PENGGUNAAN BEBERAPA JENIS SITOKININ TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS DAN PERTUMBUHAN BINAHONG (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) SECARA IN VITRO
ROFADIA KHAIRUNISA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PENGGUNAAN BEBERAPA JENIS SITOKININ TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS DAN PERTUMBUHAN BINAHONG (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) SECARA IN VITRO
ROFADIA KHAIRUNISA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ROFADIA KHAIRUNISA. Penggunaan Beberapa Jenis Sitokinin Terhadap Multiplikasi Tunas dan Pertumbuhan Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) secara In Vitro. Dibimbing oleh EDHI SANDRA dan SYOFI ROSMALAWATI. Keanekaragaman hayati Indonesia menempati urutan ketiga di dunia yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan serta obat-obatan. Pemanfaatan tumbuhan obat di dalam negeri cenderung mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengkonsumsi obat alam. Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) merupakan salah satu tumbuhan obat yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku obat. Tumbuhan ini bermanfaat bagi masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit, sehingga mendorong para peneliti untuk mengkaji bahan bioaktifnya. Pengkajian bahan bioaktif juga harus diiringi dengan penelitian perbanyakannya yang dapat menggunakan teknik kultur jaringan. Penggunaan beberapa jenis sitokinin tunggal dengan berbagai konsentrasi diharapkan dapat berpengaruh terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan binahong, sehingga kelestarian tanaman ini dapat terjaga. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yaitu percobaan 1 mengamati pengaruh perlakuan sterilisasi terhadap tingkat kontaminasi, pencoklatan dan kematian, sedangkan percobaan 2 mengamati pengaruh media perlakuan berbagai jenis sitokinin (AdSO4, BAP, kinetin dan thidiazuron) dengan konsentrasi yang berbeda (0,50; 1,00; 1,50; dan 2,00) mg/l terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan binahong. Pada percobaan 2 disusun menggunakan metode statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 ulangan. Parameter yang diamati meliputi jumlah tunas (tunas adventif dan tunas lateral), penambahan tinggi, jumlah daun, jumlah akar dan pembentukan kalus. Pada perlakuan sterilisasi dapat diketahui bahwa pemberian alkohol 70 % selama 3 menit menghasilkan persentase keberhasilan sterilisasi tertinggi (92,76%), sedangkan persentase keberhasilan terendah terjadi pada perlakuan sterilisasi kontrol yaitu 46,99 %. Multiplikasi tunas dan pertumbuhan mulai terlihat pada 1 MST. Pada penelitian ini menghasilkan dua jenis tunas yaitu tunas adventif dan lateral. Rata-rata jumlah tunas terbanyak dihasilkan pada perlakuan kinetin 1,50 mg/l (2,10 tunas adeventif) dan BAP 1,50 mg/l (3,90 tunas lateral). Pada media kontrol tidak menghasilkan tunas adventif dan tunas lateral. Media MS yang telah ditambah kinetin 0,5 mg/l menunjukkan rata-rata penambahan tinggi dan jumlah daun yang terbaik yaitu 4,33 cm dan 4,70 helai. Pada setiap perlakuan dapat terlihat adanya pembentukan akar dengan jumlah akar terbanyak dihasilkan pada media kontrol (8,80 akar). Kalus terbentuk pada sebagian besar ekplan yang ditanam pada media perlakuan kecuali pada media AdSO4 (0,50; 1,00; dan 2,00 mg/l) serta media kontrol. Kesimpulan dari penelitian ini penambahan berbagai jenis sitokinin dengan berbagai konsentrasi yang berbeda dalam media MS berpengaruh sangat nyata terhadap parameter yang diamati. Kata kunci : Binahong, multiplikasi, pertumbuhan, sitokinin, in vitro.
SUMMARY ROFADIA KHAIRUNISA. Application of Various Cytokinin in Shoot Multiplication and Growth of Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) through In Vitro. Under Supervision EDHI SANDRA and SYOFI ROSMALAWATI. Biological diversity in Indonesia occupied third place in the world that using to fulfill needs of basic necessities and supply of medicines. Utilization of medicinal plant in domestic region become larger in a row with improvement of people awareness to consumed natural medicines. Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) is one of medicinal plant that have a potention to expand as medicine basic commodity. It also useful to treat any diseases and motivated some researchers to examine their bioactive substances. This examination also need research about multiplication using tissue culture technique. Application various of single cytokinin in different concentration is expected able to influenced shoot multiplication and growth of binahong to keep this plant preservation. The research consist of two experiments that first experiment is monitoring effect of sterilization treatment to contamination level, browning and death. Whereas second experiment is monitoring about the effect media treatment in various of cytokinin (AdSO4, BAP, kinetin and thidiazuron) with different concentration (0,50; 1,00; 1,50; and 2,00) mg/l to shoot multiplication and growth of binahong. In second experiment compiled using RAL statistic method with 10 repetations. Parameters are shoot amount (adventif and lateral shoot), height increment, leaf amount, root amount and callus process. In sterilization treatment shows addition of 70 % alcohol during 3 minutes gived highest success percentage (92,76 %). Lowest success percentage happend in control sterilization treatment (46,99 %). Shoot multiplication and growth of binahong shows in 1 MST. This research produced two various of shoots which is adventif shoot ang lateral shoot. Average great amount of shoots produced by 1,50 mg/l kinetin treatment (2,10 adventif shoot) and 1,50 mg/l BAP (3,90 lateral shoot). Control media not produced both of shoots. MS media with addition 0,50 mg/l kinetin showed average height increment and the best amount of leaves are 4,33 cm and 4,70 sheet. In every treatment shows root formation with greatest number produced by control media (8,80 roots). Callus formed in great part of explants that planted in treatment media except in AdSO4 (0,50; 1,00; and 2,00) mg/l and control media. Conclusion of this research is addition various of cytokinin with different concentration in MS media have obvious influental to the parameters. Key words : Binahong, multiplication, growth, cytokinin, in vitro
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penggunaan Beberapa Jenis Sitokinin Terhadap Multiplikasi Tunas dan Pertumbuhan Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) secara In Vitro adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2009
Rofadia Khairunisa NRP E34104025
Judul Penelitian
Nama NIM
: Penggunaan Beberapa Jenis Sitokinin Terhadap Multiplikasi Tunas dan Pertumbuhan Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) secara In Vitro : Rofadia Khairunisa : E34104025
Menyetujui: Komisi Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Edhi Sandra, M.Si NIP. 132 055 229
Syofi Rosmalawati, S.Si M.Agr Sc NIP. 680 003 727
Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian dengan judul Penggunaan Beberapa Jenis Sitokinin Terhadap Multiplikasi Tunas dan Pertumbuhan Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) secara In vitro ini telah dilakukan pada bulan Juni 2008 sampai Januari 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa jenis sitokinin (AdSO4, BAP, kinetin, dan thidiazuron) dengan tingkat konsentrasi yang berbeda terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan binahong secara kultur in vitro. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak, ibu, kakak, dan adik-adik tercinta, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Ir. Edhi Sandra, M.Si dan ibu Syofi Rosmalawati, S.Si M.Agr Sc selaku pembimbing. Selain itu penghargaan penulis disampaikan pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Nadirman Haska, M.S dan Bapak Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc selaku pihak Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Serpong yang telah menyediakan tempat untuk melakukan penelitian serta Ibu Indah Sulistyorini, S.P dan Dwi Rizkyanto U.,Amd yang telah membantu selama penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendal, Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1985 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Ashari dan Ibu Hj. Sariyati. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1990 di TK Bustanul Atfal Kaliwungu, kemudian melanjutkan ke SD N Kutoharjo 02 pada tahun 1992. Pada tahun 1998 penulis diterima di Mts PPMI As-salaam Solo, kemudian melanjutkan ke SMU N 01 Kendal pada tahun 2001. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Forum Komunikasi mahasiswa Bahurekso Kendal (Fokma Bahurekso Kendal), Ikatan Mahasiswa Alumni As-salaam (IKMAS), anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (Himakova), dan Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM-UKF). Kegiatan yang pernah diikuti penulis selama menjadi mahasiswa terdiri dari panitia penerimaan mahasiswa baru (MPKMB) 2005, Eksplorasi bunga Raflesia oleh KPF HIMAKOVA di Gunung Salak 2005, Panitia Bina Desa 2005 di Cihidieung ilir, Pelatihan Kultur Jaringan 2005, Panitia UKF EXPO 2006, dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) HIMAKOVA 2007 di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan. Praktek yang diikuti penulis terdiri dari Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di BKPH Cilacap, Purwokerto dan Getas Jawa Timur tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) Lampung Barat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian karya ilmiah yang berjudul Penggunaan Beberapa Jenis Sitokinin Terhadap Multiplikasi Tunas dan Pertumbuhan Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) secara In Vitro dibawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Syofi Rosmalawati, S.Si M.Agr Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan yang mulia ini, dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Ayahanda Ashari dan Ibunda Sariyati serta saudara-saudaraku (Mbak ika, Dek Zuvi dan Dek Zuma) atas doa, kasih sayang, dan motivasi yang telah diberikan dan tak pernah henti.
2.
Bapak Ir Edhi Sandra, M.Si dan ibu Syofi Rosmalawati, S.Si M.Agr Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan dukungan selama penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi.
3.
Ibu Drs Sri Rahayu, M.Si dan Bapak Effendi Tri Bahtiar, S.Hut M.Si yang telah bersedia menjadi dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan, atas saran dan arahannya.
4.
Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staf di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Khususnya Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
5.
Bapak Prof. Dr. Ir. Nadirman Haska, M.S dan Bapak Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.S yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong.
6.
Kepada seluruh pihak Balai Pengkajian Bioteknologi BBPT Serpong : Ibu Juwartina Ida Royani, S.Si, Mas Yusuf, Mbak Sulis, Mas Dwi R, Mas Dwi H, Mas Roni, Mbak Intan, Mas Hendrik, Mas Wahyu, Mas Arif, Bu Tati, Bu Em, Bu Irni, Bu Koes, Bu Hayat, Mas Sarman, Mas Devit, Mas Andi, Mbak Yanti, Pak Pram, Pak Wahyu, Bang Adin, Bu Mul, Pak Rusmanto, Mas Iat, Pak Yayan, Pak Erwin, Bang Kubil, Mas Dian dan yang lainnya.
7.
Teman dalam suka dan duka selama penelitian (Citra, Dhenny, Oki, Tice, Lastri, Juli, dan Mas Eko). Kita harus tetap bersemangat!!!
8.
Ana, Maria dan seseorang yang telah menjadi tempat curahan segala keluhan dan kesenanganku, terimakasih atas segala perhatian, doa serta dukungan yang telah diberikan selama ini.
9.
Para penghuni Nusa Kambangan (tikul, mao, capunk, dan to2 chan) terima kasih atas berbagai kisah yang telah dilalui bersama hehehe... tak lupa turut serta bapak-bapak rumah tangga di IC yang senantiasa memberikan bantuan jika dibutuhkan.
10. Tim PKLP di BBTNBBS (Aan, Dwi, Cita, Nira, Ari, dan Okta) dan Tim P3H D’ Solehah di Getas, (Fahmi, Elvira, Nining, Maya, Adon, Rizki, Albi, Mustian, dan Trisna) di Baturaden-Cilacap 11. Keluarga Besar Ksh 41 tanpa terkecuali, terimakasih telah mengisi lembaran kisah persahabatan yang BEDA. Smoga kita dapat berjumpa lagi (20022020). 12. Seluruh rekan-rekan UKM UKF IPB atas ilmu dan pengalaman. Selamatkan Fauna Indonesia! 13. Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya hingga terselesaikannya skripsi ini.
Bogor, Februari 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. i DAFTAR TABEL .........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Tujuan ....................................................................................... 1.3 Hipotesa .................................................................................... 1.4 Manfaat .....................................................................................
1 1 3 3 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1 Gambaran Umum Binahong .................................................... 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi .............................................. 2.1.2 Penyebaran dan Habitat .................................................. 2.1.3 Kandungan dan Kegunaan .............................................. 2.1.4 Perbanyakan .................................................................... 2.2 Kultur Jaringan ........................................................................ 2.2.1 Persiapan Eksplan ........................................................... 2.2.2 Perbanyakan Kultur dan Multiplikasi ............................. 2.2.3 Pembentukan Plantlet ...................................................... 2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kultur Jaringan .......
