PENGGUNAAN NEMATISIDA NABATI UNTUK PENGENDALIAN NEMATODA Meloidogyne. spp. Oleh Umiati,SP
1. PENDAHULUAN Nematoda puru akar Meloidogyne sp., merupakan salah satu jenis nematoda endoparasit yang penting di dunia. Nematoda ini bersifat parasit obligat dan tersebar luas baik pada daerah yang beriklim tropis maupun pada daerah yang beriklim subtropis. Nematoda ini memiliki kisaran inang yang luas, bersifat polifag dan menyerang lebih dari 2000 spesies tumbuhan (Sastrahidayat,1990). Tanaman yang terkena infeksi oleh Meloidogyne ini akan lebih rentan terinfeksi jamur maupun bakteri penyebab penyakit. Menurut Dropkin (1988), Meloidogyne dan Heterodera dapat mengurangi penambatan nitrogen melalui simbiosis dengan bakteri. Selain itu tanaman yang terserang nematoda tidak mampu membentuk kanopi dan gulma seringkali tumbuh lebih subur.
Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan
diantaranya pengaturan pola tanam, penggunaan varietas unggul, penggunaan tanaman perangkap, solarisasi tanah, pemanfaatan agen pengendali hayati, sampai dengan penggunaan pestisida (nematisida). Tetapi dewasa ini permintaan masyarakat akan produk pertanian yang aman dikonsumsi terus meningkat. Masyarakat menyadari akan bahaya residu yang ditinggalkan oleh pestisida sintetik pada produk pertanian yang mereka konsumsi. Oleh sebab itu pertanian organik yang ramah lingkungan merupakan pilihan yang tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar akan produk pertanian tersebut. Akan tetapi peranan pestisida sangat sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat pertanian di Indonesia. Pestisida selain praktis, juga dinilai sangat efektif dalam mengendalikan hama serta penyakit. Serta hasilnya dapat dilihat dalam kurun waktu yang singkat apabila dibandingkan dengan teknik pengendalian yang lain. Maka pestisida nabati dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengendalian. Penggunaan pestisida nabati diharapkan dapat dilakukan secara tradisional yaitu perendaman, pencelupan, penempatan bahan nabati pada tanaman. Cara tradisional tersebut marupakan cara yang mudah dan murah untuk dapat diterapkan oleh petani (Dalmadiyo ,1989). Menurut Hamid (1992), di Indonesia tercatat 50 suku tumbuhan penghasil racun, berpotensi sebagai pestisida nabati, sedangkan 250 suku lainnya belum pernah dilaporkan. Diantaranya adalah tanaman gadung (Dioscorea.sp.), biji Crotalaria (Crotalaria anagyroides) dan biji bengkuang (Pachyrhizus erosus).
Tanaman gadung Dioscorea sp., dikenal memiliki kandungan racun
saporin yang dapat mematikan kutu manusia juga ternyata dapat juga mematikan nematoda (Anonymous, 1993).
2. KLASIFIKASI NEMATODA Menurut Agrios (1997), Meloidogyne sp., dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kerajaan
: Animalia,
Phylum
: Nematoda,
Ordo
: Tylenchida,
Famili
: Heteroderidae,
Genus
: Meloidogyne
3. MORFOLOGI NEMATODA Menurut Dropkin (1988), nematoda betina berwarna transparan, berbentuk seperti botol bersifat endoparasit yang tidak terpisah (sedentary).
Panjangnya lebih dari 0,5 mm dan
lebarnya antara 0,3 - 0,4 mm. Stiletnya lemah, panjang stliet 12-15 μm, melengkung kearah dorsal. Memiliki pangkal knop yang jelas. Nematoda betina dewasa mempunyai leher pendek dan tanpa ekor. Memiliki pola yang jelas pada situasi yang terdapat di sekitar vulva dan anus disebut pola perineal yang dapat dipergunakan untuk identifikasi jenis.
Nematoda jantan
dewasa berbentuk memanjang bergerak lambat di dalam tanah. Panjangnya bervariasi maksimum 2 mm, sedangkan perbandingan antara panjang tubuh dan lebarnya mendekati 45. Kepalanya tidak berlekuk, panjang\stiletnya hampir dua kali panjang stilet betina. Bagian posterior berputar 180ºmemiliki 1-2 testis. Nematoda Meloidogyne sp disajikan pada Gambar.1.
