Pengukuran Kinerja Efisiensi dan Produktivitas Pabrik Minyak Sawit (PMS) PT. Perkebunan Nusantara XIII dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Gusti Randy Pratama Mahasiswa Program Studi Teknik Industri Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura
[email protected] Abstract– PT. PTPN XIII is a company engaged in the field of agro-business palm oil and rubber industries. At this time PT. PTPN XIII already has 9 PMS (Palm Oil Mill) are scattered in several regions of Borneo island. Judging from the annual financial statements of the company sources, there are many aspects of the production and costs of each of the PMS, which actualization and targets that are not comparable. Departing from these problems, researchers want to conduct research in terms of efficiency and productivity performance of each of the PMS. It is intended that PMS can know who is running efficiently and that is not efficient. This research uses quantitative research rooted in the company's annual financial statements in the period in 2011, 2012 and 2013 In processing and analyzing the data using method of DEA (Data Envelopment Analysis). DEA is a nonparametric method that uses linear programming models to calculate the ratio of output and input to all units or Decision Making Unit (DMU) were compared. From the data processing using the DEA and assisted MaxDEA software. Only PMS Pelaihari are able to obtain the value 1 throughout efficiency DEA model (CRS, VRS and Scale) within a period of 2 consecutive years, in 2012 and 2013, adding that Pelaihari can be used as a benchmark or reference for PMS inefficient. Keywords: Efficiency, Productivity, Data Envelopment Analysis 1.
Pendahuluan PT. Perkebunan Nusantara XIII (PTPN XIII) mulai memasuki masa konsolidasi pada tahun 1996-1998. Pada masa itu perusahaan memiliki areal inti seluas 50.357 ha, areal plasma 63.097 ha, produksi CPO 151.337 Ton, karet kering 28.814 Ton, kapasitas pengolahan Pabrik Minyak Sawit (PMS) 150 Ton/Jam, pabrik karet (RSS + CR) 40 Ton/Hari. Pada tahun 2012, PTPN XIII telah memiliki areal inti seluas 74.950 ha, areal plasma seluas 88.467 ha, produksi CPO 399.892 ton, produksi inti sawit 71.284 ton, karet 17.833 ton, kapasitas pengolahan PMS 440 ton TBS/Jam, karet 73 ton KK/Hari, pendapatan Rp. 2.953 miliar, total asset Rp. 4.660 miliar, laba komprehensif Rp. 38,49 miliar dan 2 anak perusahaan. Jaringan kantor PTPN XIII meliputi 4 distrik, 1 kantor perwakilan, 2 kantor penghubung, 15 unit kebun kelapa sawit inti, 10 unit
kebun kelapa sawit plasma, 9 pabrik minyak sawit (PMS), 9 unit kebun karet, 2 unit CRF, 1 unit RSS, 2 unit Rumah Sakit. Pada saat ini PT. Perkebunan Nusantara XIII sudah memiliki 9 PMS (Pabrik Minyak Sawit) yang tersebar dibeberapa wilayah Pulau Kalimantan. Jumlah yang sudah banyak akan dapat meningkatkan produktivitas (output) bila diikuti dengan alokasi biaya (input) yang efektif dan efisien. Dilihat dari sumber laporan keuangan tahunan perusahaan, terdapat banyak aspek produksi dan biaya dari masing-masing PMS, yang mana aktualisasi dan target yang tidak sebanding. Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian dalam hal pengukuran kinerja efisiensi dan produktivitas dari masing-masing PMS. Hal ini bertujuan agar dapat mengetahui PMS yang sudah berjalan dengan efisien dan yang belum efisien. Sehingga dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang terjadi dari masingmasing PMS tersebut dan dapat memberikan masukan perbaikan untuk setiap PMS agar kedepannya dapat berjalan dengan produktif dan efisien. Dapat disusun suatu perumusan masalah yaitu : 1. Bagaimana kinerja efisiensi dan produktivitas unit Pabrik Minyak Sawit (PMS) PT. Perkebunan Nusantara XIII ? 2. Faktor-faktor input apa saja yang perlu dikurangi penggunaannya agar kinerja PMS semakin efisien ? 3. Faktor-faktor output apa saja yang perlu ditingkatkan produksinya agar kinerja PMS semakin produktif ? 4. PMS apa yang dapat dijadikan benchmark sehingga menjadi rujukan bagi PMS yang belum efisien ? 2. Teori Dasar Teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah:
a. Data Envelopment Analysis (DEA) Data Envelopment Analysis (DEA) adalah sebuah metodologi yang berdasarkan aplikasi dari program linier. Metode ini awalnya dikembangkan untuk pengukuran kinerja dan telah berhasil digunakan untuk menilai kinerja relatif dari serangkaian perusahaan yang menggunakan berbagai masukan identik input dengan menghasilkan berbagai identik output (Rusydiana, 2013). Data Envelopment Analysis adalah teknik berbasis program linier untuk mengukur kinerja efisiensi dari unit organisasi yang mana disebut Decision Making Units
1
(DMU). Teknik ini bertujuan untuk mengukur seberapa efisien suatu DMU menggunakan sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan suatu output tertentu (Tanjung dan Devi, 2013). DMU dapat mencakup unit manufaktur, departemen organisasi besar seperti universitas, sekolah, cabang bank, rumah sakit, pembangkit listrik, stasiun polisi, kantor pajak, penjara, basis pertahanan, satu set perusahaan atau bahkan professional individu seperti praktisi medis. DEA telah berhasil diterapkan untuk mengukur kinerja efisiensi dari semua jenis dari DMU (Ramanathan, 2003).
