ANALISIS PERANAN RUMAH SINGGAH DALAM UPAYA PERLINDUNGAN ANAK JALANAN (Kasus Rumah Singgah Rumah Kita, Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Oleh : KESPA KRISMITUHU YUDI A14201023
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN KESPA KRISMITUHU YUDI. ANALISIS PERANAN RUMAH SINGGAH DALAM UPAYA PERLINDUNGAN ANAK JALANAN. Kasus Rumah Singgah Rumah Kita, Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat (Dibawah Bimbingan TITIK SUMARTI M.C) Krisis moneter yang melanda Indonesia beberapa tahun silam membawa dampak yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat Indonesia di segala bidang, terutama di bidang sosial ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Hal ini merupakan salah satu hal yang menyebabkan tingginya fenomena anak jalanan di perkotaan. Kehidupan jalanan yang rawan akan kekerasan baik dalam bentuk fisik, psikologis dan seksual tentu saja membuat kita merasa iba. Oleh karena itu anak jalanan sangat membutuhkan perlindungan. Salah satu upaya perlindungan dapat dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan (sandang, pangan, papan, pendidikan, kasih sayang, dan kesehatan) yang dilakukan oleh rumah singgah. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana peranan rumah singgah terhadap upaya perlindungan anak jalanan. Secara rinci tujuan penelitian adalah : (1) mendeskripsikan karakteristik anak jalanan dan latar belakang anak turun ke jalan, (2) mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi anak jalanan, (3) mendeskripsikan pola interaksi yang terjadi di rumah singgah dan (4) mengidentifikasi peranan rumah singgah terhadap upaya perlindungan anak jalanan. Penelitian dilakukan pada komunitas anak jalanan binaan rumah singgah Rumah Kita, Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat tepatnya di Gang Mesjid no.158 RT 05 RW 01. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan (1) Rumah Kita merupakan rumah singgah yang cukup lama berdiri yaitu sekitar 5 tahun dan tetap eksis dengan program-program pembinaannya. (2) lokasi mudah dijangkau oleh peneliti. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan metode pemilihan responden dengan sensus, dimana responden adalah seluruh anak jalanan binaan yang berjumlah 30 orang. Karakteristik anak jalanan binaan Rumah Kita dilihat berdasarkan jenis kelamin, jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan. Sebagian besar anak jalanan binaan Rumah Kita adalah laki-laki (25 orang). Jenis pekerjaan yang dominan dilakukan adalah sebagai pengamen. Pendidikan anak jalanan termasuk dalam kategori rendah artinya sebagian besar anak jalanan mengenyam pendidika n hanya sampai tamat Sekolah Dasar. Latar belakang anak turun ke jalan adalah karena kemiskinan keluarga, adanya konflik keluarga dan juga motivasi untuk bekerja (ingin mencari pengalaman). Sebagian anak binaan Rumah Kita berasal dari golongan keluarga miskin sekali. Sebagian besar dari mereka juga mengalami tekanan karena adanya
konflik antar orangtua (broken home) dan juga terlibat konflik antar responden dengan orangtua yang tergolong sedang. Hal ini berarti bahwa cukup sering terjadi perselisihan dalam sebuah keluarga. Selain itu motivasi untuk bekerja yang tergolong sedang (cukup tinggi) membawa mereka turun ke jalan. Hal ini dikarenakan tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakukan oleh anak jalanan seperti menjadi pengamen, pedagang asongan, tukang sol sepatu dan sebagainya. Pekerjaan tersebut dijalani oleh anak jalanan karena tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Kehidupan jalanan memiliki konsekuensi yang cukup memprihatinkan bagi setiap orang terutama anak-anak. Penindasan yang dihadapi anak jalanan binaan Rumah Kita tergolong sedang, artinya mereka cukup sering mengalami penindasan di tingkat keluarga, di lingkungan kerja sehari-hari dan di tingkat pemerintah. Di tingkat keluarga mereka mengalami ancaman, pukulan, makian, tendangan, dan pengusiran yang dilakukan orangtua maupun saudara kandung. Ketika di lingkungan kerja mereka harus menghadapi pemalakan, penghinaan, keroyokan, pelecehan seksual dari sesama anak jalanan maupun masyarakat umum. Selain itu mereka juga harus dikejar-kejar aparat keamanan, ditangkap dan dipenjarakan dan tidak jarang yang mengalami pelecehan seksual. Ironis karena mereka adalah orang-orang yang sepatutnya dilindungi. Pola interaksi yang tergolong sedang terjadi di tempat ini. Hal ini dapat terlihat melalui frekuensi kehadiran dalam kegiatan pembinaan, tingkat keakraban, dan tingkat penyelesaian masalah. Sebagian besar anak jalanan memiliki frekuensi kehadiran yang cukup sering dalam kegiatan pembinaan, dan mereka akui bahwa kegiatan yang diberikan di rumah singgah sangat bermanfaat. Mereka dapat mengembangkan keterampilan menyablon, menjahit, dan bermain musik. Apabila mereka tekun dan mampu mempraktekan pembinaan yang diberikan di Rumah Kita maka mereka akan hidup lebih baik di masa depan misalnya dengan membuka jasa sablon atau jahit. Suasana keakraban juga terjalin sangat baik, ada keterikatan emosional antar sesama anak jalanan dan antara anak jalanan dengan kakak pembinanya. Anak jalanan cukup sering melakukan pembicaraan dan konsultasi yang bersifat pribadi dengan kakak pembina. Mereka merasa ada yang mendengarkan curahan hati (curhat) dan permasalahan yang dihadapi dalam pergaulan sehari-hari seperti memiliki pacar, bertengkar dengan sesama anak jalanan bahkan bila dikejar-kejar petugas keamanan dan ketertiban. Dalam upaya penyelesaian masalah, mereka cukup sering terlibat dan bebas mengemukakan pendapat sehingga mereka merasa dihargai. Misalnya, pembuatan jadwal kegiatan pembinaan yang dihasilkan atas kesepakatan bersama antara kakak pembina dengan anak-anak binaan sehingga tidak ada yang merasa dipaksakan dalam menjalani kegiatan pembinaan. Peranan rumah singgah Rumah Kita dalam upaya perlindungan anak jalanan dapat dinilai cukup baik. Hal ini dapat terlihat dari terpenuhinya hak dan kebutuhan anak jalanan di Rumah Kita seperti kebutuhan makan, kebutuhan pakaian, kebutuhan kesehatan, kebutuhan tempat tinggal/berlindung, kebutuhan pendidikan, kebutuhan kasih sayang dan perhatian, serta hak untuk memiliki harapan dan cita-cita. Hal-hal yang berhubungan dengan penilaian responden (anak jalanan) terhadap upaya perlindungan yang cukup baik adalah (1) tingkat pendidikan, dimana sebagian besar
pendidikan anak jalanan tergolong rendah (mengenyam pendidikan hingga tamat SD) sehingga pembinaan keterampilan sangat dibutuhkan oleh mereka, (2) tingkat kemiskinan keluarga, karena hampir seluruh anak jalanan binaan Rumah Kita berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya dengan baik, (3) tingkat konflik keluarga seperti pertengkaran antar orangtua juga pemukulan yang dilakukan ayah pada ibu atau orangtua pada anak yang cukup sering dialami anak jalanan sehingga mereka membutuhkan rasa aman yang dipenuhi di rumah singgah, (4) penindasan anak jalanan yang terjadi di tingkat keluarga, lingkungan kerja sehari-hari dan tingkat pemerintahan dan (5) pola interaksi yang tergolong sedang (cukup tinggi) antara anak jalanan dengan kakak pembina dan antar sesama anak jalanan di rumah singgah.
ANALISIS PERANAN RUMAH SINGGAH DALAM UPAYA PERLINDUNGAN ANAK JALANAN (Kasus Rumah Singgah Rumah Kita, Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Agustus, 2006
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Kespa Krismituhu Yudi
NRP
: A14201023
Program Studi
: Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Penelitian
:
Analisis Peranan Rumah Singgah dalam Upaya
Perlindungan Anak Jalanan (Kasus di Rumah Singgah Rumah Kita, Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir. Titik Sumarti M.C, MS NIP. 131 569 245 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698 Tanggal Lulus Ujian:
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS
PERANAN
RUMAH
SINGGAH
DALAM
UPAYA
PERLINDUNGAN ANAK JALANAN” (KASUS RUMAH SINGGAH RUMAH KITA, KELURAHAN GUNUNG BATU, KECAMATAN BOGOR BARAT, KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN
UNTUK
TUJUAN
MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 1 Agustus 2006
Kespa Krismituhu Yudi A14201023
RIWAYAT HIDUP Penulis yang bernama Kespa Krismituhu Yudi lahir di Jakarta, 01 Oktober 1982 sebagai anak tertua dari dua bersaudara pasangan Solechan dan Sudarwati. Selama hidupnya, penulis menempuh pendidikan formal pada: q
Tahun 1989-1995 di SD. MARDI YUANA, Bogor.
q
Tahun 1995-1998 di SLTPN 5, Bogor.
q
Tahun 1998-2001 di SMUN 2, Bogor. Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB). Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti Lomba Presenter TV yang diadakan oleh Badan Eksekutif Ma hasiswa Fakultas Pertanian pada tanggal 3 Oktober 2005 dan aktif dalam kegiatan kepanitiaan MAKRAB (Malam Keakraban) KPM angkatan 38.
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan terimakasih setinggi-tingginya Kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat cinta dan kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini, juga kepada Bapak dan Ibu tercinta serta Septi Peni Naluri my lovely sister, untuk doa dan dukungannya kepada penulis selama ini. Tuhan memberkati kalian selamanya. Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti M.C, MS. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasihat berharga kepada penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi. 2. Ibu Ir. Sarwititi Agung, M.Si sebagai dosen Penguji Utama atas waktu dan saran yang diberikan kepada penulis. 3. Ibu Ratri Virianita, M.Si. selaku dosen Penguji Komdik yang telah memberikan bimbingan dan pengarahannya kepada penulis. 4. Seluruh dosen pengajar dan staff pada program studi KPM, atas waktu dan bimbingannya kepada penulis, tanpa kalian penulis bukan siapa-siapa. 5. Mbak Eny, Mbak Diana, Mbak Dini dan semua anak jalanan di Rumah Kita. Hanya ucapan ‘hatur nuhun pisan’ yang mampu penulis sampaikan. 6. Heri Purwanto, SE. Masku tercinta yang tak pernah lelah memberikan cinta, doa dan kasih sayangnya dan atas kesetiaannya mendampingi penulis. There
is no end to love you babe. Tidak lupa juga kepada Keluarga Cimanggu atas kasih sayang dan perhatiannya. 7. My Lovely Aunty, Le’Marsih. Atas dukungannya selama ini, walaupun jauh di mata tetapi dekat di hati. 8. Kakak dan sahabatku Mbak Yuana Eviyanti, terimakasih atas suka dan duka yang kita alami bersama, semoga tali silaturahmi tetap terjalin. 9. Sahabat tercintaku Rossy Dinaryati, Monalisa, Santi Rimadias, Rokhila Farida, terimakasih yang sangat luar biasa atas kesetiaan dan atas besarnya perhatian serta kasih sayang yang diberikan tanpa henti kepada penulis. 10. Sahabat setiaku Anik Kurniati, Bravo!! cukup lama dan berkesan perjalanan yang kita lalui sebagai sahabat. Thanks for everything my dear friend. 11. Sahabat-sahabat tercinta Astri Testiandini, Uthie, Butet, Uchie, Vieta, Rika Aprianti, Skini, Aya, Nana, Cecil dan seluruh anak-anak KPM’38 atas dukungan dan kasih sayang kepada penulis. Thats all so sweet guys. 12. Bapak Edy Julianto beserta keluarga di Pondok Aren atas dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis. Tuhan memberkati kalian. 13. Bapak Asep Muslihat dan Asep Kurnia beserta keluarga yang telah menyediakan fasilitas demi lancarnya proses penulisan skripsi ini. Akhir kata ‘tiada gading yang tak retak’, semoga tulisan kecil ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan tentu dengan segala keterbatasannya. Bogor, 1 Agustus 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................
6
1.4 Kegunaan Penelitian...................................................................................
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS ...................................................................
7
2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................................
7
2.1.1 Rumah Singgah ................................................................................
7
2.1.1.1 Definisi Rumah Singgah .......................................................
7
2.1.1.2 Tujuan dan Fungsi Rumah Singgah ......................................
8
2.1.1.3 Pola Interaksi di Rumah Singgah ..........................................
10
2.1.2 Anak Jalanan ....................................................................................
12
2.1.2.1 Batasan Anak Jalanan ...........................................................
12
2.1.2.2 Pekerjaan Anak Jalanan ........................................................
13
2.1.2.3 Pendidikan Anak Jalanan ......................................................
14
2.1.2.4 Latar Belakang Anak Turun ke Jalan....................................
15
2.1.2.5 Permasalahan Anak Jalanan ..................................................
19
2.1.3 Perlindungan Anak ...........................................................................
21
2.1.3.1 Definisi Perlindungan Anak ..................................................
21
2.1.3.2 Ciri-ciri Anak yang Membutuhkan Perlindungan.................
22
2.2 Kerangka Pemikiran ...................................................................................
24
2.3 Hipotesis.....................................................................................................
28
2.4 Definisi Operasional...................................................................................
28
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................
33
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................
33
3.2 Metode Penelitian.......................................................................................
33
3.3 Pemilihan Responden dan Informan ..........................................................
34
3.4 Metode Pengumpulan Data ........................................................................
34
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data.......................................................
34
BAB IV GAMBARAN RUMAH SINGGAH RUMAH KITA ..................
39
4.1 Sejarah Berdirinya Rumah Kita .................................................................
39
4.2 Struktur Organisasi Rumah Kita ................................................................
43
4.3 Lokasi Rumah Kita ....................................................................................
46
4.4 Kondisi Fisik dan Fasilitas Rumah Kita.....................................................
46
4.5 Kegiatan Pembinaan di Rumah Kita ..........................................................
48
BAB V PEMBAHASAN ...............................................................................
50
5.1 Karakteristik Anak Jalanan dan Latar Belakang Anak Turun Ke Jalan.....
50
5.1.1 Karakteristik Anak Jalanan Rumah Kita ...........................................
50
5.1.2 Latar Belakang Anak Turun ke Jalan ................................................
54
5.2 Penindasan Terhadap Anak Jalanan ...........................................................
58
5.3 Pola Interaksi di Rumah Singgah ...............................................................
59
5.4 Analisis Peranan Rumah Singgah Terhadap Upaya Perlindungan Anak Jalanan ........................................................................................................
61
5.4.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan.........................................
63
5.4.2 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan.........................................
65
5.4.3 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan.........................................
66
5.4.4 Hubungan Tingkat Kemiskina n Keluarga dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan...........................
67
5.4.5 Hubungan Tingkat Konflik Keluarga dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan...........................
69
5.4.6 Hubungan Motivasi untuk Bekerja dengan Upaya Perlindungan.....
71
5.4.7 Hubungan Tingkat Penindasan Anak Jalanan dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan...........................
72
5.4.8 Hubungan Pola Interaksi Anak Jalanan dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan...........................
74
BAB VI PENUTUP .......................................................................................
76
6.1 Kesimpulan ................................................................................................
76
6.2 Saran...........................................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
79
LAMPIRAN ....................................................................................................
82
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman Teks
Tabel 1. Jenis Tindakan Kekerasan yang dialami Anak Jalanan ....................
21
Tabel 2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data ..........................................
38
Tabel 3. Data Anak Jalanan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ...............
43
Tabel 4. Jadwal Kuliah Rumah Kita ...............................................................
48
Tabel 5. Komposisi Anak Jalanan Menurut Jenis Kelamin, di Rumah Kita, 2006...................................................................................................
50
Tabel 6. Komposisi Anak Jalanan Menurut Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin, di Rumah Kita, 2006 .........................................................
51
Tabel 7. Komposisi Anak Jalanan Menurut Tingkat Pendidikan, di Rumah Kita, 2006 .............................................................................
53
Tabel 8. Jenis Pekerjaan Orangtua Anak Jalanan Binaan Rumah Kita ..........
54
Tabel 9. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Kemiskinan Keluarga, di Rumah Kita, 2006 ........................................................
55
Tabel 10.Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Konflik Keluarga, di Rumah Kita, 2006 .........................................................................
56
Tabel 11.Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Motivasi untuk Bekerja, di Rumah Kita, 2006 .........................................................................
57
Tabel 12. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Penindasan, di Rumah Kita, 2006 .........................................................................
58
Tabel 13. Pola Interaksi Anak Jalanan di Rumah Kita, 2006 ..........................
60
Tabel 14. Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 ................................................
Tabel 15. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Kelamin dan
61
Perananan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 ...........................................................
63
Tabel 16. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Perananan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006..........................................................
65
Tabel 17. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Perananan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 ..........................................................
66
Tabel 18. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Kemiskinan Keluarga dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 .................................................
67
Tabel 19. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Konflik Keluarga dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 ..........................................................
69
Tabel 20. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Motivasi untuk Bekerja dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 ..........................................................
71
Tabel 21. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Penindasan dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 ..........................................................
72
Tabel 22. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Pola Interaksi dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006...........................................................
74
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman Teks
Gambar 1. Piramida Hierarki Kebutuhan Maslow...........................................
17
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran............................................................
27
Gambar 3. Struktur Organisasi Rumah Kita ....................................................
44
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman Teks
Lampiran 1. Kuesioner .....................................................................................
82
Lampiran 2. Peta Lokasi Rumah Kita ..............................................................
88
Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi ........................................................................
89
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian ...............................................................
93
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sejak krisis moneter beberapa tahun silam, kehidupan masyarakat Indonesia di segala bidang menjadi tidak menentu, bahkan mengalami kemunduran. Krisis moneter sangat berpengaruh terutama dalam kehidupan sosial ekonomi dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin yang menghantarkan bangsa Indonesia pada suatu
permasalahan
yang
semakin
kompleks
(Departemen
Sosial,
2004).
