PENGOLAHAN BAHAN PUSTAKA DI PERPUSTAKAAN NASIONAL: PANDANGAN AKADEMIS Oleh: Sulistyo-Basuki 1. Pendahuluan akalah ini dimulai dengan melakukan perubahan atas istilah bahan perpustakaan. Istilah bahan pustaka sebagai terjemahan kata library material(s) kurang tepat karena bahan pustaka mengacu ke bahan untuk membuat library material. Bahan tersebut dapat berupa kertas, deluwang (terbuat dari kayu) tertentu yang tumbuh di beberapa tempat di pulau Jawa), seluloid, plastik dan sebagainya. Untuk itu tulisan ini menggunakan istilah bahan perpustakaan atau materi perpustakaan (Sulistyo-Basuki 2000, 1)
M
2. Evaluasi Pengolahan Evaluasi Pengolahan terhadap pengadaan dapat dilakukan lebih mudah. Misalnya, dari segi kuantitas maupun kualitas. Kajian kuantitas, dapat dimulai dari kajian tentang jumlah bahan perpustakaan yang diterima atau dimuat dalam bibliografi, jumlah penerbit, instansi serta badan korporasi yang mengirimkan contoh terbitan dan rekamannya, tahun terbit dan lain-lain. Kajian Kualitas mencakup mutu materi perpustakaan yang diterima, misalnya untuk tingkat SMU ke bawah, dan untuk tingkat perguruan tinggi. Salah satu uji mutu terhadap koleksi perpustakaan adalah metode conspectus, yang telah dilakukan terhadap banyak perpustakaan di luar Indonesia.
Evaluasi pengolahan sulit dilakukan, kecuali bila hal tersebut dikaitkan dengan uji simpan dan temu balik informasi (Chowdury 1999). Uji tersebut telah dilakukan terhadap berbagai jenis perpustakaan, namun tidak satupun yang meliputi Perpustakaan Nasional. Maka evaluasi terhadap hasil pengolahan oleh Perpustakaan Nasional harus dilakukan melalui survei kuesioner ataupun wawancara mendalam dengan beberapa responden. Hal tersebut rasanya belum pernah dilakukan di Indonesia. Dengan demikian evaluasi terhadap pengolahan bahan perpustakaan sebagaimana diminta oleh Perpustakaan Nasional RI, dilakukan berdasarkan pengamatan secara acak terhadap terbitan Perpustakaan Nasional antara lain ialah Katalog Induk Nasional, Bibliografi Nasional Indonesia, Informasi Buku Baru Perpustakaan Nasional. Pemerikasaan acak terhadap beberapa Katalogisasi Dalam Terbitan (KDT) buku terbitan Indonesia serta masukan dari pustakawan praktisi. 3. Hasil Pengamatan 1
Hasil pengamatan yang dapat dicatat terbagi atas pengarang, klasifikasi dan masalah lain. 3.1. Pengarang Mengenai nama pengarang yang termuat dalam bentuk terbitan Perpustakaan Nasional terdapat kejanggalan sebagai berikut: (1) Deskripsi bibliografis yang tidak mencantumkan nama pengarang sebagai entri utama. Hal tersebut dapat ditemukan pada Informasi Buku Baru. Deskripsi tersebut menyalahi peraturan, bila kita melihat tujuan katalog sebagaimana dikemukakan oleh Cutter, lebih dari seratus tahun yang lalu. Disebutkan tujuan katalog antara lain untuk mengetahui apakah perpustakaan memiliki buku (dalam arti luas) yang ditulis oleh pengarang tertentu. Dengan tiadanya tajuk pengarang pada deskripsi maka apa yang dimuat dalam Informasi Buku Baru sudah menyalahi hakikat pengkatalogan dengan imbas bahwa pemakai akan kesulitan mencari buku oleh pengarang tertentu. Bila pengelola Informasi Buku Baru mau membuka contoh terbitan Bibliografi Nasional maka deskripsi