PROC. ITB Sains & Tek. Vol. 36 A, No. 1, 2004, 11-32
11
Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit Ishak Hanafiah Ismullah Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan - Institut Teknologi Bandung Abstrak. Dibandingkan dengan sensor optis, teknologi radar dapat dikatakan baru dimulai. Pemetaan dengan sensor optis, terutama dengan metoda Fotogrametri menunjukkan hasil geometri yang sangat baik, akan tetapi kendala utamanya adalah awan, dan ini merupakan kelemahan utama pada teknik Fotogrametri. Indonesia merupakan negara tropis yang kondisi awannya sangat dominan dan bahkan sebagian areanya tertutup awan hampir sepanjang tahun. Pencitraan radar mempunyai kelebihan, yaitu mampu menembus awan, kabut ataupun hujan. Karena sifatnya aktif, maka teknik ini tidak tergantung pada matahari, dan dapat dioperasikan baik siang maupun malam. Adanya satelit yang membawa sensor radar seperti ERS, RADARSAT, JERS ataupun ENVISAT, membuka peluang untuk diolah secara interferometri dengan mengolah fasa dari sinyal balik yang diterima sistim radar pada satelit tersebut. Tulisan ini mencoba menunjukkan bagaimana mengolah fasa dari data satelit radar, khususnya ERS1 dan ERS2. Disamping itu juga dilakukan validasi hasilnya dengan membandingkan dengan teknik Fotogrametri dijital. Wilayah yang dipilih adalah sekitar Gunung Cikurai dan Gunung Papandayan Jawa Barat. Kata kunci: geo-coding; interferogram; model tinggi permukaan dijital–DEM; radar apertur sintetik interferometri–INSAR. Abstract. Comparing to optical sensors, radar technology has only just begun. Mapping by optical sensors, especially with Photogrammetric methode shows a very good result, but the main constraint is cloud cover conditions, and this was the weakness point of the Photogrammetric techniques. Indonesia is a tropical country which has dominant cloud coverage, and some of the area has cloud cover almost all year long. Radar imaging has some advantages e.q. sun independence, cloud penetration etc. Active systems in ERS1, ERS2, RADARSAT, JERS, and ENVISAT make possible to do interferometric processing. This paper try to explain how to process phase information from radar satellite data especially from ERS1 and ERS2. The result has been compared with the Digital Photogrammetric technigue, for Papandayan and Cikurai vulcano, West Java. Keywords: digital elevation model–DEM; geo-coding; interferogram; synthetic aperture radar interferometry–INSAR.
Ishak Hanafiah Ismullah
12
1
Pendahuluan
Teknologi radar sudah berkembang sejak perang dunia kedua, yaitu untuk mengetahui posisi suatu obyek (musuh) dengan melakukan pengukuran jarak dari sensor radar ke obyek tersebut. Prinsip sistim radar adalah pengiriman sinyal dari antena ke suatu obyek dan sinyal pantulnya (echo) diterima kembali oleh antena yang sama, sistim ini juga sering disebut dengan sensor aktif. Pemanfaatan pencitraan radar pada pemetaan sudah dilakukan sejak awal tahun tujuhpuluhan, akan tetapi metoda radar yang digunakan hanya terbatas pada pengolahan untuk mendapatkan informasi tematik, dengan melakukan pengolahan interpretasi citra hasil pencitraan tersebut. Pada awalnya pemanfaatan metoda ini dilakukan dengan antena yang cukup panjang, yang dikenal sebagai Real Aperture Radar (RAR), akan tetapi teknologi ini berkembang menjadi sistim Synthetic Aperture Radar (SAR), yaitu penggunaan antena yang pendek (sekitar 1 meter), tetapi pengoperasiannya memperhatikan gerakan wahana sepanjang lintasan, mentransformasikan antena tunggal menjadi rangkaian antena yang cukup panjang secara matematik, sebagai bagian perekaman data dan teknik pengolahan (Schrier, 1996). Pada pemetaan dengan foto udara (fotogrametris), awan merupakan kendala utama, karena pemotretan udara menggunakan panjang gelombang tampak antara 0.45 hingga 0.6 mikron sehingga panjang gelombang ini tidak mampu menembus awan. Sedangkan sistim radar , menggunakan panjang gelombang elektromaknetik sekitar 7,5 mm hingga 100 Cm (atau pada frekuensi sekitar 40.000 hingga 300 Megaherts) dimana panjang gelombang ini jauh lebih besar dari ukuran partikel awan maupun hujan, sehingga sistim ini mampu menembus awan dan bisa didapat informasi untuk wilayah-wilayah yang tertutup awan. Meskipun pencitraan radar dapat dioperasikan dengan pesawat terbang (airborne), namun saat ini justru banyak dilakukan pencitraan radar dengan satelit, khususnya untuk misi-misi pengolahan sumberdaya alam. Pada saat ini sedang beroperasi beberapa satelit radar, masing-masing ERS1, ERS2, ENVISAT ketiganya milik konsursium Eropa ESA (European Space Agency), RADARSAT-1 dan segera dilanjutkan dengan RADARSAT-2 pada tahun 2004, kedua satelit ini milik Canada, Jepang juga memiliki satelit radar, JERS, akan tetapi saat ini sudah tidak beroperasi lagi, dan saat ini Jepang sedang mempersiapkan satelit radar generasi berikutnya. Pada mulanya satelit-satelit radar tersebut ditujukan untuk misi Oseanografi, Lingkungan, Militer dan lain-lain. Namun ternyata dari dua citra yang