Meningkatnya jumlah anak jalanan membuktikan fenomena kemiskinan yang merupakan satu dari sekian permasalahan yang muncul dan perlu perhatian serius dari berbagai pihak. Fenomena anak jalanan di perkotaan semakin kompleks dan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya. Childope (1993) dalam Amal (2002) menyatakan bahwa fenomena anak jalanan merupakan indikator utama terhadap adanya kemelaratan perkotaan dan krisis nilai-nilai sosial yang menghadang negaranegara berkembang. Pada tahun 1998, Menteri Sosial menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 50.000 anak dan 10 persen diantaranya adalah perempuan (Irwanto dkk, 1999 dalam Shalahudin, 2004). Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup dan bekerja serta melakukan aktivitasnya di jalanan yang ditinggalkan, diterlantarkan maupun melarikan diri dari keluarganya. Pada masyarakat perkotaan, keberadaan anak jalanan merupakan pemandangan umum yang menyertai aktivitas sehari-hari. Segala bentuk kegiatan
mereka lakukan untuk menghasilkan uang, antara lain menjadi pengamen, pengemis, penjual koran, penyemir sepatu, penjual minuman dan sebagainya. Pasar, gedunggedung kosong, gerbong kereta api, emperan toko, taman kota dan terminal menjadi tempat komunitas anak jalanan untuk mencari nafkah sekaligus sebagai tempat bernaung walaupun sebagian dari mereka masih ada yang tinggal bersama orangtua dan di rumah singgah. Anak-anak yang selayaknya mengenyam pendidikan ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah sebagian besar karena faktor ekonomi (Shalahudin, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Atmajaya (1999) mengidentifikasi hal-hal sebagai berikut : 1. Anak jalanan terkonsentrasi di 312 ibukota yang ada di Indonesia 2. Usia anak jalanan sebagian besar dalam kategori antara 15-18 tahun (41 persen), 12-14 tahun (33 persen), 6-11 tahun (24 persen) dan dibawah 6 tahun (2 persen) 3. Sebagian besar dari mereka beraktifitas sebagai pengemis, pengamen, tukang lap mobil, pedagang asongan dan kuli angkut barang 4. Mayoritas anak jalanan terkonsentrasi di perempatan jalan, pasar, terminal dan pusat-pusat perbelanjaan 5. Pada umumnya anak jalanan kurang berpendidikan (pendidikan rendah/tidak sekolah). Jumlah anak jalanan laki-laki yang tidak tamat SD sebesar 54 persen dan yang tidak pernah sekolah 3 persen sedangkan anak jalanan perempuan yang tidak tamat SD sebesar 46 persen dan tidak pernah sekolah 10 persen. 6. Anak jalanan rentan terhadap perlakuan salah, pelanggaran hukum, tindak kekerasan fisik, psikologis dan seksual.
Kehidupan jalanan menimbulkan konsekuensi munculnya tindakan kekerasan dan perlakuan salah terutama bagi anak-anak. Sangat rentan bagi anak-anak jalanan khususnya perempuan terhadap perilaku kekerasan, baik kekerasan fisik, psikologis maupun eksploitasi seksual. Berdasarkan hasil monitoring Pengelola Anak Jalanan Semarang (PAJS) tahun 1997 terdapat 22 kasus kekerasan fisik di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-September 1996. Selain kekerasan yang dialami secara personal, terdapat juga kekerasan terhadap komunitas seperti kasus yang terjadi di Semarang, yaitu pengusiran anak-anak jalanan dari rumah singgah oleh pengelolanya sendiri dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala (Aliansi, 2000 dalam Shalahudin, 2004). Sementara menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial, Pudji Hastuti, pada tahun 1998 sebanyak 150.000 anak jalanan di berbagai kota besar di Indonesia bekerja dan hidup di jalanan. Mereka tidak memiliki rumah tinggal dan tidak terlindungi. Selain itu, menurut perkiraan terdapat sekitar 40.00070.000 anak, terutama anak perempuan, dieksploitasi secara seksual dan terikat dengan jaringan prostitusi anak. Sekitar 4000 anak juga terlibat dalam kriminalitas dan dipenjara tanpa ada jalan keluarnya. Bogor merupakan kota yang berada pada peringkat ketiga setelah Jakarta dan Bandung yang memiliki jumlah anak jalanan cukup besar, yaitu terdapat 694 anak jalanan (Dinas Sosial Kota Bogor, 2002), tidak hanya dapat disebut sebagai kota sejuta angkot namun dapat juga diibaratkan sebagai ‘kota sejuta anak jalanan’ sedangkan di Jakarta terdapat 2218 anak jalanan dan sekitar 986 anak jalanan tersebar di kota Bandung (Departemen Sosial, 2001). Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota
Bogor tahun 2004, jumlah anak jalanan di Bogor sekitar 781 orang, meningkat jumlahnya bila dibandingkan tahun 2002. Melihat kenyataan tersebut maka perlu dilakukan upaya perlindungan, baik oleh masyarakat maupun pihak-pihak terkait. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, salah satunya dengan menandatangani Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1999 pemerintah mensahkan UU No. 3 tentang peradilan anak. Pada tahun 2000 pemerintahan Abdurrahman Wahid menandatangani Konvensi ILO No. 182 tentang penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pemerintah juga membentuk UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Namun tampaknya segala upaya tersebut tidak terealisasikan dengan baik bahkan hampir semua pasal yang bersifat melindungi dilanggar (Prabowo, 2004). Alternatif lain pembinaan terhadap anak jalanan yang dikelola secara swadaya oleh pihak swasta ataupun pemerintah adalah melalui pendirian pondok pemberdayaan anak jalanan yang terkumpul pada suatu tempat dinamakan dengan istilah Rumah Singgah. Keberadaan rumah singgah dimaksudkan sebagai tempat berteduh dan memperoleh perlindungan agar dapat bertumbuh serta berkembang seperti anak lainnya. Selama di rumah singgah, anak-anak berkumpul dari berbagai latar belakang etnis, agama tanpa dibedakan satu dengan yang lainnya. Melalui rumah singgah anak dapat bermain serta bercanda dengan sesama anak jalanan dan pekerja sosial. Keberadaan rumah singgah baru berkembang sejak tahun 1997 bersamaan dengan terjadinya krisis moneter. Pada tahap awal, rumah singgah berfungsi untuk penanganan secara terarah terhadap anak jalanan. Pada tahap selanjutnya,
keberhasilan rumah singgah membina anak jalanan sangat ditentukan oleh program dan strategi yang digunakan di rumah singgah (Firman, 2005). Program rumah singgah yang digulirkan pemerintah untuk pengentasan ana k terlantar (termasuk anak jalanan) belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh anak-anak jalanan. Dari 781 anak jalanan di kota Bogor hanya sekitar 422 anak jalanan yang menjadi anak binaan rumah singgah (Dinas Sosial Kota Bogor, 2004). Dengan 4 buah rumah singga h yang ada di Bogor tentu saja tidak dapat menampung seluruh anak jalanan sehingga perhatian pemerintah sangat diharapkan. Namun upaya-upaya tersebut belum dapat mengatasi permasalahan anak jalanan secara optimal. Hal ini menyebabkan fenomena anak jalanan semakin meluas dan berlarut-larut. Bentuk perlindungan yang dibutuhkan bukan sekedar memberikan tempat penampungan bagi anak, namun dapat menyerahkan mereka pada lembagalembaga yang peduli pada kesejahteraan dan perlindungan anak dan mempunyai kewenangan untuk mengasuh sebagaimana layaknya seorang anak agar segera tercapai pemulihan (Setiawan, 2005). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan menganalisis peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan.
1.2. Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: 1. Bagaimana karakteristik anak jalanan dan latar belakang anak turun ke jalan? 2. Apa saja penindasan yang dihadapi anak jalanan binaan rumah singgah? 3. Bagaimana pola interaksi anak jalanan yang terjadi di rumah singgah?
4. Bagaimana peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan karakteristik anak jalanan dan latar belakang anak turun ke jalan. 2. Mendeskripsikan penindasan yang dihadapi anak jalanan binaan rumah singgah. 3. Mendeskripsikan pola interaksi anak jalanan yang terjadi di rumah singgah 4. Mengidentifikasi dan menganalisis peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan.
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi berkembangnya wawasan penulis dan seluruh mahasiswa serta bagi ilmu pendidikan sosiologi keluarga. Selain itu juga dapat menjadi wacana bagi lembaga-lembaga sosial dan pemerhati masalah anak dan anak jalanan sehingga mampu melakukan upaya perlindungan secara optimal dan menyeluruh. Tidak kalah penting bagi pemerintah daerah maupun pusat agar dapat membuat kebijakan yang mampu mengayomi dan memenuhi hak serta kebutuhan anak-anak terlantar seperti anak jalanan sebab mereka adalah generasi penerus bangsa.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Rumah Singgah 2.1.1.1. Definisi Rumah Singgah Rumah Singgah didefinisikan sebagai suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu menyelesaikan masalah-masalah sosial dan menemukan alternatif pemenuhan kebutuhan hidupnya (Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah Departemen Sosial RI Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial RI, 1999). Sedangkan menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial (1999), rumah singgah adalah tempat penampungan bagi anak jalanan dengan memberikan kemudahan bagi eksistensi mereka, memberikan pelayanan dan pembinaan yang bermisi sebagai penyiapan anak untuk masa depannya. Pengertian singgah yang dimaksudkan adalah : a. Anak jalanan boleh tinggal sementara untuk tujuan perlindungan, misalnya karena tidak punya rumah, ancaman atau tindak kekerasan yang dilakukan orangtua. b. Pada saat tinggal sementara mereka akan memperoleh pembinaan yang intensif dari pekerja sosial untuk menemukan situasi-situasi yang tertera pada butir pertama.
c. Anak jalanan datang sewaktu-waktu untuk bercakap-cakap, istirahat, bermain, mengikuti kegiatan. d. Rumah singgah tidak memperkenankan anak jalanan tinggal selamanya (maksimal sampai usia 18 tahun). e. Anak jalanan tidak diperkenankan tinggal menetap di rumah singgah kecuali dalam situasi darurat.
2.1.1.2. Tujuan dan Fungsi Rumah Singgah Tujuan rumah singgah pada umumnya adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya dan memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial (1999) menyebutkan fungsi rumah singgah adalah sebagai berikut : a. Fasilitator Rumah singgah memiliki fungsi sebagai perantara antara anak jalanan dengan keluarga, panti, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya. Anak jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung pada rumah singgah, melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah proses yang dijalaninya.
b. Kuratif-Rehabilitatif Pada fungsi ini, para pekerja sosial diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan memperbaiki sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan mampu memunculkan fungsi sosial anak yang dilakukan dengan cara atau intervensi profesional termasuk menggunakan konselor yang sesuai dengan permasalahannya. c. Perlindungan Rumah singgah dianggap sebagai tempat berlindung anak dari kekerasan, penyimpangan seks dan bentuk-bentuk lain yang terjadi di jalan. d. Pusat informasi Dalam fungsi ini, rumah singgah menyediakan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan dan lain-lain. e. Akses terhadap pelayanan Sebagai persinggahan, rumah singgah menyediakan akses kepada berbagai pelayanan sosial. Pekerja sosial membantu anak mencapai pelayanan tersebut. f. Resosialisasi Lokasi rumah singgah berada di lingkungan masyarakat sebagai upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Dengan harapan adanya pengakuan, tujuan dan upaya dari warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan. g. Pusat Rujukan
Pada fungsi ini, rumah singgah dapat dimanfaatkan sebagai rujukan bagi kebutuhan dan masalah anak jalanan yang tidak terselesaikan di jalan.
2.1.1.3. Pola Interaksi di Rumah Singgah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial (1999) menyatakan bahwa rumah singgah terbuka 24 jam bagi anak. mereka boleh datang kapan saja, siang hari maupun malam hari terutama bagi anak jalanan yang baru mengenal rumah singgah. Anak-anak yang sedang dibina dan dilatih, datang pada jam yang telah ditentukan. Hal ini memberikan kesempatan kepada anak jalanan untuk memperoleh perlindungan kapanpun. Para pekerja sosial siap dikondisikan untuk menerima anak dalam 24 jam tersebut. Disamping bekerja di rumah singgah, para pekerja sosial tetap akan berkunjung ke jalanan. Model rumah singgah memungkinkan anak jalanan menemukan situasi lain melalui rumah singgah. Mereka adalah anak yang rutin datang bahkan tinggal sementara, hanya datang sekali atau dua kali saja. Anak yang jarang dan enggan ke rumah singgah dikunjungi pekerja sosial di jalanan atau melalui program Mobil Unit Keliling (Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, 1998). Penciptaan suasana keluarga bertujuan agar anak jalanan dapat kembali menemukan konsep keluarga dimana untuk sebagian besar diantaranya tidak lagi dapat dipenuhi. Hubungan-hubungan yang informal, saling pengertian dan perlakuan secara adil dan sejajar merupakan kebutuhan utama dimana kondisi tersebut tidak diperoleh di jalanan atau diperoleh dengan cara yang salah melalui orang-orang yang hanya memanfaatkan mereka. Kehadiran anak jalanan dalam setiap kegiatan pembinaan, keakraban yang terjalin antar sesama anak jalanan dan antara anak jalanan dengan kakak pembina serta berbagai cara yang ditempuh anggota keluarga rumah singgah dalam menyelesaikan suatu masalah merupakan hal-hal yang dapat menunjukkan bagaimana pola interaksi di rumah singgah (Setiawan, 2000).
Pola hubungan seperti keluarga di rumah singgah dalam sosiologi keluarga, dapat dilihat melalui pendekatan interaksionis (diwakili oleh Simmel, Cooley dan Mead) menganggap bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan dan memanipulasi simbol-simbol dan untuk berfikir secara bebas dan kreatif. Fokus utama adalah pada interaksi manusia. Interaksi menunjuk pada hubungan yang khas yang terjadi antar anggota keluarga (dalam hal ini adalah hubungan antar sesama anak jalanan dan antara anak jalanan dengan para pekerja sosial). Kekhasan pada fakta manusia menginterpretasi atau mendefinisi tindakan satu sama lain. Anggota keluarga bertindak melalui penggunaan simbol-simbol, dengan konsep kunci adalah komunikasi. Kontrol sosial diperoleh melalui kasih sayang dan keserasian antar anggota keluarga. Interaksi keluarga adalah tindakan kolektif dari anggota keluarganya. Pemeliharaan dan memperteguh hubungan antara anak jalanan dengan pekerja sosial di rumah singgah memerlukan tindakan tertentu untuk mengembalika n keseimbangan. Rahmat (1997) dalam Firman (2005) menjelaskan empat faktor yang penting dalam memelihara keseimbangan hubungan, yaitu : 1. Keakraban, merupakan kebutuhan akan kasih sayang. Hubungan antar pribadi akan terpelihara apabila anak jalanan dengan pengelola rumah singgah sepakat menetapkan tingkat keakraban yang telah dibina. 2. Kesepakatan siapa yang akan mengontrol siapa dan bilamana. Jika dua orang mengambil pendapat berbeda sebelum mengambil kesepakatan siapa yang harus berbicara lebih banyak dan siapa menentukan dan dominan maka akan terjadi
konflik, karena masing-masing lebih mementingkan diri sendiri dan ingin berkuasa. 3. Ketepatan respon, artinya respon anak jalanan harus diikuti oleh respon pekerja sosial yang sesuai. Pertanyaan harus disambut jawaban dan lelucon disambut dengan tawa. 4. Keserasian suasana emosional ketika berlangsungnya hubungan. Jika seseorang berinteraksi dengan seseorang dan individu lainnya dalam suasana emosional yang berbeda maka interaksi tersebut menjadi tidak stabil.
2.1.2. Anak Jalanan 2.1.2.1. Batasan Anak Jalanan Soedijar (1989) dalam Amal (2002) menyatakan bahwa anak jalanan adalah anak-anak usia 7-15 tahun yang bekerja di jalan raya dan tempat umum lain yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya.
Dalam
diskusi
Badan
Koordinasi
Kesejahteraan
Sosial
(1996)
mendefinisikan anak-anak jalanan adalah anak-anak yang hidup dan bekerja di jalanan, ditinggalkan atau diterlantarkan, atau melarikan diri dari keluarga yang masih ada hubungan dengan keluarganya tetapi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalan. Rumah
Singgah
Yayasan
Kesejahteraan
Anak
Indonesia
(YKAI)
menggunakan batasan mengenai anak jalanan dimana mereka adalah anak-anak baik perempuan maupun laki-laki yang hidup di jalanan yang berusia 7-18 tahun. Lebih jauh Depsos (1999) mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang berusia di bawah
18 tahun yang sebagian besar waktunya dipergunakan untuk menjalankan berbagai aktivitas di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya. Aktivitas anak jalanan bukan hanya yang bertujuan mencari uang atau mencari nafkah, tetapi juga aktivitas bermain, istirahat, tidur atau belajar. Anak jalanan adalah anak-anak laki-laki
maupun
perempuan
yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk hidup atau beraktifitas di jalanan. Silva (1996) membagi anak jalanan dalam tiga kelompok. Pertama, anak-anak yang benarbenar hidup dan bekerja di jalanan karena terlantar atau diterlantarkan atau lari dari keluarga mereka, pada kelompok ini anak jalanan sudah putus hubungan dengan keluarga. Kedua adalah anak-anak yang menjaga hubungan dengan keluarga mereka tetapi menghabiskan waktunya di jalanan. Sedangkan yang ketiga adalah anak-anak dari keluarga yang hidup di jalanan. Keberadaan anak di jalanan untuk mencari nafkah menimbulkan beberapa ciri fisik dan psikis yang dapat membedakan dengan anak-anak lainnya, sebagaimana dinyatakan oleh Sunusi (1996) dalam Werdiastuti (1998) yaitu penampilan terlihat kusam dan pada umumnya berpakaian tidak rapi, aktivitas di jalanan bergerak cepat, tingkat kemandirian tinggi, memiliki semangat hidup tinggi, banyak akal atau kreatif, tidak mudah tersinggung, blak-blakan, penuh perhatian dan serius dalam mengerjakan sesuatu.
2.1.2.2. Pekerjaan Anak Jalanan Anak jalanan binaan rumah singgah YKAI melakukan pekerjaan yang sangat beragam, persentase terbesar ditempati oleh pengamen (69,86 persen), kemudian
diikuti oleh penjual koran (11,48 persen), penyemir sepatu (5,74 persen) dan 5,26 persen sebagai penjual kantong di pasar. Pekerjaan yang dijalankan oleh anak-anak jalanan pada umumnya bersifat kerja kasar. Namun yang mendominasi adalah pekerjaan sebagai pengamen (Amal, 2002). Berdasarkan hasil penelitian UNIKA Atmajaya, STKS Bandung, Kanwil Depsos Propinsi Jawa Barat serta beberapa LSM di Bandung (1999) dalam Amal (2002) bahwa aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh anak jalanan adalah sebagai pengamen. Mengamen bagi anak jalanan dianggap sebagai suatau pekerjaan yang menjanjikan dan tidak perlu memakai modal besar. Selain mengamen, anakanak juga banyak yang menjadi pedagang asongan. Alternatif kegiatan ini banyak dipilih anak karena modalnya tidak terlalu besar bahkan tidak perlu modal awal karena menggunakan sistem setoran. Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen Sosial (1998) dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu ; 1. Usaha dagang yang terdiri dari pedagang asongan, penjual koran, majalah serta menjual sapu atau lap kaca mobil. 2. Usaha di bidang jasa yang terdiri dari pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan kenek atau calo. 3. Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan lain-lain. 4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan tidak mempunyai pekerjaan tetap, dalam arti dapat berubah-ubah sesuai keinginan mereka.
Demikian juga dengan pendapat Nuryana (1998) yang membagi anak jalanan menjadi empat kategori yaitu pedagang asongan, pengamen, “polisi cepek” dan “joki three in one”.
