1. Kekerasan ekonomi Kekerasan ekonomi cenderung dilakukan oleh anak jalanan laki-laki yang lebih tua darinya dan atau oleh aparat keamanan. Secara tidak langsung kekerasan ekonomi juga dilakukan oleh orang tua mereka. Kekerasan ekonomi yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri dapat berupa pemaksaan terhadap anakanaknya yang masih di bawah usia untuk ikut serta memberi sumbangan secara ekonomi bagi keluarga. Kekerasan orang tua biasanya dilakukan dengan memarahi anak mereka jika beristirahat atau harus cepat-cepat berlari mendekati mobil apabila lampu merah menyala agar mendapat uang lebih banyak. Kekerasan ekonomi juga dilakukan oleh aparat yang sering dilakukan cakupan pada anak jalanan. Cakupan dilakukan oleh petugas keamanan seperti Polisi Kotamadya (maksud Satpol PP) dan Hansip. Penangkapan yang dilakukan oleh petugas sebagai wujud pemerintah kota untuk menjaga ketertiban dan salah satu solusi yan dapat menyelesaikan permasalahan kota besar, sebaliknya justru dianggap sebagai tindak kekerasan ekonomi dan psikis bagi anak jalanan karena jika mereka sampai tertangkap, anak jalanan akan dimintai uang. Jika tidak diberi
8
uang, anak jalanan tersebut diancam akan dimasukkan ke tempat penampunganpenampungan yang ada di daerah tersebut. 2. Kekerasan psikis Bentuk kekerasan ini adalah berupa ancaman tidak diperbolehkan beroperasi/mengamen/mengemis di tempat tertentu, dimaki-maki dengan kata kasar sampai ancaman dengan menggunakan senjata tajam. Kekerasan psikis yang dilakukan baik oleh sesama anak jalanan atau aparat, cenderung memberikan dampak yang sangat traumatik. 3. Kekerasan fisik Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang sangat mudah diketahui dengan melihat akibat yang ditimbulkan. Kekerasan fisik ini biasanya berupa tamparan, tendangan, gigitan, benturan dengan benda keras, sampai luka akibat terkena senjata tajam. 4. Kekerasan seksual Kekerasa seksual merupakan bentuk pelecehan seksual yang dialami anak jalanan mulai yang sangat sederhana seperti mencolek pantat, pegang-pegang payudara sampai diajak ke tempat-tempat yang biasa digunakan untuk melakukan hubungan seksual (losmen atau hotel-hotel kecil). Kekerasan seksual yang sering terjadi pada anak jalanan perempuan di Surabaya lebih sering dilakukan pada anak jalanan perempuan yang telah menginjak remaja (12 tahun ke atas). Marliana (2006) membagi kekerasan ke dalam dua kategori yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non-fisik. Emotional abuse dan verbal ebuse dapat dikategorikan sebagai kekerasan non-fisik yang dapat berakibat pada psikis anak, sehingga dapat menghambat pertumbuhan anak. Sedangkan physical abuse dan sexual abuse dapat dikategorikan sebagai kekerasa fisik yang berakibat pada jasmani anak. Tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan dalam penelitiannya tegolong dalam kategori rendah. Bentuk kekerasan yang dialami anak jalanan antara lain diejek teman, dimarahi teman karena melewati batas wilayah, dipaksa teman untuk menuruti kata-katanya, dipukul orang tua karena tidak memberi uang, digebukin teman karena melanggar wilayah kerja, dihajar preman karena tidak membayar uang keamanan dan pelecehan seksual.
9
2.1.2 Model Penanganan Anak Jalanan Departemen Sosial sebagaimana dikutip Krismiyarsi dkk (2004) menjelaskan bahwa penanganan anak jalanan dilakukan dengan metode dan teknik pemberian pelayanan yang meliputi: 1. Street based Street based merupakan pendekatan di jalanan untuk menjangkau dan mendampingi anak di jalanan. Tujuannya yaitu mengenal, mendampingi anak, mempertahankan relasi dan komunikasi, dari melakukan kegiatan seperti: konseling, diskusi, permainan, literacy dan lain-lain. Pendampingan di jalanan terus dilakukan untuk memantau anak binaan dan mengenal anak jalanan yang baru. Street based berorientasi pada menangkal pengaruh-pengaruh negatif dan membekali mereka nilai-nilai dan wawasan positif. 2. Community based Community based adalah pendekatan yang melibatkan keluarga dan masyarakat tempat tinggal anak jalanan. Pemberdayaan keluarga dan sosialisasi masyarakat, dilaksanakan dengan pendekatan ini yang bertujuan mencegah anak turun ke jalanan dan mendorong penyediaan sarana pemenuhan kebutuhan anak. Community based mengarah pada upaya membangkitkan kesadaran, tanggung jawab dan partisipasi anggota keluarga dan masyarakat dalam mengatasi anak jalanan. 3. Bimbingan sosial Metode bimbingan sosial untuk membentuk kembali sikap dan perilaku anak jalanan sesuai dengan norma, melalui penjelasan dan pembentukan kembali nilai bagi anak, melalui bimbingan sikap dan perilaku sehari-hari dan bimbingan kasus untuk mengatasi masalah kritis. 4. Pemberdayaan Metode pemberdayaan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas anak jalanan dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Kegiatannya berupa pendidikan, keterampilan, pemberian modal, alih kerja dan sebagainya.
10
2.1.3 Rumah Singgah Munajat (2001) menjelaskan rumah singgah merupakan perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang membantu mereka. Rumah singgah bertujuan membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian rumah singgah bukan merupakan lembaga pelayanan sosial yang membantu menyelesaikan masalah, namun merupakan lembaga pelayanan sosial yang memberikan proses informal dengan suasana resosialisasi bagi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial Depsos sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi (2004) mendefinisikan rumah singgah sebagai berikut: a. Anak jalanan boleh tinggal sementara untuk tujuan perlindungan, misalnya:
karena
tidak
punya
rumah,
ancaman
di
jalan,
ancaman/kekerasan dari orang tua dan lain-lain. Biasanya hal ini dihadapi anak yang hidup di jalanan dan tidak mempunyai tempat tinggal. b. Pada saat tinggal sementara mereka memperoleh intervensi yang intensif dari pekerja sosial sehingga tidak tergantung terus kepada rumah singgah. c. Anak jalanan datang sewaktu-waktu untuk bercakap-cakap, istirahat, bermain, mengikuti kegiatan dan lain-lain. d. Rumah singgah tidak memperkenankan anak jalanan untuk tinggal selamanya. e. Anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tua atau saudaranya atau sudah mempunyai tempat tinggal tetap sendirian maupun berkelompok tidak diperkenankan menetap di rumah singgah, kecuali ada beberapa situasi yang bersifat darurat. f. Anak jalanan yang sudah mempunyai tempat tinggal tetap merupakan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan rumah singgah sebagai tempat tinggal sementara, seperti: kelompok anak yang hidup di jalanan. Melalui proses informal dalam resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, diharapkan mampu mencapai tujuan penyelenggaraan rumah singgah. Tujuan penyelenggaraan rumah singgah itu
11
sendiri ada dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Adapun tujuan khusus rumah singgah adalah: a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau di panti dan lembaga pengganti lainya jika diperlukan. c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak. Departemen Sosial RI sebagaimana dikutip oleh Triyanti (2001) mengemukakan fungsi rumah singgah sebagai berikut: 1. Tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dengan anak jalanan Dalam fungsi ini, rumah singgah merupakan merupakan tempat bertemu antara
pekerja
sosial
dengan
anak
jalanan
untuk
menciptakan
persahabatan, assessment dan melakukan program kegiatan. 2. Pusat assessment dan rujukan Rumah singgah menjadi tempat asesmen (assessment) terhadap masalah dan kebutuhan anak jalanan serta melakukan rujukan (refeal) pelayanan sosial bagi anak jalanan. 3. Fasilitator Rumah singgah memiliki fungsi sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, panti, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya. Anak jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung pada rumah singgah, melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah proses yang dijalani. 4. Perlindungan Rumah singgah dianggap sebagai tempat perlindungan anak dari kekerasan, penyimpangan seks dan bentuk-bentuk lain yang terjadi di jalanan.
12
5. Pusat informasi Dalam fungsi ini, Rumah singgah menyediakan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan dan lain-lain. 6. Kuratif-Rehabilitatif Rumah singgah diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan memperbaiki sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan dapat menumbuhkan keberfungsian anak. 7. Akses terhadap pelayanan Sebagai persinggahan, rumah singgah menyediakan akses kepada berbagai pelayanan sosial. Pekerja sosial membantu anak mencapai pelayanan tersebut. 8. Resosialisasi Lokasi rumah singgah berada di lingkungan masyarakat sebagai upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Dengan harapan adanya pengakuan, tujuan dan upaya dari warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak. Prinsip-prinsip rumah singgah yang dikemukakan Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi (2009), yaitu: 1. Semi institusional Anak jalanan sebagai penerima pelayanan boleh bebas keluar masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya untuk mengikuti kegiatan. 2. Terbuka 24 jam Anak jalanan boleh datang kapan saja, siang hari maupun malam hari, terutama bagi anak jalanan yang baru mengenal rumah singgah. Anak jalanan yang sedang dibina atau dilatih datang pada jam yang telah ditentukan, misalnya paling malam pukul 22.00 waktu setempat. Hal ini memberikan kesempatan kepada anak jalanan untuk memperoleh perlindungan kapan pun. Para pekerja sosial siap dikondisikan untuk menerima anak dalam 24 jam tersebut, oleh karena itu harus ada pekerja sosial yang tinggal di rumah singgah.
13
3. Hubungan informal (kekeluargaan) Hubungan-hubungan yang terjadi di rumah singgah bersifat informal seperti perkawanan atau kekeluargaan. Anak jalanan dibimbing untuk merasa sebagai anggota keluarga besar di mana para pekerja sosial berperan sebagai teman, saudara atau orang tua. Hubungan ini membuat anak merasa diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah keluarga dan merasa sejajar karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan sahabat. Dengan cara ini diharapkan anak-anak mudah mengadukan keluhan, masalah, dan kesulitan sehingga memudahkan penanganan masalahnya. 4. Bebas terbatas untuk apa saja bagi anak Anak dibebaskan untuk melakukan apa saja di rumah singgah seperti: tidur, bermain, bercanda, bercengkrama, mandi, dan sebagainya. Tetapi anak dilarang untuk perilaku yang negatif, seperti: perjudian, merokok, minuman, keras dan sejenisnya. Dengan cara ini diharapkan anak-anak betah dan terjaga dari pengaruh buruk. Peraturan dibuat dan disepakati oleh anak-anak. 5. Persinggahan dari jalanan ke rumah atau alternatif lain Rumah singgah merupakan persinggahan anak jalanan dari situasi jalanan menuju situasi lain yang dipilih dan ditentukan oleh anak, misalnya kembali ke rumah, mengikuti saudara, masuk panti, kembali ke sekolah, alih kerja ke tempat lain, dan sebagainya. 6. Partisipasi kegiatan yang dilaksanakan di rumah singgah didasarkan pada prinsip partisispasi dan kebersamaan. Pekerja sosial dan anak jalanan memahami
masalah,
merencanakan
dan
merumuskan
kegiatan
penanganan. Dengan cara ini anak dilatih belajar mengatasi masalahnya dan
merasa
memiliki
atau
memikirkan
kegiatan-kegiatan
yang
dilaksanakan. 7. Belajar bermasyarakat Anak jalanan seringkali menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda dengan norma masyarakat karena lamanya mereka tinggal di jalanan. Rumah singgah ditempatkan di tengah-tengah masyarakat agar mereka
14
kembali belajar norma dan menunjukkan sikap dan perilaku yang berlaku dan diterima masyarakat
2.1.4 Pemberdayaan Pemberdayaan secara konseptual pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan merupakan the missing ingrident dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas sumberdaya yang penting. Oleh karena itu, pemberdayaan dan partisipasi di tingkat komunitas merupakan dua konsep yang erat kaitannya dalam konteks ini pernyataan Craig dan Mayo, bahwa empowerment is road to participation adalah sangat relevan (Nasdian, 2006). Ife sebagaimana dikutip Suharto (2005) pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidunya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mandiri dalam melaksanakan kegiatan sosial dan tugas-tugas kehidupannya. Person et.al. sebagimana dikutip Soeharto (2005) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Namun dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas; dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem di luar dirinya.
15
Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting), yaitu: 1. Aras mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task center approach). 2. Aras mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan
dan
sikap-sikap
klien
agar
memiliki
kemampuan
memecahkan permasalahan yang dihadapinya, 3. Aras makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large sistem strategy), karena sasaran perubahan diarahkan kepada sistem lingkungan yang lebih luas. Strategi ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri. Dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
2.1.5 Perilaku Walgito (2002) menjelaskan perilaku yang dilakukan seseorang disebut sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Perilaku juga dikaitkan sebagai reaksi yang terjadi karena adanya stimulus atau interaksi antar individu dengan lingkungannya dan benar-benar dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan. Calhoun dan Joan sebagaimana dikutip Prayifto (2010) menjelaskan bahwasannya perilaku seseorang terhadap suatu objek dapat dilihat dari beberapa dimensi, yakni: 1. Frekuensi Menunjukkan jumlah atau kuantitas dari perilaku seseorang. 2. Kepada siapa berperilaku Perilaku yang dilakukan biasanya tidak hanya ditujukan untuk diri sendiri tetapi juga dilakukan bagi orang lain.
16
3. Untuk apa Perilaku yang dilakukan seseorang itu mempunyai manfaat dan tujuan untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. 4. Bagaimana Menunjukkan upaya atau cara yang dilakukan oleh seseorang dalam berperilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Perilaku merupakan suatu rangkaian aktivitas, yang dapat berubah apabila kebutuhan yang ada meningkat kekuatannya, sehingga menjadi motif yang paling tinggi. Lima konsep penguatan utama yang dapat membantu dalam upaya mengubah perilaku adalah: penguatan positif (positive reinforcement) terhadap perilaku baru yang diinginkan sesegera mungkin, penguatan negatif (negatif reinforcement), hukuman (punisment), pemunahan, dan jadwal penguatan. Hal ini terkait dengan teori modifikasi perilaku yang memusatkan perhatian pada perilaku yang diamati dan menggunakan tujuan atau ganjaran di luar diri seseorang untuk memodifikasi dan membentuk perilaku ke arah prestasi yang diinginkan (Hersey dan Blanchard yang dikutip Sugiharto, 2004). Perubahan perilaku hanya bisa terjadi apabila dua faktor yaitu pribadi yang bersangkutan dan orang-orang di sekelilingnya sama-sama dalam situasi menginginkan
perubahan
tersebut
terjadi.
Adapun
faktor-faktor
yang
memungkinkan timbulnya perubahan perilaku pada diri seseorang pada dasarnya ada dua, yaitu : a) kesadaran yang timbul dari dirinya sendiri, dengan ini perubahan yang terjadi lebih bersifat menetap, karena perubahan tanpa adanya kesadaran hanya bersifat sementara (palsu) dan b) pengaruh dari lingkungan dengan cara; ajakan (persuative) dengan menerapkan metode edukatif, bersifat manusiawi tetapi memerlukan waktu yang relatif lama namun hasilnya akan lebih mantap dan meyakinkan; paksaan dengan menggunakan metode indoktrinasi (brainwashing) ialah dengan jalan mengisolasi orang yang dikehendaki dari semua perangsang dan pengaruh, kepadanya hanya diberikan ide-ide tertentu supaya tumbuh dan merasuk dalam jiwa orang yang bersangkutan (Sugiharto, 2004). Self learning atau belajar mandiri diharapkan anak jalanan dapat memodifikasi perilakunya karena kesadaran dan keinginan sendiri untuk berubah,
17
sehingga terjadi perubahan yang terinternalisasi di dalam dirinya. Juga terjadi pembiasaan dan penyesuaian dalam diri anak jalanan. Diharapkan dengan adanya kesadaran tersebut pada akhirnya penyandang masalah (termasuk anak jalanan) dapat mengubah diri atau mengubah perilakunya. Kesediaan anak jalanan untuk berubah dengan kesadaranya sendiri ini, merupakan langkah awal dalam upaya mereka kelak menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berada di sekitarnya, manakala ia tidak lagi hidup di jalanan (Sugiharto, 2004) Dari kondisi seperti digambarkan di atas, hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah bahwa anak jalanan dapat dirubah perilakunya melalui aktivitas kegiatan yang modifikasi dengan melibatkan keinginan dan kesadarannya untuk mau belajar dan mempelajari perubahan yang terjadi dalam kehidupannya secara mandiri, agar tidak lagi maladjusment dan anormatif. Melalui proses belajar mandiri atau self learning, anak juga dibiasakan untuk dapat mengatasi hambatan yang terjadi dalam upayanya menyesuaikan diri dan merubah perilakunya. Sehingga diharapkan dihasilkan perilaku baru yang terinternalisasi untuk dapat digunakan saat mereka keluar dari kehidupannya di jalanan (Sugiharto, 2004). Penelitian Munajat (2001) mengkaji mengenai efektivitas rumah singgah terhadap
perubahan sikap
dan perilaku
anak
jalanan.
Untuk
melihat
perkembangan perilaku anak jalanan dapat dilihat dari; lokasi tidur, lama di jalanan, pekerjaan yang dilakukan, kebiasaan dalam berpakaian, hubungannya dengan oran tua, status pendidikan, kebiasaan negatif, hubungan sosial, kegiatan keagamaan, sopan santun, kebiasaan makan, kebiasaan bangun tidur, kebiasaan mandi, kebiasaan berobat, dan kelompok sosial. Sedangkan perubahan sikap dilihat dari berbagai aspek, antara lain; pandangan mengenai pendidikan, pekerjaan, hubungan sosial, perilaku kriminal, perilaku anti sosial, dan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan rumah singgah efektif untuk mengubah sikap dan perilaku anak jalanan.
2.1.6 Penilaian Penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah didasarkan pada kepuasan yang mereka rasakan ketika menerima pelayanan rumah singgah. Menurut Kotler sebagaimana dikutip Listiawati (2010) kepuasan adalah perasaan senang atau
18
kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas atau senang. Rangkuti (2008) menjelaskan kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai respons pelanggan terhadap ketidaksesuaian antara tingkat
kepentingan
sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakan setelah pemakaian. Kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa ditentukan oleh tingkat kepentingan pelanggan sebelum menggunakan jasa dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan terhadap jasa tersebut setelah pelanggan merasakan kinerja jasa tersebut. Tingkat kepentingan pelanggan diukur berdasarkan persepsi pelanggan. Dari berbagai persepsi tingkat kepentingan pelanggan kita dapat merumuskan tingkat kepentingan yang paling dominan. Diharapkan dengan memakai konsep tingkat kepentingan ini, kita dapat menangkap persepsi yang lebih jelas mengenai pentingnya variabel tersebut di mata pelanggan. Selanjutnya, kita dapat mengkaitkan pentingnya variabel ini dengan kenyataan yang dirasakan oleh pelanggan. Menurut Gerson yang dikutip oleh Listiawati (2010), terdapat tujuh alasan utama mengapa perlu dilakukan pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu: a. Mempelajari persepsi pelanggan b. Menentukan kebutuhan, keinginan, persyaratan dan harapan pelanggan c. Menutup kesenjangan d. Memeriksa apakah peningkatan mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan sesuai harapan pelanggan atau tidak e. Peningkatan kinerja membawa peningkatan laba f. Mempelajari bagaimana sebenarnya kinerja perusahaan dan apa yang harus dilakukan perusahaan di masa depan g. Menerapkan proses perbaikan berkesinambungan
19
Rangkuti (2008) menjelaskan ada beberapa cara untuk mengukur tingkat kepuasan, yaitu: 1. Traditional Approach Berdasarkan pendekatan ini, konsumen diminta memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati (pada umumnya dengan skala Likert), yaitu dengan cara memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas sekali). Selanjutnya konsumen juga diminta memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara keseluruhan. 2. Analisis secara Deskriptif Analisis statistik secara deskriptif, misalnya melalui penghitungan nilai rata-rata, nilai distribusi serta standar deviasi. Analisis ini sebaiknya dilakukan dengan cara membandingkan hasil kepuasan tahun lalu dengan tahun ini, sehingga kecenderungan perkembangannya dapat ditentukan. 3. Pendekatan secara Terstruktur (Structured Approach) Pendekatan ini paling sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Salah satu teknik yang paling popular adalah dengan menggunakan prosedur scaling. Caranya responden diminta untuk memberikan penilaian terhadap suatu produk atu fasilitas dengan produk atau fasilitas lainnya, dengan variabel yang diukur sama. 4. Analisis Tabel Kontingensi Jika ingin mengetahui apakah perbedaan jenis kelamin mempengaruhi tingkat kepuasan yang pelanggan rasakan pada waktu menggunakan suatu produk atau jasa, maka dapat digunakan analisis tabel kontingensi. Selanjutnya untuk melihat seberapa jauh hubungan antara jenis kelamin dan tingkat kepuasan tersebut kita dapat melakukan pengujian dengan menggunakan analisis Chi-Square. 5. Analisis Importance dan Performance Matrix yang sudah disempurnakan. Tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation) diukur dalam kaitannya dengan apa yang seharusnya dikerjakan oleh perusahaan agar menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas tinggi. Selanjutnya,
20
tingkat kepentingan pelanggan dikaitkan dengan kenyataan yang dirasakan oleh pelanggan.
2.2
Kerangka Pemikiran Pelayanan sosial rumah singga yang baik menuntut untuk dapat
memberikan kepuasan kepada anak jalanan. Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dapat diketahui dengan melihat tingkat kepuasan anak jalanan terhadap fungsi rumah singgah. Penilaian anak jalanan dilakukan terhadap delapan fungsi rumah singgah, yaitu: sebagai tempat pertemuan, pusat asesmen dan rujukan, fasilitator, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi. Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah diduga dipengaruhi oleh karakteristik anak jalanan. Karakteristik anak jalanan terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri yang melekat dalam diri anak jalanan yang terdiri atas usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, alasan utama menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan dan pengalaman menjadi anak jalanan. Faktor eksternal terdiri atas tingkat kekerasan dan tingkat interaksi anak jalanan dalam rumah singgah. Anak jalanan dengan usia yang lebih dewasa memiliki kebutuhan yang lebih kompleks dibanding dengan anak jalanan berusia lebih muda. Hal ini diduga akan berpengaruh kepada penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Sebagian besar anak jalanan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Anak jalanan sangat membutuhkan pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan pengetahuan. Terdapat kecenderungan semakin rendah tingkat pendidikan anak jalanan maka penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah semakin positif. Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen Sosial yang dikutip oleh Yudi (2006) dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: usaha dagang, usaha di bidang jasa, pengamen, dan kerja serabutan. Pekerjaan yang dijalani anak jalanan memiliki banyak resiko. Diduga terdapat perbedaan penilaian anak jalanan berdasarkan jenis pekerjaan anak jalanan.
