Topik Utama PENGHEMATAN BBM NASIONAL MELALUI KEBIJAKAN FUEL ECONOMY PADA SEKTOR OTOMOTIF Bono Pranoto, Harun Al Rasyid dan Hartono Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
[email protected] SARI Dengan harga minyak dunia yang telah menembus USD 100 per barel, pemerintah Indonesia semakin sulit mempertahankan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang ada saat ini. Berbagai alternatif telah diwacanakan oleh pemerintah untuk mengendalikan subsidi BBM termasuk skema pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil pribadi 1500 cc ke atas, kendaraan dinas dan taksi mewah. Langkah lain yang lebih ramah politik adalah penerapan standar fuel economy (FE). Kebijakan FE lebih efektif dibandingkan rencana pemerintah memberikan insentif pada mobil low cost and green car (LCGC) karena dengan tegas mengatur efisiensi kendaraan baru yang akan dipasarkan. Jika kendaraan baru tidak memenuhi FE maka kendaraan tersebut tidak boleh masuk ke pasar. Kebijakan ini juga tidak membuat pemerintah kehilangan potensi pendapatan dari pajak. Selain kebijakan FE, sosialisasi penggunaan kendaraan minim BBM dan labelisasi kendaraan juga perlu dipertimbangkan pemerintah. Kata kunci : fuel economy, otomotif, penghematan, labelisasi
1. PENDAHULUAN Rencana pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) selalu mengundang pro dan kontra. Kelompok yang pro umumnya menggunakan alasan prinsip ekonomi efisien dimana subsidi BBM diklaim telah mendistorsi pasar sehingga menimbulkan pemakaian yang boros dan membuat investasi infrastruktur energi oleh swasta tidak berkembang akibat pasar yang tidak kompetitif. Alokasi subsidi BBM juga mengurangi alokasi pendanaan yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan daerah tertinggal. FE adalah sebuah regulasi mengenai jumlah jarak minimum yang dapat ditempuh kendaraan setiap liter BBM.
14
Kelompok yang kontra pengurangan subsidi menggunakan dalih sosial untuk melindungi daya beli masyarakat miskin dan kemampuan industri dalam negeri. Proses industrialisasi yang dimulai pada akhir dekade 1960-an awalnya dimaksudkan untuk mengurangi output mix produk primer namun kini telah menimbulkan ketergantungan terhadap industri baik dalam hal konsumsi maupun sebagai sumber penghasilan. Berdasarkan fakta tersebut, pemerintah menyediakan subsidi BBM untuk menjaga kelangsungan industri. 1.1. Latar Belakang Harga BBM yang murah biasanya diberikan oleh negara berkembang ataupun negara yang
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama PDRB/kapita (ribu $) Produksi minyak (ratus ribu barel per hari) Konsumsi minyak (ratus ribu barel per hari) Harga solar (sen/lt) Harga bensin (sen/lt)
250 200 150 100 50 0
Gambar 1. Perbandingan harga BBM 2010 diberbagai negara berdasarkan indikator perekonomian (Sumber: GIZ (2011), BP (2011) dan WDI (2011) diolah
mempunyai produksi minyak lebih banyak daripada konsumsinya seperti Saudi Arabia, United Emirate Arab, Mexico, Malaysia, Syria dan Bangladesh sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1. Sementara negara yang lebih banyak mengkonsumsi minyak dibandingkan produksinya umumnya mempunyai harga BBM diatas harga BBM non subsidi minimum internasional yaitu harga retail BBM di Amerika Serikat sebesar 76 sen USD/L untuk bensin dan 84 sen USD/L untuk solar sebagaimana dirujuk oleh GIZ (2011). Negara yang masuk kelompok ini adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Inggris, Hong Kong, Korea Selatan, Brazil, China dan India. Harga solar Indonesia berada di posisi 18 terendah di dunia sementara harga bensin pada posisi 24 terendah namun 1 tingkat diatas Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena harga tersebut merupakan harga rata-rata dari harga premium dan pertamax sehingga sebenarnya posisi Indonesia 15 terendah bila hanya memperhitungkan harga premium yaitu sebesar 50 sen USD/L. Harga ini bahkan lebih rendah dibandingkan harga minyak mentah dunia yaitu 51 sen USD di 2010 sehingga Indonesia
dikategorikan sebagai negara dengan subsidi BBM sangat tinggi (GIZ, 2011). Pertimbangan lain dalam pemberian subsidi adalah kondisi perekonomian yang digambarkan oleh pendapatan domestik bruto per kapita (PDB/kapita). PDB/kapita biasa digunakan sebagai indikator perekonomian sebuah negara sehingga negara dengan PDB/kapita rendah cenderung memberi berbagai macam subsidi untuk meningkatkan produktivitas masyarakatnya. Namun kebijakan ini dikritik tidak tepat sasaran karena penerima langsung subsidi BBM adalah masyarakat yang mempunyai kendaraan yang bermotor yang identik dengan orang mampu (Kosmo, 1989; Krapels, 1985; Reddy, 1981; Birol dkk, 1995; Brown dan Yucel, 1999). Agustina dkk (2008) bahkan memberikan bukti empiris bahwa lebih dari 90% subsidi BBM di Indonesia dinikmati oleh orang bukan miskin dan bahkan 44% subsidi BBM dinikmati 10% orang terkaya sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.