2.1.2.3. Pendidikan Anak Jalanan Amal (2002) menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan tidak bersekolah lagi atau tidak melanjutkan pendidikannya. Namun masih ada juga yang masih sekolah meskipun tidak banyak jumlahnya. Kategori tidak bersekolah dapat dibagi menjadi : 1. anak yang tidak pernah bersekolah, 2. sekolah sampai kelas 2 SD (Sekolah Dasar), 3. bersekolah lebih dari kelas 3 SD namun tidak mampu menyelesaikan sekolahnya, 4. hanya lulus SD, 5. lulus SD dan melanjutkan ke SMP. Sedangkan untuk kategori yang melanjutkan pendidikan terbagi atas : 1. anak pada tingkat pendidikan kelas 2 SD, 2. lebih dari kelas 2 SD, 3. pada tingkat pendidikan SLTP. Menurut Hasanudin (2000), tingkat pendidikan anak jalanan dikategorikan atas kategori tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP dan tamat SMA. Anak jalanan yang tidak lagi bersekolah, selain disebabkan oleh ketidakmampuan orangtua untuk membiayai, juga disebabkan karena kurangnya motivasi anak untuk memperoleh haknya dalam hal pendidikan.
2.1.2.4. Latar Belakang Anak Turun ke Jalan Berdasarkan berbagai penelitian, penyebab anak turun ke jalan dapat dikelompokkan dalam dua kategori, kelompok pertama disebabkan karena kemisikinan struktural dan kelompok kedua karena kemiskinan fungsional. Kemiskinan struktural adalah ketiadaan keluarga atau keluarga yang telah hancur (broken home) sehingga seorang anak lari dan merasa lebih nyaman hidup di jalan karena merasa mendapat keluarga. Sementara kemiskinan fungsional, anak-anak turun ke jalan karena merasa tereksploitasi oleh keluarganya. Menurut Sunusi (1997) dalam Amal (2002), latar belakang anak turun ke jalan secara rinci dapat di jelaskan sebagai berikut : 1. Kondisi ekonomi keluarga Kegiatan anak-anak di jalanan berhubungan dengan kemiskinan keluarga dimana orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan dan papan) dari anggota keluarganya sehingga dengan terpaksa ataupun sukarela mencari penghidupan di jalan untuk membantu orangtua. 2. Konflik dengan/antar orangtua Selain faktor ekonomi, perselisihan dengan orangtua ataupun antar orangtua (disharmonis keluarga) menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak turun ke jalan dan akhirnya menjadi anak jalanan. 3. Mencari pengalaman Disamping alasan ekonomi dan konflik dalam keluarga, tidak jarang anak melakukan aktivitas di jalan dengan alasan mencari pengalaman untuk
memperoleh penghasilan sendiri. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar Jakarta yang pergi ke Jakarta untuk mencari pengalaman baru dan kehidupan baru yang lebih baik. Sebagian besar dari mereka tidak datang bersama orangtua, melainkan dengan saudara atau teman sebaya. Hal ini berhubungan dengan motivasi untuk bekerja. Berdasar pada kata dasarnya yaitu motif (bahasa latin: movere) yang berarti bergerak, motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan untuk kepuasan dirinya (Handoko, 1999). Faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi untuk bekerja dapat dijelaskan dengan Teori Hierarki Kebutuhan Maslow.
Kebutuhan aktualisasi diri Kebutuhan harga diri Kebutuhan sosial Kebutuhan terhadap keamanan Kebutuhan fisiologis
Gambar 1. Piramida Hierarki Kebutuhan Maslow 1. Kebutuhan aktualisasi diri (kepuasan terhadap hasil kerja yang mengandalkan kemampuan diri sendiri) 2. Kebutuhan harga diri (penghargaan internal seperti rasa percaya diri, otonomi dan prestasi dan penghargaan external seperti status, pengakuan dan perhatian).
3. Kebutuhan sosial (persahabatan, keakraban, penerimaan dan keterikatan) 4. Kebutuhan terhadap keamanan (rasa aman dan terlindungi dari resiko fisik mental). 5. Kebutuhan fisiologis (makanan, minuman dan tempat tinggal). Departemen Sosial (1998) mengungkapkan motivasi anak untuk bekerja dapat ditinjau dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dari individu yaitu faktor yang berasal dari dalam diri anak, yaitu keinginan untuk membantu keuangan orangtua dan keinginan untuk memiliki uang untuk membeli makanan dan pakaian sendiri. Sedangkan faktor eksternal dalam hubungan dengan orang lain yakni ketidakharmonisan keluarga, tidak ada biaya untuk meneruskan sekolah, kemampuan dari orangtua yang rendah untuk membiayai kelangsungan pendidikan anak dan adanya pengaruh dari teman-teman mereka sehingga mereka jadi anak jalanan. Sedangkan Sudrajat (1995) dalam Werdiastuti (1998) menjelaskan fenomena penyebab munculnya anak jalanan pada umumnya dalam tiga tingkatan, yaitu : 1. Tingkat Mikro (Immediate Causes) Merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi anak dan keluarganya, misalnya ketidakharmonisan dalam keluarga, penolakan oleh orangtua terhadap anak dan adanya kekerasan dalam keluarga. 2. Tingkat Meso (Undelying Causes) Merupakan faktor-faktor yang terdapat di masyarakat tempat anak dan keluarga berada, misalnya anak yang ikut migrasi bersama keluarga ke tempat kumuh. 3. Tingkat Makro (Basic Causes)
Merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan struktur makro dari masyarakat, seperti ekonomi, politik dan budaya. Pada umumnya anak jalanan berasal dari keluarga ekonomi lemah atau keluarga yang memiliki keterbatasan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Silvianti (1997) mengemukakan bahwa keberadaan anak jalanan umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga sehingga anak terpaksa ikut membantu ekonomi keluarga dengan bekerja. Selain itu, ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga yang sering berakhir dengan penganiayaan dan kekerasan fisik. Perlakuan yang dilakukan orangtua terhadap anak dapat menyebabkan anak melarikan diri dan akhirnya mereka hidup sebagai anak jalanan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Nuryana (1998) yang mengatakan munculnya anak jalanan erat kaitannya dengan latar belakang ekonomi dan sosial keluarga, selain itu adalah perlakuan salah terhadap anak menyebabkan anak tidak betah berada di rumah dan akhirnya memilih jalanan sebagai tempat tinggalnya. Kurangnya pengetahuan antara orangtua dan anak ikut pula mendukung munculnya anak jalanan. Ada pula anak jalanan yang mengalami broken home (disharmonisasi keluarga) sehingga menimbulkan konflik batin dan menyebabkan mereka merasa kehilangan panutan dan akhirnya menjadi korban.
2.1.2.5. Permasalahan Anak Jalanan Kehidupan jalanan pada kenyataanya diikuti oleh ancaman tidak terpenuhinya kebutuhan dan pelanggaran atas hak-hak anak. Anak-anak jalanan sering dihadapkan pada resiko yang mengancam keselamatannya, sperti resiko menerima tindakan
kekerasan, dipukuli, dikeroyok, dipers, dipalak, kecelakaan lalu lintas. Bahkan menurut Irwanto (1995) bahwa salah satu tindakan kekerasan yang dialami oleh anak adalah sodomi. Diantara anak jalanan yang mengalami resiko tindakan kekerasan itu dikarenakan tidak memiliki tempat tinggal yang memadai sehingga mereka terpaksa tidur rumah-rumah kardus, emperan toko, dibawah jembatan yang rawan terhadap penampilan perilaku anti sosial, ditandai dengan adanya tindakan berperilaku menyimpang dari norma hukum, agama dan etika seperti pemaksaan, pemerasan dan tindakan kriminal lainnya. Anak-anak yang dipekerjakan oleh orangtuanya di satu sisi dapat membantu namun di sisi lain tentu akan menimbulkan masalah bagi diri mereka sendiri. Permasalahan anak jalanan sudah dimulai dari ketidakharmonisan yang terjadi dalam keluarga mereka. Menurut Camelia (1999), ketidakharmonisan tersebut menunjukkan adanya penindasan anak jalanan di tingkat keluarga seperti ancaman, makian, pukulan, tendangan sampai pengusiran. Selain itu anak jalanan juga mengalami penindasan di lingkungan kerja sehari-hari, mi salnya konflik antara teman-teman sebaya di tempat pekerjaan dalam bersaing memperoleh rejeki, atau dengan premanpreman yang sering meminta uang (memalak) dan mengganggu ketenangan mereka dalam bekerja. Penindasan pada tingkat pemerintah juga dialami oleh anak jalanan, seperti penangkapan, pelecehan seksual dan kekerasan fisik lainnya yang dilakukan petugas keamanan. Demikian juga menurut Depsos (2004), secara kuantitatif mengungkapkan cukup banyak anak yang mengalami tindakan kekerasan dengan dampak yang sangat mendalam bagi anak. Bentuk kekerasan tersebut bukan hanya secara fisik saja tetapi
juga non fisik. Anak akan memikul dampak kekerasan tersebut sepanjang hidupnya. Perilaku kekerasan terhadap anak jalanan juga sudah sampai pada pelecehan seksual yakni sodomi maupun diperkosa. Lebih memprihatinkan lagi, tindak kekerasan yang dialami anak jalanan pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekeliling mereka seperti orangtua, kakak, teman sesama anak jalanan dan preman. Orang-orang yang diharapkan menjadi pelindung dari anak jalanan seringkali justru menjadi pelaku tindak kekerasan. Tabel 1 berikut menunjukkan bentuk kekerasan yang dialami anak jalanan dan pelakunya.
Tabel 1. Jenis Tindakan Kekerasan yang dialami Anak Jalanan No. 1.
Bentuk Kekerasan
Pelaku
diancam, dimarahi,
ayah kandung, sesama anak jalanan, anak jalanan
diumpat, dimaki
senior, preman, sopir, pengendara, polisi, petugas kamtib
2.
Dikencingi
anak jalanan
3.
dipukuli/ditempeleng
ayah kandung, ayah tiri, penculik, teman, petugas kamtib, polisi
4.
digebuki/ditendang
ibu kandung, ayah tiri, ibu tiri, kakak, anak jalanan, massa, kernet, polisi, guru, satpam
5.
Dipalak
anak jalanan, preman
6.
Dikeroyok
Preman
7.
Kepala
dibenturkan
ke ayah dan ibu
tembok 8.
digaruk/digerebek
polisi, petugas kamtib
9.
Disetrum
Satpam
10.
dieksploitasi ekonomi
ibu kandung, penculik, pacar
11.
diganggu/dilecehkan
orang lain, polisi
12.
Disodomi
turis, orang dewasa, sesama anak jalanan
13.
Diperkosa
anak jalanan, preman, tetangga, pacar
Sumber: Pemetaan dan survei Sosial ANJAL 1999 (in-depth interview)
2.1.3. Perlindungan Anak 2.1.3.1. Definisi PerindunganAnak Secara umum perlindungan anak tertuang dalam UU No.39 tahun 1990 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam UU ini anak didefinisikan sebagai “setiap manusia yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya” (Mulyanto, 2005). Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (UU No.23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1). Menurut PBB dalam 45 pasal dalam Konvensi Hak Anak (KHA) ada 4 hak dasar anak yang harus diperhatikan antara lain : 1. Hak kelangsungan hidup, termasuk dalam survival right ini adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan terbaik. 2. Hak berkembang, bahwa pemberian gizi dan pendidika n serta sosial budaya yang memungkinkan anak berkembang sebagai manusia dewasa yang beridentitas dan bermartabat. 3. Hak memperoleh perlindungan dari berbagai diskriminasi dan tindak kekerasan baik oleh warna kulit, ideologi, politik, agama maupun kondisi fisik.
4. Hak untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan hidupnya.
2.1.3.2. Ciri-ciri Anak yang Membutuhkan Perlindungan Menurut PBB dalam Departemen Sosial (2002), batasan mengenai situasi yang dianggap rawan bagi anak sehingga membutuhkan upaya perlindungan khusus adalah sebagai berikut : 1. Anak berada dalam lingkungan hubungan antara anak dan orang-orang disekitarnya penuh dengan kekerasan dan keterlantaran. 2. Anak sedang berada dalam lingkungan yang mengalami konflik bersenjata. 3. Anak yang berada dalam lingkungan kerja baik formal maupun informal. 4. Anak melakukan pekerjaan yang mengandung resiko kerja tinggi. 5. Anak terlibat dalam penggunaan zat-zat psikoaktif. 6. Anak yang rentan terhadap berbagai perlakuan diskriminatif karena kondisi fisik, sosial-ekonomi, dan politis orangtuanya. 7. Anak sedang berhadapan dengan hukum. Pada tahun 1987, Menteri Tenaga Kerja juga mengeluarkan Peraturan Menteri No. PER-01/MEN/1987 tentang perlindungan terhadap anak-anak yang terpaksa bekerja. Peraturan ini mengijinkan anak-anak di bawah 14 tahun yang terpaksa bekerja untuk membantu keluarganya dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Peraturan ini juga mensyaratkan bahwa pengusaha yang memperkerjakan anak-anak harus memenuhi ketentuan : 1. Anak-anak tidak diperbolehkan bekerja lebih dari empat jam sehari.
2. Anak-anak tidak diperkenankan bekerja pada malam hari. 3. Memberikan upah sesuai dengan pengaturan pengupahan yang berlaku. .
Dalam upaya perlindungan anak, sangat penting untuk mengetahui apa yang
menjadi kebutuhan anak-anak pada umumnya. Kebutuhan anak menurut Departemen Sosial (1999) adalah : (1) kebutuhan makan tiga kali sehari. (2) kebutuhan pakaian tiga
stel
atau
lebih.
(3)
kebutuhan
kesehatan.
(4)
kebutuhan
tempat
tinggal/berlindung. (5) kebutuhan pendidikan. (6) kebutuhan kasih sayang dan perhatian. (7) uang saku atau uang jajan. (8) harapan dan cita-cita (Prabowo, 2002).
2.2. Kerangka Pemikiran Anak jalanan merupakan sebuah realita sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Anak jalanan denga n berbagai karakter yang dimiliki telah menjadi bagian dalam setiap aktivitas sehari-hari yang secara tidak langsung mengganggu keamanan, ketertiban dan kenyamanan orang lain serta dirinya sendiri. Pekerjaan yang dijalani anak jalanan dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori yaitu usaha dagang,usaha jasa, pengamen dan kerja serabutan. Pekerjaan yang dijalani anak jalanan di jalan merupakan pekerjaan yang penuh resiko. Mereka akan mudah terserang penyakit sehingga membutuhkan tempat tinggal, makanan, pakaian, dan tentunya jaminan kesehatan. Terdapat kecenderungan semakin pasti jenis pekerjaan anak jalanan maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan.
Sebagian besar anak jalanan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, ada yang pernah sekolah namun terpaksa putus sekolah bahkan ada yang tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah. Anak jalanan sangat memerlukan pendidikan dan keterampilan untuk meningkatkan pengetahuan dan daya kreatifitasnya agar tidak tertinggal walaupun pendidikan mereka tergolong rendah.Hal ini berarti adanya kecenderungan semakin rendah tingkat pendidikan anak jalanan maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Penyebab anak-anak turun ke jalan pun beragam, yaitu: pertama, kondisi ekonomi keluarga (kemiskinan) sehingga semakin miskin kondisi ekonomi keluarga anak jalanan maka semakin tinggi tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan di rumah singgah. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tentu sangat membutuhkan sandang, pangan dan papan, jaminan kesehatan dan pendidikan yang tidak terpenuhi dengan baik dalam keluarganya. Latar belakang kedua, disharmonisasi keluarga (konflik dengan/antar orang tua) Selain membutuhkan sandang, pangan, papan, jaminan kesehatan dan pendidikan anak jalanan yang mengalami konflik dalam keluarga juga sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang lebih, dalam hal ini dapat diberikan oleh kakak pembina sebagai pengganti orangtua dan sesama anak jalanan sebagai pengganti saudara.
Memiliki kecenderungan semakin tinggi konflik yang terjadi di dalam
keluarga anak jalanan maka semakin tinggi tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan di rumah singgah. Latar belakang ketiga adalah faktor pendorong dari diri sendiri (motivasi) adalah ingin mencari pengalaman dan memperoleh penghasilan sendiri. Untuk
memacu semangat anak jalanan untuk giat bekerja sangat diperlukan sarana dan prasarana yang memadai di rumah singgah. Seperti contoh, adanya pembinaan menjahit disertai dengan adanya mesin jahit dan tempat untuk memasarkan hasil jahitan mereka. Terdapat kecenderungan semakin tinggi motivasi untuk bekerja yang dimiliki anak jalanan maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Penindasan yang dihadapi anak jalanan bukan saja penindasan oleh pelaku keluarga namun diperparah dengan penindasan oleh pelaku di lingkungan kerja sehari-hari dan penindasan oleh aparat pemerintah dalam bentuk kekerasan fisik, psikologis, dan seksual sehingga tentu saja membutuhkan suatu upaya perlindungan yang dapat dilakukan oleh keluarga maupun tempat lain, seperti rumah singgah. Anak yang mengalami tindak kekerasan sangat membutuhkan tempat berlindung yang memberikan rasa aman. Tentu saja dengan memberikan apa yang menjadi kebutuhan anak jalanan seperti makanan, pakaian, pendidikan dan jaminan kesehatan juga kasih sayang dan perhatian. Terdapat kecenderungan semakin tinggi penindasan yang dialami anak jalanan maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Pola interaksi yang terjadi di Rumah Kita dapat dilihat melalui frekuensi kehadiran dalam kegiatan di rumah singgah, tingkat keakraban dan tingkat penyelesaian masalah. Anak jalanan memperoleh bimbingan secara rutin yang diadakan oleh para pekerja sosial agar tujuan rumah singgah dapat tercapai, yaitu membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya serta untuk membentuk kembali sikap dan
perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi pola interaksi anak jalanan di rumah singgah maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana gambaran rumah singgah, serta bagaimana karakteristik anak jalanan binaan rumah singgah, latar belakang anak turun ke jalan, penindasan terhadap anak jalanan dan pola interaksi yang terjadi di rumah singgah sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan. Pada akhirnya diharapkan mampu mengidentifikasikan sejauhmana peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Secara jelas dapat dilihat pada gambar 2.
Latar Belakang Anak Turun ke Jalan: - Tingkat kemiskinan keluarga - Tingkat konflik keluarga - Motivasi untuk bekerja
Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan: Tingkat kepuasan pemenuhan Karakteristik Anak Jalanan: - Jenis Kelamin - Jenis Pekerjaan
kebutuhan (1) kebutuhan makan tiga kali sehari.
- Tingkat Pendidikan (2) kebutuhan pakaian tiga stel atau lebih.
