PENGUJIAN INOKULAN KONSORSIUM DEKOMPOSER BERAGEN HAYATI DALAM LAJU DEKOMPOSISI JERAMI SELAMA MASA INKUBASI YANG DILAKUKAN DI RUMAH KACA Tien Turmuktini 1), Tualar Simarmata 2), Betty Natalie 2), Hersanti 2), danYuyun Yuwariah 2) 1)
Prodi Agrotek - Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti- Bandung 2) Prodi Agrotek - Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran- Jatinagor Email :
[email protected]
Abstract The use of fresh straw directly on agricultural land turns out have a negarif impact, among others, is the danger of grems contamination on the straw from the previous crop and environmental pollution due to the formation of methane resulted from anaerobic decomposition of flooded rice field. The recommended solution is composting straw earlier. The main obstacle of this straw composting include necessary labor (preparation of materials, transportation, maintenance) and the cost is relatively high. An alternative solution is to do straw inoculation with bio agent consortium decomposers before tillage (direct composting). Inoculation consortium decomposer is added to the straw need to be tested its effect on decomposition rate, especially incubation time and incorporation also the type of consortium. The aim of this research is to determine the bio agent inoculant consortium decomposer incubation time to accelerate straw decomposition and nutrient availability. The experiments was conducted in the greenhouse of the Faculty of Agriculture University of Padjadjaran in April to May 2010, using a randomized block design in factorial pattern repeated three times, as factor I: Incubation time (1, 2, 3 and 4 MST) and factor II: inoculant: no inoculants; formula A = inoculant decomposers (Bacillus sp, Cytophaga sp, Streptomyces sp) and formula B = inoculant decomposers (Bacillus sp, Cytophaga sp, T. harzianum). The results of this experiment showed that administration of a consortium of formula A and B can accelerate the decomposition of straw (temperature increases and pH decreases), and with increasing incubation time can increase the value of C-organic, N-total, decrease C/N compared to controls. Keywords: inoculant, incubation, straw decomposition
PENDAHULUAN Permasalahan penggunaan jerami secara langsung antara lain adalah adanya bahaya kontaminasi bibit penyakit pada jerami dari pertanaman sebelumnya. Solusi yang dianjurkan adalah pengkomposan jerami terdahulu. Kendala utama pengomposan jerami ini antara lain adalah perlu tenaga (penyiapan bahan, transportasi dan pemeliharaan) dan biaya yang relatif besar.
Alternatif solusinya adalah dengan melakukan inokulasi
tumpukan jerami dengan konsorsium dekomposer beragen hayati sebelum pengolahan tanah (direct composting). Inokulasi konsorsium dekomposer yang ditambahkan pada jerami padi ini perlu diuji pengaruhnya dalam laju dekomposisi terutama waktu inkubasi serta jenis konsorsiumnya.
CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
73
Hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi dan meningkatkan ketersediaan hara adalah memanfaatkan potensi konsorsium pupuk hayati yaitu mikroba penambat N nonsimbiotik (Azotobacter sp dan Azospirillum sp ) dan bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas sp. dan Bacillus sp (Fitriatin, et al.
2008).