Penghematan BBM Nasional Melalui Kebijakan Fuel Economy ...... ; Bono Pranoto, Harun AR, Hartono
15
Topik Utama
Gambar 2. Distribusi subsidi BBM ke tiap golongan masyarakat (Sumber: Agustina dkk, 2008)
Beberapa dampak negatif lain subsidi BBM yang telah diestimasi dalam berbagai penelitian adalah sebagai berikut : – Menyebabkan sifat boros BBM (Birol dkk, 1995; Morgan, 2007; Cologni dan Manera, 2008); – Menurunkan nilai tukar mata uang domestik (Birol dkk, 1995). Indonesia harus membeli BBM dari luar negeri (impor) sehingga kondisi fiskal Indonesia akan sangat bergantung pada harga internasional. Ketergantungan impor tersebut juga mempengaruhi neraca keuangan Indonesia (Brown dan Yucel, 1999); – Membebani pengeluaran negara (Birol dkk, 1995; Clements dkk, 2007); – Menghambat pembangunan infrastruktur listrik baru (Birol dkk, 1995; Mourougane, 2010) dan perkembangan teknologi energi baru terbarukan (Varangu dan Morgan, 2002); – Menimbulkan praktek korupsi dan penyelundupan (Clements dkk, 2007). Global Subsidies Initiative (2010) mengidentifikasi 6 area kecurangan yaitu pembayaran royalti yang lebih rendah,
16
–
pemberian lisensi ekstraksi migas, ketidakteraturan di BUMN migas, distribusi keuntungan KPS dan eksploitasi loopholes di skema subsidi baru. Berdasarkan data BPH Migas, penyelundupan BBM bersubsidi ke industri mencapai 10 - 15%; Mendorong peningkatan gas rumah kaca (Varangu dan Morgan, 2002).
Pemerintah bukannya tidak menyadari kesalahan konsep subsidi BBM tersebut namun pemerintah selalu ragu mengambil keputusan bila melihat dampak politik, sosial dan ekonomi yang mungkin timbul. Sebagaimana pada Gambar 2, kelompok yang paling menderita adalah kelompok berpenghasilan tinggi baik di kota dan di desa mengingat kelompok ini mengkonsumsi BBM lebih banyak. Adapun kelompok berpenghasilan rendah di desa sebagian besar hasil konsumsinya adalah komoditi pertanian yang harganya kurang sensitif terhadap harga BBM. Akan tetapi, kelompok miskin di kota juga menderita karena lebih banyak mengkonsumsi komoditi yang produksinya memerlukan BBM. Selain itu, kelompok ini biasanya bekerja di pabrik yang industri intensif energi (Clement dkk, 2007).
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama Dengan berbagai dampak yang mungkin timbul dari kenaikan harga BBM, kajian ini mencoba menawarkan alternatif kebijakan dalam membatasi konsumsi BBM di Indonesia yang mungkin lebih bisa diterima secara politik, sosial dan ekonomi. Salah satu alternatif kebijakan tersebut adalah fuel economy. 1.2. Dasar Hukum a. UU APBN terkait dengan alokasi subsidi bahan bakar minyak; b. UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi; Pasal 7 ayat 2: Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana subsidi untuk masyarakat tidak mampu. c. Undang-Undang No. 5/1984 Tentang Perindustrian; Pasal 9 butir 4: Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam. d. Undang-Undang No. 22/2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan; Pasal 48 ayat 3 butir (a): Persyaratan lain jalan ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurangkurangnya terdiri atas emisi gas buang. Pasal 210 ayat 1: Setiap kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan. Pasal 213 ayat 2 butir b: Pemerintah wajib merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi dan program pembangunan lalu lintas dan angkutan jalan yang ramah lingkungan. e. PP 70/2009 Tentang Konservasi Energi; Pasal 4 : Pemerintah bertanggung jawab secara nasional untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan, strategi dan program konservasi energi. Pasal 7: Pengusaha bertanggung jawab menghasilkan produk dan/atau jasa yang hemat energi.