Penindasan Terhadap Anak Jalanan: - Penindasan oleh pelaku keluarga - Penindasan oleh pelaku di lingkungan kerja - Penindasan oleh aparat pemerintah
(3) kebutuhan kesehatan. (4) kebutuhan tempat tinggal/berlindung. (5) kebutuhan pendidikan.
Pola Interaksi Anak Jalanan di Rumah Singgah : - Frekuensi kehadiran - Tingkat keakraban - Tingkat keterlibatan anak jalanan dalam penyelesaian masalah
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
2.2. Hipotesis §
Terdapat hubungan antara karakteristik anak jalanan (jenis kelamin, jenis pekerjaan, dan tingkat pendidikan) dengan peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan.
§
Terdapat hubungan antara latar belakang anak turun ke jalan (tingkat kemiskinan keluarga, motivasi untuk bekerja dan tingkat konflik keluarga) dengan peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan.
§
Terdapat hubungan antara permasalahan anak jalanan dengan peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan.
§
Terdapat hubungan antara pola interaksi di rumah singgah dengan peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan.
2.3. Definisi Operasional §
Jenis kelamin adalah pembedaan responden yang dikategorikan atas: a. Laki-laki b. Perempuan
§
Jenis pekerjaan adalah pekerjaan yang dijalani oleh anak-anak jalanan binaan rumah singgah. Kategori : a. Jenis pekerjaan usaha dagang b. Jenis pekerjaan usaha jasa c. Jenis pekerjaan pengamen d. Jenis pekerjaan kerja serabutan
§
Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal yang pernah atau masih dijalani oleh anak-anak jalanan binaan rumah singgah. Kategori : a. Rendah, apabila anak jalanan tamat SD b. Sedang, apabila anak jalanan tamat SMP c. Tinggi, apabila anak jalanan tamat SMA
§
Tingkat
kemiskinan
keluarga
adalah
tingkat
ketidakmampuan
untuk
memenuhi kebutuhan dalam sebuah keluarga yang dilihat berdasarkan jumlah pendapatan orangtua laki-laki dan orangtua perempuan per bulan. Pengukuran dilakukan dengan mendata seluruh pendapatan rumah tangga per bulan dari 30 responden, kemudian diperoleh nilai batas maksimum
berdasarkan pendapatan rumah tangga terbesar yaitu Rp.700000 per bulan dan batas minimum yaitu pendapatan rumah tangga terkecil sebesar Rp.230000 per bulan. Kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kategori kemiskinan antara lain; (1) kategori sangat miskin sekali yaitu mereka yang memiliki pendapatan Rp.230000-Rp.386667, kemudian (2) kategori miskin sekali yaitu mereka yang memiliki pendapatan antara Rp.386668-Rp.543334 dan (3) kategori miskin, apabila mereka memiliki pendapatan Rp.543335-Rp.700000. §
Tingkat konflik keluarga adalah tingkat perselisihan yang terjadi di antara hubungan ayah dan ibu dan antara anak dengan orangtua ketika anak jalanan masih tinggal bersama orangtuanya. Pengukuran dilakukan dengan mengajukan 13 pernyataan yang berkaitan dengan konflik antar orangtua dan antara orangtua dengan anak. Pernyataan dapat ditanggapi dengan jawaban sering dengan skor 3, jarang dengan skor 2 dan tidak pernah dengan skor 1. Total skor maksimum adalah 39 dan minimum 13. Responden dapat dikatakan memiliki keluarga dengan tingkat konflik rendah apabila skor yang diperoleh 13-21, sedang apabila skor yang diperoleh 22-30 dan tinggi apabila skor ya ng diperoleh 31-39.
§
Motivasi untuk bekerja adalah dorongan dari dalam diri individu anak jalanan untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Pengukuran dilakukan dengan mengajukan 8 pernyataan. Pernyataan dapat ditanggapi dengan jawaban sangat setuju dengan skor 3, setuju dengan skor 2 dan tidak setuju dengan skor 1. Total skor maksimum adalah 24 dan minimum 8. Responden dapat dikatakan memiliki motivasi untuk bekerja tinggi apabila
skor yang diperoleh 19-24, sedang apabila skor yang diperoleh 13-18 dan rendah apabila skor yang diperoleh 8-12. §
Penindasan terhadap anak jalanan adalah segala bentuk diskriminasi atau tekanan dalam bentuk fisik, psikologis dan seksual yang pernah dialami oleh anak jalanan baik oleh pelaku keluarga, oleh pelaku di lingkungan kerja sehari-hari maupun oleh aparat pemerintahan. Pengukuran dilakukan dengan mengajukan 35 pernyataan yang terbagi atas 15 pernyataan tentang penindasan dalam keluarga, 10 pernyataan yang berkaitan dengan penindasan di lingkungan kerja dan 10 pernyataan yang berkaitan dengan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah. Masing-masing pernyataan ditanggapi dengan jawaban sering dengan skor 3, jarang dengan skor 2 dan tidak pernah dengan skor 1. Total skor maksimum adalah 105 dan skor minimum adalah 35. Responden dapat dikatakan memiliki permasalahan rendah apabila skor yang diperoleh 35-57, sedang apabila skor yang diperoleh 58-82, dan tinggi apabila skor yang diperoleh 83-105.
§
Penindasan di tingkat keluarga adalah segala bentuk tekanan/diskriminasi baik secara fisik, psikologis dan seksual yang pernah dilakukan anggota keluarga anak jalanan (ayah, ibu, kakak dan adik) terhadap anak jalanan tersebut.
§
Penindasan di lingkungan kerja adalah segala bentuk tekanan/diskriminasi baik secara fisik, psikologis dan seksual yang pernah dialami anak jalanan di lingkungan kerja
§
Penindasan di tingkat pemerintah adalah segala bentuk tekanan/diskriminasi baik secara fisik, psikologis dan seksual yang pernah dilakukan oleh aparat pemerintahan kepada anak jalanan.
§
Pola interaksi di rumah singgah adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan dan pembina di rumah singgah yang mewarnai hubungan diantara mereka yang ditunjukan melalui frekuensi kehadiran, tingkat keakraban dan tingkat penyelesaian masalah. Pengukuran dilakukan dengan mengajukan 25 pernyataan yang terbagi atas 10 pernyataan yang berkaitan dengan frekuensi kehadiran, 10 pernyataan yang berkaitan dengan keakraban dan 5 pernyataan yang berkaitan dengan upaya penyelesaian masalah. Total skor maksimum adalah 75 dan skor minimum adalah 25. Responden dapat dikatakan memiliki pola interaksi tinggi apabila skor yang diperoleh 25-41, sedang apabila skor yang diperoleh 42-58, dan rendah apabila skor yang diperoleh 59-75.
§
Frekuensi kehadiran adalah intensitas atau tingkat keseringan (berapa kali) anak jalanan hadir dalam kegiatan pembinaan dalam satu bulan.
§
Tingkat keakraban adalah tingkat kedekatan/keintiman hubungan antara sesama anak jalanan di rumah singgah dan antara anak jalanan dengan pekerja sosial/pengelola rumah singgah yang diekspresikan melalui diskusi dan interaksi selama menjadi anak binaan.
§
Tingkat keterlibatan anak jalanan dalam penyelesaian masalah adalah tingkat partisipasi anak jalanan dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah yang terjadi di rumah singgah secara bersama-sama.
§
Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh rumah singgah untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara optimal yang dilihat berdasarkan tingkat pemenuhan kebutuhan di rumah singgah. Penilaian dilakukan dengan memberikan 9 butir pernyataan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan anak. Pernyataan tersebut dapat ditanggapi dengan jawaban sering dengan skor 3, jarang dengan skor 2, dan tidak pernah dengan skor 1. Total skor maksimum adalah 27 dan skor minimun sebesar 9. Peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan dikatakan baik apabila skor yang diperoleh 22-27, cukup baik apabila skor yang diperoleh 15-21 dan kurang baik apabila skor yang diperoleh 9-14.
§
Tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan adalah tingkat dimana kebutuhan anak jalanan di rumah singgah dirasakan sudah terpenuhi berdasarkan penilaian dari individu anak jalanan itu sendiri.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Singgah Rumah Kita yang berlokasi di Kecamatan Gunung Batu, Kabupaten Bogor Barat, Propinsi Jawa barat, tepatnya di Gg. Mesjid no.158 RT 05 RW 01. Pemilihan rumah singgah ’Rumah Kita’ sebagai sasaran penelitian dipilih secara sengaja (purposive) karena lokasi mudah dijangkau oleh peneliti dan berdasarkan hasil survai, Rumah Kita adalah rumah singgah yang cukup lama berdiri (+ lima tahun) dan masih dikunjungi anak jalanan serta masih eksis dengan program-program pembinaannya. Pengumpulan data di lapangan dilakukan selama kurang lebih dua bulan (bulan Januari 2006 sampai Februari 2006).
3.2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survai untuk menguji variabel dan hubungan diantara variabel-variabel yang ada dengan didukung oleh penjelasan kualitatif. Pengumpulan data dengan metode penelitian kuantitatif menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Sementara metode penelitian kualitatif digunakan untuk menggali lebih dalam permasalahan yang tidak dapat tergali dalam metode penelitian kuantitatif yaitu melakukan wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan dan melalui pengamatan langsung selama penelitian berlangsung.
3.3. Pemilihan Responden dan Informan
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila sesorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka disebut penelitian populasi atau disebut juga studi populasi atau studi sensus (Arikunto,1996). Oleh karena subjeknya meliputi semua anak jalanan binaan Rumah Kita yang berjumlah 30 orang, maka disebut juga sensus. Hal ini dilakukan karena jumlah populasi yang sedikit. Dalam studi sensus, sebelum melakukan penelitian harus mengadakan pembatasan lebih dulu. Dalam hal ini, syarat responden adalah: 1.
Anak jalanan binaan Rumah Kita baik laki-laki maupun perempuan
2.
Memiliki usia diantara 7-18 tahun.
3.
Telah menjadi anak binaan Rumah Kita sejak Rumah Kita berdiri (lima tahun) atau minimal tiga tahun.
Sedangkan informan adalah para pekerja sosial yang mengelola rumah singgah serta warga yang tinggal di sekitar rumah singgah.
3.4. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan mengguna kan daftar pertanyaan (kuesioner) dan wawancara mendalam (panduan pertanyaan) sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui analisis dokumen.
3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh berupa data nominal dan data ordinal. Setelah data dari kuesioner responden tersebut dikumpulkan, selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis secara kuantitatif dengan ditambahkan analisis kualitatif. Pengujiannya dilakukan dengan menggunakan uji statistik non parametrik, yakni Korelasi ChiSquare dan Rank Spearman. Syarat penggunaan uji Korelasi Rank Spearman adalah variabel pengaruh dan terpengaruh menggunakan variabel ordinal, sedangkan uji ChiSquare salah satu variabelnya nominal (Siegel,1997). Uji Chi-Square digunakan untuk menguji hubungan antara variabel nominal dan ordinal dan tidak membahas seberapa jauh hubungan tersebut, yang dalam hal ini adalah hubungan antara variabel jenis kelamin dan jenis pekerjaan dengan upaya perlindungan.. Perhitungan dengan uji Chi-Square dilakukan dengan memperhatikan syaratsyarat penggunaan lainnya (Singarimbun dan Effendi,1989), yaitu: 1. Tidak boleh dipakai untuk sampel yang kurang dari 20 2. Frekuensi teoritis (ft) minimum harus 5 dalam dalam setiap sel untuk tabel 2 x 2 (dua kolom, dua baris), untuk tabel yang lebih besar, 80 persen harus 5 atau lebih. 3. Setiap sel tidak boleh memiliki frekuensi kurang dari 1. Sementara itu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan, maka dilihat berdasarkan nilai asymptotic signifkansi (2-sided) yang dihasilkan dari hasil uji ChiSquare kemudian akan dibandingkan dengan tingkat signifikansi yang digunakan yaitu 0,05 (α = 0,05 ). Jika nilai asymptotic signifikansi lebih besar dari 0,05 maka
tidak terdapat hubungan antar variabel yang diuji, sebaliknya apabila nilai sngnifikansi lebih kecil dari 0,05 maka terdapat hubungan antar variabel yang diuji. Selanjutnya Korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan antara variabel ordinal dengan ordinal, dalam hal ini adalah hubungan antara variabel latar belakang turun ke jalan, permasalahan anak jalanan dan pola interaksi dengan upaya perlindungan. Besarnya nilai koefisien korelasi Rank Spearman rs terletak antara -1< rs < 1, artinya : rs = 1, hubungan X dan Y sempurna positif (mendekati hubungan sangat kuat dan positif) rs = -1, hubungan X dan Y mendekati sempurna negatif (mendekati -1, hubungan sangat kuat dan negatif) rs = 0, hubungan X dan Y lemah sekali dan tidak ada hubungan. Untuk mengetahui adanya keeratan hubungan yang signifikan atau tidak pada koefisien korelasi Rank Spearman dilakukan dengan cara menguji nilai signifikansi dari hasil koefisin korelasi Rank Spearman. Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (α = 0,05 ), berarti H0 diterima atau tidak terdapat korelasi, sedangkan jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, berarti H0 ditolak atau terdapat korelasi. Selanjutnya jika diperoleh hubungan antara dua variabel signifikan, maka koefisien korelasi akan diartikan sebagai berikut; Kurang dari 0,20
hubungan rendah sekali, lemah sekali
0,20 - 0,40
hubungan rendah sekali tapi pasti
0,40 – 0,70
hubungan yang cukup berarti
0,70 – 0,90
hubungan yang tinggi; kuat
Lebih dari 0,90
hubungan sangat tinggi; kuat sekali dan dapat diandalkan
Untuk memudahkan pengolahan data dan penarikan kesimpulan dalam uji Chi-Square dan uji Korelasi Rank Spearman maka digunakan program SPSS 10.0 for Windows. Dan data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden akan digunakan untuk memperjelas gambaran mengenai peranan rumah singgah terhadap upaya perlindungan anak jalanan. Untuk metode pengumpulan, pengolahan dan analisis data dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Topik
Data yang akan
Metode Pengumpulan
Penelitian
dikumpulkan
Data
Sumber Data
Gambaran
Keadaan wilayah,
Kualitatif (dokumen,
Informan (pekerja
umum tempat
karakteristik tempat
wawancara dan
sosial/pengelola dan
penelitian
dan lingkungan
pengamatan langsung)
warga sekitar)
sekitar, keadaan sosial ekonomi Gambaran
Sejarah, struktur
Kualitatif (wawancara
Informan (pekerja
rumah singgah
organisasi, sumber
mendalam dan analisis
sosial/pengelola)
daya manusia, sumber
dokumen)
dana, jadwal kegiatan Karakteristik
Jenis kelamin, jenis
anak jalanan
pekerjaan tingkat
Kuantitatif (kuesioner)
Responden (anak jalanan)
pendidikan, Latar belakang
Tingkat kemiskinan,
turun ke jalan
Tingkat konflik
Kuantitatif (kuesioner)
Responden (anak jalanan)
keluarga, motivasi untuk bekerja Permasalahan
Penindasan di tingkat
anak jalanan
keluarga, penindasan
Kuantitatif (kuesioner)
Responden (anak jalanan)
di lingkungan kerja, penindasan di tingkat pemerintah
Pola interaksi di
Frekuensi kehadiran
rumah singgah
dalam kegiatan,
Kuantitatif (kuesioner)
Responden (anak jalanan)
tingkat keakraban, tingkat penyelesaian masalah Upaya
Tingkat pemenuhan
perlindungan
kebutuhan
anak jalanan
Kuantitatif (kuesioner)
Responden (anak jalanan)
BAB IV GAMBARAN RUMAH SINGGAH RUMAH KITA 4.1. Sejarah Berdirinya Rumah Kita Rumah Singgah Rumah Kita merupakan salah satu program yang dicanangkan oleh suatu yayasan nonpanti yang bernama Yayasan Gerak (Gerakan Rakyat) dibawah penanggung jawab Bapak MK. Rumah Kita didirikan pada bulan Juli tahun 2000 atas prakarsa para pekerja sosial di yayasan Gerak. Rumah Kita merupakan sebuah rumah yang digunakan sebagai tempat beristirahat dan melakukan berbagai kegiatan pembinaan bagi anak jalanan. Pada awal berdirinya, Rumah Kita bertempat di Kampung Kramat daerah Paledang Bogor, diantara rumah-rumah warga dengan jumlah anak jalanan 60 orang. Untuk sampai di tempat ini harus melalui jembatan diatas sungai Ciliwung dengan turunan-tanjakan yang curam. Setelah dua tahun keberadaan Rumah Kita di daerah ini jumlah anak binaan pun meningkat menjadi 75 orang, namun demikian masih banyak warga yang tidak menerima keberadaan mereka sehingga pada akhirnya Rumah Kita berpindah lokasi ke Kepatihan di daerah Gunung Batu tetap di daerah Bogor. Namun hal yang sama terjadi lagi, setelah enam bulan Rumah Kita berpindah lokasi untuk yang keduakalinya ke Purbasari masih di daerah Gunung Batu, mereka digusur oleh aparat polisi karena fitnah dari warga yang tidak suka akan keberadaan anak jalanan di wilayah tersebut.
Setelah itu pengelola membeli sebuah ruma h di daerah Gunung Batu tepatnya di Gang Mesjid diantara perumahan warga dekat sungai Ciliwung. Dana pembelian rumah diperoleh atas bantuan pihak Belanda yang merupakan donatur tetap Rumah Kita. Rumah bernomor 158, dengan fasilitas ruang tamu serta tiga ruang kamar tidur dan satu kamar mandi menjadi tempat bernaung dan melaksanakan berbagai kegiatan bagi anak jalanan. Berdasarkan informasi dari informan, pertama kali datang di daerah ini mereka sempat mengalami penolakan keras dari warga karena penampilan anak jalanan yang urakan dan tidak sopan. Namun setelah mengadakan musyawarah bersama para warga yang dipimpin oleh Ketua RW dan RT dengan perjanjian harus dapat menjaga hubungan dengan saling menghormati dan sopan santun, serta tidak membuat keributan, maka Rumah Kita tetap berdiri hingga saat ini. Saat ini warga mulai menerima kehadiran anak jalanan bahkan warga juga mengijinkan anak-anaknya untuk ikutserta dalam kegiatan pembinaan keterampilan, seperti menyablon, menjahit, dan membuat berbagai macam kerajinan tangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga sekitar Rumah Kita, mereka terlihat cukup menghargai keberadaan anak-anak jalanan tersebut.
”Emang sih dulu saya juga ikut nolak anak jalanan, tapi sekarang udah biasa aja soalnya anak saya juga suka ikut bikin sablon-sablon jadi ada gunanya juga buat anak saya, makanya saya udah ga kawatir lagi.” (NS, 30 tahun)
Berikut pendapat Ketua RT yang menyatakan warganya tidak terganggu dengan adanya anak jalanan dan tentang harapannya ke depan terhadap hubungan anak-anak jalanan dengan warganya.