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
13
mencakup area yang sama, dapat dilakukan pengolahan fasa sinyal radar sedemikian rupa sehingga didapat informasi tinggi didaerah tersebut. Metoda ini dikenal sebagai Radar Apertur Sintetik Interferometri.(Interferometric Synthetic Aperture Radar – INSAR). Pada radar interferometri, dari dua citra radar yang mencitrakan area yang sama tetapi dari posisi yang sedikit berbeda, atau dengan pencitraan pada waktu yang tidak sama, akan terjadi interferensi antar sinyal pantulnya. Sinyal yang diterima antena radar terdiri dari amplitudo, yang tergantung dari intensitas pantulan dari permukaan bumi dan fasa. Dengan diketahuinya panjang gelombang yang dipancarkan sistim radar, maka fasa yang terekam menyatakan kelipatan dari panjang gelombang, sehingga ini dapat digunakan untuk menentukan jarak. Karena pada sistim satelit hanya mempunyai satu antena, maka sistim ini harus menggunakan cara pengulangan orbit, yaitu pencitraan pada waktu yang tidak sama.
2
Radar Apertur Sintetik Interferometri Satelit
Pada tulisan ini hanya akan dibicarakan sistim yang dioperasikan pada satelit ERS1 dan ERS2. Sebagai ilustrasi, konfigurasi pada sistim satelit ditunjukkan pada Gambar 1 berikut (Kampes 1999),
B
S1
θ
B⊥
B⇓ θ R2
R1 Gambar 1 Radar Apertur Sintetis Sistim Satelit (repeat pass).
dari Gambar 1 diatas dapat dilihat bahwa, S1 dan S2
masing-masing adalah sensor/satelit pertama membawa satu antena dan sensor/satelit kedua juga membawa satu antena.
Ishak Hanafiah Ismullah
14
B , B⇓ , B⊥
θ
masing-masing adalah Basis, Basis sejajar dan Basis tegak lurus. adalah sudut masuk (incidence angle), untuk ERS sebesar 23 0
Satelit melintas permukaan suatu area di bumi pada saat yang tidak sama, dengan membentuk jarak antar lintasan sepanjang B (Basis) sedangkan R1 dan R2 adalah jarak miring dari sensor pertama dan sensor kedua ke target yang sama di permukaan bumi. Pada sistim ini kedua antena memancarkan gelombang elektromaknetik sehingga beda fasa ∆φ antara dua sinyal balik yang diterima dari target di permukaan bumi pada kedua posisi antena adalah (Kooij et al. 1995) :
∆φ =
2π
( R2 + R2 ) −
λ
2π
λ
( R1 + R1 )
(1)
atau, ∆φ =
4π
λ
( R2 − R1 )
(2)
Secara umum diagram alir pengolahan Radar Apertur Sintetik Interferometri adalah sebagai berikut, Citra-1
Citra-2 Koregistrasi Dilakukan hitungan keherensi
Pembentukan Interferogram (Citra beda fasa antara citra-1 dengan citra-2)
Tahap I Pengolahan Phase unwrapping
Pengolahan konversi dari fasa menjadi tinggi Pembentukan Model Tinggi Permukaan
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
15
Dari tahap I terbentuk Model Tinggi Permukaan Dijital yang masih relatif terhadap posisi sebenarnya di bumi, sehingga harus dilalanjutkan dengan pengolahan tahap II untuk mendapatkan posisi absolut (bergeoreferensi), yaitu sebagai berikut, Pengolahan Geo-coding
Tahap II Model Tinggi Permukaan Dijital Ber geo-referensi
2.1
Fasa Sinyal Radar
Fasa merupakan kondisi oksilasi suatu sinyal gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu yang berulang setiap 2 π . Sistim Radar Apertur Sintetik pada ERS-1 dan ERS-2 memancarkan gelombang mikro dengan polarisasi tegak pada frekuensi 5,3 GHz atau pada panjang gelombang 5,66 cm dan disebut band C. Sinyal baliknya diterima dan direkam dengan polarisasi yang sama, dengan fasa sinyal balik φ ( R0 ) sebesar (Hartl 1996),
φ ( R0 ) =
4π
λ
R0
(3)
dimana λ = panjang gelombang dan R0 = Jarak dari sensor ke target. Jika fasa dapat diukur dengan sangat teliti, maka jarak miring R0 akan dapat dihitung dengan teliti pula. Jarak dapat ditentukan melalui hubungan sebagai berikut, R0 = λ ( φ0 + k)
(4)
dimana k adalah ambiguitas fasa dan nilainya harus ditentukan lebih dahulu. Bila harga ambiguitas fasa dapat ditentukan dengan benar, maka akan didapat ukuran jarak yang sangat teliti. (tingkat ketelitiannya sangat tergantung pada panjang gelombang elektromaknetik yang digunakan).