21
Terdapat tiga hal yang melatarbelakangi anak turun ke jalan, yakni kondisi ekonomi keluarga, disharmoni keluarga, dan mencari pengalaman kerja (Sanusi yang dikutip Yudi, 2006). Alasan menjadi anak jalanan karena ekonomi yang rendah diduga akan merasa senang mendapatkan pelayanan rumah singgah karena kebutuhan hidup mereka data tercukupi, seperti kebutuhan makan, pakaian dan uang saku. Anak jalanan dengan kondisi keluarga yang disharmonis, merasa rumah singgah ialah keluarga baru mereka di mana mereka dapat merasakan kasih sayang. Anak jalanan yang dilatarbelakangi oleh motivasi mencari pengalaman kerja yang tinggi merasa rumah singgah dapat memberikan tempat untuk berlindung ketika mereka selesai bekerja. Diduga terdapat perbedaan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah berdasarkan alasan utama mereka turun ke jalan. Depdiknas (2002) membagi tipe anak jalanan berdasarkan hubungannya dengan keluarga dan dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu children of the street, children on the street dan vulnerable to be street children. Anak jalanan yang tidak memiliki keluarga (children of the street) memenuhi segala kebutuhannya sendiri dan sangat membutuhkan perlindungan baik secara fisik maupun psikologi. Maka terlihat kecenderungan semakin tinggi hubungan anak jalanan dengan keluarganya maka semakin baik penilaian anak jalanan. Anak jalanan mendapatkan berbagai pelayanan sosial di dalam rumah singgah. Semakin lama pengalaman anak jalanan di rumah singgah maka pelayanan yang didapatkan semakin banyak. Oleh karena itu, diduga semakin lama pengalaman anak jalanan di rumah singgah maka semakin positif penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat umum untuk tinggal, bekerja dan bermain. Kondisi seperti ini membuat anak jalanan rentan mendapatkan kekerasan dari berbagai pihak, yakni teman, preman, petugas keamanan maupun mayarakat umum. Rumah singgah memberikan tempat tinggal sebagai sarana untuk melindungi dari kekerasan yang ada di jalanan. Diduga semakin tinggi tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan maka positif penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah.
22
Anak jalanan sebagai penerima pelayanan rumah singgah bebas keluar masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya untuk mengikuti kegiatan. Hubungan-hubungan yang terjadi di rumah singgah bersifat informal seperti pertemanan atau kekeluargaan. Anak jalanan dibimbing untuk merasa sebagai anggota keluarga besar di mana para pekerja sosial berperan sebagai teman, saudara atau orang tua. Hubungan ini membuat anak merasa diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah keluarga dan merasa sejajar karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan sahabat (Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi, 2009). Pola interaksi yang terjadi di rumah singgah berupa kehadiran dalam kegiatan rumah singgah maupun keakraban dengan pembina maupun dengan anak binaan lainnya tersebut diduga berhubungan dengan tingkat kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Semakin tinggi tingkat interaksi anak jalanan di dalam rumah singgah maka semakin positif pula penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah.
23
Faktor Internal a. b. c. d.
Usia Tingkat pendidikan Jenis pekerjaan Alasan menjadi anak jalanan e. Tipe anak jalanan f. Pengalaman di rumah singgah
Faktor Eksternal a. Tingkat kekerasan b. Tingkat interaksi
Penilaiam Anak Jalanan a. b. c. d. e. f. g. h.
Tempat pertemuan Pusat assessment dan rujukan Fasilitator Perlindungan Pusat informasi Kuratif-Rehabilitatif Akses terhadap pelayanan Resosialisasi
Perilaku Anak Jalanan
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Keterangan : berhubungan
2.3
Hipotesis Penelitian 1. Faktor internal anak jalanan (usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, alasan menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan, pengalaman di rumah singgah) diduga berhubungan dengan penilaiannya terhadap pelayanan rumah singgah. 2. Faktor eksternal anak jalanan (tingkat interaksi dalam rumah singgah dan tingkat kekerasan) diduga berhubungan dengan penilaiannya terhadap pelayanan rumah singgah.
24
3. Penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah diduga berhubungan dengan perilaku anak jalanan.
2.4
Definisi Operasional 1. Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilaksanakan. Usia responden berada pada selang 15 tahun sampai 22 tahun dan dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: a. 15 sampai 18 tahun b. 19 sampai 22 tahun 2. Tingkat pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan responden. Dan dikategorikan menjadi: a. Rendah
: Tidak lulus SD hingga tamat SD
b. Sedang
: Lulus SMP
c. Tinggi
: Lulus SMA
3. Jenis pekerjaan adalah cara yang paling sering digunakan reponden untuk mendapatkan penghasilan. Jenis pekerjaan responden dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: a. Usaha dagang : pedagang asongan, penjual koran, majalah, serta menjual sapu atau lap kaca mobil b. Usaha di bidang jasa : pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan kenek atau calo c. Pengamen d. Kerja serabutan, yaitu berganti-ganti pekerjaan. 4. Alasan
utama
menjadi
anak
jalanan
adalah
hal
utama
yang
melatarbelakangi responden untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat umum. Alasan utama menjadi anak jalanan dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: a. Ekonomi keluarga yang rendah b. Disharmoni keluarga c. Mencari pengalaman kerja
25
5. Tipe anak jalanan adalah karakteristik anak jalanan berdasarkan pola hubungannya dengan keluarga. Anak jalanan dibagi ke dalam tiga tipe yaitu: a. Children of the street¸ yaitu anak yang hidup dan bekerja di jalanan dan tidak ada hubungan dengan keluarganya. b. Children on the street, yaitu anak jalanan yang bekerja di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan keluarganya namun tidak teratur. c. Vulnerable to be street children, yaitu anak yang rentan menjadi anak jalanan dan masih memiliki hubungan teratur dengan keluarganya. 6. Pengalaman di rumah singgah adalah lama responden menjadi anak binaan rumah singgah. RSBAP telah berdiri selama 12 tahun. Pengalaman anak jalanan di rumah singgah dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: a. < 5 tahun b. 5 tahun sampai 8 tahun c. > 8 tahun 7. Tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan adalah frekuensi kekerasan berupa kekerasan fisik dan non-fisik yang dialami responden selama menjadi anak jalanan. Terdapat 20 pertanyaan yang diajukan kepada responden dan akan direspon dengan pilihan jawaban tidak pernah (skor 1), jarang (skor 2) atau sering (skor 3). Kemudian skor dari jawaban responden diakumulasikan dan dikategorikan ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas, yaitu: a. Rendah
: skor ≤ 33,3
b. Sedang
: skor antara 33,4 sampai 46,6
c. Tinggi
: skor > 46,6
8. Tingkat kekerasan non-fisik adalah tingkat kekerasan terhadap mental responden yang dilakukan oleh orang tua, teman ataupun petugas keamanan, dan dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas yaitu: a. Rendah
: skor ≤ 16,7
b. Sedang
: skor antara 16,8 sampai 23,3
c. Tinggi
: skor > 23,3
26
9. Tingkat kekerasan fisik adalah tingkat kekerasan terhadap fisik responden yang dilakukan oleh orang tua, teman ataupun petugas keamanan, dan dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas yaitu: a. Rendah
: skor ≤ 16,7
b. Sedang
: skor antara 16,8 sampai 23,3
c. Tinggi
: skor > 23,3
10. Tingkat interaksi dalam rumah singgah adalah frekuensi aktivitas yang dilakukan anak jalanan di dalam rumah singgah yang dilihat dari tingkat kehadiran dan tingkat keakraban. Terdapat 13 pertanyaan yang diajukan kepada responden dan akan direspon dengan pilihan jawaban tidak pernah (skor 1), jarang (skor 2) atau sering (skor 3). Kemudian skor dari jawaban responden diakumulasikan dan dikategorikan ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas, yaitu: a. Rendah
: skor ≤ 21,7
b. Sedang
: skor antara 21,8 sampai 30,3
c. Tinggi
: skor > 30,3
11. Tingkat kehadiran adalah frekuensi kehadiran responden dalam kegiatan yang
diselenggarakan
oleh
rumah
singgah.
Tingkat
kehadiran
dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas, yaitu: a. Rendah
: skor ≤ 10
b. Sedang
: skor 10,1 sampai 14
c. Tinggi
: skor > 14
12. Tingkat keakraban adalah tingkat kedekatan hubungan responden dengan pembina dan anak binaan lainnya di rumah singgah. Tingkat keakraban dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas, yaitu: a. Rendah
: skor ≤ 11,7
b. Sedang
: skor antara 11,8 sampai 16,3
c. Tinggi
: skor < 16,3
13. Penilaian terhadap rumah singgah dioperasionalkan sebagai tingkat kepuasan anak jalanan mengenai fungsi (pelayanan) rumah singgah yang diterima oleh anak jalanan. Fungsi rumah singgah yang dinilai oleh anak jalanan, antara lain:
27
1) Tempat pertemuan (meeting point) yaitu rumah singgah merupakan tempat bertemu antara pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan persahabatan dan kegiatan. 2) Pusat asesmen dan rujukan yaitu rumah singgah memetakan kebutuhan dan
masalah
yang
dihadapi
anak
jalanan
serta
mencari
penyelesaiannya secara tepat dan cepat. 3) Fasilitator yaitu rumah singgah sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, dan lembaga lain yang dapat bermanfaat bagi mereka. 4) Perlindungan yaitu rumah singgah sebagai tempat perlindungan anak dari kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di jalanan. 5) Pusat informasi yaitu rumah singgah menyediakan informasi tentang bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan, pendidikan agama serta fasilitas yang menunjang. 6) Kuratif-rehabilitatif yaitu rumah singgah mengatasi permasalahan anak jalanan dan memperbaiki sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan dapat menumbuhkan keberfungsian anak. 7) Akses terhadap pelayanan yaitu rumah singgah menyediakan akses kepada berbagai pelayanan sosial. Pelayanan yang diberikan yaitu menyediakan makan tiga kali sehari, tempat berlindung, pelayanan kesehatan, kasih sayang, uang saku dan pakaian. 8) Resosialisasi yaitu rumah singgah mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Sebanyak 26 pertanyaan diajukan kepada responden mengenai penilaian responden akan fungsi rumah singgah yang direspon dengan jawaban sangat tidak puas (skor 1), tidak puas (skor 2), puas (skor 3), dan sangat puas (skor 4). Penilaian anak jalanan terhadap pelayaan rumah singgah akan dikelompokkan ke dalam empat kategori berdasarkan interval kelas. a. Sangat tidak puas : skor ≤ 45,5 b. Tidak puas
: skor antara 45,6 sampai 65
c. Puas
: skor antara 65,1 sampai 84,5
d. Sangat puas
: skor > 84,5
28
14. Perilaku anak jalanan adalah tindakan yang dilakukan responden dan dapat dilihat dari kebiasaan hidup mereka, yaitu: lokasi tidur, lama di jalanan, kebiasaan dalam berpakaian, kebiasaan negatif seperti merokok dan memakai narkoba, hubungan sosial, kegiatan keagamaan, sopan santun, kebiasaan makan, kebiasaan bangun tidur, kebiasaan mandi, dan kebiasaan berobat. Perilaku anak jalanan diukur menurut sudut pandang anak jalanan bukan dari orang tuanya. Hal ini disebabkan keberadaan orang tua yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia. Sebanyak 20 pertanyaan diajukan mengenai perilaku dan jawaban meliputi: tidak pernah (skor 1), jarang (skor 2), sering (skor 3) dan selalu (skor 4). Kemudian skor jawaban dari setiap pertanyaan diakumulasikan dan dikelompokkan ke dalam empat kategori berdasarkan interval kelas, yaitu: a. Buruk
: skor ≤ 35
b. Kurang baik
: skor antara 35,1 sampai 50
c. Baik
: skor antara 50,1 sampai 65
d. Sangat baik
: skor > 65
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Rumah singgah yang menjadi objek penelitian adalah Rumah Singgah
Bina Anak Pertiwi di Jalan Bacang No.46 Kelurahan Jatipadang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sebelum menentukan tempat penelitian, peneliti melakukan observasi melalui studi pustaka, internet dan artikel-artikel mengenai rumah singgah. Pemilihan kasus dilakukan secara sengaja (purposive). Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi dipilih karena telah melaksanakan berbagai pelayanan sosial kepada anak jalanan sejak tahun 1998 dan belum ada penelitian mengenai tpenilaian anak jalanan terhadap rumah singgah tersebut. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan November 2010 sampai dengan bulan Desember 2010.
3.2
Metode Penelitian Metode penelitian yang dipilih adalah dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Metode kuantitatif yang digunakan adalah teknik survei dengan kuisioner. Metode penelitian survei merupakan suatu penelitian kuantitatif dengan menggunakan pertanyaan terstruktur yang sama kepada banyak orang, untuk kemudian seluruh jawaban yang diperoleh dicatat, diolah dan dianalisis. Data kualitatif digunakan untuk memperkuat metode kuantitatif sehingga didapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam. Penelitian ini merupakan penelitian penjelasan (explanatory atau confirmatory). Peneliti menghimpun fakta dan menjelaskan hubungan antar variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun, 2006). Peneliti memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena tentang anak jalanan dan rumah singgah. Peneliti juga menjelaskan hubungan antara faktor internal dan eksternal anak jalanan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Selain itu, peneliti menjelaskan bagaimana
30
keterkaitan antara penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dengan perilaku mereka.
3.3
Teknik Pemilihan Responden dan Informan Subjek dalam penelitian ini dibedakan menjadi responden dan informan.
Informan yang dipilih dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yaitu pimpinan Yayasan Bina Anak Pertiwi, pimpinan RSBAP dan seorang staff RSBAP. Responden dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang terdaftar sebagai anak binaan RSBAP. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 30 orang karena dalam penelitian ini data dianalisa dengan uji korelasi statistik, oleh karena itu jumlah sampel harus besar karena nilai-nilai atau skor yang diperoleh distribusinya harus mengikuti distribusi normal. Peneliti menyusun kerangka sampling terlebih dahulu berdasarkan data anak binaan RSBAP karena yang menjadi anak binaan RSBAP tidak hanya anak jalanan namun ada pula dhuafa dan yatim piatu. Responden merupakan anak jalanan yang masih aktif mengikuti kegiatan RSBAP. Seluruh responden berjenis kelamin laki-laki. Setelah menyusun daftar nama anak jalanan binaan RSBAP kemudian dilakukan simple random sampling untuk mendapatkan responden yang akan dijadikan subjek penelitian. Teknik simple random sampling yakni sampel diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian dari populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel (Singarimbun, 2006). Simple random sampling dilakukan dengan teknik undian.
3.4
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil penggalian informasi yang dilakukan melalui pengisian kuesioner dan wawancara. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan merupakan dokumen-dokumen yang tertulis, seperti data profil kelurahan, company profile rumah singgah, dan bahan pustaka yang mendukung penelitian ini. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner di mana responden dipandu dalam menjawab kuesioner dan peneliti yang mengisikan jawaban ke
31
dalam lembar kuesioner. Data yang diperoleh melalui kuesioner adalah karakteristik responden, tingkat kepuasan anak jalanan dalam pelayanan rumah singgah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan perubahan perilaku anak jalanan setelah mendapat pelayanan rumah singgah. Wawancara dilakukan kepada anak jalanan untuk mengetahui mengetahui kehidapan anak jalanan secara mendalam. Wawancara mendalam juga dilakukan kepada pihak pimpinan dan pembina dan staf RSBAP untuk mengkaji pelayanan sosial yang diberikan RSBAP kepada anak jalanan.
3.5
Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner terlebih dahulu
diperiksa kelengkapannya, kemudian dilanjutkan dengan pengkodean dan pemberian skor pada setiap variabel. Setelah itu, skor dijumlahkan dan dikategorikan menggunakan teknik scoring secara normatif yang dikategorikan berdasarkan interval kelas:
Keterangan: N
= batas selang
Max
= nilai maksimum yang diperoleh dari jumlah skor
Min
= nilai minimum yang diperoleh dari jumlah skor
∑k
= jumlah kategori
Setelah itu, data kuantitatif dihitung persentasenya dan disajikan dalam bentuk pie chart dan tabulasi silang. Tabulasi silang digunakan untuk menelaah kecenderungan hubungan yang terjadi antar variabel. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam disajikan secara deskriptif dengan mengutip hasil pembicaraan yang telah dilakukan. Data kualitatif yang diperoleh diintegrasikan dengan hasil kuesioner. Data dari hasil kuesioner diolah menggunakan program Statistikal Program for Sosial Sciences (SPSS version 16.0 for Windows), kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi. Data yang
32
diperoleh bersifat nominal dan ordinal, sehingga untuk menganalisis hubungan yang terjadi antara data tersebut dilakukan uji korelasi Chi-square, Rankspearman dan Mann-whitney. Uji korelasi Chi-Square digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel nominal dengan variabel ordinal, yaitu untuk menguji hubungan antara faktor internal anak jalanan (jenis pekerjaan, alasan menjadi anak jalanan, dan tipe anak jalanan) dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Sedangkan pengujian Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antar dua variabel yang berskala ordinal dan tidak menentukan prasyarat data terdistribusi normal, yaitu untuk mengetahui hubungan antar faktor internal (usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman di rumah singgah) dan faktor eksternal (tingkat kekerasan dan tingkat interaksi) dengan penilaian anak jalanan serta antara penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dengan perubahan perilaku mereka. Uji Mann-whitney digunakan untuk menguji apakah apakah dua mean populasi sama/berbeda dengan skala pengukuran ordinal (Buckingham et.al., 2008). Uji Mann-whitney digunakan untuk mengetahuan perubahan perilaku anak jalanan ketika sebelum dan sesudah menjadi anak binaan rumah singgah.
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1
Gambaran Umum Lokasi Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi berada di Jalan Bacang No. 46,
Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemilihan tempat ini didasarkan oleh dua pertimbangan yakni Pasar Minggu merupakan kantung anak jalanan yang merupakan lokasi pengedaran narkoba terbesar setelah Tanah Abang. Alasan kedua yaitu lokasi rumah singgah sangat strategis sehingga mudah dijangkau oleh anak jalanan. Pemilihan lokasi ini diharapkan dapat merangkul banyak anak jalanan. 1 Kelurahan Jati Padang adalah salah satu bagian wilayah Kecamatan Pasar Minggu yang mempunyai luas 249,77 Ha. Kelurahan ini terbagi atas 10 Rukum Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT) dengan batas wilayah sebagai berikut: Utara : Jalan Pejaten Raya, berbatasan dengan Kelurahan Pejaten Barat Timur : Jalan Salihara dan Jalan Holtikultura, berbatasan dengan Kelurahan Pasar Minggu Selatan : Jalan Ring Rood TB Simatupang, berbatasan dengan Kelurahan Kebagusan Barat : Jalan Margasatwa dan Jalan Buncit Raya, berbatasan dengan Kelurahan Ragunan Terdapat banyak tempat umum di Jati Padang dan daerah sekitarnya yang menjadi tempat perkumpulan anak jalanan, seperti: perempatan jalan dan pasar. Persimpangan jalan yang sering terdapat anak jalanan adalah pertigaan jalan antara Jalan Raya Ragunan dengan Jalan Warung Jati Barat. Perempatan jalan antara Jalan Warung Jati Barat, Jalan Pejaten Barat dan Jalan Pejaten Raya yang biasa disebut “Repul” merupakan tempat mengamen dan nongkrong anak jalanan. Tidak jauh dari Repul terdapat sebuah jembatan di mana di kolong jembatan tersebut dimanfaatkan oleh banyak anak jalanan untuk tempat tinggal. Tempat umum lain di sekitar daerah Jati Padang yang menjadi kantung jalanan adalah 1
Hasil wawancara mendalam dengan Ketua Yayasan Bina Anak Pertiwi
34
Pasar Pasar Minggu. Banyak anak jalanan yang tinggal dan bekerja di pasar tersebut.
4.2
Gambaran Umum Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi
4.2.1. Sejarah Pada tahun 1997 terdapat sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam sebuah kelompok kajian sosial akademis yang bernama Forum Studi Dialektika (FOSTUDIA). Forum tersebut beranggotakan mahasiswa-mahasiswa lintas perguruan tinggi yang memfokuskan pada permasalahan anak jalanan/ terlantar. Saat itu, jumlah anak jalanan semakin meningkat disebabkan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Aksi sosial yang dilakukan forum tersebut adalah berupa kepedulian terhadap nasib pendidikan anak jalanan dan terlantar yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pendidikan luar sekolah paket A setara SD. Kegiatan pembelajaran tersebut awalnya dilaksanakan di Masjid Pasar Kebayoran Lama, tepatnya bulan Juni 1997, dengan warga belajar umumnya anak jalanan dan anak pemulung yang berjumlah 73 anak. Saat itu proses kegiatan pembelajaran bernaung di bawah sebuah yayasan sosial. Namun kegiatan kurang berjalan mulus karena ada kekurang-sepahaman antara kelompok mahasiswa dengan pihak yayasan sehingga kelompok mahasiswa berhenti untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut. Pada awal bulan Juni 1998 kelompok mahasiswa tersebut melanjutkan aksi sosial tersebut di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kegiatan ini kemudian diberi nama Pusat Pembinaan dan Pemberdayaan Anak Jalanan (P3A). Kegiatan yang dilakukan ialah pendidikan agama dan Kejar Paket A dan B. Kemudian kelompok mahasiswa tersebut mulai melakukan pendekatan dengan berbagai pihak seperti dosen dari beberapa perguruan tinggi, pihak swasta dan pihak pemerintah agar kegiatan yang dilakukan dapat berkesinambungan dan berbadan hukum. Kemudian pada tanggal 3 November 1998 kegiatan pembelajaran diresmikan dengan nama Yayasan Bina Anak Pertiwi. Pada awalnya berdiri, Yayasan Bina Anak Pertiwi melaksanakan kegiatan pembelajaran di Masjid Al-Awwabin Polsek Pasar Minggu. Kegiatan tersebut
35
meliputi kegiatan pembelajaran kejar paket A setara SD dan kejar paket B setara SMP. Selain itu, pengelola melakukan pemetaan mengenai kebutuhan anak jalanan. Dari kegiatan tersebut diketahui kebutuhan anak jalanan akan tempat tinggal cukup tinggi maka dari itu pada tahun 1999 Yayasan Bina Anak Pertiwi menyewa rumah petakan di daerah Lenteng Agung. Tempat tersebut ternyata tidak cukup menampung anak jalanan yang jumlahnya semakin meningkat. Kemudian Yayasan Bina Anak Pertiwi berpindah lokasi ke Bojong Gede. Lokasi yang jauh dari jangkauan anak jalanan menyebabkan menurunnya anak jalanan yang mengikuti kegiatan pembelajaran. Pada tahun 2000 pengelola menyewa tempat berbagai lokasi di Kalibata dan pada tahun 2003 Yayasan Bina Anak Pertiwi membeli sebuah rumah di Jalan Bacang No. 46 Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan untuk tempat administrasi, pembinaan dan tempat singgah anak jalanan.