” Dulu orang-orang disini nolak anak jalanan teh karena takut pengaruhnya ga bagus buat anak-anak mereka tapi saya pikir kalo anak jalanan harus tidur di jalanan juga bahaya buat mereka. Sekarang mah udah saling adaptasi dan tahu kegiatan positif yang dikerjain anak Rumah Kita, lama kelamaan warga nerima malah ikut seneng karena anak-anaknya jadi pinter bisa buat sablon, bisa jahit”. (PH, 50 tahun)
Beliau sangat menghargai keberadaan anak-anak jalanan, sehingga meskipun masih banyak warganya yang tidak menerima mereka dengan sepenuh hati, namun ia berharap suatu saat nanti seluruh warga dapat menerima kehadiran anak-anak jalanan ini dengan ikhlas. Ia berharap agar Rumah Kita dapat menampung lebih banyak anak jalanan dan lebih meningkatkan kegiatan pembinaan supaya hidup anak jalanan di masa depan dapat lebih baik. Menurut salah satu tokoh masyarakat di daerah ini (Fd, 60 tahun), tempat berlindung adalah tempat bernaung dari segala ancaman, baik dari kekerasan maupun dari panas, hujan dan dinginnya malam atau tempat yang membuat mereka merasa aman. Selain itu, sebagai manusia tentu saja membutuhkan makan, minum, dan pakaian. Oleh karena itu, masyarakat sangat menghargai keberadaan Rumah Kita sebagai tempat anak-anak jalanan berlindung dan mereka juga menyadari bahwa anak-anak jalanan adalah anak-anak yang membutuhkan perlindungan.
Sementara menurut salah satu warga (Ynt, 40 tahun), perlindungan dapat diartikan hidup dalam naungan orang-orang yang bertanggungjawab. Sebagai seorang anak apalagi anak jalanan mereka sangat memerlukan kasih sayang dari orangtua agar mereka tidak merasa terkucilkan. Oleh karena itu, ia berharap Rumah Kita dapat memberikan kasih sayang dan perhatian yang diperlukan oleh anak-anak jalanan tersebut, tidak hanya menyediakan kebutuhan fisik dalam bentuk rumah, makanan, dan pakaian saja. Saat ini jumlah anak jalanan yang menjadi binaan Rumah Kita semakin berkurang, yaitu hanya sekitar 30 orang dan hampir semuanya masih memiliki keluarga namun hanya sebagian kecil yang masih berhubungan dengan keluarganya. Jumlah tersebut dikarenakan sebagian besar dari mereka sudah melewati usia 18 tahun yang berarti sudah tidak menjadi kewajiban Rumah Kita untuk memelihara dan membina mereka. Sebagai alumni Rumah Kita, beberapa dari mereka sesekali berkunjung ke Rumah Kita. Sebagian dari mereka ada yang telah menikah, bahkan memiliki usaha yang lumayan berkembang dan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Anak-anak binaan Rumah Kita yang telah menjadi alumni merasakan manfaat yang sangat besar dari kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Rumah Kita, selain sebagai rumah kedua dan tempat berlindung. Salah satunya adalah Asw (26 tahun), sekarang ia telah menikah dan memiliki seorang anak.
” Saya ngerasa syukur alhamdullilah punya rumah kaya Rumah Kita, kalo ga ada Rumah Kita saya ga tau apa saya bisa seperti sekarang. Mereka semua, kakak-kakak dan temen-temen udah saya anggap
keluarga sendiri makanya kalao saya ada rejeki saya suka bagi-bagi sama temen-temen di Rumah kita biar cuma sedikit asal sama-sama.”
Karena ketekunannya saat mengikuti pembinaan keterampilan membuat sablon di Rumah Kita, maka Asw berhasil dalam usaha penyablonan yang telah dibangunnya sejak enam tahun lalu, yaitu dua tahun setelah keluar dari Rumah Kita. Saat ini ia telah memiliki usaha sablon yang cukup besar dan mampu mempekerjakan dua orang karyawan. Modal awal diperoleh Asw dari hasil mengamen yang ia tabung selama menjadi anak jalanan. Asw merasa bersyukur karena masih ada orang-orang yang memperhatikan dirinya serta teman-teman sesama anak jalanan. Berikut adalah data anak jalanan binaan Rumah Kita tahun 2006. Data ini dapat menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan berada usia antara 11-15 (13 orang) yang terdiri dari sembilan orang laki-laki dan empat orang perempuan. Mereka adalah anak-anak pada masa remaja, dimana terjadi proses pencarian jati diri dalam hidup mereka sehingga sangat labil dan mudah terpengaruh lingkungan tempatnya bergaul. Pada masa tersebut seharusnya mereka
masih sangat
membutuhkan perhatian dan bimbingan dari orangtua, namun pada kenyatannya mereka harus hidup di jalanan dan nilai-nilai kebebasan, serta kekerasan untuk mencapai tujuan telah menjadi bagian dari hidupnya.
Tabel 3. Data Anak Jalanan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin No. 1. 2. 3.
Umur (tahun) 7-10 11-15 16-18
Laki-laki
Perempuan
5 9 11
1 4 0
Jumlah (orang) 6 13 11
Persentase (%) 20 43,3 36,7
Total
25
5
30
100,0
Sumber : Data Anak Binaan Rumah Kita Tahun 2006
4.2. Struktur Organisasi Rumah Kita Rumah Singgah merupakan suatu wadah bagi anak jalanan yang berjalan teratur dan terorganisasi dengan baik. Struktur organisasi (kepengurusan) dalam Rumah Singgah Rumah Kita dapat dilihat pada gambar 3.
Penanggung Jawab MK Ketua ES Sekretaris Dn
Koordinator Administrasi Rn
Bendahara Wd
Koordinator Pekerja sosial TA
Koordinator Pembinaan DSW
Gambar 3. Struktur Organisasi Rumah Kita
Tugas Penanggung Jawab adalah bertanggung jawab atas segala kegiatan pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Kita dan mengurus hal-hal yang berhubungan langsung dengan dinas-dinas yang akan mengadakan kegiatan dan penyuluhan di rumah singgah. Sedangkan Ketua bertugas untuk mengatur kegiatan ekstern dan intern yang dilaksanakan di rumah singgah. Sekretaris bertugas mencatat hasil diskusi dan rapat serta membuat laporan kegiatan yang dilakukan di rumah
singgah setiap bulan. Bendahara memiliki tugas mengurus keuangan rumah tangga. Sementara koordinator administrasi bertugas mendata anak-anak jalanan binaan rumah singgah. Koordinator pekerja sosial wajib mengatur pekerja sosial dalam hal pembagian tugas mengajar dan sering berhubungan langsung dengan anak jalanan. Koordinator pembinaan bertugas mengurus segala macam kebutuhan yang berkaitan dengan kegiatan pembinaan baik keterampilan, kesenian dan sosial-moral. Pada awal berdiri, jumlah pembina hanya tiga orang. Jumlah tersebut dirasakan sangat kurang untuk melaksanakan kegiatan pembinaan secara efektif maka mereka memutuskan untuk mencari beberapa orang untuk bergabung. Sekarang jumlah mereka menjadi sembilan orang dan sudah cukup membantu dalam kelancaran kegiatan di Rumah Kita. Mereka berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Terdapat empat orang yang memiliki gelar sarjana. Ada juga yang masih berstatus mahasiswa bahkan alumni anak jalanan binaan Rumah Kita. Walaupun latar pendidikan berbeda namun mereka memiliki misi yang sama yaitu dengan sukarela mengabdikan diri untuk membina anak jalanan agar anak jalanan memiliki kesempatan hidup yang lebih layak di masa depan. Secara sukarela memiliki pengertian tidak mengharapkan imbalan atau balas jasa. Hal ini berarti bahwa para pembina tidak mendapat upah atau gaji. Namun mereka mengaku sangat bahagia dapat memberikan sesuatu kepada orang-orang yang membutuhkan. Para pembina merasa puas apabila mampu memberikan yang terbaik bagi anak-anak jalanan. Sebagian besar pembina Rumah Kita sudah memiliki pekerjaan utama untuk memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ada yang menjadi Pegawai Negeri Sipil,
Karyawan Bank, dan Guru. Namun demikian mereka tetap berusaha menyediakan waktu untuk membagi ilmu dengan sesama anak jalanan di Rumah Kita dengan sukarela. Menurut salah satu pembina (ES, 30 tahun), sebagai manusia jangan mengejar kebutuhan materi saja namun sebisa mungkin mendapatkan kepuasan moril dengan cara berbagi secara sukarela kepada orang-orang yang membutuhkan.
4.3. Lokasi Rumah Kita Rumah Singgah Rumah Kita terletak di Kecamatan Gunung Batu, Kabupaten Bogor Barat, Propinsi Jawa barat, tepatnya di Gg. Mesjid no.158 RT 05 RW 01. Jarak Rumah Singgah Rumah Kita ke pusat pemerintahan kelurahan + 3 km, ke pusat kecamatan + 5 km dan ke kotamadya + 15 km. Dari rumah singgah ke jalan raya berjarak + 850 m. Lokasi kerja anak jalanan binaan Rumah Kita antara lain daerah Stasiun Kereta Api Bogor, Merdeka (Merdeka Mall), pertigaan Ciomas dan sepanjang jalan Sindang Barang Loji. Untuk sampai ke tempat kerja, mereka berjalan kaki ke jalan raya kemudian naik angkutan umum sambil mengamen agar tidak membayar. Demikian juga bila pulang, mereka akan naik angkutan sambil mengamen.
4.4. Kondisi Fisik dan Fasilitas Rumah Kita Rumah Singgah Rumah Kita terbuat dari dinding permanen yang keseluruhannya dari batako yang sudah dipelur, atap terbuat dari genting biasa, lantai sudah berkeramik. Luas tanah 90 m2, terdiri dari ruang tamu, tiga ruang kamar tidur, dapur dan dua kamar mandi. Ruang tamu digunakan untuk perpustakaan mini,
kegiatan belajar-mengajar, latihan musik, menjahit, menyablon, pengajian, dan diskusi dan terkadang digunakan untuk istirahat. Dua ruang kamar tidur digunakan untuk beristirahat anak jalanan laki-laki dan juga untuk menyimpan alat-alat musik seperti gitar, gendang, suling, angklung dan lain-lain. Kemudian satu ruang kamar tidur digunakan untuk beristirahat anak jalanan perempuan dan kakak pembina perempuan yang piket malam. Anak-anak jalanan tidur dengan beralaskan tikar dan karpet. Fasilitas tambahan berupa televisi ukuran 14” yang diharapkan dapat menambah informasi dan memberikan hiburan bagi anak jalanan. Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua Rumah Kita.
”Setelah pindah disini kita punya tv, itu juga sumbangan orang abis kasian katanya sama anak-anak sekalian buat tambah-tambah informasi dan hiburan”. (ES, 30 tahun)
Bila dilihat dari kondisi fisik Rumah Kita seperti tembok yang halus dan lantai berkeramik, maka Rumah Kita dapat disebut sebagai tempat tinggal yang layak. Namun bila melihat anak-anak harus tidur beralaskan tikar atau karpet saja maka belum dapat dikatakan layak sebab pada umumnya kita tidur beralaskan kasur busa yang empuk. Selain harus berbagi dengan alat-alat musik dan teman-teman sesama anak jalanan yang jumlahnya tidak sedikit, kondisi tersebut juga membuat anak-anak mudah terserang penyakit masuk angin. Tentang kondisi tersebut anak jalanan memiliki pandangan tersendiri. Menurut mereka dapat tinggal di Rumah Kita jauh lebih baik bahkan sangat menguntungkan sebab mereka tidak akan kehujanan, kepanasan dan merasa aman
dari gangguan orang jahat apalagi ditambah adanya televisi dan kegiatan pembinaan. Menurut mereka keadaan tersebut sudah sangat layak.
”Saya mah beruntung banget bisa tinggal di Rumah Kita biar cuma tidur pake tiker ya alhamdulilah ga kedinginan, ga kepanasan, bisa tidur nyenyak ada tv lagi. Kalo dijalanan tidur ga tenang takut ada yang ganggu, kalo hujan kehujanan trus boro-boro ada tv...” (Ng, 15)
4.5.Kegiatan Pembinaan di Rumah Kita Kegiatan di Rumah Kita yang sering disebut Kuliah Rumah Kita terbagi atas kegiatan kesenian, kegiatan keterampilan dan kegiatan sosial-moral. Kegiatan kesenian terdiri dari kegiatan musik dan teater. Kegiatan keterampilan terdiri dari menyablon dan menjahit dan kerajinan tangan seperti membuat perhiasan dari bahan manik-manik. Kegiatan sosial-moral terdiri dari menonton film dokumenter, diskusi, rapat dan pengajian. Berikut ini adalah tabel jadwal kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan binaan Rumah Kita.
Tabel 4. Jadwal Kuliah Rumah Kita Hari Senin
Selasa
Rabu
Waktu
Kegiatan
13.00 - selesai
Teater
19.00 - selesai
Diselam (Diskusi Senin Malam)
10.00 - selesai
Membaca dan Menulis
13.00 - selesai
Sablon
13.00 - selesai
Membuat kerajinan tangan
Kamis
Jumat
Sabtu
15.30 - selesai
Musik Kamis
19.00 - selesai
Movie Mania (nonton film dokumenter)
15.30 - selesai
Musik Jumat
19.00 - selesai
Pengajian
16.00 - selesai
Menjahit
19.00 - selesai
Rapat Rumah Kita
Anak-anak jalanan binaan Rumah Kita diwajibkan mengikuti seluruh kegiatan pembinaan sesuai jadwal yang telah dibuat dan disepakati bersama. Kegiatan pembinaan terbuka untuk umum, dalam hal ini tidak sedikit anak-anak warga sekitar yang mengikuti kegiatan pembinaan. Kegiatan pembinaan di Rumah Kita dapat dikatakan cukup lancar. Sebagian besar anak-anak bersedia mengikuti jadwal yang telah ditetapkan bersama dengan baik walaupun terkadang mereka datang terlambat karena harus bekerja dulu di jalanan. Menurut salah satu pembina, frekuensi kehadiran anak-anak jalanan dalam mengikuti kegiatan menonton film (movie mania) dan latihan musik lebih tinggi dibandingkan kegiatan lainnya seperti menjahit dan pengajian. Sebab kegiatan menonton dan bermain musik mereka anggap lebih menghibur sedangkan menjahit serta pengajian adalah kegiatan yang membosankan. Untuk meningkatkan semangat anak-anak binaan Rumah Kita, maka para pembina memiliki strategi khusus agar anak-anak lebih tertarik mengikuti kegiatan pembinaan. Salah satunya dengan sistem reward (positif) mulai dari makanan kecil sampai pakaian. Pemberian hadiah diberikan setiap satu bulan sekali berdasarkan penilaian para pembina dengan melihat ketekunan anak-anak jalanan dalam mengikuti pembinaan. Cara ini dinilai cukup berhasil dalam menarik minat anakanak binaan untuk lebih giat mengikuti kegiatan pembinaan di Rumah Kita. Tidak hanya itu, dalam Rumah Kita juga terdapat reward (negatif). Bagi anak-anak jalanan yang melakukan kesalahan atau melanggar peraturan harus dapat mempertanggungjawabkan di dalam sidang Rumah Kita yang dihadiri seluruh kakak
pembina dan seluruh anak jalanan binaan. Disini anak jalanan yang bersalah harus mau mengakui kesalahan dan menjelaskan alasan berbuat kesalahan, selain itu mereka juga harus berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
BAB V
PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Anak Jalanan dan Latar Belakang Anak Turun ke Jalan 5.1.1. Karakteristik Anak Jalanan Binaan Rumah Kita Anak Jalanan binaan Rumah Kita terdiri dari 25 orang laki-laki dan 5 orang perempuan yang berusia sekitar 9-18 tahun. Sebagian besar dari mereka adalah anakanak yang menjadi binaan Rumah Singgah Rumah Kita sejak Rumah Kita berdiri yaitu pada tahun 2000 atau sekitar lima tahun dan minimal sudah tiga tahun menjadi anak binaan. Frekuensi anak jalanan menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Komposisi Anak Jalanan Menurut Jenis Kelamin, di Rumah Kita, 2006 Kategori Laki-laki Perempuan Total
Frekuensi 25 5 30
Persentase 83,3 16,7 100,0
Pada usia yang masih memerlukan perhatian dan kasih sayang orang tua, mereka pun harus berjuang untuk terus hidup dan menjalani kehidupan dan mau tidak mau mereka harus memiliki pekerjaan. Jenis pekerjaan adalah pekerjaan yang dijalani oleh anak-anak jalanan binaan rumah singgah yang dikelompokkan atas empat kategori yaitu usaha dagang (dagang rokok, permen, dan minuman), usaha jasa (sol sepatu, kuli angkut, pemulung, sapu angkot), pengamen dan kerja serabutan.
Tabel 6. Komposisi Anak Jalanan Menurut Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin, di Rumah Kita, 2006 Kategori usaha dagang usaha jasa pengamen kerja serabutan Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 6 0 6 2 11 2 2 1 25 5
Jumlah
Persentase
6 8 13 3 30
20,0 26,7 43,3 10,0 100,0
Berdasarkan tabel diatas, jenis pekerjaan yang paling dominan dilakukan oleh anak-anak jalanan binaan Rumah Kita adalah pengamen yaitu sebesar 43,3 persen yang terdiri dari 11 orang laki-laki dan dua orang perempuan. Menurut anak-anak binaan, pekerjaan pengamen tidak butuh pendidikan tinggi dan modal yang besar. Pekerjaan yang paling sedikit dilakukan anak jalanan adalah kerja serabutan yaitu sebesar sepuluh persen yang terdiri dari dua orang laki-laki dan satu orang perempuan. Berdasarkan pengamatan dan informasi dari informan, mereka yang menjalani kerja serabutan dikarenakan cepat bosan dengan pekerjaan yang dilakukan atau penghasilannya kecil. Seperti yang dilakukan oleh Ars (14), sudah satu bulan dia menjalani pekerjaan sebagai penjual permen namun karena penghasilannya kecil maka dia berhenti menjadi penjual permen dan beralih menjadi pengamen namun baru tiga hari dia kembali berhenti dengan alasan tidak ahli bermain alat musik. Seperti diungkap Ars berikut ini.
”Saya pengen punya kerja tetep tapi kalo jual permen terus hasilnya dikit, pengen jual minuman modalnya ga ada makanya saya ikutan ngamen tapi sama aja saya ga bisa maen gitar, kalo cuma nyanyi
doang ga pake alat kan orang jadi bosen. Jadi sekarang mah apa aja saya jalanin asal halal.”