2.2
Citra Kompleks Radar Apertur Sintetik
Citra radar apertur sintetik (Synthetic Aperture Radar) yang akan diolah secara interferometri, khususnya dari satelit sering disebut dengan SLC (Single Look Complex), dimana setiap pixelnya mempunyai nilai dalam bilangan kompleks.
Ishak Hanafiah Ismullah
16
Bagian riil dan bagian imajiner dari bentuk bilangan kompleks di setiap pixel tersebut terdiri atas informasi tentang amplitudo (a) dan fasa ( φ ), kedua informasi tersebut didapat dari,
φ = arctan a=
Im Re
(5)
I m 2 + Re 2
(6)
Informasi fasa dari dua atau lebih sinyal radar dalam bentuk bilangan kompleks kemudian di kombinasikan. Dengan demikian setiap pixel pada citra Radar Apertur Sintetik menyatakan amplitudo dan fasa dari sinyal balik yang berasal dari sinyal yang dipancarkan sensor. Suatu citra Radar Apertur Sintetik C1 dapat dinyatakan sebagai, C1 = a 1 . e jφ
(7)
1
dimana: j = −1
a 1 dan φi masing-masing adalah amplitudo dan fasa dari citra C1 , dan dengan cara yang sama, untuk citra yang lain dapat dinyatakan sebagai, C2 = a 2 e jφ
(8)
2
Jika citra C1 dan citra C2 mencakup area yang sama, maka kedua citra tersebut dapat di-olah/dikombinasikan sedemikian sehingga setiap piksel di kedua citra cocok dengan bagian yang sama dari area yang di amati, dan dapat dihitung, C1.C2* = a 1 .a 2 e j (φ −φ ) 1
2
(9)
dimana, (*) adalah kompleks konjugasi.
3
Koregistrasi Citra
Pada Radar Apertur Sintetik Interferometri, digunakan dua kumpulan data citra Radar Apertur Sintetik untuk menghitung beda fasa dari kedua kumpulan data tersebut, hasilnya divisualisasikan dalam bentuk interferogram. Pada hasil interferogram tersebut tergambar garis-garis tepi (fringes) yang menunjukkan rentang fasa antara 0 hingga 2π dalam bentuk warna.
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
17
Akan tetapi, tahap yang sangat penting dalam pembentukan interferogram adalah ko- registrasi citra, yaitu mencocokkan dua citra Radar Aperture Sintetik. Tahap ini memerlukan waktu cukup banyak dan sangat berpengaruh terhadap interferogram yang terbentuk.
3.1
Koregistrasi Citra Kompleks
Pada pengolahan koregistrasi dua citra kompleks, citra kedua (slave image) diolah/dimanipulasi hingga cocok dengan citra utama (master image). Secara umum pencocokkan citra ini, dapat dilihat pada Gambar 2. Pixel merupakan elemen grid dari suatu citra, dan erat hubungannya dengan visualisasi data, sedangkan resolusi sel merupakan sifat fisik dari elemen tersebut. Citra radar apertur sintetik merupakan citra kompleks yang setiap pixelnya mempunyai harga dalam bilangan kompleks. Pixel kompleks dapat digambarkan sebagai suatu vektor, dimana panjang vektor menyatakan amplitudo (a) sedang arah / orientasinya menyatakan fasa ( φ ). Dalam radar apertur sintetik, istilah vektor ini disebut fasor (phasor) dan merupakan resultan dari semua penyebaran obyek dalam bentuk sebaran resolusi sel. Citra utama (Master)
Citra kedua (Slave)
Gambar 2 Koregistrasi citra.