4.2.2. Visi, Misi dan Tujuan2 Visi Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi (RSBAP) adalah meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan sosial masyarakat fakir miskin, terutama anak yatim, anak jalanan/terlantar serta anak kurang mampu menjadi anak bangsa yang konstruktif dan bermartabat sejalan dengan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan masa depan bangsa yang lebih berkualitas. Misi RSBAP, yaitu (1) menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi, (2) menciptakan peluang kerja baru dengan mengembangkan pelatihan kerja, (3) menggali serta memberdayakan potensi yang dimilikinya agar menjadi manusia yang mandiri dan produktif, dan (4) mengembangkan peran serta masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk turut serta mengentaskan dan memberdayakan fakir miskin, terutama anak yatim, anak jalanan /terlantar, dan anak kurang mampu. Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan rumah singgah adalah: (1) mengembangkan sikap mental positif, (2) membangun akhlak al-karimah, (3) menggali serta memberdayakan potensi yang dimiliki warga belajar dan (4)
2
Company profile Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi (RSBAP)
36
Memberikan gambaran akan kepastian masa depan dengan berbekal berbagai keterampilan kerja dan pengembangan usaha mandiri, serta penempatan kerja. RSBAP dalam menjalankan aktivitasnya selalu bersama-sama masyarakat di mana kegiatan tersebut dilangsungkan. Adanya pengakuan masyarakat serta rasa memiliki yang sangat tinggi terhadap lembaga merupakan modal utama keberhasilan kelangsungan program. Maka dilakukan sinergi antara kepentingan lembaga dengan kebutuhan masyarakat. Pihak lembaga harus mengidentifikasi jenis-jenis kebutuhan, potensi yang dimiliki serta menampung berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, program yang dirancang oleh lembaga adalah merupakan cerminan dari suatu kebutuhan serta harapan segmensegmen masyarakat tertentu yang akan diberdayakannya. Bina Anak Pertiwi, dengan motto “bersama untuk bangsa”, telah melaksanakan berbagai program riil di masyarakat, seperti, bimbingan agama dan etika bermasyarakat, pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja, pengembangan seni-budaya (minat dan bakat), pelayanan kesehatan dan kesejahteraan, pengembangan usaha mandiri serta penempatan kerja.
4.2.3. Struktur Organisasi Struktur organisasi Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi (Lampiran 1) terdiri dari seorang pimpinan yaitu Abdus Saleh Maller dibawah binaan Ahmad Zayadi. Terdapat seorang tenaga administrasi (Ali Muhtar), dua pendamping anak jalanan (Ali Santso dan Suhardi), dua staff (Siti Wahdah Zaini dan Suliyati Sanaf) dan dua Sakti Peksos (RR Zulia K. dan Novita Dewi). Hubungan antara pimpinan dan beberapa pengelola RSBAP dengan anak binaan sangat dekat bahkan seluruh anak binaan menganggap ia sebagai keluarganya sendiri. Menurut mereka, pimpinan RSBAB dianggap sebagai orangtua dan kakaknya. Perhatian yang diberikannya kepada anak binaan membuat anak binaan merasa dianggap sebagai anggota dari sebuah keluarga. Namun terdapat pula beberapa pengelola yang memiliki hubungan yang tidak begitu dekat dengan anak binaan karena dalam melakukan pembinaan kepada anak binaan terdapat jarak di antara mereka.
37
Perekrutan pengelola RSBAP tidak didasarkan kriteria layaknya sebuah perusahaan mempekerjakan karyawan. Modal utama untuk menjadi pengelola adalah keikhlasan untuk memberikan pelayanan kepada anak jalanan. Pengelola RSBAP bertindak sebagai pembina anak jalanan. Sebagian besar pengelola di RSBAP merupakan volunteer. Namun ada pula pengelola atau pembina yang bekerja karena ditugaskan oleh Kementrian Sosial RI yakni Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos). Sakti Peksos bertugas untuk memantau dan membantu pelaksanaan program-program pemberdayaan anak jalanan di rumah singgah. 4.2.4. Anak Binaan3 Anak binaan yang menjadi sasaran RSBAP adalah anak-anak putus sekolah, anak jalanan, serta anak kurang mampu yang rentan menjadi anak jalanan. Anak jalanan yang dibina di RSBAP seluruhnya berjenis kelamin lakilaki. RSBAP menggunakan kriteria usia untuk menentukan anak binaan yang akan mendapatkan pelayanan di RSBAP. Kriteria usia dipakai ketika anak jalanan tersebut terdaftar di RSBAP. Ada dua golongan usia yaitu usia tujuh sampai 18 tahun untuk sasaran yang berkaitan dengan pendidikan formal dan usia tujuh sampai 20 tahun untuk sasaran yang terkait dengan pembinaan secara keseluruhan. Pembinaan secara keseluruhan meliputi kegiatan peningkatan keterampilan hidup dan pembinaan metal spiritual.
17% 44% 39%
15 sampai 18 tahun 19 sampai 22 tahun > 22 tahun
Gambar 2. Jumlah Anak Jalanan yang Dibina Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi Berdasarkan Kelompok Usia
Sasaran yang terkait dengan pendidikan formal yaitu anak jalanan yang berusia antara tujuh sampai 18 tahun yang memungkinkan untuk disekolahkan di
3
Hasil wawancara mendalam dengan pimpinan RSBAP
38
sekolah formal. Anak yang memiliki kemampuan dan keinginan yang tinggi untuk belajar akan dibiayai untuk melanjutkan ke sekolah formal. Pada prakteknya, dalam proses pembinaan terdapat beberapa anak jalanan yang usianya lebih dari 20 tahun karena proses pembinaan tidak bisa diputuskan begitu saja. Anak jalanan yang pendidikan dan keterampilannya lemah dapat tinggal lebih lama di RSBAP. Mereka masih membutuhkan pembinaan di RSBAP, oleh karena itu RSBAP memberikan keterampilah hidup dan diusahakan untuk menyalurkan mereka ke dunia kerja. 4.2.5. Rekruitment Anak Binaan4 Pola rekrutmen yang dilakukan RSBAP pada awalnya adalah dalam bentuk penjangkauan atau
kunjungan lapangan,
pengamatan,
kemudian
rekrutmen. Pola yang digunakan pada tahap penjangkauan ini adalah bermain bersama. Pekerja sosial atau pun pembina lainnya pro-aktif mengamati kecenderungan, minat, serta hobi anak jalanan/terlantar yang kemudian dikemas dalam bentukpermainan serta pertandingan. Misalnya, bermain bola, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan tim untuk menjaga kelangsungan komunikasi dengan anak jalanan/terlantar. Pola bermain ini ternyata sangat efektif dalam menjangkau anak jalanan/terlantar. Karena dengan bermain bersama, komunikasi terjalin lebih hangat, dan anak merasa kehadirannya diakui sehingga tercipta sebuah ruang komunikasi yang lebih terbuka dan akrab. Ketika tahun 2004, RSBAP sudah tidak melakukan penjangkauan secara khusus. Saat ini ada dua pola perekturan anak binaan RSBAP, yaitu: a. Pendaftaran langsung Pendaftaran langsung dapat dilakukan oleh keluarga anak maupun anak tersebut yang nantinya akan dilakukan wawancara lebih mendalam oleh pihak pengelola RSBAP. Anak dan latar belakang keluarganya akan diteliti terlebih dahulu untuk menentukan apakah dapat menerima pelayanan dari RSBAP. Setelah itu pengelola akan memberitahukan bagaimana peraturan yang berlaku jika ia menjadi anak binaan. Kemudian pengelola akan memetakan apa
4
Hasil wawancara mendalam dengan pimpinan RSBAP
39
permasalahan dan kebutuhan anak tersebut untuk kemudian menetapkan layanan apa yang harus ia terima. b. Rekomendasi anak binaan lain Perekrutan dilakukan berdasarkan rekomendasi anak binaan. Anak binaan membawa teman lainnya untuk bergabung dengan RSBAP dengan bermain bersama dan nongkrong bareng. Ketika calon anak binaan berkunjung ke RSBAP baru dilakukan pemetaan kondisi dan permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan sistem pendaftaran langsung, ketika anak jalanan bersedia mengikuti aturan yang berlaku di rumah singgah maka mereka akan terdaftar sebagai anak binaan RSBAP. Setelah pemetaan dilakukan baru merancang pelayanan yang harus diberikan kepada mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Bagi anak jalanan yang sudah tidak aktif mengikuti kegiatan RSBAP maka dilakukan pemantauan melalui anak binaan yang masih aktif dan masih berhubungan dengan mereka. Walaupun sudah tidak aktif mereka tetap terdaftar sebagai anak binaan. Hal ini dilakukan atas pertimbangan jika anak jalanan tersebut tertangkap kamtib atau polisi ia memiliki orang tua asuh untuk mengurusi dan menebusnya. Anak-anak yang bermasalah dengan hukum atau terkena masalah lainnya maka akan didampingi oleh pengelola RSBAP. Seperti kasus AB, anak binaan yang terdaftar tahun 1998 namun sekarang tidak aktif lagi dalam mengikuti kegiatan RSBAP. Ia mengalami kecelakaan dan biaya operasinya ditanggung oleh RSBAP. Walaupun sudah putus hubungan yang cukup lama dengan RSBAP namun tetap diberi pelayanan jika ia membutuhkan. Jika ia masih berhubungan dengan anak yang aktif berarti masih dalam pantauan RSBAP.
4.2.6. Model Layanan Model layanan khusus anak jalanan dapat dilaksanakan dengan berbagai model, antara lain: 1. Pendidikan Layanan Khusus, merupakan layanan pendidikan bagi anak binaan dengan menerapkan kurikulum Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA).
40
2. Treatment centre, yaitu layanan pendidikan yang lebih difokuskan pada perubahan sikap mental, perilaku, dan upaya pemulihan lainnya agar anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan dunianya, serta dapat menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun, sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Republik Indonesia. 3. Boarding house, adalah tempat tinggal sementara untuk melakukan proses pembelajaran kepada anak jalanan. Boarding house bersifat sementara dan diharapkan dalam jangka waktu tertentu anak akan mengalami proses adaptasi dengan lingkungan sosial yang dibangun dengan memperkenalkan kembali atmosfir keluarga, bahwa dalam hidup ini harus ada hierarki, aturan main, dan lainnya. 4. Pendidikan dan pelatihan-pelatihan keterampilan bermata pencaharian,seperti; Pelatihan Komputer Sandal Sepatu dan Hotel, Montir Motor, dan lain-lain. 4.2.7. Program Kegiatan5 Program yang diselenggaraka oleh RSBAP ditujukan untuk meningkatkan keterampilan dan taraf hidup anak jalanan. Program-program yang dilaksanakan RSBAP pada tahun 2010 secara rinci terlampir pada Lampiran 5, namun secara umum program-program tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bimbingan Agama dan Etika Bermasyarakat Program ini dalam rangka membangun sikap mental positif, dan menumbuhkan kembali semangat keberagamaan warga belajar. Kegiatan yang dilakukan meliputi bimbingan ibadah praktis (wudhu, shalat, puasa, dan lainlain.), mengaji Al-Qur‟an, pengajian tentang budi pekerti (akhlak), fiqih (pengajian tentang tata cara bersuci, najis, halal haram), penyuluhan tata cara hidup bermasyarakat, dan pelatihan khusus Ramadhan (PesantrenRamadhan). 2. Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan a) Pendidikan Kegiatan ini diadakan dalam rangka mengembalikan anak didik ke dalam suasana belajar kembali. Bentuk kegiatan meliputi pendidikan persekolahan yang merupakan layanan pendidikan bagi anak daerah terpencil, penyelenggaraannya 5
Company profile RSBAP
41
berupa: SD Kecil, SMP/MTs Kecil atau Terbuka, SMA/MA Kecil atau Terbuka dan Pendidikan Jarak Jauh. Menyekolahkan anak kembali ke sekolah umum. Ini ditujukan bagi anak yang sudah mengalami perubahan sikap mental, serta memiliki motivasi dan minat belajar yang besar, serta masih memungkinkan diterima di sekolah umum. b) Pelatihan Keterampilan Kerja dan Kursus Jenis keterampilan yang diberikan adalah keterampilan kerja praktis dan tidak memerlukan legalitas formal akademis serta mudah dilakukan. Dan jenis keterampilan tersebut berorientasi kerja atau terbukanya lapangan kerja baru. Bentuk kegiatan pelatihan meliputi: magang kerja (di perkebunan Sukabumi), pelatihan manajemen usaha, pelatihan manajemen produksi, pelatihan manajemen quality control, pelatihan manajemen pemasaran dan distribusi. Kursus-kursus yang telah dilaksanakan meliputi: kursus stir mobil (dapat SIM), kursus komputer, kursus montir motor, kursus menjahit, kursus tata boga, kursus sablon, kursus produksi sandal dan sepatu. 3. Pengembangan Minat dan Bakat (Seni Budaya) Kegiatan ini difokuskan untuk menggali bakat seni yang ada dalam diri anak didik. Bentuk kegitan meliputi: grup vokal, sanggar tari, teater dan musikalisasi puisi. 4. Kesejahteraan dan Pelayanan Kesehatan. Program ini ditekankan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak binaan. Bentuk kegitan meliputi: penyuluhan kesehatan, pemberian makan bergizi, pemeriksaan dan pengobatan kesehatan secara berkala dan olahraga. 5. Pengembangan Usaha Mandiri Program ini dimaksudkan untuk membuka lapangan kerja baru. Bentuk kegitan meliputi: budidaya belimbing manis, bengkel (service) motor, outlet sandal dan sepatu, warung kelontong, dan koperasi. 6. Pola Pemberdayaan Ekonomi Produktif a) Manajemen Pelaksanaan program pengembangan usaha produktif dikelola dengan pola central management (manajemen terpusat). Modal barang ataupun tunai
42
dijadikan modal kelompok usaha pemandirian anak binaan yang dikelola secara bergulir. Anak binaan dikelompokkan menjadi lima orang. Dari kelima anak tersebut ditunjuk seorang koordinator yang merupakan hasil kesepakatan bersama. Lalu dibuat sebuah komitmen bersama bahwa ia akan menjalankan usaha tersebut dengan sungguh-sungguh, jujur serta tidak akan berkhianat satu sama lain. Jika ada salah seorang yang berkhianat atau berlaku curang, maka dengan sendirinya ia akan dikeluarkan dari kelompok usaha produktif dan keanggotaannya dinyatakan gugur. Untuk itu haknya terhadap usaha tersebut dialihkan kepada anak binaan yang lain. Dalam menjalankan usahanya, kelompok usaha tersebut dibantu oleh suatu tim manajemen dari pengurus yayasan. Koordinator kelompok bertugas mencatat segala jenis pengeluaran serta pendapatan setiap hari yang kemudian disetorkan kepada tim manajemen. Tim manajemen mengatur sirkulasi keuangan dalam kelompok, sedangkan kelompok usaha hanya memegang dalam bentuk barang yang setelah terjual hasilnya diserahkan kepada tim, yang kemudian dibelanjakan kembali bersama kordinator kelompok. Perhitungan rugi/laba dilakukan setiap akhir pekan secara bersama-sama. Pendekatan ini digunakan sebelum kelompok usaha belum secara mandiri mampu mengelola usahanya. Namun apabila warga belajar dipandang mampu mengelolausahanya secara mandiri, maka secara bertahap akan dilakukan pendelegasian yang pada akhirnya dikelola secara mandiri. b) Bimbingan Motivasi dan Pendampingan Usaha Bimbingan motivasi diberikan dalam bentuk dukungan moral, sharing, bertukar pengalaman hidup seorang wiraswastawan. Sedangkan pendampingan usaha diberikan dalam bentuk bimbingan manajemen dan pengembangan usaha seperti langkah-langkah dalam pencatatan, mengatur
pengeluaran,
serta
bagaimana agar usaha tersebut bisa lebih berkembang. Kiat-kiat semacam itu diberikan juga dalam bentuk konsultasi serta bimbingan teknis. Ada juga dikemas dalam bentuk pertemuan sekaligus pengajian bulanan. Pada kesempatan tersebut tim manajemen secara khusus mendatangkan orang yang ahli di bidang pengembangan usaha.
43
4.2.8. Fasilitas Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi yang berlokasi di Jalan Bacang No. 46, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu sudah berdiri selama 12 tahun. RSBAP memiliki bangunan yang berdiri tiga lantai. Lantai satu terdiri atas satu ruang administrasi, satu ruang perpustakaan, satu kamar tidur pengurus, satu kamar mandi khusus pengurus dan tamu, dua kamar mandi khusus anak binaan, dapur dan gudang. Lantai dua terdiri atas satu kamar tidur pengurus, lima kamar tidur anak binaan, ruang keluarga, dan satu aula belajar. Lantai tiga digunakan untuk menjemur pakaian. Aula belajar yang terdapat di lantai dua berukuran cukup besar yakni berukuran 8x5 meter. Ruangan ini beralaskan karpet dengan satu kipas angin besar yang menempel di langit-langitnya. Terdapat dua whiteboard, 21 meja kecil dan tempat wudhu. Aula belajar ini memiliki banyak fungsi, selain digunakan untuk proses belajar mengajar, ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat ibadah. RSBAP sering mengadakan penyuluhan kepada anak jalanan yang bekerja sama dengan pihak lainnya. Penyuluhan ini pun dilakukan di aula belajar. Fasilitas yang terdapat di RSBAP yaitu perlengkapan administrasi, sarana belajar, sarana hiburan dan perlengkapan rumah tangga. a. Perlengkapan administrasi RSBAP memiliki satu ruangan administrasi. Anak jalanan tidak dapat masuk ke ruang administrasi tanpa ada kehadiran pengurus di dalam ruangan tersebut. RSBAP memiliki satu komputer, satu lemari buku, dua loker, satu printer, dua meja komputer, dua meja kerja dan tujuh kursi. Lemari buku tidak hanya buku tetapi juga berbagai penghargaan berupa piala pun dipajang di lemari tersebut. b. Sarana belajar Sarana belajar yang tersedia di RSBAP meliputi 21 meja kecil, dua whiteboard, satu komputer, satu globe, seperangkat alat musik dan beragam buku pengetahuan. Sarana belajar ini masih dalam konsisi baik sehingga dapat dimanfaatkan oleh setiap anak binaan. Anak jalanan dapat mengakses komputer dengan pengawasan pengurus RSBAP. Biasanya anak binaan menggunakan
44
komputer untuk menggunakan aplikasi facebook dan mencari tahu mengenai hal yang diminati. c. Sarana hiburan Sarana hiburan yang tersedia di RSBAP yaitu satu televisi dan alat musik. Selain sebagai sarana belajar, alat musik merupakan sumber hiburan anak binaan. Mereka lebih sering menggunakan alat musik untuk menghibur diri dibandingkan menonton televisi. d. Perlengkapan rumah tangga RSBAP menyediakan berbagai perlengkapan rumah tangga yang dibutuhkan oleh anak binaan dan pengurus. Perlengkapan yang menunjang kebutuhan pangan yang disediakan berupa satu kompor, perlengkapan masak dan seperangkat alat makan. Perlengkapan mandi setiap anak binaan disediakan pula oleh pihak RSBAP. Ruang tidur anak binaan ada yang dilengkapi kasur namun ada pula anak binaan yang tidur dengan beralaskan karpet. Pada awalnya setiap kamar anak binaan dilengkapi dengan springbed, namun kasur tersebut sering dijadikan tempat bermain anak binaan yang menyebabkan rusaknya kasur tersebut. Setiap ruang tidur terdapat satu lemari. Selain itu, terdapat tiga lemari dengan kondisi tanpa pintu dan satu lemati dengan kondisi baik yang diletakkan di ruang keluarga lantai dua. Setiap anak binaan dapat menggunakan lemari tersebut untuk menyimpan barang mereka.
BAB V PROFIL RESPONDEN
Profil responden dapat dilihat dari usia, pengalaman menjadi anak jalanan, status pendidikan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman menjadi anak jalanan, perilaku menyimpang, tipe anak jalanan dan tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan. Jumlah anak jalanan yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebanyak 30 orang dengan jenis kelamin laki-laki. 5.1
Usia Anak jalanan yang dijadikan responden dibagi menjadi dua kategori usia
yaitu 15 sampai 18 tahun dan 19 sampai 22 tahun. Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa jumlah responden pada dua kategori hampir sama. Responden dengan usia 15 sampai 18 tahun sebanyak 53 persen dan responden yang berusia 19 tahun sampai 22 tahun sebanyak 47 persen.
47%
53%
15 sampai 18 tahun 19 sampai 22 tahun
Gambar 3. Distribusi Responden Berdasarkan Usia
5.2
Tingkat Pendidikan Hampir seluruh responden memiliki status pendidikan tidak bersekolah.