Pendapatan maksimal yang diperoleh anak jalanan adalah Rp. 50000 per hari dan minimal Rp 5000 per hari. Biasanya pendapatan maksimal anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen dapat mereka peroleh pada hari-hari kerja (senin sampai jumat) sedangkan pada hari sabtu dan minggu (hari libur) mereka hanya memiliki pendapatan minimal. Hal ini dikarenakan pada hari kerja aktivitas masyarakat yang menumpang kendaraan umum sangat tinggi sedangkan hari libur, masyarakat lebih memilih di rumah atau menggunakan kendaraan pribadi. Berbeda dengan anak jalanan yang memiliki usaha dagang seperti jual aksesoris dan jual minuman, mereka dapat memperoleh pendapatan maksimal pada hari libur apalagi di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang (tempat wisata dan supermarket). Jam kerja yang anak-anak jalani tidak terikat waktu. Bila masih semangat bekerja atau penghasilan masih sedikit, mereka akan terus bekerja namun tetap memperhatikan jadwal kegiatan pembinaan di Rumah Kita. Mereka harus kembali ke Rumah Kita paling lambat pada jam delapan malam. Menurut anak-anak jalanan, aktivitas masyarakat di malam hari sudah mulai menurun (jalanan sudah mulai sepi). Hasil yang mereka peroleh dari bekerja pada umumnya digunakan untuk membeli rokok dan pakaian untuk dipakai sehari-hari. Tetapi karena kebanyakan dari mereka masih punya keluarga dan masih berhubungan dengan keluarga maka ada sebagian uang yang ditabung dan setiap bulan diberikan kepada keluarganya.
” kalo dapet lumayan saya bisa beli rokok juga bisa ngumpulin buat dikirim ke kampung untuk ade-ade saya, abis saya kasian emak cuma
buruh cuci trus bapak kerja serabutan. Biar dikit asal ngirim saya udah seneng....” (Ipl, 18)
Sementara itu, dari hasil penelitian diperoleh data anak jalanan menurut tingkat pendidikan yang terbagi atas tiga tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal yang pernah atau masih dijalani oleh anak-anak jalanan binaan rumah singgah.
Tabel 7. Komposisi Anak Jalanan Menurut Tingkat Pendidikan, di Rumah Kita, 2006 Kategori Rendah (tamat SD) Sedang (tamat SMP) Tinggi (tamat SMA) Total
Frekuensi 26 4 0 30
Persentase 86,7 13,3 0 100,0
Berdasarkan tabel 7 diatas diketahui bahwa sebagian besar yaitu 60 persen anak jalanan binaan Rumah Kita berada pada tingkat pendidikan yang tergolong rendah yaitu mereka yang mengenyam pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar (SD). Beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden yang putus sekolah, selain disebabkan oleh ketidakmampuan orangtua untuk membiayai, juga disebabkan oleh kurangnya motivasi anak itu sendiri untuk memperoleh haknya dalam hal pendidikan. Seperti yang dikemukakan Rn (17) berikut ini.
” Saya kasian sama bapak kalo saya harus lanjutin sekolah, saya ngalah aja biar ade-ade tetep sekolah abis kalo saya tetep sekolah ade-ade saya yang ga sekolah...”
Sebagian besar dari mereka menyadari bahwa pendidikan sangat penting, namun masalah biaya tetap menjadi kendala utama yang menyebabkan mereka tidak sekolah atau tidak melanjutkan sekolah, sehingga terpaksa mereka menjadi anak jalanan karena pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan tidak menuntut pendidikan yang tinggi.
5.1.2. Latar Belakang Anak Turun ke Jalan Terdapat tiga alasan besar yang melatarbelakangi anak turun ke jalan yaitu masalah ekonomi (kemiskinan), konflik keluarga dan motivasi untuk bekerja. Kemiskinan dilihat melalui jumlah pendapatan ayah dan ibu (orangtua) selama satu bulan. Tingkat
kemiskinan
keluarga
adalah
tingkat
ketidakmampuan
untuk
memenuhi kebutuhan dalam sebuah keluarga yang dilihat berdasarkan jumlah pendapatan orangtua laki-laki dan perempuan per bulan.
Dalam
hal
ini,
jenis
pekerjaan orangtua anak binaan Rumah Kita dapat dikategorikan menjadi usaha dagang (asongan, gorengan, ikan, somay, bakso, kantong plastik, donat dan bubur), usaha jasa (sol sepatu, jaga makam, pemulung, kuli angkut di pasar, tukang parkir, tukang pijit, pembantu rumah tangga, tukang cuci), industri (buruh bangunan, buruh pabrik, satpam dan guru honorer), dan pertanian.
Tabel 8. Jenis Pekerjaan Orangtua Anak Jalanan Binaan Rumah Kita
Jenis Pekerjaan Usaha
dagang
Orangtua Laki-laki (Ayah) 19
Persentase 63,3
Orangtua Perempuan (Ibu) 21
Persentase 70
dan jasa Industri Pertanian Tidak bekerja Total
5 4 2 30
16,7 13,3 6,7 100,0
2 0 7 30
6,7 0 23,3 100,0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar (63,3 persen) orangtua laki-laki memiliki pekerjaan usaha dagang dan jasa. Sama halnya dengan orangtua perempuan yang sebagian besar (70 persen) memiliki pekerjaan usaha dagang dan jasa. Terdapat 6,7 persen orangtua laki-laki yang tidak bekerja dan 23,3 persen orangtua perempuan tidak bekerja (sebagai ibu rumah tangga). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan minimum yang diperoleh sebesar Rp. 230000 per bulan dan pendapatan maksimum sebesar Rp.700000 per bulan. Tentu saja masih dibawah Upah Minimum Regional (UMR=+ Rp.720000)1 sehingga tidak heran bila hal tersebut menyebabkan sebuah rumah tangga tidak mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarganya dengan baik, pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk makan sedangkan sebagai manusia kita membutuhkan pendidikan, kesehatan dan hiburan (rekreasi dan semacamnya). Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata anak jalanan berasal dari keluarga miskin sekali yaitu sebesar 53,3 persen. Pendapatan rumah tangga mereka berkisar antara Rp.386668-Rp.543334 per bulan.
Tabel 9. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Kemiskinan Keluarga, di Rumah Kita, 2006 Kategori 1
Frekuensi
Berdasarkan informasi dari Dinas Sosial Kota Bogor, Januari 2006
Persentase
Sangat miskin sekali Miskin sekali Miskin Total
7 16 7 30
23,3 53,3 23,3 100,0
Berikut adalah penuturan anak jalanan yang memiliki keluarga yang tergolong miskin sekali. “Setiap hari saya makan dua kali sehari, soalnya harus bagi-bagi sama ade saya yang ada empat orang. Kadang juga saya ga makan nasi cuma makan roti gope doang abis saya teh kasian sama emak yang kerjanya cuma buruh cuci padahal udah tua…” (Rz, 18)
Hampir seluruh anak jalanan binaan rumah singgah Rumah Kita berasal dari keluarga miskin, ditambah dengan jumlah anggota keluarga yang banyak. Mereka merasa tidak nyaman bila mereka terus tinggal bersama keluarga karena merasa menjadi beban keluarga. Salah seorang pembina yang cukup dekat dengan semua anak jalanan menuturkan hal tersebut.
“Disini semuanya berasal dari keluarga miskin, banyak saya dengar cerita dari mereka tentang kemiskinan keluarganya, bagaimana mereka makan, bagaimana mereka harus berhenti sekolah bahkan tidak pernah sekolah. Mereka selalu merasa jadi beban di keluarga makanya mereka pergi meninggalkan rumah untuk cari duit sendiri di jalanan.” (ES, 30)
Alasan kuat lain yang melatarbelakangi anak turun ke jalan adalah karena konflik antar atau dengan orangtua. Tingkat konflik keluarga adalah tingkat perselisihan yang terjadi di antara hubungan ayah dan ibu serta antara anak dengan orangtua ketika anak jalanan masih tinggal bersama orangtuanya.
Tabel 10. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Konflik Keluarga, di Rumah Kita, 2006 Kategori Rendah (skor total 13-21) Sedang (skor total 22-30) Tinggi (skor total 31-39) Total
Frekuensi 10 16 4 30
Persentase 33,3 53,3 13,3 100,0
Berdasarkan data pada tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar anak jalanan merupakan produk dari konflik yang dialami saat masih tinggal bersama keluarga, sebesar 53,3 persen (16 orang) mengalami tingkat konflik keluarga yang tergolong sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan cukup sering mengalami konflik di dalam keluarganya, baik konflik yang terjadi antara ayah dan ibu maupun antara dirinya dengan orangtua seperti ayah yang sering bertengkar bahkan memukuli ibu, anak yang sering mengalami makian dan pukulan bahkan diusir dari rumah dan sering melawan orangtua karena berbeda pandangan. Latar belakang ketiga adalah anak yang turun ke jalan dikarenakan motivasi untuk bekerja yang dimiliki anak. Mereka ingin memperbaiki hidup, membeli kebutuhan dengan hasil kerja sendiri dan untuk mencari pengalaman. Motivasi untuk bekerja adalah dorongan dari dalam individu anak jalanan untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tabel 11. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Motivasi untuk Bekerja, di Rumah Kita, 2006 Kategori Rendah (skor total 8-12) Sedang (skor total 13-18)
Frekuensi 0 24
Persentase 0 80,0
Tinggi (skor total 19-24) Total
6 30
20,0 100,0
Berdasarkan data pada tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar anak jalanan memiliki motivasi bekerja yang tergolong sedang yakni sebesar 80 persen (24 orang) artinya mereka memiliki keinginan yang besar untuk bekerja dengan tujuan memiliki uang banyak, dapat membeli makan, membeli pakaian dan menjadi orang sukses. Anak jalanan yang memiliki motivasi bekerja tinggi hanya sebesar 20 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa anak-anak jalanan secara keseluruhan memiliki motivasi untuk bekerja yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan mereka merasa harus mampu membiayai hidupnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain karena itu mereka harus bekerja.
5.2 Penindasan Terhadap Anak Jalanan Kehidupan jalanan dapat dipastikan memiliki konsekuensi yang sangat membahayakan terutama bagi anak-anak. Selain harus menghidupi diri sendiri, mereka juga harus menghadapi segala macam penindasan baik fisik, psikologi maupun seksual. Tidak hanya penindasan di tingkat keluarga namun juga penindasan di lingkungan kerja sehari-hari dan di tingkat pemerintahan. Penindasan terhadap anak jalanan adalah segala bentuk diskriminasi atau tekanan dalam bentuk fisik, psikologis dan seksual yang pernah dialami oleh anak jalanan baik oleh pelaku keluarga, pelaku di lingkungan sehari-hari maupun oleh aparat pemerintah.
Tabel 12. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Penindasan, di Kategori Rendah ( skor total 35-57) Sedang ( skor total 58-82) Tinggi (skor total 3-105) Total
Rumah Kita, 2006 Frekuensi 1 19 10 30
Persentase 3,3 63,3 33,3 100,0
Data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 63,3 persen (19 orang) anak jalanan memiliki tingkat permasalahan yang tergolong sedang artinya mereka mengalami penindasan dalam bentuk kekerasan fisik, psikologi dan seksual yang cukup sering di tingkat keluarga, di lingkungan kerja sehari-hari bahkan di tingkat pemerintahan, dan 33,3 persen (10 orang) yang memiliki tingkat permasalahan yang tinggi. Sementara itu 3,3 persen (1 orang) memiliki tingkat permasalahan yang tergolong rendah. Hal ini menunj ukkan bahwa dari 30 orang anak hanya 1 anak yang sangat jarang bahkan tidak pernah mengalami penindasan baik di tingkat keluarga, di lingkungan kerja sehari-hari dan di tingkat pemerintahan. Bentuk penindasan yang dialami di tingkat keluarga seperti makian, ancaman, pukulan dan pelecehan yang dilakukan oleh ayah, ibu, kakak atau adik kandung. Sedangkan penindasan yang diterima di lingkungan kerja dalam bentuk pemalakan, penodongan, makian, pukulan, pelecehan seksual (diraba hingga diperkosa dan disodomi) dan dimanfaatkan oleh teman sesama anak jalanan. Terkadang penindasan juga mereka terima dari masyarakat umum seperti dimaki, dipukul, dan diusir. Penindasan di tingkat pemerintahan seperti pengejaran, penangkapan, pengusiran, pemukulan, penyiksaan, larangan untuk bekerja, juga pelecehan seksual (diraba
hingga diperkosa dan disodomi) yang dilakukan oleh aparat keamanan (polisi, kamtib, dan satpol PP). Seperti yang pernah dialami oleh Dn (18). Dn adalah salah satu dari sekian banyak anak jalanan yang pernah mengalami penindasan oleh aparat keamanan. Suatu saat ketika sedang bekerja Dn dan beberapa anak jalanan ditangkap oleh aparat, Dn ditendang, dipukuli dan disiram dengan air. Hal ini hanya karena aparat menginginkan Dn dan teman-temannya sesama anak jalanan tidak bekerja lagi jadi pengamen yang dianggap mengganggu kenyamanan dan ketertiban di jalan raya.
5.3 Pola Interaksi Anak Jalanan di Rumah Singgah Pola interaksi adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan dan pembina di ruma h singgah yang mewarnai hubungan di antara mereka, ditunjukkan melalui frekuensi kehadiran anak jalanan dalam kegiatan pembinaan, tingkat keakraban dan tingkat penyelesaian masalah. Data berikut menunjukkan pola interaksi anak jalanan di rumah singgah yang rata-rata sedang yaitu sebesar 40 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan cukup sering hadir dan mengikuti kegiatan pembinaan, memiliki tingkat keakraban yang tinggi dengan kakak pembina dan sasama anak jalanan, selain itu mereka juga diikutsertakan dalam pengambilan keputusan (musyawarah) yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Rumah Kita. Sebesar 33,3 persen anak jalanan memiliki pola interaksi yang rendah. Hanya sebagian kecil yang memiliki pola interaksi tinggi yaitu sebesar 26,7 persen.
Tabel 13. Pola Interaksi Anak Jalanan di Rumah Kita, 2006
Kategori Rendah (skor total 25-41) Sedang (skor total 42-58) Tinggi (skor total 59-75) Total
Frekuensi 10 12 8 30
Persentase 33,3 40,0 26,7 100,0
Hanya sebagian kecil yang memiliki pola interaksi tinggi dikarenakan anak jalanan pada umumnya memiliki sifat cepat bosan dan lebih mementingkan masalah perut. Berdasarkan hasil pengamatan, pada saat kegiatan pembinaan sedang berlangsung terdapat beberapa anak yang tiba-tiba meninggalkan ruangan dan pergi begitu saja sambil berkata ”cari duit dulu ah”. Mereka pamit namun tidak menunggu sampai memperoleh ijin dari pembina. Berikut penuturan dari (DSW, 26), salah satu pembina di rumah singgah ;
”Disini mah gitu udah biasa... lagi serius belajar tiba-tiba ngloyor aja. Kalo ditegur malah ga mau ikut pembinaan lagi. Saya maklum kok, soalnya mereka masih anak-anak dan tidak suka banyak aturan. Tapi saya tetap mengingatkan mereka dengan cara halus toh itu juga untuk kepentingan mereka.” 5.4 Analisis Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan Peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan adalah segala kegiatan yang dilakukan untuk menjamin, melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara optimal yang daat diukur berdasarkan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan di rumah singgah. Tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan di rumah singgah adalah tingkat dimana kebutuhan anak jalanan di rumah singgah dirasakan sudah terpenuhi berdasarkan penilaian individu anak jalanan itu sendiri. Upaya perlindungan anak
sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang menjadi hak anak-anak, terutama bagi anak jalanan yang sangat membutuhkan perlindungan karena hidup di jalanan dan mereka masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua. Adapun hak dan kebutuhan anak dalam penelitian ini adalah (1) kebutuhan makan tiga kali sehari, (2) kebutuhan pakaian, (3) kebutuhan kesehatan, (4) kebutuhan tempat tinggal/berlindung, (5) kebutuhan pendidikan, (6) kebutuhan kasih sayang dan perhatian, dan (7) uang saku atau uang jajan.
Tabel 14. Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 Kategori Kurang Baik (skor total 9-14) Cukup Baik (skor total 15-21) Baik (skor total 22-27) Total
Frekuensi 0 17 13 30
Persentase 0 56,7 43,3 100,0
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa rumah singgah telah memberikan upaya perlindungan yang cukup baik terhadap sebagian besar anak jalanan yang diperlihatkan dengan angka 56,7 persen. Hal ini berarti bahwa sebagian besar anak jalanan telah menerima apa yang menjadi hak dan kebutuhan mereka di Rumah Kita. Rumah singgah Rumah Kita telah berperan dengan cukup baik dalam memenuhi hak dan kebutuhan anak-anak terutama anak jalanan. Mereka telah menyediakan rumah atau tempat berlindung yang cukup layak, menyediakan makanan walaupun tidak tiga kali sehari, menyediakan pakaian layak pakai yang diperoleh dari bantuan para donatur, menyediakan kotak P3K (Pertolongan Pertama
pada Kecelakaan) dan bantuan biaya kesehatan seandainya mereka memiliki penyakit yang berat dan membutuhkan perawatan rumah sakit. Selain itu mereka juga melakukan pembinaan pendidikan dan keterampilan seperti membaca, menulis, bermain musik, menjahit, menyablon dan membuat beraneka ragam kerajinan tangan. Pembina rumah singgah berusaha memberikan perhatian dan kasih sayang melalui nasihat juga rekreasi (berkumpul dan bermain bersama ke suatu tempat) yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak terutama anak jalanan yang hidup jauh dari orang tua agar mereka merasa aman dan bahagia. Namun pihak rumah singgah tidak memberikan uang saku sebab anak-anak jalanan pun bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Hak anak jalanan dalam menentukan masa depannya (mencapai harapan dan cita-cita) terpenuhi ketika mereka mampu merealisasikan pembinaan pendidikan dan keterampilan yang telah diberikan di rumah singgah setelah mereka berusia diatas 18 tahun atau setelah keluar dari rumah singgah misalnya menjadi penjahit atau menjadi penyablon. Berikut ini adalah keterangan salah seorang anak jalanan yang menggambarkan kepuasan terhadap upaya perlindungan yang dilakukan oleh rumah singgah Rumah Kita.