Gambar1. Nematoda Puru Akar Meloidogyne sp.(Fatma D, 2011)
4. BIOEKOLOGI NEMATODA Pada umumnya Meloidogyne sp., berkembang biak secara partenogenetik dengan fase telur yang terdiri dari 4 stadium larva dan dewasa. Pergantian kulit pertama kali terjadi didalam telur, sedangkan tiga pergantian berikutnya terjadi di dalam jaringan tanaman (Sastrahidayat, 1990). Pada fase hidup bebas, larva stadium kedua infektif melakukan migrasi melalui tanah untuk menemukan akar tanaman yang sesuai, kecuali kalau telur-telur dihasilkan didalam puru
atau didalam umbi tanaman, dimana saat larva telah menetas dan berpindah ke sisi makanan yang lain tanpa harus muncul ke atas permukaan tanah (Franklin dalam Southey, 1982). Larva masuk ke dalam jaringan tanaman dan bergerak ke arah silinder pusat, seringkali berada di daerah pertumbuhan akar samping. Di daerah dekat silinder pusat tersebut larva menetap dan menyebabkan
perubahan
sel-sel
yang
menjadi
makanannya.
Larva
selanjutnya
menggelembung dan melakukan pergantian kulit untuk kedua dan ketiga kalinya tanpa makan, Selanjutnya larva akan menjadi jantan dewasa atau betina dewasa. Penentuan jenis kelamin ini ditentukan oleh faktor lingkungan. Pada kondisi tertekan atau stres misalnya kepadatan tinggi dan suhu tinggi, cadangan makanan sedikit atau ketidaksesuaian tanaman inang maka presentase jantan lebih besar. Nematoda jantan akan lebih banyak terbentuk jika akar terserang berat dan zat makanan tidak mencukupi untuk perkembangan nematoda (Dropkin, 1991). Nematoda jantan berbentuk memanjang di dalam kutikula stadium larva ke empat selanjutnya keluar dari jaringan akar. Sedangkan nematoda betina masih berada di dalam jaringan tanaman dengan bagian posterior tubuhnya berada pada permukaaan akar. Nematoda betina tersebut terus menerus menghasilkan telur selama siklus hidupnya, kadang-kadang mencapai jumlah lebih dari 1000 telur (Dropkin, 1991). Ciri khas dari nematoda betina adalah tubuhnya yang berubah bentuk menjadi seperti buah persik (Sastrahidayat, 1990). Lamanya siklus hidup dari telur hingga dewasa berlangsung tiga minggu sampai beberapa bulan, tergantung kepada kondisi lingkungan dan tumbuhan inangnya (Sastrahidayat, 1990). Dari telur hingga menjadi larva instar kedua berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Di Filipina pada suhu 25ºC sampai 29ºC Meloidogyne incognita memerlukan waktu 15 hari untuk bertelur setelah inokulasi dari larva stadia kedua pada tanaman tomat. Tetapi umumnya M. incognita memproduksi massa telur setelah inokulasi dalam waktu 18 sampai 20 hari. Pada temperatur antara 22ºC sampai 26ºC sejumlah besar larva Meloidogyne sp, memasuki perakaran dalam waktu 24 jam dan menetap di dalam posisi memakan antara 2 atau 3 hari. Tubuh berkembang sekitar 6 hari setelah masuk dan perbedaan jenis kelamin tampak setelah 12 hari. Pergantian kulit kedua dalam waktu 18 hari diikuti dengan pergantian kulit ketiga dan ke empat antara 18 sampai 24 hari. Nematoda betina tumbuh dengan cepat antara hari ke 24 sampai hari ke 30. Massa telur tampak setelah hari ke 27 sampai hari ke 30. telur–telur ini mulai tersimpan pada hari ke 30 sampai pada hari ke 40 (Taylor dan Sasser,1978). Menurut Taylor dan Sasser (1978), menyatakan bahwa dari hasil observasi lapang menunjukan adanya nematoda betina yang terus-menerus menghasilkan telur selama dua sampai tiga bulan tanpa kawin dan terus hidup untuk beberapa waktu lamanya setelah berhenti menghasilkan telur. Tingkatan oksigen yang rendah disekitar akar tanaman dapat menurunkan pertumbuhan dan daya reproduksi
nematoda. Menurut hasil penelitian Mulyadi dan Triman (1997) menunjukan bahwa pengenangan terus-menerus pada tanaman padi dapat menurunkan populasi Meloidogyne graminicola dan jumlah puru akar yang akibat serangan nematoda tersebut. Hal ini terjadi karena jumlah oksigen yang tersedia dalam tanah berkurang. 5.