Sebagian dari besar dari mereka berhenti sekolah disebabkan tidak ada biaya. Setelah putus sekolah, mereka mulai berkerja di jalanan untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. DDS (15 tahun) merupakan responden yang putus sekolah disebabkan ketidakmampuan keluarga untuk membiayai sekolah. Ia putus sekolah ketika kelas dua SD kemudian ia membantu orang tuanya mencari nafkah dengan
46
berjualan kantung plastik di pasar dan menjadi kuli panggul di pasar. Berbeda halnya dengan SYN (18 tahun). Ia merupakan anak jalanan yang berhenti sekolah karena dikeluarkan oleh sekolah. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan namun kurang perhatian dari orang tuanya. Ia jarang masuk sekolah dan tingkah lakunya buruk terhadap guru. Setelah putus sekolah kemudian ia kabur dari rumah dan mulai bekerja di jalanan sebagai pengamen. Dua kasus di atas memperlihatkan bahwa tidak berlanjutnya pendidikan anak jalanan tidak hanya disebabkan oleh alasan ekonomi, tetapi juga ketidaktertarikan terhadap pendidikan. Tabel 1. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Status Pendidikan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Status Pendidikan Usia
Tidak bersekolah n
%
Total
Bersekolah n
%
n
%
15 sampai 18 tahun
14
46,7
2
6,7
16
53,3
19 sampai 22 tahun
13
43,3
1
3,3
14
46,7
Total
27
90
3
10
30
100
Sebanyak sepuluh persen responden yang sedang bersekolah di sekolah formal. Mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk bersekolah, oleh karena itu biaya sekolah mereka ditanggung oleh RSBAP. Pada kenyataannya, banyak anak jalanan yang dibiayai sekolahnya oleh RSBAP tapi mereka berhenti sekolah karena malas. Kurangnya pengawasan dari orang tua dan keterbatasan pembina rumah singgah dalam mengawasi kegiatan bersekolah anak binaan merupakan salah satu penyebabnya. Seluruh anak jalanan pernah bersekolah di sekolah formal. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar dari mereka (60 persen) tingkat pendidikannya rendah. Artinya, mereka bersekolah hingga tingkat SD atau hingga tingkat SMP namun tidak tamat. Proporsi anak jalanan dengan usia 15 sampai 18 tahun dan 19 sampai 22 tahun pada tingkat pendidikan rendah hampir sama. JGM (18 tahun) merupakan anak jalanan yang putus sekolah ketika kelas dua SD. Kemudian ia kabur dari rumah dan bekerja di jalanan. Walaupun pernah
47
bersekolah tetapi ia buta huruf. RSBAP sudah berusaha untuk memberikan pendidikan kepadanya namun ia sering kabur jika ada kegiatan pembelajaran. Berbeda dengan ASA (18 tahun), ia juga putus sekolah pada kelas dua SD namun memiliki semangat belajar yang tinggi. Karena terhambat dengan usianya yang sudah menginjak usia 15 tahun, ia menamatkan SD dengan pengikuti ujian Paket A. Saat ini ia berusia 18 tahun dan akan mengikuti ujian Paket B pada tahun 2011. “Saya pengen banget sekolah tinggi, kayak kakak, bisa kuliah di kampus. Saya tadinya mau di sekolahin tapi saya malu, saya kan udah tua masa masih sekolah di SD, jadinya saya ikut paket A. Tahun depan saya udah daftar untuk ikut paket B. Kalo saya lulus, saya minta ke pembina untuk nyekolahin saya ke SMA. Semenjak saya masuk rumah singgah ini saya sadar kak kalo pendidikan itu penting. Kalo pengen kerja yang enak kayak di kantoran, pendidikannya harus tinggi” ASA (18 tahun). Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Tingkat Pendidikan Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Tingkat Pendidikan Usia
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
n
%
n
%
n
%
N
%
15 sampai 18 tahun
9
30
7
23,3
0
0
16
53,3
19 sampai 22 tahun
9
30
2
6,7
3
10
14
46,7
Total
18
60
9
30
3
10
30
100
Anak jalanan dengan tingkat pendidikan sedang sebanyak 30 persen. Tingkat pendidikan yang dikategorikan sedang ialah jika anak jalanan lulus SMP atau pada tingkat SMA namun tidak lulus. Jumlah anak jalanan yang berusia 15 sampai 18 tahun dengan tingkat pendidikan sedang lebih banyak dibandingkan dengananak jalanan yang berusia 19 sampai 22 tahun. Anak jalanan yang tingkat pendidikan sedang ini sebagian besar berhenti saat di bangku SMA. Mereka dikeluarkan oleh sekolah karena sering tidak masuk sekolah dan tidak mengikuti ujian. Ada pula anak jalanan yang sedang bersekolah, contohnya ANT (17 tahun). Ia sekarang sedang bersekolah di SMK Yapimda. Ketika SD ia putus sekolah namun ia mendapatkan beasiswa dari RSBAP sehingga masih bersekolah hingga saat ini. Walaupun sudah menjadi seorang pelajar, ANT masih mengamen di bus
48
metro mini ketika hari libur. Tidak jarang pula ia membolos untuk mengamen karena ajakan temannya. Anak jalanan dengan tingkat pendidikan tinggi sebesar sepuluh persen. Artinya mereka sudah lulus SMA dan sederajat. ALS (22 tahun) merupakan responden yang sedang melaksanakan pendidikan di bangku kuliah. Pada tingkat dua SD ia membiayai sekolahnya sendiri dengan berjualan kantung plastik dan es mambo di pasar karena orang tuanya sudah tidak sanggup membiayainya. Selain untuk membiayai sekolah, sebagian uang hasil berjualan kantung harus disetorkan kepada ayahnya. Namun ia putus sekolah pada tingkat empat SD karena ia sudah tidah sanggup lagi membiayai sekolah. Selain itu, ia mendapat tekanan psikis oleh teman sekolah. Ia sering diejek karena berjualan kantung plastik di pasar. Kemudian ia kabur dari rumah karena tidak sanggup lagi memberi setoran uang kepada orang tuanya dan memilih untuk hidup di jalanan. Kemudian ia mendaftarkan diri menjadi anak binaan RSBAP. Melihat motivasi ia yang tinggi untuk belajar maka RSBAP bersedia membiayai sekolah hingga perguruan tinggi.
5.3
Jenis Pekerjaan Departemen Sosial yang dikutip oleh Yudi (2006) menjelaskan bahwa
jenis pekerjaan anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: usaha dagang, usaha di bidang jasa, pengamen dan kerja serabutan. Jumlah responden yang berprofesi sebagai pengamen sebanyak 50 persen. Biasanya mereka mengamen di bus metro mini yang biasa mereka sebut dengan panggung jalanan. Mengamen merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi mereka karena mereka bisa menyalurkan hobi dan bakat mereka di bidang seni, seperti yang diungkapkan oleh HRJ (18 tahun) sebagai berikut. “Setiap hari saya ngamen kak, hobi saya kan emang nyanyi kak. Pagi-pagi biasanya saya udah pergi ke jalan buat ngamen terus baru pulang malem deh kak. Klo siang sih emang sedikit yang ngasih, tapi klo pas jam pulang kantor lumayan banyak yang ngasih uang.” Selain itu, mengamen hanya memerlukan modal suara dan lebih baik apabila didukung dengan alat musik seperti kecrekan atau gitar. Pekerjaan ini
49
tidak memerlukan tenaga dan pikiran yang banyak. Maka dari itu sebagian besar anak jalanan berprofesi sebagai pengamen. Anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen biasanya berkumpul di perempatan jalan atau terminal. Mereka lebih aktif mengamen saat hari Senin hingga Jumat karena banyak orang yang menggunakan angkutan umum sehingga peluang mendapatkan uang lebih besar. Namun ketika awal bulan mereka mengamen setiap hari karena banyak pegawai negeri atau swasta yang mendapat gaji dan biasanya mereka mendapat penghasilan yang lebih banyak. Selain sebagai pengamen, ada pula anak jalanan yang bekerja di bidang jasa yaitu sebanyak 23,3 persen. Mereka bekerja sebagai kuli angkut di pasar, kuli bangunan, kenek, atau supir bus metro mini. Pekerjaan ini tidak memerlukan modal uang namun memerlukan tenaga yang tinggi. Sedangkan anak jalanan yang berdagang hanya sebesar 6,7 persen. Mereka berjualan kantung plastik di pasar. Usaha dagang ini memerlukan modal yang kecil namun diperlukan usaha yang lebih ketika menawarkan kantung plastik kepada pembeli di pasar. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Pekerjaan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Jenis Pekerjaan Usia
Berdagang n
%
Jasa n
Pengamen
%
n
%
Total
Serabutan n
%
N
%
15 sampai 18 tahun
0
0
4
13,3
10
33,3
2
6,7
16
53,3
19 sampai 22 tahun
2
6,7
3
10,0
5
16,7
4
13,3
14
46,7
Total
2
6,7
7
23,3
15
50,0
6
20,0
30
100
Jumlah anak jalanan yang bekerja serabutan sebesar 20 persen. Mereka bekerja apa saja yang dapat menghasilkan uang. Sebagian besar anak jalanan yang bekerja serabutan ini pernah mencoba bekerja sebagai pengamen. Mereka bekerja sesuai dengan keinginan mereka, tidak jarang mereka mencoba pekerjaan temanteman mereka. Anak jalanan yang bekerja serabutan menganggap bahwa bekerja di jalanan tidak dapat memberikan kepastian dalam mendapatkan uang, sehingga mereka melakukan pekerjaan apa saja sesuai dengan peluang yang ada.
50
“Zaman sekarang yang penting uang kak, ga ada uang ga bisa hidup. Ko diajak temen ngamen ya saya ikutan. Kadang-kadang saya juga jadi pak ogah. Kerja apa ajalah kak yang penting dapet uang” (JFR, 22 tahun). KTM (18 tahun) merupakan anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen dan kenek. Awalnya ia bekerja sebagai pengamen di bus metro mini. Kemudian ia ditawari menjadi kenek oleh supir metro mini lalu ia bekerja sebagai kenek. Jika sedang tidak ada tawaran menjadi kenek biasanya ia mengamen kembali untuk menambah uang jajan. Ada pula anak jalanan yang bekerja di pasar. ABQ (22 tahun) merupakan anak jalanan yang berasal dari Sukabumi yang bekerja serabutan. Kedua orang tuanya sudah bercerai dan saat ini sudah memiliki ayah tiri. Ia bekerja di Jakarta untuk memberikan uang tambahan untuk orangtuanya yang bekerja sebagai pemecah batu. Ia memiliki keinginan yang kuat untuk bekerja sehingga ia bekerja apa saja yang penting menghasilkan uang. Ia bekerja mulai dari berjualan kantung hingga menjadi kuli angkut di pasar. Melihat keinginannya untuk bekerja maka ia disalurkan oleh pimpinan RSBAP untuk bekerja sebagai penjaga TK di daerah Citayam. Beberapa bulan kemudian, ia berhenti bekerja sebagai penjaga TK dan kembali bekerja di pasar. 5.4
Alasan Utama Menjadi Anak Jalanan Latar belakang anak jalanan turun ke jalan dapat disebabkan tiga hal, yaitu
kondisi ekonomi keluarga yang rendah, disharmoni keluarga, dan keinginan mencari pengalaman bekerja. Sebagian responden turun ke jalanan disebabkan kondisi ekonomi keluarga yang rendah yaitu sebesar 57 persen. Keluarga tidak mampu menyekolahkan mereka hingga tingkat lanjut. Sebagian besar dari mereka putus sekolah ketika duduk di bangku SD. Ketika anak tidak bersekolah, mereka mencari aktivitas untuk mengisi waktu luang, yaitu dengan bermain di jalan sambil bekerja. FPA (18 tahun) merupakan anak yang bekerja di jalan atas inisiatifnya sendiri, tanpa adanya paksaan orang tua. Ia putus sekolah saat kelas 3 SD. Melihat kondisi ekonomi keluarga yang sulit ia berinisiatif untuk bekerja di pasar. Ia bekerja keras untuk membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
51
menyekolahkan adik-adiknya. Menjadi anak jalanan memang bukan paksaan dari orang tuanya akan tetapi bukan sebuah pilihan yang menyenangkan bagi dirinya, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut. “Saya turun ke jalan ga dipaksa sama orang tua kak, saya pengen aja bantu-bantu orang tua. Waktu itu saya jualan kantong di pasar dan jadi kuli angkut. Ga apa-apa deh saya berhenti sekolah. saya kerja juga buat nyekolah tiga ade saya kak. Kan kasian kalo mereka ga perna ngerasain sekolah”. Ada pula anak jalanan yang memang dipaksa bekerja oleh orang tuanya untuk membantu perekonomian keluarga. Jika tidak bekerja dan menyetorkan uang hasil bekerja, tidak jarang dari mereka dipukul oleh orang tuanya. ALS (22 tahun) merupakan anak jalanan asal Jawa Tengah, yang ikut orang tuanya melakukan migrasi ke Jakarta. Ia adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Ayahnya menganggur, dan ibunya pedagang sayur di pasar. Sekitar usia tujuh tahun ia terjun ke jalanan untuk jualan es mambo ke pasar dan kampung sekitar rumahnya. Hasil penjualannya ia gunakan untuk biaya sekolah. Selain membiayai sekolahnya sendiri, ia diwajibkan untuk setor ke orang tuanya. Mulanya ia hanya wajib menyetorkan uang sebesar Rp. 2.000, lama-kelamaan setorannya menjadi semakin naik, menjadi Rp. 3,000, Rp. 3.500, dan akhirnya Rp. 4.000. Sejak itulah ia merasa tidak sanggup lagi membiayai sekolahnya, dan memutuskan untuk berhenti sekolah. Ia hanya berkonsentrasi pada uang yang harus disetorkan kepada orang tuanya. Apabila tidak menyetorkan uang, ia tidak akan diberi makan, bahkan tidak jarang akan dipukul oleh ayahnya. Kemudian ia kabur dari rumah dan memilih tidur di jalanan karena tidak tahan dengan tekanan yang diberikan orangtuanya.
10% 33%
57%
Ekonomi keluarga rendah Disharmoni keluarga Keinginan sendiri
Gambar 4. Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Utama Menjadi Anak Jalanan
52
Selain karena faktor ekonomi yang rendah, sebanyak 33 persen anak turun ke jalanan disebabkan disharmoni keluarga. Hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua membuat anak tidak kerasan untuk tinggal di rumah. Akibatnya anak lebih sering berada di luar jalanan daripada di dalam rumah. Mereka lebih senang bermain dan nongkrong dengan teman-temannya. Seperti halnya yang dialami oleh RZD (15 tahun). Hubungan yang tidak harmonis dengan ayahnya menyebabkan ia jarang tinggal di rumah. Ia biasanya nongkrong bersama temantemannya. Karena ia jarang pulang ke rumah maka ia tidak selalu mendapatkan uang saku. Maka ia mulai mengamen di metro mini bersama teman-temannya. Ada pula responden yang kabur dari rumah karena sering mendapatkan kekerasa dari keluarganya. SYN (18 tahun) merupakan anak jalanan yang berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ayah dan ibunya bercerai kemudian ia mengikuti ibunya tinggal di Tebet. Kemudian ibunya bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sulawesi. Ia dan adik perempuannya dititipkan kepada tantenya dan tinggal dirumahnya di Tebet. SYN termasuk anak yang cukup nakal oleh karena itu hampir setiap hari ia dimarahi oleh tantenya. Suatu saat, ketika ia membuat kesalahan ia memanjat pohon untuk menghindari tantenya. Kemudian tantenya menarik ia hingga jatuh dari pohon hingga bibirnya luka (sobek) sampai harus di jahit. Kemudian SYN memutuskan untuk kabur dari rumah karena tidak suka dengan perlakuan tantenya tersebut. Kemudian ia mengamen di metro mini untuk mendapatkan uang saku walaupun ia dikirimi uang oleh ibunya yang berada di Sulawesi. Disamping alasan ekonomi dan konflik dalam keluarga, tidak jarang anak melakukan aktivitas di jalan dengan alasan mencari pengalaman untuk memperoleh penghasilan sendiri. Responden yang menjadi anak jalanan karena keinginannya sendiri untuk mendapat pengasilan sendiri sebanyak sepuluh persen. mereka mengaku terdapat kepuasan tersendiri ketika mereka mendapatkan uang hasil kerja keras sendiri.
53
5.5
Tipe Anak Jalanan Depdiknas (2002) membagi tipe anak jalanan berdasarkan hubungannya
dengan keluarga dan dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu children of the street, children on the street dan vulnerable to be street children. Hasil penelitian menunjukkan hanya terdapat dua tipe anak jalanan, yaitu children of the street dan children on the street. Sebagian besar anak jalanan merupakan children on the street yaitu sebesar 83,3 persen. Children on the street adalah anak yang bekerja dan hidup di jalanan dan berhubungan tidak teratur dengan keluarganya. Biasanya anak jalanan masih berhubungan dengan keluarganya melalui jaringan komunikasi dengan menelepon atau mengirim pesan elektronik kepada keluarganya. Hal ini dilakukan oleh anak jalanan yang keluarganya jauh dari Jakarta. Sedangkan anak jalanan yang memiliki keluarga di sekitar Jakarta terkadang mengunjungi secara tidak teratur sebulan sekali hingga seminggu sekali. SHR (16 tahun) merupakan anak jalanan yang memiliki sanak saudara di Jakarta. Ia hanya tinggal bersama neneknya dan tidak tahu akan keberadaan orang tuanya. Ia bekerja di jalanan untuk membantu neneknya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sejak kecil. Semenjak menjadi anak jalanan ia biasanya tidur di kolong jembatan atau di pasar. Melihat kondisinya tersebut kakak angkat jalanan membawa SHR ke RSBAP untuk mendapat pembinaan. Setelah itu ia tinggal di RSBAP dan tidak lagi tinggal di jalanan. Walaupun sudah tidak tinggal bersama neneknya, ia masih berhubungan dengan neneknya. Sebulan sekali biasanya ia pulang ke rumah neneknya yang berada di Grogol. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Tipe Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Tipe Anak Jalanan Usia
Children on the street n
%
Total
Children of the street n
%
n
%
15 sampai 18 tahun
14
46,7
2
6,7
16
53,3
19 sampai 22 tahun
11
36,7
3
10,0
14
46,7
Total
25
83,3
5
16,7
30
100
54
Anak jalanan yang termasuk ke dalam tipe children of the street sebesar 16,7 persen yang artinya anak jalanan ini bekerja dan tinggal di jalanan dan sudah putus hubungan dengan keluarga. Anak jalanan ini berasal dari daerah di Jakarta seperti Sukabumi, Riau dan Padang. Ada pula anak jalanan yang kedua orang tuanya meninggal dan berpisah dengan saudara kandungnya. Hal inilah yang mendorong mereka untuk hidup di jalanan tanpa memiliki ketergantungan dengan sanak saudara. ANT (17 tahun) merupakan anak jalanan yang berasal dari Riau. Orang tuanya mempekerjakan ia kepada pedangan yang merupakan tetangganya. Ketika bekerja ia kabur dari toko dan bermigrasi ke Jakarta. Ketika di Serang ia bekerja sebagai pengamen agar mendapat uang agar bisa membayar ongkos ke Jakarta. Melihat anak yang masih kecil namun sudah hidup di jalan, maka ada keluarga yang mengadopsinya. Merasa bukan keluarganya maka ia kabur dan pergi ke Jakarta. Saat di perjalanan, ia jatuh dari kereta dan mengalami amnesia selama seminggu. Setelah sampai di Jakarta ia bekerja apa saja yang dapat menghasilkan uang untuk dirinya seperti mengemis, menyapu kereta, menjadi pelayan warung nasi, dan mengamen. Selama menjadi anak jalanan ia sudah tidak pernah lagi menghubungi keluarganya di Riau. Ia hidup mandiri di Jakarta hingga akhirnya ia menemukan RSBAP.
5.6
Pengalaman Menjadi Anak Jalanan Responden menjadi anak jalanan bukan terbilang baru, sebagian besar dari
mereka sudah lama menjadi anak jalanan. Hasil penelitian menunjukkan 60 persen responden memiliki pengalaman lebih dari enam tahun dengan rincian terdapat 36,7 persen responden yang memiliki pengalaman tujuh hingga sepuluh tahun dan sebanyak 23,3 persen responden yang telah menjadi anak jalanan lebih dari sepuluh tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa mereka telah menjadi anak jalanan semenjak usia SD. Beberapa dari mereka turun ke jalan untuk mencari nafkah sejak kecil yaitu ketika mereka berhenti sekolah di bangku SD. Menjadi anak jalanan bukanlah hal yang mereka inginkan namun karena desakan ekonomi yang dibekali dengan sedikit keterampilan memaksa mereka bekerja di jalanan.
55
“Saya kerja di jalan kira-kira dari umur 10 tahun kak, semenjak kabur dari rumah. Saya ga pernah ke rumah lagi, soalnya jauh, di Riau. Saya juga ga punya sodara di Jakarta, jadi selama ini saya makan dari hasil kerja di jalan kak.” (ANT, 17 tahun).
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Pengalaman Menjadi Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010.
Usia 15 sampai 18 tahun 19 sampai 22 tahun Total
Pengalaman Menjadi Anak Jalanan 3 sampai 6 7 sampai < 3 tahun > 10 tahun tahun 10 tahun n % n % n % n % 2 6,7 6 20,0 7 23,3 1 3,3 3 10,0 1 3,3 4 13,3 6 20,0 5 16,7 7 23,3 11 36,7 7 23,3
Total n 16 14 30
% 53,3 46,7 100
Responden yang berpengalaman menjadi anak jalanan selama tiga sampai enam tahun sebanyak 23,3 persen. Sebanyak 16,7 persen responden yang memiliki pengalaman menjadi anak jalanan kurang dari tiga tahun. Anak jalanan yang pengalamannya belum begitu lama biasanya masih berpenampilan rapi dan tingkah lakunya masih sopan. MHR (16 tahun) merupakan anak jalanan yang berasal dari Madura. Ia kabur dari rumah menuju Jakarta karena ia dijodohkan oleh orang tuanya. Ia berprofesi menjadi pengamen selama kurang dari satu tahun. Tidak lama kemudian ia menjadi anak binaan di RSBAP. Ia termasuk anak binaan yang hidupnya teratur dibanding dengan anak binaan yang sudah lama menjadi anak jalanan, hingga ia diberi kepercayaan oleh pengelola untuk memegang kunci RSBAP.
5.7
Tingkat Kekerasan yang Dialami Hartini dkk (2001) sebagaimana dikutip oleh Pramuchtia (2008)
menyatakan bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang dialami anak jalanan dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan yang dialami anak jalanan berdampak pada kondisi fisik dan non-fisik. Kekerasan fisik yang diterima anak dapat berupa pukulan hingga dilukai dengan senjata tajam. Sedangkan kekerasan non-fisik lebih mengarah pada menyakiti mental anak jalanana.
56
30% 70%
Rendah Sedang
Gambar 5. Distribusi Responden Berdasakan Tingkat Kekerasan Nonfisik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak jalanan lebih sering mengalami kekerasan non-fisik dibandingkan kekerasan fisik. Terdapat 70 persen responden dengan tingkat kekerasan non-fisik yang rendah dan 30 persen responden dengan tingkar kekerasan non-fisik yang sedang. Kekerasan non-fisik yang dialami anak jalanan meliputi: dipaksa bekerja oleh orang tua, dipalak preman, dimaki-maki dan diancam orang tua, teman, masyarakat maupun dengan petugas keamanan. Pemaksaan yang dilakukan orang tua agar anaknya bekerja disebabkan desakan ekonomi. Orang tua tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya sehingga anaknya dipaksa untuk ikut mencari nafkah. Kemudian uang hasil dari bekerja dijalanan disetorkan kepada mereka. Anak jalanan dengan kondisi fisik yang agak kumuh dianggap sebagai orang yang sering membuat onar yang meresahkan masyarakat luas. Pemikiran seperti ini membuat masyarakat bersikap tidak baik kepada anak jalanan. Anak jalanan terkadang dihina oleh orang yang tidak dikenal ketika mereka sedang bekerja di jalanan. “saya sih kalo lagi ngamen, kadang-kadang ada penumpang yang menatap saya dengan tatapan jijik gitu kak. Saya ngerasa dihina. Terus saya juga pernah diomelin gitu sama ibu-ibu pas saya ngamen, katanya berisik. Yah .. kalo gak gini saya ga dapet uang kak”(JNR, 18 tahun). Gambar 5 menunjukkan 93 persen responden mengalami tingkat kekerasan fisik yang rendah dan sebanyak tujuh persen responden mengalami tingkat kekerasan sedang. Kekerasan fisik yang dialami anak jalanan meliputi dipukul, dilukai dengan benda tajam/ tumpul dan pelecehan seksual. Kekerasan
57
fisik ini dilakukan oleh orang tua, teman, preman ataupun orang yang tidak dikenal.
7% 93%
Rendah Sedang
Gambar 6. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kekerasan Fisik
Kekerasan yang dilakukan orang tua kepada responden merupakan salah satu alasan anak jalanan lebih senang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan. Kekerasan fisik yang dialami anak jalanan memberikan luka tidak hanya secara fisik kepada responden tetapi juga secara mental. Kekerasan fisik juga dilakukan oleh preman kepada anak jalanan. Biasanya anak jalanan yang mencari nafkah di wilayahnya mewajibkan anak jalanan membayar sejumlah uang kepadanya. Jika tidak membayar maka tidak jarang anak jalanan dipukul atau dikeroyok dengan preman dan kawanannya. Pelecehan seksual yang diterima anak jalanan biasanya dilakukan oleh orang yang tidak dikenal dengan meraba alat kelamin anak jalanan. Tidak ada responden yang diperkosa/ disodomi oleh orang lain. Anak jalanan mendapatkan pelecehan seksual ketika tidur di jalanan. Selain itu, ada juga anak jalanan yang yang diraba alat kelaminnya oleh waria ketika mereka beraktivitas di jalanan.