f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 275/1999 Tentang Industri Kendaraan Bermotor; g. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 276/1999 Tentang Pendaftaran Tipe & Varian Kendaraan Bermotor; h. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 141/2003 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Dan Kendaraan Bermotor Yang Sedang Diproduksi (Current Production); i. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2009 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru; j. Keputusan Menteri Perhubungan No. 9/2004 Tentang Pengujian Tipe Kendaran Bermotor. 2. PELAKSANAAN FE DI BERBAGAI NEGARA Keekonomian bahan bakar (fuel economy/ FE) pada sistem transportasi adalah besarnya efisiensi dalam transportasi yang dinyatakan dalam satuan jarak tempuh per satuan unit bahan bakar seperti mile per gallon (mpg), kilometer per liter (km/L) ataupun konsumsi bahan bakar (L) per jarak tempuh 100 km (L/100km). Satuan mpg umum digunakan di Inggris, Amerika Serikat dan Jepang, sedangkan Korea, India, Pakistan, sebagian Afrika, Belanda, Denmark dan Amerika Latin menggunakan satuan km/L. Beberapa negara juga menyatakan FE dalam satuan emisi yaitu besarnya emisi CO2 yang keluar akibat proses pembakaran (gram) per jarak tempuh (CO2 g/km), atau per konsumsi bahan bakar (CO2 lb/gal). FE sebagai standar batasan efisiensi bahan bakar suatu kendaraan yang akan masuk kepasar pada tahun mulai diterapkan di Amerika Serikat sebagai respon oil shock pertama. Kebijakan ini kemudian dikembangkan di negara lain dengan mengintegrasikannya dengan isu lingkungan. Ketika terjadi embargo minyak oleh negara-negara timur tengah pada tahun 1973,
Penghematan BBM Nasional Melalui Kebijakan Fuel Economy ...... ; Bono Pranoto, Harun AR, Hartono
17
Topik Utama Amerika Serikat mengeluarkan standar keekonomian bahan bakar (corporate average fuel economy /CAFE) di tahun 1975 untuk menekan ketergantungan impor minyak. CAFE merupakan standar minimum efisiensi bahan bakar minyak yang berlaku pada tahun tertentu berdasarkan rata-rata penjualan mobil suatu produsen/importir. Hal ini merupakan fleksibilitas standar untuk mengakomodir adanya kebutuhan otomotif khusus misal mobil 4 wheel drive untuk lapangan yang konsumsi BBM nya tentu lebih besar dibandingkan dengan mobil perkotaan. CAFE kemudian diformulakan sebagai total efisiensi konsumsi bahan bakar minyak dibagi dengan total penjualan. Misal jika CAFE adalah 20 km/L maka produsen dapat menjual 1 unit mobil A dengan efisiensi 30 km/L dan 2 unit mobil B dengan efisiensi 15 km/L atau hanya produksi mobil A dalam jumlah tidak terbatas. Terjadi perdagangan antara produksi mobil A dan mobil B untuk tidak melanggar rata-rata efisiensi minimum Didasari dengan terbentuknya Protokol Kyoto pada 1997, pemerintah negara-negara Eropa membuat perjanjian kerja sama sukarela dengan produsen kendaraan untuk menerapkan standar CO 2 pada kendaraan berpenumpang. Pemerintah Jepang turut serta penerapan FE untuk kendaraan berpenumpang di tahun 1999 dan terus memperketat hingga kini. China mengadopsi FE pada tahun 2004 untuk diterapkan dinegaranya.
Pada tahun 2008, terjadi kenaikan Harga Minyak melonjak hingga > $140 / barrel, sehingga di 2009 Eropa menetapkan standar wajib (mandatory) CO 2 kepada para produsen kendaraan. Pada tahun yang sama Korea pun menetapkan FE digabungkan dengan Standar Emisi untuk kendaraan berpenumpang. Pada 2010 Amerika melakukan hal yang sama. Tabel 1 merupakan daftar negara/ wilayah yang telah menerapkan FE ataupun standar emisi kendaraan yang baru dibuat dan akan beredar di negaranya. Beberapa negara telah mewajibkan pelaksanaan FE namun pelaksanaan di Eropa, Kanada dan Australia masih bersifat sukarela. Metoda uji yang digunakan dalam pelaksanaannya adalah U.S. CAFE, New European Drive Cycle (NEDC), and Japan 1015 Cycle (An, F, 2009). Satuan yang digunakan di tiap negara berbedabeda namun perbedaan tersebut dapat disamakan sebagaimana pada Gambar 3. Dari perbandingan di Gambar 3, terlihat bahwa Jepang dan Uni Eropa menetapkan nilai FE yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya yaitu 5,5 L/100 km atau 18,2 km/L di 2012. FE paling longgar justru di negara yang memulai FE yaitu Amerika Serikat dengan nilai 9 L/ 100 km atau 11,1 km/ L. Walaupun begitu, semua negara tersebut mempunyai komitmen untuk terus meningkatkan FE khususnya Uni Eropa yang telah siap dengan teknologi mobil hybrid.