4 4 4 5 5 6 6 7 8 11 12
BAB III METODE PENELITIAN................................................................. 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................... 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................... 3.2.1 Alat .................................................................................. 3.2.2 Bahan .............................................................................. 3.3 Metode Kerja ............................................................................ 3.3.1 Sterilisasi ......................................................................... 3.3.2 Pembuatan Media ........................................................... 3.3.3 Penanaman ...................................................................... 3.4 Pengamatan ............................................................................... 3.5 Analisis Data .............................................................................
13 13 13 13 13 14 14 15 16 16 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 4.1 Persentase Eksplan Steril .......................................................... 4.2 Multiplikasi dan Pertumbuhan Binahong .................................. 4.2.1 Multiplikasi Tunas Binahong .......................................... 4.2.2 Pertambahan Tinggi Tanaman ........................................ 4.2.3 Jumlah Daun ................................................................... 4.2.4 Jumlah akar .....................................................................
20 20 23 24 30 32 35
4.2.5 Kalus ...............................................................................
38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 5.1 Kesimpulan ............................................................................... 5.2 Saran .........................................................................................
41 41 41
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
42
LAMPIRAN .................................................................................................
46
DAFTAR TABEL No. 1.
Halaman Beberapa bahan sterilisasi yang umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan ........................................................................................
8
2.
Pemberian perlakuan sterilisasi pada eksplan binahong ........................
14
3.
Tingkat keberhasilan sterilisasi dengan empat perlakuan yang berbeda pada eksplan binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) ................
20
Rekapitulasi sidik ragam penggunaan beberapa jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda pada eksplan binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) .........................................................................................
24
Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah tunas adeventif tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) .....................................................................
25
Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah tunas lateral tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) ..............................................................................
27
Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata pertambahan tinggi tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) ..............................................................................
30
Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah daun tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST)...............................................................................
33
Jumlah dan persentase eksplan binahong berakar dalam berbagai media perlakuan pada akhir pengamatan (8 MST) ................................
36
10. Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah akar tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) ..................................................................................................
36
4.
5.
6.
7.
8.
9.
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) .....................................
4
2.
Tanaman binahong hasil sterilisasi .......................................................
20
3.
Eksplan binahong yang terkontaminasi oleh (A) jamur, (B) bakteri ......
21
4.
Eksplan binahong yang mengalami (A) pencoklatan atau browning, (B) kematian ............................................................................................
23
5.
Tunas adventif (kiri) dan tunas lateral (kanan) .......................................
25
6.
Grafik rata-rata jumlah tunas adventif pada tanaman binahong yang terbentuk tiap minggu ............................................................................
27
Grafik rata-rata jumlah tunas lateral pada tanaman binahong yang terbentuk tiap minggu ............................................................................
28
Pembentukan tunas adventif dan tunas lateral tanaman binahong pada perlakuan BAP 1,50 mg/l saat eksplan berumur 3 MST (kiri) dan 7 MST (kanan) ...........................................................................................
29
Rata-rata pertambahan tinggi tanaman binahong tiap minggu pada berbagai perlakuan .................................................................................
31
7. 8.
9.
10. Rata-rata jumlah daun binahong tiap minggu pada berbagai perlakuan
33
11. Daun rontok pada minggu ke empat ......................................................
34
12. Akar dan bulu-bulu akar yang terbentuk pada eksplan binahong ..........
35
13. Rata-rata jumlah akar binahong tiap minggu pada berbagai perlakuan .
37
14. Jumlah eksplan setiap perlakuan yang membentuk kalus ......................
38
15. Pembentukan kalus pada bagian pangkal eksplan binahong .................
39
16. Pembentukan tunas yang berasal dari eksplan berkalus ........................
40
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Susunan kimia zat pengatur tumbuh ......................................................
47
2.
Komposisi media MS (Murashige & Skoog)..........................................
48
3.
Rata-rata pertumbuhan yaitu jumlah tunas, pertambahan tinggi, jumlah daun, dan jumlah akar ............................................................................
49
4.
Hasil analisis sidik ragam ......................................................................
52
5.
Kondisi tanaman binahong pada akhir pengamatan (8 MST) ................
55
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati Indonesia yang meliputi flora dan fauna menepati urutan ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Hernani dan Djauhariyah 2004).
Keanekaragaman hayati ini dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Jenis tumbuhan obat yang terdapat di ekosistem alami Indonesia berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan yang telah berhasil diidentifikasi dan diinventarisasi tidak kurang dari 1845 jenis tumbuhan obat (Zuhud 1997 dalam Zuhud 2003), sehingga Indonesia mempunyai potensi untuk mengembangkan industri obat-obatan yang berasal dari tumbuhan. Plasma nutfah tumbuhan mempunyai fungsi dan peranan penting bagi kehidupan dan penghidupan manusia di muka bumi. Berkat adanya plasma nutfah inilah dapat diperoleh bibit-bibit unggul. Pemanfaatan tumbuhan obat di dalam negeri cenderung mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengkonsumsi obat alam dalam pengobatan berbagai jenis penyakit. WHO (World Health Organization)
menyatakan
bahwa
sekitar
80%
penduduk
dunia
telah
memanfaatkan tumbuhan obat (herbal medicine) untuk pemeliharaan kesehatan primernya (WHO 2003 dalam Balitro 2006). Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan tanaman obat dikarenakan obat-obatan yang berasal dari tanaman diyakini kurang memberikan efek samping dibandingkan dengan obatobat sintetik. Selain itu keuntungan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk memperoleh bahan bakunya yang dapat ditanam di pekarangan, murah dan dapat diramu sendiri. Seiring dengan hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan pencarian sumber tanaman obat. Permintaan akan bahan baku tanaman obat yang beragam dipengaruhi oleh berbagai jenis penyakit yang diderita. Menurut Mertens (2000) dalam Balitro (2006) sampai tahun 2010 diperkirakan tanaman obat yang diminati oleh masyarakat yaitu yang berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mengobati penyakit kanker, penyakit degeneratif, infeksi dan meningkatkan vitalitas tubuh. Sekitar 80% pasokan bahan baku industri obat tradisional masih
mengandalkan hasil pemanenan dari hutan atau habitat alami, sisanya dipasok dari hasil budi daya secara tradisional, yang pada umumnya sebagai usaha sampingan. (Proyek Pengelolaan dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan dan Fakultas Kehutanan IPB 2001 dalam Balitro 2006). Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] v. Steenis) merupakan salah satu tumbuhan obat yang dimiliki Indonesia dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku obat, karena tumbuhan ini bermanfaat bagi masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit antara lain diabetes, analgesik, pembengkakan sendi-sendi, diare dan memar (PROSEA 2003). Adanya manfaat yang beragam tersebut mendorong para ahli untuk melakukan penelitian yang terkait dengan bahan bioaktif binahong. Tetapi sebagian besar penelitian yang dilakukan lebih kepada peningkatan manfaat binahong untuk mengobati penyakit sedangkan penelitian yang berkaitan dengan teknik perbanyakan masih jarang dilakukan. Semakin banyak manfaat yang dirasakan maka semakin meningkat kebutuhan akan bahan baku obat yang diperlukan. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus dapat mengancam kelestarian binahong. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai perbanyakan atau budidaya tumbuhan obat secara ex situ. Kelestarian binahong dapat terjaga jika dilakukan upaya budidaya baik secara ex vitro maupun in vitro. Perbanyakan secara in vitro melalui teknik kultur jaringan merupakan cara yang tepat untuk melakukan upaya konservasi binahong sehingga
dapat
memenuhi
kebutuhan
bahan
baku
tanpa
mengancam
kelestariannya di alam karena melalui metode kultur in vitro akan diperoleh tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat dan akan menghasilkan tanaman baru yang seragam (Gunawan 1992). Selain itu dengan teknik mikropropagasi juga telah dikembangkan dan digunakan untuk beberapa tanaman obat karena multiplikasinya lebih cepat. Regenerasi tanaman dengan teknik kultur jaringan ini terbukti menghasilkan kandungan senyawa aktifnya sama dengan tanaman induknya (Radji 2005). Pada metode kultur jaringan pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) penting untuk memacu pertumbuhan eksplan. Fungsi ZPT dalam kultur in vitro adalah untuk memacu pertumbuhan tunas dan pengakaran. ZPT yang paling sering digunakan adalah auksin dan sitokinin (Gunawan 1992). Beberapa jenis
sitokinin yang digunakan dalam kultur in vitro dapat berpengaruh terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan tanaman, diantaranya AdSO4, BAP, kinetin dan thidiazuron. Pada penelitian tanaman anis (Pimpinella anisum L) pemberian BAP dalam media kultur dapat memacu pertumbuhan tinggi tunas, sedangkan pemberian thidizuron dapat menginduksi tunas (Rostiana 2007). Induksi tunas juga dapat dihasilkan pada pisang abaca (Musa textillis Nee) dengan pemberian kinetin (Avivi dan Ikrarwati 2004), sedangkan pada pemberian AdSO4 yang dikombinasikan dengan 2,4 D dan zeatin dapat menghasilkan kalus pada mangga manalagi (Nursandi 2000). Berdasarkan penelitian tersebut diharapkan dengan pemberian ZPT berpengaruh terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan binahong.
1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa jenis sitokinin (AdSO4, BAP, kinetin, dan thidiazuron) dengan konsentrasi yang berbeda terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan binahong secara kultur in vitro.
1.3 Hipotesa Hipotesis dalam penelitian ini adalah pemberian beberapa jenis sitokinin (AdSO4, BAP, kinetin, dan thidiazuron) dengan konsentrasi yang berbeda dapat meningkatkan multiplikasi tunas dan pertumbuhan binahong secara kultur in vitro.
1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemberian beberapa jenis sitokinin (AdSO4, BAP, kinetin, dan thidiazuron) dengan konsentrasi yang optimal untuk memacu multiplikasi tunas dan pertumbuhan binahong secara kultur in vitro.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Binahong 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Taksonomi dari binahong menurut USDA adalah: Kingdom : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Caryophyllales
Famili
: Basellaceae
Genus
: Anredera
Spesies
: Anredera cordifolia (Ten.) Steenis
Gambar 1 Binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis).
Sinonim dari Anredera cordifolia (Ten.) Steenis adalah Boussingaultia cordifolia Ten. (1853), Boussingaultia gracilis Miers (1864), Boussingaultia baselloides auct. non Humb., Bonpl dan Kunth (PROSEA 2003). Binahong juga memiliki beberapa nama diantaranya Madeira vine, Mignonette vine (Burras 1994), Heartleaf, Teng san chi (Anonim 2007), 'Uala hupe, Anredera, Enredadera del mosquito, Filikafa, Gulf madeiravine, Heartleaf madeiravine, Lamb's tails, Parra de Madeira, dan Tapau (Zungsontiporn ____).
Binahong merupakan tumbuhan merambat dengan batang silindris yang panjangnya dapat mencapai 6 meter (Burras 1994). Batang lunak dengan permukaan yang halus dan berwarna merah. Daun tunggal memiliki tangkai yang sangat pendek dan tersusun berseling (Anonim 2007), berbentuk seperti telur atau jantung yang berukuran 1-11 cm x 1-8 cm (PROSEA 2003). Bunga berukuran kecil dalam jumlah yang banyak (majemuk) dan tersusun dalam tandan. Warna mahkota bunga binahong putih dan baunya harum (Burras 1994). Kelamin bunga termasuk dalam golongan biseksual yang dikelilingi 5 helai mahkota. Umbi tumbuh pada ketiak daun (Menninger 1970). Mahkota bunga tidak berlekatan dengan panjang helaian 0,5-1 cm,. Akar berbentuk rimpang dan berdaging lunak (Anonim 2007)
2.1.2 Penyebaran dan Habitat Menurut Tylor (1995) binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) berasal dari Amerika Selatan yang menyebar ke bagian barat di sebelah selatan pulau Galapagos, Argentina dan Florida (Menninger 1970). Selain itu juga menyebar ke berbagai daerah tropis seperti Vietnam dan Jawa (PROSEA 2003). Binahong tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Di Australia binahong dapat ditemui di daerah riparian dan daerah perbatasan hutan hujan (Anonim 2007).