tanpa tajuk pengarang akan jarang sekali ditemukan. Deskripsi semacam itu dilakukan oleh British Library Document Supply Centre (dahulu The British Library Lending Division) di Boston Spa, Inggeris. Namun harus diperhatikan bahwa pada BLDSC, penempatan materi perpustakaan dilakukan secara tidak bergerak (fixed), tidak melayani umum terkecuali permintaan fotokopi artikel. Memang ada artikel yang mendeskripsikan hal tersebut, dimuat di sebuah majalah kepustakawanan Indonesia lalu ditiru tanpa melihat latar belakang penggunanya. (2) Inkonsistensi dalam penulisan tajuk nama, berdasarkan peraturan penentuan tajuk entri nama Indonesia, secara umum dinyatakan bahwa kata utama adalah nama bagian akhir dengan beberapa pengecualian. Pada contoh yang diterima penulis, VISI PUSTAKA Vol.2 No.2 – Desember 2000
hal tersebut tidak konsisten. Pada Bibliografi nama pengarang dengan keanekaragaman Nasional Indonesia (Desember 1999, 35) entah ejaannya. Dengan demikian, alasan Perpustakaan mengapa tajuk pengarang Edy Parwanto ada pada Nasional RI tetap mempertahankan nama sesuai Edy Parwanto sedangkan entri lain sudah dengan yang dikemukakan oleh pengarang dapat menggunakan peraturan yang benar. Mudahdipertahankan. mudahan ini terjadi karena kesalahan penyuntingan (4) Penentuan tajuk nama bagi pengarang yang atau hal ini menunjukkan bahwa penyuntingan final memiliki singkatan pada bagian akhir. Menurut masih belum baik. ketentuan, nama pengarang yang memiliki Penulisan nama pengarang yang singkatan pada bagian akhir, namun tidak diketahui menggunakan gelar kebangsawanan. Ada kalanya kepanjangannya akan tetap ditulis sesuai dengan ditulis benar tetapi ada pula yang tidak. Contoh: nama tersebut, tidak ditentukan pada nama akhir. Polim, Teuku Muhammad Ali Panglima Contoh: Yamin, Siti Sundari, Raden Ayu Fattah Shobri B. Menurut ketentuan sebutan gelar dinyatakan pada Mursalim Umar Gani S. tajuk baru diikuti gelar pengarang. Bila kita nmemperhatikan Standar (3) Penulisan nama pengarang. Hal ini merupakan Penentuan Entri Utama (1981,11), maka bagi masalah kontroversial akibat adanya EYD (Ejaan pengarang yang bagian terakhir namanya terdiri Yang Disempurnakan). Perpustakaan Nasional RI atas inisial atau singkatan, maka kata utamanya mengambil kebijakan menyesuaikan semua nama ditentukan pada bagian pertama dari nama dengan Indonesia dengan ejaan baru padahal pengarang tidak mengubah urutannya. yang bersangkutan tidak pernah menulis nama Adanya inisial atau singkatan pada nama mereka dalam EYD. Walaupun secara terbuka juga terdapat pada biarawan atau biarawati yang mereka tidak pernah mengemukakan kekesalan mengikuti ordo atau tarekat tertentu. Maka nama mereka. Dalam sebuah pertemuan, informasi seperti Mariarosa Guerrini,OSA, disitu OSA bukanlah bagian dari nama melainkan ordo tentang hal itu sudah dikemukan semasa Perpustakaan Nasional di pegang oleh Mastini. Hal biarawati yang bersangkutan. OSA singkatan dari serupa pernah dikemukakan langsung oleh salah Ordo Sancti Agustini (Heuken SJ 1989). seorang yang namanya ditulis dalam ejaan baru (5) Penulisan nama yang dimulai dengan Sri, padahal yang bersangkutan tidak pernah menulis Bambang, Endang. Konon