5.8
Perilaku Menyimpang Anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja atau
berkeliaran di jalanan atau di tempat umum lainnya. Keberadaan mereka yang sering berada di jalanan menyebabkan kurangnya pengawasan dari orang tua. Oleh sebab itu anak dapat bertindak sesuka hati tanpa ada pihak yang dapat mengatur perilaku mereka.
58
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Pernah Tidaknya Mengkonsumsi Minuman Keras, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Mengkonsumsi Minuman Keras Usia
Tidak pernah n
%
Total
Pernah n
%
n
%
15 sampai 18 tahun
4
13,3
12
40
16
53,3
19 sampai 22 tahun
5
16,7
9
30
14
46,7
Total
9
30
21
70
30
100
Anak jalanan mudah terpengaruh oleh hal-hal buruk yang ia peroleh dari proses pergaulannya dengan sesama anak jalanan. Perilaku buruk yang dilakukan anak jalanan antara lain yaitu mengonsumsi minuman keras dan narkoba serta melakukan seks bebas. Responden yang pernah mengonsumsi minuman keras sebanyak 70 persen dengan proporsi anak jalanan usia 15 sampai 18 tahun lebih besar dibanding anak jalanan yang berusia 19 sampai 22 tahun.
Beberapa
responden pertama kali mengonsumsi minuman keras bersama teman-temannya. Bagi mereka, jika menolak untuk ikut mengonsumsi berarti tidak menghormati teman-temannya. Selain sifat minuman keras yang membuat orang senang (mabuk), minuman keras juga mudah didapat di warung pinggir jalan dengan harga yang murah. Hal inilah yang menyebabkan banyak anak jalanan yang mengonsumsi minuman keras. “iya, saya masih suka minum. Patungan sama temen-teman, terus beli di warung atau di minimarket. Satu botol yang gede harganya 25.000-an kak” (JFR, 21 tahun). Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Pernah Tidaknya Mengkonsumsi Narkoba, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Mengkonsumsi Narkoba Usia
Tidak pernah n
%
Total
Pernah n
%
n
%
15 sampai 18 tahun
12
40
4
13,3
16
53,3
19 sampai 22 tahun
8
26,7
6
20
14
46,7
Total
20
66,7
10
33,3
30
100
59
Selain mengonsumsi minuman keras, perilaku menyimpang yang dapat diamati dari anak jalanan ialah mengonsumsi narkoba. Terdapat 33,3 persen anak jalanan yang pernah mengonsumsi narkoba dan 66,7 persen responden tidak pernah mengonsumsi narkoba. Anak jalanan dengan kelompok umur 19 sampai 22 tahun lebih rentan dalam mengonsumsi narkoba. Pada awalnya responden mendapatkan narkoba dengan gratis. Setelah itu mereka merasa ketagihan dan mulai membelinya ke bandar narkoba. Narkoba yang sering dikonsumsi ialah jenis ganja. Ganja memberikan efek nge-fly bagi yang mengkonsumsinya. Harga ganja terbilang sangat terjangkau yaitu Rp 5.000 / linting. Pasar Minggu merupakan daerah yang rawan terhadap pengedaran narkoba sehingga anak jalanan mudah untuk mendapatkan narkoba tersebut. Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Pernah Tidaknya Melakukan Hubungan Seksual Sebelum Meniikah, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Berhubungan Seksual Sebelum Menikah Usia
Tidak pernah n
%
Total
Pernah n
%
n
%
15 sampai 18 tahun
5
16,7
11
36,7
16
53,3
19 sampai 22 tahun
5
16,7
9
30,0
14
46,7
Total
10
33,3
20
66,7
30
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 66,7 persen responden pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan proporsi anak jalanan yang berusia 15 sampai 18 tahun lebih besar dibanding anak jalanan dengan usia 19 sampai 22 tahun. Anak jalanan memiliki emosional yang masih labil sehingga mereka mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya (Arief, 2002). Perilaku menyimpang ini merupakan pengaruh dari lingkungan sosial mereka khususunya sesama anak jalanan. Hidup tanpa aturan dan tidak mengindahkan norma menyebabkan mereka memiliki pergaulan yang bebas. Hubungan seksual ini biasanya mereka lakukan dengan teman wanitanya. “… pernah kak sama pacar saya. Saya ngelakuinnya di rumah pacar saya.” (JNR, 18 tahun).
60
Terdapat juga responden yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seksual komersil (PSK). Beberapa responden menyewa PSK di daerah yang dikenal dengan nama Nirwana. Di sana, mereka dapat menyewa PSK mulai dengan harga Rp 50.000. Bagi anak jalanan, melakukan hubungan seksual sebelum menikah dianggap hal yang wajar.
5.9
Ikhtisar Seluruh responden yang merupakan anak binaan Rumah Singgah Bina
Anak Pertiwi berjenis kelamin laki-laki dengan usia 15 tahun hingga 22 tahun. Sebagian besar responden berada pada usia 15 tahun hingga 18 tahun. Status pendidikan anak jalanan sebagian besar tidak bersekolah dengan tingkat pendidikan yang rendah. Sebagian besar anak binaan RSBAP memiliki pengalaman menjadi anak jalanan lebih dari lima tahun. Latar belakang anak turun ke jalan dapat disebabkan tiga hal, yaitu karena kondisi ekonomi keluarga yang rendah, disharmoni keluarga dan keinginan anak untuk mencari pengalaman kerja. Sebagain besar anak turun ke jalanan karena kondisi ekonomi keluarga yang rendah. Terdapat dua tipe anak jalanan yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu children on the street dan children of the street. Sebagian besar anak jalanan termasuk ke dalam tipe children of the street dimana mereka masih berhubungan dengan keluarganya dan tidak hidup sebatang kara. Anak jalanan sebagian besar menghabiskan waktu untuk bekerja. Terdapat empat jenis pekerjaan anak jalanan, yaitu usaha dangan, jasa, pengamen, dan kerja serabutan. Sebagian besar anak binaan RSBAP berprofesi sebagai pengamen karena selain mendapatkan uang, mereka juga dapat menyalurkan hobi dalam bidang tarik suara. Keberadaan anak jalanan yang sering menghabiskan waktu ditempat umum, menyebabkan kurangnya pengawasan dari orang tua. Pengawasan orang tua yang kurang, menyebabkan anak jalanan mudah terpengaruhi hal-hal buruk yang ia peroleh dari proses pergaulannya di jalanan. Perilaku buruk yang dilakukan sebagian besar anak jalanan antara lain mengonsumsi minuman keras dan narkoba serta melakukan seks bebas.
61
Tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan termasuk ke dalam kategori rendah. Kekerasan diterima berupa kekerasan fisik mapun non-fisik. Kekerasan fisik yang sering dilakukan berupa pukulan yang dilakukan oleh orang tua, teman, dan preman. Sedangkan kekerasan non-fisik yang diterima anak jalanan yaitu paksaan bekerja yang dilakukan orang tua, dan makian yang mereka terima dari teman dan masyarakat.
BAB VI PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH Rumah singgah merupakan lembaga yang memfasilitasi anak jalanan untuk dapat berhubungan dengan keluarganya atau pihak-pihak yang dapat memberikan manfaat bagi diri mereka. Selain itu rumah singgah berperan sebagai lembaga pelayanan sosial yang memberikan proses pembinaan yang bersifat kekeluargaaan kepada anak jalanan mengenai nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Departemen Sosial RI merumuskan delapan fungsi rumah singgah, yaitu: sebagai tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dengan anak jalanan, pusat asesmen dan rujukan, fasilitator, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, akses terhadap pelayanan dan resosialisasi. Fungsi rumah singgah sebaiknya dilaksanakan secara efektif agar tujuan rumah singgah dapat tercapai, yakni membantu anak jalanan mengatasi masalahmasalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penelitian ini mengungkapkan bagaimana penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Penilaian tersebut didasarkan pada kepuasan yang dirasakan oleh anak jalanan dalan setiap pelayanan yang mereka terima. Kotler sebagaimana dikutip Rangkuti (2008) menjelaskan bahwa kepuasan adalah “… a person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from the comparing a product’s received performance (or outcome) in relations to the persons’s expectation”. Kepuasan merupakan perasaan senang atau kekecewa seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara prestasi atau produk yang dirasakan dan yang diharapkan.
6.1
Tempat Pertemuan (Meeting Point) Rumah singgah merupakan tempat bertemu antara pekerja sosial dengan
anak jalanan untuk menciptakan persahabatan dan kegiatan. Rumah singgah seharusnya memiliki bangunan yang permanen dan layak sehingga memudahkan anak jalanan untuk tinggal dan melaksanakan kegiatan yang terkait dengan proses pembelajaran. Tidak hanya anak jalanan yang tinggal di rumah singgah namun
63
pembina pun ikut tinggal di rumah singgah. Proses tatap muka yang terjadi setiap hari antara pembina dan anak binaan membuat hubungan mereka menjadi dekat. Hubungan dekat yang terjalin antara pembina dan anak binaan memudahkan pembina dalam mendidik anak jalanan. 7% 3%
43%
47%
Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas
Gambar 7. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Tempat Pertemuan
Berdasarkan gambar di atas, terdapat 43 persen responden yang puas dan tujuh persen responden yang merasa sangat puas dengan fungsi rumah singgah sebagai tempat pertemuan. Artinya sebagian dari responden memiliki penilaian yang positif terhadap fungsi rumah singgah tersebut. Mereka melaksanakan berbagai kegiatan bersama pembina di RSBAP, seperti sholat berjamaah, curhat bersama, pengajian, kerja bakti, pelatihan keterampilan dan kegiatan lainnya. “… iya kak di sini kalo ada kegiatan pasti bareng sama kakak pembina. Kalo solat berjamaan, imamnya kakak pembina. Terus klo lagi belajat juga yang ngajar kakak pembina.” JNR (18 tahun). Terdapat 47 responden yang merasa tidak puas dan tiga persen responden merasa sangat tidak puas dengan fungsi rumah singgah sebagai tempat pertemuan. Beberapa responden menyatakan bahwa setiap hari mereka melakukan interaksi tatap muka dengan para pembina, namun hanya beberapa pembina yang dekat dengan mereka. Hal inilah yang menyebabkan mereka merasa tidak puas dalam hal menjalin hubungan dekat dengan para pembina. “Kita deket sama pembina di sini kak, tapi ga semuanya. Ada pembina yang cuek aja sama kita, sikapnya beda-beda sama anakanak, jadi saya suka ngerasa nggak adil” (ADS, 20 tahun).
64
Berbeda dengan pernyataan tersebut, para pembina merasa sudah berusaha untuk memperlakukan anak binaan dengan adil. Pendekatan yang dilakukan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing anak jalanan karena tidak semua anak binaan terbuka dengan para pembina di RSBAP. Jika anak binaan melakukan kesalahan pasti akan ditegur atau dimarahi. Namun, jika perilaku anak binaan dinilai baik maka pembina tidak segan-segan memberikan kepercayaan yang lebih kepadanya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kecemburuan diantara anak binaan.
6.2
Pusat Asesmendan Rujukan Rumah singgah berfungsi sebagai pusat asesmen dan rujukan. Asesmen
adalah penelaah dan pengungkapan masalah berdasarkan data yang telah terkumpul. Dalam asesmen, dikemukakan permasalahan yang mendasar yang bersifat segera untuk ditangani (Departemen Sosial RI, 2005). Setelah melakukan asesmen, maka dilakukan rujukan pelayanan sosial bagi anak jalanan tersebut. Sehingga pelayanan sosial yang diterima oleh anak jalanan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang mereka hadapi.
7%
13% Sangat tidak puas Tidak puas 80%
Puas Sangat puas
Gambar 8. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Pusat Asesmen dan Rujukan
Gambar di atas menunjukkan 80 persen responden merasa tidak puas dengan fungsi rumah singgah dalam melakukan asesmen dan rujukan. Terdapat tujuh persen responden yang merasa puas dan 13 responden yang merasa sangat puas. Artinya sebagian besar responden memiliki penilaian yang negatif terhadap fungsi rumah singgah sebagai pusat asesmen dan rujukan yang dilakukan RSBAP.
65
Beberapa responden yang merasa tidak puas beranggapan bahwa asesmen yang dilakukan tidak diikuti dengan upaya pemenuhan kebutuhan mereka dengan segera. Besarnya harapan mereka terhadap RSBAP untuk dapat memenuhi semua kebutuhan dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapai menyebabkan mereka merasa tidak puas akan upaya yang dilakukan RSBAP untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembina melakukan pemetaan kebutuhan dan permasalahan anak jalanan dengan berbagai cara, yakni mengobrol dengan anak binaan hingga mendatangi keluarga yang bersangkutan untuk mengetahui lebih jelas bagaimana kehidupan anak jalanan yang dibina. Setelah melakukan asesmen maka mereka merumuskan tindakan apa yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan anak jalanan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh pimpinan RSBAP sebagai berikut. “Kami melakukan pemetaan kebutuhan setiap anak binaan yang mendaftar di rumah singgah. Setelah itu barulah kami menyusun tindakan apa yang harus diberikan kepada anak tersebut. Kita mencoba untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendasar yang diperlukan anak tersebut. Kami mencoba memberikan pelayanan semaksimal mungkin.” Sebagian besar anak binaan memiliki status pendidikan yang rendah. Maka setiap anak binaan dapat mengakses program pendidikan yang diselenggarakan oleh RSBAP. Selain itu, RSBAP berupaya untuk kebutuhan pangan, sandang dan papan yang dirasakan anak binaan. Permasalahan yang dihadapi oleh anak binaan sangatlah beragam. Tidak semua kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu anak binaan dapat diatasi oleh RSBAP. Hal ini dikarena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh RSBAP.
6.3
Fasilitator Rumah singgah berfungsi sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga,
keluarga pengganti, dan lembaga lainnya. Hal ini dilakukan agar anak binaan tinggal kembali bersama keluarganya atau memiliki keluarga baru sehingga anak binaan tidak lagi hidup di jalanan. Kerjasama yang dilakukan pihak rumah singgah dengan lembaga lainnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan akan pendidikan.
66
Dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator, RSBAP menghubungkan anak binaan dengan berbagai pihak yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup anak jalanan dilakukan melalui rumah singgah. Anak binaan mendapatkan pelatihan keterampilan atau pun bantuan pendidikan dari pemerintah. Sebagai contoh, anak binaan melakukan pelatihan montir motor, pelatihan wirausaha atupun mendapatkan program beasiswa “Tabunganku” dari Kementrian Sosial RI. Selain itu, pihak swasta pun mengadakan pelatihan keterampilan kepada anak binaan RSBAP seperti pelatihan teknisi ponsel yang diselenggarakan oleh Telkomsel. Rumah singgah pula berupaya untuk menghubungkan anak binaan dengan keluarganya. Terdapat beberapa anak binaan yang menjalin hubungan baik dengan kelurganya bahkan kembali tinggal bersama oran tuanya. Namun tidak semua anak jalanan dapat dihubungkan kembali dengan keluarganya. Pembina RSBAP menyatakan bahwa terdapat anak jalanan yang memang tidak tahu keberadaan keluarganya. Selain itu, ada pula anak binaan yang memang tidak ingin untuk dihubungkan kembali anak jalanan. 7% 17%
Sangat tidak puas
20%
Tidak puas 56%
Puas Sangat puas
Gambar 9. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah sebagai Fasilitator
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 56 persen responden yang tidak puas dan tujuh persen responden yang merasa sangat tidak puas akan peran RSBAP sebagai fasilitator. Beberapa responden mengatakan bahwa tidak ada upaya rumah singgah untuk menghubungkan kembali dengan orang tuanya. Mereka menghubungi keluarganya tanpa ada bantuan dari pihak rumah singgah. Terdapat 20 persen responden yang merasa puas dan 17 persen responden yang merasa sangat puas akan peran RSBAP sebagai fasilitator. Kebanyakan
67
responden merasa sangat senang dengan peran RSBAP dalam menghubungkan mereka dengan lembaga lainnya seperti Kementrian Sosial, Dinas Sosial DKI Jakarta, Puskesmas dan lain-lain. Pelatihan dan pelayanan yang diberikan oleh lembaga-lembaga tersebut diakui menambah keterampilan dan memperbaiki kehidupan mereka.
6.4
Perlindungan Rumah singgah merupakan tempat perlindungan anak dari kekerasan dan
pelecehan seksual yang terjadi di jalanan. Keberadaan rumah singgah memungkinkan anak jalanan untuk tinggal dan terhindar dari segala bentuk penindasan yang biasanya terjadi di jalanan.
3% 13%
27%
Sangat tidak puas Tidak puas
57%
Puas
Sangat puas
Gambar 10. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Tempat Perlindungan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 57 persen responden merasa puas dan 13 persen responden merasa sangat puas dengan perlindungan yang diberikan RSBAP. Artinya sebagian besar anak jalanan memiliki penilaian yang positif terhadap upaya perlindungan yang dilakukan RSBAP. Keberadaan RSBAP yang dijadikan sebagi tempat persinggahan oleh anak binaan, membuat mereka merasa aman. Ketika mereka berada di dalam rumah singgah, mereka terlindungi dari kekerasan di jalan seperti dipalak preman ataupun dipukul oleh anak jalanan lainnya. Sebelum masuk RSBAP sebagian besar anak binaan tidur di jalan, pasar, kolong jembatan atau tempat umum lainnya. Saat mereka tidur, tidak jarang uang mereka hilang diambil orang yang tidak dikenal. Selain itu, jika mereka tidur di daerah wilayah yang dikuasai oleh preman biasanya mereka
68
disuruh membayar atau membelikan minuman keras. Jika tidak memberikan uang, maka mereka akan dipukul oleh preman tersebut. Selain itu, pelecehan seksual terkadang mereka terima ketika hidup di jalanan. AMR (18 tahun) sebelum tinggal di RSBAP, ia tinggal di pasar. Ia mengaku bahwa ketika ia tidur ia pernah dipegang alat kelaminnya oleh seorang pria homo seksual. Ketika ia bangun, ia langsung kabur karena merasa ketakutan. Namun sekarang ia merasa aman untuk tinggal di RSBAP. Menurutnya hidup di RSBAP jauh lebih aman dibanding ketika ia tinggal di jalanan. Terdapat 27 persen responden yang merasa tidak puas dan tiga persen responden yang merasa sangat tidak puas dengan perlindungan yang diberikan RSBAP. Hal ini disebabkan mereka merasa tidak ada tindakan nyata yang dilakukan pembina RSBAP ketika mereka sedang memiliki masalah dengan temannya, sebagimana yang diungkapkan oleh ADS (18 tahun). “saya ngerasa aman sih kak kalo tinggal di sini tapi kalo saya lagi ada slek sama temen saya, saya ngerasa ga ada perlindungan yang diberikan oleh rumah singgah. Biasanya temen-temen saya yang bantuin bukan pembina.” Mereka merasa aman apabila tinggal di rumah singgah. Namun ada keinginan dari beberapa responden agar pembina turut melakukan perlindungan dari pihak-pihak di luar rumah singgah yang mencoba mengancam diri mereka.
6.5
Pusat Informasi Rumah singgah melakukan pembinaan terhadap anak jalanan, salah
satunya dengan memberikan informasi dan pengetahuan kepada anak jalanan agar mereka menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas. Selain itu, pembina berharap dengan memberikan pengetahuan kepada anak binaan, mereka dapat mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibanding menjadi anak jalanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 56 persen responden yang merasa puas dan 17 persen responden yang merasa sangat puas akan upaya pembina RSBAP dalam memberikan informasi dan pengetahuan. Artinya sebagian besar responden memiliki penilaian yang positif dalam fungsi RSBAP sebagai pusat informasi. RSBAP mengadakan pelatihan keterampilan kepada anak
69
binaan sebagai bekal mereka untuk bekerja. Pelatihan yang diberikan antara lain: pelatihan kewirausahaan, pelatihan montir motor, pelatihan pembuatan sepatu dan sandal, pelatihan agribisnis dan lain-lain. Pelatihan yang diselenggarakan merupakan hasil kerjasama RSBAP dengan pemerintah maupun swasta. Selain itu, RSBAP mengadakan program Pendidikan Layanan Khusus (PLK) anak jalanan. Ini merupakan program pendidikan formal namun dilaksanakan di rumah singgah. Kegiatan PLK ini diikuti oleh anak binaan dengan usia sekolah namun tidak memungkinkan disekolahkan di sekolah umum. Sedangkan bagi anak binaan yang ingin menamatkan pendidikan formal namun usianya sudah terlalu dewasa dapat mengikuti program pendidikan kejar paket A, B dan C. Terdapat pula program bea siswa bagi anak jalanan yang berperilaku baik dan memungkinkan disekolahkan di sekolah umum. Fasilitas untuk menambah pengetahuan anak jalanan juga tersedia di RSBAP, seperti televisi dan internet. Pada awalnya disediakan televisi di ruang berkumpul anak binaan namun tidak dirawat oleh mereka hingga rusak. Hal ini membuat kecewa para pembina, sehingga sekarang televisi hanya ada di ruang administrasi pembina. Anak binaan dapat menggunakan televisi tersebut di bawah pengawasan pembina. Anak binaan juga dapat menggunakan internet di ruang administrasi dengan pengawasan pembina.
17%
27%
Sangat tidak puas Tidak puas Puas
56%
Sangat puas
Gambar 11. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Pusat Informasi
Sebanyak 27 persen responden merasa tidak puas dengan upaya RSBAP dalam memberikan informasi kepada mereka. Menurut responden yang memiliki penilaian negatif terhadap fungsi rumah singgah tersebut, banyak pelatihan keterampilan yang diberikan kepada mereka namun sayangnya tidak ada tindak
70
lanjutnya. Mereka menginginkan setelah diberikan keterampilan, mereka disalurkan untuk bekerja. Selain itu, mereka merasa akses yang diberikan pembina untuk menggunakan televisi dan internet sangat terbatas. Oleh karena itu mereka merasa tidak puas.
6.6
Kuratif-Rehabilitatif Rumah singgah berfungsi untuk mengatasi permasalahan anak jalanan.
Rumah singgah juga berupaya untuk memperbaiki sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan dapat menumbuhkan keberfungsian anak. Oleh karena itu diperlukan proses pembinaan dengan suasana kekeluargaan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 60 persen responden yang merasa puas dan 13 persen responden yang merasa sangat puas dengan fungsi kuratif dan rehabilitatif yang dilakukan RSBAP. Sebaliknya, terdapat 17 persen responden yang tidak puas dan sepuluh responden yang merasa sangat tidak puas dengan fungsi kuratif dan rehabilitatif yang dilakukan RSBAP. Data tersebut mengindikasikan sebagian besar responden memiliki penilaian positif terhadap fungsi RSBAP dalam hal kuratif-rehabilitatif.