2.1.3 Kandungan dan Kegunaan Seluruh bagian tanaman binahong berkhasiat, mulai dari akar, batang dan daun. Ekstrak binahong mengandung triterpenoid saponin berupa boussingoside Al. Daun binahong yang telah direbus digunakan dalam pengobatan tradisional di Colombia dan Taiwan untuk mengobati penyakit diabetes dan sebagai analgesik, sedangkan di Laos, binahong digunakan untuk mengobati pembengkakan pada sendi-sendi, diare dan memar (PROSEA 2003). Binahong mempunyai khasiat yang sudah dirasakan oleh masyarat yaitu dapat digunakan untuk mencegah stroke, penyembuh luka di dalam maupun luar tubuh, mengobati rematik, mencegah keputihan, menghaluskan kulit, penyubur kandungan, dan menambah vitalitas (Julianti 2008). Selain itu binahong juga mempunyai khasiat mengobati radang usus, typus, grastritis, maag, mempercepat
pemulihan kesehatan setelah operasi, melahirkan, khitan, sariawan berat, pusingpusing, sakit perut, wazir, dan patah tulang (Anonim 2007). Tumbuhan Binahong biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat pada bagian daun dengan cara direbus atau dimakan sebagai lalapan (Anonim 2007). Sedangkan masyarakat daerah Cimahi mengolah binahong menjadi dodol, dendeng, dan pepes (Julianti 2008)
2.1.4 Perbanyakan Perbanyakan binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) dapat dilakukan melalui biji (generatif), namun sering dikembangbiakkan secara vegetatif melalui rimpangnya (Anonim 2007).
2.2 Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan salah satu metode in vitro yang dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkan bagian tersebut dalam media yang mengandung unsur hara makro dan
mikro serta suplemen lainnya yang
diperlukan tanaman dalam kondisi aseptik dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan 1992). Kultur jaringan ini merupakan salah satu contoh perbanyakan secara vegetatif. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari penerapan teknik ini antara lain (Wilkins dan Dodds 1983) : 1. Memiliki tingkat multiplikasi yang tinggi 2. Sistem yang aseptik dan penyimpanan yang mudah dan bebas patogen 3. Ruang yang dibutuhkan tidak terlalu luas 4. Erosi genetik dapat dikurangi 5. Tanaman haploid dapat dihasilkan dari program inbreeding 6. Mendukung langkah konservasi Langkah-langkah dalam kegiataan kultur jaringan dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu persiapan eksplan, perbanyakan kultur atau multiplikasi, dan pembentukan plantlet (Wetherell, 1982).
2.2.1 Persiapan eksplan Tahapan persiapan eksplan bertujuan untuk membuat eksplan bebas dari mikroorganisme dan diharapkan eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru. Dalam tahapan ini ditemui masalah-masalah kontaminasi. (Wetherell 1982), sehingga diperlukan pemilihan eksplan dan teknik sterilisasi yang tepat. 2.2.1.1 Eksplan Eksplan merupakan bagian dari suatu organisme yang digunakan dalam kultur jaringan. Prinsip dasar dari kultur jaringan adalah adanya teori totipotensi yang menyatakan bahwa di dalam masing-masing sel mengandung informasi genetik dan atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai (Wetherell 1982). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan tanaman untuk eksplan, yaitu sumber eksplan yang sehat, memilih jaringan yang muda dan cukup besar (Wetherell 1982). Organ yang biasa digunakan adalah tunas pucuk, tunas aksilar, akar, mata tunas, daun, embrio dan bakal biji. Namun tingkat keberhasilan masing-masing organ tidak sama tergantung dari ukuran, umur, teknik dan waktu pengambilan (Wattimena et al. 1992). 2.2.1.2 Sterilisasi Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yang cukup penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Eksplan yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas dari mikroorganisme kontaminan. Tahap sterilisasi sering menjadi kendala utama keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Terutaman di Inonesia yg memiliki iklim tropis memungkinkan kontaminan seperti cendawan dan bakteri terus tumbuh sepanjang tahun. Untuk tanaman tertentu, sterilisasi sulit dilakukan karena kontaminan berada pada bagian internal dari jaringan tanaman (Sukamdjaja dan Mariska 2003). Menurut Santosa dan Nursandi (2003) sterilisasi permukaan bahan tanam dapat dilakukan dengan bermacam-macam bahan sterilisasi. Bentuk dan konsentrasi sterilan yang digunakan dan waktu yang dibutuhkan untuk sterilisasi harus ditentukan secara tepat. Beberapa jenis bahan untuk kegiatan sterilisasi
permukaan yang umum digunakan beserta kisaran konsentrasi dan lama penggunaan dapat dilihat pada tabel 1 (Gunawan 1992).
Tabel 1 Beberapa bahan sterilisasi yang umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan No. Nama Sterililan Konsentrasi Waktu (menit) 1.
Kalsium hipoklorit
1 - 10 %
5 - 30 menit
2.
Natrium hipoklorit
1-2%
7 - 15 menit
3.
Hidrogen peroksida
3 - 10 %
5 - 15 menit
4.
Gas klorin
-
1 - 4 jam
5.
Perak nitrat
1%
5 - 30 menit
6.
Merkuri klorid
0,1 - 0,2 %
10 - 20 menit
7.
Betadine
25 - 10 %
5 - 10 menit
8.
Fungisida
2 gram/l
20 – 30 menit
9.
Antibiotik
50 mg/l
½ - 1 jam
10.
Alkohol
70 %
½ -1 menit
Tingkat kontaminasi dari jamur dan bakteri dapat berkurang yaitu dengan cara menggunakan fungisida dan bakterisida pada saat proses sterilisasi. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan dapat digunakan memberantas dan mencegah fungi/cendawan/jamur. Fungisida yang digunakan untuk sterilisasi merupakan fungisida sistematik. Fungisida sistemik adalah senyawa kimia yang bila diaplikasikan ke tanaman akan bertranslokasi ke bagian lain. Bakterisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun serta dapat digunakan untuk memberantas dan mencegah bakteri. Bakterisida sistemik yang biasa digunakan antara lain streptomycine (Wudianto 2002).
2.2.2 Perbanyakan Kultur atau Multiplikasi Multiplikasi merupakan tahapan memperbanyak tunas dengan cara dirangsang, umumnya mendorong pembentukan tunas lateral atau merangsang pembentukan tunas adventif. Media yang digunakan dalam multiplikasi adalah media dengan kandungan sitokinin yang tinggi. Pada tahapan ini diupayakan
eksplan menghasilkan tunas sebanyak mungkin (bermultiplikasi). Tunas yang terbentuk dipisahkan melalui kegiatan subkultur berulang (Kasutjianingati 2004). 2.2.2.1 Media Kultur Jaringan Media tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berupa cair, padat, dan semi padat (Triharyanto 2005). Media yang digunakan, baik bentuk maupun komposisinya dapat mempengaruhi pertumbuhan dari eksplan yang ditanam, sehingga nutrisi yang diberikan harus menyerupai habitat aslinya. Dalam media tersebut harus terdiri dari unsur hara baik makro maupun mikro, serta karbohidrat berupa gula untuk menggantikan karbon dari atmosfer yang dihasilkan dari hasil fotosintesis dan agar sebagai pemadat media dan zat pengatur tumbuh (Gunawan 1987). Unsur makro yang biasa digunakan terdiri dari Nitrogen (N), Kalium (K), Belerang (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Fosfor (P), sedangkan unsur mikro yang biasa digunakan terdiri dari Molibdenum (Mo), Besi (Fe), Boron (B), Mangan (Mn), Seng (Zn), Kobalt (Co), dan Chlor (Cl). Konsentrasi optimum dari masing-masing unsur hara untuk pertumbuhan berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman maupun tujuan kultur yang ingin diperoleh (Whetherell 1982). Agar merupakan bahan pemadat yang banyak digunakan. Adapun keuntungan dari penggunaan agar antara lain (Gunawan 1987) : 1. Agar dapat membeku pada temperatur ≤ 45 oC dan mencair pada suhu 100oC, sehingga dalam kisaran kultur agar-agar dalam keadaan beku yang stabil. 2. Tidak diserap oleh tanaman 3. Tidak bereaksi dengan persenyawaan penyusun media Menurut Gamborg and Shyluk (1981) dalam Triharyanto (2005) Media dasar yang banyak digunakan adalah Murashige & Skoog (MS), karena komposisi garamnya sesuai untuk morfogenesis, kultur meristem, dan regenerasi tanaman. Dalam media MS biasanya ditambahkan satu atau lebih vitamin yang berfungsi untuk proses katalis dalam metabolisme eksplan (George and Sherrington 1984). Vitamin yang biasa digunakan adalah Myo-inositol, Piridoxin-HCl, Asam folat, Sianocobacilamin, Riboflafin, Betin, Kolin klorida, Kalsium pantetonut, Piridoxin fosfat, Thiamin-HCl, dan Nicotinamida (Wattimena et al. 1992).
2.2.2.2 Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Tanaman memiliki kemampuan merubah zat pengatur tumbuh itu menjadi lebih aktif atau kurang aktif. Kemampuan metabolisme tanaman itu sangat tergantung pada genetik tanaman (Wattimena 1992). Wattimena (1988) membedakan enam kelompok zat pengatur tumbuh, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam abisik (ABA), etilen dan retardan. Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan yaitu dari golongan auksin dan sitokinin. Auksin berperan dalam pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat di pucuk serta merangsang pembentukan akar. Selain itu auksin sangat dikenal sebagai hormon yang mampu meinduksi terjadinya kalus, menghambat kerja sitokinin klorofil dalam kalus, menghambat morfogenesis kalus membentuk akar atau tunas dan mendorong proses embriogenesis (Santoso dan Nurshandi 2003). Golongan auksin seperti 2,4 D, dan NAA dapat menyebabkan pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk (Nasir 2002). Bentuk susunan kimia zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada lampiran 1. Sitokinin berperan dalam proses pembelahan sel, pembentangan sel, dan pembesaran sel. Selain itu sitokinin dapat mendorong proses morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, serta menghambat pembentukan akar. Golongan
sitokinin
diantaranya
AdSO4
(adenin
sulfat),
BAP
(6-
benzylaminopurine), kinetin (6-furfurylaminopurine) dan thidiazuron (N-phenylN’-1,2,3-thiadiazol-5-penylurea) (Santoso dan Nursandi 2003). AdSO4 (Adenin sulfat) merupakan salah satu unsur hara yang terkandung dalam media Anderson dan dapat berfungsi sebagai sitokinin. Menurut Wetherell (1982) AdSO4 termasuk ke dalam golongan sitokinin lemah. Berdasarkan penelitian Damayanti dkk (2007) pemberian AdSO4 dengan konsentrasi 143 mg/l dalam media ½ MS + 2,4-D 10 mg/l + sukrosa 6% + myo inositol 50 mg/l + glutamine 400 mg/l
pada media kultur tanaman pepaya dapat menghasilkan
persentase pembentukan kalus tertinggi, yaitu 100% kalus dan persentase kalus embriogenik tertinggi yaitu 80%.
BAP (6-benzylaminopurine) merupakan sitokinin sintesis yang memiliki berat molekul sebesar 255,26 g/mol dengan rumus molekul C12H11N5 (Santoso dan Nursandi 2003) berfungsi dalam mendorong pembelahan sel. Menurut Bhojwani dan Razdan (1983) dalam Rohmah (2007) BAP merupakan sitokinin yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan karena paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, lebih stabil, dan tahan terhadap oksidasi serta paling murah diantara jenis sitokinin lainnya. Kinetin (6-furfurylaminopurine) merupakan hormon golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan (Wetherell 1982) dan jenis sitokinin alami yang dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Kinetin berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Sriyanti dan Wijayani 1994 dalam Nisa dan Rodinah 2005). Thidiazuron
(N-phenyl-N’-1,2,3-thiadiazol-5-penylurea)
merupakan
sitokinin aktif yang biasa digunakan untuk tumbuhan berkayu dalam kutur jaringan. Jenis sitokinin ini efektif dalam mikropropagasi untuk jenis tumbuhan kayu yang rekalsitran. Dengan konsentrasi yang rendah dapat menginduksi dengan baik jika dibandingkan dengan sitokinin jenis lainnya. Selain itu thidiazuron dapat digunakan untuk kegiatan elongasi dan dapat menstimulasi pembentukan kalus (Huetteman and Preece 1993).
