SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015 ORAL PRESENTATION
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell Rahmat Arief1,2,*), Dodi Sudiana2, dan Kalamullah Ramli2 1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN, Indonesia 2 Departemen Teknik Elektro, Universitas Indonesia, Indonesia *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK-Masalah utama pada kerangka Compressive Sensing (CS) yang harus ditangani dengan pencitraan SAR adalah pada kebutuhan untuk linierisasi persamaan SAR. Makalah ini mengusulkan sebuah pendekatan baru untuk merumuskan sistem pencitraan SAR terkompresi yang diturunkan dari persamaan Maxwell. Pendekatan approximasi Born diterapkan untuk membentuk persamaan pencitraan radar menjadi linear. Selain itu, pengambilan sampel terkompresi dibentuk dengan mengurangi laju sampling sinyal radar yang diterima secara acak pada arah range dan mengurangi jumlah pulsa pada arah azimuth yang ditransmisikan secara acak. Hasil simulasi menunjukkan bahwa citra SAR dengan target jarang dapat direkonstruksi dengan fokus yang lebih baik dan side lobe yang lebih sedikit dibandingkan dengan metoda Range Doppler. Kata kunci:compressive sensing; persamaan Maxwell; Synthetic aperture radar; approximasi Born ABSTRACT-Within few years backward, researches had presented the ability of compressive sensing to handle the large data problem on high resolution synthetic aperture radar (SAR) imaging. The main issue on CS framework that should be dealt with the SAR imaging is on the requirement of linearization on the measurement system. This paper proposes a new approach on formulating the compressed SAR echo imaging system which is derived from the Maxwell’s equations with continuous signal along the SAR antenna movement. Born approximation is applied to approximate the linear form of the SAR echo imaging system. In addition, the compressed sampling is formed by reducing the sampling rate of received radar signals randomly simultaneously on both of low sampling of fast time and slow time signals and by reducing the pulse period interval of transmitted signals. The simulation’s result shows that a better focused reconstructed sparse target can be achieved compared to the conventional match filter based Range Doppler method. Keywords: compressive sensing; fast time and slow time sampling; Maxwell equation; born approximation; Synthetic aperture radar
1.
PENDAHULUAN
Pencitraan SAR adalah teknologi untuk menghasilkan citra radar dengan resolusi tinggi pada area yang luas (Cumming and Wong, 2005; Curlander and McDonough, 1991). Beberapa tantangan dalam teknologi ini (Cheney and Borden, 2009; Cheney and Borden, 2009) adalah menembakkan sinyal chirp ke target dengan energi gelombang mikro dengan daya besar dan sinyal hamburbalikan dari target diterima oleh antena penerima dengan sampling rate yang tinggi yang menyebabkan sejumlah besar data. Teori CS (Candes and Tao, 2006; Donoho, 2006) mengusulkan sebuah pendekatan baru, dimana sinyal tertentu, termasuk sinyal radar dapat dipulihkan dari pengukuran / sampel jauh lebih sedikit dari pada laju sampling teori Nyquist/Shanon. Sehingga dengan menerapkan metoda CS maka ADC dengan laju sampling tinggi pada metoda konvensional dapat digantikan dengan ADC dengan laju sampling rendah. Sehingga daya dan komponen onboard sebuah sistem radar dapat dihemat dan volume data yang berisikan sinyal SAR menjadi kecil, tetapi kualitas sebuah citra radar dapat dipertahankan. Langkah penting pertama pada kerangka CS adalah untuk membuat persamaan radar menjadi linear. Beberapa studi telah membahas pada pemodelan linear dari sinyal SAR yaitu Herman (Herman and Strohmer 2009) mengusulkan model linear dari sinyal SAR dengan model Alltop-sequence dan Wei (Wei et al., 2010) menurunkan sinyal SAR dengan memisahkan target dan persamaan akuisisi SAR. Pendekatan lain dari model linear berasal dari dari persamaan Maxwell (Cheney and Borden, 2009; Sun et al., 2014). Sun (Sun et al., 2014) mengusulkan model sinyal SAR dari persamaan Maxwell dan model sampling rendah acak dalam domain frekuensi hanya pada arah range saja.
- 240 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Makalah ini mengusulkan model baru persamaan linear model baru sinyal SAR dalam fungsi waktu lambat dan waktu cepat. Persamaan sinyal SAR berasal dari persamaan Maxwell dan dibentuk menjadi persamaan linier menggunakan pendekatan Born. Pengukuran rendah secara acak dilakukan di kedua arah waktu yang cepat dan waktu lambat dalam domain waktu secara acak secara simultan. Untuk mendapatkan target direkonstruksi digunakan minimalisasi L1-norma (Candes and Tao, 2006; Donoho, 2006; 2010).
2.
SAR MODEL BASED ON MAXWELL EQUATION
2.1 EM Wave Propagation
Hampir semua sistem pencitraan SAR menggunakan pendekatan Stop-Go (Franceschetti and Lanari, 1999), di mana sensor SAR dan target diasumsikan pada waktu dan posisi yang tetap, ketika pulsa chirp mencapai target dan kembali ke antena, ketika pulsa chirp mengenai target dihasilkan sebuah medan insiden dan hal itu menyebabkan hamburan radiasi dari obyek yang disebut medan hamburbalikan. Medan listrik secara keseluruhan dapat didefinisikan oleh kedua medan tersebut, dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) ℰ ( , ) = ℰ ( , )+ℰ ( , ) Dimana ℰ (t, x) adalah medan insiden yang merupakan sebuah model medan listrik dari sinyal chirp yang ditembakan dari antena radar mengenai target. Sedangkan ℰ (t, x) adalah medan hamburbalikan yang merupakan sebuah model medan listrik dari sinyal hamburbalik dari target yang diterima oleh antena. Seperti yang dikaji dari (Cheney and Borden, 2009; Cheney and Borden, 2009; Sun et al., 2014), persamaan umum Maxwell dapat digunakan untuk mendefinisikan persamaan gelombang elektro magnetik (EM) dari radar. Medan insiden dan medan hamburbalik dapat diformulasikan sebagai persamaan gelombang EM dalam bentuk differential dan integral seperti dibawah ini : 1 (2) − ℰ ( , )=− ( , ) ℰ ( , )=−
( − , − ) ( , ) −
ℰ ( , )=−
1
( − , − ) ( )
ℰ ( , )=− ( ) ℰ
ℰ
(, )
(3)
( , )
Dimana ( , ) adalah kerapatan arus (current density)pada antena dan ( )adalah nilai reflektiftas target. ⁄ ) ( Fungsi ( , ) = pada rumus diatas dapat diartikan sebagai medan listrik pada waktu t dan posisi x dari sumber medan listrik dan disebut the outgoing fundamental solution atau the (outgoing) Green function (Friedlander and Joshi, 1998; Treves, 1975). Ketika sinyal chirp mengenai target, menyebabkan arus maka target tersebut memancarkan medan hamburbalik yang merupakan sinyal yang sama, tapi lebih lemah dan terlambat beberapa saat. Medan hamburbalik ℰ ( , ) terbentuk dari interaksi antara target dan medan insiden. Jadi nilainya tergantung pada geometri dan sifat bahan dari target tersebut. Untuk menyelesaikan persamaan gelombang di atas dengan kecepatan gelombang yang konstan dan kerapatan arus ( , ) pada antena digunakan fungsi Green, maka persamaan baru dari medan hamburbalik dapat ditulis sebagai berikut: ( − | − |⁄ ) (4) ( ) ℰ ( , )=− ℰ ( , ) 4 | − | Persamaan ini menunjukkan bahwa ℰ tergantung pada medan listrik total ℰ . Jadi persamaan ini menjadi tidak linear, karena ℰ muncul pada kedua sisi pada persamaan diatas. Maka muncul konsekuensi bahwa ℰ menjadi kompleks untuk diselesaikan.
- 241 -
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell. (Arief, R., et al.)
2.2 Approximasi Born Pada pencitraan radar, reflektifitas dari target ( ) adalah sebuah nilai yang harus dihitung and medan hamburbalik dapat diterima dan diukur pada antena. Karena persamaan radar tidak linear, maka fungsi reflektifitas ( ) dari target sulit untuk diselesaikan. Approximasi Born atau yang disebut pendekatan hamburbalik lemah dapat diaplikasikan sebagai solusi dari persamaan yang tidak linear. Medan hamburbalik ℰ diasumsikan memiliki energi yang lemah dibandingkan dengan medan insiden ℰ (ℰ ≪ ℰ ). Jadi ℰ pada sisi kanan persamaan dapat digantikan dengan ℰ (ℰ ≈ ℰ ). Persamaan baru dari medan hamburbalik yang linear menjadi : ( − ) (5) ( ) ℰ ( , )=− ℰ ( , ) 4 | − | dimana t = |x − z|⁄cadalah waktu yang diperlukan gelombang EM dari antena sampai target. Persamaan medan hamburbalik pada domain frekuensi dapat dituliskan sebagai berikut : | | (6) ( , )=− ( ) ( , ) 4 | − | Approximasi born sangat berguna untuk membuat persamaa radar menjadi linear. Pendekatan ini memang bukan yang terbaik, tetapi pada kenyataanya pada pencitraan radar terdapat beberapa artifact dapat diabaikan.
3.
MODEL SINYAL HAMBURBALIK SAR
3.1 Sinyal Transmit Seperti yang diamati dalam (Cheney and Borden, 2009; Sun et al., 2014), kerapatan arus antena dimodelkan dengan j(t, x) = p(t)δ(x − y) pada posisi antena y dan p(t) adalah sinyal yang ditransmisikan dari antena. Sinyal transmit dianggap dalam bentuk linearchirp dengan frekuensi pembawa f . ) (7) ( )= ∙ ( )∙ ( dimana adalah amplituda independen untuk sinyal transmit berupa nilai konstan atau bervariasi. a(t) merupakan fungsi sinyal kotak atau fungsi windowing. Frekuensi pembawa berkaitan dengan frekuensi sudut ω = 2πf , α = B⁄2T adalah chirp rate, T adalah durasi pulsa, dan B adalah bandwidth sinyal chirp. Dalam domain frekuensi, J(ω, x) = P(ω)δ(x − y), dimanaP(ω)adalah transformasi fourier dari p(t). Medan listrik insiden dan medan hamburbalik dengan pendekatan approximasi Born dapat dituliskan dalam domain frekuensi sebagai berikut : | | (8) ( , )=− ( ) 4 | − |
3.2 Model Sinyal SAR Kontinu Medan hamburbalik dengan approximasi Born diperoleh dengan substitusi dari rumus (6) dan (8), sehingga kita dapat mengukur sinyal SAR pada antena penerima sebagai berikut : | | | | (9) ( , ′) = ( ) ( ) 4 | − | 4 | − | Dalam hal ini diasumsikan untuk monostatic SAR, dimana posisi antena pengirim sinyal radar x dan posisi antena penerima y pada satu wahana bergerak (x=y) dan jarak antara posisi target z dan antena jauh. Maka medan hamburbalik yang diukur pada antena penerima diperoleh dengan rumus berikut : (10) ( ) ) ( ). ( ). . ( ( ) ℰ ( , )=− 16 dimana R(z) = |x − z| adalah jarak antara antena dan target, dan τ = 2R(z)/c adalah waktu delay atau waktu tempuh sinyal chirp dari antena sampai ke target dan kembali. Sinyal termodulasi base band dalam proses demodulasi quadrature diperoleh dengan mengeliminasi frekuensi pembawa dan dilanjutkan dengan melakukan filter lowpass. Maka fungsi baru dari medan hamburbalik adalah sebagai berikut :
- 242 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ℰ ( , )=−
∈
( ). ( ).
16
.
(
(
(11)
) )
Rumus di atas berlaku untuk sistem radar pulsa dengan pendekatan stop-go (Franceschetti and Lanari 1999). Dalam model kontinu, antena radar biasanya menunjuk ke arah target pada platform bergerak dan sekaligus memancarkan sinyal radar. Jalur pergerakan antena dilambangkan dengan indeks η = 1, … , N , yang merupakan indeks dari pulse repetition frequency (PRF) dari sistem radar. Posisi antena x digantikan oleh index η , sehingga antena berada pada posisi yang berbeda sepanjang jalur gerakan, pada saat antena mentrasmit sinyal chirp.Skala maktu pada model ini didefinisikan menjadi 2 skala, yang skala waktu pada pergerakan antena jauh lebih lambat (slow time) dari skala waktu pada gelombang EM dari sinyal radar (fast time). Maka sinyal radar yang diterima dengan 2 skala waktu dapat didefinisikan sebagai berikut: (12) ( ( ) ) ( ). ( ) ℰ ( , )=− 16 dimana τ = 2. R ⁄c adalah waktu delay sinyal SAR pada index η dan R adalah jarak antara antena pada posisi η dan setiap target yang berbeda dengan posisi z (x , y ). Jarak tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut : (13) = − + (ℎ + ( + ) ) Dimana h adalah tinggi wahana pembawa sensor radar dan X jarak antara antena dan titik dengan area target.
4.
DATA SAR TERKOMPRES DENGAN CS
4.1 Model Linear Sinyal SAR Tujuan dari rekonstruksi citra SAR adalah untuk menentukan V sebagai reflektifitas target dari data mentah SAR. Bentuk paling sederhana dari citra SAR bersifat jarang, jika terdapat beberapa hamburbalik (scatterers) dominan pada citra, contohnya beberapa kapal di laut. Jadi V ∈ ℂ adalah koefisien reflektifitas hamburbalikan yang menunjukkan besarnya reflektifitas target dalam sinyal kompleks dengan jumlah komponen Knon-zero yang dominan sepanjang N. Model liniar persamaan SAR dibentuk dengan memisahkan komponen reflektifitas V dan bentuk matriks akuisisi sinyalSAR Ψ dan sasaran reflectifity dari persamaan (12) dalam bentuk diskrit dituliskan sebagai berikut ( , )=
( ,
).
=
(14)
.
Skala waktu untuk sinyal pada arah range dan azimuth mempunyai index t = 1, … , N dan η = 1, … , N . Dimana N dan N adalah jumlah sampling pada sinyal pada arah rangedan azimuth. Matriks ψ (t , η ) untuk setiap target adalah sebagai berikut ( ,
)=
( ,
)=[ ( , )
dimana
,…,
=
.
(
, )
( , ) (
(15) ( ,
,…, ,
)
)
,
]
− ( , )=4
. −
−
2
Jika vektor koefisien hamburbalik didefinisikan V = [v , v , ⋯ , v ] , maka model matematika dari pembentukan sinyal SAR Ψ dapat ditulis sebagai berikut : = [ ( , ), ( , ), … , ( , )] (16)
- 243 -
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell. (Arief, R., et al.)
Matriks Ψ memiliki dimensi (N N × N ), yaitu perkalian jumlah sampling arah range dan azimuth pada baris dan jumlah total target pada kolom. Untuk mendapatkan sebuah data mentah SAR digital dilakukan dengan menggunakan ADC converter dengan sampling rate yang disyaratkan oleh Nyquist.
4.2 Sample Model Terkompresi
Untuk menunjukkan efektivitas kinerja algoritma CS, sampling rendah secara acak pada sinyal SAR S diperlukan. Maka persamaan baru terbentuk dapat dirumuskan sebagai berikut : = = + (17) dimana Φ menyatakan sebuah matrik sampling rendah M × N yang dibentuk secara random, y sebuah vektor hasil sampling rendah dengan panjang M. Semakin sedikit jumlah pengukuran M yang diambil, maka laju sampling semakin rendah. Jumlah pengukuran M harus dipilih setidaknya lebih besar dari K tetapi dapat secara signifikan lebih kecil dari dimensi adegan N (K < ≪ N ). Sampling rendah dilakukan dengan mengurangi jumlah pengukuran sinyal radar yang diterima secara acak secara bersamaan di kedua waktu cepat dan waktu lambat. Metode ini menunjukkan penurunan jumlah sampel secara signifikan. Sebuah pengukuran rendah y dibentuk pada 2 skala waktu (1) sampling rendah dalam waktu lambat yang dihasilkan pengaturan pengiriman pulsa radar secara acak. (2) sampling rendah dalam waktu cepat yang dihasilkan sampling rendah pada sinyal hamburbalik dibawah dari persyaratan teori Nyquist. Gambar. 1 menjelaskan generasi matriks sampling Φ. Pengukuran dikurangi dilakukan oleh biner acak di bawah sampling sinyal radar berdasarkan matriks identitas. Matriks identitas yang memiliki ukuran N × N of dari dikalikan dengan matrik permutasi acak. Kemudian matriks sampling dapat dibentuk dengan menghapus baris dengan nilai 0 dan memiliki ukuran matriks × N . × × ×1 × 1 0 0 0 ⋯ 0 1 0 0 0 ⋯ 0 1 1 0 0 0 ⋯ 0 ⎡0 1 0 0 ⋯ 0⎤ ⎡0 0 0 0 ⋯ 0⎤ ⎡ 0⎤ 0 0 1 0 ⋯ 0 ⎢ ⎥ .∗ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ 0 1 0 0 1 0 ⋯ 0 0 0 1 0 ⋯ 0 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ 0 0 0 0 0 1 1 ⋯ 0 0 ⋯ 0 0 0 0 0 0 0 0 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⋮ ⎥ ⎢ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ 0⎥ ⎢ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ 0⎥ ⎣ 1⎦ ⎣0 0 0 0 0 1⎦ ⎣0 0 0 0 0 1⎦ Gambar 1. Cara menghasilkan matrik sampling rendah Φ
4.3 Rekonstruksi
Target dengan reflektifitas V dengan pengukuran rendah dapat direkonstruksi dengan stabil dengan menyelesaikan persamaan linear berdasarkan L1-norm (Candes and Romberg 2005; David Donoho 2010; Donoho 2006). Dengan menyelesaian persamaan linear, maka reflektifitas V dapat direkonstruksi dengan formulasi sebagai berikut : ‖ −
‖ + ‖
‖
,
>0
(18)
Walau Φ acak, asal persyaratan RIP / incoherensy dipatuhi, maka formula diatas dapat merekonstruksi sinyal V dengan baik. Walaupun algoritma L1-norm dapat memberikan garansi untuk merekonstruksi sinyal f, tetapi algoritma ini mempunyai kelemahan pada waktu komputasi.
5.
HASIL PEMBAHASAN
Bab ini mengevaluasi kinerja pencitraan SAR terkompres yang diturunkan untuk persamaan Maxwell. Beberapa eksperimen dilakukan untuk mengevaluasi metode yang diusulkan pada dua data input, yaitu target titik dan sebuah obyek yang kompleks berupa kapal di laut (lihat Gambar.2).