Tabel 1. Negara pengguna fuel economy dan standar emisi
Negara/wilayah Amerika Eropa Jepang China California Canada Australia Korea Selatan
18
Jenis BBM CO2 BBM BBM GHG BBM BBM BBM
Unit mpg g/km km/L L/100 km g/mile L/100 km L/100 km km/L
Target Mobil, Truk Kecil Kendaraan ringan Kendaraan Berat Kendaraan Berat Mobil/LDT1 dan LDT2 Mobil dan truk kecil Kendaraan ringan Ukuran mesin
Metoda Uji U.S.CAFE EU NEDC Japan 10-15 EU NEDC U.S. CAFE U.S. CAFE EU NEDC U.S. CAFE
Implementasi Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Sukarela Sukarela Wajib
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama
Gambar 1. Perbandingan FE dalam satuan liter per 100 km (L/100km) dengan standar NEDC (Sumber: German 2010)
3. TANTANGAN PENERAPAN FE Kebijakan FE bukannya tanpa kontroversi, setidaknya ada NRC (2002) dan Portney dkk (2003) yang mengkritik inefisiensi kebijakan ini. Manfaat kebijakan ini dirasakan membutuhkan waktu yang lama dan mempunyai kerusakan lingkungan yang lebih besar. Kenaikan harga BBM mempunyai dampak seketika mengurangi kebutuhan berpergian sehingga konsumsi BBM akan turun demikian juga emisi yang dikeluarkan kendaraan. Sebaliknya, standar FE mempunyai kemungkinan justru menambah kebutuhan berpergian karena biaya operasional telah menjadi lebih murah sehingga penurunan total pemakaian BBM (net reduction) dipertanyakan. Akan tetapi, Hughes dkk (2006), Goldberg (1998), Kleit (2004), Austin dan Dinan (2005), dan Parry dkk (2005) membantah kemungkinan ini bahkan menyatakan kebijakan ini lebih ramah secara politik. Clerides dan Zachariadis (2008) bahkan
membandingkan kebijakan FE dengan kebijakan kenaikkan harga BBM menggunakan metoda time series dan unbalanced panel data di 5 negara/ region pada periode 1975 - 2003 dan menyimpulkan belum ada kebijakan lain yang lebih baik dibandingkan FE. 4. STRATEGI PENERAPAN FE DI INDONESIA Latar belakang FE di Amerika Serikat dan Uni Eropa mempunyai tujuan awal yang berbeda. Amerika Serikat memiliki tujuan awal untuk mengantisipasi ketergantungan minyak dari timur tengah, sedangkan Uni Eropa memiliki tujuan mengantisipasi perubahan iklim global. Akan tetapi kedua tujuan tersebut sama-sama mengarah menuju efisiensi bahan bakar. Jika Indonesia ingin menjadikan ambang batas emisi menjadi batasan FE, maka bisa mengadopsi apa yang telah dilakukan Uni Eropa dengan
Penghematan BBM Nasional Melalui Kebijakan Fuel Economy ...... ; Bono Pranoto, Harun AR, Hartono
19
Topik Utama membuat Peta Jalan target emisi kendaraan baru yang harus dicapai pada tahun tertentu. Pengujian emisi dapat mengadopsi siklus NEDC milik Eropa atau siklus Japan 10-15 dengan memperhatikan kondisi dan perilaku pengemudi Indonesia. Seperti halnya Uni Eropa sebelum menerapkan FE, Indonesia telah memiliki beberapa peraturan yang terkait dengan penggunaan bahan bakar pada kendaraan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pada pasal 210 menyatakan setiap kendaraan yang beroperasi di jalan wajib melakukan uji emisi. Peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 tahun 2009, merevisi Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 141 tahun 2003 tentang nilai ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru, menyatakan nilai ambang emisi dengan batas pengelompokan kendaraan berdasarkan tipe kendaraan, besarnya silinder mesin (kendaraan tipe L), bobot kendaraan (kendaraan tipe M,N,O) dan jenis bahan bakar. Parameter emisi yang diukur adalah banyaknya kandungan CO, HC dan Nox dalam satuan gram/km dengan metoda uji Economic Comission for Europe (ECE). Namun, Permen LH No.4 tahun 2009 tersebut tidak mengatur insentif dan sanksi kepada produsen otomotif yang berhasil/ melanggar aturan emisi tersebut. Sanksi justru diatur oleh Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 namun obyek yang diatur adalah konsumen/ pemilik kendaraan bukan produsen kendaraan. Karena besarnya emisi berbanding lurus dengan konsumsi bahan bakar, maka langkah pengaturan emisi pada kendaraan baru juga merupakan salah satu langkah penghematan bahan bakar. Walaupun besarnya penghematan hanya sebatas memenuhi batasan aman terhadap lingkungan saja dan tidak bertujuan langsung terhadap penghematan bahan bakar secara nasional. Nilai ambang batas emisi yang ditetapkan di Indonesia hanya untuk nilai CO, HC dan Nox saja,
20
padahal senyawa yang berpengaruh besar pada pemanasan global adalah senyawa CO2. Jika standar emisi gas buang ini akan dijadikan acuan standar FE Indonesia maka batasan parameternya harus ditambahkan senyawa CO2 didalam aturannya agar bisa mengacu pada standar-standar FE yang berlaku secara internasional. Akan tetapi, FE di Indonesia sebaiknya sebagai upaya untuk menurunkan konsumsi BBM mengingat penurunan emisi sektor transportasi tidak sebesar emisi yang ditimbulkan dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Dalam jangka panjang, Indonesia akan menikmati manfaat dari FE tersebut sebagaimana yang telah dinikmati negara-negara yang telah melakukannya. Kebijakan FE setara dengan kenaikan harga BBM sebesar 44% harga saat ini (Clerides dan Zachariadis, 2008). Penerapan FE sejak 1975 telah membuat produsen otomotif lebih kreatif untuk meningkatkan efisiensi bahan. Pada Gambar 4, selama 1980-1985, produsen berhasil mendesain kendaraan dengan konsumsi bahan bakar lebih hemat sebesar 28 mpg untuk kendaraan berpenumpang dan 21 mpg untuk truk ringan. 5. REKOMENDASI 5.1. Standar FE Yang Digunakan Penerapan FE di Indonesia sebaiknya mengacu FE Jepang dan Korea yang menggunakan satuan km/ Liter. Namun, hal tersebut tentu membutuhkan kesepakatan dengan para produsen otomotif di Indonesia. Selain penggunaan unit satuan tersebut, nilai antara FE di kedua negara tersebut dapat digunakan sebagai FE Indonesia mengingat mobil yang banyak beredar di Indonesia sekarang merupakan teknologi Jepang dan Korea. Pada Gambar 5, konsumsi BBM kendaraan di Indonesia, yaitu rata-rata 12 km/liter, telah melewati FE Amerika Serikat walaupun masih banyak kendaraan yang dibawah FE Jepang.