13% 10% 17%
60%
Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas
Gambar 12. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah dalam Upaya Kuratif-Rehabilitatif
Anak binaan yang merupakan anak jalanan dengan perilaku yang dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Hidup di jalanan tanpa ada yang mengatur mereka mendorong mereka untuk berperilaku menyimpang dari norma di masyarakat. Oleh karena itu, RSBAP berupaya untuk mengubah perilaku mereka ke arah yang lebih baik. Upaya yang dilakukan untuk mengubah perilaku anak binaan yaitu dengan mengadakan bimbingan mental dan spiritual dalam
71
kehidupan sehari-hari. Anak binaan selalu dinasehati jika melakukan kesalahan karena itulah konsekuensi jika menjadi anak binaan RSBAP. Mereka harus mengikuti peraturan yang diterapkan di RSBAP agar kehidupan mereka lebih baik dan teratur. Kebanyakan responden menyatakan bahwa setelah menjadi binaan RSBAP terjadi perubahan dalam perilaku mereka. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya kebiasaan negatif yang biasa mereka lakukan di jalanan yaitu mengonsumsi narkoba dan minuman keras. Jika anak binaan terbukti mengonsumsi, maka mereka akan dikenai sanksi oleh pembina RSBAP. “Saya pernah ketauan lagi minum sama kakak pembina, terus saya diskors ga boleh tinggal sepuluh hari di rumah singgah. Saya kapok kak. Sepuluh hari kemudian saya balik lagi ke rumah singgah ini kak.” (SHR, 16 tahun) RSBAP mengadakan layanan konsultasi kepada anak binaan yang sedang menghadapi permasalahan. Konsultasi yang dilakukan dapat dilakukan secara pribadi yaitu dengan cara seorang anak binaan mengungkapkan masalah yang sedang dihadapi dengan pembina. Konsultasi ini pun dapat dilakukan secara publik, yaitu dengan diadakan curhat bersama. Curhat bersama ini dihadiri oleh para anak binaan dan pembina dan dilakukan di aula RSBAP. Terkadang anak binaan dapat terbuka terhadap pembina namun tidak bisa terbuka dengan temantemannya,
begitu
juga sebaliknya.
Oleh karena
itu pembina RSBAP
memposisikan diri di banyak pihak. Pembina RSBAP berperan sebagai orang tua agar anak binaan menghormati pembina dan pembina menghargai kebutuhan anak binaan. Pembina juga harus berperan sebagai teman agar bisa lebih akrab dengan anak binaan. Ketika pembina memposisikan diri sebagai teman, maka akan lebih mudah untuk mengetahui
permasalahan
yang
sedang
mereka
hadapi.
Pembina
juga
memposisikan diri sebagai kakak/adik sehingga bisa meminta sesuatu lebih leluasa bahkan juga bisa bertengkar layaknya saudara, sehingga interaksi yang terjadi antara pembina dan anak binaan seperti sebuah keluarga.
72
6.7
Akses terhadap Pelayanan Rumah singgah menyediakan akses kepada berbagai pelayanan sosial.
Pelayanan sosial yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang dirasakan anak binaan. Kebutuhan dasar anak jalanan meliputi: kebutuhan makan, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, kasih sayang, uang saku dan pakaian. 3% 10%
57%
30%
Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas
Gambar 13. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Akses terhadap Pelayanan
Sebanyak 57 persen responden merasa puas dan sepuluh persen responden merasa sangat puas dengan pelayanan sosial yang diberikan RSBAP. Data tersebut menunjukkan mayoritas responden memiliki penilaian yang positif dalam pelaksanaan fungsi tersebut. RSBAP menyediakan kebutuhan makan dua kali sehari, yakni siang dan malam hari. Beberapa responden menyatakan tempat tinggal yang disediakan RSBAP sangat nyaman dibandingkan tinggal di jalanan. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh RKW (18 tahun). “… iya kak, di sini walaupun cuma pake karpet aja tapi nyaman. Tadinya ada kasur tapi rusak kak sama anak-anak. Kalo udah disini jadi males kerja di jalan lagi kak..” RSBAP juga memberikan pelayanan kesehatan bagi anak binaan beserta keluarganya. Anak binaan yang sakit akan dirujuk ke puskesmas pasar minggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Apabila anak binaan mengidap penyakit yang serius maka akan dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang lebih intensif. ABQ (22 tahun) merupakan anak binaan RSBAP yang mengidap sakit paru-paru. Ia melakukan perawatan selama 18 bulan dengan dua minggu dirawat di UGD Rumah Sakit Fatmawati. Sekarang ABQ sedang melakukan rawat jalan dan tinggal di RSBAP.
73
Selain itu, RSBAP memberikan uang saku kepada anak binaan. Beberapa responden mengaku bahwa uang saku yang diberikan pembina dinilai kurang dan tidak adil. Sebagian anak binaan ada yang mendapat program Tabunganku dari Kementrian Sosial RI dan sebagian tidak. Hal inilah yang menimbulkan kecemburuan di antara anak binaan. Anak binaan yang mendapat program ini adalah anak binaan dengan usia sekolah, yaitu tujuh hingga 17 tahun. Pemenuhan kebutuhan sandang dengan memberikan baju kepada anak binaan pun dilakukan oleh RSBAP. Sebagian responden merasa kebutuhan akan pakaian kurang dipenuhi oleh RSBAP. Mereka mendapat baju ketika lebaran atau jika ada kegiatan pelatihan saja. Hal ini dinilai kurang memuaskan bagi sebagian anak binaan.
6.8
Resosialisasi Resosialisasi yang dilakukan rumah singgah yaitu dengan mengenalkan
kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Lokasi bangunan RSBAP yang berdiri di tengah kawasan pemukiman penduduk membawa anak jalanan untuk dapat hidup berdampingan dengan masyarakat. Pembina RSBAP mengajarkan kembali mengenai norma yang berlaku di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari anak jalanan. Resosialisasi ini dilakukan agar anak binaan dapat menjadi berperilaku layaknya seorang anak dan tetangga yang baik bagi lingkungan di sekitarnya.
10% 7% 27%
Sangat tidak puas Tidak puas
56%
Puas Sangat puas
Gambar 14. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Melakukan Resosialisasi
74
Sebanyak 56 persen reponden merasa puas dan sepuluh persen responden merasa sangat puas akan upaya resosialisasi yang dilakukan RSBAP. Mereka yang memiliki penilaian positif ini menyatakan bahwa pembina mengajarkan mereka bagaimana bertingkah laku dengan tetangga di sekitar RSBAP. Apabila mereka membuat kegaduhan seperti bernyanyi dengan keras, akan ditegur oleh pembina karena dapat menganggu tetangga. Selain itu, pembina juga mengajarkan mengenai norma yang berlaku di masyarakat. Salah satu peraturan yang terdapat di RSBAP ialah tidak boleh membawa masuk wanita yang tidak dikenal karena akan mengundang keresahan warga sekitar. Anak binaan juga diajarkan untuk berlaku sopan dan menyapa tetangga sekitar. Namun terdapat 27 persen responden yang merasa tidak puas dan tujuh persen responden yang merasa sangat tidak puas dengan upaya resosialisasi yang dilakaukan RSBAP. Bagi mereka yang memiliki penilaian negatif terhadap fungsi RSBAP dalam melakukan resosialisasi, pembinaan yang diberikan pembina tidak dilakukan secara intensif. Terdapat beberapa pembina yang bersikap acuh tak acuh terhadap perilaku anak binaan, namun ada pula yang peduli dengan perilaku mereka. Inilah yang membuat mereka merasa tidak puas karena tidak semua pembina peduli akan perbuatan yang dilakukan oleh mereka. 6.9
Ikhtisar Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dilihat dari
kepuasan anak jalanan terhadap keberfungsian rumah singgah. Terdapat delapan fungsi rumah singgah, yaitu sebagai tempat pertemuan, pusat asesmen dan rujukan, fasilitator, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi. Gambar 15 menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan memiliki penilaian positif terhadap fungsi rumah singgah sebagai tempat pertemuan, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi. Namun, terdapat dua fungsi rumah singgah yang dinilai tidak memuaskan anak jalanan yaitu fungsi rumah singgah sebagai pusat asesmen dan fasilitator.
75
100% 90% 80% 70%
Sangat Puas
60%
Puas
50%
Tidak Puas
40%
Sangat Tidak Puas
30% 20% 10% 0%
Gambar 15. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah
Rumah singgah melakukan asesmen terhadap setiap anak binaan untuk mengetahui pemasalahan mendasar yang dihadapi anak binaan Namun, asesmen yang diakukan tidak diserta dengan rujukan yang cepat. Rumah singgah dinilai kurang tanggap dalam menyelesaikan permasalahan mendasar dari setiap anak jalanan. Fungsi rumah singgah sebagai fasilitator dinilai kurang memuaskan anak binaan RSBAP. Rumah singgah memiliki fungsi sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, panti, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya. Anak jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung pada rumah singgah, melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah proses yang dijalani. Menurut anak binaan yang tidak memiliki keluarga, mereka tidak dirujuk untuk mendapatkan orang tua angkat atau keluarga penganti. Rumah singgah dalam melakukan upaya menghubungkan anak jalanan dengan lembaga yang bermanfaat bagi kehidupannya dinilai kurang. Sebenarnya RSBAP telah melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk membantu
76
kegiatan pembinaan terhadap anak jalanan. Namun, upaya rumah singgah tersebut dinilai belum maksimal oleh anak binaan. Upaya pembinaan yang dilakukan untuk mengubah perilaku mereka agar sesuai dengan norma yang berlaku diwujudkan dengan melakukan perlindungan, memberi pendidikan dan keterampilan serta menghadirkan suasana kekeluargaan di dalam rumah singgah. Upaya tersebut telah dilaksanakan dengan baik sehingga memberikan kepuasan yang tinggi kepada anak binaan.
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH 7. 1
Faktor Internal
7.1.1 Hubungan Usia dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Usia diduga memiliki hubungan dengan penilaian anak jalanan dalam pelayanan rumah singgah. Semakin muda umur anak jalanan maka semakin positif penilaiannya terhadap pelayanan rumah singgah. Hal ini disebabkan semakin dewasa anak jalanan maka kebutuhannya semakin kompleks. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka tingkat kepuasannya akan semakin rendah. Artinya penilaian mereka terhadap pelayanan tersebut negatif. H0
: Tidak terdapat hubungan antara usia responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
H1
: Terdapat hubungan antara usia responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat Puas Total
Usia 15 sampai 18 tahun n
% 0 3 12 1 16
0 18,8 75,0 6,2 100
Total
19 sampai 22 tahun n
% 0 7 6 1 14
0 50 42,9 7,1 100
%
n 0 10 18 2 30
0 33,3 60,0 6,7 100
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebagian besar anak jalanan (75 persen) dengan usia 15 sampai 18 tahun merasa puas dengan pelayanan yang diberikan RSBAP, sedangkan 18,8 persen anak jalanan dengan usia 15 sampai 18 tahun merasa tidak puas akan pelayanan rumah singgah. Terdapat 50 persen anak jalanan dengan usia 19 sampai 22 tahun yang merasa tidak puas, 42,9 persen yang
78
merasa puas dan 7,1 persen yang merasa sangat puas dengan pelayanan yang diberikan rumah singgah. Hasil penelitian menunjukkan penilaian anak jalanan yang berusia 15 sampai 18 tahun memiliki penilaian yang lebih baik terhadap pelayanan rumah singgah dibanding dengan anak jalanan yang berusia 19 sampai 22 tahun. Anak jalanan yang usianya sudah dewasa memiliki penilaian yang lebih rendah terhadap pelayanan rumah singgah. Berdasarkan hasil uji Rank-Spearman yang dilakukan pada variabel usia dengan penilaian anak jalanan, pada tingkat signifikansi 0,05 diperoleh nilai Asymp.Sig (2-side) sebesar 0,286 sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan penilaian anak jalanan dalam pelayanan RSBAP. Hasil penelitian menunjukkan selisih usia anak jalanan yang dibina RSBAP tidak jauh berbeda, yaitu berada pada usia remaja yang beranjak dewasa. Kebutuhan yang mereka rasakan mungkin tidak terlalu berbeda sehingga tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan tingkat kepuasan mereka terhadap pelayanan RSBAP. Kebutuhan yang dirasakan anak jalanan meliputi pendidikan, kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (sandang, pangan dan papan). Anak binaan dengan usia sekolah, yakni 15 sampai 18 tahun mendapatkan pelayanan sosial seperti pendidikan formal, pelatihan keterampilan serta pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Anak binaan yang di atas umur sekolah dapat mengakses pelatihan keterampilan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Walaupun begitu, anak jalanan yang sudah melewati usia sekolah dapat mengakses program pendidikan Kejar Paket A, B ataupun C. Pembina RSBAP dalam melakukan pembinaan dilakukan dengan suasana kekeluargaan. Penanganan dilakukan sesuai dengan karakteristik anak binaan. Hal ini menyebabkan penilaian anak jalanan tidak berhubungan dengan usia anak jalanan.
79
7.1.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan anak jalanan. Tingkat pendidikan anak jalanan diduga berhubungan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. H0
: Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
H1
: Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat Puas Total
Tingkat Pendidikan Rendah n
% 0 6 11 1 18
0 33,3 61,1 5,6 100
Sedang n
% 0 2 6 1 9
0 22,2 66,7 11,1 100
Total
Tinggi n 0 2 1 0 3
%
n
%
0 66,7 33,3 0 100
0 10 18 2 30
0 33,3 60,0 6,7 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak jalanan dengan tingkat pendidikan rendah yang merasa tidak puas dengan pelayanan rumah singgah sebesar 33,3 persen, yang merasa puas terdapat 61,1 persen dan yang merasa sangat puas terdapat 5,6 persen. Anak jalanan dengan tingkat pendidikan sedang yang merasa tidak puas dengan pelayanan rumah singgah terdapat 22,2 persen, yang merasa puas sebesar 66,7 persen dan yang merasa sangat puas sebesar 11,1 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai penilaian antara anak jalanan yang berpendidikan rendah dan sedang terhadap pelayanan rumah singgah Berbeda halnya dengan anak jalanan yang berpendidikan tinggi. Sebagian besar dari mereka (66,7 persen) merasa tidak puas dengan pelayanan rumah singgah. Berdasarkan hasil korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp.Sig (2side) sebesar 0,830 lebih besar dari α (0,05) sehingga H0 diterima dan H1 ditolak.
80
Artinya, tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak jalanan tingkat pendidikannya rendah. Status pendidikan mereka hampir serupa, yaitu tidak bersekolah formal. Jenjang pendidikan terakhir anak jalanan kebanyakan didapat dengan mengikuti program pendidikan Kejar Paket. Artinya, anak jalanan tidak mendapatkan pembelajaran formal setiap harinya, mereka belajar ketika menjelang ujian akhir saja. Hal inilah yang menyebabkan tidak berbeda jauh antara pengetahuan yang dimiliki anak jalanan terkait dengan tingkat pendidikannya. Jika dilihat dari segi penilaian, sebagian besar anak jalanan memiliki penilaian yang positif terhadap pelayanan rumah singgah. Pelayanan rumah singgah dinilai berhasil karena sebagian besar anak jalanan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sedang dan tinggi merasa puas dengan pelayanan rumah singgah.
7.1.3 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Pekerjaan adalah cara yang paling sering digunakan anak jalanan untuk mendapatkan uang. Jenis pekerjaan anak jalanan dibagi ke dalam empat kategori, yaitu usaha dagang, jasa, pengamen dan kerja serabutan. Diduga ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. H0
: Tidak terdapat hubungan antara jenis pekerjaan responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
H1
: Terdapat hubungan antara jenis pekerjaan responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
81
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat Puas Total
Jenis Pekerjaan Berdagang n 0 1 1 0 2
% 0 50 50 0 100
Jasa n 0 2 4 1 7
% 0 28,6 57,1 14,3 100
Pengamen
Serabutan
n 0 5 10 0 15
n 0 2 3 1 6
% 0 33,3 66,7 0 100
Total
%
n
0 33,3 50 16,7 100
0 10 18 2 30
% 0 33,3 60 6,7 100
Persentase responden yang merasa puas dan tidak puas dengan pelayanan rumah singgah berdasarkan jenis pekerjaan hampir serupa. Sebagian dari mereka merasa puas. Data tersebut mengindikasikan bahwa jenis pekerjaan anak jalanan tidak berhubungan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Penilaian antara anak jalanan yang bekerja di bidang jasa, berdagang, mengamen dan bekerja serabutan tidak jauh berbeda. Pernyataan di atas diperkuat dengan hasil uji statistik Chi-Square yang memperoleh nilai Asymp.Sig (2-side) sebesar 0,956 lebih besar dari α (0,05) sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, jenis pekerjaan tidak berhubungan dengan penilaian anak jalanan dalam pelayanan rumah singgah. Pada pengujian statistik menggunakan Chi-Square, data penilaian anak jalanan dikelompokkan menjadi dua kategori yakni tidak puas dan puas. Hal ini disebabkan terdapat tabel kosong ketika menggunakan tabel 4x4. RSBAP dalam memberikan pelayanan kepada anak jalanan tidak dibedakan menurut jenis pekerjaannya. Semua anak binaan dapat mengakses pelayanan yang sama. Pengajaran keterampilan pun tidak dibedakan menurut jenis pekerjaan mereka. Walaupun beberapa anak jalanan tidak memiliki pengalaman dalam berwirausaha, namun mereka mengikuti pelatihan wirausaha yang diselenggarakan RSBAP bekerja sama dengan Dinas Sosial DKI Jakarta. Selain itu, pada bulan Ramadhan diselenggarakan festival musik religi yang bertujuan untuk menampung aspirasi dan menyalurkan anak binaan di bidang musik. Anak
82
jalanan yang mengikuti kegiatan ini tidak hanya anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen saja. Kegiatan dirancang dalam bentuk festival sehingga ada keterlibatan anak jalanan dari lembaga lainnya. Kompetisi yang terjadi dapat memicu anak jalanan untuk meningkatkan kemampuan mereka di bidang musik. Melihat bakat anak jalanan dalam kegiatan ini, Kementrian Sosial RI membantu anak binaan RSBAP untuk meluncurkan sebuah album dan sekarang masih dalam proses rekaman. Pelatihan keterampilan yang diselenggarakan oleh RSBAP bertujuan agar anak jalanan memiliki berbagai keterampilan sebagi bekal mereka di dunia kerja. Sertifikat yang diterima anak jalan, dapat dijadikan modal anak binaan untuk melamar pekerjaan yang lebih baik. Namun, hanya sedikit anak binaan yang meninggalkan pekerjaannya sebagai anak jalanan dan beralih ke pekerjaan yang lebih baik.
7.1.4 Hubungan Alasan Utama Menjadi Anak Jalanan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Latar belakang anak turun ke jalan dapat dikelompokkan mejadi tiga tipe, yaitu ekonomi keluarga yang rendah, disharmoni keluarga dan keinginan anak untuk mencari pengalaman kerja. Alasan menjadi anak jalanan diduga berhubungan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. H0
: Tidak terdapat hubungan antara alasan utama responden menjadi anak jalanan dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
H1
: Terdapat hubungan antara alasan utama responden menjadi anak jalanan dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak turun ke jalan karena
ekonomi keluarga yang rendah (70,6 persen) merasa puas dengan pelayanan rumah singgah. Terdapat 50 persen anak yang turun ke jalan karena disharmoni keluarga dan merasa puas dengan pelayanan rumah singgah. Sebaliknya, anak yang turun ke jalanan karena faktor disharmoni keluarga dan merasa tidak puas dengan pelayanan rumah singgahsebanyak 40 persen. Anak yang bekerja di jalanan karena keinginannya untuk pencari pengalaman dan merasa puas terdapat
83
33,3 persen, sedangkan yang merasa tidak puas terhadap pelayanan rumah singgah terdapat 66,7 persen. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Alasan Menjadi Anak Jalanan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat Puas
Alasan Menjadi Anak Jalanan Ekonomi Mencari Disharmoni Keluarga Pengalaman Keluarga Rendah Kerja n % n % n % 0 0 0 0 0 0 4 23,5 4 40,0 2 66,7 12 70,6 5 50,0 1 33,3 1 5,9 1 10,0 0 0 17
Total
100
10
100
3
100
Total n
%
0 10 18 2
0 33,3 60,0 6,7
30
100
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai Asymp.Sig (2side) sebesar 0,296 lebih besar dari α (0,05) sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, alasan menjadi anak jalanan tidak berhubungan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Pada pengujian statistik menggunakan Chi-Square, data penilaian anak jalanan dikelompokkan menjadi dua kategori yakni tidak puas dan puas. Hal ini disebabkan terdapat tabel kosong ketika menggunakan tabel 3x4. Anak yang turun ke jalanan karena ekonomi keluarga yang rendah, mendapatkan pelayanan dari rumah singgah yang tidak dapat diperoleh dari keluarganya. Keterbatasan ekonomi keluarga membuat anak mencari nafkah di jalan hingga mereka mengabaikan pendidikannya. Sebagai upaya memberdayakan anak jalanan, RSBAP memberikan berbagai pelatihan keterampilan dan memberikan bea siswa bagi anak binaan yang ingin melanjutkan sekolah. RSBAP memenuhi kebutuhan sehari hari anak jalanan di bidang pangan, sandang dan papan. Beberapa anak jalanan dengan tingkat ekonomi keluarga yang rendah mengaku bahwa orang tua hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka. Tidak jarang pula mereka makan kurang dari tiga kali sehari. Kondisi rumah mereka pun tergolong kurang baik, seperti yang dialami DDS (15 tahun). Keluarganya yang beranggotakan lima orang tinggal di sebuah rumah petakan
84
dengan luas sekitar 3x4 meter. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah orang yang tinggal, sehingga DDS memutuskan untuk tinggal di RSBAP. Keberadaan rumah singgah memberikan keluarga baru bagi anak jalanan. Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarganya menyebabkan anak jalanan kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Pembina rumah singgah yang berperan sebagai orang tua maupun kakak, dapat melengkapi kasih sayang yang dibutuhkan anak jalanan. Kebutuhan utama anak yang turun ke jalan karena ingin bekerja ialah pengalaman bekerja dan tambahan uang saku. Rumah singgah memberikan uang saku kepada anak binaan agar mereka mengurangi keberadaannya di jalanan. Selain itu, upaya yang dilakukan rumah singgah untuk memberikan pengalaman kerja kepada anak jalanan ialah dengan mengadakan pelatihan keterampilan yang dilanjutkan dengan magang kerja. Pelayanan sosial yang diberikan RSBAP dapat mengakomodasi kebutuhan anak jalanan sesuai dengan latar belakang mereka turun ke jalan. Hal ini menyebabkan tingkat kepuasan mereka tidaklah jauh berbeda. Oleh karena itu, alasan anak turun ke jalan tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan mereka terhadap pelayanan rumah singgah.
7.1.5 Hubungan Tipe Anak Jalanan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Berdasarkan hubungan dengan keluarganya, terdapat dua tipe anak jalanan yang ditemui dalam penelitian ini, yaitu children on the street dan children of the street. Tipe anak jalanan diduga berhubungan dengan tingkat kepuasan anak jalanan dalam pelayanan rumah singgah. Anak jalanan dengan tipe children of the street diduga memiliki penilaian yang lebih positif dibandingkan anak jalanan dengan tipe children on the street. Anak jalanan dengan tipe children of the street tidak memiliki ketergantungan dengan orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memenuhi kebutuhan mereka tanpa adanya bantuan dari orangtua. Ketika mereka mendapat pelayanan rumah singgah diduga memiliki tingkat kepuasan yang tinggi yang berimplikasi pada penilaian yang positif terhadap pelayanan rumah singgah.