- 244 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
(a) (b) Gambar 2. Data input untuk ekperimen (a) target titik (b) objek yang kompleks berupa kapal di laut
Kedua data input memiliki hamburbalikan yang berbeda beda dalam gambar 31x31 pixel. Parameter penting dari parameter SAR strip map dengan frekuensi 10GHz dengan resolusi azimuth dan resolusi range masing-masing 1,00m. Data mentah SAR diperoleh dengan sampling rate penuh sesuai teori Nyquist dengan ukuran Na × Nr dimana N = 96 dan N = 126.
5.1 Eksperimen Target Titik Pada eksperimen pertama, data input yang digunakan adalah target titik. Pengukuran acak dilakukan sebagai bentuk kompresi dengan pengambilan sampel M=50-100 secara simultan dikedua azimuth dan range. Dengan demikian jumlah keseluruhan random sampling di bawah 1% sampel dari jumlah total sampel Ns = Na × Nr =12096. Jumlah pengukuran rendah diambil sesuai dengan persyaratan RIP untuk memastikan rekonstruksi yang baik. Perhitungan hasil rekonstruksi yang dilakukan berulang-ulang 100 kali, maka hasil akhir adalah nilai rata-rata. Cara mengukur kualitas hasil rekonstruksi menggunakan 2 kriteria: (a) kualitas gambar yang ditandai dengan nilai pseudo signal noise ratio (PSNR) dan root mean square error (RMSE) dibandingkan dengan target asli (Gonzalez and Woods, 2006), (b) kualitas citra SAR yang ditentukan oleh nilai resolusi gambar dalam resolusi 3dB, peak side lobe ratio (PSLR) dan integrated side lobe ratio (ISLR) pada range dan azimuth. Resolusi gambar SAR ditentukan oleh leba lobus utama dari respon impuls diukur 3dB di bawah nilai puncak. PSLR dan ISLR mewakili kemampuan SAR untuk mengidentifikasi target yang kuat dari target terdekat lemah. PSLR dan ISLR adalah rasio antara tinggi dari lobus utama dan lobus samping, dinyatakan dalam desibel(dB). Gambar 3 menunjukkan hasil pencitraan dari target titik menggunakan kedua algoritma range doppler algorithm (RDA) (Cumming and Wong, 2005) dan metode CS. Hasil algoritma RD ditunjukkan pada Gambar 3(a). Ada gangguan yang serius pada side lobe dalam hasil pencitraan menggunakan algoritma RD. Sedangkan hasil rekonstruksi menggunakan metoda yang diusulkan diperlihatkan pada gambar. 4(b)(f).hanya menggunakan M=60-100 sampel acak. Hasil menunjukkan bahwa posisi arget titik dan amplitudonya dapat direkonstruksi secara signifikan dibandingkan dengan algoritma RD. Sebaliknya, target titik tidak dapat direkonstruksi dengan benar, jika jumlah pengukuran rendah di bawah M=50 secara acak. Jadi kinerja CS bergantung pada jumlah pengukuran. Semakin besar jumlah pengukuran rendah, maka reflektifitas dapat direkonstruksi lebih baik.
- 245 -
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell. (Arief, R., et al.)
CS M =50
RDA
0
-10
0
-10 -10
0
10
0
-10 -10
0
-10
10
0
10
range (a)
range (b)
range (c)
CS M =70
CS M =80
CS M =90
0
-10
10
azimuth
10
azimuth
10
azimuth
10
azimuth
10
azimuth
azimuth
10
CS M =60
0
-10 -10
0
10
0
-10 -10
0
range (d)
-10
10
0
10
range (f)
range (e)
Gambar 3. Hasil rekonstruksi dari target titik menggunakan (a) RDA (b)-(f) SAR berbasis CS dengan pengukuran M=50 – 90.
Tabel 1. Parameter hasil rekonstruksi citra SAR menggunakan RDASAR berbasis CS dengan pengukuran M=50-90.
RDA
Comp. Ratio M/N[%]
PSNR [dB]
RMSE [dB]
100
23,206
Range
Azimuth
3dBmw [m]
PSLR [dB]
ISLR [dB]
3dBmw [m]
PSLR [dB]
ISLR [dB]
0,203
1,25
-7,014
-8,402
1,06
-11,151
-7,593
CS M=50
0,413
24,682
0,589
1,00
-7,153
-8,859
1,02
-10,113
-10,342
CS M=60
0,496
32,293
0,241
1,00
-15,214
-10,786
1,00
-13,514
-10,834
CS M=70
0,579
42,173
0,063
1,00
-17,610
-10,939
1,00
-27,550
-10,960
CS M=80
0,661
53,347
0,022
1,00
-27,813
-10,960
1,00
-30,030
-10,961
CS M=90
0,744
58,883
0,012
1,00
-30,167
-10,959
1,00
-34,721
-10,957
CS M=100
0,827
65,094
0,005
1,00
-31,920
-10,958
1,00
-35,833
-10,962
RDA Amplitude [dB]
0 -5 -10 -15 -20 -10
0
0
CS M=70
0
CS M=80
0
-10
-10
-10
-10
-20
-20
-20
-20
-30
-30
-30
-30
-40
-40
-40
-40
-10
10
0
10
-10
Range [m]
Range [m]
Amplitude [dB]
CS M=60
0
10
-10
Range [m]
0
10
-10
Range [m]
0
0
0
0
-10
-10
-10
-10
-10
-20
-20
-20
-20
-15
-30
-30
-30
-30
-20
-40
-40
-40
0
10
Azimuth [m]
-10
0
10
Azimuth [m]
-10
0
10
Azimuth [m]
0
-40 -10
0
10
Azimuth [m]
-10
0
10
Azimuth [m]
Gambar 4. Spektrum dari point spread function pada arah range dan azimuth
- 246 -
10
Range [m]
-5
-10
CS M=90
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Hasil rekonstruksi menggunakan pengolahan SAR berbasis CS dapat ditentukan oleh nilai-nilai PSNR dan RMSE dari perspektif gambar. Tabel 1 menunjukkan bahwa kualitas citra target titik menggunakan pengolahan SAR berbasis CS dapat ditingkatkan sejalan dengan bertambahnya jumlah pengukuran. Hal ini ditandai dengan nilai PSNR yang lebih tinggi dan nilai RMSE yang semakin kecil. Hasil pencitraan menggunakan RDA memiliki nilai PSNR 23.206 dB dan RMSE 0.203 dB, sedangkan hasil pencitraan dengan menggunakan SAR berbasis CS dengan M = 60 dan di atas menunjukkan PSNR yang lebih tinggi dan RMSE yang lebih kecil. Selain itu, nilai side lobe pada metode CS berkurang secara signifikan dibandingkan dengan algoritma RD. Jika nilai PSLR pada target titik menggunakan metode RDA adalah -7,014dB di sumbu range dan 11.151 dB di sumbu azimuth, maka dengan menggunakan metoda CS yang diusulkan dengan M = 60 memiliki nilai PSLR -15.214 dB di range dan -13.514 dB di azimuth. Side lobe semakin berkurang dengan meningkatkan jumlah pengukuran sampling dengan ditandai oleh nilai resolusi 3dB yang semakin tepat dengan resolusi 1m dan nilai PSLR / ISLR pada azimuth dan range yang terus meningkat (lihat Tabel 1).
5.2 Eksperimen Menggunakan Objek Kapal Gambar 5 menunjukkan hasil pencitraan dari objek kapal menggunakan kedua algoritma. Gambar kapal asli diambil dari data Radarsat1 Gambar 5(a). Karena objek kapal memiliki sifat sparsity lebih rendah dari target titik, maka jumlah pengukuran rendah secara acak dipilih lebih banyak menjadi M=840-1020 sampel secara simultan di kedua arah azimuth dan range. Dibandingkan dengan metode konvensional RDA, metode CS yang diusulkan dapat meningkatkan resolusi pencitraan SAR secara signifikan pada jumlah pengukuran M=900 atau lebih. Hasil penelitian menggunakan metoda CS yang diusulkan menunjukkan bahwa lokasi dan koefisien hamburbalik dari objek kapal dapat direkonstruksi dengan baik dan menghasilkan sidelobe yang lebih rendah.
Gambar 4. Hasil pencitraan dari objek kapal menggunakan (a) RDA (b)-(f) metoda CS yang diusulkan dengan pengukuran 780-1020
- 247 -
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell. (Arief, R., et al.)
Tabel 2 Parameter hasil rekonstruksi citra SAR dari objek kapal menggunakan RDAdan SAR berbasis CS Compression RatioM/N[%]
PSNR [dB]
RMSE [dB]
RDA
100%
26,6729
0,0463
CS M=840 CS M=870 CS M=900 CS M=930
6,94 7,19 7,44 7,69
24,1671 24,9882 26,7983 27,3240
0,0620 0,0563 0,0458 0,0430
CS M=960 CS M=990 CS M=1020
7,94 8,18 8,43
31,6616 35,1881 147,3641
0,0261 0,0174 4,27E-08
Hasil simulasi menunjukkan bahwa target kapal dapat direkonstruksi menggunakan metoda CS yang diusulkan dengan kualitas lebih baik dari pada metoda RDA. Dengan pengukuran rendah secara acak, sistem pengolahan menggunakan metoda CS yang diusulkan dapat memulihkan objek kapal dengan kulitias yang sebanding dengan RDA ketika hanya M=900 atau 7,44% data dari data mentah penuh. Tingkat pemulihan tinggi dapat dicapai bila jumlah pengukuran rendah ditingkatkan.
6. KESIMPULAN Makalah ini menyajikan metode pengolahan citra SAR terkompres dengan CS. Persamaan data mentah SAR yang tidak linear diturunkan menggunakan persamaan Maxwell. Menggunakan pendekatan approximasi Born, data mentah SAR dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan linier. Sehingga, teori CS dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk merekonstruksi target jarang dengan memecahkan pemrograman linear dari pengukuran rendah dari yang sirayatkan oleh toeri Nyquist. Dibandingkan dengan metode konvensional RD, hasil simulasi menunjukkan kinerja metode CS yang diusulkan dapat menekan side lobe dan meningkatkan kinerja pencitraan SAR secara signifikan. Jumlah data mentah sinyal SARdapat dikurangi secara drastis. Namun, kualitas citra SAR masih dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA Candes, E.J., dan Romberg, J. (2005). L1-magic : Recovery of Sparse Signals via Convex Programming. Available at: http://statweb.stanford.edu/ candes/l1magic/. Candes, E.J., dan Tao, T. (2006). Near-optimal signal recovery from random projections: Universal encoding strategies? IEEE Transactions on Information Theory, 52(12):5406–5425. Available at: http://ieeexplore.ieee.org/xpls/abs_all.jsp?arnumber=4016283. Cheney, M., dan Borden, B. (2009a). Fundamentals of Radar Imaging, Society for Industrial and Applied Mathematics. Available at: https://books.google.co.id/books?id=E7M7HQGB0EwC. Cheney, M., dan Borden, B. (2009b). Problems in synthetic-aperture radar imaging. Inverse Problems, 25(12), p.123005. Available at: http://stacks.iop.org/0266-5611/25/i=12/a=123005. Cumming, G., dan Wong, F.H. (2005). Digital Processing of Synthetic Aperture Radar Data., Norwood, MA: Artech House. Curlander, J.C., dan McDonough, R.N. (1991). Synthetic Aperture Radar: Systems and Signal Processing., New York, John Wiley & Sons. Donoho, D.L., dan Stodden, Y.T.V. (2010). SparseLab, http://sparselab.stanford.edu/. Available at: http://sparselab .stanford.edu/. Donoho, D.L. (2006). Compressed sensing. IEEE Transactions on Information Theory, 52(4):1289–1306. Franceschetti, G., dan Lanari, R. (1999). Synthetic Aperture Radar Processing, Taylor & Francis. Available at: https://books.google.co.id/books?id=3EroVZeuzZwC. Friedlander, F.G., dan Joshi, M.S. (1998). Introduction to the Theory of Distributions, Cambridge University Press. Available at: https://books.google.co.id/books?id=9O-pXIVUEFMC. Gonzalez, R.C., dan Woods, R.E. (2006). Digital Image Processing (3rd Edition), Upper Saddle River, NJ, USA: Prentice-Hall, Inc. Herman, M.A., dan Strohmer, T. (2009). High-Resolution Radar via Compressed Sensing. IEEE Trans. Signal Process, 57(6): 2275–2284.
- 248 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Sun, B. (2014). Compressive sensing imaging for general synthetic aperture radar echo model based on Maxwell’s equations. EURASIP Journal on Advances in Signal Processing. Available at: http://dx.doi.org/10.1186/16876180-2014-153. Treves, F. (1975). Basic Linear Partial Differntial Equations, Available at: https://books.google.co.id/books?id= S6n8tgAACAAJ. Wei, S.J. (2010). Sparse reconstruction for SAR imaging based on compressed sensing. Progress In Electromagnetics Research, 109, pp.63–81. Available at: http://www.jpier.org/PIER/pier.php?paper=10080805. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator Judul Makalah Pemakalah Jam Tempat Diskusi
: Dr. Ir. Katmoko Ari S, M. Eng : Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell : Rahmat Arief : 11.02 - 11.25 : Ball Room II :
Mahdi Kartasasmita (LAPAN) Bagaimana membangun Matriks Sampling? Jawaban Membangun matriks sampling yaitu mengalikan matriks dengan random sampling. Identity matriks dikalikan dengan sampling menghasilkan matriks itu sendiri. Ogi Gumelar (LAPAN) Bagaimana membuktikan persamaan tersebut tidak linear? Jawaban Persamaan integral terdapat di dua sisi Karena Ɛsc lebih kecil atau lebih lemah dari Ɛin , sehingga bisa diabaikan Menjadi persamaan tidak linear.
- 249 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015 ORAL PRESENTATION
Identifikasi Perbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise (Speckle) pada citra Radar RGB Pauli Menggunakan Software Polsar Pro Desi Ariska Putri1,*), dan Rukiyya Sri Rayati Harahap1 1
Prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Sleman, Yogyakarta *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK - Informasi yang diperoleh dari Syntetic Aperture Radar (SAR) masih memiliki kelemahan, diantaranya adanya noise atau speckle pada citra radar yang dapat mengganggu dalam ekstraksi informasi. Hal ini disebabkan karena objek yang terekam pada citra radar merupakan hasil pulsa balik radar. Intensitas pulsa balik radar baik dari pesawat udara ini pada dasarnya ditentukan oleh sifat-sifat sebagai berikut, yaitu sifat objek, misalnya ketinggian, kekasaran objek, sifat dari panjang gelombang radar, sudut depresi, polarisasi dan arah pengamatan antena. Distorsi pada radar disebabkan oleh kombinasi hamburan dari sejumlah kecil hamburan dalam suatu piksel (polarisasi) . Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menghilangkan noise (speckle) yang ada pada citra radar dengan bantuan software Polsar Pro. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah citra RGB Pauli. Metode yang digunakan yaitu metode Box Filter, Gaussian, dan J.S.Lee Refined. Disamping itu, Setiap metode juga dibandingkan jumlah window (jendela) filternya. Hasil dari penelitian ini yaitu pada metode Box Filter (window 7 x 7) hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan jumlah window 1 x 1; window 5 x 5. Begitu juga halnya dengan metode Gaussian dan J.S Lee Refined. Hasil dari penelitian ini diantara ketiga metode yang digunakan yang paling bagus adalah Box Filter dengan window 1x1, metode Gaussian dengan window 5 x 5 dan J.S Refined dengan window 7 x 7. Akan tetapi kelemahannya, proses filtering membutuhkan waktu yang lama dan prosesnya relatif lambat. Kata kunci:SAR, Speckle, Polarisasi, Polsar Pro, Filtering ABSTRACT- Information obtained from Syntetic Aperture Radar (SAR) still has weaknesses, including the noise or speckles in the image which can disturing extraction of information from radar. This is because the objects are recorded on a radar image is the result of reverse pulse radar. Intensity radar pulse behind both of aircraft is essentially determined by the following properties, object properties, such as height, roughness of object, the nature of radar wavelength, angle of depression, antenna polarization and direction of observation. This result in distortion of the radar especially because of the combination scattering of scattering in a small number of pixels (polarization). The purpose of this study is to eliminate noise (speckle) that exist in the radar image with the help of software Polsar Pro. The data used RGB Pauli Imagery. This study use are Box Filter method, Gaussian method , and J.S. Lee Refined method. In addition, each method also compared the number of windows (windows) filter. Results of this research is method of Box Filter (window 7 x 7) results are better than the number of window 1 x 1; window 5 x 5. So is the case with Gaussian and J.S Lee Refined method. Results from this study among the three methods use the best is Box filter with 1x1 window, Gaussian method with a window of 5 x 5 and J.S Refined with window 7 x 7. But its weakness, need the filtering process is too long and relative slow process. Keywords: SAR, Speckle, Polarization, Polsar Pro, Filtering
1.
PENDAHULUAN
Syntetic Aperture Radar (SAR) merupakan salah satu penginderaan jauh sistem aktif menggunakan tenaga elektromagnetik yang berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu singkat (10-6 detik) (Lillesand et al., 2008), yang menuju ke target dan mengukur kekuatan sinyal yang dipantulkan oleh objek tersebut dan waktu yang dibutuhkan sinyal balik (backscatter) untuk diterima kembali oleh sensor (Aronof and Petrie, 2005). Oleh sebab itu istilah sinyal dalam sistem radar bukan pantulan seperti sistem optis fotografis tetapi adanya hamburan balik (backscatter). SAR memiliki ciri-ciri yaitu memiliki anteran asli/fisik (bruce force) untuk menghasilkan resolusi yang tinggi. Rentang spektrum panjang gelombang pada SAR ini dikontrol oleh panjang fisik antena. Sebagai contoh untuk menghasilkan cira dengan rentang 10 mrad dengan panjang gelombang 5 cm, membutuhkan antena sepanjang 5 m. Suatu sistem SAR terdiri atas pemancar (transmitter), penerima (receiver). Antena dan sistem elektronis untuk memproses dan merekam data. Bagian pemancar akan mengirimkan pulsa gelombang mikro secara kontiniyu yang terfokus dalam suatu beam ke permukaan bumi, kemudian antena penerima akan menerima bagian dari energi yang kemudian dihamburkan balik (backscatter) untuk diproses lebih lanjut. Kelebihan radar ini, karena memiliki gelombang energi sendiri yaitu dapat beroperasi pada waktu siang ataupun di malam hari. Disamping itu,
- 250 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
radar juga dapat beroperasi di segala kondisi cuaca hal ini disebabkan karena gelombang mikro dapat menembus awas, asap dan hujan. Berbeda dengan gelombang pasif yang membutuhkan bantuan matahari.
2.
METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra Radar Pauli RGB, yang belum terkoreksi. Artinya citra ini masih memiliki noise (speckle). Citra radar ini diolah menggunakan software Palsar Pro. Metode yang digunakan untuk menghilangkan speckle ini menggunakan metode Box Filter, Gaussian Filter, C. Lopez Filter, dan J.S.Lee Refined Filter. Secara teknis, untuk menghilangkan speckle menggunakan software Polsar Pro versi 4.0 yang dapat di download secara gratis di http://www.imagemagick.org/ download/binaries/ImageMagick-6.8.9-0-Q16-x86-static-exe. Secara teknis pengolahan citra radar ini sebagai berikut; a) Membuka perangkat lunak Polsar Pro versi 4.0 maka tampilannya akan seperti gambar berikut;
b) Memilih single data set
c) Menentukan directory penyimpanan
d) Input data citra radarsat dalam hal ini data yang digunakan adalah Pauli RGB e) Memasukkan SAR product file
- 251 -
IdentifikasiPerbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise (Speckle) pada Citra Radar RGB Pauli Menggunakan SofwarePolsar Pro (Ariska, D., et al.)
f) Klik open, maka akan muncul ketentuan seperti dibawah ini, dimana V=1 san H= 2
g) Data yang sudah diinput kemudian di extract
- 252 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
h) Setelah diextract menggunakan full resolution, lalu klik tombol display
Maka akan muncul seperti gambar di atas, klik BMP viewer dan open file, buka citra Pauli RGB asli. Kemudian klik open, maka akan citra Pauli RGB tersebut akan muncul, kemudian klik processess pada toolbar, dan klik polarimetric filter, maka akan banyak metode-metode untuk memfilter noise (speckle).
- 253 -
IdentifikasiPerbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise (Speckle) pada Citra Radar RGB Pauli Menggunakan SofwarePolsar Pro (Ariska, D., et al.)
i)
3.
Kemudian klik create RGB untuk menyimpan hasil pemfilteran, dengan menggunakan parameter Pauli RGB.
HASIL PEMBAHASAN
Speckle merupakan salah satu noise yang terjadi pada citra radar, ditandai dengan munculnya bintikbintik yang berwarna keabuan. Munculnya bintik-bintik tersebut disebabkan adanya kombinasi hamburan dari sebagian kecil hamburan dalam suatu piksel. Gangguan speckle yang membentuk pola seperti butiran garam dan merica (salt and pepper). Pada sensor dengan resolusi yang lebih tinggi, maka tidak akan menghasilkan speckle. Adanya speckle merupakan akibat dari interferensi konstruksi dan destruktif antar siyal hamburan balik dari berbagai objek (penghamburan balik) secara acak dalam suatu area (resolution cell) tertentu yang disinarinya. Hal ini dapat direduksi dengan memisahkan porsi aperture dan mengkombinasi kembali porsi tersebut sehingga interferensi tidak terjadi, dimana proses ini sering disebut penglihatan banyak (multiple looks) atau intergrasi non korelasi (Jensen, 2007) Terdapatnya speckle dalam jumlah banyak pada citra radar, akan berakibat pada tampilan yang tidak jelas. Prinsip pada proses pemfilteran citra menurut Danoedoro (2012) menekankan frekuensi tinggi pada citra atau memperhalus citra, serta menekankan frekuensi rendah, meliputi memperjelas atau mendeteksi tepi pada citra. Pemfilteran suatu citra untuk menghilangkan gangguan speckle dapat memperhatikan nilai piksel yang bertetanggaan.Menurut Champbell (2011), gangguan speckle dapat dikurangi dengan proses multilook atau komputasi dengan menerapkan filter adaptif maupun non adaptif. Filter non adaptif memerlukan sedikit proses komputasi, sedangkan pada filter adaptif dengan menyesuaikan karakteristik lokal permukaan sehingga batas dan tepi permukaan secara alami masih terlihat. Gangguan speckle ini pada citra radar dapat dihilangkan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu Box Filter, Gaussian Filter,C. Lopez Filter, dan J.S. Lee Refined Filter.
Gambar 1. Citra Asli
- 254 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Citra dengan metode Box Filter menggunakan parameter pauli. Jumlah window yang digunakan yaitu 1, 5, dan 7. Hasil dari window 7 lebih bagus, dibanding window 1 dan window 5. Hal ini karena ukuran window yang digunakan pada citra sebesar 7 x 7 untuk menfilter specklenya pada suatu citra,akan tetapi proses yang terjadi pada window ini sangat lama. Sehingga dapat disimpulkan dari nilai ukuraan window semakin tinggi maka proses pemfilteran semakin lama, namun hasil dari pemfilteran speckle semakin baik. Sementara pada tampilan citra tampak terlihat kontras perbedaannya dalam menyeleksi specklenya. Pada window 1 speckle masih hampir sama dengan citra aslinya, dan pada window 5 semakin berkurang hingga window 7 semakin lebih bagus.
Window 1
Window 5
Window 7
Gambar 2. Hasil dari metode Box Filter
Citra dengan metode Gaussian Filter pada dasarnya juga menggunakan window 1, 5, dan 7. Perbedaan secara visual dapat tampak pada kehalusan tekstur. Tampilan yang tampak pada citra dengan window 1 secara seluruh menghasilkan warna hitam, dimana speckle tidak terfilter. Tidak terfilternya speckle mengakibatkan ambiguitas informasi dalam citra, sehingga tidak ada informasi apapun yang ditampilkan. Hal ini disebabkan window yang digunakan terlalu kecil, maka window yang terlalu kecil tidak dapat difilter oleh metode gaussian ini. Sebaliknya,pada window 5 dan 7, dapat memfilter speckle. Speckle yang tampak pada window 5 lebih banyak, dibandingkan specklepada window 7. Hal ini disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai ukuran window, maka semakin halus atau muncul kesan blur dengan pemrosesannya yang semakin sulit.
Window 5
Window 7
Gambar 3. Hasil dari metode Gaussian
Citra dengan metode C. Lopez Filter mengadaptasi dari jumlah filtering terhadap statistik objek lokal. Area yang homogen akan mengalami filtering yang maksimum, dimana mengakibatkan noda titik sering tidak dapat terfiltrasi. Filter ini dapat digunakan untuk struktur dan kelurusan. Seperti percobaan metode sebelumnya, metode ini memanipulasi ukuran jendelanya. Berdasarkan pengamatan terdapat perbedaan dari
- 255 -
IdentifikasiPerbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise (Speckle) pada Citra Radar RGB Pauli Menggunakan SofwarePolsar Pro (Ariska, D., et al.)
setiap window pada tingkat kekontrasan dan ukuran citra. Semakin besar ukuran jedela, maka tingkat kekontrasan semakin besar.
Window 1
Window 5
Window 7
Gambar 4. Hasil dari metode C. Lopez Filter
Citra dengan metode J.S. Lee Refined Filter pengggunaan window sama seperti acara sebelumnya. Akan tetapi pada window 1 menampilkan non informasi dengan penampakan citra berwarna hitam. Sementara window 5 dan window7 specklenya mulai tidak kelihatan pada window ke 7. Diantara sekian metode yang telah dilakukan, metode inilah yang dirasa paling bagus atau sesuai dalam menghilangkan gangguan speckle khususnya pada window 5 dan window 7. Dari hasil speckle yang ditampilkan yang tampak terlihat pada metode ini, dimana specklenya tampak lebih sedikit dibandingkan dengan metode-metode yang lainnya.
Window 7
Window 5
Gambar 5. Hasil dari metode J.S. Lee Refined Filter
Semua metode filter menggunakan window 1, window5, dan window7 parameter pauli, sehingga antar metode dapat dibandingkan. Metode yang paling bagus diantara ke empat metode ini pada window1 yaitu pada metode Box Filter. Sedangkan pada window 5 dan window 7 hasil yang paling bagus untuk speckle pada metode J.S.Lee Refined Filter. Hal ini dapat disimpulkan secara visual, maka secara keseluruhan yang paling bagus adalah metode J.S. Lee Refined Filter.
4.
KESIMPULAN
Pada uji coba yang dilakukan dapat disimpulkan penggunaan data citra Radar RGB Pauli dengan menggunakan metode filtering, yaitu Box Filter, Gaussian Filter, C. Lopez Filter, dan J.S. Lee Refined Filter mampu untuk menghilangkan noise (speckle) dengan membandingkan masing-masing metode pada window 1, 5, dan 7. Window 1 sangat bagus menggunakan metode Box Filtering, sementara pada window 5 dan
- 256 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
window 7 sangat bagus menggunakan metode J.S. Lee Refined Filter. Dari hasil perbandingan empat metode tersebut, secara keseluruhan metode J.S. Lee Refined Filter memiliki hasil yang bagus, dimana tidak menunjukkan bintik-bintik berwarna keabuan yang berarti dapat mengurangi noise (speckle). Dari perbandingan keempat metode yang digunakan ini reduksi noise berguna untuk penerapan aplikasi data radar yang digunakan dengan sedikit speckel yang ada pada radar.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen-dosen penampu mata kuliah Penginderaan Jauh Sistem Non Fotografi di Fakultas Geografi UGM atas bantuan teknisnya dalam mempersiapkan terhadap penelitian ini. Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan dukungan finansial dan dukungan moral.
DAFTAR PUSTAKA Aronoff, S. (2005). Remote Sensing for GIS Managers, 1st ed.. California, Amerika Serikat : ESRI Press. Campbell, J.B., dan Wynne, R.H. (2011). Introduction to Remote Sensing, 5th ed. New Yow : The Guilford Press. Chuvieco, E., dan Huete, A. (2010). Fundamentals of Satellite Remote Sensing. Florida, Amerika Serikat : CRC Press. Danoedoro, P. (2012). Pengolahan Penginderaan Jauh Digital. Fakultas Geografi UGM : Yogyakarta.. Jensen, dan John, R. (2007). Remote Sensing of The Environment : An Earth Resource Perspective, 2nd ed. New Jersey, Amerika Serikat : Pearson Prentice Hall. Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., dan Chipman, J.W. (2008). Remote Sensing and Image Interpretasion, 6thed. New Jersey, Amerika Serikat : John Wiley & Sons, Inc. LoC (1986). Applied Remote Sensing. Essex, UK : Longman, Inc. Sabins, F.F. (2007). Remote Sensing : Principles and Interpretation, 3rd ed. Illinois, Amerika Serikat : Waveland Press, Inc. Sutanto (1987). Penginderaan Jauh, Jilid 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Tempfli, K., Kerle, K., Huurneman, G.C., dan Jenssen, L.L. (2009). Principles of Remote Sensing : An Introductory Texbook, 4th ed. Enschede, Belanda : The International Institute for Geo-Information Scieence and Earth Observation (ITC). *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator Judul Makalah Pemakalah Jam Tempat Diskusi
: Dr. Ir. Katmoko Ari S, M. Eng : Identifikasi Perbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise (Speckle) Pada Citra Radar : Desi Ariska Putri : 11.26 - 11.42 : Ball Room II :
Mahdi Kartasasmita (LAPAN) Apakah Software ini memiliki fasilitas untuk mengukur secara kuantitatif ? Jawaban Belum ada tools yang memberikan informasi dari software untuk menghitung secara kuantitatif perbandingan nilai piksel radar dengan metode filter tersebut. Risti (IPB) Mengapa window 1 menggunakan metode Box Filtering? Jawaban Karena window 1 ukuran 1x1 menunjukan informasi speckle. Box Filtering menunjukan visualisasi kualitas speckle dibandingkan metode lainnya.
- 257 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015 ORAL PRESENTATION
Simulasi Model Penentuan Garis Pantai Menggunakan Data Polarisasi Tunggal (HH) ALOS PALSAR Samsul Arifin1,*) 1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN Email:
[email protected]
ABSTRAK : Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki ribuan pulau dan garis pantai terpanjang no.4 di dunia. Penelitian tentang garis pantai telah banyak dilakukan tetapi hasil yang didapat beragam, tergantung pada tujuan dan metode yang digunakan. Penggunaan metode dan data penginderaan jauh satelit optik sering mengalami kendala dengan adanya awan, yang berakibat hasil analisis kurang sempurna. Data ALOS PALSAR merupakan data SAR dapat digunakan sebagai solusi dalam penentuan garis pantai, baik dari segi teknologi maupun dari segi kondisi alam. Data yang digunakan untuk simulasi adalah data polarisasi tunggal (HH) ALOS PALSAR Pulau Nias Sumatera Utara, Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mementukan garis pantai menggunakan data ALOS PALSAR polarisasi HH. Metode ekstraksi yang digunakan adalah pemisahan peraian laut (L) dengan daratan (D) berdasarkan perbedaan nilai digital (DN). (DN)max sampel merupakan DN batas ambang antara perairan laut dan daratan. Jika DN < (DN)max adalah perairan laut (L), dan jika DN > (DN)max adalah daratan (D). Formula logika yang digunakan adalah If DN INPUT > (DN)max then (D) else (L). Simulasi ini dilakukan pada citra asli dan beberapa citra terfilter Lee, Forst, Sigma, Wight, Avarage dan Median. Hasil dari simulasi model pembuatan garis pantai diperoleh bahwa filter Avarage dan Median secara kualitatif merupakan filter yang paling optimal dibandingkan dengan filter Lee, Forst, Sigma dan Wight. Kata Kunci: ALOS PALSAR, Garis Pantai, Polarisasi HH ABSTRACT : As an Archipelago, Indonesia has a thousand islands and about 95 181 km coastline which is the fourth longest coastline in the world. So many researches about coastline have been done, but the results are variously depends on the methods and the objects are used. The use of method and optical satellite remote sensing data often has difficulty with the clouds, which the analysis result is less than perfectly. ALOS PALSAR data is a SAR data can be used as a solution in the determination of coastline in term of technology and natural environment. The data used for simulation is a single polarization data HH ALOS PALSAR of Nias island of North Sumatera, Indonesia. The purpose of this study was to determine the shoreline using ALOS PALSAR HH polarization data. The extraction method used is the separation between the Sea (L) with Land (D) based on the differences digital number (DN). DN)max sample is the threshold between the Sea (L) and Land (D). If DN < (DN)max is sea water and if DN > (DN)max is land. The Logical formula used is If DN INPUT > (DN)max then (D) else (L). this simulation is implemented to original image, and also several image such as filtered image by Lee, Forst, Sigma, Wight, Average and Median filtering. The result of making coastline simulation model show us that, average and Median filtering qualitatively give more optimum than Lee, Forst, Sigma and Wight. Keywords: ALOS PALSAR, Coastline, HH Polarization
1.
PENDAHULUAN
Panjang garis pantai 95.181 km menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat setelah Kanada, Amerika, dan Rusia. Garis pantai tersebut merupakan kontribusi yang diberikan oleh banyaknya pulau kecil maupun besar yang menaburi 5,8 juta Km2 laut Indonesia, meliputi perairan kepulauan atau laut Nusantara dengan luas 2,3 Juta Km2, perairan teritorial dengan luas 0,8 juta Km2 dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2,7 juta Km2. Sebagai negara Kepulauan, Indonesia masih dihadapi dengan sejumlah persoalan dengan ketidakpastian batasan dan panjang garis pantai. Permasalahan tersebut sangat penting untuk dipecahkan untuk mendapatkan pengakuan dari PBB. Dari sisi jumlah pulau, sampai saat ini diinformasikan masih sering bervariasi. Dishidros-TNI AL menginformasikan bahwa jumlah pulau kurang lebih 17.508 buah. Pihak lain mengatakan bahwa jumlah pulau hanya 17.000 pulau dan bahkan ada yang mengatakan tidak lebih dari 5.000. Menristek berdasarkan data dari pemotretan dengan menggunakan teknologi canggih menginformasikan bahwa jumlah pulau sebanyak 18.110 buah (Suara Pembaharuan, 2003). Lapan menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia sebanyak 18.108 buah ( Kompas, 2003). Departemen Dalam Negeri menyatakan bahwa jumlah pulau
-258-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
diseluruh Indonesia sebanyak 7.353 pulau telah memiliki nama dan 10.155 pulau belum bernama. Departemen Kelautan dan Perikanan mulai tahun 2001 telah melakukan inventarisasi jumlah pulau dan pulau-pulau yang memiliki prospek untuk dikembangkan. Perbedaan dan bervariasinya jumlah pulau dan panjang garis pantai yang diinformasikan oleh berbagai instansi tergantung batasan yang digunakan dan tujuan perhitungannya. Sampai saat ini kewenangan dalam penentuan jumlah pulau dan panjang garis pantai yang dimiliki Indonesia belum jelas sehingga menimbulkan adanya informasi yang saling bertentangan (Winarso, 2009). Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan garis pantai tanpa mengukur secara kontak langsung (Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer, 1990). Penentuan garis pantai berbasis teknologi penginderaan jauh lebih efektif dan efisien baik dari segi biaya maupun waktu. Pemanfaatan data penginderaan jauh sistem optik sudah banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah garis pantai dan pulau-pulau kecil, akan tetapi masih memiliki kendala bila data tertutup awan sehingga informasi yang dihasilkan kurang maksimal. Data SAR merupakan teknologi penginderaan jauh yang dapat menetralisir adanya wilayah yang tertutup awan dan bahkan dapat dimanfaatkan pada kondisi apapun (Sitanggang, 2010; Osawa, 2005; Anonim, 2012). PALSAR ALOS merupakan salah satelit SAR buatan Jepang yang dapat dioptimalkan datanya untuk kepentingan informasi di Indonesia (Nasda 2004; 2005; Rosenqvist, 2004; Osawa, 2005; Clark, 2014; Fukuda et al, 2001; Kamimura et al, 2008), karena Jepang dan Indonesia telah menjalin kerja sama dalam bidang teknologi dan pemanfaatan penginderaan jauh buatan Jepang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat suatu simulasi model yang dapat menentukan garis pantai menggunakan data Polarisasi Tunggal HH PALSAR ALOS agar data PALSAR ALOS yang tersedia digunakan secara optimal.
2.
METODE
2.1 Data Data yang digunakan data Polarisasi HH ALOS Palsar. Data ini terdiri dari data dual polarisasi yaitu polarisasi HH dan HV yang diakuisisi pada tahun 2010 dengan Digital Number (DN) dalam format data 16 bit unsigned dengan liputan area pulau Nias Sumatera Utara. Sumber data dari LAPAN.
Gambar 1. Lokasi Simulasi Data P. Nias, Sumatera, Indonesia (Sumber Gambar : Google Earth)
Gambar 2. Data ALOS Palsar Polarisasi HH, P. Nias (Sumber Data: Lapan-JAXA)
-259-
Simulasi Model Penentuan Garis Pantai Menggunakan Data Polarisasi Tunggal (HH) ALOS PALSAR (Arifin, S.)