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama
Gambar 4. Standar CAFE dan konsumsi bahan bakar. (Sumber: An, F. 2009)
Kebijakan FE lebih baik daripada rencana pemerintah untuk memberi insentif pada low cost and green car (LCGC). Insentif yang direncanakan yaitu pembebasan tarif masuk peralatan, bahan baku dan kendaraan serta penurunan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) diharapkan mampu membuat LCGC lebih murah dan lebih dipilih daripada kendaraan lain. Kebijakan ini perlu dianalisis lebih lanjut mengenai efektivitasnya dalam menurunkan konsumsi BBM di masyarakat. Sebagai mobil dengan biaya bahan bakar rendah, umumnya mobil LCGC mempunyai harga yang murah. Sebagai contoh pada Gambar 5, beberapa mobil murah dengan FE tinggi adalah Vios 06, Picanto, Panther LS 2001, New Picanto, Jazz dan Innova Diesel. Insentif akan membuat harga mobil lebih murah sehingga permintaan mobil akan tinggi yang berarti meningkatkan kebutuhan BBM. Rencana ini bertolak belakang dengan kebijakan penurunan konsumsi BBM dan dorongan penggunaan transportasi masal. Kebijakan FE lebih efektif karena dengan tegas mengatur efisiensi kendaraan baru yang akan dipasarkan.
Jika kendaraan baru tidak memenuhi Standar FE maka kendaraan tersebut tidak boleh masuk ke pasar. Kebijakan ini juga tidak membuat pemerintah kehilangan potensi pendapatan dari pajak. 5.2. Pengembangan Kendaraan Minim BBM Penggunaan kendaraan yang mengkonsumsi minim BBM akan mempercepat langkah langkah penghematan BBM. Penerapan FE akan mendorong produsen otomotif untuk mengembangkan kendaraan yang berbasis minim BBM atau non BBM, misalnya mobil yang berbahan bakar gas, mobil hybrid dan mobil listrik. a. Kendaraan berbahan bakar gas Skema penggunaan kendaraan berbahan bakar gas tengah dirancang oleh pemerintah. Target yang dikejar adalah pada tahun 2014, secara umum kendaraan sudah menggunakan bahan bakar gas. Kementerian Perindustrian telah meminta
Penghematan BBM Nasional Melalui Kebijakan Fuel Economy ...... ; Bono Pranoto, Harun AR, Hartono
21
Km/Liter
22 (Sumber: GAIKINDO diolah)
Gambar 5. Perbandingan FE di berbagai negara dengan konsumsi BBM kendaraan di Indonesia
Topik Utama
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama kepada para produsen kendaraan untuk membuat mobil baru berbahan bakar gas (BBG). Pemerintah juga berusaha untuk mengimpor 5 - 10% converter kit dari total kebutuhan 2,5 juta unit untuk memulai program konversi BBM ke BBG di tahun 2012
mesin BBM. Penyebabnya adalah kinerja baterai yang belum handal dan mahal. Pajak masuk completely built up (CBU) mobil hybrid yang juga masih sangat besar yaitu 40% ditambah pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sebesar 20%-75%.