Pemanfaatan konsorsium pupuk hayati terserbut mampu meningkatkan produksi tanaman tomat dan jagung dengan signifikan (Simarmata, et al. 2009). Pemanfaatan jerami serta upaya meningkatkan hasil padi serta efisiensi pupuk anorganik, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk (1) mengetahui penggunaan konsorsium mikroba pengurai beragen hayati, khususnya sellulolitik-lignolitik dan Trichoderma sp. untuk mempercepat penguraian jerami (dekomposisi) dan ketersediaan hara (2) durasi inokulasi pada tumpukan jerami sebelum diinkorporasikan ke dalam tanah bersamaan dengan pengolahan tanah, (3) mengukur dekomposisi jerami setelah diinkorporasikan kedalam tanah, (4) mendapatkan inokulan pupuk hayati terbaik dalam meningkatkan hasil padi serta mengurangi kebutuhan pupuk anorganik. Pendekatan yang dilakukan hingga saat ini adalah peningkatan produktivitas tanaman padi melalui program intensifikasi (panca usahatani) dengan bertumpu pada penggunaan input eksternal secara intensif (pupuk anorganik dan pestisida). Untuk menghasilkan sekitar 4–6 ton/ha diperlukan pupuk sekitar 200–300 kg urea, SP- 100 kg dan KCl 100 kg per hektar. Penggunaan pupuk N secara intensif akan memacu mineralisasi bahan organik tanah sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kadar Corganik dalam tanah. Hasil berbagai kajian menunjukkan bahwa kadar C-organik pada lahan-lahan sawah di sentra produksi padi umumnya sudah rendah (< 2%). Berdasarkan indikator kesehatan tanah, maka lahan sawah dengan kadar C-organik < 2% termasuk kategori sakit. Akibatnya, walaupun dosis pupuk anorganik ditingkatkan, tetapi tidak memberikan kenaikan hasil yang signifikan. Bahkan indikasi kenaikan produktivitas padi dengan pemupukan yang intensif (bertumpu pada penggunaan pupuk buatan) sudah mencapai titik jenuh (levelling off) dan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kesehatan tanah sawah (Simarmata, 2007). Di sisi lain, produk utama dari bertani padi sebenarnya adalah pupuk organik dalam bentuk jerami,yakni sekitar 1–1.2 × hasil gabah. Bila hasil gabah 6 ton/ha, maka jerami sekitar 7 ton/ha. Percepatan penguraian dan menekan kontaminasi pathogen dalam jerami dapat dilakukan dengan menyiramkan konsorsium inokulan dekomposer beragen hayati pada tumpukan jerami langsung di lapangan (pengomposan langsung). Penambahan C-organik tanah, secara langsung akan meningkatkan sumber energi bagi mikroba menguntungkan dalam tanah, terutama penambat N, pelarut P, dan penghasil fitohormon. CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
74
Pemanfaatan jerami dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai sumber hara dan sumber energi bagi mikroba yang berperan sebagai pupuk hayati dalam tanah (penambat N dan pelarut fosfat). Pemanfaatan mikroba menguntungkan ini pada lahan sawah dengan teknologi IPAT-BO sangat memungkinkan karena kondisi aerasi lahan tidak permanen anerob.
Perpaduan
pengomposan
jerami
langsung
di
lapangan
dan
penggunaankonsorsium pupuk hayati diharapkan dapat meningkatkan ketersesiaan hara, hasil gabah dan mengurangi penggunaan pupuk buatan secara signifikan (mengurangi biaya subsidi pupuk). Prinsip utamanya memanfaatkan potensi alam yang ramah lingkungan dan meminimalkan input eksternal dalam merevitalisasi kualitas & kesehatan tanah secara berkesinambungan. Berdasarkan uraian di atas, urgensi atau keutamaan penelitian ini berkaitan langsung dengan pengembangan bidang ilmu bioteknologi tanah dan aspek guna laksana untuk meningkatkan produksi padi dan mengurangi ketergantungan akan input eksternal.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian untuk mengetahui waktu inkubasi inokulan konsorsium mikroba pengurai beragen hayati untuk mempercepat penguraian jerami (dekomposisi) dan ketersediaan hara.