Pada koregistrasi citra kompleks, lokasi dari setiap piksel di citra kedua (slave) diubah/dicocokkan terhadap citra utama (master). Kemudian amplitudo dan fasa dari setiap fasor dihitung.
pixel 1
pixel 2
pixel 3
Gambar 3.a Penyebaran fasor di setiap pixel.
Ishak Hanafiah Ismullah
18
Setiap pixel terdiri dari penyebaran fasor (Gambar 3a) sehingga resultan fasornya akan terbentuk disetiap pixel, lihat Gambar 3b.
a Pixel 1
φ
pixel 3
Pixel 2
Gambar 3.b Fasor yang terbentuk (resultan dari penyebaran fasor disetiap pixel), dengan amplitudo (a) dan fasa ( φ ).
Mencocokkan citra kompleks dapat di artikan sebagai proses manipulasi lokasi pixel dan interpolasi nilai pixel untuk mendapatkan nilai fasor maximum dari kedua citra. Fasor hasil gabungan kedua citra kompleks dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini, Citra 1
a
φ
Citra 2 Gambar 4 Fasor hasil gabungan dua citra kompleks.
3.2
Parameter Koregistrasi
Pada koregistrasi citra, parameter registrasi yang paling penting diantaranya adalah, translasi, skala, rotasi dan kemiringan. Parameter-parameter registrasi ini umumnya linear terhadap koordinat. Meskipun demikian, terdapat juga parameter yang non linear, seperti ditunjukkan pada Gambar 5 berikut,
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
(a)
(b)
(c)
(d)
19
(e)
Gambar 5 a. b. c. d. e.
4
Akibat adanya translasi (shifted) Akibat perubahan skala (scale) Akibat adanya rotasi (rotated) Akibat kemiringan (skew) Akibat parameter yang non-linear
Koherensi
Interferometri didefinisikan sebagai penggabungan dari fungsi gelombang dari suatu sumber yang koheren. Nilai koherensi antara citra C1 dan C2 menunjukkan hasil seberapa jauh pencocokan kedua citra tersebut. Nilai koherensi dihitung dari hubungan sebagai berikut (Hartl 1996):
γ =
∑ C .C * ∑ C .C * ∑ C .C 1
1
1
2
2
2*
(10)
Pada persamaan diatas, (*) adalah kompleks konjugasi. Jika citra C1 dan C2 benar-benar identik, maka γ = 1, akan tetapi jika tidak maka 0 ≤ γ ≤ 1. Sesuai dengan persyaratan yang diberikan oleh European Space Agency (ESA), nilai minimum koherensi untuk pembentukan Model Tinggi Permukaan Dijital adalah 0,20. Pada pasangan citra yang digunakan dalam percobaan yaitu ERS1-25442 dan ERS2-05769, nilai koherensi untuk seluruh area dalam satu cakupan (scene) adalah sebesar 0,31 dan setelah dilakukan koregistrasi secara teliti di daerah penelitian, didapat nilai koherensi sebesar 0,581 dengan luas area sekitar 300 x 300 pixel.
Ishak Hanafiah Ismullah
20
5
Pembentukan Interferogram
Dari sinyal radar dalam bentuk bilangan kompleks, dapat diperoleh amplitudo (a) dan fasa ( φ ). Penjumlahan koheren dari sinyal balik radar, dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini (Abiyoto 1998), Riil
Sinyal balik radar
Hasil penjumlahan
a
φ
Imaginer
Gambar 6 Penjumlahan koheren dari sinyal balik radar.
Jika terdapat dua citra dalam format SLC (Single Look Complex) dari area yang sama, maka informasi fasa dari kedua citra dalam bentuk bilangan kompleks tersebut dapat dikombinasikan. Pembentukan Interferogram dilakukan dengan menghitung lebih dahulu bentuk kompleks dari hasil perkalian kompleks konjugasi (*) antara citra utama C1 (master) dengan citra kedua C2 slave), melalui hubungan sebagai berikut,
I = C1.C2 *
(11)
Sedangkan nilai citra beda fasanya dihitung melalui hubungan sebagai berikut, ∧
φ = arctan dimana,
I m (C1.C2 *) Re (C1.C2 *)
(12)
I m = Komponen imaginer Re = Komponen riil
Hasil pengolahan Interferogram untuk daerah Gunung Cikuray – Jawa Barat, dari pasangan ERS1-25442 dan ERS2-05769 ditunjukkan pada Gambar 7 sebagai berikut,
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
21
Gambar 7 Interferogram hasil ERS1-25442 dan ERS2-05769.