karena ada pakar dalam EYD. Mereka itu antara lain budaya Jawa yang menyatakan bahwa nama Sri, Koentjaraningrat, Koesnadi Hardjasoemantri, Endang dan Bambang harus dijadikan satu tidak Prijonoherijanto. Mereka selama ini tidak pernah dapat dipisahkan. Sampai sekarang nama pakar menulis nama mereka dalam EYD tetapi mengapa tersebut tidak pernah diketahui juga tidak pernah dalam Bibliografi Nasional Indonesia ditulis dalam disebutkan dalam kata pengantar. EYD? . Lebih lanjut dikatakan bahwa Sri ini hanya Alasan yang dikemukakan oleh berlaku untuk kelompok etnis Jawa, tidak berlaku Perpustakaan Nasional RI bahwa generasi untuk kelompok etnis lain. Hal ini dialami juga nama berikutnya kurang mengenal nama yang ditulis Endang, namun banyak pengkatalog Indonesia dengan ejaan lama. Tetapi hal itu pun masih dapat tidak pernah menjawab secara tegas bagaimana dipertanyakan. Salah satu fungsi perpustakaan dengan pengarang yang memiliki nama Endang adalah pendidikan, yang diartikan yang berasal dari Etnis Sunda, apakah perpustakaan dapat mendidik tajuk namanya pada Endang “Evaluasi terhadap hasil masyarakat melalui penyediaan Suhana ataukah Suhana, pengolahan oleh materi perpustakaan. Analoginya Endang. Perpustakaan Nasional Bila kita berpijak pada perpustakaan dapat mendidik harus dilakukan melalui peraturan yang sederhana, maka masyarakat dengan cara survei kuisioner ataupun wawancara mendalam nama pengarang yang dimulai menunjukkan keanekaragaman dengan beberapa dengan Sri, Bambang diatur historis, artinya sepanjang sejarah responden” sesuai dengan peraturan umum. Indonesia ada masa di mana Jadi yang menjadi kata utama nama ditulis dengan ejaan lama. ialah bagian nama yang terakhir. Pedidikan untuk pemakai itu dilakukan (6) Sebutan untuk Ny., sebaiknya ditinggalkan. Bila dengan tetap mempertahankan tajuk VISI PUSTAKA Vol.2 No.2 – Desember 2000
2
kita berpegang pada jender, maka sebutan Ny. tidak perlu disebutkan pada nama pengarang. Perhatikan tajuk entri utama Prang, Anneke M.W., Ny. Nama Nyonya dimasukkan untuk memisahkan pengarang yang sama, misalnya Soebandi dan Ny. Soebandi atau untuk sebutan lain seperti Nyonya rumah yang merupakan sebuah parafrase. (7) Authority list. Sampai saat ini Perpustakaan Nasional belum menyebarluaskan authority list yang mencakup nama pengarang, perorangan maupun badan korporasi. Upaya tersebut telah dimulai oleh Pusat Pembinaan Perpustakaan. (8) Badan korporasi. Dalam penentuan nama pengarang, dikenal juga bentuk kata utama untuk nama badan korporasi. Perubahan nama seperti departemen menyebabkan perubahan kata utamanya. Perhatikan, misalnya Departemen Transmigrasi yang berubah nama berkali-kali, bahkan pernah “turun pangkat” sampai tingkat Dirjen. Di sini dirasakan sebuah “authority list” bagi nama badan korporasi Indonesia. (9) Judul seragam. Bila sebuah karya muncul dalam berbagai judul maka perlu judul seragam atau konvensional untuk keperluan pengkatalogan untuk mengumpulkan semua edisi dari karya yang sama di bawah satu tajuk. Lazimnya judul seragam secara tradisi digunakan untuk kitab suci, kredo, karya litturgis dan karya klasik anonim. Judul seragam juga diperlukan untuk karya perundangundangan.