b. Model-Model DEA 1) Constant Return to Scale (CRS) Model ini dikembangkan oleh Charnes, Chooper dan Rhodes (Model CCR) pada tahun 1978. Model DEA dengan ancangan CRS mengasumsikan bahwa proses produksi mengikuti CRS, yang artinya setiap peningkatan input secara proporsional dengan persentase tertentu akan meningkatkan output dengan persentase yang sama. Asumsi ini hanya berlaku jika setiap unit bisnis yang diobservasi telah berproduksi pada kapasitas maksimalnya (optimum scale). Efisiensi dengan CRS ini menghasilkan efisiensi overall technical. Untuk mendapatkan skor efisiensi bagi perusahaan i(θ), yang memiliki satu input x dan satu output y, diperoleh dengan memecahkan sistem persamaan linier sebagai berikut: Minθ λθ − + ≥0 + ≤0 ≥0 Keterangan: Y = 1 + 2 + ………+ X = 1 + 2 + ………+ n = jumlah unit bisnis yang diobeservasi x1 = input x untuk unit bisnis 1 y1 = output y untuk unit bisnis 1 = vector dari konstan
(1) (2) (3) (4)
2) Variable Return to Scale (VRS) Model kedua ini dikembangkan oleh Banker, Charnes dan Cooper (Model BCC) pada tahun 1984 dan merupakan model pengembangan dari model sebelumnya, yaitu CCR. Pada kondisi nyata, seringkali persaingan dan kendala-kendala keuangan dapat menyebabkan suatu unit bisnis tidak beroperasi pada skala optimalnya. Padahal asumsi CRS berlaku jika unit bisnis yang diobservasi beroperasi pada skala optimal. Dengan tujuan inilah, Banker, Charnes dan Cooper (1984) memperkenalkan model DEA VRS. Efisiensi Teknis (TE) yang dihitung dengan model VRS ini disebut sebagai Efisiensi Teknis Murni (Pure Techinal Efficiency [PTE]), yang selanjutnya disebut efisiensi teknis. Dengan melakukan estimasi frontier menggunakan model CRS dan VRS, maka dapat dilakukan dekomposisi Efisiensi Teknis Keseluruhan (Overall Technicall Efficiency [OTE]) menjadi Efisiensi
Teknis Murni (Pure Technical Efficiency [PTE]) dan Efisiensi Skala (Scale Efficiency [SE]). Maka perhitungan secara matematisnya adalah: OTE = PTE x SE (5) Skor efisiensi DEA dengan ancangan VRS diperoleh dengan mencari solusi sistem persamaan berikut ini, yang sebenarnya serupa dengan persamaan pada model CRS, namun dengan menggunakan kendala koneksitas N1’ = 1, sehingga: Minθ λθ − + ≥0 + ≤0 1′ ≥ 0 ≥0 Keterangan: Y = 1 + 2 + ………+ X = 1 + 2 + ………+ n = jumlah unit bisnis yang diobeservasi x1 = input x untuk unit bisnis 1 y1 = output y untuk unit bisnis 1 1′ = N X 1 vector 1
(6) (7) (8) (9) (10)
Selain dua model yang telah diperkenalkan diatas, beberapa studi telah membuat dekomposisi skor technical efficiency (TE) dari CRS menjadi dua komponen, yaitu: 1. Mengacu pada skala efisiensi 2. Mengacu pada pure technical efficiency Perolehan ini dapat dilakukan dengan menghitung CRS dan VRS terhadap suatu data yang sama. Jika terdapat selisih diantara kedua skor TE dari setiap DMU, hal tersebut mengindikasikan bahwa DMU memiliki skala efisiensi dan bahwa skala efisiensi dapat dihitung dari selisih antara skor TE VRS dan skor TE CRS.