Dari Gambar 7 diatas, ditunjukkan bahwa antara warna yang pertama dengan warna yang sama berikutnya, (misalnya dari awal hitam ke awal hitam berikutnya atau dari awal putih ke awal putih berikutnya) perbedaan yang terjadi adalah sebesar 2 π .
6
Pengolahan Phase Unwrapping
Seperti disebut sebelumnya, Interferogram merupakan informasi beda fasa, dimana informasi ini berhubungan langsung dengan bentuk topografi. Informasi ini terbatas antara 0 dan 2 π , sehingga menimbulkan masalah ambiguitas dalam menghitung siklus fasa yang diperlukan untuk mendapatkan jarak miring yang benar. Fasa ini disebut fasa relatif. Penyelesaian ambiguitas ini adalah pengolahan phase unwrapping, yaitu untuk mendapatkan fasa absolut, melalui hubungan berikut, ∧
φabs = φ + k . 2 π
(13) ∧
dimana, φabs = fasa absolut dan φ = fasa relatif.
Ishak Hanafiah Ismullah
22
Fasa
Fasa absolut + bising
4π fasa absolut sebenarnya fasa relatif + bising (noise)
2π
fasa relatif
Jarak (range) Gambar 8 Fasa relatif, Fasa absolut dan Karakteristik fasa absolut yang dipengaruhi bising, kasus satu dimensi (Geutdner et al 1995).
Dari Gambar 8 diatas ditunjukkan Fasa relatif, fasa absolut dan karakteristik fasa absolut yang dipengaruhi bising (noise) sepanjang arah jarak (range), untuk kasus satu dimensi. Untuk kasus dua dimensi, pengolahan dilakukan sebagaimana proses rekonstruksi dari suatu fungsi pada suatu grid yang memberikan harga 2 π . Secara umum untuk phase unwrapping dalam dua dimensi, dapat dilihat pada Gambar 9, yang menunjukkan fasa relatif, sedang pada Gambar 10 ditunjukkan fasa absolutnya.
2π
X Y Gambar 9 Fasa relatif dua dimensi.
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
23
4π
2π
X
0
Y Gambar 10 Fasa absolut dari fasa relatif yang ditunjukkan pada Gambar 9.
Metoda pengolahan phase unwrapping pertama-tama di kembangkan oleh Goldstein et al.(1988). Metoda ini disebut dengan pendekatan branch cuts, dimana pertama-tama di-identifikasikan residunya, kemudian branch cut ini digunakan untuk menghalangi proses integrasi sehingga tidak dimungkinkan melakukan integrasi memotong branch cut ini. Masalah yang timbul dalam teknik ini adalah diperlukan waktu hitung yang sangat lama. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan Phase unwrapping dengan menggunakan pengembangan dari metoda Phase unwrapping as a minimum cost network flow problem (Costantini 1996), yang dikembangkan oleh kelompok Delft Institute for Earth Oriented Space Research (DEOS) yaitu Phase unwrapping in Synthetic Aperture RadarInterferometry as a cost flow minimization problem (Ismullah 1997). Hasil pengolahan phase Unwrappingg dari Interferogram pada Gambar 7, ditunjukkan pada Gambar 11 sebagai berikut,
24
Ishak Hanafiah Ismullah
A A A Cikurai Papandayan A
A
(a) Bar Code Menunjukkan fasa yang kontinu mulai ± -40π hingga ± 80π (total sekitar 120π)
A
(b) A adalah daerah yang bervegetasi lebat atau daerah yang cukup curam (kemiringan lebih 230), sehingga terjadi layover, karena sudut masuk pada satelit ERS1 dan ERS2 adalah tetap sebesar 230.
Gambar 11 Gambar (a) menunjukkan daerah sekitar Gn. Papandayan dan Gn. Cikurai, sedang Gambar (b) adalah area yang diteliti.
7
Konversi Fasa menjadi Tinggi
Setelah dilakukan pengolahan Phase unwrapping, kita dapatkan nilai fasa disetiap pixel seperti yang terlihat pada Gambar 11, dimana fasa ditunjukkan mulai yang terendah hingga tertinggi, berbeda sekali dengan interferogram, dimana periodanya hanya setiap 2 π . Tahap berikutnya adalah mengolah fasa hasil Phase unwrapping tersebut menjadi tinggi. Hal ini diperlukan untuk menghasilkan tinggi area yang tercakup disetiap pixel. Untuk jelasnya dapat dilihat konfigurasi Interfeometri satelit pada Gambar 12 sebagai berikut,
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
Z
B
S1
δ
α
S2
ψ
B⊥
θ R1 h
25
R2
Y
dθ
P
P’
dh X
Gambar 12 Konfigurasi Interferometri Sistim satelit (INSAR – Satelit).