METODE PENELITIAN Percobaan dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian Unpad pada bulan April sd Mei 2010, menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial yang di ulang tiga kali, sebagai faktor I: Waktu Inkubasi (0, 1, 2, 3, dan 4 MST) dan faktor II: Inokulan: tanpa inokulan; formula A= inokulan dekomposer (Bacillus sp., Cytophaga sp., Streptomyces sp., dan formula B= inokulan dekomposer (Bacillus sp., Cytophaga sp., T. harzianum). Analisa Mutu Kompos dilakukan di Laboratorium secara duplo. Bahan yang digunakan: inokulan dekomposer formula A, B, dedak halus, urea, gula pasir, jerami, dan air. Alat yang digunakan: ember plastik, tong plastik, embrat, thermometer, pengaduk kayu, gayung plastik, timbangan, erlenmeyer, plastik penutup kompos, cetakan kompos dari
papan (1 m3) dan alat laboratorium untuk uji mutu
kompos. Pelaksanaan Percobaan: (1) Pembuatan larutan dekomposer formula A dan B : Masing-masing formula dibuat secara terpisah dalam ember plastik I dan II. 10 kg dedak halus + 100 g Formula dekomposer + urea 200 g + 100 g gula pasir dimasukkan ke dalam ember, kemudian diberi air 15 L, lalu di aduk hingga tercampur merata. Pembuatan larutan tanpa inokulan dibuat dalam ember plastik III dengan cara yang sama namun
CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
75
tanpa pemberian inokulan dekomposer; (2) Aktivasi Mikroba: Masing-masing laruan dekomposer dimasukkan ke dalam tonk plastik, kemudian diberi air hingga 100 L, diaduk hingga tercampur merata dan dibiarkan selama 6 jam; (3) Pengomposan: Jerami dihamparkan dalam cetakan kompos I, II dan III setebal 20 cm, kemudian disiram lautan dekomposer yang sudah diaktivasi sampai basah dan diinjak sampai padat, Untuk lapisan berikutnya dilakukan hal yang sama sampai volume jerami 1 m3. Setelah jerami padat cetakan di angkat, lalu ditutup dengan plastik dan diberi tali rapia. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari dan uji mutu kompos dianalisis setiap 1 minggu sekali.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemberian inokulan konsorsium dekomposer Formulasi A: Bacillus sp, Cytophaga sp. T. Harzianum, inokulan Formulasi B: Bacillus sp, Cytophaga sp., Streptomyces sp. pada jerami berpengaruh terhadap suhu, pH, dan mutu kompos (Tabel 1, 2, dan 3). Kemasan Formula inokulan dekomposer
dan
Pengomposan jerami tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1 Inokulan Formulasi A dan B (kiri) dan Pengomposan Jerami yang telah diberi inokulan (kanan) Syarat-syarat pembuatan kompos diantaranya adalah: Suhu. Menurut data Tabel 1. Suhu harian selama pembuatan kompos mengalamai kenaikan lebih dari 60 oC, Suhu yang meningkat menandakan adanya aktivitas biologi oleh mikroba perombak. Hal ini sesuai dengan pendapat Gaur, (1980) dalam Setyorini et al. (2006) bahwa tumpukan bahan organik yang mengalami dekomposisi akan meningkat suhunya 65-70oC. Penjagaan panas sangat penting agar proses dekomposisi berjalan merata dan sempurna. Bila suhu kurang optimum bakteri yang menyukai panas (thernofilik) tidak akan berkembang maksimal akibatnya pembuatan kompos akan berlangsung lama. Suhu yang terlalu panas pun akan