” Saya ga tau yang namanya rumah singgah tapi sekarang saya tau, dulu saya mah tidur di mana aja seketemunya bisa di jalan atau numpang di kontrakan temen. trus waktu itu saya di ajak kak ES tinggal di sini, sampe di sini saya jadi betah soalnya diajarin macem-macem jadi ga bosen, saya ngerasa beruntung! dan saya niat jadi pembina kalau saya udah dewasa nanti.” (Dn, 18)
5.4.1
Hubungan Jenis Kelamin dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Tabel 15. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Cukup Baik Baik Total
Jenis Kelamin Laki-laki n 15 10 25
% 60 40 100
Perempuan n 2 3 5
% 40 60 100
Total n 17 13 30
% 56,7 43,3 100
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar anak perempuan, yaitu tiga dari lima orang (60 persen) mendapat perlindungan yang baik di rumah singgah. Hal ini dikarenakan anak jalanan perempuan lebih rentan terhadap perlakuan kasar dan diskriminasi dari lingkungan sekitar karena dianggap makhluk yang lemah dan tidak dapat melindungi diri sendiri. Berbeda dengan laki-laki yang lebih mampu mempertahankan diri dari kerasnya kehidupan jalanan. Terdapat kecenderungan bahwa peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan terutama bagi anak perempuan jauh lebih baik dibanding dengan anak laki-laki. Berdasarkan hasil uji Chi-Square (lampiran 3) yang dilakukan pada variabel jenis kelamin terhadap upaya perlindungan pada tingkat signifikansi 0,05 diperoleh nilai asymptotic signifikansi 0,410 yang lebih besar dari α =0,05, maka dapat
diartikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel jenis kelamin dengan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan. Hal ini karena upaya perlindungan di rumah singgah tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, dimana pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan untuk anak laki-laki maupun perempuan adalah sama. Demikian juga pemenuhan kebutuhan pendidikan dan keterampilan, contohnya adalah setiap anak jalanan binaan baik laki-laki maupun perempuan diikutsertakan dalam kegiatan menjahit, padahal menjahit lebih identik dengan perempuan. Menurut salah seorang pembina, anak-anak jalanan yang menjadi binaan rumah singgah harus terampil, semua harus mampu mengikuti pelajaran yang telah disediakan, tidak mengharuskan perempuan untuk pandai menjahit atau laki-laki harus pandai main musik. Namun pembina berharap anak-anak jalanan dapat mempelajari semua keterampilan. Setidaknya sebagai bekal yang suatu saat dapat direalisasikan untuk mencari penghasilan.
5.4.2
Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Tabel 16. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006
Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Cukup Baik Baik Total
Jenis Pekerjaan Usaha Dagang
Usaha Jasa
Pengamen
Kerja Serabutan
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
3 3 6
50 50 100
6 2 8
75 25 100
7 6 13
53,8 46,2 100
1 2 3
33,3 66,7 100
17 13 30
56,7 43,3 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar (75 persen) anak jalanan yang memiliki pekerjaan pada kelompok usaha jasa mendapat perlindungan yang cukup baik di rumah singgah. Pekerjaan yang dijalani, apapun bentuknya pasti memiliki resiko apalagi harus bekerja di jalanan yang rawan terhadap penyakit yang diakibatkan dari debu jalanan, asap dari kendaraan bermotor dan rawan terhadap kecelakaan lalu lintas sehingga sangat membutuhkan perlindungan. Namun dalam hal ini upaya perlindungan yang dilakukan tidak memandang jenis pekerjaan yang dijalani oleh anak jalanan binaan Rumah Kita. Tidak dapat dikatakan semakin pasti jenis pekerjaan maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji Chi-Square (lampiran 3) antara variabel jenis pekerjaan terhadap upaya perlindungan pada tingkat signifikansi 0,05 diperoleh nilai asymptotic signifikansi 0,591 yang lebih besar dari α =0,05. Artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dengan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan. Hal ini dikarenakan Rumah singgah Rumah Kita memberikan keterampilan yang dibutuhkan anak jalanan seperti menyablon, menjahit, dan bermain musik
namun tidak semua keterampilan yang diberikan relevan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan. Sebagian besar dari mereka memiliki pekerjaan sebagai pengamen yang hanya relevan dengan keterampilan bermain musik sedangkan tidak ada yang bekerja sebagai penjahit atau penyablon padahal mereka diberikan keterampilan menjahit dan menyablon.
5.4.3
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Tabel 17. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Tingkat Pendidikan Rendah n
Sedang n
Total
Cukup Baik
14
% 53,8
3
% 75
n 17
% 56,7
Baik
12
46,2
1
25
13
43,3
Total
26
100
4
100
30
100
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar (75 persen) anak jalanan yang memiliki pendidikan tergolong sedang mendapat perlindungan yang cukup baik di rumah singgah. Kemudian untuk anak jalanan yang pendidikannya tergolong rendah mendapat perlindungan yang baik (46,2 persen) lebih besar bila dibandingkan dengan anak jalanan yang memiliki pendidikan tergolong sedang, yaitu hanya 25 persen yang dilindungi dengan baik. Sehingga terdapat kecenderungan semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki anak jalanan
maka semakin baik peranan rumah singgah dalm upaya perlindungan anak jalanan. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman (lampiran 3) diperoleh nilai signifkansi 0,026 lebih kecil dari α =0,05 yang dapat diartikan bahwa terdapat korelasi atau hubungan antara variabel tingkat pendidikan dengan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan. Sedangkan nilai koefisien korelasi 0,406 yang berada antara 0,40-0,70 menunjukkan hubungan yang cukup berarti. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan anak jalanan pada umumnya tergolong rendah yaitu sebagian dari mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tamat tingkat Sekolah Dasar (SD), sehingga mereka sangat membutuhkan pendidikan dalam hal ini selain membaca dan menulis, mereka juga dibekali pendidikan keterampilan seperti teater, menjahit, menyablon, dan bermain musik.
5.4.4 Hubungan Tingkat Kemiskinan Keluarga dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan Tabel 18. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Kemiskinan Keluarga dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindu ngan Anak Jalanan
Tingkat Kemiskinan Sangat Miskin Sekali n
%
Miskin Sekali n
%
Miskin n
%
Total n
%
Cukup Baik
1
14 ,3
10
62 ,5
6
85 ,7
17
5 6 , 7
Baik
6
85 ,7
6
37 ,5
1
14 ,3
13
4 3 , 3
Total
7
10 0
16
10 0
7
10 0
30
1 0 0
Tabel 18 tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar (85,7 persen) anak jalanan yang berasal dari keluarga yang tergolong sangat miskin sekali mendapatkan perlindungan yang baik di rumah singgah. Hal ini sangat pantas karena pada golongan ini anak jalanan tidak mendapatkan hak dan kebutuhannya dengan baik ketika masih hidup bersama keluarganya. Terdapat kecenderungan bahwa semakin miskin kondisi ekonomi anak jalanan maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman (lampiran 3) diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel tingkat kemiskinan dengan variabel tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan. Hal ini diketahui dari nilai signifikansi 0,031 yang lebih kecil dari α =0,05. Selanjutnya nilai koefisien korelasi 0,394 berada antara 0,20-0,40, maka dapat dikatakan terdapat hubungan yang rendah sekali tetapi pasti. Hal ini dikarenakan sebagian besar anak jalanan berasal dari keluarga miskin sekali yang menyebabkan kurangnya kemampuan
sebuah rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) anggota keluarganya. Keberadaan rumah singgah sangat besar peranannya dalam memberikan upaya perlindungan terhadap anak jalanan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin, diantaranya adalah dengan memberikan apa yang menjadi hak dan kebutuhan setiap manusia terutama anak-anak yaitu sandang, pangan, papan juga pendidikan dan kesehatan agar mereka merasa terlindungi baik dari ancaman orang jahat, cuaca buruk bahkan kuman penyakit. Walaupun tidak terpenuhi secara sempurna, namun dengan adanya rumah singgah ini mereka dapat hidup lebih layak dan dapat terus menjaga kelangsungan hidupnya. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh salah satu anak jalanan di Rumah Kita.
”Saya ga bisa ngasih apa-apa untuk ngucapin terimakasih sama kakak-kakak di Rumah Kita, keluarga saya orang miskin, kadang sehari makan sehari ga boro-boro sekolah.... saya bisa hidup dan punya kerjaan walaupun cuma ngamen itu karena bantuan Rumah Kita juga, udah gitu dikasih makan, baju, kalo sakit bisa diobatin, coba kalo saya ga tinggal disini saya pasti tidur di jalanan dan ga keurus.” (Dn, 18)
5.4.5 Hubungan Tingkat Konflik Keluarga dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan Tabel 19. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Konflik Keluarga dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006
Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindu ngan Anak Jalanan
Tingkat Konflik Keluarga Rendah
Sedang
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Cukup Baik
6
60
11
68 ,8
0
0
17
5 6 , 7
Baik
4
40
5
31 ,2
4
10 0
13
4 3 , 3
Total
10
10 0
16
10 0
4
10 0
30
1 0 0
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (100 persen) anak jalanan dengan tingkat konflik keluarga tergolong tinggi mendapatkan perlindungan yang baik. Anak jalanan dengan tingkat konflik yang tinggi berarti memiliki beban mental dan tekanan kehidupan yang sangat berat sehingga sangat memerlukan perlindungan. Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat konflik keluarga maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman (lampiran 3) diperoleh nilai signifikansi 0,008 lebih kecil dari α =0,05 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara variabel tingkat konflik keluarga dengan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan di rumah singgah. Nilai koefisien korelasi 0,474 yang berada antara 0,40-0,70 menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang cukup
berarti. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak jalanan merupakan produk dari keluarga broken home. Berdasarkan tabel 7 sebagian besar anak jalanan mengalami tingkat konflik keluarga yang tergolong sedang, hal ini berarti bahwa mereka mengalami konflik dalam keluarga. Dapat dikatakan cukup sering terjadi konflik antar orangtua dan antara diri mereka dengan orangtua. Tentu saja anak-anak yang mengalami konflik dalam keluarga sangat memerlukan perlindungan. Upaya perlindungan yang dilakukan oleh rumah singgah adalah selain menyediakan tempat perlindungan dalam bentuk fisik bangunan juga dengan menciptakan suasana kekeluargaan yang dibangun atas dasar kasih sayang, dengan menunjukkan bahwa setiap masalah dapat diselesaikan dengan cara musyawarah/diskusi dan tidak dengan kekerasan. Maka dari itu Rumah Kita mengadakan diskusi rutin setiap hari senin atau disebut dengan Diselam (diskusi senin malam). Anak-anak binaan diberikan kesempatan dalam setiap diskusi untuk bercerita dan menyampaikan masalah yang dihadapi dalam hidupnya (masalah keluarga, pekerjaan, dan hubungan dengan teman) dan bersama -sama mencoba mencari solusi untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah tersebut.
5.4.6
Hubungan Motivasi untuk Bekerja dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Tabel 20. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Motivasi Untuk Bekerja dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006
Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Cukup Baik Baik Total
Motivasi untuk Bekerja Sedang n 15 9 24
% 62,5 37,5 100
Tinggi n 2 4 6
Total % 33,3 66,7 100
n 17 13 30
% 56,7 43,3 100
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (66,7 persen) anak jalanan dengan motivasi untuk bekerja yang tinggi mendapatkan perlindungan yang baik di rumah singgah. Hal ini dikarenakan motivasi yang tinggi untuk bekerja dapat membuat mereka lupa melakukan hal yang lain, seperti tidak datang dalam kegiatan pembinaan bahkan lupa makan. Hal tersebut menyebabkan anak jalanan ini membutuhkan perhatian lebih. Terdapat kecenderungan semakin tinggi motivasi untuk bekerja maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Namun berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman (lampiran 3) diperoleh nilai signifikansi 0,724 lebih besar dari α =0,05 me nunjukkan tidak terdapat korelasi antara motivasi untuk bekerja dengan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan di rumah singgah. Hal ini dikarenakan motivasi untuk bekerja merupakan faktor pendorong yang timbul dari dalam diri seseorang yang tidak dapat dipaksakan oleh orang lain. Pihak rumah singgah hanya sebagai fasilitator yang menyediakan fasilitas berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan kasih sayang namun hal tersebut tidak dapat mempengaruhi motivasi untuk bekerja pada anak-anak jalanan
binaan rumah singgah, tidak semua anak yang sebelumnya memiliki motivasi untuk bekerja yang rendah berubah menjadi tinggi setelah menikmati semua fasilitas tersebut. Masih ada faktor lain yang mempengaruhi motivasinya untuk bekerja yaitu faktor keuangan (modal) yang kurang bahkan tidak ada, faktor lingkungan kerja yang tidak bersahabat, faktor penghasilan yang tidak memadai dan sebagainya. Berikut penuturan salah seorang anak jalanan yang memiliki motivasi untuk bekerja tergolong sedang;
”Saya males kerja tekun abis modal pas-pasan, tiap hari gali lobang tutup lobang. Kalau saya lagi mau kerja ya saya kerja tapi kalau ga mau yang tidur aja di rumah, padahal saya suka ditegur sama kakak pembina...” (Ipl, 18)
5.4.7
Hubungan Tingkat Penindasan Anak Jalanan dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan
Tabel 21. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Penindasan dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindu ngan Anak Jalanan
Cukup Baik
Tingkat Penindasan Rendah
Sedang
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
1
10 0
13
68 ,4
3
30
17
5 6 , 7
Baik
0
0
6
31 ,6
7
70
13
4 3 , 3
Total
1
10 0
19
10 0
10
10 0
30
1 0 0
Berdasarkan tabel 21 tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar (100 persen) anak jalanan dengan tingkat penindasan yang rendah mendapat perlindungan yang cukup baik di rumah singgah tetapi sebagian besar lagi, yaitu 70 persen anak jalanan dengan tingkat penindasan tinggi mendapatkan perlindungan yang baik. Hal tersebut menunjukkan adanya kecenderungan semakin tinggi tingkat penindasan yang dialami anak jalanan maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman (lampiran 3) diperoleh nilai signifikansi 0,019 lebih kecil dari α =0,05 menunjukkan adanya korelasi atau terdapat hubungan antara permasalahan anak jalanan dengan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan di rumah singgah. Angka 0,424 terdapat di antara 0,40-0,70 menunjukkan keduanya memiliki hubungan yang cukup berarti. Hal ini dikarenakan tidak hanya penindasan yang dihadapi di tingkat keluarga tetapi juga di lingkungan kerja sehari-hari dan penindasan di tingkat pemerintahan dalam bentuk kekerasan fisik, mental dan seksual yang cukup sering. Melihat kenyataan tersebut anak jalanan sangat mebutuhkan perlindungan. Bentuk perlindungan yang dilakukan oleh rumah singgah adalah dengan memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal atau tempat berlindung dan kebutuhan kasih sayang
serta perhatian seperti menyediakan waktu untuk mendengarkan cerita atau pengalaman anak jalanan yang dialami di dalam keluarga, masalah di lingkungan kerja sehari-hari (pemalakan, berebut wilayah kerja, dan lain-lain) dan masalah dengan aparat pemerintah seperti ditangkap dan dipenjara. Hal tersebut dapat membuat anak merasa diperhatikan dan terlindungi. 5.4.8 Hubungan Pola Interaksi Anak Jalanan dengan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan Tabel 22. Komposisi Anak Jalanan Berdasarkan Pola Interaksi dan Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan, di Rumah Kita, 2006 Peranan Rumah Singgah dalam Upaya Perlindunga n Anak Jalanan
Pola Interaksi Rendah
Sedang
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Cukup Baik
6
60
9
75
2
25
1 7
56, 7
Baik
4
40
3
25
6
75
1 3
43, 3
Total
1 0
10 0
1 2
10 0
8
10 0
3 0
100
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (75 persen) anak jalanan dengan pola interaksi tinggi mendapatkan perlindungan yang baik di rumah singgah. Tingginya frekuensi kehadiran, tingkat keakraban dan tingkat keterlibatan anak jalanan dalam penyelesaian masalah menyebabkan anak jalanan membutuhkan kontrol yang maksimal agar keharmonisan di dalam keluarga rumah singgah tetap
berjalan dengan baik.
Pola interaksi yang tinggi cenderung melibatkan berbagai
karakter dan sifat yang berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu perbedaan harus dapat disatukan dan tidak menjadikan bentrokan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pola interaksi anak jalanan di rumah singgah maka semakin baik peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman (lampiran 3) diperoleh nilai signifikansi 0,020 lebih kecil dari α =0,05 menunjukkan bahwa terdapat korelasi atau hubungan antara pola interaksi anak jalanan di rumah singgah dengan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan di rumah singgah. Sedangkan nilai koefisien korelasi 0,422 yang berada antara 0,40-0,70 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut cukup berarti. Hal ini dikarenakan pola interaksi yang cukup tinggi menyebabkan mereka sangat memerlukan energi baik melalui pemenuhan kebutuhan fisik seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan mental/spiritual yang dilakukan melalui kegiatan rekreasi dan juga melalui pembinaan moral seperti pengajian. Hal ini dimaksudkan agar hubungan di dalam keluarga rumah singgah tetap berjalan dengan baik, begitu juga hubungan sosial dengan masyarakat luas.
BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Anak jalanan binaan rumah singgah Rumah Kita memiliki usia sekitar 9-18 tahun. Sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 25 orang sedangkan perempuan hanya lima orang. Hal ini karena sebagian besar anak jalanan perempuan pulang ke rumah orangtuanya. Pekerjaan anak jalanan binaan Rumah Kita digolongkan ke dalam empat kategori yaitu usaha dagang (enam orang), usaha jasa (delapan orang), pengamen yang merupakan pekerjaan dominan (paling banyak dilakukan) yaitu sebanyak 13 orang. Sebagian besar pendidikan anak jalanan binaan Rumah Kita tergolong rendah yaitu mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tamat Sekolah Dasar. Terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi anak jalanan binaan Rumah Kita turun ke jalan antara lain adalah keadaan ekonomi yang lemah (kemiskinan keluarga) dan sebagian besar anak binaan Rumah Kita berasal dari keluarga miskin sekali. Kedua, anak jalanan memiliki tingkat konflik yang tergolong sedang artinya mereka cukup sering mengalami konflik dalam keluarga baik dalam bentuk pertengkaran sampai bentrokan fisik. Ketiga adalah motivasi untuk bekerja anak-anak jalanan binaan Rumah Kita yang tergolong sedang (cukup tinggi) juga menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi anak turun ke jalan.
Peindasan terhadap anak jalanan pun sangat memprihatinkan. Pada usia yang relatif muda, permasalahan anak jalanan binaan Rumah Kita tergolong sedang. Artinya sebagian besar anak jalanan cukup sering mengalami penindasan baik di tingkat keluarga, di lingkungan kerja sehari-hari dan di tingkat pemerintahan. Bentuknya dapat berupa kekerasan fisik (pukulan, tendangan dan tamparan), psikologi (makian, ancaman, dan hinaan) dan seksual (dirba dan diperkosa/disodomi). Pola interaksi di Rumah Kita dapat dilihat melalui frekuensi kehadiran, tingkat keakraban dan tingkat penyelesaian masalah. Pola interaksi yang terjadi antara sesama anak jalanan dan pembina tergolong sedang. Artinya anak jalanan cukup sering hadir dan mengikuti kegiatan pembinaan, hubungan yang terjalin di Rumah Kita cukup erat, dalam hal ini anak jalanan cukup sering menceritakan (curhat) tentang masalah yang terjadi di keluarganya, hubungan dengan lawan jenis dan dengan sesama anak jalanan di rumah singgah kepada kakak pembina. Selain itu anak jalanan cukup sering berpartisipasi dalam musyawarah atau diskusi dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang terjadi di rumah singgah. Peranan rumah singgah Rumah Kita dalam upaya perlindungan anak jalanan dapat dikatakan cukup baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan penilaian anak jalanan binaan dalam tingkat pemenuhan kebutuhan di Rumah Kita yang tergolong cukup baik. Artinya dalam upaya perlindungan, rumah singgah Rumah Kita sudah berperan dalam hal memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan keluarga seperti memberikan makan, pakaian, tempat tinggal, jaminan kesehatan, pendidikan keterampilan, rasa aman dan bahagia melalui kasih sayang dan perhatian. Namun masih terdapat kelemahan yaitu
pihak rumah singgah belum mampu meyediakan kesempatan kerja sesuai dengan keterampilan yang diberikan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peranan rumah singgah dalam upaya perlindungan anak jalanan antara lain tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan keluarga, tingkat konflik keluarga,
penindasan terhadap anak jalanan dan pola
interaksi anak jalanan di rumah singgah.