Infrastruktur yang harus disiapkan oleh pemerintah adalah pembangunan SPBG. Saat ini, Kementerian ESDM sudah menandatangani kerja sama pengembangan gas untuk transportasi dengan pemda se-Jabodetabek, Banten, Gresik, Sidoarjo, Surabaya, dan Palembang. Dengan adanya kerja sama tersebut, diharapkan penyediaan SPBG dapat dipercepat. Salah satu kendala dalam pembangunan SPBG adalah perijinan yang membutuhkan waktu lama. Untuk mendirikan sebuah SPBG di Jakarta, pengusaha harus mengurus 17 jenis perizinan sementara jumlah konsumen tidak sebesar BBM.
c. Kendaraan Listrik Mobil listrik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan mobil berbahan bakar minyak. Beberapa kelebihan tersebut adalah : – Bebas emisi pembakaran bahan bakar di kendaraan sehingga lebih ramah lingkungan. – Lebih hemat energi dengan efisiensi keseluruhan sebesar 48 % sedangkan efisiensi mobil berbahan bakar minyak hanya 25%. – Mesin mobil sangat halus sehingga tidak menyebabkan polusi suara. – Keamanan dan keselamatan lebih baik karena tidak melibatkan BBM yang mudah terbakar atau meledak jika menabrak sesuatu. – Sangat kompak dan nyaman. – Biaya pemeliharaan lebih rendah karena hanya memiliki sekitar 5 bagian di motornya. Mobil berbahan bakar minyak mempunyai ratusan komponen dalam mesin pembakaran internal.
b. Kendaraan Hybrid Mobil hybrid merupakan kendaraan dengan dua sumber energi, yakni BBM dan listrik. Sebagaimana di lokomotif kereta api diesel, mesin BBM memutar generator yang mengisi baterai yang kemudian listrik dari baterai memutar motor listrik penggerak roda. Mesin bensin atau diesel bisa diatur bekerja pada range putaran dengan efisiensi hemat bahan bakar tertinggi. Akan tetapi, sistem ini memerlukan baterai yang banyak dengan berat sekitar 180 kg dan ruangan penyimpan baterai yang luas. Alternatifnya adalah kendaraan hybrid elektrik paralel, dimana mesin BBM dan motor listrik bekerja bergantian. Salah satu contoh yang sudah dipasarkan di Indonesia adalah Toyota Prius. Dengan sistem kontrol elektronik, mesin BBM bekerja bila diperlukan beban yang tinggi dan motor listrik bekerja ketika lonjakan beban relatif tidak besar. Teknologi lain adalah hybrid menggunakan fuel cell turunan teknologi ruang angkasa sebagai generator hydrogen untuk menghasilkan listrik. Sayangnya, kendaraan hybrid masih mahal dibandingkan kendaraan dengan
Mobil listrik yang ideal adalah bila mobil sepenuhnya menggunakan energi listrik (mobil listrik plug-in). Mobil listrik plug-in ini punya 2 sumber energi yaitu pertama dihubungkan dengan jaringan kabel, seperti trem jaman dulu. Teknologi ini membuat kendaraan listrik tidak bebas bergerak. Cara lain, agar lebih bebas bergerak, adalah mobil listrik dilengkapi baterai untuk menggerakan motor listrik pemutar roda. Kelemahan teknologi ini adalah harga baterai yang masih mahal dan tidak tahan lama sebagaimana yang terjadi pada mobil hybrid. Akselerasi mobil listrik belum sebaik mobil biasa dan jangkauan jelajahnya masih terlalu pendek yaitu sekitar 150 mile tanpa isi baterai.
Penghematan BBM Nasional Melalui Kebijakan Fuel Economy ...... ; Bono Pranoto, Harun AR, Hartono
23
Topik Utama Teknologi mobil listrik membutuhkan infrastruktur pelayanan charging di jalan untuk mengantisipasi baterai mobil habis. Charging baterai membutuhkan waktu 8 jam namun bisa dipercepat menjadi 1/2 jam dengan alat charger khusus walaupun hal ini akan memperpendek umur baterai. Penelitian teknologi baterai saat ini mencapai tahap kapasitor ultra berkapasitas besar. Teknologi ini tidak hanya menyimpan energi lebih besar untuk waktu jelajah yang lebih lama namun juga untuk tarikan mobil listrik agar bisa berakselerasi baik. Penelitian baterai juga difokuskan agar baterai dapat di isi ulang dengan waktu charging 40 sampai 100 kali lebih cepat tanpa merusak baterai. 5.3. Labelisasi Energi Peralatan Otomotif Labelisasi kendaraan dan komponen kendaraan lain merupakan alternatif lain dalam penghematan BBM di otomotif. a. Labelisasi Kendaraan Kendaraan baru ataupun yang sudah ada dipasaran perlu dilakukan labelisasi berupa informasi mengenai level konsumsi BBM dan tingkat emisinya. Label ini memberikan informasi yang komprehensif kepada konsumen mengenai efisiensi kendaraan serta manfaat ekonomi dan lingkungan yang
didapat. Labelisasi bisa berupa stiker sebagaimana yang telah dilakukan di Eropa ataupun mengikuti label di Amerika sebagaimana pada Gambar 6. Sebagai bagian dari penerapan CAFE, pemerintah Amerika Serikat memberi informasi yang jelas mengenai seberapa hemat mobil yang diperdagangkan melalui labelisasi fuel economy and environment. Sebagai contoh adalah kendaraan hybrid (plug-in hybrid vehicle electricity - gasoline) mempunyai FE 38 mpg dengan estimasi biaya BBM $ 900 per tahun sementara kendaraan bensin (gasoline vehicle) mempunyai FE 26 mpg dengan estimasi biaya BBM $ 2.150 per tahun. b. Labelisasi Kaca Film Salah satu cara mengurangi konsumsi BBM adalah dengan memasang kaca film. Pemasangan kaca film yang baik dapat menyaring panas matahari sehingga beban kerja penyejuk udara atau AC berkurang ketika mendinginkan ruang kabin mobil. Pengurangan beban kerja AC berarti semakin sedikit energi yang dibutuhkan AC. Efektifitas kaca film diestimasi mampu menghemat sekitar 3% pengunaan BBM. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan labelisasi kaca film yang beredar dan membuat regulasi yang mengatur penggunaan kaca film.