asumsi bahwa tahun tersebut merupakan mulainya pencetakan buku secara-besaran. Untuk Indonesia sudah saatnya memulai, paling sedikit untuk karya klasik yang dikenal di Indonesia. Contoh. Seribu Satu Malam. Bahasa Indonesia. Karya Keagamaan Pembuatan tajuk seragam untuk keagamaan sudah waktunya dilakukan, karena karya tersebut meningkat dalam jumlah cukup banyak. Perhatikan tajuk untuk m(a)esjid, Al Qur’an (ataukah AlQur’an, Al Quran). Contoh tajuk: Alkitab. Perjanjian baru. Injil Markus. Bahasa Indonesia. Gereja katolik. [Misa, Epfani. Bahasa Indonesia]
Karya Perundang-undangan. Untuk judul seragam sudah ada kesepakatan berdasarkan kerjasama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional), berupa judul seragam [Undang-undang, peraturan]. Itupun konon memerlukan waktu 12 tahun untuk mencapai kesepakatan. Contoh: Indonesia. {Undang-undang, peraturan dan sebagainya} Yang perlu dibuat lagi ialah tajuk untuk perjanjian. Misalnya Indonesia. [Perjanjian dan sebagainya. As, Juni 200]
3.2. Klasifikasi dan Tajuk Subjek a) Klasifikasi yang digunakan dalam Bibligrafi Nasional Indonesia tidak jelas batasannya, berapa angka sesudah titik (3 angka pertama). Kalau diperhatikan ada karya yang diberi notasi yang lebih panjang. Bagi Perpustakaan Nasional, notasi yang dihasilkan hendaknya serinci mungkin, lalu terserah pada masing-masing perpustakaan seberapa banyak notasi yang akan digunakan. b) Kekurang-cermatan dalam penentuan notasi. Ada karya yang kurang tepat sehingga menyulitkan pemakai. Misalnya untuk pelajaran Bahasa Jawa seharusnya 499.222 bukannya 419.22 (Bibliografi Nasional Indonesia Desember 1999,26). c) Tajuk subejk yang diberikan sangat sederhana sehingga timbul pertanyaan apakah daftar tajuk yang dibuat oleh Perpustakaan Nasional RI itu khusus didisain untuk perpustakaan sekolah, ataukah perpustakaan umum. ataukah perpustakaan perguruan tinggi. Kalau melihat penampilannya, jelas bukan untuk tingkat perpustakaan nasional. Sebuah sumber justru mengatakan kalau daftar tajuk subjek terbitan Perpustakaan Nasional justru tidak digunakan di lingkungan Perpustakaan Nasional RI sendiri!
Karya klasik anonim Untuk praktek di Eropa barat digunakan batas tahun 1500 (Wynar 1992, 280) dengan
3.3. KDT (Katalog Dalam Terbitan) Adalah ironis bahwa KDT yang memuat kesalahan mendasar, justru berasal dari Terbitan
3
VISI PUSTAKA Vol.2 No.2 – Desember 2000
Perpustakaan Nasional RI. Dalam ketentuan pengkatalogan, ada ketentuan bahwa materi yang berasal dari luar halaman harus ditulis di antara kurung siku, misalnya [kata pengantar oleh ……], justru pada terbitan Perpustakaan Nasional RI kesalahan tersebut banyak diulang. Perhatikan pada terbitan Perpustakaan Nasional, semua tambahan kata pengantar oleh Mastini Hardjaprakosa selalu ditambahkan tanpa tambahan tanda kurung pada hal di halaman judul kata tersebut tidak ada. 3.4. Hal lain (a) Dalam kode lokasi untuk perpustakaan perguruan tinggi digunakan kode UN. Seingat penulis dalam sebuah pertemuan pada awal 1990an, kode UN sudah diputuskan diganti dengan PT (Perguruan Tinggi) sesuai dengan kode jenis perpustakaan lain (PN-Perpustakaan Nasional atau tingkat nasional, PK untuk perpustakaan khusus, PU untuk perpustakaan umum, PD untuk perpustakaan daerah) di samping alasan bahwa perpustakaan universitas tidak selalu tepat karena ada
(b)