dimana : S1 dan S 2 B B⊥
ψ θ
h dh R1 dan R2
α
: : : : : : : : :
Satelit/sensor pertama dan kedua Basis = Jarak antara satelit/sensor pertama dan kedua Basis tegaklurus Sudut yang dibentu antara Basis dan Basis tegaklurus Sudut masuk (Incidence angle) Tinggi satelit Tinggi obyek Jarak (range) masing-masing dari sensor pertama dan kedua Sudut yang dibentuk oleh Basis dan bidang XY
Ishak Hanafiah Ismullah
26
Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa, Fasa yang diterima dari satelit
:
dari satelit / sensor pertama (S 1 )
dari satelit / sensor kedua dimana,
(S 2 )
φ1 p φ2 p
=
2π .2 R1
=
2π .2 R2
λ
(14)
λ
λ R1
= panjang gelombang = jarak antara sensor S 1 ke titik P R2 = jarak antara sensor S 2 ke titik P fasa interferometri yang terjadi :
φp = φp =
φ1 p - φ2 p 4π ( R1 − R2 )
λ
(15)
jika δ = ( R1 − R2 ) = selisih jarak antara S 1 dan S 2 ke titik P, maka,
φp =
4πδ
(16)
λ
dan turunan dari fasa interferometri menjadi : dφ p =
4π
λ
dδ
(17)
Selisih jarak antara S 1 dan S 2 ke titik P adalah δ dan dapat dinyatakan sebagai:
δ = B sin ψ dimana ψ B
(18)
= θ - α = Basis
sehingga dapat ditulis:
δ = B sin ( θ - α )
(19)
dan turunan dari beda jarak antara kedua orbit tersebut menghasilkan:
d δ = B cos ( θ - α ) d θ
(20)
Dengan demikian, perubahan fasa interferometrik dengan perubahan yang kecil pada sudut masuk θ , dan dapat dinyatakan sebagai,
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
d φp =
4π
B cos ( θ - α ) d θ
λ
27
(21)
atau
dθ
=
λ 4π B cos(θ − α )
d φp
(22)
Jika tinggi satelit diatas bidang referensi dapat dinyatakan sebagai, h
= R1 cos θ
(23)
dan turunan dengan menganggap R1 sebagai konstanta, akan memberikan hubungan perubahan sudut masuk, yang diakibatkan oleh tinggi dh. dh
= (-) R 1 sin θ d θ
(24)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13 berikut,
α θ h
dθ P dh P’
Bidang referensi
Gambar 13 Beda tinggi dh atau tinggi titik R diatas bidang referensi.
Catatan: a. Bidang referensi dapat berupa bidang datar ataupun bidang ellipsoid b. Jika Bidang referensi berupa ellipsoid, maka dh (tinggi geodetik) Telah diturunkan hubungan perubahan yang kecil pada sudut masuk dengan perubahan fasa, dan hubungan tinggi dh dengan perubahan pada sudut masuk, dimana sebenarnya adalah tinggi diatas bidang referensi, dan jika beda fasa hasil pengamatan adalah d φ p , maka:
Ishak Hanafiah Ismullah
28
dh =
λ R1 sin θ d φp 4π B cos(θ − α )
(25)
dh =
λ R1 sin θ 4π B ⊥
(26)
d φp
Dengan demikian dapat dihitung semua tinggi titik disetiap area yang tercakup dalam setiap pixel, dan akan terbentuk model tinggi permukaan dijital yang masih relatif.
8
Pengolahan Geo-coding
Dari tinggi setiap titik hasil konversi dari fasa ke tinggi, dilakukan pengolahan Geo-coding, yaitu proses untuk mendapakan semua titik tersebut terhadap suatu referensi tertentu. Hitungan untuk mendapatkan posisi titik di permukaan bumi dilakukan dengan menggunakan (Ismullah 2002), a.
Persamaan Doppler
b.
Jarak
c.
Ellipsoid
dimana posisi suatu titik di permukaan bumi terletak tegak lurus terhadap satelit, karena akibat kondisi zero Doppler. dimana jarak ini merupakan jarak antara sensor ke titik di permukaan bumi, yaitu kecepatan cahaya dikalikan waktu penjalaran dari sensor ke titik tersebut. Ellipsoid yang dipilih adalah yang digunakan pada WGS’84.