Gamber 6. Label CAFE di Amerika Serikat (Sumber : http://www.nhtsa.gov/fuel-economy)
24
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama c. Labelisasi Ban Kendaraan Saat kendaraan mulai bergerak dibutuhkan gaya untuk memutar roda dan yang pada kecepatan konstan disebut dengan gaya rolling resistance. Semakin besar gaya yang dibutuhkan maka semakin besar konsumsi BBM suatu kendaraan. Beberapa ban kendaraan telah didesain untuk memiliki nilai rolling resistance yang kecil sehingga ketegangan pada mesin berkurang. Labelisasi ban terkait nilai rolling resistance merupakan kebijakan alternatif lain yang perlu dilakukan pemerintah untuk penghematan BBM. Sebagaimana label pada mobil dan kaca film, labelisasi ban akan menjadi informasi yang baik bagi masyarakat dalam memilih ban yang hemat energi dan aman. 5.4. Perilaku Berkendara yang Hemat Energi Penghematan BBM pada kendaraan bukan hanya tanggung jawab pemerintah namun juga tanggung jawab masyarakat yang harus menyisakan energi bagi generasi penerus. Penghematan tersebut dapat dilakukan melalui perilaku berkendara yang baik, diantaranya adalah : a. Saat mengendarai kendaraan, usahakan membatasi kecepatan kendaraan rata-rata 60 km/ jam. b. Memeriksa tekanan angin ban sesuai ketentuan pabrikan. Jika tekanan angin pada ban kurang atau di bawah standar yang disarankan oleh pabrik, maka konsumsi BBM akan lebih boros hingga 15%. c. Jangan membawa beban atau barang berlebihan. Bila terlalu banyak muatan, mobil akan berat sehingga kerja mesin menjadi lebih berat dan membutuhkan lebih banyak BBM. d. Kebiasaan memanaskan mesin mobil atau motor perlu dibatasi tidak lebih dari 3 menit. Setelah itu, mobil atau motor dijalankan secara perlahan dengan kecepatan konstan. e. Bila mobil berhenti lebih dari 5 menit, baik di tepi jalan atau saat di traffic light, sebaiknya mesin mobil dimatikan.
6. PENUTUP Kenaikan harga BBM dengan kisaran Rp 1.000, - Rp 1.500,- per liter merupakan pilihan yang didukung oleh para ekonom dibandingkan alternatif lain yang telah diwacanakan pemerintah. Hanya saja kebijakan ini memerlukan program kompensasi untuk mengurangi berbagai dampak negatif yang timbul. Program kompensasi dan transparansi perhitungan subsidi perlu disosialisasikan kepada masyarakat secara terus menerus agar masyarakat memahami manfaat pengalihan subsidi BBM ke program lain yang lebih tepat sasaran. Pengurangan subsidi BBM perlu dilihat dalam bentuk sebuah langkah untuk meningkatkan perekonomian atas biaya golongan yang mampu membeli BBM dan dengan mencegah pemborosan BBM akibat harga yang murah. Pengurangan subsidi BBM jangka panjang yang dapat diterima secara sosial dan politik adalah penerapan standar fuel economy (FE) yaitu standar minimum efisiensi bahan bakar sebuah kendaraan. Langkah ini telah sukses dilakukan di 9 negara dan telah teruji efektivitasnya dalam menurunkan konsumsi BBM dari skenario business as usual negara tersebut. Untuk kendaraan yang sudah beredar, labelisasi peralatan otomotif merupakan langkah yang baik untuk menginformasikan ke masyarakat mengenai pilihan peralatan yang hemat konsumsi BBM. Substitusi penggunaan BBM ke non BBM untuk sumber energinya juga harus dipersiapkan agar masyarakat memiliki banyak pilihan kendaraan yang hemat BBM. DAFTAR PUSTAKA An, F, and Sauer, A. 2004. Comparison Of Passenger Vehicle Fuel Economy and Greenhouse Gas Emission Standards Around the World. Pew Center on Global Climate Change Reports. United States An, F. 2009. Global Overview on Vehicle Fuel Economy and Emission Standards. Expert Group Meeting on Transport for Sustainable Development. United States.