c. Return to Scale (RTS) Terdapat tiga kondisi return to scale yang akan menggambarkan kondisi setiap DMU, diantaranya adalah: 1. Increasing Return to Scale (IRS) Kondisi IRS bilamana nilai Σ < 1.00 dari model CCR di mana adalah nilai hasil perhitungan DEA. Jika suatu DMU berada pada kondisi IRS, itu berarti bahwa penambahan 1 unit input akan menghasilkan lebih dari 1 unit output. Oleh sebab itu, strategi terbaik bagi DMU tersebut adalah dengan terus menambah kapasitas produksinya. 2. Constant Return to Scale (CRS) Kondisi CRS bilamana nilai efisiensi CRS adalah nilai efisiensi CCR=BCC=1.00 atau = 1 untuk model CCR. Kondisi ini menunjukkan bahwa DMU pada kondisi ini normal yang artinya penambahan 1 unit input akan menghasilkan penambahan 1 unit output. 3. Decreasing Return to Scale (DRS) Kondisi DRS bilamana nilai Σ > 1.00 dari model CCR. Kondisi ini menunjukkan bahwa penambahan 1 unit input maka akan mengurangi 1 unit output. Sehingga strategi terbaik yang dilakukan adalah mengurangi penggunaan input yang ada.
2
3.
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif bersumber pada laporan keuangan tahunan perusahaan pada periode tahun 2011, 2012 dan 2013. Dalam mengolah dan menganalisis data menggunakan metode DEA (Data Envelopment Analysis) dan dibantu dengan software MaxDEA. Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
yang berbeda. Sehingga ukuran efisiensi relatif dalam formulasi matematika yang biasanya digunakan adalah: max
=
subject to 0≤
∑
,
∑
∑
(11)
∑
≤1; n = 1,2,K,N
(12)
≥ 0; i = 1,2,K,I ; j = 1,2,K,J
(13)
dimana = Efisiensi dari DMU = Output dari DMU = Bobot dari output = Input dari DMU = Bobot dari input dan = Bagian output dan input dari setiap DMU b.
Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah kinerja efisiensi dan produktivitas 9 unit PMS (Pabrik Minyak Sawit) yang dimiliki PT. Perkebunan Nusantara XIII. Sembilan unit pabrik inilah yang akan dijadikan DMU (Decision Making Unit) dalam pengukuran kinerja efisiensi dan produktivitas dengan metode DEA. Untuk unit-unit pabriknya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Unit Pabrik dan Lokasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
PMS Gunung Meliau Rimba Belian Parindu Ngabang Kembayan Longpinang Semuntai Longkali Pelaihari
Kabupaten Sanggau Sanggau Sanggau Landak Sanggau Paser Paser Paser Tanah Laut
Provinsi Kalbar Kalbar Kalbar Kalbar Kalbar Kaltim Kaltim Kaltim Kalsel
4.
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian a.