mengakibatkan terbunuhnya mikroba mesofilik, sedangkan
kekurangan oksigen mengakibatkan matinya bakteri aerobic dan tumbuhnya bakteri CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
76
anaerobik. Pemberian formula A dan B menunjukkan fluktuasi suhu yang yang sama bervariasi dengan control, hal ini berarti proses dekomposisi sama-sama dapat berlangsung. Nilai pH ( Tabel 2) terlihat bahwa nilai pH jerami mengalami kenaikan dan penurunan setelah diberi inokulan inkorsium dekomposer beragen hayati dengan nilai pH yang bervariatif (kontrol: 8,49-8,56, FA: 7,63- 8,33 dan FB: 8,67-7,94) seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Menurut Seyorini et al. (2006) dalam Simanungkalit et al.(2006) bahwa pH bahan organik optimum berkisar 5,5 – 8. Indikator kematangan kompos adalah pH alkalis (Yang, 1996 dalam Setyorini et al. 2006). Nilai pH yang baik adalah pada perlakuan formula B. hal ini karena bakteri lebih menyukai pH netral, sedangkan fungi aktif pada pH asam. Pada pH yang tinggi akan terjadi kehilangan nitrogen akibat volatilisasi. Terjadinya pH yang semakin asam biasanya dikarenakan aktiviatas dari bakteri yang menghasilkan asam. Hasil analisis kimia terhadap mutu
kompos (Tabel 3) secara keseluruhan
pengomposan berhasil karena telah terjadi pengurai bahan organik, hal ini ditunjukkan dengan C- organik, C/N ratio KTK kompos cenderung turun dan N-total meningkat. Perlakuan pemberian inokulan konsorsium decomposer formula A dan B memberikan pengaruh terhadap hasil analisa mutu kompos, seiring dengan bertambahnya masa inkubasi pengomposan. Formula A dan B adalah yang terbaik karena C organik, N Total meningkat dan C/N yang menurun seiring dengan lamanya waktu inkubasi dibanding kontrol. Kompos yang sudah matang berwarna coklat tua, tidak berbau busuk, tetapi berbau tanah atau berbau fermentasi, suhu stabil, pH alkalis dan C/N ratio berkisar 20%. Berdasarkan standar mutu minimal , pupuk organik harus mempunyai nilai C-organik ≥12, C/N ratio 10-25 (Suriadikarta dan Setyorini dalam Simanungkalit, et al. 2006).
CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
77
Tabel 1 Suhu Harian Pengomposan
1
15.
Kontrol Suhu rata-rata (oC) 36 52,33
2
16.
65
52
67
55,66
66
53
3
17.
66,66
51,66
65
55
64,33
53,33
4.
18.
64
51
63,66
53
63,33
52,66
5.
19.
62
50,33
62,66
51,33
62,33
52
6.
20.
63,66
50
63,66
50
61,33
50
7.
21.
57,7
49,66
59,7
50,33
60,33
50
8.
22.
57,7
48,33
59,66
50
59
49,33
9.
23.
57,33
47,33
55,33
48,66
57,7
48,33
10.
24.
57,33
45,66
56,33
48,33
58
47,33
11.
25.
55,66
45
56,66
47,66
57
48,66
12.
26.
53,66
44,66
56,66
46,33
55
45,33
13.
27.
54,33
43,6
57,33
46,50
55,66
42,33
14.
28.
52,66
43
57
46,66
55
42,33
Hari Pengamatan
Formula A Suhu rata-rata(oC) 36 56,66
Formula B Suhu rata-rata (oC) 36 54,33
Tabel 2 pH kompos jerami setelah diberi formula inokulan konsorsium dekomposer beragen hayati pada berbagai waktu inkubasi Minggu
Kontrol
Formula A
Formula B
1.
8, 49
7,63
8,67
2.
7,79
7,323
7,72
3.
7,34
7,32
7,37
4.