2.2 Metode 2.2.1
Penentuan Digital Number (DN) Data
Penentuan DN digunakan cara proses statistik terhadap data. Hal ini dilakukan untuk mengetahui informasi DN atau backscatter dari sebuah data. Perhitungan statistik yang digunakan antara lain : nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata (Mean), nilai tengah (median) dan standard deviasi. 2.2.2
Filtering Data
Filtering data digunakan untuk meminimalkan atau mengihilangkan noise/noda DN atau backscatter yang ada pada data citra SAR. Filter yang digunakan filter khusus untuk proses pengolahan data SAR antara lain adalah metode Filter Lee, Filter Ford, Filter Avarege, Filter Sigma, dan Filter Median dengan jendela (windows) masing-masing filter 5x5 (Richard, 1986). 2.2.3
Pemisahan Perairan Laut dan Daratan
Untuk memisahkan perairan laut dan daratan dengan membuat beberapa polygon training sample pada perairan laut. Didasarkan pada DN maksimum hasil perhitungan statistik polygon training merupakan batas ambang wilayah perairan laut dan wilayah daratan. Jadi jika DN > DN maksimum adalah daratan dan jika DN < DN maksimum adalah perairan laut. Pemisahan ini dapat diformulakan dengan algoritma sebagai berikut : DN INPUT < DNmax adalah perairan laut (L) (1) DN INPUT > DNmax adalah daratan (D) (2) If DN INPUT > DNmax then daratan (D) else perairan laut (L) (3) 2.2.4
Konversi Raster ke Vektor
Hasil pemisahan perairan laut dan daratan merupakan hasil klasifikasi perairan laut dan daratan berupa raster. Selanjutnya raster tersebut dikonversi menjadi data vector dengan menggunakan aplikasi pengolahan data penginderaan jauh dan aplikasi GIS.
3.
HASIL PEMBAHASAN
3.1 Profil Data Citra Data yang digunakan berupa data Polarisasi Tunggal Horinsontal–HH (Single Polarisation) ALOS PALSAR yang diperoleh dari LAPAN tahun 2010 dengan wilayah penelitian simulasi P.Nias (Gambar 2) . Data ALOS PALSAR berformat 16 bit dimana nilai DN berkisar dari 358 sampai 22.729. Untuk keperluan penelitian simulasi ini DN tidak perlu dikonversi menjadi nilai backstcatter, karena hanya untuk kebutuhan memisahkan perairan laut dan daratan. Gambar 3 menunjukkan profil data antara air yang ada pada periran laut dan beberapa objek yang ada pada daratan.
air
dara t
Gambar 3. Profil Data antara Perariran Laut dan Daratan
-260-
air
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
3.2 Perhitungan Statistik DN Berdasarkan profil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan DN perairan laut dan DN daratan yang sangat signifikan. Sementara di dalam perairan laut sendiri juga terdapat perbedaan DN, sehingga DN perairan laut yang digunakan sebagai batas ambang antara DN perairan laut dan DN daratan sangat sulit ditentukan. Untuk mengetahui kuantitif nilai batas ambang DN perairan laut dengan DN daratan membuat beberapa polygon pada area perairan laut. Hasil perhitungan secara statistik pada polygon perairan laut dapat di lihat pada tabel 1. Tabel 1. Statistik DN Data Asli Polarisasi HH PALSAR ALOS Laut 1 Laut 2 Laut 3 Laut 4 Laut 5 Laut 6
Seluruh Data
Minimum
366
458
365
842
408
422
358
Maximum
2.351
2.748
3.087
2.032
1.725
1.877
22.729
Dari 6 poligon yang diambil sebagai contoh, maka nilai minimum DN untuk perairan laut 365 dan DN maksimum 3087 terdapat pada data statistik polygon laut 3, sementara untuk keseluruhan data terdiri dari nilai minimum DN 358 dan nilai maksimum DN 22.729. Berdasarkan analisis statistik bahwa DN ambang batas antara perairan laut dan daratan adalah 3087. Hal ini menunjukkan bahwa DN di bawah 3087 merupakan perairan laut dan DN di atas 3087 merupakan daratan. Dengan menggunakan formula atau algoritma (if DN > 3087 then DN else 0 (nol)) pada aplikasi software yang penulis digunakan. DN di atas 3087 menunjukkan daratan dan 0 (nol) menunjukkan perairan laut. Hasil proses / pengolahan dengan menggunakan formula algoritma pada persamaan 3 tersebut di atas maka dihasilkan data citra PALSAR beserta profilnya dapat di lihat pada gambar 4.
air
darat
air
Gambar 4. Profil data perairan laut dan daratan setelah di proses
3.3 Proses Filter Hasil DN minimum dan maksimum dari citra yang terfilter dari berbagai filter dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masing-masing citra yang telah terfilter dengan filter Lee, Forst, Avarage, Wight, Sigma dan Median memiliki nilai DN minimum dan maksimum berbeda. DN maksimum terkecil terdapat pada filter Average yaitu 2077 dan DN maksimum terbesar terdapat pada filter Sigma. DN maksimum filter Sigma sama dengan DN maksimum data Asli.
Minimum Maximum
Filter Lee 388 2417
Tabel 2 . DN minimum dan Maximum Setelah di Filter Filter Forst Filter Average Filter Filter Wight Sigma 402 379 388 365 2333 2077 2454 3087
-261-
Filter Median 402 2159
Simulasi Model Penentuan Garis Pantai Menggunakan Data Polarisasi Tunggal (HH) ALOS PALSAR (Arifin, S.)
3.4 Pemisahan Perairan Laut dan Daratan Data citra yang telah difilter dari berbagai filter, data citra dapat dipisahkan antara perairan laut dengan daratan dengan menggunakan formula / algoritma persamaan 3 dengan menggunakan DN maksimum masing-masing citra terfilter. Hasil citra pemisahan antara perairan laut dan daratan dapat di lihat pada gambar 5 data tersebut. Formula / Algoritma untuk masing-masing citra terfilter antara lain dapat dilihat dalam tabel 3 dan hasilnya dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 sebagai berikut:
1 2 3 4 5 6 7
Citra Asli (Original) Filter Lee Filter Forst Filter Wight Filter Sigma Filter Avarage Filter Median
Tabel 3. Formula / Algoritma Formula if DN INPUT>3087 then 1 else 0 if DN INPUT>2417 then 1 else 0 if DN INPUT>2333 then 1 else 0 if DN INPUT>2454 then 1 else 0 if DN INPUT>3087 then 1 else 0 if DN INPUT>2077 then 1 else 0 if DN INPUT>2159 then 1 else 0
Gambar 5. Pemisahan Perairan Laut dan Daratan Pada Data Asli (Original)
Pada dasarnya data polarisasi tunggal HH PALSAR ALOS asli maupun terfilter dapat digunakan untuk menentukan batas garis pantai. Dari penampilan secara kualitatif beberapa citra setelah terfilter dan setelah dipisahkan antara perairan laut dan daratan terlihat pada gambar 6. Citra terfilter yang paling bersih dari bercak hitam terdapat pada citra terfilter Average dan Median. Sedangkan citra terfilter yang bercak / kotor terbanyak terdapat pada citra data Asli dan terfilter Sigma. Hal ini menunjukkan bahwa citra setelah terfilter Avarege dan Median, DN di bawah DN maksimum yang berada di daratan tinggal sedikit /diminimumkan. 3.5 Konversi Raster ke Vektor Konversi Raster ke Vektor dilakukan untuk mengubah dari data raster hasil citra pemisahan perairan laut dan daratan baik pada citra asli maupun citra terfilter. Hasil konversi raster menjadi vector tampak seperti pada Gambar 7 dan 8
-262-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Filter Lee
Filter Sigma
Filter Fort
Filter Average
Filter Sigma
Filter Median
Gambar 6. Pemisahan Peraian Laut dan Daratan dari Berbagai Citra Filtering
Gambar 7. Konversi Data Raster ke Vektor Data Asli (Original)
-263-
Simulasi Model Penentuan Garis Pantai Menggunakan Data Polarisasi Tunggal (HH) ALOS PALSAR (Arifin, S.)
Filter Lee
Filter Sigma
Filter Sigma
Filter Fort
Filter Average
Filter Median
Gambar 8 . Konversi Data Raster ke Vektor Data Terfilter
Hasil overlay antara vector dengan data asli polarisasi HH PALSAR ALOS sangat baik. Selanjutnya sebagai saran jika koreksi goemetrik dari data memiliki tingkat ketelitian tinggi dapat dioverlay dengan data yang dimiliki oleh Google Earth sebagai uji tingkat akurasi.
Gambar 9. Overlay Vektor dengan Data Asli (Original)
-264-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
4.
KESIMPULAN
Penentuan nilai DN maksimum perairan laut pada data polarisasi tunggal HH dapat ditentukan dengan menghitung DN pada polygon contoh untuk perairan laut. DN maksimum perairan laut baik pada citra asli, maupun citra terfilter digunakan sebagai batas ambang antara perairan laut dan daratan. Formula / algoritma penentuan pemisahan perairan laut dan daratan adalah if DN maksimum > Input then 1 else 0 (nol). Simulasi Model teroptimal yaitu data terfilter Avarage dan Median untuk menentukan garis pantai menggunakan data polarisasi tunggal HH PALSAR ALOS. Sebagai saran tindak lanjut bahwa model ini dapat dicoba untuk digunakan pada data polarisasi tunggal lainnya seperti polarisasi HV, VV, dan VH, sehingga data ALOS PALSAR yang tersedia dapat dioptimalkan.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih saya ucapkan pada semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian dan tulisan ini dapat diterbitkan dalam publikasi prosiding dipresantikan dan dipublikan pada Sinasinderaja 2015, khususnya pihak Kediputian Inderaja - LAPAN yang telah menyediakan dan memberikan data ALOS PALSAR untuk dipergunakan sebagai bahan penelitian.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2012). PALSAR User’s Guide, 2nd Edition, Japan Space Systems Clark, S. (2014). Japanese craft launched with night-vision mapping radar http://www.space flightnow.com Fukuda, T. (2001). JAXA’s satellite program to contribute sustainable development in Asia”, Second International Conference On Sustainability Science In Asia (Icss-Asia), Hanoi. Jaxa (2005). ALOS Data Aplication ta Landslide and Earthquake, Earth Obsevation Research an Application Center, Japan Kamimura, H. (2008). Promotion Activities Of Alos Data Utilization In Jaxa, The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B6a. Beijing Lillesand, T.M., dan Kiefer, R.W. (1990). Remote Sensing and Image Interpretation, Gajah Mada University Press, Yogjakarta. Nasda (2004). Advanced Land Observationing Salellite and Program, Japan Nasda (2005). Application ALOS, Japan Osawa (2005). Characteristic sof the ALOS for Applications in Disaster Management, Asean WS on Satellite Technology Data Utilization for Disaster Monitoring, Jaxa/ALOS Japan. Oki, dan Riko (2012). JAXA’s Current and Future Remote Sensing, Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA). Richard, J.A. (1986). Remote Sensing Digital Image Analysis, S-Verlag, Berlin,Germany. Rosenqvist, Ake (2004). ALOS PALSAR:Technical outline and mission concepts, 4th International Symposium on Retrieval of Bio- and Geophysical Parameters from SAR Data for Land ApplicationsInnsbruck, Austria. Sitanggang, G. (2010). Sistem Penginderaan Jauh ALOS dan Analisis Pemanfaatan Data, Jurnal Penginderaan Jauh,Lapan, Jakarta Winarso, G. (2009). Kajian Penggunaan Data Inderaja untuk Pemetaan Garis Pantai Studi Kasus Pantai Utara Jakarta, Jurnal Penginderan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, Jakarta ISSN 1412-8098 Vol. 6.
-265-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015 ORAL PRESENTATION
Aplikasi Data Satelit TerraSAR-X Untuk Mendeteksi Hutan Mangrove Studi Kasus : Kabupaten Cilacap Nanin Anggraini1,*) dan Muchlisin Arief1 1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN *) Email:
[email protected]
ABSTRAK - TerraSAR-X merupakan merupakan satelit radar yang dapat beroperasi pada 3 mode yang berbeda dan polarisasi yaitu: High Resolution SpotLight Mode, SpotLight Mode (SL), StripMap Mode (SM), dan ScanSAR Mode (SC) yang memberikan citra SAR resolusi tinggi . Walaupun dalam interpretasi citra radar masih banyak kendala, karena citra radar memberikan informasi kekasaran objek dan juga mempunyai mono polarisasi. akan tetapi pada dekade akhir ini, sudah mulai digunakan karena citra SAR tidak terganggu oleh tutupan awan. Pada makalah ini dijelaskan tentang pendeteksian mangrove diawali dengan pengamatan nilai backscatter dari masing-masing objek penutup lahan untuk menentukan jenis filtering yang harus digunakan, kemudian hasil proses filtering dilakukan segmentasi. Sebagai akhir proses dilakukan dencity slicing untuk penampilan hasil akhirnya. Hasil dari proses segmentasi secara digital menggunakan citra radar mono-polarisasi untuk memisahkan mangrove dari vegetasi lainnya masih banyak kendala, karena nilai backscatter antara mangrove dengan vegetasi lainnya banyak yang sama. yang artinya mangrove dan non mangrove dapat secara visual dengan menganlisis kekasarannya. Penelitian ini bisa dilanjutkan dengan menggunakan multi polarisasi, karena multi polarisasi dapat menaikkan akurasi pendeteksian. Kata Kunci : Terra SAR-X, filtering, High Resolution, Mangrove, Mono-Polarisation, segmentasi, Synthetic Aperture Radar. ABSTRACT - Terra SAR-X is a radar satellites that can operate in three different modes and polarization, namely: High Resolution Spotlight Mode, Spotlight Mode (SL), StripMap Mode (SM), and ScanSAR Mode (SC) which gives a SAR image high resolution. Although the radar image interpretation are still many obstacles, because the radar images provide information about the object roughness and also having mono polarization. but at the end of this decade, has begun to be used, because SAR image is not disturbed by cloud cover. In this paper explained about mangrove detection begins with the observation backscatter value of each object to determine land cover types of filtering that must be used. then the results of the filtering process is performed segmentation. As the end of the process is done dencity slicing to the appearance of the end result. Results of the segmentation process digitally using a mono-polarization radar imagery to separate the mangrove vegetation are still many obstacles, because of the value of mangrove vegetation backscatter among other much the same. which means mangrove and non-mangrove can visually with menganlisis roughness. This research can be continued by using multi-polarization, because multi polarization can raise the detection accuracy. Key Words: Terra SAR-X, filtering, High Resolution, Mangrove, Mono-Polarisation, segmentation, Synthetic Aperture Radar
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan, yang dengan sendirinya mempunyai banyak wilayah atau lokasilokasi yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Wilayah tersebut biasanya tumbuh hutan mangrove yang merupakan salah satu sumber daya wilayah pesisir dan laut. Kawasan hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh pasang surut yang menggenangi pada aliran sungai. Kawasan tersebut berfungsi baik sebagai tempat pemijahan ikan-ikan diperairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Komposisi mangrove di Indonesia bervariasi dari satu pulau ke pulau lain. Selain flora, fauna mangrove juga terdiri dari Gastropoda terdapat 50 spesies, Bivalvia terdapat 6 spesies dan Crustacea terdapat 34 spesies (Kusmana, 2012). Selain fauna menetap, ada sejumlah spesies yang menggunakan ekosistem mangrove hanya sebagai habitat sementara, apakah itu untuk pemijahan, pembibitan, atau tempat tinggal, misalnya banyak spesies udang telah terbukti tergantung pada ekosistem mangrove (Macnae,1974). Penginderaan jauh satelit merupakan alat yang relatif murah dan mudah diperoleh untuk memantau wilayah yang sulit dijangkau. Citra satelit SAR (Syintetic Aperture Radar) mempunyai keuntungan dibandingkan dengan citra satelit optik antara lain dapat menembus awan dan tidak tergantung pada pencahayaan sinar matahari, dan
- 267 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
saat ini citra SAR sudah mempunyai resolusi temporal maupun resolusi spasial yang lebih baik, sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan metode guna memantau sumber daya hutan (Holopainen et al., 2010). Citra penginderaan jauh juga sumber yang menarik untuk mengekstraksi informasi tutupan lahan, di mana dengan menggunakan algoritma tertentu pada citra maka akan diperoleh klasifikasi berbagai jenis tutupan lahan (Debojit et al., 2011). Beberapa penelitian yang telah menggunakan citra SAR antara lain: Rauste et al., (2007) yang telah melakukan estimasi volume vegetasi menggunakan citra resolusi tinggi citra radar ALOS (Advanced Land Observing Satellite) dan hasilnya menunjukkan bahwa citra ALOS mempunyai ketelitian relatif lebih baik jika dibandingkannya dengan data radar dari satelit JERS-1(JepangEarthResourcesSatellite-1). Rauste et al., (2008), telah melakukan pemetaan biomassa di kawasan hutan boreal, Finlandia menggunakan data ALOS dan TerraSAR-X, hasilnya menunjukkan bahwa untuk estimasi biomassa dengan data ALOS polarisasi HH-VV lebih baik dari data yang TerraSAR-X. Perko et al., (2011) telah melakukan penelitian klasifikasi citra untuk daerah hutan didasarkan informasi backscatter Terrasar X-band. Penelitian tersebut menggunakan model tinggi kanopi dan informasi koherensi interferometric. Hasilnya menunjukkan bahwa akurasi klasifikasi mencapai 90%, dan resolusi tinggi sensor X-band memberikan citra yang dapat digunakan untuk penilaian hutan otomatis dalam skala besar. Pemisahan mangrove dan non mangrove dilakukan dengan melakukan proses thresholding/segmentasi nilai reflektansi mangrove dari citra AVNIR-2 di daerah Pulau Lancang. Hasilnya menunjukkan hampir 80% nilai reflektansi citra AVNIR-2 mendekati nilai reflektansi yang diperoleh dari pengamatan (Arief, 2013). Penelitian ini mengkaji aplikasi data TerraSAR-X untuk mendeteksi atau membedakan hutan mangrove dan non mangrove yang didasarkan pada nilai backscatternya. Nilai backscatter mangrove diperoleh dari pengamatan pada citra. Lokasi penelitian adalah di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan adalah citra TerraSar-Xmono/single polarisasi HH (Horizontal Horizontal) yang direkam pada tanggal 14 Januari 2012, yang didukung dengan informasi lapangan yang dilakukan pada tanggal 11 sampai dengan 18 Agustus 2015.