perpustakaan akademi, sekolah tinggi, institut yang kesemuanya lain dari universitas. Dalam INDOMARC ada ketentuan bahwa nama perpustakaan FISIP UI menjadi JKPTuisip bukannya JKUNINDfisip (12 dijit). Di sini perlu kerjasama antarbagian pengolahan dengan bagian yang mengembangkan INDOMARC di lingkungan Perpustakaan Nasional RI. Pada Bibliografi Nasional Indonesia yang terbit selama tahunan terdapat kesalahan fatal bagian Ikhtisar Kedua DDC. Pada notasi 130 tercetak Gereja Paranormal [huruf tebal dari penulis]. Bila editor memperhatikan maka 130 adalah Paranormal phenomena sehingga terjemahan yang benar adalah Gejala Paranormal [huruf tebal dari penulis]. Sungguh sebuah ketelodoran fatal yang diharap tidak terbaca oleh kelompok yang
VISI PUSTAKA Vol.2 No.2 – Desember 2000
(c)
tersinggung sehingga dapat menimbulkan protes masyarakat yang sebenarnya dapat dicegah asal editor lebih teliti. Jumlah entri yang dimuat. IKAPI dalam berbagai kesempatan mengemukakan bahwa setiap tahun di Indonesia terbit sekitar 5000-6000 judul baru, dan jumlah tersebut menurun menjadi 2000-3000 judul pada tahun 2000 ini (Kompas, Agustus 2000). Dari jumlah tersebut masih perlu ditambah dengan terbitan pemerintah yang mencakup lembaga negara, departemen, pemerintah daerah, perguruan tinggi sehingga sebenarnya jumlah cakupan per tahun diharapkan lebih dari 6000 entri. Sekilas saja dapat dikatakan jumlah tersebut rasanya belum tercapai di Bibliografi Nasional Indonesia. Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab: (c.1) UU Serah Simpan Karya Cetak, Karya Rekam belum berlaku sepenuhnya karena ketidakmauan atau kelalaian di pihak penerbit, dan ketidaktekunan di pihak Perpustakaan Nasional. Penerbit menganggap Undang-undang tersebut tidak perlu diikuti sepenuhnya, sedangkan Perpustakaan Nasional tidak menepati janjinya. Dahulu pernah ada janji Perpustakaan Nasioanl untuk mengirim Bibliografi Nasional Indonesia kepada penerbit atau siapa saja yang mengirimkan contoh terbitannya ke Perpustakaan Nasional. Sampai dengan bulan Juli 2000, janji tersebut tidak pernah dipatuhi. (c.2) Ada keterbatasan dana proyek. Mungkin proyek di lingkungan Perpustakaan Nasional RI hanya membatasi pemasukan data sisa akan dipindahkan ke entri sehingga bila datanya melewati pagu maka data sisa akan dipindahkan ke tahun anggaran berikutnya. Bila hal ini benar maka hal tersebut sangat disayangkan karena keberhasilan sebuah perpustakaan nasional antara lain tercantum seberapa jauhnya bibliografi nasional mampu mencatat seluruh terbitan sebuah negara. Walaupun angka perkiraan 4
buku baru kini (Juli 2000) diperkirakan hanya 2000 judul, bagaimanapun keduaribu judul itu masih dapat ditambah dengan terbitan pemerintah dan “grey literature” artinya dokumen dalam segala format yang tidak dapat diperoleh dari pasar bebas. 4. Saran Dari uraian di atas dapat dikemukakan berbagai saran perbaikan proses pengolahan materi perpustakaan di Perpustakaan Nasional RI sebagai berikut: (a) Pembentukan authority list nama pengarang Indonesia, meliputi pengarang perorangan, badan korporasi, tajuk seragam. Hal ini sudah dimulai oleh beberapa pihak misalnya Pusat Pembinaan Perpustakaan, Jaringan Perpustakaan APTIK. Sungguh pun demikian kesemua standar itu harus diperiksa ulang karena menurut ketentuan yang dikemukakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) maka standar harus diperbaiki setiap 5 tahun. Juga hendaknya diperhatikan