GADUNG (Dioscorea hispida Dennst.)
5.1. Deskripsi : Herba memanjat dengan sistem perakaran berserabut. Umbi membulat, kadangkala agak memanjang, kuning pucat sampai abu-abu cerah; daging putih sampai kuning jeruk. Batang memanjat melingkar ke kiri, biasanya berduri, kekuningan setelah kering. Daun beranak daun 3, berbulu halus; helaian daun tengah menjorong-melonjong, helaian daun lateral berukuran tidak sama, anak tangkai daun panjang sampai 1 cm. Perbungaan jantan berbentuk bulir. Perbungaan betina soliter, aksiler. Buah kapsul, berkayu, berukuran besar, berwarna seperi madu, bersayap 3. Biji bersayap. 5.2. Morfologi Gadung Tanaman Gadung merupakan hibitus merambat yang panjangnya mencapai 10 m. Batangnya bulat, berkayu, permukaan licin, berduri, membentuk umbi.
Umbinya berbentuk
bulat dan diliputi oleh rambut akar yang besar dan kaku, kulit umbi berwarna gading atau coklat muda. Daging umbinya berwarna putih gading atau kuning. Umbinya muncul dekat permukaan tanah, daun majemuk, menjari, 25 anak daun tiga dan memiliki tepi yang rata, ujungnya meruncing dengan pangkal yang tumpul, permukan kasap, panjang 20-25 cm, lebar 7-11,5 cm, berwarna hijau, bunga majemuk, bulir terletak diketiak daun, kelopak berbentuk corong, mahkota kuning serta benang sari enam dan berwarna kuning. Diameter sekitar 1,0 cm dan berwarna coklat. Akar serabut gadung dapat tumbuh hampir disetiap tempat pada ketinggian 1800 m dari permukaan laut. Perbanyakan dapat dilakukan dengan pemotongan umbi atau stek batang (Kardian,2001).
5.3. Kandungan Bahan Aktif Gadung Umbi gadung mengandung senyawa alkoloid dioskorin, yaitu suatu subtansi yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen dan seringkali bersifat toksik (Kardian, 2001). Natawigena (1999) mengatakan bahwa dioscorin bekerja menganggu sistem syaraf pusat,
terutama
berpengaruh
terhadap parasimpatomimetik
(aktifitas susunan
syaraf
parasimpatik). Gadung mengandung senyawa racun berbahaya asam sianida (HCN) yang
dapat menyebabkan keracunan bahkan dapat mematikan. Asam sianida dalam gadung dapat berbentuk bebas sebagai asam sianida (HCN) atau berbentuk terikat sebagai prekursornya. Asam sianida disebut juga asam biru karena dalam jumlah banyak tampak kebiru-biruan dikenal sebagai asam prusik, yang timbul saat jaringan umbi gadung dirusak misal dikupas atau diiris (Kurnia, 2002). Racun yang terdapat pada umbi gadung berupa alkoloid yang bersifat racun yaitu diascorin diosgenin. Dengan adanya dua jenis racun yang terdapat dalam umbi gadung ini dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan (Effendy, 2001).