8,56
8,33
7,94
CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
78
Tabel 3 Hasil Analisis C-organik, N-total, C/N dan KTK Kompos Jerami yang diberi formula inokulan konsorsium dekomposer beragen hayati pada berbagai waktu inkubasi C-org (%)
Perlakuan Dan waktu inkubasi
N-total (%)
KTK (c mol/kg) C/N
Perkolasi/ NH4 Acetat pH 7
Walkley & Black
Kjeldahl
Kontrol
24,08
0,46
52
36,74
Formula A
32,63
0,59
51
37,18
Formula B
27,63
0,55
50
36,06
Kontrol
23,47
0,48
49
34,09
Formula A
31,00
0,61
47
36,76
Formula B
26,78
0,59
45
35,89
Kontrol
21,45
0,49
44
32,14
Formula A
30,25
0,64
43
33,89
Formula B
25,41
0,63
40
32,14
Kontrol
20,37
0,50
41
30,22
Formula A
27,26
0,67
41
32,46
Formula B
23,57
0,65
36
29,30
1 Minggu
2 Minggu
3 Minggu
4 Minggu
Tingginya nilai C/N ratio yang diperoleh setelah inkubasi dimungkinkan karena tingginya nilai C/N ratio awal jerami padi karena jerami yang dipakai untuk percobaan ini berumur 1 minggu setelah panen, dimana jerami relatif masih segar, dan ukuran potongan jerami.yang panjang (ukuran 30-50 cm). Namun kondisi ini masih dikatagorikan baik karena kompos jerami mengalami penurunan C/N dan peningkatan kadar C organik dan N-total, yang meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. C/N yang tinggi akan menurun jika pemberian kompos dilakukan beberapa hari atau minggu (mengalami masa inkorporasi) sebelum tanam, sehingga diharapkan saat tanama padi C/N ratio bahan organik sesuai dengan C/N ratio tanah. Pengomposan dari
bahan baku yang mempunyai C/N awal yang tinggi
memerlukan waktu pengomposan yang lebih lama, namun dapat di perpendek dengan menambah bahan aktivator organik yang mengandung nitrogen tinggi, seperti: protein, asam amino, urea, dll. Aktivator dapat diperoleh dari mikroba decomposer yang berasal dari kotoran hewan, sampah, darah, kompos atau tanah yang mengandung humus. 79 CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
Persyaratan lain pembuatan kompos adalah ukuran bahan mentah. Semakin kecil ukuran potongan bahan organik akan meningkatkan luas permukaan bahan kompos sehingga memudahkan mikroba dekomposer untuk mendekomposisi. Ukuran 5-10 cm sesuai untuk pengomposan, karena
sirkulasi udara akan berjalan baik (Diah et al. 2006., dalam
Simanungkalit et al. 2006) Mikroorganisme membutuhkan karbon untuk pertumbuhannya dan nitrogen untuk sintesa protein. Karbon dibutuhkan sebanyak 30 bagian dari berat 1 bagian nitrogen, sehingga ratio C/N=30 merupakan nilai yang paling efisien untuk pengomposan. Keberhasilan pengomposan bergantung beberapa faktor, yaitu (1) Ratio C/N, (2) Ukuran partikel, (3) Keberadaan udara aerobik, dan (4) Kelembaban (Jain dalam FAO, 1980).
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian konsorsium dekomposer beragen hayati formula A dan B dapat mempercepat laju dekomposisi jerami (suhu meningkat dan pH menurun), dan dengan bertambahnya waktu inkubasi dapat meningkatan nilai Corganik, N-total, C/N menurun dibanding kontrol.
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, Sri J. dan Sri Rochayati. 1988. Peranan bahan organik dalam meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas tanah. Hal. 161-181. Dalam M. Sudjadi et al. (eds.) Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Puslittan, Bogor. Arsyad, S. (2000) Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Alexander,1977. Introduction. to Soil Microbiology. 2nd. John Wiley and Sons. New York Baldani JL, Crusovera L, Baldani LD, Silvia RG, Dobereiner J, 1997. Recent Edvance in BNF with Non Legume Plant. Soil Biology and Biochemystry 29(5/6) : 911-922 Banik S and Dey BK, 1982. Available Phosphate Content of an Alluvial Soil as Influenced by Inoculation of Some Isolated Phosphate Solubilizing Microorganism. Plant and Soil. 69:353-364 Basyir, A. dan Suyamto. 1996. Penelitian padi untuk mendukung pelestarian swasembada pangan. Pros. Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balittan Padi. Badan Litbang Pertanian. Buku I. Hal. 146-170 Basyir, A. dan Suyamto. 1996. Penelitian padi untuk mendukung pelestarian swasembada pangan. Pros. Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balittan Padi. Badan Litbang Pertanian. Buku I. Hal. 146-170.
CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
80
Dobermann, A. dan T. Fairhurst. 2000. Rice : Nutrient Disorders & Nutrient Management. Potash & Potash Institute/Potash & Potash Institute of Canada. Chen ZS, 2005. Integrated Plant Nutrient Management for Sustainable Agriculture : Some Case Studies From Asia and The Pacific Region.Presented at IFA Region Conference For Asia and The Pacific. December 6-8, 2005. Singapore FAO, 1980. Mechanized compost plant, Delhi. In Compost Technology Projet Field Document No.13. Firtiatin, B.N., Joy, B. dan Subroto, T. 2007a. Karakterisasi Aktivitas Fosfatase Mikroba Tanah dan Daya Katalisisnya terhadap Mineralisasi P Organik. Laporan Penelitian. Program Insentif Riset Dasar KMNRT. Firtiatin, B.N., Simarmata, T., dan Joy, B. 2007b. Kajian Aplikasi Inokulan Bakteri Pelarut Fosfat Penghasil Fosfatase dan Fitase untuk Meningkatkan Kelarutan Fosfor Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung pada Andisols. Laporan Penelitian. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Fitriatin, B,N. 2006. Analisis aktivitas fosfatase mikroba tanah dari rhizosfir tanaman pangan dan jati pada Ultisols. Laporan Penelitian. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Fitriatin, B. N. dan Simarmata, T. 2005. Efek Metode Perlakuan Benih dengan Kinetin dan Suspensi bakteri Pelarut Fosfat Penghasil Fitohormon terhadap pertumbuhan dan hasil Tanaman Padi Gogo. Jurnal Agrikultura, Vol. 16, 2 : 84-88 Fitriatin, B.N., Setiawati, M., Suryatmana., P. 2006. Pengaruh Inokulasi Ganda Mikroorganisme Pelarut Fosfat dan Mikoriza terhadap Serapan P, Kolonisasi Mikoriza, Pertumbuhan dan Hasil Jagung pada Ultisols. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. George., T.S., P.J. Gregory, M. Wood, D. Read, R.J. Buresh. 2002. Phosphatase activity and organic acids in the rhizosphere of potential agroforestry species and maize. Soil Biology and Biochemystry 34 : 1487-1494. Gill-stores, Tasar-Cepeda, Turner, B., and Oberson, A. 2001. Review of concepts and process description on biological mechanisms. Gunardi,D.H. 1997. Produksi biofertilizer untuk efisiensi penggunaan pupuk dalam budidaya tanaman yang aman lingkungan. Unit Peneliti Bioteknologi Perkebunan. Bogor. pp 9 -14. Husen, E dan Irawan. 2008.Efektivitas dan efisiensi mikroba decomposer komersial dan local dalam pembuatan kompos jerami.Prosiding Seminar Nasional dan Dialog Sumberdaya Lahan Pertanian. Buku II: Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan. Bogor, 18-20 November 2008. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
81
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian James E and Olivares FL, 1997. Infection on Colonization of Sugarcane and Other Graminaceous Plants by Endophytic dizotropicus. Plant Science 17: 77- 119 Nuraeni, 2003. Pembuatan Kompos Jerami Menggunakan Mikroba Perombak Bahan Organik. Buletin Teknik Pertanian. 14 (1): 23-26 Nelson LM, 2004. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Prospect For New Inoculant. 10:3-301 Ponmurugan, P. and Gopi, C. 2008. In vitro production of growth regulators and phosphatase activity by phosphate solubilizing bacteria. African Journal of Biotechnology Vol. 5 (4), pp. 348-350. Regina H dan Simarmata T, 2004.Potensi Rizobakteri Azotobacter dalam Meningkatkan Kesehatan Tanah. Jurnal Natur Indonesia 5 (12): 127 – 133 Richardson, A.E., P.A. Hadobas, J.E. Hayes, C.P. O’Hara, and R.J. Simson. 