2.2.3. Pembentukan Plantlet (Tanaman yang Lengkap) Tahapan ini bertujuan untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat, sehingga dapat bertahan hidup sampai dipindahkan dari lingkungan in vitrokepada lingkungan rumah kaca. Pada saat pembentukan akar, komposisi hormon dalam media diubah, seperti penambahan hormon auksin dengan kadar yang rendah (Wetherell 1982). Proses selanjutnya adalah aklimatisasi yang bertujuan untuk mengadaptasikan tanaman hasil kultur terhadap lingkungan baru sebelum ditanam di lahan yang sebenarnya (Nugroho dan Sugito 2002).
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kultur Jaringan Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi dalam kultur jaringan antara lain nutrisi , pH, temperatur, kelembaban udara dan cahaya. Ruang kultur sebaiknya memiliki fasilitas penyinaran, temperatur, dan sirkulasi udara yang memadai untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan kultur yang ditanam. Sel-sel yang dikembangkan dengan kultur in vitro mempunyai toleransi pH relatif sempit, dengan titik optimum antara 5,0-6,0. Senyawa fosfat dalam media kultur jaringan mempunyai peran penting dalam menstabilkan pH (Wetherell 1982). Temperatur optimum yang mempengaruhi pertumbuhan umumnya berkisar antara 20-30 oC (Hendaryono dan Wijayanti 1994). Wattimena et al (1992) menyebutkan bahwa RH ruang tumbuh kultur < 70 %, dimana di dalam tabung membutuhkan kelembaban yang lebih tinggi. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pencahayaan kultur adalah panjang gelombang, intensitas cahaya dan photoperiodism. Kekuatan penyinaran lampu yang diperlukan selama 16 jam. Namun untuk pembentukan kalus yang maksimal dapat terjadi di tempat yang lebih gelap (Hendaryono dan Wijayanti 1994).
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Mikropropagasi Tanaman Balai Pengkajian Bioteknologi Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Serpong. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2008 sampai Januari 2009.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi laminar air flow cabinet, lemari es, autoclave, microwave, timbangan analitik, pH meter, shaker, tabung kultur dan rak kultur, gelas piala, labu ukur, corong glass, pengaduk magnetik, plastik wrap, micropipet, pipet, aluminium foil, gunting taman, tabung, timer, gunting, cawan petri, sprayer, pinset, tissu steril, dan pisau scalpel, serta alat-alat lain yang biasa digunakan. Untuk mengetahui kondisi ruang kultur terdapat alat pengontrol suhu dan kelembaban.
3.2.2 Bahan 3.2.2.1 Media Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS (Murashige dan Skoog) sesuai dengan komposisi pada lampiran 2, sedangkan untuk media perlakuan ditambahkan zat pengatur tumbuh berupa AdSO4, BAP, kinetin dan thidiazuron dengan taraf konsentrasi (0,50; 1,00; 1,50 dan 2,00) mg/l. Media dasar yang dibuat dalam bentuk padat dengan penambahan pemadat agar-agar. 3.2.2.2 Eksplan Bahan Eksplan yang digunakan adalah ruas batang tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) yang diperoleh dari koleksi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong yang berasal dari Sumedang. 3.2.2.3 Sterilisasi Bahan-bahan sterilisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan Benzalkonium chloride 1,5 %, larutan bakterisida dan fungisida, betadine, larutan clorok 10% dan 5%, larutan alkohol 70% dan 96%, serta air steril.
3.3 Metode Kerja 3.3.1 Sterilisasi 3.3.1.1 Sterilisasi Alat-alat dan Media Kultur Alat-alat yang digunakan dalam penanaman harus dalam keadaan steril. Alat-alat logam (pinset, gunting, scalpel, dll), gelas (petridish, tabung kultur, pipet, dll) disterilkan dengan autoklaf pada temperatur 121 oC dan tekanan 17,5 psi selama 30 menit. Pada saat proses penanaman alat-alat tanam dicelupkan ke dalam alkohol 96%, kemudian bakar di atas api. Proses sterilisasi media kultur dilakukan dengan autoclave pada tekanan 17,5 psi dan suhu 121oC selama 15 menit. Sterilisasi air steril dapat dilakukan dengan tekanan, suhu dan waktu yang sama dengan sterilisasi alat. 3.3.1.2 Sterilisasi Eksplan Bahan tanaman (eksplan) disterilisasi sebelum ditanam. Sterilisasi dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan di laboratorium mikropropagasi tanaman biotek dengan memberikan empat perlakuan tambahan yang dilakukan sebelum proses sterilisasi tersebut yaitu sterilisasi I (tidak menggunakan betadine dan alkohol), sterilisasi II (betadine 2 tetes), sterilisasi III (alkohol 70%), dan sterilisasi IV (alkohol 96%) yang diuraikan pada tabel 2.
Tabel 2 Pemberian perlakuan sterilisasi pada eksplan binahong Perlakuan
Penambahan
Sterilisasi sesuai prosedur di biotek
bahan sterilan I
Kontrol (tidak
Benzalkonium chloride 1,5 % selama 15 menit,
menggunakan
dikocok perlahan. eksplan dibilas dengan air
betadine dan
mengalir
alkohol)
dimasukkan ke dalam larutan fungisida dan
selama
30
menit
kemudian
bakterisida selama 1 jam dikocok dengan II
Larutan betadine menggunakan (2 tetes / liter
shaker.
Tahapan
berikutnya
sterilisasi dilakukan di dalam laminar air flow cabinet
terdiri
dari
perendaman
dan
pengocokan eksplan dalam alkohol 70% selama 3 menit, larutan clorok 10% selama 10 menit
Lanjutan tabel 2 Pemberian perlakuan sterilisasi pada eksplan binahong III
Alkohol 70%
dan larutan clorok 5% selama 5 menit. Setiap proses pergantian larutan, bahan eksplan dibilas
IV
Alkohol 96 %
dengan menggunakan air steril sebanyak tiga kali. Kemudian keringkan dengan tissu steril dan tanam pada media MS.
3.3.2 Pembuatan Media 3.3.2.1 Pembuatan Larutan Stok Larutan stok yang akan dibuat berdasarkan pengelompokannya terdiri dari stok makro, stok mikro, stok Fe-EDTA, stok vitamin dan stok hormon. Pembuatan larutan stok bertujuan untuk menghemat pekerjaan menimbang bahan yang berulang-ulang setiap kali membuat media. Komposisi larutan stok yang digunakan disajikan pada lampiran 2. Unsur hara yang telah ditimbang sesuai dengan berat yang telah ditentukan kemudian dilarutkan dalam air steril atau aquades 1 liter. Larutan stok yang telah selesai dibuat, sebaiknya disimpan di tempat yang bertemperatur rendah dan gelap. 3.3.2.2 Pembuatan Media MS Pembuatan media dengan larutan stok dilakukan dengan metode pengenceran. Pengambilan setiap larutan stok yang dibutuhkan untuk pembuatan media MS sebanyak 1 liter dapat dilihat pada lampiran 2. Penambahan gula pasir sebanyak 30 g/l hendaknya dilakukan sebelum pengenceran, sehingga volume akhir yang akan dibuat tepat. Komposisi media yang sudah lengkap kemudian dilarutkan dan diencerkan dengan menggunakan air aquades hingga mencapai volume akhir (1 liter). 3.3.2.3 Pembuatan Media Perlakuan Untuk merangsang multiplikasi tunas dan pertumbuhan eksplan, ke dalam larutan media MS ditambah sitokinin tunggal berupa AdSO4, BAP, kinetin dan thidiazuron dengan taraf konsentrasi sebagai berikut 0,50 mg/l; 1,00 mg/l; 1,50 mg/l dan 2,0 mg/l. Penambahan beberapa jenis sitokinin tersebut dilakukan sebelum pengukuran pH yang berkisar antara 5,8. Apabila pH > 5,8 dapat
ditambahkan HCl, sedangkan jika pH < 5,8 dapat NaOH. Tambahkan agar-agar 8 g/l ke dalam larutan dan selanjutnya diaduk menggunakan magnetik stirer. Larutan tersebut ditutup dengan menggunakan plastik wrap yang diberi lubang untuk proses pemasakan menggunakan microwave. Media perlakuan yang telah mendidih, dituang ke dalam tabung kultur ± 10 ml/tabung untuk seluruh perlakuan, kemudian ditutup dan disterilisasi menggunakan autoclave dengan temperatur 121oC dan tekanan 17,5 psi selama 15 menit.
3.3.3 Penanaman 3.3.3.1 Sub kultur Eksplan-eksplan yang steril dan tumbuh disubkultur dalam media MS baru yaitu dengan cara memindahkan dan memisahkan batang dengan tunas yang telah terbentuk. 3.3.3.2 Perlakuan hormon Penaman dilakukan dengan cara memotong-motong planlet yang tumbuh pada media MS dipindahkan pada media perlakuan.
3.4 Pengamatan Pengamatan dilakukan 8 minggu tanpa mengeluarkan tanaman dari tabung kultur. Parameter yang diamati meliputi: 1. Jumlah tunas Jumlah tunas yang baru terbentuk merupakan parameter paling penting dalam menentukan keberhasilan multiplikasi. Tunas yang dihitung adalah tunas adventif yang muncul pada bagian pangkal eksplan yang telah membentuk kalus dan tunas lateral yang terdapat pada bagian ketiak daun. 2. Jumlah daun Jumlah daun yang dihitung adalah daun yang terbentuk pada batang eskplan awal dan membuka sempurna. 3. Pertambahan tinggi Tinggi diukur dari pangkal eksplan awal sampai ujung petiola daun tertinggi.
4. Jumlah akar Akar yang dihitung adalah akar yang terdapat pada buku dan pangkal eksplan awal. 5. Penampakan visual tanaman yang terbentuk setiap eksplan berupa perubahan warna, kontaminasi oleh jamur dan bakteri, browning atau pencoklatan, kematian dan pembentukan kalus.