85
H0
: Tidak terdapat hubungan antara tipe anak jalanan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah.
H1
: Terdapat hubungan antara anak jalanan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah.
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Anak Jalanan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah
Tipe Anak Jalanan Children on the street n
%
Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat Puas
0 8 15 2
0 32 60 8
Total
25
100
Children of the street n % 0 0 2 40 3 60 0 0 5
100
Total %
n 0 10 18 2
0 33,3 60,0 6,7
30
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepuasan anak jalanan dengan tipe children on the street dan children of the street tidak jauh berbeda. Sebagian dari mereka merasa puas dengan pelayanan yang diberikan rumah singgah. Hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik Chi-Square yang memperoleh nilai Asymp.Sig (2-side) sebesar 0,729 lebih besar dari α (0,05) sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, tipe anak jalanan tidak berhubungan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Pada pengujian statistik menggunakan Chi-Square, data penilaian anak jalanan dikelompokkan menjadi dua kategori yakni tidak puas dan puas. Hal ini disebabkan terdapat tabel kosong ketika menggunakan tabel 3x4. Anak jalanan dengan tipe children on the street masih berhubungan dengan keluarganya namun sangat jarang. Mereka berhubungan melalui saluran komunikasi telepon ataupun pesan elektronik. Pemenuhan kebutuhannya tidak diperoleh dari keluarganya tetapi dari hasil bekerja di jalanan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi anak jalanan dengan tipe children of the street. Anak jalanan dengan tipe ini sudah putus hubungan dengan keluarganya. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil bekerja di jalan. Oleh karena itu tidak
86
ada perbedaan antara kedua tipe anak jalanan dalam hal tingkat kepuasan terhadap pelayanan rumah singgah.
7.1.6 Hubungan Pengalaman Anak Jalanan di Rumah Singgah dengan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah Pengalaman anak jalanan di rumah singgah adalah lamanya anak jalanan menjadi anak binaan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi. Pengalaman anak binaan di rumah singgah diduga berhubungan dengan tingkat kepuasan dalam pelayanan rumah singgah. Semakin lama pengalaman anak jalanan di rumah singgah maka semakin positif penilaiannya terhadap pelayanan rumah singgah. Semakin lama anak jalanan dibina oleh RSBAP maka semakin banyak pelayanan sosial yang mereka terima. H0
: Tidak terdapat hubungan antara pengalaman responden di rumah singgah dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
H1
: Terdapat hubungan antara pengalaman responden di rumah singgah dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Anak Jalanan di rumah singgah dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Pengalaman di Rumah Singgah Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah
< 5 tahun
5 sampai 8 tahun
> 8 tahun
n
n
n
%
%
Total
%
n
%
Sangat tidak puas
0
0
0
0
0
0
0
0
Tidak puas
7
46,7
1
9,1
2
50,0
10
33,3
Puas
8
53,3
8
72,7
2
50,0
18
60,0
Sangat Puas
0
0
2
18,2
0
0
2
6,7
15
100
11
100
4
100
30
100
Total
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak binaan yang memiliki pengalaman satu sampai empat tahun, lima sampai delapan tahun dan di atas 8 tahun memiliki penilaian yang positif yakni merasa puas dengan pelayanan yang diberikan rumah singgah. Hasil korelasi Rank Spearman
87
menunjukkan nilai Asymp.Sig (2-side) sebesar 0,223 lebih besar dari α (0,05) sehingga H0 diterima dan H1 diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan antara pengalaman anak jalanan di rumah singgah dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Pelayanan yang diberikan RSBAP kepada anak binaan tidak berdasarkan lamanya mereka menjadi anak binaan. Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan diberikan secara merata kepada anak binaan. Pembinaan yang dilakukan setiap hari ditujukan untuk semua anak binaan. Semua anak binaan mendapatkan perlakuan yang sama. Contohnya, apabila anak binaan memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar maka pembina RSBAP bersedia membiayainya tidak melihat ia anak binaan yang baru bergabung atau yang telah lama bergabung. Pengalaman anak jalanan di rumah singgah tidak menentukan keaktifan mereka dalam mengikuti setiap kegiatan RSBAP. Menurut pimpinan RSBAP, terdapat anak jalanan yang telah lama terdaftar sebagai anak binaan namun mereka tidak aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan RSBAP. Hal ini sangat disayangkan, karena apabila mereka aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan terutama terkait dengan pendidikan dan pemberdayaan, mereka akan mendapatkan manfaat bagi kehidupan mereka. Hal ini disebabkan kegiatankegiatan tersebut sengaja dirancang untuk meningkatkan keberdayaan anak jalanan.
7. 2
Faktor Eksternal
7.2.1 Hubungan Tingkat Kekerasan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Anak jalanan rentan mendapatkan kekerasan baik secara fisik maupun non-fisik. Tingkat kekerasan diduga berhubungan dengan tingkat kepuasan anak jalanan dalam pelayanan rumah singgah. Semakin tinggi tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan di jalanan maka semakin positif penilaian anak jalanan. Upaya perlindungan yang diberikan rumah singgah membuat anak jalanan dengan tingkat kekerasan yang tinggi merasa aman sehingga diduga mempengaruhi penilaian mereka.
88
H0
: Tidak terdapat hubungan antara tingkat kekerasan yang dialami responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
H1
: Terdapat hubungan antara tingkat kekerasan yang dialami responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Kekerasan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah
Tingkat Kekerasan Rendah n
Sedang
%
n
Total
Tinggi
%
n
%
n
%
Sangat tidak puas
0
0
0
0
0
0
0
0
Tidak puas
9
34,6
1
25,0
0
0
10
33,3
15
57,7
3
75,0
0
0
18
60
2
7,7
0
0
0
0
2
6,7
26
100
4
100
0
0
30
100
Puas Sangat Puas Total
Anak jalanan dengan tingkat kekerasan rendah, terdapat 34,6 persen yang merasa tidak puas, 57,7 persen yang merasa puas dan 7,7 persen yang merasa sangat puas dengan pelayanan yang diberikan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi. Anak jalanan dengan tingkat kekerasan yang sedang memiliki penilaian yang hampir sama dengan anak jalanan yang mengalami tingkat kekerasan yang rendah. Anak jalanan dengan tingkat kekerasan sedang, terdapat 25 persen yang merasa tidak puas dan 75 persen yang merasa puas pelayanan rumah singgah. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan nilai Asymp.Sig (2-side) sebesar 0,891 lebih besar dari α (0,05) sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, tidak terdapat hubungan antara tingkat kekerasan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Upaya rumah singgah untuk melindungi anak jalanan yang mengalami kekerasan yaitu dengan menyediakan tempat berlindung yang aman dan melakukan penanganan bagi anak yang mengalami tindak kekerasan. Apabila anak jalanan ditangkap oleh petugas keamanan atau polisi, pihak RSBAP akan mengupayakan mereka agar keluar dari penjara. Keberadaan mereka di dalam penjara memungkinkan mereka mendapatkan kekerasan dari orang di dalamnya.
89
Anak jalanan dengan tingkat kekerasan rendah maupun sedang, sebagian besar merasa puas dengan pelayanan rumah singgah. Pelayanan rumah singgah dalam hal perlindungan dari kekerasan, diberikan sama kepada setiap anak binaan. Anak binaan dengan tingkat kekerasan yang rendah merasa tinggal di rumah singgah lebih aman dibanding tinggal di jalanan. Resiko untuk
menerima
penindasan dari orang lain menjadi berkurang. Hal serupa juga dirasakan oleh anak jalanan dengan tingkat kekerasan yang sedang.
7.2.2 Hubungan Tingkat Interaksi dalam Rumah Singgah dengan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah Interaksi anak jalanan dalam rumah singgah dilihat dari tingkat kehadiran anak jalanan dalam kegiatan yang dilaksanakan rumah singgah dan tingkat kekraban antara anak jalanan dengan pembina maupun sesama anak binaan rumah singgah. Diduga tingkat interaksi anak jalanan dalam rumah singgah berhubungan dengan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. H0
: Tidak terdapat hubungan antara tingkat interaksi responden dalam rumah singgah dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah.
H1
: Terdapat hubungan antara tingkat interaksi responden dengan penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah. Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan dengan tingkat
interaksi yang tinggi memiliki penilaian yang positif terhadap pelayanan rumah singgah, yakni 80 persen responden merasa puas dan 10 persen responden merasa sangat puas. Anak jalanan yang tingkat interaksinya rendah memiliki penilaian yang rendah pula. Hal ini ditunjukkan dengan 66,7 persen responden merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan rumah singgah.
90
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Kekerasan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah
Tingkat Interaksi dalam Rumah Singgah Rendah n
Sedang
%
n
Total
Tinggi
%
n
%
n
%
Sangat tidak puas
0
0
0
0
0
0
0
0
Tidak puas
2
66,7
7
41,2
1
10,0
10
33,3
Puas
1
33,3
9
52,9
8
80,0
18
60,0
Sangat Puas
0
0
1
5,9
1
10,0
2
6,7
Total
3
100
17
100
10
100
30
100
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan nilai Asymp.Sig (2-side) sebesar 0,040 lebih kecil dari α (0,05) sehingga sehingga H1 diterima dan H0 ditolak. Tingkat interaksi anak jalanan dalam rumah singgah berhubungan dengan penilaian anak jalanan terhadap
pelayanan rumah singgah. Nilai koefisian
korelasi sebesar 0.395 yang berarti hubungan antara duavariabel tersebut rendah tetapi pasti. Artinya, semakin tinggi tingkat interaksi anak jalanan dalam rumah singgah maka semakin positif penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Kegiatan yang diikuti anak jalanan RSBAP, meliputi bimbingan agama, pendidikan paket A/B/C, pelatihan keterampilan kerja, bekerja bakti, curhat bersama dan menginap di rumah singgah. Tingginya frekuensi anak jalanan dalam kegiatan tersebut membuat anak jalanan memperoleh manfaat yang lebih banyak. Hal ini terkait dengan tingkat kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Tingkat keakraban yang tinggi dapat membuat anak jalanan merasa memiliki keluarga baru yang memberikan kasih sayang kepada mereka. Pembina RSBAP berperan sebagai kakak maupun orang tua. Sementara itu, kebanyakan anak jalanan memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan keluarganya. Peran pembina ini sangat dibutuhkan anak jalanan. Hal inilah yang mempengaruhi tingkat kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan yang diberikan rumah singgah.
91
7.2.3 Ikhtisar Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi ternyata tidak berhubungan dengan usia anak jalanan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, alasan menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan, pengalaman anak jalanan di rumah singgah dan tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan. Pelayanan yang diberikan rumah singgah disesuaikan dengan karakteristik anak jalanan, sehingga tingkat kepuasan tidak dipengaruhi oleh faktor tersebut. Faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah adalah tingkat interaksi anak jalanan di rumah singgah. Interaksi anak jalanan dalam rumah singgah dilihat dari tingkat kehadiran anak jalanan dalam kegiatan yang dilaksanakan rumah singgah dan tingkat kekraban antara anak jalanan dengan pembina maupun sesama anak binaan rumah singgah. Tingginya frekuensi anak jalanan dalam kegiatan yang diadakan di rumah membuat anak jalanan memperoleh manfaat yang lebih banyak. Tingkat keakraban yang tinggi dapat membuat anak jalanan merasa memiliki keluarga baru yang memberikan kasih sayang kepada mereka. Hal inilah yang mempengaruhi tingkat kepuasan anak jalanan dalam pelayanan yang diberikan rumah singgah.
BAB VIII HUBUNGAN PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH DENGAN PERILAKU MEREKA Rumah singgah merupakan suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Tujuan khusus rumah singgah yaitu (1) membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, (2) mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau di panti dan lembaga pengganti lainya jika diperlukan dan (3) memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak (Munajat, 2001). Tujuan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi yaitu (1) mengembangkan sikap mental positif, (2) membangun akhlak al-karimah, (3) menggali serta memberdayakan potensi yang dimiliki warga belajar dan (4) Memberikan gambaran akan kepastian masa depan dengan berbekal berbagai keterampilan kerja dan pengembangan usaha mandiri, serta penempatan kerja. Dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pelaksanaan rumah singgah difokuskan pada dua hal, memberdayakan anak jalanan dan mengubah perilaku mereka agar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pemberdayaan anak jalanan yang dilakukan oleh RSBAP melalui dua aras pembedayaan, yaitu aras mikro dan mezzo. Pada aras mikro, pemberdayaan dilakukan terhadap anak jalanan secara individu melalui bimbingan dan konsultasi. Hal ini dilakukan untuk membimbing anak jalanan untuk dapat menyelesaikan setiap tugas-tugas dalam kehidupannya. Pada aras mezzo, pemberdayaan dilakukan kepada anak jalanan secara berkelompok dengan memberikan pendidikan dan pelatihan. Dinamika kelompok dalam proses pembelajaran tersebut dapat meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan sikap anak jalanan agar memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari masyarakat umum sering dipandang sebagai deviant (penyimpang). Mereka sering kurang dihargai dan dicap sebagai orang yang kumuh, malas dan pembuat onar, yang disebabkan oleh
93
dirinya sendiri. Penilaian negatif ini mendorong anak jalanan untuk berperilaku negatif. Pemberdayaan yang dilakukan RSBAP salah satunya ialah untuk mengubah perilaku anak jalanan yang menyimpang agar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
8.1
Hubungan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah dengan Perilaku Anak Jalanan Pelayanan sosial yang diberikan RSBAP kepada anak jalanan harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan yang mereka hadapi. Fungsi rumah singgah harus dijalankan sebaik mungkin agar tujuan rumah singgah dapat tercapai. Penilaian mengenai keberfungsian rumah singgah dapat diketahui dengan melihat tingkat kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan yang diberikan rumah singgah. Penilaian tersebut diduga akan mempengaruhi perilaku anak jalanan yang dibina oleh RSBAP. Semakin positif penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah diduga semakin baik perilaku mereka. Tabel 17 menggambarkan penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah dan perilaku mereka. H0
: Tidak terdapat hubungan antara penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah dengan perilaku mereka.
H1
: Terdapat hubungan antara penilaian responden terhadap pelayanan rumah singgah dengan perilaku mereka.
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Penilaian terhadap Pelayanan Rumah Singgah Perilaku
Sangat tidak puas n
%
Tidak puas n
%
Puas n
Total
Sangat puas %
n
%
n
%
Buruk
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Kurang baik
0
0
5
50
3
16,7
0
0
8
26,7
Baik
0
0
5
50
11
61,1
2
100
18
60
Sangat Baik
0
0
0
0
4
22,2
0
0
4
13,3
Total
0
0
10
100
18
100
2
100
30
100
94
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 50 persen anak jalanan yang merasa tidak puas terhadap pelayanan rumah singgah dan berperilaku kurang baik. Anak jalanan yang merasa puas dengan pelayanan rumah singgah dan berperilaku kurang baik sebanyak 16,7 persen. Tidak anak jalanan yang merasa sangat puas dengan pelayanan rumah singgah dan memiliki perilaku kurang baik. Data tersebut menunjukkan semakin negatif penilaian mereka maka perilaku mereka semakin kurang baik. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan nilai Asymp.Sig (2-side) sebesar 0,031 lebih kecil dari α (0,05) sehingga H1 diterima dan H0 ditolak. Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah mempengaruhi perilaku anak jalanan. Nilai koefisian korelasi sebesar 0.395 yang berarti hubungan antara dua variabel tersebut rendah tetapi pasti. Artinya, semakin positif penilaian anak jalanan dalam pelayanan rumah singgah maka semakin baik perilaku anak jalanan. Anak jalanan yang memiliki penilaian positif terhadap pelayanan rumah singgah memiliki tingkat interaksi dalam rumah singgah yang tinggi. Hal ini terbukti dalam hasi uji korelasi pada bab sebelumnya. Interaksi yang tinggi di dalam rumah singgah menyebabkan mereka memperoleh manfaat yang banyak bagi kehidupan mereka. Kegiatan yang diselenggarakan RSBAP memberikan perubahan perilaku anak jalanan. Kegiatan tersebut membangkitkan kesadaran dan pengetahuan yang kemudian diharapkan berpengaruh dalam perilaku mereka. Bimbingan agama diberikan pembina untuk membangkitkan kesadaran mereka mengenai keberadaan Allah dalam hidupnya. Pembangkitan kesadaran anak jalanan secara edukatif perlu dilakukan oleh lingkungan sekitarnya sehingga diharapkan dapat menimbulkan perubahan perilaku yang bertahan lama (Sugiharto, 2004). Diajarkan pula mengenai tata cara beribadah dan perilaku sesuai dengan aturan Agama Islam. Kemudian, pembina memberi contoh dan mengajak anak binaan untuk mempraktekkan hal yang telah diajarkan. Hal ini terkait dengan konsep penguatan utama yang dapat membantu dalam upaya mengubah perilaku, yakni penjadwalan (Hersey dan Blanchard yang dikutip Sugiharto, 2004). Pembina melakukan kegiatan keagamaan bersama anak binaan secara rutin agar anak binaan terbiasa untuk beribadah.
95
Selain itu, anak jalanan juga memberikan pendidikan formal, informal maupun non-formal. Pengajaran dirancang untuk menjadikan anak jalanan menjadi manusia yang terpelajar. Pengajaran yang dilakukan di dalam rumah singgah dalam suasana kekeluargaan, karena metode pengajaran disesuaikan dengan karakteristik anak jalanan. Hal ini bertujuan agar materi yang diberikan kepada anak jalanan dapat mudah dipahami oleh anak jalanan. Apabila sudah dipahami anak jalanan diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya. Memberikan pelayanan yang memuaskan anak jalanan sangatlah penting demi terwujudnya tujuan rumah singgah. Penelitian ini membuktikan bahwa penilaian anak jalanan dalam penelitian ini mempengaruhi perilaku mereka.
8.2
Perubahan Perilaku Anak Jalanan Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan perilaku anak jalanan
ketika sebelum dan sesudah mendapatkan pelayanan sosial yang diberikan RSBAP. Ketika anak jalanan belum menjadi anak binaan RSBAP, sebagian dari mereka memiliki perilaku yang kurang baik, yaitu sebanyak 53,3 responden. Sedangkan anak jalanan yang memiliki perilaku yang baik sebanyak 46,7 persen. Setelah anak jalanan dibina oleh RSBAP, terdapat perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Sebanyak 60 persen responden berperilaku baik dan 13,3 persen responden berperilaku sangat baik. Persentase anak jalanan yang berperilaku kurang baik menurun menjadi 26,7 persen. Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Anak Jalanan Sebelum dan Setelah Menjadi Anak Binaan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010. Perilaku Anak Jalanan Buruk
Sebelum menjadi anak binaan RSBAP n
Setelah menjadi anak binan RSBAP
%
n
%
0
0
0
0
Kurang baik
16
53,3
8
26,7
Baik
14
46,7
18
60
0
0
4
13,3
30
100
30
100
Sangat Baik Total
96
H0
: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku responden sebelum menjadi anak binaan RSBAP dengan setelah menjadi anak binaan RSBAP.
H1
: Terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku responden sebelum menjadi anak binaan RSBAP dengan setelah menjadi anak binaan RSBAP. Berdasarkan hasil Uji Mann-Whitney diperoleh nilai Asymp.Sig (2-side)
sebesar 0,001 lebih kecil dari α (0,05) sehingga H1 diterima dan H0 ditolak. Artinya, ada perbedaan yang signifikan antara perilaku anak jalanan sebelum menjadi anak binaan RSBAP dengan setelah menjadi anak binaan RSBAP. Berbagai pelayanan sosial yang diberikan RSBAP mengarahkan anak jalanan untuk berperilaku lebih baik. Pemenuhan kebutuhan anak jalanan seperti: kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal dan uang saku menyebabkan berkurangnya keberadaan mereka di jalanan. Anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalanan dengan tujuan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika rumah singgah mememenuhi berbagai kebutuhan anak jalanan tersebut maka membuat anak jalanan mengurangi intensitas bekerja di jalanan karena bebannya untuk memenuhi kebutuhan telah berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan anak binaan di jalanan telah berkurang. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu di rumah singgah. “Sekarang saya udah jarang ngamen lagi kak. Kalo di rumah singgah bawaannya males keluar. Makan ada, tiduran enak. Pokoknya jadi males kerja kak” (SYN, 18 tahun). Pembinaan mental dan spiritual yang dilakukan pembina kepada anak jalanan dalam kehidupan sehari-hari ditujukan untuk dapat merubah tingkah laku mereka dalam hal kebiasaan hidup. Maksudnya, mengajarkan anak jalanan untuk dapat hidup teratur. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan perilaku anak jalanan dalam hal kebiasaan mandi dan berganti pakaian. Anak jalanan sebelum menjadi anak binaan RSBAP, mereka jarang mandi teratur dua kali sehari. Terdapat anak jalanan yang mandi tiga hari sekali bahkan dua minggu sekali. Setelah mereka mandi biasanya mereka menggunakan baju yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki pakaian yang cukup.
97
Upaya pembina untuk mengurangi mengkonsumsi rokok, minuman keras dan narkoba dilakukan dengan cara memberitahu mengenai akibat dan memberlakukan peraturan untuk melakukan hal tersebut di dalam rumah singgah. Anak binaan yang tertangkap tangan sedang mengkonsumsi minuman keras dan narkoba akan dikenakan sanksi oleh pembina. Anak binaan tidak boleh tinggal dan mengikuti kegiatan di RSBAP. Pemberian sanksi ini pun efektif untuk mengurangi perilaku negatif tersebut. Hal ini terkait dengan konsep penguatan utama yang dapat membantu dalam upaya mengubah perilaku, yakni hukuman (punishment) ((Hersey dan Blanchard yang dikutip Sugiharto, 2004). “Dulu saya pernah ketauan lagi minum sama pembina, terus saya dihukum ga boleh tinggal di rumah singgah selama sepuluh hari. Saya kapok kak.” (SHR, 16 tahun). Terdapat anak binaan RSBAP yang pada awalnya hidup terpisah dengan keluarga kemudian tinggal kembali bersama keluarganya. Pembinaan tidak hanya diberikan kepada anak binaan, jika memungkinkan pembinaan diberikan pula kepada orang tuanya. Pembinaan yang diberikan kepada orang tua biasanya dilakukan dengan pemberian modal usaha. Hal ini dilakukan atas pertimbangan bahwa sebagian besar anak turun ke jalana karena ketidakmampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhannya. Pembinaan dilakukan agar keluarga dapat merangkul anak mereka dan mengajaknya untuk tinggal bersama kembali.