agar kata utama ditulis sesuai dengan nama yang tercantum pada karyanya. (b) Perbaikan dalam KDT. Semua keterangan yang berasal dari luar halaman judul harus ditambah kurung siku. Demikian pula semua terbitan Perpustakaan Nasional RI hendaknya disesuaikan dengan peraturan, jangan asal ada sambutan Mastini Hardjaprakoso langsung ditambahkan KDT tanpa kurung siku. Notasi Klasifikasi juga diperbaiki. Contoh yang diambil secara acak. Buku Semiotika karangan Panoeti Sadjiman sebaiknya masuk kelas 400 karena Panoeti banyak bergerak di bidang bahasa bukannya bidang filsafat. (c) INDOMARC. Di Internet beberapa minggu yang lalu muncul diskusi tentang pelatihan MARC, oleh Perpustakaan Nasional RI atau di luar Perpustakaan Nasional RI. Diskusi mengenai perlunya pelatihan INDOMARC menunjukkan bukti bahwa INDOMARC masih belum banyak diketahui pustakawan praktisi, padahal praktek pemasukan data dengan format INDOMARC telah dilakukan di JIP FSUI mulai akhir tahun 1980an. Di segi lain sudah mulai dirasakan perlunya INDOMARC untuk multimedia, ini juga diperlukan untuk Perpustakaan Nasional RI karena multimedia sebagai karya rekam 5
termasuk ranah UU serah simpan KCKR. Katalogisasi atas bahan perpustakaan termasuk multimedia. Selama ini sudah banyak multimedia termasuk mikrofilm, CD ROM yang dihasilkan oleh berbagai badan korporasi Indonesia. Multimedia semacam itu belum atau jarang dicakup dalam Bibliografi Nasional Indonesia sehingga memerlukan persiapan di lingkungan Perpustakaan Nasional. Persiapan tersebut meliputi penyediaan SDM yang berkualifikasi memiliki ketrampilan. (d) Daftar Tajuk Subjek. Daftar Tajuk Subjek yang disusun oleh Perpustakaan Nasional RI sudah waktunya direvisi besar-besaran atau ditinggalkan, guna menyiapkan jalan bagi pembentukan daftar tajuk subjek yang mencerminkan bobot karya sebuah Perpustakaan Nasional. Daftar tajuk subjek yang ada sekarang ini tidak jelas tujuannya, apakah untuk keperluan perpustakaan umum, sekolah ataukah perguruan tinggi. Ada kesan bahwa tajuk subjek yang digunakan untuk Bibliografi Nasional Indonesia justru tidak menggunakan tajuk subjek buatan Perpustakaan Nasional RI sehingga timbul ironi bahwa karya sendiri tidak digunakan oleh lingkungan sendiri. Daftar tajuk subjek tidak digunakan oleh Bibliografi Nasional Indonesia mungkin karena cakupannya tidak luas, istilahnya tidak cocok: namun mungkin juga digunakan dengan tambahan tajuk subjek, namun tambahan tersebut tidak pernah disebarluaskan. Bila ingin membuat daftar tajuk baru yang mencerminkan karya sebuah perpustakaan nasional, maka sedikit banyak Library of Congress Subject Headings (LCSH) dapat digunakan sebagai dasar. Tindakan awal ialah memeriksa tajuk subjek pada entri Indonesia yang di LCSH cukup banyak. (e) Persiapan memasuki materi yang tersimpan di internet. Dengan berkembangnya internet maka sudah saatnya memikirkan deskripsi materi yang tersimpan di Web. Untuk keperluan tersebut diperlukan format lain seperti Dublin Core. (f) Peningkatan cakupan Bibliografi Nasional Indonesia. Data yang masuk dalam Bibliografi Nasional Indonesia lebih banyak dibatasi karena keterbatasan dana yang diasosiasikan dengan proyek. Bila kita mengingat fungsi Perpustakaan Nasional ialah mengumpulkan VISI PUSTAKA Vol.2 No.2 – Desember 2000