1.1 Satelit TerraSAR-X TerraSAR-x merupakan satelit radar Jerman yang diluncurkan pada pertengahan tahun 2007 yang bekerja pada frekwensi tinggi X-band (9,65 GHz). Misi satelit ini adalah (Suess et al., 2002): untuk memberikan komunitas ilmiah dengan kualitas tinggi, multi-mode X-band SAR-data untuk mendukung penelitian ilmiah, serta untuk mendukung pasar komersial dan untuk layanan data yang berkelanjutan, produk informasi berdasarkan TerraSAR-X (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Satelit penginderaan jauh TerraSAR-X (Sumber: DLR, 2015)
Gambar 1 menunjukkan beberapa detail dari satelit TerraSAR-X dan panel surya yang dipasang di atas bus satelit dimana antena SAR berada di sisi bawah satelit. TerraSAR dapat mentrasmisikan signal dalam X-band dalam dua polarisasi Horizontal (H) dan Vertikal (V). Antena TerraSAR-X dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan dapat menghasilkan citra polarimetrik tunggal atau ganda. Disamping itu, sensor SAR dapat beroperasi pada mode dan polarisasi yang berbeda (Vignolles et al. 2010) yaitu:
- 268 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
a) Mode Spotlight (SL) resolusi tinggi (High Resolution Spotlight) dengan resolusi spasial 1 m dengan ukuran scenenya 10 km (lebar) x 5 km (panjang), b) Mode SpotLight (SL) dengan resolusi spasial 2 m, dengan ukuran scenenya 10 km (lebar) x 10 km (panjang), c) Mode StripMap (SM) dengan resolusi spasial 3,3 m dengan luas daerah scenenya 30 km (lebar) x 50 km (panjang), d) Mode ScanSAR (SC) dengan resolusi spasial 5 hingga 14,8 m dengan luas wilayah scenenya 100 km (lebar) x 150 km (panjang). Penjelasan tentang masing-masing mode dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Overview mode citra TerraSAR-X (Sumber : Scheuchl et al., 2009) SpotLight Mode (SL) Polarization Scene dimensions Azimuth resolution Full performanc e range Ground range resolution (@ incidence angle)
StripMap Mode
single: HH or VV
dual: HH/VV
single: HH or VV
10 x 10 (km) (SL) 10 x 5 (km) (HS) 1.7m (SL) 1.1m (HS) 20° - 55°
10x10 (km) (SL) 10 x 5 (km) (HS) 3.4m (SL) 2.2m (HS) 20° - 55°
1.48 – 3.49m (@55°...20°) HS with 300MHz 0.74 – 1.77m (@55°...20°)
1.70 – 3.49m (@55...20°)
ScanSAR Mode single: HH or VV
50 x 30 (km)
dual: HH/VV, HH/HV or VV/VH 50 x 15 (km)
150 x 100 (km)
3.3m
6.6m
18.5m
20° - 45°
20° - 45°
20° - 45°
1.70 – 3.49m (@45°...20°)
1.70 – 3.49m (@45°...20°)
1.70 – 3.49m (@45°...20°)
Data yang diperoleh dari empat mode tersebut diatas, dapat diproses dan menghasilkan empat produk citra yang berbeda (Scheuchl et al., 2009), yaitu: 1) Single Look Slant Range Complex (SSC), SSC adalah basic single look product (produksi dasar single look ) dari sinyal radar. Piksel spasi berukuran sama di azimuth dan dalam kisaran miring. Data ditulis dalam bentuk kompleks, yaitu masing-masing sampel terdiri dari real dan bagian imajiner. 2) Multi Look Ground Range Detected (MGD) MGD adalah produk multi-look dengan mengurangi speckle dan sel resolusi pixel di tanah hampir mendekati persegi. Pixel berukuran sama di azimuth dan dalam jangkauan miring. Data ini telah dilakukan proyeksi polinomial sederhana dilakukan dalam jangkauan untuk ellipsoid untuk mencapai piksel sekitar kuadrat. 3) Geocoded Ellipsoid Corrected (GEC), GEC adalah multi-look detected product (produk multi-look terdeteksi). Data yang diperoleh dapat diproyeksikan dan resampel-baik UTM atau UPS dengan WGS84 sebagai referensi. 4) Enhanced Ellipsoid Corrected (EEC). Seperti MGD dan GEC, MEE adalah multi-look detected product atau produk multi-look terdeteksi . Namun dapat diproyeksikan dan resampel baik UTM atau UPS menggunakan referensi WGS84 dan Digital Elevation Model (DEM) TerraSAR-X, X-band satelit resolusi tinggi milik Jerman telah mengumpulkan citra sejak diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007. Data dengan kualitas kualitas luar biasa dan priode pengulangan yang relatif tinggi (11 hari) dapat digunakan untuk berbagai aplikasi (Buckreuss et al., 2003; Faller and Weber, 2007) antara lain: Pemetaan topografi Pemetaan: 2D dan 3D, dalam skala ke 1: 25.000,
- 269 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
Permukaan Gerakan (Surface Movement). Berdasarkan time series diakuisisi oleh TerraSAR-X lebih luas perpindahan permukaan yang sama yang disebabkan oleh pertambangan bawah permukaan, minyak ekstraksi / gas, pembangunan infrastruktur, penggalian, atau teknik bawah tanah dapat divisualisasikan Perubahan Deteksi (Change Detection) untuk pemantauan proyek konstruksi skala besar, jaringan infrastruktur, pemantauan dan dokumentasi perubahan dan perkembangan Pemetaan Penutup Tanah dan Penggunaan Lahan (Land Cover and Land Use Mapping): informasi tutupan lahan / penggunaan lahan yang akurat dan up-to-date, juga dari tempat, di mana sulit untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan teknologi lain karena awan permanen Cepat Tanggap Darurat (Rapid Emergency Response): karena periode pengulang yang relatif cepat TerraSAR-X, maka data TerraSAR-X dapat memberikan informasi dalam hal bencana alam atau buatan manusia (gempa bumi misalnya, banjir, konflik militer dll) Pemantauan lingkungan (Environmental monitoring): misalnya pemantauan hutan, pemantauan banjir, aplikasi kualitas air.
2. METODE 2.1 Data dan Metode Data yang digunakan pada penelitian ini adalah TerraSar-X mono/single polarisasi HH (Horizontal Horizontal) yang direkam pada tanggal 14 Januari 2012 dengan wilayah Kabupaten Cilacap, khususnya Segara Anakan dan sekitarnya (lihat Gambar 2) dan dengan data survei lapangan yang dilakukan pada tanggal 11-18 Agustus 2015. Survei lapangan yang dilakukan tersebut menggunakan alat GPS Trimble Juno 3B yang berfungsi sebagai pengukur posisi titik pengukuran, Camera DSLR, Spektrometer Ocean Optics HR4000 CGUV-NIR sebagai alat pengukur reflektansi pohon. Alat untuk memproses data TerraSAR adalah: software ER Mapper, ENVI IDL 4.7 dan 5.0 (untuk menyajikan output pemrosesan dan pemrograman IDL)
a
b
Gambar 2. Lokasi penelitian Peta kabupaten Cilacap dan sekitarnya (Sumber: White et al., 1989) b. Citra TerraSar-X Segara Anakan dan sekitarnya tanggal 14-01-2012 a.
Algoritma atau alur proses yang digunakan untuk memproses data TerraSAR adalah sebagai berikut : 1. Membaca data dengan menggunakan soft ware Sentinel-1 . 2. Transformasi dari citra amplitudo ke citra decibel atau backscatter. 3. Mengamati nilai backscatter dari titik pengamatan dan menentukan nilai backscater hasil pengamatanyang digunakan sebagai nilai acuan dalam menentukan nilai thresholding 4. Melakukan tresholding. 5. Analisis citra dan melakukan klasifikasi 6. Selesai 3. ANALISA DAN DISKUSI Sebagaimana diterangkan diatas bahwa tahapan pemprosesan data menggunakan software Sentinel-1. Data radarSat terdiri dari informasi Amplitudo dan Intensity yang direkam dalam 2 byte dalam bilangan integer (terdistribusi dari nol sampai dengan 3628), setelah diproses dengan software Sentinel-1 menghasilkan
- 270 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
citra/informasi db (decibel) dan backscatter yang kedua duanya disimpan dalam 4 byte real. kedua citra tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
(b)
(a)
Gambar 3. Citra decibel dan backscatter dari TerraSar-x a. b.
Citra decibel RadarSar-X dan distribusi frekwensinya Citra backscatter RadarSar-X dan distribusi frekwensinya
Pada Gambar 3.a, memperlihatkan bahwa nilai decibel terdistribusi dari -48,04 sampai dengan 16, 55 dan nilai backscatter terdistribusi dari nol sampai dengan 2.5. untuk dapat membedakan antara mangrove dengan vegetasi lainnya, maka perlu diamati baik dari tekstur masing-masing vegetasi maupun dari ditribusi nilai backscatternya. Untuk pengamatan tekstur dari objek yang terdapat pada citra TerraSar-X, dengan jelas dapat dibedakan antara perumahan, mangrove, bukan mangrove, tambak dan perumahan. untuk lebih jelasnya lihat Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. tekstur dari beberapa objek yang terdapat pada citra TerraSar-X
Pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa secara tekstural objek mangrove dapat dibedakan secara murah dengan objek tambak, sawah, perkebunan maupun objek man-made seperti perkampungan, jalan raya dan sebagainya. Pada Gambar tersebut memperlihatkan bahwa tekstur objek mangrove relatif lebih mulus dibandingkan dengan objek lainnya. akan tetapi untuk melakukan proses segmentasi perlu diamati nilai backscater dari masing-masing objek tersebut. pengamatan nilai backscatter dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.
- 271 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
Gambar 5. Pengamatan nilai backscatter dari mangrove dan non mangrove yang terdapat pada citra TerraSar-X di daerah sapu regel.
Pada Gambar 5 memperlihatkan nilai backscatter di daerah Sapu Regel, yang mana di daerah tersebut didominasi oleh mangrove jarang dan pendek (kurang lebih ketinggian 3 sampai 4 meter. Karena mangrove pada daerah tersebut tumbuh jarang, maka tumbuh tanaman lainnya seperti deris (pohon mangrove yang tumbuh merambat) dan pohon lainnya yang tumbuh merambat, sehingga menambah rapatnya vegetasi didaerah tersebut. Vegetasi demikian ini, yang dapat memberikan sifat homogenitas pada nilai backscatter, akan tetapi kadang kala disela-sela tumbuhan tersebut ada juga beberapa pohon nipah yang pohonnya lebih tinggi dari pohon sekelilingnya, sehingga sekumpulan pohon nipah ini yang menyebabkan nilai backscatter pada titik lebih tinggi dari nilai piksel tetangganya. Lain halnya, dengan daerah yang didominasi dengan tumbuhan mangrove jenis nipah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai backscatter untuk mangrove yang didominasi dengan pohon nipah mempunyai nilai yang sama dengan tumbuhan semak belukar dan kebun rakyat. sehingga untuk wilayah tersebut sangat sulit untuk membedakan mangrove dengan tumbukan lainnya.
Gambar 6. Pengamatan nilai backscatter dari mangrove dan non mangrove yang terdapat pada citra TerraSar-X di daerah sapu regel
- 272 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Dengan melihat kedua contoh diatas, maka melakukan segmentasi langsung dari citra digital menggunakan mono polarisasi untuk membedakan mangrove dan non mangrove sangat sulit (seperti Gambar 5), kecuali wilayahnya hanya terdapat tumbuhan yang homogen (seperti Gambar 6). Hal ini disebabkan, karena citra radar dibentuk oleh interaksi koheren gelombang mikro ditransmisikan oleh target. Oleh karena itu, selalu mengandung efek spekel noise yang diakibatkan dari hasil penjumlahan koheren sinyal yang dihamburkan dari permukaan objek dan didistribusikan secara acak dalam setiap pixel. Citra radar yang dihasilkan kadang kala lebih banyak spekel-noise. Spekel noise ini kadang kala dapat diminimalisir/filter penghapusan spekel pada gambar digital sebelum layar dan analisis lebih lanjut. Untuk mengetahui efek filter pada citra, dibahas terlebih dahulu dalam satu dimensi seperti pada Gambar 7 di bawah ini.
(a)
(b)
Gambar 7. Nilai backscatter 1 dimensi dan efek filter lowpass dan erosi
Pada Gambar 7. memperlihatkan efek filter lowpass pada window 3x3, 5x5, dan filter erosi pada window 5x5. Efek filter lowpass baik ukuran windows 3x3 maupun 5x5, mengakibatkan penurunan intensitas noise spekel secara signifikan, dengan posisi spekel yang sama dengan posisi spekel pada citra. Lain halnya dengan efek dari filter erosi juga mengakibatkan penurunan intensitas noise spekel secara signifikan. Akan tetapi kelemahannya posisi noise spekel bergeser ke arah piksel tetangganya. Oleh karena itu. pada penelitian ini digunakan filter lowpass dengan ukuran window 5x5. Hasil dari proses ini dapat dilihat pada Gambar 8.a dibawah ini, sedangkan Gambar 4.6.b. adalah grafik frekwensi backscatter dari citra hasil proses filtering.
(a)
(b) Gambar 8. Citra hasil filtering a. Citra TerraSar-X setelah proses filter b. Distribusi nilai backscatter dar Gambar a
Pada Gambar 8b. memperlihatkan bahwa frekwensi grafik backscatter tidak terdistribusi normal, sehingga agak sulit mencari nilai thresholdingnya. untuk melakukan nilai thresholding maka dilakukan pengamatan nilai backscatter secara langsung pada citra hasil proses lowpass filte seperti terlihat pada Gambar 9 dibawah ini.
- 273 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
(a)
(b)
Gambar 9. Citra hasil proses loww pass filter dan frekwensi nilai backscatter a. Line tracing citra TerrSar-x b. Distribusi nilai Backscatter dari gambar a
Gambar 9 memperlihatkan bahwa nilai backscatter antara mangrove dan non mangrove sangat sulit dibedakan, begitu nilai backscatter dari pohon nipah dengan vegetasi tinggi. oleh karena itu, nilai threshold dilambil dari rata-rata nilai backscatter yang dianggap benar-benar mangrove (menurut hasil survey). Dalam hal ini nilai threshold ditentukan berdasarkan hasil pengamatan pada citra. untuk segmentasi air, nilai threshold adalah 0,03. Hasil dari segmentasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
(a)
(b)
Gambar 10. citra hasil segmentasi dari citra yang telah dilakukan filtering a. Hasil proses segmentasi b. Region yang diperbesar
Gambar 10 memperlihatkan bahwa proses segmentasi air di sungai lebih mudah dibandingkan dengan air laut. hal ini disebabkan bahwa hamburan balik di laut tidak seratus persen spekuler atau boleh dikatakan permukaan air tidak smooth (tidak halus), sehingga ada sebagian air laut yang dikelaskan sebagai mangrove. Sebaliknya ada sebagian mangrove yang dikelaskan sebagai air. Hal ini mungkin disebabkan efek bayangan, karena mangrove diregion tersebut sudah ditebang oleh masyarakat. Berdasarkan hasil proses segmentasi, mangrove dapat dikelompokkan kedalam 3 klas yaitu: pertama tumbuhan mangrove yang pendek dan jarang dengan mengrove ikutannya deris (nilai threshold 0.03 - 0.2); kedua tumbuhan mangrove dengan agak tinggi (sekitar 3 meter) dan rapat juga dengan diselingi dengan deris; ketiga mangrove dengan diselingi pohon nipah (nilai threshold 0.5 - 1.00), dan yang terakhir bukan mangrove termasuk tumbuhan di semak belukar (> 1,2). dan tidak bisa menklaskan kedalam jenis tumbuhan mangrove. Walaupun hasil segmentasi ini dapat mengkelaskan hampir 70 % lebih tumbuhan mangrove. Sisanya dikelaskan ke kelas air dan ke kelas non mangrove. Akan tetapi proses ini tidak dapat dikatakan berhasil. Karena pertama ada sebagian air yang juga dikelaskan ke dalam keas mangrove dan sebaliknya ada kelas mangrove juga dikelaskan ke klas air; kedua ada juga non mangrove yang dikelaskan ke dalam mangrove. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa memisahkan vegetasi dan non mangrove secara dijital menggunakan monopolarisasi sangat sulit. Oleh karena itu, penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan menggunakan citra radar multipolarisasi.
- 274 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
4. KESIMPULAN Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: Citra TerraSAR-X, objek mangrove dapat dibedakan dengan objek lainnya berdasarkan teksturnya. Karena tekstur mangrove relatif lebih smooth dibandingkan lainnya. Berdasarkan hasil proses segmentasi dari citra dijital, mangrove hanya dapat dibedakan menjadi 3 kelas yaitu: mangrove pendek dan jarang, mangrove rapat, dan mangrove dengan diselingi pohon nipah (mangrove heterogen), yang mana ketiga region tersebut masih mengikutsertakan tumbuhan deris sebagai mangrove ikutannya. Hasil pengkelasan ini amat sangat tidak menggembirakan, karena banyak vegetasi non mangrove dikelaskan ke dalam mangrove. Deteksi hutan mangrove menggunakan metode segmentasi citra dijital dari citra TerraSAR-X monopolarisasi sangat sulit. Hal ini disebabkan sifat fisik dari citra radar, yang dibentuk oleh interaksi koheren gelombang mikro yang ditransmisikan oleh target, yang selalu mengandung efek spekel noise. Efek ini diakibatkan dari hasil penjumlahan koheren sinyal hamburan. Oleh karena itu, penelitian ini perlu diteruskan baik dengan menggunakan citra TerraSAR-X maupun citra radar lainnya dengan multipolarisasi.
UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kami ucapkan untuk Bpk Syarif Budiman M.Sc, sebagai kepala Bidang Sumber Daya Pesisir dan Laut, yang telah banyak membantu dalam mengerjakan penyelesaian kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA. Arief, M., Prayogo, T., dan Hamzah, R. (2013). Metode Segmentasi otomatis untuk ekstraksi hutan mangrove menggunakan data satelit AVNIR-2, Studi Kasus: Pulau Lancang, Jurnal Teknologi Dirgantara Akreditasi LIPI Nomor: .474/AU2/P2M-LIPI/2012. Vol.11, No.1 Juni. Buckreuss, S., Balzer, W., Mühlbauer, P., dan Werninghaus, R. (2003). The TerraSAR-X Satellite Project. In Proceedings IGARSS03, Toulouse (France). Kusmana, C. (2012). Management Of Mangrove Ecosystem In Indonesia. Paper Presented in Workshop on Mangrove Replantation and Coastal Ecosystem Rehabilitation, Faculty of Forestry Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Debojit, B.J.H., Arora, M.K., dan Balasubramanian, R. (2011). Study andImplementation of a Non-Linear Support VectorMachine Classifier. International Journal of Earth Sciences and Engineering ISSN 0974-5904, 4:985- 988. DLR (2015). Radar satellite TerraSAR-X. http://www.dlr.de/iss/en/DesktopDefault.aspx/tabid-1412/2072_read3536/gallery-1/gallery_read-Image.19.1953/. [03 November 2015]. Faller, N., dan Weber, M. (2007). TerraSAR-X and TanDEM-X: Revolution in Spaceborne Radar. In Proceedings IGARSS07, Barcelona (Spain). Holopainen, M., Haapanen, R., Karjalainen, M., Vastaranta, M., Hyyppa, J., Xiaowei, Y., Touminen, S., Hyyppa, H. (2010). Comparing Accuracy of Airborne Laser Scanning and TerraSAR-X Radar Images in the Estimation of PlotLevel Forest Variables, Remote Sens, 2(2):432-445. doi: 10.3390/rs2020432. Macnae, W. (1974). Mangrove Forests and Fisheries. FAO/IOFC/DEV/74/34. Rome: FAO. Perko, R., Raggam, H., Deutscher, J., Gutjahr, K., dan Schardt, M. (2011). Forest Assessment Using High Resolution SAR Data in X-Band, Remote Sens, 3:792-815, doi:10.3390/rs3040792 Rauste, Y., Lönnqvist, A., Molinier, M., Ahola, H., dan Häme, T. (2007). ALOS PALSAR data in boreal forest monitoring and biomass mapping. In Proceedings of 1st Joint PI Symposium of ALOS Data Nodes, Kyoto, Japan, November. Rauste, Y., Lönnqvist, A., dan Ahola, H. (2008). Mapping Boreal forest biomass with imagery from polarimetric and semipolarimetric SAR sensors. Ambiencia, 4:172-180. th
Suess, M., Riegger, S., Pitz, W., dan Werninghaus, R. (2002). TerraSAR-X – design and performance. In Proc. 4 European Conference on Synthetic Aperture Radar, Eusar, Cologne Scheuchl, B., Koudogbo, F., Petrat, L., dan von Poncet, F. (2009). TerraSAR-X: Applications for Spaceborne High Resolution SAR Data,Anais XIV Simpósio Brasileiro de Sensoriamento Remoto, Natal, Brasil Vignolles, C., Tourre, M.Y., Mora, O., Imanache, L., dan Lafaye, M. (2010). TerraSAR-X high-resolution radar remote sensing: an operational warning system for Rift Valley fever risk, Geospatial Health, 5(1):23-31. http://dx.doi.org/10.4081/gh.2010.184 White, T.A., Martosubroto, P., dan Sadorra, M.S.M. (1989). The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan-Cilacap, SouthJava, Indonesia, Published by: International Center for Living Aquatic Resources, Manag. on behalf of the Association of Southeast Asian National United States, Coastal Resources Management Projec, Printed in Manila. Philippines, ISBN 971-1022-54-0 *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
- 275 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator Judul Makalah Pemakalah Jam Tempat DiskusiI
: Dr. Ir. Katmoko Ari S, M. Eng : Aplikasi Data Satelit TerraSAR-X untuk Mendeteksi Hutan Mangrove : Nanin Angraini : 11.59 - 12.14 : Ball Room II :
Sobirin (UI) Daerah kajian banyak terdapat sedimentasi, bagaimana membuktikan itu mangrove atau bukan? Jawaban Dibuktikan dengan menggunakan data dari tahun yang berbeda dan hasil survey lapangan yang berbeda untuk mengetahuinya. Yosi (UNDIP) Apakah sudah mencoba menggunakan citra lain untuk menentukan mangrove, dan apa solusi untuk menghadapi kesulitan selama penelitian ini? Jawaban Sudah menggunakan data lainnnya untuk identifikasi, misalnya data SPOT dan Landsat. Masih mencari solusi apa yang terbaik untuk menentukan mangrove mana yang cocok untuk kondisi alam saat itu. Risti (IPB) Penggunan data polarisasi vertikal (dual). Kedepannya dapat mennggunakan data dengan polarisasi vertikal. Fajar (LIPI) Mengapa memilih lokasi penelitian yang tertutup awan? Jawaban Karena wilayah Segara Anakan memiliki lokasi mangrove yang luas.
- 276 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015 ORAL PRESENTATION
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) Muhammad Danu Dirja1,*), Tio Mahar Shah Iskandar1 , Dheswara Adji Mariadi1, dan Yoshi Wiweka Praba1 1
Teknik Geologi, Universitas Diponegoro *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK- Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana geologi yang tinggi, seperti gerakan tanah dan banjir. Potensi bencana geologi di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan, sehingga saat ini dengan kemajuan teknologi yang pesat, pemetaan bencana geologi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efisien. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk menganalisa bencana geologi adalah data citra berupa SRTM (Shuttle Radar Tophography Mission). Data citra SRTM dapat menganalisa salah satu parameter penting dalam pembuatan peta potensi bencana geologi yaitu kemiringan lereng yang kemudian digabungkan dengan data lapangan berupa litologi, dan data sekunder berupa tata guna lahan serta curah hujan, sehingga dapat dihasilkan sebuah peta kerawanan gerakan tanah dengan metode pembobotan. Pada wilayah Ayah dan sekitarnya didapat rentang kemiringan lereng 0-15% (nilai bobot 1), 16-24% (nilai bobot 2), 2545% (nilai bobot 3), dan >45% (nilai bobot 4). Litologi yang ditemukan melalui pemetaan geologi yaitu endapan alluvium (nilai bobot 1), batu gamping terumbu (nilai bobot 2), tuff dan andesit (nilai bobot 3), serta breksi vulkanik (nilai bobot 4). Tata guna lahan yang terdapat di daerah Ayah dan sekitarnya yaitu Perkebunan (nilai bobot 1), semak/belukar dan ladang (nilai bobot 2), permukiman (nilai bobot 3), dan sawah (nilai bobot 4). Curah hujan pada daerah penelitian dibagi menjadi tiga yaitu 2800-3050 mm/tahun (nilai bobot 1), 3050-3300 mm/tahun (nilai bobot 2), 3300-3550 mm/tahun (nilai bobot 3). Hasil pembobotan didapat empat tingkat kerawanan yaitu sangat rendah (nilai 7-11), rendah ( nilai 12-16), sedang (nilai 1721), dan tinggi (nilai 22-27). Melalui data citra DEM SRTM dihasilkan peta wilayah genangan air yang digunakan sebagai pertimbangan dalam pembuatan peta kerawanan gerakan tanah, sehingga didapat daerah dengan tingkat kerawanan tinggi berada di wilayah Tlogosari, Argosari dan Candirenggo. Kata kunci:bencana, geologi, SRTM, longsor ABSTRACT- Indonesia is a country that has a high potential geological disasters, such as landslides and flood. A lot ofpotential geological disasters in Indonesia is still uncharted, so this time by using the rapid advances in technology, mapping of geological disasters can be done more quickly and efficiently. One of the technology that can be used to analyze geological disasters are imagery data such as SRTM (Shuttle Radar Tophography Mission). SRTM imagery data can analyze one of the important parameters in the making of geological hazard potential map that is the slopes which are then combined with field data in the form of litologi, and secondary data in the form of land use as well as rainfall, so it can be generated a map of insecurity ground motion with the method of weighting. In the area Ayah, acquired range of the slope 0-15% (weighting value 1), 16-24% (value weighting 2), 25-45% (value weighting 3), and 45% > (weighting value 4). Litologi found through geological mapping is deposits of alluvium (value weighting 1), limestone reefs (value weighting 2), tuff and andesite (value weighting 3), and the volcanic breksi (weighting value 4). Land use in the area surrounding the estate, namely his father and (value weighting 1), scrubs and fields (value weighting 2), (value weighting 3), and rice field (the value weights 4). Rainfall on the area of research is divided into three namely 2800-3050 mm/years (value weighting 1), 3050-3300 mm/years (value weighting 2), 3300-3550 mm/years (value weighting 3). Results weighting, gained four levels of insecurity that is very low (grades 7-11), low (12-16), medium (grades 5-9), and high (22-27). Through DEM SRTM imagery data, generated map of the puddles that are used as consideration in making a map of insecurity of ground motion, and so gained high insecurity level area situated in the territory of Tlogosari, Argosari and Candirenggo. Keywords: disaster, geology, SRTM, landslides
1.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana geologi yang tinggi, seperti gerakan tanah dan banjir. Potensi bencana geologi di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan, sehingga saat ini
- 277 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
dengan kemajuan teknologi yang pesat, pemetaan bencana geologi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efisien. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk menganalisa bencana geologi adalah data citra berupa SRTM (Satelite Radar Tophography Mission). Data citra SRTM dapat menganalisa parameterparameter penting dalam pembuatan peta potensi bencana geologi seperti kelerengan, sebaran litologi, dan hidrologi permukaan suatu wilayah. Kelerengan pada suatu wilayah dapat dibuat rentang persen lerengnya sehingga dapat diketahui daerah yang memiliki kelerengan curam (potensi gerakan tanah tinggi) dankelerengan landai (potensi gerakan tanah rendah) melalui citra SRTM. Sebaran dan jenis litologi juga dapat diperkirakan dengan menggunakan karakteristik morfologi pada citra SRTM, namun dibutuhkan data pendukung lain berupa data pemetaan geologi untuk mempermudah identifikasinya. Pengolahan data citra SRTM dalam hal hidrologi permukaan yaitu berupa nilai flow slope DI untuk mengetahui gambaran wilayah yang biasa tergenang air ketika hujan. Kemudian dengan menggunakan data pendukung lain berupa tata guna lahan dan curah hujan akan dihasilkan peta kerawanan gerakan tanah dengan metode pembobotan. Pemanfaatan data citra DEM SRTM dalam pembuatan peta kerawanan bencana geologi khususnya gerakan tanah akan mengefisienkan waktu serta biaya yang dibutuhkan, sehingga sangat membantu dalam pembuatan peta rawan bencana geologi dalam skala cukup besar. 2.
METODE
2.1 Metodologi Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah berupa analisa pembobotan menggunakan parameter-parameter gerakan tanah yaitu kemiringan lereng, litologi, tata guna lahan, dan curah hujan. Nilai kemiringan lereng didapat dari pengolahan data citra DEM SRTM 30m, parameter litologi didapat dari hasil pemetaan geologi, parameter tata guna lahan didapat dari data peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Rowokele (1308-342), dan parameter curah hujan didapat dari data curah hujan tahunan BMKG. Kemudian setelah dianalisa dan dilakukan pembobotan dari keempat parameter tersebut akan didapat peta kerawanan gerakan tanah daerah Ayah dan sekitarnya. Melalui pengolahan data citra SRTM 30m juga dapat dihasilkan nilai flow slope DI, yaitu gambaran daerah yang biasa tergenang oleh air ketika hujan. Nilai flow slope DI tidak dimasukan ke dalam parameter namun digunakan sebagai analisa tambahan pada peta kerawanan gerakan tanah. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Citra DEM-SRTM Sidarto (2010) menjelaskan bahwa DEM adalah suatu citra yang menggambarkan penampakan digital dari topografi permukaan tanah. Citra ini merupakan hasil dari proses indraan jauh oleh SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) yang dibedakan menjadi dua, yaitu Digital Terrain Model (DTM) dan Digital Surface Model (DSM). Shuttle Radar Thopography Mission merupakan misi kerjasama antara National Imagery and Mapping Agency (NIMA) dan NASA untuk memetakan permukaan bumi secara tiga dimensi. Kerjasama tersebut dengan cara penggabungan perkembangan teknologi radar dan GPS (Global Positioning System) yang diujicobakan dalam 11 hari misi pesawat ruang angkasa Eindower pada tahun 2000. Selama penerbangan tersebut dihasilkan citra SRTM yang memiliki resolusi 30 meter untuk wilayah Amerika dan sekitarnya, 90 meter untuk wilayah di luar Amerika Serikat (Gesch dalam Sidarto, 2010). Dalam bidang geologi, penggunaan citra DEM SRTM dapat digunakan dalam interpretasi kondisi geomorfologi dan struktur geologi, hal ini karena citra tersebut menggambarkan relief muka bumi yang sebenarnya. 2.2.2 Gerakan Tanah Proses-proses geologi baik yang bersifat endogenik maupun eksogenik dapat menimbulkan bahaya bahkan bencana bagi kehidupan manusia. Bencana yang disebabkan oleh proses-proses geologi disebut dengan bencana geologi. gerakan tanah, erupsi gunungapi, banjir, dan gempa bumi adalah contoh-contoh dari bahaya geologi yang dapat berdampak pada aktivitas manusia di berbagai wilayah di muka bumi. 1. Gerakan tanah Gerakan tanah merupakan suatu proses perpindahan massa tanah dan batuan pada arah tegak, mendatar, atau miring (bergerak dari kedudukan semula) akibat pengaruh gaya berat tanpa bantuan langsung dari media air, udara, atau gas. Tipe gerakan tanah antara lain:
- 278 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
- Runtuhan/Jatuhan (Fall) Runtuhan merupakan tipe gerakan tanah yang diikuti dengan tipe gerakan jatuh bebas akibat gaya berat atau gaya gravitasi. - Jungkitan/Robohan (Topple) Jungkitan adalah gerakan memutar ke depan dari satu atau beberapa blok tanah atau batuan akibat gaya gravitasi atau gaya dorong dari massa batuan di belakangnya yang ditimbulkan oleh endapan air yang mengisi zona rekahan batuan, biasa terjadi pada tebing curam dan tidak mempunyai bidang longsoran. Atau tanah dan batuan mengalami gerak kopel terhadap sumbu putar yang tetap, pada sudut lereng sangat curam, kecepatan lambat kemudian sangat cepat. - Longsoran (Slide) Longsoran adalah gerakan yang terdiri dari regangan geser dan perpindahan sepanjang bidang longsoran dengan kondisi massa tanah dan batuan melongsor dari tempat semula dan terpisah dari massa tanah dan batuan yang mantap. Longsoran dibagi dalam : a. Longsoran bidang (Plane Slide) Jenis longsoran ini sangat jarang terjadi karena memerlukan adanya permukaan bebas pada kedua tepi gesernya. Longsoran ini terjadi pada batuan yang mempunyai bidang-bidang luncur bebas (bay light) yang mengarah ke lereng. Longsor ini sering terjadi pada lereng dengan permukaan cembung. b. Longsoran Baji (wedge slide) Longsor jenis ini hanya biasa terjadi pada jenis batuan yang mempunyai lebih dari satu bidang lemah atau bidang discontinue yang bebas, dengan sudut antara kedua bidang tersebut membentuk sudut yang lebih besar dari sudut geser dalamnya. c. Longsoran Bujur (Circular slide) Longsoran ini paling umum terjadi di alam, terutama pada bagian lunak (soil). Jenis longsoran ini hanya dapat terjadi jika batuan tersebut sudah lapuk dan mempunyai bidangbidang discontinue yang rapat (heavily jointed). Tetapi biasanya yang sering terjadi adalah gabungan antara longsoran bidang dengan longsoran busur. d. Longsoran Gulingan (Topping Slide) Longsoran jenis ini terjadi pada lereng terjal pada batuan yang keras dengan bidangbidang discontinue yang hampir tegak atau tegak. Dapat terbentuk longsoran dalam bentuk blok atau bertingkat. - Penyebaran Lateral (Lateral Spreading) Penyebaran lateral adalah gerakan menyebar ke arah yang disebabkan oleh retak geser dan retak tarik yang dapat terjadi pada material batuan. - Aliran (Flow) Aliran adalah tipe gerakan tanah yang dikarenakan kuat geser tanah yang kecil sekali, bahkan nol dan material yang bergerak dapat berupa material rombakan yang berukuran kasar, tanah dengan ukuran halus atau lempung yang jenuh air. - Komplek (Complex) Tipe gerakan tanah gabungan antara gerakan tanah jenis jatuhan, longsoran, penyebaran lateral jungkiran dan aliran. 2.3 Peralatan dan Data Penelitian Berikut peralatan dan data penelitian yang digunakan selama pelaksanaan penelitian ini: 2.3.1 Peralatan Penelitian Dalam menunjang penelitian ini digunakan beberapa peralatan untuk menunjang dalam proses penelitian yang dilakukan, peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. 1 unit notebook Asus A43S Intel (R) Core (TM) i3-2670 QM CPU @ 2.20 GHz, 6,00 GB
(RAM), 64-bit Operating System 2. Software ER Mapper 7.0 3. Software Global Mapper 13 4. Software Mapinfo Discover 2013
- 279 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
2.3.2 Data Penelitian Selain peralatan yang menunjang dibutuhkan data dalam penelitian ini yang merupakan objek utama dalam proses penelitian, berikut adalah data yang dipergunakan dalam penelitian ini : 1. Data ditigal DEM SRTM 30m daerah Jawa Tengah, USGS 2014. 2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Rowokele (1308 – 342) 2.4 Diagram Alir
2.5 Lokasi Penelitian
Wilayah pemetaan terletak di daerah administrasi Desa Ayah dan sekitarnya, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Wilayah pemetaan ini masuk kedalam lembar Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Rowokele dan secara geografis terletak pada koordinat UTM 322.300 – 327.300 mE dan 9.144.800 – 9.149.800 mN. Luas wilayah pemetaan iniadalah sebesar 25 km2 berbetuk persegi dengan masing-masing sisi memiliki panjang 5km. - 280 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 1. Lokasi Penelitian