3.5 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis data deskriptif yang didapatkan dari hasil pengamatan secara visual yang terjadi pada eksplan binahong seperti kontaminasi oleh jamur dan bakteri, browning atau pencoklatan, tingkat kematian eksplan dan pengkalusan. Eksplan yang dideskripsikan meliputi keseluruhan eksplan binahong, yang terhitung dari awal kegiatan penelitian yaitu proses sterilisasi hingga akhir kegiatan penelitian yaitu pemberian beberapa jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda sebagai perlakuan terhadap media kultur. Perhitungan dalam analisis secara deskriptif hanya meliputi persentase tingkat kontaminasi oleh jamur dan bakteri, pencoklatan (browning) serta kematian pada eksplan yang dijabarkan pada rumus berikut ini: % Tingkat kontaminasi = ∑ eksplan terkontaminasi X 100% N % Tingkat pencoklatan = ∑ eksplan mengalami pencoklatan X 100% N % Tingkat kematian
= ∑ eksplan mengalami kematian X 100% N
% Tingkat keberhasilan = ∑ eksplan yang bertunas X 100% N
Keterangan : N= jumlah total eksplan yang tersedia tiap perlakuan
Analisis data secara statistik dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yaitu pemberian beberapa jenis sitokinin (AdSO4, BAP, kinetin, dan thidiazuron) dengan konsentrasi yang berbeda (0,50; 1,00; 1,50; dan 2,00) mg/l pada media MS. Penelitian ini terdiri dari 17 perlakuan dengan 10 ulangan sehingga terdapat 170 satuan percobaan. Model umum rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2000):
Yij = µ + τi + εij
Dimana : i
= 1, 2, 3, ... 17
j
= 1, 2, 3, ... 10
Keterangan: Yij
= Hasil pengamatan terhadap eksplan binahong pada perlakuan ke i dan ulangan ke j
µ
= Nilai tengah umum (rata-rata populasi)
τi
= Pengaruh perlakuan ke i 1. MS (Kontrol)
10. MS + Kinetin 0,50 mg/l
2. MS + AdSO4 0,50 mg/l
11. MS + Kinetin 1,00 mg/l
3. MS + AdSO4 1,00 mg/l
12. MS + Kinetin 1,50 mg/l
4. MS + AdSO4 1,50 mg/l
13. MS + Kinetin 2,00 mg/l
5. MS + AdSO4 2,00 mg/l
14. MS + Thidiazuron 0,50 mg/l
6. MS + BAP 0,50 mg/l
15. MS + Thidiazuron 1,00 mg/l
7. MS + BAP 1,00 mg/l
16. MS + Thidiazuron 1,50 mg/l
8. MS + BAP 1,50 mg/l
17. MS + Thidiazuron 2,00 mg/l
9. MS + BAP 2,00 mg/l εij
= Pengaruh galat percobaan pada eksplan binahong ke j yang memperoleh perlakuan ke i
Untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda pada penelitian ini maka dilakukan uji F dan selanjutnya dilakukan uji lanjutan wilayah Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SAS (Statistical Analysis System) 6.12. Pengujian Hipotesis Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: H0 = Pemberian perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan eksplan binahong H1 = Pemberian perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan eksplan binahong Pengambilan keputusan uji F F hitung > F tabel atau nilai P < α (0,05) maka tolak Ho F hitung < F tabel atau nilai P > α (0,05) maka terima Ho
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Eksplan Steril Sterilisasi pada Eksplan binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stennis) bertujuan untuk mendapatkan eksplan steril sehingga hambatan biologis berupa jamur dan bakteri yang merupakan sumber kontaminasi dapat dihilangkan. Eksplan hasil sterilisasi dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2 Tanaman binahong hasil sterilisasi. Teknik sterilisasi menggunakan larutan betadine dan alkohol (70% dan 96%) yang dibedakan menjadi empat perlakuan yaitu sterilisasi I (tidak menggunakan betadine dan alkohol), sterilisasi II (menggunakan betadine 2 tetes dalam 100 ml), sterilisasi III (menggunakan alkohol 70%), dan sterilisasi IV (menggunakan alkohol 96%) yang diberikan setelah eksplan dicuci dengan air mengalir. Tingkat keberhasilan sterilisasi dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Tingkat keberhasilan sterilisasi dengan empat perlakuan yang berbeda pada eksplan binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Steenis) ∑ Perlakuan
Penyebab Kegagalan
Eksplan yang Ditanam
Jamur
Bateri
(∑ / %)
(∑ / %)
Pencoklatan (∑ / %)
Mati (∑ / %)
∑
%
Eksplan
Keberhasilan
yang
Sterilisasi
Tumbuh
I
166
71/42,77 1
7/10,24
0/0
0/0
78
46,99
II
88
17/19,32
4/4,55
0/0
3/3,41
64
72,73
III
152
3/1,97
5/3,29
1/0,66
2/1,32
141
92,76
IV
140
6/4,29
5/3,57
4/2,86
12/8,57
113
80,71
Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan sterilisasi III dengan pemberian alkohol 70 % selama 3 menit menghasilkan persentase keberhasilan sterilisasi tertinggi (92,76%) dibandingkan dengan tiga perlakuan sterilisasi lainnya. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat kontaminasi jamur (1,97 %) dan bakteri (3,29 %). Persentase keberhasilan terendah terjadi pada perlakuan sterilisasi I yaitu 46,99 % (Tabel 3). Kondisi ini terjadi karena tingkat kontaminasi sangat tinggi yang disebabkan oleh jamur (42,77%) dan bakteri (10,24%) yang muncul pada eksplan dan media. Munculnya kontaminasi bakteri dan jamur pada penelitian ini diduga terjadi akibat proses sterilisasi kurang optimal yang disebabkan oleh eksplan yang digunakan, jenis dan konsentrasi sterilan, kebersihan pada saat proses sterilisasi serta faktor internal penanam. Faktor internal penanam seperti kelelahan yang menyebabkan kurang terjaga kesterilan kondisi lingkungan kerja saat penanaman, sehingga jamur dan bakteri mudah masuk ke dalam botol kultur (Gambar 3).
A
B
Gambar 3 Eksplan binahong yang terkontaminasi oleh (A) jamur, (B) bakteri.
Penelitian ini menggunakan eksplan yang berasal dari luar sehingga berpeluang besar membawa sumber kontaminasi seperti jamur dan bakteri. Apabila proses sterilisasi kurang optimal, sumber kontaminasi yang tertinggal pada eksplan akan tumbuh dengan baik di dalam media kultur yang mengandung unsur hara yang sangat tinggi. Berbeda dengan kondisi di lingkungan luar yang tidak menyediakan unsur hara dalam jumlah yang sesuai untuk pertumbuhan sumber kontaminasi. Menurut Santoso dan Nursandi (2003) kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan kultur jaringan. Gangguan ini
bila dipahami merupakan hal yang wajar sebagai konsekuensi penggunaan media yang diperkaya. Fenomena kontaminasi menunjukkan semakin diperkaya suatu media maka tingkat kontaminasinya juga semakin besar. Kontaminasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam kultur jaringan. Jenis dan konsentrasi sterilan berpengaruh terhadap keberhasilan sterilisasi. Jenis sterilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah betadine dan alkohol. Alkohol merupakan salah satu jenis sterilan yang biasa digunakan untuk menghilangkan gelembung udara, meningkatkan daya antar desinfektan dan mematikan sebagian kontaminan di permukaan eksplan (Ariana 2005). Tetapi apabila alkohol digunakan dalam konsentrasi yang lebih tinggi dapat mendehidrasi air dalam jaringan yang akan diikuti oleh pengeluaran klorofil dari jaringan sehingga eksplan berwarna coklat dan mati (Sudarmonowati dkk 2002). Hal tersebut terjadi pada perlakuan sterilisasi IV yang menggunakan alkohol 96% memperlihatkan tingkat pencoklatan dan kematian eksplan tertinggi diantara perlakuan lainnnya sebesar 2,86 % dan 8,57 %. Pencoklatan merupakan suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam yang mengakibatkan tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan (Santoso dan Nursandi 2003). Peristiwa ini dapat terjadi pada sistem biologis tanaman sebagai respon terhadap pengaruh fisik atau biokimia seperti pengupasan, memar, pemotongan, serangan penyakit dan kondisi yang tidak normal. Respon yang terjadi pada umumnya adalah pembentukan senyawa golongan fenol oleh tanaman. Senyawa fenolik sering terkumpul sekitar jaringan tumbuhan yang luka atau rusak. Dalam tumbuhan senyawa fenol dapat menghambat pembelahan sel, pemanjangan sel, perkembangan jaringan dan organ (Prawiranata dkk 1995). Menurut Denish (2007) Apabila pencoklatan dibiarkan terus menerus maka penyerapan unsur hara oleh eksplan akan terhambat, sehingga pertumbuhan eksplan juga terhambat, bahkan dapat menyebabkan kematian pada eksplan akibat terserapnya senyawa fenolik yang terakumulasi pada media oleh tanaman kultur. Hal ini terjadi pada waktu pengamatan hasil sterilisasi (Gambar 4). Pencoklatan atau browning dapat diatasi dengan cara mengeluarkan senyawa fenol yang terdapat dalam tanaman dengan membilas terus menerus
dengan air aquades, mengabsorbsi dengan arang aktif, mengurangi kontak dengan oksigen, menggunakan ruang gelap, mengurangi jumlah karbohidrat media, dan pengaturan pH (Santoso dan Nursandi (2003)
A
B
Gambar 4 Eksplan binahong yang mengalami (A) pencoklatan atau browning, (B) kematian. 4.2 Multiplikasi dan Pertumbuhan Binahong Berdasarkan data yang diperoleh sampai akhir pengamatan, kultur tanaman binahong selama perlakuan tidak mengalami kontaminasi, sehingga eksplan tumbuh
dengan
tingkat
keberhasilannya
mencapai
100%.
Pertumbuhan
merupakan proses kehidupan tanaman yang mengakibatkan penambahan ukuran tanaman semakin besar dan juga menentukan hasil penambahan ukuran tanaman secara keseluruhan yang dikendalikan oleh sifat alami tanaman (genetik) dibawah pengaruh faktor lingkungan (Sitompul dan Guritno 1995). Pada fase pertumbuhan vegetatif ditandai dengan berbagai aktifitas pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berhubungan dengan pembentukan dan pembesaran daun, pembentukan meristem apikal atau lateral dan pertumbuhannya menjadi cabangcabang serta pembentukan sistem perakaran (Lakitan 1996). Pertumbuhan tanaman disebabkan oleh pembelahan sel, pembesaran sel, dan diferensiasi sel. Pertumbuhan sudah terlihat pada minggu pertama pengamatan yaitu dengan bertambahnya jumlah tunas, tinggi, jumlah daun dan jumlah akar serta terbentuk kalus pada eksplan. Pertumbuhan terus bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu pengamatan hingga akhir pengamatan (8 MST). Data perubahan rata-rata pertumbuhan yaitu jumlah tunas, pertambahan tinggi, jumlah daun, dan jumlah akar dapat dilihat pada lampiran 3.
Pemberian perlakuan berbagai jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda terhadap parameter yang diamati menunjukkan pengaruh yang berbedabeda. Berdasarkan hasil analisis statistik maka diperoleh nilai sidik ragam dari pemberian perlakuan pada media terhadap parameter jumlah tunas, pertambahan tinggi, jumlah daun, dan jumlah akar dapat dilihat pada lampiran 4, sehingga dapat diketahui pengaruhnya (Tabel 4).
Tabel 4 Rekapitulasi sidik ragam penggunaan beberapa jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda pada eksplan binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stennis) Pengamatan ke – (MST) Parameter 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah tunas a. Tunas adventif
**
**
**
**
**
**
**
**
b. Tunas lateral
**
**
**
**
**
**
**
**
Pertambahan tinggi
**
**
**
**
**
**
**
**
Jumlah daun
tn
*
**
**
**
**
**
**
Jumlah akar
tn
**
**
**
**
**
**
**
Keterangan : tn * **
: Tidak berpengaruh nyata : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 % : Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 95 %
Pengaruh perlakuan beberapa jenis sitokinin (AdSO4, BAP, kinetin dan thidiazuron) dengan konsentrasi yang berbeda terhadap parameter pertumbuhan eksplan binahong yang diamati diuraikan sebagai berikut : 4.2.1 Multiplikasi Tunas Binahong Tunas merupakan bagian yang dapat dijadikan parameter keberhasilan dari kegiatan budidaya karena dari tunas dapat diperbanyak menjadi individu baru. Hormon sitokinin dan unsur hara yang tersedia dalam media tidak secara mutlak mempengaruhi pertumbuhan tunas karena setiap tanaman memiliki hormon endogen yang dapat membentuk tunas dengan sendirinya. Penambahan jumlah tunas dapat dijadikan salah satu parameter yang diukur secara kuantitatif. Pembentukan tunas baru mulai terlihat pada minggu pertama setelah tanam. Tahap pembentukan tunas diawali dengan munculnya calon tunas berupa tonjolan berwarna hijau yang terdapat pada bagian pangkal yang telah membentuk kalus
dan ketiak daun. Pada saat penelitian dapat dibedakan menjadi dua jenis tunas yaitu tunas adventif dan tunas lateral yang dapat dilihat pada gambar 5. Tunas adventif adalah tunas yang muncul pada bagian pangkal eksplan yang telah membentuk kalus. Menurut Devilana (2005) tunas adventif adalah tunas yang terbentuk tidak pada tempatnya, sedangkan tunas lateral adalah tunas yang terbentuk pada ketiak daun (Gardner et al 1991). Pada tunas lateral berpeluang untuk menjadi cabang-cabang baru.
Gambar 5 Tunas adventif (kiri) dan tunas lateral (kanan).