semua karya cetak dan rekam sebagai khzanah budaya bangsa, maka fungsi itu diwujudkan dalam cakupan Bibliografi Nasional Indonesia yang luas. Perpustakaan Nasional kembali ke khitahnya. Dengan demikian Perpustakaan Nasional RI tidak perlu repotrepot dengan berbagai kursus dan pelatihan penyetaraan yang hasilnya justru merendahkan martabat pustakawan. Bila dalam sebuah diskusi di Internet (
[email protected]) ada pertanyaan mengapa pustakawan pada loyo, itu tidak lain salah satu penyebabnya karena begitu mudah menjadi pustakawan sebagai profesi sementara di bidang lain tuntutan untuk memasuki profesi justru semakin diperketat. (g) Notasi Klasifikasi. Ada kesan bahwa pustakawan yang menjalankan klasifikasi kurang berani mencantumkan notasi yang panjang serta kurang luas pengetahuan umumnya. Bila mau dan mampu Perpustakaan Nasional RI dapat menghasilkan notasi yang panjang lalu terserah pada masing-masing pemakai untuk menggunakannya. Penggunaannya dapat panjang, dapat pendek, asal saja Perpustakaan Nasional RI sudah memberikan tandanya, misalnya hubungan politik Indonesia – AS diberi notasi 327.598073. Kalau dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI apostrof sebagai pembatas, jadi hasilnya ialah 327’598’0’73. Maka perpustakaan lain dapat menyalinnya, lalu seberapa panjang notasi yang akan digunakan terpulang pada garis haluan (policy) masing-masing perpustakaan. (h) Perlu garis haluan (policy) menyangkut pencantuman tahun di belakang tajuk entri utama. Apakah semua perlu diberi tahu meniru praktek di LC ataukah cukup untuk nama-nama yang sama. Misalnya nama Soeharto banyak ditemukan di Pusat Deposit Perpustakaan Nasional RI lalu diberi tanda pembeda berupa tahun kelahiran. Misalnya Soeharto, 1927Soeharto, 1918(i) Penyusunan peraturan deskripsi bibliografis. Apa yang dibuat oleh Pusat Pembinaan Perpustakaan yang kini diteruskan oleh Perpustakaan Nasional RI dijadikan satu dengan Standar Penentuan Tajuk Entri (SNI 001-1976) sehingga di Indonesia hanya ada satu peraturan deskripsi bibliografis untuk keseragaman serta kemudahan pertukaran data. Penyusunan pedoman tersebut VISI PUSTAKA Vol.2 No.2 – Desember 2000
menyertakan Ikatan Pustakawan Indonesia dan dunia akademis. Saran lain ialah: (1) Agar pustakawan di lingkungan pengolahan menambah pengetahuan mereka dengan banyak membaca. Dorongan untuk lebih banyak membaca harus berasal dari diri sendiri tidak boleh oleh dorongan luar. Rasanya percuma Perpustakaan Nasional RI menyelenggarakan seminar meningkatkan minat baca dengan mengundang orang dari luar, jikalau di kalangan pustakawan sendiri tidak ada usaha untuk meningkatkan diri dengan cara membaca. Juga mengundang pembicara dari luar, terlepas dari segi promosi dan keuntungan, menunjukkan rasa percaya diri yang rendah di kalangan pustakawan. (2) Meninggalkan praktek membuat deskripsi bibliografi dengan menggunakan akses judul sebagaimana tertera pada Informasi Buku Baru Koleksi Perpustakaan Nasional RI (Accession List). Praktek tersebut meninggalkan prinsip pendekatan pada pengarang yang telah dimulai 100 tahun yang lalu. Juga pada praktek entri pada judul hanya digunakan di perpustakaan khusus (setidak-tidaknya di BLLD atau kini The British Library Document Supply Centre) yang tidak untuk umum. Bilamana yang menggambarkan praktek tersebutkhususnya di Inggris, maka praktek tersebut tidak dianut oleh majoritas perpustakaan. 5. Apa yang harus segera dilakukan Berdasarkan uraian dan saran di atas maka tindakan yang harus segera dilakukan ialah: (1) Menyusun peraturan penentuan tajuk entri berdasarkan bahan perpustakaan yang ada dengan mempertimbangkan keputusan teknis menyangkut: (a) Penulisan nama pengarang, apakah tetap dalam bentuk sebenarnya ataukah sengaja ditulis dalam EYD. Sebaiknya kita 6