Formulasi Matematika Perhitungan efisiensi secara sederhana adalah dengan menghitung rasio antara output dan input. Namun, formula ini tidaklah memadai sehubungan dengan banyaknya input dan output yang berhubungan dengan sumber daya, aktifitas dan faktor lingkungan
Hasil Eksperimen Dalam penelitian DEA kali ini, menggunakan pendekatan sisi input untuk menjawab berapa banyak kuantitas input yang dimiliki PMS dapat dikurangi secara proporsional dalam memproduksi kuantitas output yang sama. Sebuah PMS dikatakan efisien bila nilainya mencapai angka 1. Semakin nilai PMS menjauh dari angka 1 atau mendekati angka 0, maka PMS tersebut semakin tidak efisien. Tabel 2 merupakan tingkat efisiensi PMS dari hasil pengolahan data. Tabel 2. Tingkat Efisiensi PMS Nama Unit 2011 PMS Kembayan 2013 PMS Pelaihari
CRS
VRS
SCALE
RTS
1
1
1
CRS
1
1
1
CRS
3
2011 PMS 1 1 1 Semuntai 2012 PMS 1 1 1 Pelaihari 2012 PMS 0,99 1 0,99 Longpinang 2012 PMS 0,92 1 0,92 Ngabang 2013 PMS 0,90 1 0,90 Ngabang 2012 PMS 0,88 1 0,88 Rimba Belian 2012 PMS 0,88 1 0,88 Gunung Meliau 2012 PMS 0,84 1 0,84 Parindu 2011 PMS 0,84 1 0,84 Ngabang 2011 PMS 0,83 1 0,83 Parindu 2011 PMS 0,82 1 0,82 Rimba Belian 2011 PMS 0,81 0,86 0,94 Longpinang 2011 PMS 0,73 1 0,73 Pelaihari 2012 PMS 0,73 0,78 0,94 Semuntai 2013 PMS 0,69 0,76 0,92 Rimba Belian 2013 PMS 0,68 0,89 0,76 Gunung Meliau 2013 PMS 0,65 0,79 0,82 Parindu 2011 PMS 0,61 0,93 0,66 Gunung Meliau 2012 PMS 0,61 0,65 0,94 Kembayan 2012 PMS 0,59 0,76 0,77 Longkali 2011 PMS 0,59 0,71 0,83 Longkali 2013 PMS 0,55 0,55 0,99 Kembayan 2013 PMS 0,48 0,48 0,99 Semuntai 2013 PMS 0,36 0,48 0,76 Longpinang 2013 PMS 0,34 0,52 0,65 Longkali Sumber : Diolah dari software MaxDEA a.
CRS CRS DRS
efisiensi seluruh PMS setiap tahunnya. Kinerja efisiensi PMS tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 2. Kinerja efisiensi PMS tahun 2012 dan 2013 dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Bilamana nilai efisiensi PMS mencapai titik 1 diseluruh model DEA (CRS, VRS dan Scale) berarti PMS tersebut sudah tergolong efisien.
DRS DRS DRS DRS DRS DRS DRS
Gambar 2. Kinerja Efisiensi 2011
DRS DRS IRS DRS DRS DRS
Gambar 3. Kinerja Efisiensi 2012
DRS DRS DRS DRS DRS IRS DRS IRS IRS
Perbandingan Efisiensi Setiap Tahun Berdasarkan hasil pengolahan data dengan software MaxDEA, terdapat nilai kinerja efisiensi dari masingmasing PMS yang berbeda-beda setiap tahunnya. Untuk itu perlu dikelompokkan hasil dari pengolahan data pada masing-masing tahun penelitian kedalam bentuk grafik, supaya memudahkan dalam menganalisa nilai kinerja
Gambar 4. Kinerja Efisiensi 2013 b. Potensi Peningkatan PMS Analisis potensi peningkatan ini menggunakan pendekatan input dengan model CRS pada hasil kinerja efisiensi tahun terakhir yakni 2013. Diharapkan hasil analisis ini, setiap peningkatan input secara proporsional dengan persentase tertentu akan meningkatkan output dengan persentase yang sama. Sehingga dapat diterapkan pada tahun mendatang. Dikarenakan hanya PMS Pelaihari yang tergolong efisien pada tahun 2013 dengan model CRS. Maka dilakukan analisa potensi peningkatan delapan PMS yang belum efisien. Kinerja efisiensi PMS Ngabang pada tahun 2013 hampir mendekati katagori efisien dengan perolehan nilai CRS 0.90. Agar PMS Ngabang pada tahun
4
mendatang bisa mencapai katagori yang efisien dari model CRS, maka perlu mengurangi penggunaan input yang ada saat ini dan meningkatkan kapasitas produksinya. Hasil analisa potensi peningkatan PMS Ngabang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 9. Potensi Peningkatan PMS Kembayan
Gambar 5.Potensi Peningkatan PMS Gunung Meliau
Gambar 10. Potensi Peningkatan PMS Longpinang
Gambar 6. Potensi Peningkatan PMS Rimba Belian
Gambar 11. Potensi Peningkatan PMS Semuntai
Gambar 7. Potensi Peningkatan PMS Parindu
Gambar 12. Potensi Peningkatan PMS Longkali 5.