Hasil yang didapat adalah semua titik dalam Koordinat Kartesian X, Y dan Z (Geocentric) dan hasil ini kemudian ditransformasikan menjadi dalam sistim koordinat Geodetik ( ϕ , λ dan h ). Dengan menggunakan koefisien-koefisien pada Earth Gravitational Model 1996 (NIMA), dilakukan hitungan untuk mendapatkan harga undulasi N untuk setiap titik tersebut. (Ismullah, 2002). Tahap berikutnya adalah melakukan transformasi dari sistim koordinat Geodetik menjadi dalam sistim koordinat UTM. Hasilnya ditunjukkan pada tabel 1 berikut ini,
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
29
No. Titik
X(meter)
Y(meter)
H(meter)
N(meter)
H(meter)
11147 11148 11149 11150 11151
808931.506 808904.767 808890.166 808852.392 808799.168
9193533.218 9193498.398 9193460.647 91934428.529 9193399.938
1184.274 1192.462 1195.006 1208.607 1229.319
22.077 22.076 22.075 22.073 22.072
1162.197 1170.386 1172.931 1186.534 1207.247
Tabel 1 Daftar koordinat dalam sistim koordinat UTM, tinggi geodetic (h), undulasi (N) dan tinggi orthometrik H sementara sebagian dari jumlah total sebanyak 300 x 300 pixel).
Dengan menggunakan titik-titik kontrol, dilakukan transfomasi konform 3 dimensi dan perataannya (Kahar. J, 2000), didapat semua titik dalam sistim koordinat UTM dengan tinggi orthometris. Hasil transformasi dan perataannya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini, Nomor Titik 11147 11148 11149 11150 11151
X(m) 808937.952 808900.907 808860.513 808821.220 808824.652
Y(m) 9193447.051 9193414.245 9193381.985 9193349.487 9193307.276
H(meter) 1135.672 1148.186 1160.602 1173.791 1168.345
Tabel 2 Daftar koordinat UTM dan tinggi H hasil transformasi dan perataan (sebagian dari sebanyak 300 x 300 pixel).
Hasil ploting Model Tinggi Permukaan Dijital bergeoreferensi dan peta garis kontur untuk area penelitian dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15 dibawah ini, 2800.00 2700.00 2600.00 2500.00 2400.00 2300.00 2200.00 2100.00 2000.00 1900.00 1800.00 1700.00 1600.00 1500.00 1400.00 1300.00 1200.00 1100.00 1000.00 900.00
Y(m)
H(m)
X(m)
Gambar 14 Model Tinggi Permukaan Dijital hasil radar apertur sintetik interferometri bergeoreferensi.
Ishak Hanafiah Ismullah
30
± 9 km
± 9 km
Gambar 15 meter.
Peta Garis Kontur untuk daerah penelitian dengan interval 25
Untuk melakukan validasi dari hasil penelitian ini, dilakukan dengan cara membandingkan dengan hasil pemetaan rupa bumi untuk daerah yang sama pada skala 1 : 25.000 secara Fotogrametri Dijital, yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional pada tahun 1996. Pemetaan secara Fotogrametri ini mempunyai ketelitian cukup tinggi, yaitu ± 1,50 meter untuk planimetris (X,Y) dan ± 2.0 meter untuk tinggi (Z). Untuk tinggi, dilakukan pengukuran dari hasil radar apertur sintetik interferometri satelit dan hasil pemetaan fotogrametri dijital, profil melintang arah timur-barat sebanyak 6 profil dan arah utara selatan sebanyak 5 profil dengan jumlah titik sebanyak 300 titik untuk setiap profil. Sedangkan untuk planimetri, dilakukan pengikuran titik-titik grid sebanyak 74 titik grid. Dengan menganggap hasil Pemetaan Fotogrametris sebagai hasil yang benar, didapat ketelitian yang dicapai hasil radar apertur sintetik interferometri adalah sebagai berikut (Ismullah, 2002), Ketelitian Planimetris = 28,600 meter Ketelitian Tinggi = 14,710 meter
Pengolahan Fasa untuk DEM pada INSAR Data Satelit
9
31
Kesimpulan
Dari hasil penurunan model tinggi permukaan dijital dengan teknik radar apertur sintetik interferometris dari data satelit ERS-1 dan ERS-2 dengan obyek studi Gunung Cikurai dan sekitarnya (Jawa Barat) hasil pengamatan pada bulan Mei 1996 dibandingkan dengan penurunan model tinggi permukaan dijital dari teknik fotogrametri dijital, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut, a.
b.
c.
d.
e.
f.