(2)
(3) (4) (5) (6)
menghormati pengarang dengan memperhatikan peranan pustakawan untuk mendidik pemakai. (b) Perbaikan pada nama pengarang yang berakhir dengan inisial atau singkatan; (c) Penentuan tajuk entri yang sederhana sehingga mengurangi pengecualian peraturan termasuk pengarang yang namanya dimulai dengan Bambang, Endang, Sri dan sebagainya. (d) Penentuan tajuk entri untuk judul seragam yang menyangkut perjanjian, karya keagamaan. Pembuatan authority list untuk nama Indonesia, mencakup nama perorangan, badan korporasi dan judul seragam untuk karya perundangundangan serta karya klasik. Pembuatan deskripsi bibliografi untuk multimedia. Persiapan deskripsi untuk materi yang tersimpan di Internet. Revisi INDOMARC yang meliputi multimedia dan materi yang tersimpan di Internet. Hal ini erat kaitannya dengan butir 3 dan 4. Panduan teknis menyangkut penggunaan DDC edisi 21.
6. Penutup Perpustakaan Nasional RI, dalam hal ini Pusat Deposit dan Pengembangan Bahan Pustaka [sic] telah mengeluarkan berbagai terbitan seperti Bibliografi Nasional Indonesia, Katalog Induk Nasional dan Informasi Buku Baru Koleksi Perpustakaan Nasional RI (Accession List). Setiap entri yang dimuat mencantumkan hampir semua komponen deskripsi bibliografi termasuk notasi DDC dan tajuk subjek serta KDT. Dalam
7
pengolahan tersebut terdapat beberapa kekeliruan yang diharapkan dapat diperbaiki sehingga hasil pengolahan tersebut dapat dipercaya agar diikuti oleh perpustakaan lain. Dengan mengikuti hasil pengolahan Perpustakaan Nasional RI termasuk KDTnya maka Perpustakaan Nasional RI secara tidak langsung telah melakukan salah satu fungsi yaitu pengembangan (dahulu pembinaan) pengkatalogan termasuk penentuan notasi klasifikasi dan tajuk subjek. Bibliografi
Anglo-American Cataloguing Rules 2nd ed., 1988 revisin. Chicago,II: American Libraries Association. Foskett, A.C. 1996. The subject approah to information. 5th ed. London Library Association Publishing. Heuken, A.,SJ.1989. Ensiklopedi populer tentang Gereja katolik di Indonesia. Edisi ke 3. Jakarta: Yayasan Cipta Loka. Standar deskripsi untuk monografi. 1982. Edisi ke 2, diperbaiki. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (SNI 025-1982). Standar penentuan tajuk entri utama.1981. Edisi ke 3 Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (SNI 001-1976) Sulistyo-Basuki. 2000. Pengantar ilmu perpustakaan dan informasi. Diktat. Taylor, Arlene G. 1999. The organization of information. Englewood, Col.:Libraries Unlimited Wynar, Bohdan S. 1992. Introduction to cataloging and classification. 8th ed. Arlene G. Taylor. Englewood, Col. : Libraries Unlimited.
VISI PUSTAKA Vol.2 No.2 – Desember 2000
Redaksi menerima kiriman naskah dalam bidang jaringan, informasi, kerjasama perpustakaan, dan komputasi. Maksimal karangan 5 halaman kuarto ketikan spasi ganda. Redaksi akan sangat menghargai jika pengiriman naskah disertai disket dalam format MS-word ukuran kertas A4. Redaksi menerima pemasangan iklan dengan harga menarik. Silakan berhubungan langsung dengan redaksi.
VISI PUSTAKA Vol.2 No.2 – Desember 2000
8