6.2. Saran § Pihak Rumah Kita sebaiknya menambah jenis kegiatan pembinaan keterampilan agar anak-anak binaan tidak merasa bosan. § Pihak Rumah Kita sebaiknya mencari dan mengakomodir informasi terbaru tentang pemenuhan kebutuhan anak jalanan. § Pihak Rumah Kita dapat menyediakan wadah atau sarana untuk memasarkan hasil karya mereka misalnya tempat untuk menjual pakaian dengan sablon yang dibuat oleh anak binaan. Hal ini dapat berguna juga untuk menambah penghasilan anak jalanan. § Struktur Organisasi di Rumah Kita sebaiknya tidak hanya berfungsi mengurus masalah-masalah teknis namun harus mampu menjalankan fungsi perlindungan. Sebagai contoh, sekretaris tidak hanya mencatat hasil diskusi dan rapat serta membuat laporan kegiatan yang dilakukan di rumah singgah setiap bulan namun dapat melindungi anak jalanan dalam bentuk pendampingan pada saat mereka bermasalah dengan hukum/aparat keamanan.
§ Bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya mencari literatur yang terbaru dan terakurat menyangkut hak-hak dan kebutuhan anak terutama anak jalanan. Karena semakin hari hak dan kebutuhan anak jalanan semakin luas dan bervariasi. DAFTAR PUSTAKA
Amal, Mhd. Ridha Haykal. 2002. Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah YKAI. Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta. Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi III. Rinema Cipta. Jakarta. Camelia, Fitri. 1999. Fungsi Keluarga Bagi Anak Jalanan di Perkotaan. Skripsi Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor. Departemen Sosial RI. 1998. Efektifitas Rumah Singgah dan Modal Sahabat Anak Jalanan DKI Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, Jakarta. Departemen Sosial RI. 1999. Hasil Penelitian Tentang Anak Jalanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, Jakarta. Departemen Sosial RI. 2002. Informasi Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, Jakarta. Firman. 2005. Relasi Pekerja Sosial Dalam Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Makalah Seminar Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Padang, BK3S, Padang. Goode, William J. 1985. Sosiologi Keluarga. PT. BINA AKSARA. Jakarta. Handoko, Hani T. 1994. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta.
Hasanudin, Ichwan. 2000. Latar Belakang dan Dampak dari Keberadaan Anak Jalanan di Perempatan Coca Cola Pulo Gadung Jakarta Utara. Skripsi Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor. Hardi. 2003. LBH Kembangkan Perlindungan Terhadap Anak Jalanan. Kompas. Yogyakarta. [www.kompas.com/kompas-cetak/0306/19/jateng/379445.htm-38k] Irwanto. 1995. Pekerja Anak di Kota Besar. Pusat Penelitian UNIKA Atma Jaya. Jakarta. Joni, M. 2005. Pengadilan Anak. Transkrip Talkshow Delik 13 Oktober 2003. MaPPI Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Kartini, Sri Susanti. 2001. Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Faktor Penyebab Menjadi Anak Jalanan. Skripsi Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Kusumanegara, Arum. 1994. Penelitian Mengenai Anak Jalanan di Jakarta: Profil Kebijakan dan Program. Data Informan Anak Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dan Private Agency Collaborating Together, Jakarta. Mulyanto. 2005. Model Pengembangan Anak dalam Perlindungan Khusus. Laporan Penelitian Pada Konferensi Nasional Kesejahteraan Sosial Ketiga, DNIKS, Bukittinggi. Prabowo, Budhy. 2004. Anak-anak Korban Tsunami : Mereka Perlu Perlindungan Khusus. Media Perempuan Edisi No.6 (Halaman 11-14). Biro Umum dan Humas Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta. 2004. Pemberdayaan Anak Jalanan. Media Perempuan Edisi No.6 (Halaman 23-30). 2004. Fenomena Anak Jalanan, Tanggung Jawab Siapa?. Media Perempuan Edisi No.6 (Halaman17-21). Prasadja, Heru dan Murniati Agustian. 2000. Anak Jalanan dan Kekerasan. PKPM Unika Atma Jaya bekerjasama dengan Depsos RI. Jakarta
Rusmana, Aep. 2001. Pemberdayaan Anak Jalanan Pada Masyarakat Kota Cipinang Kebembem, Jakarta Timur. Tesis Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta. Setiawan, Singgih B. 2000. Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Keluarga. Suara Karya. [www.suarakarya-online.com/news.html?id=98743-25k-hasiltambahan] Siegel, Sidney. 1997. Statististik Non Parametrik unhtuk Penelitian Sosial. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Silva, Teresita L. 1996. Community Mobilization For Protection and Rehabilitation of Street Children. Makalah disampaikan dalam “International Conference on Street Children” 10-11 September 1994 di Yogyakarta. Silvianti, Irma. 1997. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peranan Pekerja Anak Bagi Keluarga. Skripsi Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor. Sinaga, Asniati. 2000. Evaluasi Program Pemberdayaan Anak Jalanan : Proyek Pembinaan Mental/Spiritual dan Material. Skripsi Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor. Sujarwanti, Titik. 2003. Sikap dan Perilaku Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah. Skripsi Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor. ST, Sularto. 2000. Seandainya Aku Bukan Anakmu (Potret Kehidupan Anak Indonesia). Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Thamrin, Juni. 1996. Dehumanisasi Anak Marjinal : Berbagai Pengalaman Pemberdayaan. AKATIGA. Bandung. Werdiastuti, Maydian. 1998. Kebutuhan Pendidikan Anak Jalanan pada Rumah Singgah YKAI. Tesis FISIP UI, Jakarta.
LAMPIRAN 1. KUESIONER
No. Responden : Lokasi wawancara : Hari/Tgl wawancara : Karakter Individu Anak Jalanan 1. Nama : 2. Jenis Kelamin : 3. Umur : 4. Jenis Pekerjaan : 1. Usaha dagang 1. Menjual makanan/minuman 2. Menjual rokok/permen 3. Menjual Koran/majalah 4. Menjual mainan 5. Lainnya :…………………… (sebutkan) 2. Usaha jasa 1. ojek payung 2. semir sepatu 3. kuli angkut barang 4. tukang parkir 5. lap mobil 6. pemulung 7. lainnya :…………………… (sebutkan) 3. 1. Peminta-minta 2. Pengamen 4. Kerja serabutan/tidak memiliki pekerjaan tetap (ceritakan) Pendidikan 5. Apakah saudara masih sekolah saat ini? 1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no.8) 6. Jika ya, tingkat pendidikan apa yang saudara jalani saat ini? 1. SD, kelas ………………….
2. SMP, kelas ……………….. 3. SMA, kelas……………….. 7. Darimana biaya sekolah yang saudara peroleh? 1. Orangtua 2. Sendiri 3. Bantuan/beasiswa 8. Sejak kapan saudara berhenti sekolah? 1. Sebelum menjadi anak jalanan 2. Sesudah menjadi anak jalanan 9. Tingkat pendidikan apa yang anda tinggalkan? 1. SD, kelas …………………. 2. SMP, kelas ……………….. 3. SMA, kelas……………….. 10. Mengapa berhenti sekolah? 1. Tidak ada biaya 2. Disuruh orangtua 4. Kemauan sendiri Latar Belakang Anak Turun ke Jalan a. Tingkat kemiskinan keluarga 11. Apakah ayah saudara bekerja? 1. Ya 2. Tidak 12. Apakah pekerjaan ayah saudara? 1. Buruh pabrik 2. Buruh bangunan 3. Petani 4. Dagang 5. .......................... (lain-lain) 13. Berapa penghasilah ayah saudara per-bulan? Rp........................... 14. Apakah ibu saudara bekerja? 1. Ya 2. Tidak 15. Apakah pekerjaan ibu saudara? 1. Pembantu Rumah Tangga 2. Buruh pabrik 3. Petani 4. Dagang 5. ……………….. (lain-lain) 16. Berapa penghasilan ibu saudara per-bulan? Rp. ...........................
Pernyataan nomor 17 - 106 beri tanda ceklis [v] pada kolom yang sesuai dengan jawaban saudara b. Tingkat konflik keluarga No. Pernyataan
S
J
TP
17 Ayah bertengkar dengan ibu 18 Ayah memarahi ibu 19 Ayah memukuli ibu 20 Ibu memarahi ayah 21 Ibu memukul ayah 22 Ayah memarahi saya 23 Ibu memarahi saya 24 Saya dipukul ayah 25 Saya dipukul ibu 26 Saya melawan ayah 27 Saya melawan ibu 28 Ayah meninggalkan rumah 29 Ibu meninggalkan rumah c. Motivasi untuk bekerja No. Pernyataan 30 Saya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup 31 Saya bekerja untuk membantu orangtua 32 Saya bekerja untuk makan 33 Saya bekerja untuk beli pakaian 34 Saya bekerja agar punya tempat tinggal 35 Saya bekerja agar punya banyak uang 36 Saya bekerja agar punya banyak teman 37 Saya bekerja agar masa depan lebih baik
SS
S
TS
Permasalahan Anak Jalanan d. Penindasan di tingkat keluarga No. Pernyataan 38 Ayah memarahi saya 39 Ibu memarahi saya 40 Ayah berbicara kasar pada saya 41 Ibu berbicara kasar pada saya 42 Ayah mengancam saya 43 Ibu mengancam saya 44 Kakak/adik mengancam saya 45 Ayah memukul saya 46 Ibu memukul saya 47 Kakak/adik memukul saya 48 Saya mengalami pelecehan seksual 49 Saya dipaksa untuk bekerja 50 Saya tidak diijinkan untuk bermain 51 Saya merasa dianaktirikan 52 Saya merasa tidak memiliki keluarga
S
J
TP
b. Penindasan di lingkungan kerja sehari-hari No. Pernyataan 53 Saya dimarahi teman 54 Saya digebukin teman 55 Saya dipalak 56 Saya dimanfaatkan oleh teman 57 Saya dihajar sesama anak jalanan karena melewati batas wilayah kerja 58 Saya mengalami pelecehan seksual 59 Saya bertengkar dengan teman 60 Saya dimarahi oleh masyarakat 61 Saya dipukul oleh masyarakat 62 Saya dilecehkan oleh masyarakat c. Penindasan di tingkat pemerintah No. Pernyataan 63 Saya dilarang bekerja 64 Saya dikejar-kejar kamtib 65 Saya ditangkap kamtib 66 Saya dipenjara 67 Saya dihajar kamtib 68 Saya diludahi 69 Saya ditampar 70 Saya ditendang 71 Saya mengalami pelecehan seksual 72 Saya dituduh melakukan kejahatan
S
J
TP
S
J
TP
Pola Interaksi di Rumah Singgah a.Frekuensi kehadiran No. Pernyataan 73 Saya mengikuti kegiatan teater 74 Saya mengikuti kegiatan diskusi senin malam 75 Saya mengikuti kegiatan latihan menyablon 76 Saya mengikuti latihan membuat perhiasan dari bahan manik-manik 77 Saya mengikuti kegiatan musik kamis 78 Saya mengikuti kegiatan musik jumat 79 Saya mengikuti kegiatan movie mania (nonton film) 80 Saya mengikuti kegiatan rapat 81 Saya mengikuti kegiatan pengajian 82 Saya mengikuti kegiatan menjahit b. Tingkat Keakraban No. Pernyataan 83 Saya curhat tentang masalah keluarga kepada kakak *) 84 Saya curhat dengan kakak bila ada masalah dengan teman dirumah singgah
S
S
J
J
TP
TP
85
Saya curhat kepada kakak bila sedang menyukai lawan jenis 86 Saya bisa bersendagurau dengan kakak 87 Kakak menyediakan waktu untuk mendengar cerita/keluhan saya 88 Kakak menegur saya bila saya melakukan kesalahan 89 Saya curhat kepada teman sesama anak jalanan binaan 90 Saya bersendagurau dengan teman sesama anak jalanan binaan 91 Teman menemani saya saat senang dan sedih 92 Saya menganggap teman seperti keluarga sendiri c. Tingkat Penyelesaian Masalah No. Pernyataan 93 Saya diikutsertakan dalam musyawarah untuk membahas masalah di rumah singgah 94 Saya bebas mengemukakan pendapat 95 Kakak-kakak mendengar pendapat saya 96 Saya merasa dihargai sebagai anggota keluarga rumah singgah 97 Pendapat saya dijadikan solusi untuk menyelesaikan masalah
S
J
TP
Upaya Perlindungan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan di Rumah Singgah No. Pernyataan
J S
98 99 100 101 102 103 104 105 106
Saya memperoleh makanan 3x sehari di rumah singgah Saya memperoleh pakaian di rumah singgah Saya memperoleh jaminan kesehatan (obatobatan) di rumah singgah Saya mendapatkan kasih sayang dan perhatian di rumah singgah Saya merasa aman dari kekerasan fisik, mental dan seksual selama berada di rumah singgah Saya merasa rumah singgah seperti rumah sendiri Saya memperoleh pendidikan seperti membaca, menulis dan berhitung Saya memperoleh pelajaran keterampilan seperti menjahit, kerajinan tangan dan lain -lain Saya diberi uang saku/uang jajan di rumah singgah
TP
Keterangan: *) sebutan untuk pekerja sosial yang membina anak jalanan S: Sering, J: Jarang, TP: Tidak Pernah SS: Sangat Setuju, S: Setuju, TS: Tidak Setuju
PANDUAN PERTANYAAN
Untuk pembina rumah singgah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13.
Kapan Rumah Singgah ‘Rumah Kita’ didirikan? Siapa yang memrakarsai berdirinya Rumah Kita? Dimana pertama kali Rumah Kita berdiri? Darimana dana diperoleh untuk mewujudkan berdirinya Rumah Kita? Berapa jumlah anak jalanan di awal berdirinya Rumah Kita? Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar terhadap berdirinya Rumah Kita di wilayah tempat tinggal mereka? Berapa jumlah pekerja sosial di awal berdirinya rumah singgah? Siapa dan darimana pekerja sosial yang turut mengelola Rumah Kita? Bagaimana struktur organisasi Rumah Kita? Apa saja yang ditawarkan oleh Rumah Kita sehingga menarik Anak Jalanan untuk ikut bergabung? Bagaimana perkembangan Rumah Kita selanjutnya dalam hal pengelolaan (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dll), sumber daya manusia (pekerja sosial), dana, dan jumlah anak jalanan? Apa saja hambatan yang dihadapi dalam mengelola Rumah Kita dari awal berdiri sampai sekarang dan bagaimana mengatasinya ? Apa harapan anda terhadap rumah singgah dan anak jalanan di Bogor khususnya dan di Indonesia pada umumnya?
Untuk warga sekitar 1. Apa yang anda ketahui mengenai rumah singgah? 2. Bagaimana tanggapan anda terhadap keberadaan rumah singgah? 3. Menurut anda apa yang dimaksud upaya perlindungan dan apakah anak jalanan pantas untuk dilindungi? 4. Apakah keberadaan rumah singgah dan anak jalanan di wilayah anda mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat? 5. Alasan apa yang membuat anda menerima anak jalanan di wilayah anda?
6. Bagaimana sikap anak jalanan selama tinggal di wilayah tersebut? 7. Adakah dukungan/bantuan yang diberikan ke rumah singgah? Apa saja bentuknya? 8. Apa harapan anda terhadap anak jalanan dan rumah singgah di masa depan?
LAMPIRAN 3. HASIL UJI KORELASI
A. Uji Chi-Square Hubungan Jenis Kelamin dengan Upaya Perlindungan Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction a Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value ,679b ,109 ,673
,656
1
Asymp. Sig. (2-sided) ,410
1 1
,742 ,412
df
1
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,628
,367
,418
30
a. Computed only for a 2x2 table b. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,17. Symmetric Measures
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Value ,149 30
Approx. Sig. ,410
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
B. Uji Chi-Square Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Upaya Perlindungan
Chi-Square Tests
Value 1,911a 1,975
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
3 3
Asymp. Sig. (2-sided) ,591 ,578
1
,885
df
,021 30
a. 6 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,30.
Symmetric Measures
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Value ,245 30
Approx. Sig. ,591
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
C. Uji Korelasi Rank Spearman Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Upaya Perlindungan Correlations
Tingkat Pendidikan
Upaya Perlindungan
Pearson Correlation
Tingkat Pendidikan 1
Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
, 30 ,406* ,026 30
Upaya Perlindungan ,406* ,026 30 1 , 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
D. Uji Korelasi Rank Spearman Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Upaya Perlindungan
Correlations
Tingkat Kemiskinan
Upaya Perlindungan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
Tingkat Kemiskinan 1 , 30 ,394* ,031 30
Sig. (2-tailed) N
Upaya Perlindungan ,394* ,031 30 1 , 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
E. Uji Korelasi Rank Spearman Hubungan Tingkat Konflik dengan Upaya Perlindungan Correlations
Tingkat Konflik Keluarga
Upaya Perlindungan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Tingkat Konflik Keluarga 1
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
, 30 ,474** ,008 30
Upaya Perlindungan ,474** ,008 30 1 , 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
F. Uji Korelasi Rank Spearman Hubungan Motivasi untuk bekerja dengan Upaya Perlindungan
Correlations
Motivasi Bekerja
Upaya Perlindungan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Motivasi Bekerja 1
Upaya Perlindungan ,067
, 30 ,067 ,724 30
,724 30 1 , 30
G. Uji Korelasi Rank Spearman Hubungan Permasalahan Anak Jalanan dengan Upaya Perlindungan Correlations
Permasalahan Anak Jalanan Upaya Perlindungan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Permasal ahan Anak Jalanan 1 , 30 ,371* ,044
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
30
Upaya Perlindungan ,371* ,044 30 1 , 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
H. Uji Korelasi Rank Spearman Hubungan Pola Interaksi dengan Upaya Perlindungan Correlations
Pola Interaksi
Upaya Perlindungan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
Pola Interaksi 1 , 30
Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
,424* ,019 30
Upaya Perlindungan ,424* ,019 30 1 , 30
Lamp iran 4. Dokumentasi Penelitian