3. HASIL PEMBAHASAN 3.1. Parameter Pembuatan peta kerawanan gerakan tanah daerah Ayah dan sekitarnya menggunakan beberapa parameter dalam analisis pembobotannya. Parameter-parameter tersebut yaitu kemiringan lereng, litologi, tata guna lahan dan curah hujan. Keempat parameter tersebut dipilih karena tergolong kedalam faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian. Berikut penjelasan dari masing-masing parameter: a. Kemiringan Lereng Berdasarkan hasil pembuatan peta kemiringan lereng menggunakan software Map Info 9.0 (gambar 3) menunjukan daerah penelitian memiliki kemiringan lereng yang beragam. Kemiringan lereng yang terendah adalah 0-15% diwakili oleh daerah kontur renggang, sedangkan kemiringan lereng paling tinggi berada pada daerah dengan nilai kemiringan >45% dan diwakili oleh kontur rapat. Interpretasi pada daerah penelitian diperkirakan nilai kemiringan lereng besar sebagai daerah dengan batuan yang memiliki tingkat resistensi lebih tinggi terhadap erosi (hard Rock), sedangkan daerah dengan kemiringan lereng rendah dapat diperkirakan sebagai daerah dengan batuan yang memiliki tingkat resistensi lebih rendah terhadap erosi (soft Rock). Pada daerah penelitian kemiringan lereng dikelompokkan menjadi 4 yaitu 0-15% yang memiliki nilai bobot 1, 16-24% memiliki nilai bobot 2, 25-45% memiliki nilai bobot 3 dan >45% memiliki nilai bobot 4. Daerah yang memiliki nilai kemiringan lereng besar dapat memiliki potensi bencana gerakan tanah, sehingga mitigasi bencana dapat difokuskan pada daerah yang memiliki kemiringan lereng besar. Untuk menghasilkan peta zona kerawanan gerakan tanah yang lebih akurat, maka parameter kemiringan lereng ini perlu dikombinasikan dengan parameter lainnya yang berpengaruh dalam mendukung terjadinya bencana gerakan tanah. No 1 2 3 4
Tabel 1. Nilai Bobot Parameter Kemiringan Lereng Kemiringan lereng (%) Nilai Bobot 0 – 15% 1 16 – 24% 2 25 – 45% 3 >45% 4
- 281 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
Gambar 2. Peta Kemiringan Lereng dan Watershed daerah Ayah dan sekitarnya
b. Litologi Berdasarkan hasil observasi lapangan, daerah Ayah dan sekitarnya memiliki susunan litologi yang beragam. Litologi tersebut terdiri dari satuan breksi vulkanik, satuan tuff, satuan intrusi andesit, satuan batugamping terumbu, dan endapan alluvium. Breksi vulkanik merupakan batuan yang memiliki umur paling tua pada daerah penelitian.Litologi breksi vulkanik ditemukan terutama di daerah yang memiliki topografi yang terjal, hal ini dikarenakan litologi breksi vulkanik bersifat lebih resisten sehingga dapat mempertahankan morfologi asalnya yang terjal. Litologi andesit membentuk topografi perbukitan yang berada di Desa Tlogosari. Breksi vulkanik dan intrusi andesityang terbentuk sejak kala oligo – miosen telah mengalami pelapukan yang intensif dalam kurun waktu geologi yang sangat panjang, sehingga hal tersebut dapat mengurangi tingkat resistensi batuandan dapat memicu terjadinya gerakan tanah, sehingga nilai bobot satuan litologi tersebut menjadi tinggi yaitu 4 untuk breksi vulkanik dan 3 untuk intrusi andesit. Satuan tuff menyebar pada beberapa tempat daerah penelitian. Satuan ini memiliki sifat yang mudah lepas akibat erosi, hal tersebut menunjukan tingkat resistensi batuan ini tergolong rendah. Karena tingkat resistensinya yang rendah, maka dapat memicu terjadinya bencana gerakan tanah, sehingga nilai bobot satuan ini adalah 3. Litologi batu gamping terumbu memiliki pelamparan paling luas di daerah penelitian. Litologi ini membentuk topografi perbukitan dengan kondisi yang masih padu membuktikan litologi ini memiliki tingkat resistensi yang lebih besar, sehingga nilai bobot satuan ini lebih rendah dari satuan breksi dan satuan intrusi yaitu 2. Satuan endapan alluvium terdapat pada daerah yang datar, sehingga nilai bobot satuan ini adalah 1 karena dianggap tidak berpengaruh dalam memicu terjadinya gerakan tanah karena letaknya berada di daerah dataran. No 1 2 3 4
Tabel 2. Nilai bobot parameter litologi Litologi Nilai Bobot Endapan Alluvium 1 Batugamping Terumbu 2 Tuff dan Andesit 3 Breksi vulkanik 4
- 282 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 3. Peta Litologi daerah Ayah dan sekitarnya
c. Tata Guna Lahan
Gambar 4. Peta Tata Guna Lahan daerah Ayah dan sekitarnya
Pada peta tata guna lahan menunjukan pemanfaatan lahan dan penataan lahan yang dilakukan sesuai dengan kondisi eksisting alam dalam hal ini juga disesuaikan dengan kebutuhan dan aktivitas
- 283 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
manusia yang ada pada suatu daerah. Pada daerah Ayah dapat diketahui terdapat beberapa tata guna lahan yang meliputi perkebunan, semak atau belukar, ladang, permukiman, dan sawah.Perkebunan merupakan hasil aktivitas manusia yang tinggal pada daerah tersebut yaitu dengan cara membudidayakan berbagai macam tumbuhan yang umumnya bersifat ekonomis. Pada daerah ini cenderung memiliki tanah yang lebih resisten karena adanya tanaman berakar tunggang yang cenderung menguatkan tanah yang ada pada daerah tersebut sehingga bobot untuk daerah ini sebesar 1 poin. Semak atau belukar dan ladang merupakan daerah yang umumnya belum dimanfaatkan oleh manusia dan jarang ditemukan aktivitas manusia pada daerah tersebut. Pada daerah umumnya memiliki tanah yang kurang stabil dibandingkan dengan daerah perkebunan dikarekan faktor jenis tumbuhan yang cenderung berakar serabut dengan kondisi yang kering sehingga bobot untuk daerah ini sebesar 2 poin. Daerah permukiman merupakan daerah yang ditandai dengan adanya perumahan yang disertai prasana dan sarana serta infrastrukutur yang memadai. Kawasan permukiman ini secara sosial mempunyai norma dalam bermasyarakat. Umumnya kawasan permukiman ini terdapat pada daerah yang memiliki kelerengan yang relatif landai. Pada daerah ini cenderung memiliki tanah yang rentan akan gerakan yang dipicu oleh aktivitas manusia seperti pembangunan sehingga bobot pada daerah ini sebesar 3 poin. Sawah merupakan daerah yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian yang umumnya ditanami oleh tanaman padi, umumnya sawah memiliki kararekteristik tanah yang gembur dan cenderung berair yang membuat tanah pada daerah sawah menjadi relatif tidak resisten sehingga bobot untuk daerah ini sebesar 4 poin. No 1 2 3 4
Tabel 3. Nilai bobot parameter tata guna lahan Tata Guna Lahan Nilai Bobot Perkebunan 1 Semak/belukar dan ladang 2 Permukiman 3 Sawah 4
d. Curah Hujan Pada peta curah hujan akan diketahui curah hujan pertahun dari daerah tersebut, pada daerah Ayah cenderung memiliki curah hujan yang berbeda pada tiap daerahnya sehingga berpengaruh pada proses analisis kerawanan bencana yang akan dilakukan. Pada daerah dengan deliniasi hijau memiliki curah hujan yang paling rendah pada daerah tersebut yaitu berkisar antara 2800 hingga 3050 mm/tahun sehingga bobot untuk daerah dengan deliniasi warna hijau sebesar 1 poin, pada daerah dengan deliniasi kuning memiliki curah hujan yang paling rendah pada daerah tersebut yaitu berkisar antara 3050 hingga 3300 mm/tahun sehingga bobot untuk daerah dengan deliniasi warna kuning sebesar 2 poin, sedangkan pada daerah dengan deliniasi oranye memiliki curah hujan yang paling rendah pada daerah tersebut yaitu berkisar antara 3300 hingga 3550 mm/tahun sehingga bobot untuk daerah dengan deliniasi warna oranye sebesar 3 poin. No 1 2 3
Tabel 4. Nilai bobot parameter curah hujan Curah hujan tahunan (mm/tahun) Nilai Bobot 2800 - 3050 1 3050 - 3300 2 3300 - 3550 3
- 284 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 5. Peta Curah Hujan daerah Ayah dan sekitarnya
3.2. Peta Kerawanan Gerakan Tanah Gerakan tanah merupakan suatu proses perpindahan massa tanah dan batuan pada arah tegak, mendatar, atau miring (bergerak dari kedudukan semula) akibat pengaruh gaya berat tanpa bantuan langsung dari media air, udara, atau gas. Seringkali suatu permukiman dibangun pada daerah yang memiliki potensi gerakan tanah yang cukup tinggi hal tersebut diakibatkan karena kurang penyelidikan geologi dalam suatu perencanaan. Gerakan tanah tidak hanya berpotensi pada daerah yang memiliki kelerengan yang cukup curam akan tetapi gerakan tanah juga banyak terjadi pada daerah yang relatif datar hal tersebut dapat diakibatkan oleh keadaan bawah permukaan suatu daerah menyangkut litologi atau batuan yang ada pada daerah tersebut. Pada penelitian ini dihasilkan sebuah peta kerawanan gerakan tanah daerah Ayah dan sekitarnya yang didasari oleh pembobotan empat parameter penting yaitu kemiringan lereng, litologi, tata guna lahan, dan curah hujan. Perhitungan pembobotan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kerawanan = (3 x kemiringan lereng) + (2 x litologi) + (tata guna lahan) + (curah hujan).......(1) Faktor kemiringan lereng pada daerah penelitian memiliki pengaruh paling besar, disusul oleh faktor litologi, sedangkan faktor tata guna lahan dan curah hujan memiliki pengaruh yang lebih kecil namun tetap berpengaruh terhadap potensi gerakan tanah. Hasil dari pembobotan dengan menggunakan rumus (1) pada daerah Ayah dan sekitarnya ditunjukkan oleh Gambar 6. Pembagian tingkat kerawanan gerakan tanah pada daerah penelitian digolongkan menjadi empat yaitu sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi berdasarkan dari nilai total pembobotan menggunakan rumus (1). Berikut pembagian tingkat kerawanan gerakan tanah:
- 285 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
No 1 2 3 4
Tabel 5. Pembagian rentang nilai untuk tingkat kerawanan Rentang Total Pembobotan Katagori 7 – 11 Sangat rendah 12 – 16 Rendah 17 – 21 Sedang 22 - 27 Tinggi
Gambar 6. Peta Kerawanan Gerakan Tanah daerah Ayah dan sekitarnya
Pada peta kerawanan diketahui bahwa daerah timur dan selatan memiliki potensi gerakan tanah yang paling besar dibanding daerah lainnya, terutama pada daerah timur yang sudah ditemukan 3 titik lokasi longsor. Potensi gerakan tanah ini dapat meningkat terutama pada musim-musim penghujan yaitu pada bulan Oktober – Maret dan pada wilayah – wilayah yang dapat tergenang air. Wilayah – wilayah yang biasa tergenang air dapat dianalisa menggunakan data citra DEM SRTM berupa nilai Flow Slope DI. Pada daerah penelitian nilai Flow Slope DI memiliki rentang 0 sampai -66, dimana semakin besar (mendekati angka nol) menandakan bahwa wilayah tersebut semakin besar kemampuannya untuk tergenang oleh air. Pada wilayah – wilayah yang nilai Flow Slope DI lebih besar dari -1 akan memperbesar tingkat kerawanan terjadinya gerakan tanah, sehingga perlu dilakukan perhatian yang lebih pada wilayah-wilayah tersebut. Nilai Flow Slope DI tidak dimasukan ke dalam parameter pembobotan tingkat kerawanan, namun dapat dijadikan pertimbangan dalam pembuatan peta kerawanan gerakan tanah. Pada peta kerawanan dilakukan overlay menggunakan peta Flow Slope DI dengan nilai diatas -1 hingga maksimum 0 seperti pada Gambar 8. Wilayah yang biasa tergenang air yang berada pada ketinggian akan dapat meningkatkan potensi gerakan tanah pada wilayah disekitarnya yang memiliki elevasi lebih rendah, dikarenakan air yang berada dipermukaan semakin lama akan meresap ke dalam tanah dan memperbesar berat tanah atau batuan yang berada dibawahnya. Oleh karena itu daerah dengan tingkat kerawanan sedang dapat meningkat menjadi tinggi pada saat musim hujan dikarenakan faktor nilai Flow Slope DI yang mendekati angka nol.
- 286 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 7. Peta Flow Slope DI daerah Ayah dan sekitarnya
Gambar 8. Peta Kerawanan Gerakan Tanah yang di overlay wilayah genangan air daerah Ayah dan sekitarnya
- 287 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
3.3. Penanggulangan Bencana Gerakan Tanah Pada daerah Ayah dan sekitarnya berdasarkan peta kerawanan gerakan tanah yang telah dibuat, wilayah yang paling rentan terletak di daerah Tlogosari, Argosari dan sedikit di Candirenggo. Pada daerah tersebut sebaiknya dilakukan tindakan penanggulangan untuk menghindari atau mengurangi dampak dari bencana gerakan tanah. Berikut ini beberapa upaya penanggulangan yang dapat dilakukan: a. Menghindari pembangunan infrastruktur umum seperti gedung fasilitas sosial, puskesmas, masjid, maupun permukiman di daerah yang memiliki tinggi kerawanan tinggi b. Menghindari terjadinya pemotongan tebing dan pembukaan lahan pada daerah dengan persen lereng yang terjal c. Memperbanyak penanaman tanaman-tanaman berakar tunggang yang dapat meningkatkan daya dukung tanah d. Mewaspadai tanda-tanda terjadinya gerakan tanah secara lokal seperti retakan pada lereng (bila terjadi retakan sebaiknya segera diisi oleh tanah), kemiringan tumbuhan di lereng, maupun miringnya tiang-tiang listrik, dan segera menghubungi dinas BNPB terdekat. e. Perlunya pengaturan sistem pengaliran di daerah Ayah agar menghindari aliran air permukaan ke wilayah-wilayah tertentu yang memiliki tingkat kerawanan sedang-tinggi.
4. KESIMPULAN Pada penelitian ini didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembuatan peta kerawanan gerakan tanah menggunakan beberapa parameter yaitu kemiringan lereng, litologi, tata guna lahan, dan curah hujan serta tambahan analisis wilayah genangan air 2. Data citra DEM SRTM dalam pembuatan peta kerawanan gerakan tanah dapat membantu dalam hal efisiensi waktu dan biaya 3. Wilayah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi berdasarkan peta kerawanan gerakan tanah daerah Ayah dan sekitarnya berada di daerah Tlogosari, Argosari dan Candirenggo 4. Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: Menghindari pembuatan infrastruktur umum pada daerah dengan tingkat kerawanan tinggi Menghindari pemotongan tebing dan pembukaan lahan pada wilayah dengan kemiringan lereng tinggi Memperbanyak tanaman berakar tunggung pada daerah-daerah dengan tingkat perawan sedangtinggi Mewaspadai tanda-tanda gerakan tanah lokal dan segera menghubungi dinas BNPB terdekat atau pemerintah terkait Pengaturan drainase lereng dengan menjauhi aliran air permukaan pada wilayah dengan tingkat kerawanan sedang-tinggi
UCAPAN TERIMAKASIH Dalam kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ir. Tjoek Aziz Soeprapto MSc. yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta konsultasi teknik selama pelaksanaan penelitian ini. 2. Axel Prima AS, Ruth Amelia, Adi Luhung Pekerti, Paramitha yang telah membantu dalam mengerjakan makalah penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Bemmelen, R.W. (1949). The Geology Of Indonesia, v. IA, The Hague. Gov. Printing Office, Martinus Nijhoff, 732p. Dirja, M.D. (2014). Geologi Daerah Ayah dan sekitarnyaKecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Laporan Pemetaan Geologi Mandiri. Sidarto (2010). Perkembangan Teknologi Inderaan Jauh dan Pemanfaatannya untuk Geologi di Indonesia. Bandung : Badan Geologi. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
- 288 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015 Moderator Judul Makalah Pemakalah Jam Tempat Diskusi
: Dr. Rokhmatullah : Pemanfaatan Data Citra SRTM dalam pembuatan Peta potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah ) : Muhammad Danu Dirja : 13.55 – 14.19 :Ball Room 2 (Lt.1) :
Yosef (BIG) Anda menggunakan data SRTM 30m untuk mendapatkan ketinggian, kenapa tidak menggunakan peta RBI saja 1:25000, atau data IPSAR yang lebih baik? Saya tidak setuju dengan kesimpulan nomor 2 dan 3, perlu hati hati jika menyangkut masalah Daya dukung tanah, kemudian pada point yang ketiga kita harus melihat seperti apa lapisan tanahnya, kalau tidak banyak lapisannya mungkin bisa dibuat kesimpulan seperti itu. Firman (LAPAN) Sumber data yang diolah skalanya berapa? Apakah anda yakin hasilnya sesuai seperti itu? Udhi (LAPAN) Apakah tidak seharusnya kalau outputnya detail, data yang seharusnya digunakan adalah data dengan Skala yang besar? Mungkin bisa disampaikan, metodologi yang digunakan untuk skala ketinggiannya seperti apa, dan jika mengambil dari penelitian sebelumnya, kelas tersebut didapat dari mana? Perlu disampaikan lebih jelas lagi tentang kondisi litologi batuannya seperti apa didaerah sekitarnya, karena saudarakan berasal dari geologi? Jawaban: Untuk data kontur menggunakan SRTM 30m meter, karena saya rasa sudah dapat mencakup peta RBI skala 25000, selain data tersebut penulis belum mengetahui data lainnya yang dapat digunakan selain data ini. Mengapa pada point 3 hanya saya tulis daya dukung pak, karena saya bukan anak pertanian sehingga saya tidak bisa memberikan solusi tanaman apa yang perlu di tanam pada daerah tersebut. Kemudian untuk lapisannya tentu kita melihat pada kondisi geologi dan litologinya, saya juga kurang setuju kalau solusi harus kita pukulrata pada terasering. Sumberdata saya peroleh dari web USGS untuk SRTM dengan data tahun 2014. Saya juga menggunakan data lapangan untuk penelitian ini sebagai validasinya, sehingga hasilnya dapat di pertanggungjawabkan. Sedangkan jika ingin dengan data yang lebih detail lagi, mungkin bisa sebagai acuan penelitian selanjutnya. Sebenarnya ada beberapa klasifikasi yang dapat dijadikan sebagai rujukan, tetapi kami merasa beberapa rujukan tersebut kurang tepat sebagai bahan kajian pada daerah penelitian kami, sehingga kami memuat klasifikasi sendiri untuk wilayah ketinggian ini. Untuk litologinya memang belum kami tambahkan, nanti pada penyempurnaan makalah akan kami tambahkan.