Diascorin (C13H19O2N)
merupakan alkoloid yang berwarna kuning kehijauan, higroskopis, terasa pait, mudah larut dalam air, etanol, dan klorofrom, tetapi sukar larut dalam etter dan benzen (Effendy, 2001). Diosgenin (C26H40O3) adalah suatu sapogin hasil hidrolisis dioskin berupa kristal berbentuk jarum pipih yang tidak berbau, rasanya pahit, mudah larut dalam alkohol, bensol dan pelarut lainnya (Effendy, 2001). Cara kerja ekstrak umbi gadung adalah sebagai : 1. Penghambat aktivitas makan (antifeedant) 2. Menghambat pembentukan telur 5.4. Pembuatan dan Aplikasi Ekstrak Umbi Gadung ½ kg umbi gadung ditumbuk/diblender sampai halus. Lalu disaring dengan kain halus. Tambahkan 10 liter air. Aduk hingga merata. Semprot pada seluruh bagian tanaman yang terserang pada pagi atau sore hari
Gambar 1 a. Tumbuhan gadung, b. Daun gadung (Dioscorea hispida)
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Menurut Ratih Ayuningtyas (2008), dari hasil uji kepekaan ekstrak biji bengkuang, biji clotalaria dan ekstrak umbi gadung diketahui bahwa Larva instar II nematoda puru akar
Meloidogyne sp peka terhadap ekstrak biji clotalaria, biji bengkuang, umbi gadung. Pengujian ekstrak biji bengkuang, ekstrak biji clotalaria, dan ekstrak umbi gadung terhadap kepekaan larva instar II Meloidogyne sp. tersebut telah teramati selama 48 jam setelah perlakuan. Hasil pengamatan menunjukan bahwa ekstrak biji clotalaria, biji bengkuang, dan umbi gadung dengan berbagai konsentrasi efektif terhadap kematian larva instar II. Meloidogyne sp. dengan memasukan larva instar II Meloidogyne sp. Perlakuan yang dilakukan yaitu 100 ekor Meloidogyne sp kedalam cawan petri yang di isi 20 ml ekstrak, yang telah dibiarkan selama 24 jam dengan konsentrasi masing-masing 6 gr/L, 12 g/L, 18 gr/L, 24 gr/L, 30 gr/L. Tiap Perlakuan diulang 5 kali. Pada pengamatan 3 jam setelah perlakuan telah terdapat 50% kematian larva instar II Meloidogyne sp. yaitu pada perlakuan ekstrak biji clotalaria. Hal ini terjadi diduga karena senyawa racun yang terkandung pada ekstrak biji clotalaria,biji bengkuang, dan ekstrak umbi gadung banyak dikonsumsi oleh larva instar II Meloidogyne sp. Pada pengamatan dibawah mikroskop menunjukan adanya pengaruh dari ekstrak biji bengkuang, biji clotalaria dan umbi gadung terhadap prilaku larva instar II Meloidogyne sp. Larva instar II Meloidogyne sp bergerak lebih aktif karena adanya kontak dengan bahan aktif ekstrak biji bengkuang, biji clotalaria dan umbi gadung, setelah beberapa lama gerak larva instar II lambat dan akhirnya mati. Hal ini sesuai dengan Dropkin (1991). 6.2. Saran Uji kepekaan di atas hanya berkisar skala laboratorium saja, sehingga perlu adanya pengujian lebih lanjut di lapang. DAFTAR PUSTAKA Dropkin, V. H. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Edisi Kedua Effendy, T. A. 2001. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Umbi Gadung TerhadapPertumbuhan dan Mortalitas Plutella xylostella dalam Proseding Seminar Nasional tentang Penelitian. Bogor. Fatma Dyaswari, 2011. Nematoda/Aschelminthes.fatmadyaswari.blogspot.com. Kardian, A.2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi.PT Penebar Swadaya.Jakarta. Hal 4449 Mulyadi dan B. Triman. 1997. Pengaruh Pengenangan dan Pengeringan terhadap Populasi dan Siklus Hidup Nematoda Puru Akar Padi (M. grminicola). Jurnal Perlindungan TanamaIndonesia. Jurusan HPT. FP UGM. Yogyakarta. Ratih Ayuningtyas, 2008. Kepekaan Nematoda Puru Akar (Meloidogyne sp.) terhadap Ekstrak Umbi Gadung (Dioscorea hispida), Biji Orok-Orok (Clotalaria anagyroides), dan Biji Bengkuang (Pachyrhizus erosus). Universitas Brawijaya Malang Sastrahihayat, I. R. 1990. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Hal 201-237. Taylor, A. l. and J. N. Sasser. 1978. Biology Identification on Control of Root Knot Nematodes (Meloidogyne spp.). Dept. of Pathology N. C. Releigh.111p.