Penghematan BBM Nasional Melalui Kebijakan Fuel Economy ...... ; Bono Pranoto, Harun AR, Hartono
25
Topik Utama Agustina, C., Arze del Granado, J., Bulman, T., Fengler, W. & Ikhsan, M. 2008. Black hole or black gold? The impact of oil and gas prices on Indonesia's public finances. World Bank Policy Research Working Paper, No. 4718. Washington. D.C.: World Bank. Austin, D., and Dinan, T. 2005. Clearing the air: the costs and consequences of higher CAFE standards and increased gasoline taxes. Environmental Economics 50, 562 582. Beaton, C., and Lontoh, L. 2010. Lessons learned from Indonesia's attempts to reform fossil-fuel subsidies. Geneva: Global Subsidies Initiative. International Institute for Sustainable Development, Manitoba Birol F., Aleagha, A.V., and Ferroukhi, R. 1995. The economic impact of subsidy phase out in oil exporting developing countries: a case study of Algeria, Iran and Nigeria. Energy Policy Vol. 23, No. 3, 209 - 215. Brown, S.P.A., and Yucel, M.K. 1999. Oil prices and U.S. aggregate economic activity: a question of neutrality. Federal Reserve Bank of Dallas Economic and Financial Review (Second Quarter), 16 - 23. BP Statistical Review of World Energy. 2011. London. Clement, B., Jung, H-S., and Gupta, S. 2007. Real and distributive effects of petroleum price liberalization: The case of Indonesia. The Developing Economies, 45(2), 220237. Clerides, S., and Zachariadis, T. 2008. The effect of standards and fuel prices on automobile fuel economy: an international analysis. Energy Economics 30, 2657 - 2672. Cologni, A., and Manera, M. 2008. Oil prices, inflation and interest rates in a structural cointegrated VAR model for G-7 countries. Energy Economics 30, 856 - 888. Fiszbein, A. & Schad, N. 2009. Conditional Cash Transfers: Reducing present and future poverty. Policy Research Report. Washington, D.C. World Bank.
26
German, J. 2010. Global Passenger Vehicle Fuel Economy and CO 2 Standards. The International Council on Clean Transportation. GIZ. 2011. International fuel price 2010/2011. Global Subsidies Initiative. 2010. Corruption and fraud in agricultural and energy subsidies: Identifying the key issues. Policy Brief. Geneva: Global Subsidies Initiative of the International Institute for Sustainable Development, Manitoba. Goldberg, P. 1998. The effects of the corporate average fuel efficiency standards in the US. Journal of Industrial Economics, XLVI, 1-33. Hastuti, Toyamah, N., Usman, S., Sulaksono, B., Budiyati, S., Widyanti, W. D. 2006. A rapid appraisal of the implementation of the 2005 Direct Cash Transfer Program in Indonesia: A case study in five Kabupaten/Kota. SMERU Research Report. Jakarta ISBN 979-3872-18-7. Hughes, J.E., Knittel, C.R., and Sperling, D., 2006. Evidence of a shift in the short-run price elasticity of gasoline demand. NBER Working Paper 12530. National Bureau of Economic Research, Cambridge, MA. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru. Jakarta. Kleit, A.N. 2004. Impacts of long-range increases in the fuel economy (CAFE) standard. Econ. Inq. 42, 279-294. Kojima, M. 2009. Government response to oil price volatility: Experience of 49 developing countries. Extractive Industries for Development Series #10. Washington, D.C: World Bank. Kosmo, M. 1989. Commercial energy subsidies in developing countries: opportunity to reform. Energy Policy Vol. 17, No. 3, 244 253.
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama Krapels, E. 1985. Fuel for the engine of growth: oil pricing in developing countries. Reports for USAID, Washington, DC. Morgan, T. 2007. Energy subsidies: their magnitude, how they affect energy investment and greenhouse gas emissions, and prospect for reform. Menecon Consulting. Mourougane, A. 2010. Phasing out energy subsidies in Indonesia. OECD Economics Department Working Paper No. 808. Paris: OECD. NRC. 2002. Effectiveness and Impact of Corporate Average Fuel Economy (CAFE) Standards. National Research Council.
Portney, R. Ian W.H. Parry, Howard K. Gruenspecht, and Winston Harrington. 2003. The Economic of Fuel Economic Standards. Discussion Paper. RFF DP 0344. Reddy, A.A. 1981. Strategy for solving India's oil crisis. Current Science, January. US Department of Energy. Fuel Economy Guide Model Year 2011. www.fueleconomy.gov Varangu, K., and Morgan, T. 2002. Defining and measuring environmentally-harmful subsidies in the energy sector. OECD. World Development Indicators (WDI). 2011. World Bank Statistics.
Parry, I.W.H., Fischer, C., and Harrington, W. 2005. Do market failure justify tightening corporate average fuel economy (CAFE) standards?. Resource for The Future, Washington, DC.
Penghematan BBM Nasional Melalui Kebijakan Fuel Economy ...... ; Bono Pranoto, Harun AR, Hartono
27