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% terhadap pemberian beberapa jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda pada parameter jumlah tunas adventif dan tunas lateral menghasilkan nilai probability (p) yang sama yaitu <,0001. Nilai tersebut lebih kecil dari α (0,05), sehingga menunjukkan bahwa pemberian perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas adventif dan tunas lateral yang terbentuk (Tabel 4). Selanjutnya perlu dilakukan uji lanjut wilayah Duncan (Tabel 5 dan 6). Tabel 5 Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah tunas adeventif tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) Jenis Sitokinin Konsentrasi AdSO4 BAP Kinetin Thidiazuron 0,50 mg/l
0.00c
0.80bc
1,30ab
1,20abc
1,00 mg/l
0.00c
1,50ab
1,00abc
1,40ab
1,50 mg/l
0.00c
1,50ab
2,10a
0.70bc
Lanjutan Tabel 5 Konsentrasi 2,00 mg/l
Jenis Sitokinin AdSO4
BAP
Kinetin
Thidiazuron
0.00c
1,30ab
1,70ab
1,80ab
Kontrol (MS)
0,00c
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk minggu yang sama pada uji DMRT 5 %.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa perlakuan kinetin 1,50 mg/l memberikan respon terbaik terhadap pembentukan tunas adventif yang berasal dari kalus. Hal ini ditandai dengan banyaknya rata-rata jumlah tunas yang terbentuk yaitu 2,10 tunas. Meningkatnya konsentrasi kinetin hingga 1,50 mg/l menyebabkan rata-rata jumlah tunas adventif yang dihasilkan juga meningkat, sedangkan pada kinetin 2,00 mg/l menunjukkan rata-rata jumlah tunas menurun. Hal yang sama juga terjadi pada eksplan yang ditanam pada media kultur dengan penambahan BAP dan thidiazuron. Konsentrasi 1,50 mg/l thidiazuron rata-rata jumlah tunas mengalami penurunan, tetapi pada konsentrasi 2,00 mg/l rata-rata jumlah tunas mengalami peningkatan yaitu 1,80 tunas. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk merespon pemberian sitokinin. AdSO4 konsentrasi 0,50 mg/ hingga 2,00 mg/l dan media kontrol tidak terlihat adanya pembentukan tunas, sehingga menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan yang sangat nyata antara media perlakuan kinetin 1,50 mg/l dengan media perlakuan AdSO4 (0,50 mg/l hingga 2,00 mg/l) dan media kontrol. Perubahan rata-rata jumlah tunas adventif yang dihasilkan pada pemberian beberapa jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada gambar 6. Gambar 6 memperlihatkan pembentukan tunas adventif pada kinetin 1,50 mg/l selalu meningkat, tetapi pada akhir pengamatan yaitu pada 8 MST rata-rata jumlah tunas tidak mengalami pertambahan atau tetap sama dengan rata-rata jumlah tunas pada 7 MST yaitu 2,10 tunas.
Gambar 6
Grafik rata-rata jumlah tunas adventif pada tanaman binahong yang terbentuk tiap minggu.
Tabel 6 Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah tunas lateral tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) Jenis Sitokinin Konsentrasi AdSO4 BAP Kinetin Thidiazuron 0,50 mg/l
0.00g
1,60def
0.30g
2,20bcd
1,00 mg/l
0.40g
3,20ab
0.60fg
1,20defg
1,50 mg/l
0.00g
3,90a
2,80abc
0.80efg
2,00 mg/l
0.10g
3,50a
1,80cde
0.90efg
Kontrol (MS)
0.00g
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk minggu yang sama pada uji DMRT 5 %.
Tabel 6 menunjukkan bahwa tunas lateral di bagian ketiak daun banyak dihasilkan oleh eksplan yang ditanam pada media perlakuan BAP 1,50 mg/l yaitu 3,90 tunas. Pemberian konsentrasi BAP 0,50 mg/l hingga 1,50 mg/l menghasilkan rata-rata jumlah tunas lateral yang mengalami peningkatan, sedangkan BAP 2,00 mg/l rata-rata jumlah tunas mengalami penurunan. Perlakuan kinetin juga mengalami kondisi yang sama seperti BAP. Thidiazuron dalam konsentrasi terendah (0,5 mg/l) dapat memacu pembentukan tunas lateral lebih baik
dibandingkan dengan thidiazuron konsentrasi 1,00 mg/l hingga 2,00 mg/l. Ratarata jumlah tunas lateral yang terus bertambah pada tiap minggu ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7 Grafik rata-rata jumlah tunas lateral pada tanaman binahong yang terbentuk tiap minggu. Gambar 6 dan 7 menunjukkan bahwa pada media kontrol hingga akhir pengamatan tidak terbentuk tunas baru. Hal ini dimungkinkan unsur hara yang terdapat dalam media dan hormon endogen tanaman tidak dapat menstimulasi pembentukan tunas. Perlakuan berupa penambahan berbagai jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda mampu menghasilkan tunas baru bahkan dalam jumlah yang banyak. Kondisi tersebut terjadi karena tanaman dapat merespon sitokinin eksogen untuk pembentukan tunas. Respon yang muncul pada tumbuhan bergantung pada spesies, bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon, interaksi antarhormon, dan berbagai faktor lingkungan (Salisbury and Ross 1992). Konsentrasi yang diberikan dapat berpengaruh terhadap penambahan jumlah tunas, tetapi apabila konsentrasi terus dinaikkan akan mengakibatkan penurunan jumlahnya. Hal ini diduga pada penambahan sitokinin dengan konsentrasi tinggi, tanaman sudah tidak responsif. Kandungan sitokinin dalam jaringan yang sangat tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi
terhambat. Kondisi seperti ini yang membedakan antara hormon dan unsur hara lainnya. Hormon biasa digunakan dalam konsentasi yang sangat rendah, mendekati 1 µM, sedangkan unsur hara seperti gula, asam amino, asam organik, dan beberapa metabolit lainnya diperlukan oleh tumbuhan dalam konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 1 sampai 5 mM (Salisbury and Ross 1992). Menurut Abidin (1985) dengan penggunaan sitokinin pada kadar yang optimum dapat merangsang pembentukan tunas. Menurut Santoso dan Nursandi (2003) bahwa sitokinin berperan dalam merangsang terjadinya pembelahan sel, pembentukan tunas, dan mendorong proliferasi meristem ujung. Selain itu pemberian sitokinin tunggal tanpa penambahan
auksin
dapat
meningkatkan
jumlah
tunas
dengan
cara
melipatgandakan jumlah mata tunas (Skoog dan Tsui 1951 dalam Ratnaningsih 2001). Rata-rata jumlah tunas adventif dan tunas lateral dalam setiap kultur terus meningkat dengan bertambahnya umur sampai dengan 8 MST. Gambar 8 menunjukkan bahwa BAP 1,50 mg/l menghasilkan penambahan jumlah tunas adventif dan tunas lateral, tetapi lebih didominasi oleh penambahan jumlah tunas lateral. Menurut Prawiranata dkk 1995 bahwa dengan adanya sitokinin dalam jaringan tanaman dapat menghilangkan dormansi yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan tunas dengan cara mendorong pembelahan sel di bagian ujung dari tunas lateral serta mengubahnya menjadi meristem yang aktif.
Gambar 8 Pembentukan tunas adventif dan tunas lateral tanaman binahong pada perlakuan BAP 1,50 mg/l saat eksplan berumur 3 MST (kiri) dan 7 MST (kanan).
Pembentukan tunas lateral dalam jumlah yang banyak menunjukkan bahwa dominasi apikal pada tanaman binahong berkurang. Hal ini disebabkan dengan pemberian sitokinin eksogen dapat meningkatkan kadar sitokinin dalam tunas lateral yang dorman meningkat dan dapat menyempurnakan hubungan pembulupembulu antara tunas lateral dengan bagian tumbuhan lain, sehingga unsur hara dapat diambil oleh tunas lateral untuk pertumbuhannya. 4.2.2 Pertambahan Tinggi Tanaman Tinggi tanaman merupakan parameter yang sering diamati dalam pengambilan data secara kuantitatif karena pada kenyataannya ukuran tinggi paling mudah dilihat. Tinggi tanaman sebagai indikator pertumbuhan dapat dianjurkan pada tanaman berbatang tunggal dengan percabangan lateral terbatas dengan kondisi cahaya yang optimal (Lakitan 1996). Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% untuk eksplan binahong terhadap parameter pertambahan tinggi ditunjukkan pada tabel 4 bahwa perlakuan berbagai jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata dengan nilai probability (P) yaitu 0,0003 lebih kecil dari α (0,05), sehingga perlu diuji lanjut wilayah Duncan untuk mengetahui perbedaan pengaruh perlakuan (Tabel 7).
Tabel 7 Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata pertambahan tinggi tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) Jenis Sitokinin Konsentrasi AdSO4 BAP Kinetin Thidiazuron 0,50 mg/l
1,86c
1,18c
4,33a
1,04c
1,00 mg/l
2,15bc
1,97c
0.68c
2,49bc
1,50 mg/l
1,72c
1,20c
2,32bc
0.90c
2,00 mg/l
1,86c
1,54c
1,57c
3,73ab
Kontrol (MS)
1,55c
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk minggu yang sama pada uji DMRT 5 %.
Tabel 7 menunjukkan bahwa pada kinetin 0,50 mg/l menghasilkan pertambahan tinggi terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu 4,33 cm, sedangkan pertambahan tinggi terendah dihasilkan pada kinetin 1,00 mg/l yaitu 0,68 cm. Hasil tersebut bertolak belakang dengan rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan, karena pada kinetin 0,50 mg/l menghasilkan rata-rata jumlah tunas lateral yang rendah yaitu 0,30 tunas. Pada media perlakuan BAP 1,50 mg/l mampu menghasilkan rata-rata jumlah tunas lateral tertinggi, tetapi pertambahan tingginya rendah yaitu 1,20 cm. Thidiazuron 0,50 mg/l dengan rata-rata jumlah tunas tertinggi 2,20 tunas, sedangkan pertambahan tinggi yaitu 1,04 cm. Pertambahan tinggi dalam penelitian ini berkorelasi negatif dengan pembentukan tunas. Pertambahan tinggi semakin rendah dengan peningkatan jumlah tunas, demikian pula sebaliknya. Hal ini diduga adanya persaingan dalam memperoleh nutrisi dan ruang tumbuh. Kompetisi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah tunas. Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan, kompetisi dapat terjadi diantara bagian-bagian tanaman pada tanaman yang sama dan disebut kompetisi intra tanaman (intraplant competition). Kompetisi disebabkan oleh dua faktor, yaitu hadirnya organ baru diantara organ yang lain dan terbatasnya faktor pertumbuhan yang ada, antara lain nutrisi dan ruang tumbuh.
Gambar 9 Rata-rata pertambahan tinggi tanaman binahong tiap minggu pada berbagai perlakuan.
Rata-rata pertambahan tinggi dapat dilihat pada gambar 9 yang menunjukkan bahwa semua perlakuan mengalami peningkatan setiap minggunya hingga akhir pengamatan. Tanaman binahong memberikan respon yang berbedabeda pada pemberian beberapa jenis sitokinin terhadap tinggi tanaman. Pada gambar 9 menunjukkan bahwa penambahan kinetin 0,50 mg/l merupakan media yang paling tepat untuk pertambahan tinggi binahong dalam kultur in vitro.
4.2.3 Jumlah Daun Menurut Humphries dan Wheeler (1963) dalam Gardner et al (1991) daun merupakan salah satu organ tanaman yang diperlukan untuk penyerapan dan pengubahan energi cahaya. Energi tersebut akan digunakan untuk pertumbuhan. Pembentukan jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotip dan lingkungan. Daun dapat dijadikan salah satu parameter pengamatan karena daun berfungsi sebagai penerima cahaya dan alat fotosintesis (Sitompul dan Guritno 1995). Pada pengamatan daun, parameter yang diamati hanya jumlah daun yang terbentuk pada eksplan. Daun yang terbentuk dari setiap perlakuan penambahan jenis sitokinin memiliki perbedaan. Dalam media kultur yang telah ditambah AdSO4 memperlihatkan kondisi daun yang berwarna hijau muda segar, berukuran besar dan relatif seragam, sedangkan pada media perlakuan BAP, kinetin dan thidiazuron daun berwarna hijau tua dan beberapa diantaranya terdapat warna merah keunguan pada bagian permukaan bawah daun. Selain itu ukuran daun yang dihasilkan dari ketiga jenis sitokinin tersebut relatif kecil. Hal ini dimungkinkan pada hormon BAP, kinetin, dan thidiazuron lebih terkonsentrasi untuk pembentukan tunas. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % maka dapat diketahui bahwa pemberian perlakuan beberapa jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah daun (tabel 3) dengan nilai probability (P) yaitu <,0001 lebih kecil dari nilai α (0,05), sehingga perlu dilakukan uji lanjut duncan yang dapat dilhat pada tabel 8.