8.3
Ikhtisar Pelayanan yang diberikan oleh rumah singgah merupakan upaya
pemberdayaan anak jalanan yang diharapkan berdampak pada perilaku mereka. Oleh karena itu, memberikan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan anak jalanan sangatlah penting. Tujuan pelaksanaan rumah singgah yakni mengubah perilaku anak jalanan dan mengembalikan mereka untuk tinggal kembali bersama keluarganya. Kegiatan yang dilaksanakan RSBAP mampu mengubah perilaku anak jalanan ke arah yang lebih baik. Waktu yang digunakan anak jalanan untuk berkeliaran di jalanan menjadi berkurang. Anak jalanan menjadi lebih sering melakukan ibadah dan teratur dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Mereka juga sudah dapat
98
memilih teman baik dalam hubungan sosialnya di jalanan. Selain itu, terdapat beberapa anak binaan RSBAP yang kembali tinggal bersama keluarganya. Oleh karena itu, dapat dikatakan rumah singgah berhasil untuk menangani permasalahan anak jalanan.
BAB IX PENUTUP 9.1
Kesimpulan Rumah singgah merupakan lembaga yang mempertemukan anak jalanan
dengan berbagai lembaga yang dapat memberikan manfaat bagi mereka. Anak jalanan dapat singgah dan mendapat berbagai pelayanan sosial yang mereka butuhkan di rumah singgah. Keberadaan rumah singgah disebabkan semakin meningkatnya anak jalanan di Indonesia khussunya di kota-kota besar seperti DKI Jakarta. Rumah singgah diharapkan dapat mengurangi keberadaan anak jalanan dan mengembalikan mereka kepada keluarganya. Penilaian anak jalanan dalam pelayanan rumah singgah dilihat dari penilaian anak jalanan terhadap fungsi rumah singgah. Terdapat delapan fungsi rumah singgah, yaitu sebagai tempat pertemuan, pusat asesmen dan rujukan, fasilitator, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi. Sebagian besar anak jalanan memiliki penilaian yang positif terhadap fungsi rumah singgah sebagai tempat pertemuan, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi. Namun, terdapat dua fungsi rumah singgah yang dinilai tidak memuaskan anak jalanan yaitu fungsi rumah singgah sebagai pusat asesmen dan fasilitator. Upaya pembinaan yang dilakukan untuk mengubah perilaku mereka agar sesuai dengan norma yang berlaku diwujudkan dengan melakukan perlindungan, memberi pendidikan dan keterampilan serta menghadirkan suasana kekeluargaan di dalam rumah singgah. Upaya tersebut telah dilaksanakan dengan baik sehingga memberikan kepuasan yang tinggi kepada anak binaan. Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi ternyata tidak berhubungan dengan usia anak jalanan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, alasan menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan, pengalaman anak jalanan di rumah singgah dan tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan. Pelayanan yang diberikan rumah singgah disesuaikan dengan karakteristik anak jalanan, sehingga tingkat kepuasan tidak dipengaruhi oleh faktor tersebut.
100
Faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah adalah tingkat interaksi anak jalanan di rumah singgah. Interaksi anak jalanan dalam rumah singgah dilihat dari tingkat kehadiran anak jalanan dalam kegiatan yang dilaksanakan rumah singgah dan tingkat kekraban antara anak jalanan dengan pembina maupun sesama anak binaan rumah singgah. Tingginya frekuensi anak jalanan dalam kegiatan yang diadakan di rumah membuat anak jalanan memperoleh manfaat yang lebih banyak. Tingkat keakraban yang tinggi dapat membuat anak jalanan merasa memiliki keluarga baru yang memberikan kasih sayang kepada mereka. Pelayanan yang diberikan oleh rumah singgah merupakan upaya pemberdayaan anak jalanan yang diharapkan berdampak pada perilaku mereka. Oleh karena itu, memberikan pelayanan yang memuaskan anak jalanan sangatlah penting demi terwujudnya tujuan rumah singgah. Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah mempengaruhi perilaku anak jalanan. Artinya, semakin tinggi baik penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah maka semakin baik perilaku anak jalanan. Pelaksanaan rumah singgah dapat dikatakan efektif untuk menangani permasalahananak jalanan. Oleh karena itu, pembina rumah singgah seharusnya memperhatikan kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan sosial yang diberikan agar dapat tecapainya tujuan rumah singgah yang akhirnya dapat mengurangi keberadaan anak jalanan.
9.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian tingkat kepuasan anak jalanan terhadap
pelayanan RSBAP dirumuskan beberapa rekomendasi, yakni: 1. Keberadaan rumah singgah sangat penting untuk penanganan anak jalanan. Penelitian membuktikan bahwa rumah singgah dapat mengubah perilaku anak jalanan dan mengembalikan mereka untuk tinggal bersama keluarga. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat dapat mendukung pelaksanaan rumah singgah. 2. Mengacu pada kesimpulan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singga, pengelola RSBAP perlu memperbaiki fungsi rumah singgah sebagai
101
pusat asesmen dan rujukan serta fasilitator. Para pembina RSBAP diharapkan untuk lebih cepat tanggap dalam menyelesaikan permasalahan yang dirasakan anak binaan. Selain itu perlu ditingkatkan upaya untuk menguhubungkan kembali anak binaan dengan keluarganya dan lembaga-lembaga yang dapat memberikan manfaat bagi mereka. 3. Sebaiknya pemerintah memberikan perhatian kepada rumah singgah dengan memberikan bantuan dana operasional dan menyelenggarakan program pelatihan keterampilan anak jalanan. Perbaikan kualitas rumah singgah lebih diutamakan dibanding memperbanyak jumlah rumah singgah yang sudah ada.
102
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Sosial RI, 2005. Petunjuk Teknis Pelayanan Sosial Anak Jalanan. Departemen Sosial Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Sistem Penanganan Bagi Anak Jalanan dan Terlantar. Makalah Seminar “Pengembangan Model Penanganan Anak Jalanan Melalui Fungsionalisasi Rumah Singgah di Indonesia”, 20-22 Agustus 2002. ICMI. Jakarta. Arief,
Armai. 2002. Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan. http://anjal.blogdrive.com/archive/11.html diakses pada tanggal 5 Oktober 2010.
Buckingham, Alan dan Peter Sauders. 2008. The Survey Methods Workbook. Polity Press. Cambrige. Krismiyarsi, dkk. 2004. Efektivitas Kebijakan Pemerintah Mengenai Penanganan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Laporan Penelitian. Fakultas Hukum. Universitas 17 Agustus 1945. Semarang. Listiawati, Ika. 2010. Analisis Tingkat Kepuasan Petani Terhadap Kinerja Penyuluh Lapang di BP3K Wilayah Ciawi Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Sarjana Manajemen Penyelenggaraan Khusus. Departemen Manajemen. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor. Marliana, Wina. 2006. Analisis Tingkat Kekerasan Pada Anak Jalanan. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Munajat, Danang. 2001. Penelitian Tentang Efektivitas Rumah Singgah Terhadap Perubahan Sikap dan Perilaku Anak Jalanan. Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. Yogyakarta. Nasdian, Fredian Tonny. 2006. Pengembangan Masyarakat. Bahan Ajar Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. Bogor. Rangkuti, Freddy. 2008. Measuring Customer Satisfaction. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
103
Prayifto, Rizal. 2010. Sikap dan Perilaku Remaja Desa dalam Menggunakan Telepon Seluler. Skripsi. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. Saripudin, Didin dkk. 2009. Model Resosialisasi Anak Jalanan. Laporan Penelitian. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta. Sugiharto, Sri Tjahjorini. 2004. Strategi Mengubah Perilaku Anak Jalanan: Sebuah Pemikiran. http://www.linkpdf.com/download/1-dl/strategimengubah-perilaku-anak-jalanan-sebuah-pemikiran-.pdf diunduh pada tanggal 1 Januari 2011. Suhartini, Tina. 2008. Strategi Bertahan Hidup Anak Jalanan. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian,IPB. Bogor. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. PT Refika Aditama. Bandung. Triyanti, Maria A.A.A. 2001. Pemberdayaan Anak Jalanan di DKI Jakarta. Tesis. Program Studi Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Jakarta. Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial. ANDI. Yogyakarta Yudi, Kespa Krismituhu. 2006. Analisis Peranan Rumah Singgah Dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian,IPB. Bogor. Zulfadli, 2004. Pemberdayaan Anak Jalanan dan Orangtuanya Melalui Rumah Singgah (Studi Kasus Rumah Singgah Amar Makruf I Kelurahan Pasar Pandan Air Mati Kecamatan Tanjung Harapan Kota Solok Propinsi Sumatra Barat). Tesis. Institut Pertanian Bogor.
104
LAMPIRAN
105
Lampiran 1. Struktur Organisasi Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi
STRUKTUR ORGANISASI RUMAH SINGGAH BINA ANAK PERTIWI Tahun 2010
Pembina Drs. Ahmad Zayyadi
Pimpinan Abdus Saleh Maller
Staff Siti Wahdah Suliyati
Tenaga Administrasi Ali Muhtar
Pendamping Ali Santoso Suhardi
Sakti Peksos RR Zulia Kusuawardani Novita Dewi
Koordinator Anak Jalanan Ari M. Rizki
106
Lampiran 2. Data Responden No.
Nama
Usia (Tahun)
Tahun Masuk ke RSBAP
1
Abdul Qodir
22
2003
2 3
Andi P. Pratama Katmu
18 18
2004 2007
4 5 6
Sahrul Ramadhan Suryatno Dede Saputra
16 18 15
2005 2005 2006
7
Febrianto P. Alonso
17
2004
8
Antoni Arief
17
2005
9
Agam Dodit Saputra
18
2002
10 11 12
Adji Alfian Priyanto Rizal Desembrian Mahrus Ali
19 15 16
2006 2010 2010
13
Riki Wirma
18
2005
14 15
Asep Dwi Umbara Jafarrudi
20 22
2010 2000
16
Abel Mutinho
20
2010
17
Ary M. Rizky
20
2001
18
Muhammad Zainuri
18
2006
19 20 21
Aliyudin Roni Habib Ramdan Juhri
20 21 18
2010 2009 2004
22
Dedi Suryana
16
2003
23
Deinil I. Irawan
19
2006
24
Chandra Efendi R.
19
2006
25
Ridwan Hidayat
18
2006
26
Firman
20
2001
27 28
Ali Rifki
22 20
1998 2008
29
Agus S. Al-Robani
20
2006
30
Wardima Jayadi
17
2003
107
Lampiran 3. Daftar Anak yang Dikembalikan ke Orangtua No
Nama anak
Tempat Tanggal Lahir
Nama Orangtua
1
Abdul Karim
Jakarta, 10-09-1992 Timin
2
Afriana
Jakarta, 25-04-1990 Muslih
3
Anggraini
Jakarta, 18-06-1990 Manih
4
Apriadi
Jakarta, 18-08-2003 Mawardi
5
Diana Putri
Depok, 17-02-1995
Adi
6
Erlambang Aji Satrio
Jakarta, 29/06/1993
A. Wahab
7
Fahmi Anggara
Jakarta, 16-08-1996 Koko
8
Fauzi
Jakarta, 14-Juli2001
9
Koko Purwanto
Jakarta, 06-10-1992 Badri
10 11
Malik Abdul Azis Muhammad Subhan
Mawardi
Jakarta, 19-05-1995 Timin
Alamat Jl. Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan Gg. Stasiun Citayam Depok Gg. Stasiun Citayam Depok Pejaten Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan Citayam Depok Gg. Masjid Istiqomah No.14 Jati Padang Pasar Minggu Jakarta Selatan Jl. Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan Pejaten Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan Jl. Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan Jl. Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan
Jakarta, 12-01-1991 Nachrawi
Limo Depok
12
Puput Mea
Depok, 17-01-1997
Andi
Stasiun Depok Baru Kampung Lio Depok
13
Ria Aprilia
Bogor, 29 -4- 1992
Pandi
Citayam Depok
14
Rio Pioh
Jakarta, 31/08/1993
Yosep Jefri Pioh (Alm)
15
Septi Wulandari Jakarta, 01-12-1997 Ipin
16
Sri Badayani
17
Sri Pujianti
18
Tari Handayani
Yati Sutariyati Yati Jakarta, 27-07-1993 Sutariyati Jakarta, 31-05-1997
Jakarta, 27-05-1992 Masitoh
Gg. Masjid Istiqomah Pasar Minggu Jakarta Selatan Jl. Salihara Jati Padang Pasar Minggu Jl. Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan Jl. Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan Jl. Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan
108
Lampiran 4. Jadwal Kegiatan di Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi Tahun 2010 1. Bimbingan Agama dan Etika Bermasyarakat No
Kegiatan
1.
Shalat berjamah
2.
Mengaji Al-Qur‟an
3. 4.
5.
Tempat Aula Rumah Singgah Setiap waktu sholat Bina Anak Pertiwi 1. Aula Rumah Singgah Setelah shalat maghrib Bina Anak Pertiwi Aula Rumah Singgah Setelah malam jumat Bina Anak Pertiwi Waktu
Membaca Yasin dan tahlil Konsultasi permasalahan anak Praktek ibadah (wudhu, shalat, shalat Janazah, dll)
1. Aula Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi Dua minggu sekali setiap malam jumat Aula Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi setelah shalat isya‟ Setelah shalat isya‟
2. Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan a. Pendidikan Jadwal Mata Pelajaran Program Paket A, B, dan C HARI/JAM
PAKET A
PAKET B SENIN
09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 15.30-16.30 16.30-17.30 17.30-18.30
Matematik (L) B.Indonesia (S) Pend.Ag.Islam (W) -
B.Indonesia (S) Pend.Ag.Islam (W) Matematika (L) -
09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 15.30-16.30 16.30-17.30 17.30-18.30
IPA (L) B. Inggris (AS) PPKN (W) -
PPKN (W) Sejarah (S) B. Ingris (AS) -
09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 15.30-16.30 16.30-17.30 17.30-18.30
IPS (W) -
Fisika/Biologi (L) Ekonomi (S) Giografi (W) -
PAKET C
NAMA GURU
Matematika (L) Sosiologi (EL) B.Indonesia (S)
Siti Wahdah (W) Lutfiah, S.Th. I (L) Sandy Partini S.Th. I (S) Elis, S.Ag. (EL)
Sejarah Ekon/Akuntansi (S) Tata Negara (EL)
Siti Wahdah (W) Lutfiah, S.Th. I (L) Sandy Partini S.Th. I (S) Elis, S.Ag. (EL) Asmuni (AS)
B. Inggris (AS) Antropologi (EL) Pend.Ag.Islam (NS)
Siti Wahdah (W) Lutfiah, S.Th. I (L) Sandy Partini S.Th. I (S) Elis, S.Ag. (EL) Asmuni (AS) KH. Moh. Nasiruddin (NS)
SELASA
RABU
109
Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Periode 2010-2011
Hari
Jam
Mata Pelajaran
Nama Guru
Senin
09.00-10.15 10.30-11.45
Pendidikan Agama Islam B. Inggris / Motivasi
Ali Muhtar Robert
Selasa
09.00-10.15 10.30-1145
Matematika Kewirausahaan
Ali Muhtar Ahmad Zayyadi
Rabu
09.00-10.15 10.30-11.45
IPA IPS
Siti Wahdah, S.Th.I. Abdus Saleh Maller
Kamis
09.00-11.00
PPKN B. Indonesia
Ali Santoso Suhardi
Sabtu
10.00-12.00
Keterampilan
Ali Muhtar/Sutarji
b. Pelatihan Keterampilan No
Kegiatan
1
Pelatihan dan Kegiatan Pemberdayaan Sosial Keluarga Miskin melalui Lembaga Keuangan Mikro Sosial (LKMS) April 2010 Pelatihan Teknisi HP (19 Agustus - 2 September 2010)
17 orang tua anak binaan
Dinas Sosial SKI Jakarta
Dinas Sosial DKI Jakarta
30 orang
Masjid Atta;awun, Puncak, Bogor
Workshop Pengembangan Model Kreatifitas Anak 25 sampai 27 November 2010 Penyuluhan Kesehatan dan Reproduksi Remaja dan Penyuluhan Tubelcolosis (TBC) 10 Desenber 2010
30 orang
Hotel Delamar Palasari Indah Puncak Yayasan Bina Anak Pertiwi
Yayasan Bina Anak Pertiwi Bekerjasama dengan CSR Telkomsel Kementrian Soisal
2.
3.
4.
Peserta
40 orang
Tempat
Penyelenggara
Yayasan Bina Anak Pertiwi bekerjasama dengan Puskesmas Pasar Minggu
3. Pengembangan Minat dan Bakat (Seni Budaya) No
Kegiatan
Peserta
Tempat
Penyelenggara
1.
Children Talent Competitions V Se-Jabodetabek 31 Juli 2010 Gema Ramadan untuk Anak Jalanan 26 Agustus 2010 Lomba Kreativitas Musik Anak Jalanan (Juara I) 30 September – 3 Oktober 2010
5 orang
Yayasan Rumah Kita (RK) Yayasan Bina Anak Pertiwi
Yayasan Rumah Kita (RK) Yayasan Bina Anak Pertiwi
JHCC Jakarta
Kemnentrian Sosial RI
2.
3.
150 Orang
5 orang
110
4. Kegiatan Lainnya pada Tahun 2010 NO. 1. 2.
KETERANGAN Program Beasiswa Bagi Anak Jalanan, Rentan ke jalan, Anak Terlantar dan Dhuafa Assesment Anak Jalanan
VOLUME
TEMPAT
115 Orang
Yayasan Bina Anak Pertiwi
47 Orang
Lampu Merah Blok M Bulungan Jakarta Selatan
Yayasan Bhakti Nurul Iman
40 Orang
Yayasan Bina Anak Pertiwi
Yayasan Bina Anak Pertiwi
40 Orang
Yayasan Bina Anak Pertiwi
Yayasan Bina Anak Pertiwi
30 Orang
GOR Tanah Abang Jakarta Pusat
PT. ITM Pembangunan Tbk.
35 Orang
Yayasan Bina Anak Pertiwi
Mahasiswa Gizi Pecinta Alam (Magipala)
3.
Oprasi Erlangga Nusantara
1 Orang
4.
Operasi Kanker Payudara Puji Astuti
1 Orang
Rumah Sakit Fatmawati
5.
Tatap Muka PMKS dengan Gubernur dan Mensos
1000 Orang
6.
General Chek Up dan Pengobatan Gratis
200 Orang
8. 9. 10.
Pembukaan Rekening Tabungan Untuk 40 Anak Asuh Buka Puasa dan Penyerahan Buku TABUNGANKU untuk anak asuh Buka puasa bersama Anak jalanan dengan PT. ITM Pembangunan Tbk. Buka Puasa dan Santunan Anak Jalanan dan Dhuafa
Yayasan Bina Anak Pertiwi Dinas Sosial bekerjasama dengan Rumah Singgah, Sudin Sosial, PSM, Tagana, Karang Taruna dll Yayasan Bina Anak Pertiwi, Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit POLRI Keramat Jati Jakarta Timur Operasi dapat terlaksana berkat kerjasama Bina Anak Pertiwi dengan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati. Dinas Sosial DKI Jakarta Bekerjasama dengan Forum Rumah Singgah DKI Jakarta PKPU
Rumah Sakit Polri Keramat Jati Jakarta Timur
7.
PENYELENGGARA
Gor Pemuda Otista Jakarta Timur
111
11.
12.
Buka puasa bersama dan santunan lebaran anak asuh Buka Puasa Bersama Anak Jalanan dan Keluarga Anak Jalanan sekaligus santunan untuk keluarga anak jalanan berupa paket sembako
70 orang
Yayasan Bina Anak Pertiwi
Bunda Raisis A. Panigoro
20 Orang
Kementerian Sosial RI
Kementerian Sosial RI
1 Orang
RSCM
Yayasan Bina Anak Pertiwi, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, RSCM Yayasan Bina Anak Pertiwi, Kelompok Arisan Kudrumaya dan Kelompok Kajian Islam Raudhah Yayasan Bina Anak Pertiwi, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Rumah Sakit Fatmawati
13.
Operasi Mata Tahap Kedua Abdul Rahman
14.
Buka Puasa Bersama Anak Jalanan, Pemulung Anak, dan keluarga
150 Orang
15.
Perawatan Abdul Qodir Jilani Selama 18 Bulan
1 Orang
Rumah Sakit Fatmawati
16.
Gema Ramadan & Santunan Anak-anak Daerah Terpencil 2010
150 Orang
Lereng Gunung Siem Sukadamai Sukamakmur Bogor Jawa Barat
Yayasan Bina Anak Pertiwi
200 orang
Yayasan Bina Anak Pertiwi
Mahasiswa FK UI Depok
40 Orang
Yayasan Bina Anak Pertiwi
Bang Rully dkk
30 Anak
Yayasan Bina Anak Pertiwi
Ibu Emma dan Teman-teman Artis
50 Orang
Yayasan Bina Anak Pertiwi
Ibu Lynn Yunus
1 Orang
Kemensos RI
Peksos & Kementrian Sosial RI
2 Orang
SMK YAPIMDA
Peksos, Pengurus yayasan & pihak sekolah
17. 18. 19. 20.
21.
22.
Sahur bersama anak jalanan dan keluarga anak jalanan Buka Puasa Anak Jalanan Bersama Artis Buka Puasa Bersama dan Santunan Anak Yatim dan Dhuafa Buka Puasa bersama anak jalanan, yatim, dan dhuafa Rapat Hari Anak Nasional 2010 di Kementrian Sosial RI {Mempersiapkan pelaksanaan peringatan hari anak nasional yang diselenggarakan oleh kementrian social} Pendampingan anak kesekolah (Bridging course) Menghantarkan anak pada sekolah
PLK Bumi Pertiwi Yayasan Bina Anak Pertiwi
112
23.
24.
25.
26.
27.
formal SMK YAPIMDA Peringatan Hari Anak Nasional 2010 di Kementrian Sosial RI {Mendampingi anak untuk mengetahui ruangan-ruangan yang ada di kementrian social} Mengikuti kegiatan Puncak Hari Anak Nasional 2010 di TMII bersama Presiden RI Home Visit 1. {Terjadi kasus anak bunuh diri yaitu Alm. Basir, anak laki-laki usia 11 tahun. Alm.Basir memiliki dua adik yang tidak bersekolah. Yaitu Novi berusia 9 tahun dan M.Rizky yang berusia 7 tahun} 2. Silahturahmi dengan keluarga anak korban bunuh diri. Dan Membawakan bingkisan untuk keluarga korban dari Yayasan Bina Anak Pertiwi Pendaftaran anak sekolah (Bridging Course) 1. {Pihak sekolah menyambut dan menerima dengan baik kedua anak tersebut untuk bersekolah di MI AlHikmah} 2. {Mendaftarkan anak sekolah (Novianti dan M.Rizky) di MI AlHikmah} Mendampingi Sidak Menteri Sosial {Terjadi kasus anak yang melakukan bunuh diri dipasar impress pasar minggu Jakarta Selatan}
12 Orang
Peksos, Kementrian Sosial RI dan Anak Jalanan Kemensos RI
40 Orang 2 Orang
TMII
Kemendiknas RI
Pasar Penampungan Pasar Pasar Minggu Jakarta Selatan
Peksos & Keluarga Korban dan Yayasan Bina Anak Pertiwi
4 Orang
Sekolah Al-Hikmah Jati Padang Pasar Minggu
Sakti Peksos
10 Orang
Pasar Pempungan Pasar Minggu Jakarta Selatan
Kemensos RI dan Yayasan Bina Anak Pertiwi
113
Lampiran 5. Dokumentasi
114