Gambar 8. Potensi Peningkatan PMS Ngabang
Kesimpulan Berdasarkan pengolahan data dan analisis pemecahan masalah, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Kinerja efisiensi dan produktivitas PMS PT. Perkebunan Nusantara XIII pada tahun 2011 memiliki 2 PMS yang sudah efisien dengan model CRS yakni PMS Kembayan dan PMS Semuntai. Dari model VRS terdapat 6 PMS yang sudah efisien
5
2.
3.
4.
yakni PMS Rimba Belian, PMS Parindu, PMS Ngabang, PMS Kembayan, PMS Semuntai dan PMS Pelaihari. Pada tahun 2012, kinerja efisiensi PMS dengan model CRS hanya PMS Pelaihari yang tergolong efisien. Dari model VRS terdapat 6 PMS yang tergolong efisien, yaitu PMS Gunung Meliau, PMS Rimba Belian, PMS Parindu, PMS Ngabang, PMS Longpinang dan PMS Pelaihari. Pada tahun 2013, dari model CRS hanya PMS Pelaihari yang tergolong efisien. Dari model VRS, PMS Ngabang dan PMS Pelaihari yang tergolong efisien. Dalam hal penggunaan input yang perlu dikurangi bagi PMS yang belum efisien, data yang diolah pada periode tahun terakhir, yakni tahun 2013. Agar hasil dari pengurangan input dapat diterapkan pada tahun 2014. Dimana pada tahun 2013 terdapat 8 PMS yang perlu dikurangi penggunaan inputnya yakni PMS Gunung Meliau, PMS Rimba Belian, PMS Parindu, PMS Ngabang, PMS Kembayan, PMS Longpinang, PMS Semuntai dan PMS Longkali. Dalam hal kapasitas output terdapat 8 PMS yang perlu ditingkatkan kapasitas produksinya ditahun mendatang, yakni PMS Gunung Meliau perlu meningkatkan kapasitas produksi minyak sawitnya sebesar 2%, PMS Rimba Belian pada produksi inti sawit dapat ditingkatkan sebesar 7%, PMS Parindu pada produksi inti sawit dapat ditingkatkan 5%, PMS Ngabang dalam kapasitas produksi minyak sawitnya dapat ditingkatkan 2%, PMS Kembayan dalam produksi inti sawit dapat ditingkatkan sebesar 14%, PMS Longpinang pada produksi inti sawit dapat ditingkatkan 9%, PMS Semuntai dapat meningkatkan kapasitas produksi inti sawit sebesar 8% dan PMS Longkali perlu meningkatkan produksi inti sawitnya sebesar 5%. PMS Pelaihari memperoleh nilai efisiensi 1 diseluruh model DEA (CRS, VRS dan Scale) dalam periode 2 tahun berturut-turut, yakni pada tahun 2012 dan 2013. Sehingga dengan perolehan nilai efisiensi tersebut, PMS Pelaihari dapat dijadikan benchmark atau rujukan bagi PMS yang belum efisien.
sekolah dasar di SD Mujahidin Pontianak dan lulus tahun 2002, kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama di SMPN 1 Pontianak dan lulus tahun 2005, kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas di SMAN 8 Pontianak dan lulus tahun 2008. Setelah lulus dari bangku SMA, beliau langsung melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Tanjungpura dengan mengambil jurusan Teknik Industri. Cita-cita beliau yaitu ingin bisa membahagiakan kedua orang tuanya yang sudah membesarkannya dan menghantarkan beliau menuntut ilmu sampai ke jenjang perguruan tinggi.
Referensi [1] Ramanathan, R. 2003. An Introduction Data Envelopment Analysis. New Delhi: Sage Publication. [2] Rusydiana, S. 2013. Mengukur Tingkat Efisiensi dengan Data Envelopment Analysis. Bogor: Smart Publishing. [3] Tanjung, H., dan A. Devi. 2013. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam. Jakarta: Gramata Publishing. Biografi Gusti Randy Pratama lahir di Pontianak, 23 Desember 1990, merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Beliau memiliki seorang ayah bernama Bpk H. Imran Noor dan Ibu Hj. Utin Deny Suryanengsih. Beliau memulai pendidikan
6