Tabel 8
Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah daun Tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) Jenis sitokinin Konsentrasi AdSO4 BAP Kinetin Thidiazuron 0,50 mg/l
4,60a
1,30d
4,70a
0.60d
1,00 mg/l
4,60a
1,50d
1,90bcd
2,00bcd
1,50 mg/l
3,50ab
0.90d
2,20bcd
1,30d
2,00 mg/l
4,50a
1,50d
1,70cd
3,30abc
Kontrol (MS)
4,30a
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk kolom yang sama pada uji DMRT 5 %.
Perlakuan beberapa jenis sitokinin dengan konsentrasi yang berbeda pada media kultur memberikan respon terhadap jumlah daun yang bervariasi. Rata-rata jumlah daun dalam setiap kultur pada setiap minggunya mengalami perubahan dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 10
Rata-rata jumlah daun perlakuan.
binahong tiap minggu pada berbagai
Gambar 10 menunjukkan bahwa penambahan jumlah daun pada setiap perlakuan berbeda-beda. Rata-rata jumlah daun pada akhir pengamatan terbanyak adalah 4,70 helai yang dihasilkan pada kinetin 0,50 mg/l. Penambahan konsentrasi kinetin semakin tinggi menunjukkan jumlah daun yang semakin sedikit. Kondisi ini berbanding terbalik dengan perlakuan penambahan thidiazuron dan BAP pada media. semakin tinggi konsentrasi thidiazuron dan BAP yang diberikan maka semakin banyak daun yang dihasilkan. Setiap minggu rata-rata jumlah daun mengalami perubahan, hal ini disebabkan terjadinya pertambahan dan pengurangan jumlah daun. Pertumbuhan terlihat dengan adanya daun baru yang terbentuk, sedangkan pengurangan dapat diketahui karena daun mengalami kerontokan. Kerontokan pada daun yang terjadi pada minggu ketiga untuk perlakuan thidiazuron 1,50 mg/l dan BAP 1,5 mg/l. Hingga akhir pengamatan kerontokan daun terus terjadi. Daun yang rontok dari batang didahului dengan perubahan struktur dan susunan kimia pada daerah di sekitar pangkal petiola (Tjondronegoro dkk 1989). Hal ini terjadi karena dalam media terjadi kekurangan unsur nitrogen (N), perubahan pH dan akumulasi zat pengatur tumbuh lainnya seperti Asam Abisat (ABA). Menurut Lakitan (1996 ) ABA berperan dalam menyebabkan penguguran daun, bunga atau buah. Selain ABA juga terdapat ZPT lain yang berperan dalam proses perontokan organ tanaman yaitu etilen. Daun yang rontok mengalami perubahan warna hal ini dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 11 Daun rontok pada minggu ke empat.
Beberapa organ tanaman memiliki
pola pertumbuhan determinate
sedangkan organ-organ yang lain bersifat in-determinate. Pola pertumbuhan determinate dicirikan oleh pertumbuhan organ sampai mencapai ukuran maksimal. Kemudian pertumbuhan terhenti, organ menjadi tua dan akhirnya rontok. Organ tanaman yang mempunyai pola pertumbuhan determinate salah satunya adalah daun (Lakitan 1996).
4.2.4 Jumlah Akar Akar merupakan organ vegetatif utama yang memasok air, mineral dan bahan-bahan yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Gardner et al 1991). Pembentukan akar terjadi pada daerah pangkal eksplan dan ruas batang tanaman binahong. Akar yang terbentuk pada eksplan berwarna putih dan putih kecoklatan dengan banyak bulu halus disekitarnya (Gambar 11).
Gambar 12 Akar dan bulu-bulu akar yang terbentuk pada eksplan binahong.
Menurut Lakitan (2004) akar membentuk bulu-bulu akar bertujuan untuk memperluas permukaan kontaknya. Bulu akar merupakan penonjolan dari sel-sel epidermis akar. Lapisan sel ini berada pada bagian paling luar dan umumnya berbentuk agak pipih. Bulu-bulu akar ini terbentuk pada daerah dekat dengan ujung akar. Pembentukan akar sudah terlihat pada minggu pertama setelah tanam. Jumlah dan persentase eksplan berakar dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9 Jumlah dan persentase eksplan binahong berakar dalam berbagai media perlakuan pada akhir pengamatan (8 MST) Jumlah eksplan berakar / % eksplan berakar Konsentrasi AdSO4 BAP Kinetin Thidiazuron 0,50 mg/l
10 / 100
2 / 20
10 / 100
3 / 30
1,00 mg/l
10 / 100
2 / 20
5 / 50
3 / 30
1,50 mg/l
9 / 90
2 / 20
5 / 50
5 / 50
2,00 mg/l
10 / 100
2 / 20
4 / 40
7 / 70
Kontrol (MS)
10 /100
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % terhadap jumlah akar menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan beberapa jenis sitokinin dengan berbagai konsentrasi berpengaruh sangat nyata (P = <,0001 lebih kecil dari α = 0,05), sehingga perlu dilakukan uji lanjut duncan yang dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10 Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah akar tanaman binahong (Anredera cordifolia [Ten.] Stenis) pada akhir pengamatan (8 MST) Jenis sitokinin Konsentrasi AdSO4 BAP Kinetin Thidiazuron 0,50 mg/l
7,10abc
2,90cdef
7,40abc
2,00def
1,00 mg/l
8,40ab
2,00def
4,20bcdef
4,50abcdef
1,50 mg/l
5,40abcde
0.60f
2,20def
3,00cdef
2,00 mg/l
6,40abcd
1,20ef
2,50def
7,90ab
Kontrol (MS)
8,80a
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk kolom yang sama pada uji DMRT 5 %.
Gambar 13 Rata-rata jumlah akar binahong tiap minggu pada berbagai perlakuan.
Dari tabel 9 dan gambar 12 terlihat bahwa media MS menunjukkan persentase eksplan berakar dan jumlah akar terbanyak dibanding media yang telah diberi perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pembentukan akar pada eksplan yang telah dikulturkan tanpa pemberian sitokinin lebih baik bila dibandingkan perlakuan lainnya karena sel tanaman dapat tumbuh, berkembang dan beregenerasi dalam media tanpa penambahan sitokinin yang biasanya berperan dalam pembentukan tunas. Pertumbuhan akar pada media kontrol sangat dipengaruhi oleh auksin yang terdapat pada batang eksplan. Selain itu penambahan vitamin B (B1 dan thiamin) dapat memacu pembentukan akar (Salibury and Ross 1992). Dalam kultur jaringan thiamin juga diberikan dalam media. Eksplan yang tumbuh pada media perlakuan, persentase berakar dan jumlah akar mengalami penurunan terutama pada perlakuan penambahan BAP. konsentrasi BAP 0,50 mg/l hingga 2,00 mg/l memberikan persen berakar dan jumlah akar yang lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Menurut Intania (2005) pemberian BAP cenderung menghambat perakaran. Hal ini terjadi karena pembelahan sel pada meristem-meristem akar terhambat.
4.2.5 Kalus Kalus adalah sekumpulan sel yang membelah secara tidak teratur. Menurut Gunawan (1987) kalus merupakan satu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan awal yang membelah dari secara terus menerus. Secara alamiah, kalus dibentuk oleh semua tanaman yang dikulturkan dan sebagai cara perlindungan tanaman terhadap luka yang ditimbulkan akibat proses pemotongan saat persiapan bahan eksplan. Menurut Fitriani (2005) pengkalusan ini juga terjadi bila tanaman mengalami stress. Selain upaya perlindungan oleh tanaman, pembentukan kalus dapat dipengaruhi oleh bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan, metode budidaya in vitro, dan zat-zat yang ditambahkan pada media dasar (Suryowinoto 1996 dalam Ibrahim dkk 2004). Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap parameter kalus maka pada minggu pertama kalus sudah terbentuk yaitu pada media yang telah diberikan tambahan BAP, kinetin, dan thidiazuron. Pada akhir pengamatan hampir semua eksplan membentuk kalus. Jumlah paling tinggi dicapai pada perlakuan BAP 1,00 mg/l hingga 2,00 mg/l; kinetin 1,50 mg/l dan 2,00 mg/l; serta thidiazuron 1,00 mg/l-2,00 mg/l, sedangkan pada media kontrol dan media perlakuan tidak terbentuk kalus kecuali pada AdSO4 1,50 mg/l (gambar 13).
Gambar 14 Jumlah eksplan setiap perlakuan yang membentuk kalus.
Kalus yang dihasikan berada pada bagian pangkal eksplan berwarna putih bening dan hijau. Kalus yang berwarna hijau menunjukkan adanya klorofil dalam jaringan eksplan yang berperan penting untuk proses fotosintesis. Semakin hijau warna kalus pada eksplan, maka semakin tinggi pula kemampuan eksplan untuk berfotosintesis dalam mempertahankan kemampuan hidupnya (Mayasari 2005). Perubahan warna kalus yang hijau menjadi coklat kehitaman sangat terlihat pada akhir pengamatan (gambar 14). Hal ini terjadi disebabkan hilangnya polarisasi yang dapat mendorong pembantukan klorofil dan terjadinya dekomposisi klorofil ( Santoso dan Nursandi 2003).
Gambar 15 Pembentukan kalus pada bagian pangkal eksplan binahong.
Pada beberapa eksplan binahong yang berkalus telah membentuk embiro somatik lalu tumbuh menjadi tunas (gambar 15) tunas yang dihasilkan pada eksplan yang berkalus relatif lebih banyak daripada jumlah eksplan yang tidak berkalus. Pertumbuhan tunas pada eksplan binahong yang berkalus lebih lama, karena eksplan lebih memprioritaskan pada proses penutupan luka dibagian tubuh tanaman untuk menuju pertumbuhan. Menurut Wattimena (1988) umumnya kalus menghasilkan tunas sangat lambat, namun pada beberapa tanaman dan kondisi tertentu yang belum sepenuhnya dipahami memiliki kemampuan tinggi untuk beregenerasi membentuk tunas atau embriosomatik.
Gambar 16 Pembentukan tunas yang berasal dari eksplan berkalus.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Pada tahapan sterilisasi dengan menggunakan larutan alkohol 70% menghasilkan persentase tingkat keberhasilan tertinggi yaitu 92,76 % dengan kontaminasi jamur dan bakteri terendah. 2. Pemberian perlakuan beberapa jenis sitokinin (AdSO4, BAP, kinetin dan thidiazuron) dengan berbagai konsentrasi yang berbeda (0,50; 1,00; 1,50; dan 2,00) mg/l pada media MS berpengaruh sangat nyata terhadap parameter yang diamati. 3. Pada tahap multiplikasi dihasilkan dua jenis tunas yaitu tunas adventif dan tunas lateral. Rata-rata jumlah tunas adventif terbanyak dihasilkan pada perlakuan kinetin 1,50 mg/l yaitu 2,10 tunas, sedangkan rata-rata jumlah tunas lateral terbanyak dihasilkan pada perlakuan BAP 1,50 mg/l yaitu 3,90 tunas. 3. Konsentrasi kinetin 0,50 mg/l menghasilkan rata-rata pertambahan tinggi tanaman tertinggi dan jumlah daun terbanyak yaitu 4,33 cm dan 4,70 helai. 4. Pembentukan akar terbanyak dihasilkan pada media kontrol yaitu 8,80 akar. 5. Secara visualisasi, sebagian besar ekplan membentuk kalus kecuali pada media kontrol dan perlakuan AdSO4 (0,50; 1,00; dan 2,00 mg/l).