2001. Utilization of phosphorus by pasture plants supplied with myo-inositol hexaphosphate is enhanced by the presence of soil microorganism. Plant Soil 229 : 47-56. Sakurai, M., Wasaki, J., Tomizawa, Y., Shinano, T., and Osaki, M. 2008. Analysis of bacterial communities on alkaline phosphatase genes in soil supplied with organic matter. Soil Science and Plant Nutrition, 54 : 62-71. Saraswati R Prihartini T, Hastuti RD, 2004. Teknologi Pupuk Mikroba untuk Meningkatkan Efisiensi Pemupukan dan Keberkelanjutan Sistem Produksi Padi Sawah. dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian .Bogor : 169 -189 Saraswati R, Santosa E dan Yuniarti E . 2006. Organisme perombak Bahan Organik. dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswat R, Setyorini D dan Hartati W.2006. bb Litbang Sumber Lahan Pertanian. BP dan Pengembangan Pertanian. Bogo 211- 230 Sarifuddin, 2004. Mikrobia Sebagai Indikator Kesehatan Tanah. Program Pasca SarjanaS3. Institut Pertanian Bogor: 1-23 Setyorini D, Saraswati R dan Koswan Anwar E. 2006. Kompos dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswat R, Setyorini D dan Hartati W.2006. bb Litbang Sumber Lahan Pertanian. BP dan Pengembangan Pertanian. Bogor 11- 40 Simanungkalit,D.A.Suriadikanta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W.Hartatik (eds). 2006.Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.Bogor. CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
82
Simarmata, T. 2007. Berswasembada dan menjadi eksportir beras: teknologi melipatgandakan produksi padi dengan sistem intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (ipat-bo) (teknologi hemat air, bibit dan pupuk anorganik). Makalah pada seminar peningkatan produksi padi tanggal 21 mei 2007. Kerjasama Fakultas Pertanian Unpad Dengan Kementerian Riset Dan Teknologi RI di Bandung Simarmata, T. 2008. Teknologi intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) untuk melipatgandakan produksi padi dan mempercepat pencapaian kedaulatan pangan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada tanggal 2 Mei. 2008 di Universitas Padjadjaran. Simarmata, T., Diyanherdiantoro, Fitriatin, BN. dan Sauman Jajang. 2009. Uji Efektvitas mikroba pengurai (Dekomposer) terhadap laju dekomposisi jerami. Laporah Akhir Penelitian Fakultas Pertanian Unpad Stevenson, F. J., 1986. Cycles of Soil Carbon, Nitrogen, Phosphorus, Sulfur, Micronutrient. A Wiley-Inetrscience Publication John Wiley & Sons. Sumardi, Kasli, Muliar K, Auzar S, Nasrez. A 1997.. Respon Padi Sawah padi Teknik Budidaya Secara Aerobik dan Pemberian Bahan Organic. Jurnal Akta Agrosia. 10 : 65 -71 Sundara, B., Natarajan, V., Hari,K. 2002. Influence of phosphorus solubilizing bacteria on the changes in soil available phosphorus and sugarcane and yields. Field Crops Research 77: 43-49. Ward, J.C., K.F. O’Connor, and Gan Wei-bin. 1990. Phosphorus losses through transfer, runoff and soil erosion. Dalam Phosphoris Requirements for Sustainable Agriculture in Asia and Oceania. Proceedings of Symposium. International Rice Research Whitelaw. 2000. Growth promotion of plants inoculated with phosphate solubilizing fungi. Adv. Agron. 69 : 99-151. Wiharjaka,A dan S.Abdurahman, 2007. Dampak pemupukan jangka panjang padi sawah tadah hujan terhadap emisi gas metan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.26( 3) pp 199-208.
CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 2 Juni 2011
83