Model tinggi permukaan dijital hasil teknik radar apertur sintetik interferometris cenderung menunjukkan bentuk geometrik muka bumi yang sama dengan hasil fotogrametri dijital. Dari pasangan tandem citra radar apertur sintetik dengan basis tegak lurus sepanjang 104 meter didapat ketelitian tinggi sebesar sekitar 14,7 meter dan ketelitian planimetri sebesar 28,6 meter. Untuk basis yang lebih besar dari 104 meter, nilai koherensinya sangat rendah sehingga tidak memenuhi kriteria untuk pembentukan model tinggi permukaan dijital. Untuk wilayah bergunung/berbukit, terjadi penyimpangan atau bahkan tidak didapat hasil profilnya, dimana penyimpangan tinggi yang terjadi relatif cukup besar, yaitu antara -48 hingga sekitar 85 meter. Hal ini kemungkinan akibat sinyal pantul (back scatter) yang tidak sempurna, sehingga didaerah ini interferogram yang terbentuk kurang sempurna, meskipun telah dilakukan penyaringan (filtering). Khusus untuk wilayah disekitar puncak gunung Cikurai, kemiringan lereng cukup tajam (lebih dari 26 0 ), hingga di daerah ini banyak terjadi tumpang tindih (layover) dan bayangan, yang berakibat pada kegagalan dalam pembentukan interferogram. Sudut masuk (incidence angle) sistim radar apertur sintetik pada satelit ERS yang selalu tetap sebesar 23 0 , merupakan kelemahan dari sistim ini, khususnya untuk daerah bergunung/berbukit yang mempunyai kemiringan yang tajam seperti disebutkan diatas. Jika suatu saat pada sistim satelit dapat dilakukan pencitraan pasangan radar apertur sintetik pada saat yang bersamaan dan dengan sudut masuk yang dapat diatur/bervariasi , maka hasil penurunan interferogram secara teoriris akan lebih sempurna dan akan menghasilkan model tinggi permukaan dijital yang lebih baik. Meskipun cukup banyak kendala yang dihadapi dalam tahapan pengolahan radar apertur sintetik interferometris, yang meliputi pengadaan data, pengolahan registrasi citra, pembentukan interferogram, pengolahan phase unwrapping serta geo-coding, namun hasil yang dicapai menunjukkan bahwa penggunaan metoda ini dapat dimaanfaatkan sebagai salah satu alternatif untuk pengadaan informasi spasial rupa bumi, khususnya untuk daerah yang mempunyai kendala awan.
Ishak Hanafiah Ismullah
32
g.
Khusus untuk keperluan tata ruang, terutama untuk keperluan yang tidak memerlukan ketelitian tinggi, metoda radar apertur sintetik interferometris berbasis satelit ini cukup menjanjikan dalam pengadaan informasi spasial rupabumi.
Referensi 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12.
Abiyoto, Kun W., Penerapan Transformasi wavelet untuk reduksi spekel, Ektraksi ciri dan Segmentasi citra berdasarkan Tekstur, Disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 168 Hal. (1998). CNES, InSAR: Theory and Applications, Workshop, BPPT 8-16 Nov 2000 Jakarta (2000). Costantini, Phase unwrapping as a minimum cost network flow problem, ESA- FRINGE, (1996). Gens, R & Genderen, JL van, Analysis the geometric parameters of SAR Interferometry for space borne systems, In International Archive of Photogrammetry and Remote Sensing XXXI, part B2, Vienna, pages 107-110, (1996). Goldstein et al., Satellite Radar Interferometry: Two dimensional phase unwrapping, Radio Science, 23(4), hal 713-720, (1988). Hartl, P., Synthetic aperture radar, theory and applications, Faculty of Geodesy-Delft University of Technology, Lecture note, (1996). Ismullah, Ishak H., Phase unwrapping in spaceborne Synthetic Aperture Radar as cost flow minimization problem, Technical Report Faculty of Geodesy, Delft University of Technology, The Netherlands, (1997). Ismullah, Ishak H., Model Tinggi Permukaan Dijital hasil pengolahan Radar Apertur Sintetik Interferometri data satelit untuk wilayah berawan, studi kasus daerah Gunung Cikurai-Jawa Barat, Disertasi Doktor, Institut teknologi Bandung, (2002). Kahar, J., Transformasi Koordinat: Menentukan Koordinat titik tak sekutu, Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Geodesi-ITB, Vol. X, No 2, Mei 2000, (2000). Kampes, B, Delft Object Oriented Radar Interferometry Soft-ware, Seminar on Operationalization of Remote Sensing II, ITC-Enschede The Netherlands, 18-25 August 1999, (1999). Kooij, M., Halsema, v D., Groenewoud, Mets, W., Overgaauw, G. J. & Visser, P., SAR Land Subsidence Monitoring, B C R S, (1995). Schreier, G., SAR Geocoding: data and systems, Whichmann Verlag. Karlsruhe, Germany, (1996).