- 289 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015 ORAL PRESENTATION
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit (Studi Kasus Lombok, 21 Pebruari 2015) Anggi Dewita1,*), Hatif Thirafi Zulqisthi1, dan Khafid Dwicahyo1 1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK-Radar Gematronik di Selaparang, Lombok menampilkan citra barisan awan yang diidentifikasi sebagai squall line pada tanggal 21 Pebruari 2015 mulai pukul 02.03 UTC hingga 06.03 UTC. Dengan mengoptimalkan produk radar Gematronik dapat diketahui struktur dan karakteristik awan badai serta prediksi dampak dari sistem tersebut pada pulau Lombok. Sistem memiliki panjang 276 km dengan luas inti awan badai 1419 m2 dan bergerak dengan kecepatan 14 ms-1. Tidak ditemukannya rear inflow jet pada sistem. Sel awan memiliki updraft yang lemah. Berdasarkan citra satelit MTSAT squall line tersebut diketahui berasal dari pusat tekanan rendah di utara benua Australia dan bergerak mendekati pulau Lombok sebagai barisan awan badai. Namun sistem tersebut mengalami masa pemunahan sebelum mencapai pulau Lombok, sehingga dampak yang dirasakan di pulau Lombok tidak terlalu signifikan. Kata Kunci: radar, satelit, squall line ABSTRACT- Gematronik Radar Gematronik at Selaparang, Lombok featuring image of the cloud line that identified as squall line at 21st, 2015 start from 02.03 UTC to 06.03 UTC. By optimizing Gematronik’s product, stucture and characteristic of the squall line and also the impact of system on Lombok can be known. The system’s length up to 276 km with area of storm core 1419 km and the speed of system about 14 ms-1 . There’s no rear inflow jet found at this system. Cloud cell show a weak updraft. Regarding satellite MTSAT’s image squall line came from low pressure cell at the north of Australia and moved closerti Lombok Island as a line of thunderstorm. The system run into decay period before strike Lombok island, so there is no significant impact that accepted by the island. Keywords: radar, satelit, squall line
1. PENDAHULUAN Radar Lombok mendeteksi fenomena Squall Line di selatan pulau Lombok pada tanggal 21 Pebruari 2015 antara jam 3 – 6 UTC. Squall line jarang terdeteksi di Pulau Lombok dan ini merupakan fenomena yang menarik untuk diamati. Squall line merupakan barisan thunderstorm dengan mekanisme pengangkatan massa udara yang meliputi area lapisan yang luas, contohnya front, outflow boundaries yang besar, dan pengangkatan secara isentropik. Mengandung awan konvektif sepanjang 100 hingga beberapa ratus kilometer yang membentuk barisan pada ujung area downdraft yang luas. Di daerah tropis, hujan yang sangat lebat terjadi secara tiba-tiba dan diikuti oleh hujan yang seragam dan relatif stabil dari awan stratiform sistem anvil. Kekuatan dari updraft dan downdraft pada tropical squall memiliki kesamaan dengan cumulunimbus di daerah tropis. Squall line cenderung terbentuk di daerah dengan pengangkatan pada level rendah yang kuat,CAPE (Convective Available Potential Energy) yang relatif besar. Squall line juga biasanya terbentuk di daerah yang geser anginnya (wind shear) kuat. Jika kecepatan angin di permukaan rendah sedangkan di daerah atas kecepatannya tinggi, disertai dengan konveksi yang kuat maka sangat mendukung terbentuknya squall line. Berdasarkan kecepatan dari sistem tropical squall, dalam jurnalnya Barnes dan Sieckman (1984) membagi menjadi dua kategori. Yang pertama tropical squall yang memiliki kecepatan rendah dengan pergerakan VL < 3 ms-1 dan tropical squall kecepatan tinggi dengan pergerakan VL > 7 ms-1. Tropical squall berkecepatan tinggi ditandai dengan gisir angin yang kuat pada troposfer bagian bawah yang memotong garis depan tepi tropical squall. Pereira et al. (2000) menemukan tropical squall yang melintas melewati Amazon memiliki kesamaan dengan squall line di lintang menengah baik secara struktural maupun dinamisnya berdasarkan penelitian menggunakan satelit dan radar. Szoke dan Zipster (1985) yang menganalisa squall line dengan radar menyatakan sel dengan kekuatan aliran ke atas yang lemah puncak reflektifitasnya terdapat di level bawah. Penelitian lain menggunakan model 3 D Nonhydrostatis Stormscale oleh Wang et al. (1995) mensimulasikan
- 290 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
arus naik dan arus turun skala konvektif, penyebaran hujan pada dan di belakang front angin kencang serta hujan dari awan stratiform. Pemanfaatan radar cukup banyak untuk meneliti squall line. Dengan radar terlihat bentuk squall line bila dilihat dari atas mulai dari pembentukan hingga pemunahan. Pada awalnya area inti sel dengan nilai dBz tinggi berada di tengah sistem, kemudian karena dorongan rear inflow jet inti sel terdorong dan terpecah menjadi beberapa inti sel yang lebih kecil. Dorongan ini juga mengakibatkan sistem tersebut cembung dan berbentuk menyerupai busur, dan ketika akan musnah akan menyerupai bentuk koma.
Gambar 1. Model konseptual evolusi squall line pada radar (Sumber: http://www.meted.ucar.edu/radar/tropical_cases/)
Formasi menyerupai busur tersebut terbentuk ketika squall line mendapat rear inflow notch atau rear inflow jet dari arah belakang sistem yang mendorong sistem sehingga menjadi cembung. Wirohamidjojo (2012) dalam Dewi (2014) menyebutkan bahwa awan–awan tipis mempunyai nilai albedo sekitar 30 %. Awan – awan tebal seperti Cirrostratus, Altocumulus, Cumulus dan Stratocumulus memiliki nilai albedo 50 sampai 70 % dan awan Cumulonimbus memiliki albedo >70%. Dengan demikian, semakin putih awannya, maka mengindikasikan semakin padat awan yang ada dan dapat diidentifikasi sebagai Cumulunimbus. 1.1 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut a. Mempelajari struktur dan karakteristik squall line yang berpotensi muncul di selatan pulau Lombok b. Mengetahui karakteristik dinamika atmosfer Manfaat dari penelitian ini dari segi keilmuan untuk menambah pengetahuan dalam memahami dinamika atmosfer terutama berhubungan aktivitas squall line. Dengan dipahaminya dinamika atmosfer maka akan meningkat juga ilmu teknologi dalam menganalisa dan memprediksikan prilaku-prilaku fisis dalam atmosfer. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembuatan peringatan cuaca dini di pulau Lombok terkait dengan fenomena cuaca skala meso.
2. METODE Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian berupa studi kasus yang terjadi di Samudera Hindia sebelah selatan Pulau Lombok ketika muncul sistem awan yang membentuk garis memanjang dalam pantauan radar cuaca Stasiun Meteorologi Selaparang pada tanggal 21 Pebruari 2015 jam 02.03 UTC. 2.1 Pengolahan Citra Radar Radar yang berarti deteksi dan penjarakan radio adalah alat penginderaan jarak jauh aktif. Radar akan mendeteksi keberadaan objek dan mengukur kekuatan reflektifitas dari objek tersebut, bergantung pada besar komponen dan massa. Radar mampu menyediakan data dengan resolusi spasial dan temporal yang cukup baik. Menggunakan software Rainbow untuk radar Gematronik di Lombok yang akan menghasilkan produk dengan rincian sebagai berikut:
- 291 -
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit(StudiKasus Lombok, 21 Pebruari 2015)(Dewita, A., et al.)
Produk CMAX Menampilkan nilai echo maksimum yang didapatkan pengamatan radar pada suatu kolom Produk HWind Turunan dari produk velocity yang dapat memberikan gambaran umum arah dan kecepatan massa udara yang bergerak Produk SWI (Severe Weather Indicator) Menganalisa data reflectivity, velocity dan spectral width untuk menganalisa data volume radar untuk mendeteksi wilayah pusat badai, mesocyclone, divergensi, serta microburst. Produk VCUT Menggambarkan irisan vertikal dari suatu data volume Produk VIL (Vertical Integrated Liquid) Prakiraan kandungan uap air secara vertikal yang terdapat pada lapisan atmosfer 2.2 Pengolahan Citra Satelit Penggunaan kanal visibel untuk mendeteksi keberadaan awan Cumulunimbus pada siang hari. Suhu yang dingin tidak selalu menunjukkan puncak awan konvektif tetapi juga dapat ditunjukkan oleh awan – awan tinggi seperti Cirrus yang terdiri dari kristal- kristal es. Kanal visibel yang menggunakan cahaya matahari sebagai pulsa menjadikan albedo sebagai metode untuk mengetahui jenis awan. Albedo adalah perbandingan antara jumlah sinar yang dipantulkan dengan yang diterima oleh permukaan. Benda yang warnanya semakin putih dan padat akan semakin banyak memantulkan sinar tampak.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengolahan Radar Data mentah radar yang diolah dalam periode jam 02.03 UTC -06.03 UTCtanggal 21 Februari 2015. a. Produk CMAX dan HWIND
Gambar 2. Produk CMAX overlay HWind
- 292 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Dengan setting range Radar 240 km pada jam 02.03 UTC terdeteksi pola squall line mendekati pulau Lombok dan musnah pada jam 06.03 UTC. Pola tersebut memilliki garis depan dengan reflektifitas maksimal yang diidentifikasi sebagai bagian utama tropical squall , kemudian diikuti oleh area reflektifitas yang lebih rendah yang dikenali sebagai anvil. Pergerakan sistem dihitung menggunakan rumus sederhana 200 km/4 jam atau sekitar 14 ms-1. Pembacaan produk Hwind pada ketinggian 1 km dan 5 km menunjukan angin bertiup dengan gerak paralel dengan garis depan squall line. Berbeda dengan hasil penelitian Barnes dan Sieckman (1984), ternyata tropical squall dalam penelitian ini termasuk kategori berkecepatan tinggi (> 7 ms-1), dengan angin yang bertiup paralel terhadap garis depan squall.
Gambar 3. CMAX overlay HWind jam 04.03 UTC
Tropical squall yang terbentuk tidak menunjukkan pola bow echo maupun comma yang mudah diidentifikasi pada radar. Hal ini disebabkan tidak adanya rear inflow jet yang seharusnya mendorong sistem dari belakang melainkan angin bertiup berlawanan arah terhadap sistem dengan kecepatan maksimum mencapai 30 knot. b. Produk SWI
Gambar 4. Produk SWI jam 2.03 - 6.03 UTC
- 293 -
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit(StudiKasus Lombok, 21 Pebruari 2015)(Dewita, A., et al.)
Panjang sistem squall line diukur memanfaatkan fitur measure distance. Lingkaran merah menandakan daerah badai, sementara lingkaran kuning menandakan pusat badai. Dengan pembacaan jendela bantu, maka akan didapatkan pembacaan karakteristik sistem menggunakan SSA yang tersaji pada tabel berikut. Tabel 1. Struktur squall line
Sistem memasuki periode puncak pada jam 04.03 ketika masih berada di perairan. Dan setelah itu mulai meluruh dan memasuki periode musnah. Karena sistem memasuki periode musnah ketika masih berjarak ± 50 km dari pulau Lombok, maka dapat diprediksi curah hujan di pulau Lombok tidak akan terpengaruh oleh sistem tersebut, namun masih perlu diwaspadai potensi angin kencang yang dapat terjadi, terutama bagi operasional penerbangan. Dengan pembacaan jendela bantu, dapat diketahui pada awal kemunculan tropical squall di radar titik konvergen terendah berada di ketinggian 2,2 km sementara titik divergen tertinggi berada pada ketinggian 10,6 km. Tidak semua titik konvergen berada di lapisan bawah, dan tidak semua titik divergen berada di lapisan atas, namun secara garis besar ditemukan konvergensi di lapisan bawah, terutama pada inti badai. Hal ini sesuai dengan penelitian Reed dan Recker (1971) yang menemukan adanya konvergensi pada lapisan bawah dan divergensi pada lapisan atas sistem tropical squall. Peranan aktivitas konvergensi dan divergensi cukup penting dalam pembentukan sistem squall line. Ketika level bawah didominasi konvergensi, massa udara yang bertemu akan dipaksa naik ke atas menjadikan uap air yang melewati inti kondensasi berubah menjadi awan konvektif. Kenaikan ini dibatasi oleh lapisan stabil dari inversi di leves atas, sehingga angin kembali berpencar atau divergensi. c. Produk VCUT
Gambar 4. Produk VCUT jam 2.03 - 4.33 UTC
- 294 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Ketinggian awan Cumulunimbus mencapai 18 km dari permukaan. dan nilai dBZ rata-rata tertinggi adalah 50-55 dBZ yang terletak pada ketinggian sekitar 2 hingga 6 km dari permukaan tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian Szoke dan Zipster (1985) yang menyatakan sel dengan arus naik lemah memiliki puncak reflektifitasnya berada di level bawah. Sebab butir-butir air yang besar tidak dapat terangkat oleh arus naik. d. Produk VIL
Gambar 5. Produk VIL jam 2.03 – 6.03 UTC
Vertical Integrated Liquid (VIL) memperlihatkan kandungan air yang terdapat pada suatu kolom awan secara vertikal. Pada awal kemunculan squall line di radar, kandungan air secara vertikal pada sisi luar sistem terlihat hanya berkisar 0.1-0.4 mm, sementara pada bagian inti sistem hanya mencapai 3.2 mm. Kemudian pada setiap kelipatan 10 menit citra radar, terlihat adanya pertumbuhan awan ditinjau dari makin banyaknya kandungan air dalam satu kolom vertikal awan dengan puncak pertumbuhan berada pada citra jam 03.03 UTC dimana jumlah kandungan air mencapai 12.6-25.1 mm di bagian inti badai yang terlihat lebih besar dibanding 10 menit sebelumnya. Setelah mencapai pertumbuhan puncak, citra radar 10 menit berikutnya menunjukkan penurunan jumlah kandungan air pada inti sel badai, dan inti sel badai mulai terlihat pecah menjadi beberapa sel inti yang lebih kecil, meskipun luas area badai bertambah. Pengurangan kandungan air terus terjadi pada citra periode selanjutnya hingga akhirnya sistem musnah pada pukul 06.03 UTC Dari sini dapat disimpulkan bahwa fenomena ini tidak membawa banyak uap air yang dapat mengakibatkan hujan lebat.
- 295 -
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit(StudiKasus Lombok, 21 Pebruari 2015)(Dewita, A., et al.)
3.2 Citra Satelit MTSAT Dengan menggunakan citra MTSAT kanal visibel dilihat posisi awan Cb sebagai inti dari sel squall line. Bagian yang berwarna paling putih mempunyai nilai albedo yang tinggi sehingga dapat diidentifikasi sebagai awan Cb. Dan ketika kepadatan bagian warna putih berkurang sehingga warnanya keabu-abuan hal itu mengindikasikan tropical squall telah memasuki masa pemusnahan sehingga menyisakan awan tinggi yang memiliki nilai albedo lebih kecil. Kelemahan kanal visibel ialah, kanal ini hanya dapat menampilkan citra satelit pada siang hari, karena menggunakan matahari sebagai gelombang pantulannya.
(a) Jam 01.00 UTC
(d) Jam 04.00 UTC
(g) Jam 07.00 UTC
(b) Jam 02.00 UTC
(c) Jam 03.00 UTC
(e) Jam 05.00 UTC
(h) Jam UTC Gal08.00 visibel
(f) Jam 06.00 UTC
(i)
Jam 09.00 UTC
Dari kanal visibel terlihat adanya area putih berbentuk bulat yang cukup padat dari arah tenggara dan memasuki daratan Lombok sebelum akhirnya memudar dan menghilang. Sementara berdasarkan citra satelit kanal inframerah mulai tanggal 20 Pebruari 2015 jam 18 UTC hingga tanggal 21 Februari jam 07 UTC (terlampir), terlihat dengan jelas bahwa tekanan rendah di sebelah barat laut benua Australia telah memicu konvergensi sehingga terbentuk sirkulasi awan konvektif serupa MCS. Dinamika atmosfer membawa sistem tersebut menuju equator, namun karena gaya coriolis, maka dibelokan ke arah kiri hingga akhirnya memasuki wilayah sapuan radar cuaca Selaparang sebagai jajaran awan dengan reflektifitas tinggi dibagian muka dan diidentifikasi sebagai squall line.
- 296 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa poin terkait dengan rumusan masalah seperti yang tertulis pada bab Pendahuluan. Yaitu sebagai berikut a. Analisis Radar Produk Radar Gematronik memiliki kompetensi dalam menganalisa struktur squall line. Panjang squall line mencapai 276 km, luas inti awan badai 1419 m2 dan bergerak dengan kecepatan 14 ms-1. Tidak ditemukannya rear inflow jet pada sistem. Sel awan memiliki updraft yang lemah Dari analisa Radar, disimpulkan dampak squall line terhadap pulau Lombok tidak terlalu signifikan b. Analisis Satelit Penggunaan kanal Visible sangat efektif dalam mendeteksi jenis awan pada siang hari Sistem berasal dari sebelah utara benua Australia dan bergerak menuju Indonesia namun karena pengaruh gaya corioli maka sistem dibelokkan ke kiri.
DAFTAR PUSTAKA Barnes, G.M., dan Sieckman, K. (1984). Environment of Fast and Slow Moving Tropical Mesoscale Convective Cloud Lines, National Center of Atmospheric Research, Boulder. Cotton, W.R., dan Anthes, A.R. (1989). Storm and Cloud Dynamics, Academic Press, San Diego, California. Maddox, A.R. (1980). Mesoscale Convetive Complex, Departement of Atmospheric Science, Universitas Negeri Colorado. Rajeevan, M., Kesarkar, A., Thampi, S.B., Rao, T.N., Radhakrishna, B., dan Rajasekhar, M. (2010). Sensitivity of WRF Cloud Microphysics to Simulations of a Severe Thunderstorm Event Over Southeast India, Ann. Geophys., 28, 603–619, Copernicus Publications Rinehart, R.E. (2010). Radar for Meteorologist - Fifth Edition. Nevada, Missouri: Rinehart Publications. Szoke, E.J., dan Zipser, E.J. (1986). A Radar Study of Convective Cells in Mesoscale Systems in GATE. Part I: Vertical Profile Statistics and Comparison with Hurricanes, 1. Amos. Sci.43, 182-218. http://www.meted.ucar.edu/radar/tropical_cases/print_2.htm#page_3.1.0 meteora.ucsd.edu/~mpritchard/bib/Tak07/ theweatherforums.com/archive/index.php?topic/15760-serve-weather/ *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015 Moderator Judul Makalah Pemakalah Jam Tempat Diskusi
: Dr. Rokhmatullah : Identifikasi Squall Line menggunakan Radar Grmatronik dan Satelit (studi kasus Lombok 21 Febuari 2015) : Anggi Dewita :14.35 – 14. 45 : Ball room 2 (Lt.1) :
Gatot (LAPAN) Pada judul mungkin lebih dapat diperjelas kalau yang digunakan terutama adalah datar Radar Terestrial agar tidak rancu bagi yang membacanya. Apa bisa squall Line diketahui dan di identifikasi dengan citra optik atau NIR? Yosef (BIG) Kenapa Kota Raja punya curah hujan yang tinggi padahal tidak ada hubungan dengan Squall line, jika melihat pada hasil penelitian, dimana pada daerah tersebut seperti diabaikan? Bisa tidak metode yang adagunkan ini untuk mengetahui squall line tersebiut, digunakan untuk seluruh wilayah di Indonesia? Mungkinkah terjadi Squall Line yang terbentuk berasal dari arah Utara Indonesia?
- 297 -
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit(StudiKasus Lombok, 21 Pebruari 2015)(Dewita, A., et al.)
Jawaban: Penulis akan menambahkan pada judul sebagia perbaikan Jika menggunakan gelombang Optik tidak akan terlihat dengan jelas proses pembentukan squall line-nya. Proses terjadinya Squall Line ini terjadi pada malam hari, sehingga dari infra red lebih dapat terlihat. Pada dasarnya lebih bagus jika squall line dilihat dengan citra visible hanya saya meneliti prosesnya jadi saya menggunakan radar. Penulis membuat lokasi penulisan pada daerah lombok, dan biasanya pada wilayah ini umumnya adalah cuaca lokal sedangkan Kota Raja berada dibalik Gn. Rinjani, sehingga tidak terkena squall line tapi lebih pada kondisi geografisnya. Bisa dilakukan pada daerah lainnya, seperti di Jakarta pada bulan januari 2015 pernah terjadi, hanya pada komposisi yang berbeda dan sebeb yang berbeda. Untuk dari utara pernah terjadi di Sumatera dengan angin berasal dari barat.
- 298 -