5.2. Saran 1. Pada penelitian ini media perlakuan kinetin dan BAP dengan konsentrasi 1,50 mg/l dapat menghasilkan tunas adventif dan lateral, sehingga perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk mendapatkan konsentrasi yang optimal dengan cara meningkatkan konsentrasi atau mempersempit selang konsentrasi. 2. Media untuk pembentukan akar sebelum proses aklimatisasi dapat dilakukan dengan menggunakan media MS. 3. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk meningkatkan kandungan senyawa aktif binahong secara in vitro.
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Angkasa. Anonim.
2007. Binahong: Anredera plantoamor.com. [29 Nov 2007]
Cordifolia
(Ten.)
Steenis.
www.
Ariana E. 2005. Pengaruh Konsentrasi BAP (Benzylaminopurin) terhadap Pertumbuhan Mimba (Azadirachta indica A. Juss) secara Kultur In Vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Avivi S, Ikrarwati. 2004. Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa textillis Nee) melalui Teknik Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian. 11 (2): 27-34. http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdlsholehaviv-26419 [21 Jan 2009]. Balitro. 2006. Rencana Strategis Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik 2006-2009. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan PengembanganPerkebunan Balai Penelitian Tumbuhan Obat dan Aromatik. Burras JK. 1994. Manual of Climbers and Wall Plants. London: Mcmillan Press LTD. Damayanti D, Sudarsono, Ika M, M Herman. 2007. Regenerasi Pepaya melalui Kultur In Vitro. Jurnal Agrobiogen. 3 (2): 49-54. Devilana MR. 2005. Pengaruh Sitokinin (TDZ) dan Auksin (IAA dan NAA) terhadap Multiplikasi Nenas (Ananas comosus [L] Merr.) cv QUEEN dalam Perbanyakan Kultur Jaringan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Denish A. 2007. Percobaan Perbanyakan Vegetatif Kemaitan (Lunasia amara Blanco.) melalui Kultur Jaringan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Fitriani Y. 2005. Induksi Perakaran Cendana (Santalum album Linn) dengan Beberapa Zat Pengatur Tumbuh melalui Kultur Jaringan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati Susilo, Penerjemah; Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Gunawan, LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
_____________. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Tanaman IPB George EF, Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. London: Eastern Press. Hendaryono DPS, A Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta: Kanisius. Hernani, Djauhariya. 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar Swadaya Huetteman and Preece. 1993. Thidiazuron: a potent cytokinin for woody plant tissue culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 33: 105-119. Ibrahim MSD, N N Kristina, N Bermawie. 2004. Studi Pendahuluan : Induksi Kalus Embriogenik dari Eksplan Daun Echinaceae purpurea. Buletin TRO. XV (2): 41-47. Intania. 2005. Pengaruh Sitokinin (BAP), Air Kelapa dan Media Terhadap Pertumbuhan dan Multiplikasi Alocasia suhirmaniana secara In Vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Julianti M. 23 Juni 2008. Binahong, Tanaman Multikhasiat. Bandung Raya: 17: 25. Kasutjianingati. 2004. Pembiakan Mikro Berbagai Genotip Pisang (Musa spp) dan Potensi Bakteri Endofitik Terhadap Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lakitan B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mattjik AA, IM Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan. Bogor: IPB Press. Mayasari I. 2007. Perbanyakan Iles-iles (Amorphophallus mulleri Blume.) secara Kultur In Vitro dengan Pemberian Zat Pengatur Tumbuh NAA (Naphtalene acetic acid) dan BAP (6-Benzylaminopurin) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Menninger EA. 1970. Flowering Vines of The World an Encyclopedia of Climbing Plants. New York: Hearth Side Press Incorporated. Nasir M. 2002. Bioteknologi : Potensi dan Keberhasilannya dalam Bidang Pertanian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nisa C, Rodinah. 2005. Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa Paradisiaca L.) dengan Pemberian Campuran NAA dan Kinetin. Bioscientiae. 2: 23-36.
Nugroho A, Sugito H. 2002. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Jakarta. Penebar Swadaya. Nursandi F. 2000. Optimalisasi Proliferasi Kalus Mangga Manalagi secara In Vitro. JIPTUMM. Prawiranata W, Said H, Pin T. 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jilid 2. Departemen Botani Fakultas Matematika dan IPA IPB: Bogor PROSEA. 2003. Plant Resources of South-East Asia: Medicinal and Poisonous Plant 3. Leiden: Backhuys. Radji M. 2005. Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2 (3): 113-126. Rohmah SN. 2007. Penggunaan BAP dan 2,4 D dalam Kultur In Vitro Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume, 1837) [skripsi] Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Rostiana O. 2007. Aplikasi Sitokinin Tipe Purin dan Urea pda Multiplikasi Tunas Anis ( Pimpinella anisum L.) In Vitro. Jurnal Littri. 13 (1): 1-7. Salisbury FB, CW Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. D. R Lukman dan Sumaryono, penerjemah: Bandung: ITB. Terjemahan dari. Plant Physiology. Santoso U, F Nursandi. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang: Malang. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press. Sudarmonowati E, R Hartati, T Taryana. 2002. Produksi Tunas, Regenerasi dan Evaluasi Hasil Ubi Kayu (Manihot esculenta) Indonesia Asal Kultur Jaringan di Lapang. http://www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_nature/vol4(2)/enny.pdf. [ 20 Jan 2009] Sukmadjaja, I Mariska. 2003. Perbanyakan Bibit Jati melalui Kultur Jaringan .Bogor. Balai Peneltian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. http://biogen.litbang.deptan.go.id/terbitan/pdf/Buku_%20Jati.pdf [ 23 Januari 2009] Tjondronegoro PD, M Natasaputra, T Kusumaningrat, AW Gunawan, M Djaelani, A Suwanto. 1989. Botani Umum III. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Bogor.
Triharyanto A. 2005. Multiplikasi Tunas Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis lamk) Secara In Vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tylor J. 1995. Clever Ways with Climbers. Ward lock: London. USDA. ______. Anredera cordifolia (Ten.) Steenis, Heartleaf Madeiravine. http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=ANCO6. [29 Nov 2007] Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB Bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Informasi IPB: Bogor. ______________, LW Gunawan, NA Mattjik, E Syamsudin, NMA Wendi, A Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB – Lembaga Swadaya Informasi IPB. Wetherell DF. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. (Terjemahan). New Jersey: Avery Publishing Group Inc. Wayne. Wilkins CP, JH Dodds. 1983. Tissue Culture Conservation of Woody Species. J.H. Dodds (Ed). Tissue Culture of Tree. The Avi Publishinh Company, Inc. Connenticut. Wudianto R. 2002. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Jakarta: Penebar Swadaya. Zuhud EAM. 2003. Pengembangan Tumbuhan Obat Berbasis Konsep Bioregional (Aplikasi Azas Keunikan Sistem Kedirian) (Contoh Kasus Taman Nasional Meru Betiri, di Jawa Timur). Program Pasca Sarjana IPB. Zungsontiporn ____. Global Invasive Plants in Thailand and its Status and a Case Study of Hydrocotyle umbellata L. Weed Science Group, Plant Protection Research and Development Office, Department of Agriculture. Thailand.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Susunan kimia zat pengatur tumbuh
AdSO4 (Adenin sulfat)
kinetin (6-furfurylaminopurine)
BAP (6-benzylaminopurine)
Thidiazuron
(N-phenyl-N’-1,2,3-
thiadiazol-5-penylurea)
Lampiran 2 Komposisi media MS (Murashige & Skoog) Nama
Bahan Kimia
Komposisi
Penimbangan
Pemipetan untuk 1
Mg/l
untuk 1 liter stok
liter media
Stok A
NH4NO3
1650
165 gram
10 ml
Stok B
KNO3
1900
190 gram
10 ml
Stok C
CaCl2.2H2O
440
44 gram
10 ml
Stok D
MgSO4.7H2O
370
37 gram
KH2PO4
170
17 gram
H3BO3
6.2
0.62 gram
KI
0.83
0.083 gram
MnSO4.H2O
16.9
1.69 gram
ZnSO4.7H2O
8.6
0.86 gram
CuSO4.5H2O
0.025
0.0025 gram
0.25
0.025 gram
CoCl2.6H2O
0.025
0.0025 gram
FeSO4.7H2O
27.8
2.78 gram
Na2EDTA
37.3
3.37 gram
Stok E
Na2MoO4.2H2O
Stok F
10 ml
10 ml
10 ml
Stok 1
Thiamine.HCl
0.1
100 mg/100 ml
0.1 ml
Stok 2
Pyridoxin.HCl
0.5
100 mg/100 ml
0.1 ml
Stok 3
Nicotinic Acid
0.5
100 mg/100 ml
0.1 ml
Stok 4
Glicine
2
100 mg/100 ml
2.0 ml
Myo-Inositol
Gula
Agar
100
30 gram
8 gram
Langsung ditimbang Langsung ditimbang Langsung ditimbang
Lampiran 3
Rata-rata pertumbuhan yaitu jumlah tunas, pertambahan tinggi, jumlah daun, dan jumlah akar. a. Jumlah tunas adventif Minggu Setelah Tanam (MST)
Jenis Media
1
2
3
4
5
6
7
8
Kontrol
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
A 0,5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
A 1,0
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
A 1,5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
A 2,0
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
B 0,5
0,10
0,60
0,60
0,60
0,60
0,80
0,80
0,80
B 1,0
0,90
1,00
1,20
1,30
1,30
1,30
1,30
1,50
B 1,5
0,90
0,90
0,90
0,90
0,90
0,90
1,30
1,50
B 2,0
0,60
0,90
1,00
1,10
1,10
1,10
1,10
1,30
K 0,5
0,40
0,70
1,00
1,00
1,00
1,20
1,30
1,30
K 1,0
0,50
0,50
0,60
0,60
0,70
1,00
1,00
1,00
K 1,5
0,60
1,00
1,40
1,60
1,80
2,00
2,10
2,10
K 2,0
1,00
1,30
1,60
1,70
1,70
1,70
1,70
1,70
T 0,5
0,80
0,90
1,00
1,00
1,20
1,20
1,20
1,20
T 1,0
0,50
0,50
0,80
0,90
1,00
1,10
1,20
1,40
T 1,5
0,20
0,50
0,60
0,60
0,60
0,60
0,70
0,70
T 2,0
0,90
1,10
1,20
1,40
1,40
1,60
1,70
1,80
b. Jumlah tunas lateral Minggu Setelah Tanam (MST)
Jenis Media
1
2
3
4
5
6
7
8
Kontrol
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
A 0,5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
A 1,0
0,30
0,30
0,30
0,30
0,30
0,40
0,40
0,40
A 1,5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
A 2,0
0,00
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
B 0,5
0,70
0,90
1,10
1,20
1,30
1,60
1,60
1,60
B 1,0
1,30
1,50
2,00
2,30
2,30
2,60
2,90
3,20
B 1,5
2,40
2,70
3,20
3,40
3,40
3,50
3,60
3,90
B 2,0
1,10
1,80
2,50
2,60
2,70
3,00
3,10
3,50
K 0,5
0,20
0,20
0,30
0,30
0,30
0,30
0,30
0,30
K 1,0
0,20
0,30
0,30
0,30
0,40
0,60
0,60
0,60
K 1,5
0,30
0,70
1,10
1,50
1,90
2,30
2,30
2,80
K 2,0
0,70
1,00
1,20
1,30
1,30
1,40
1,50
1,80
T 0,5
0,80
1,20
1,30
1,80
1,90
2,00
2,20
2,20
T 1,0
0,40
0,70
0,80
0,80
1,10
1,20
1,20
1,20
T 1,5
0,30
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
T 2,0
0,30
0,50
0,60
0,60
0,60
0,60
0,60
0,90
c. Pertambahan tinggi Minggu Setelah Tanam (MST)
Jenis Media
1
2
3
4
5
6
7
8
Kontrol
0,16
0,26
0,6
0,67
0,72
0,94
1,16
1,55
A 0,5
0,22
0,33
0,59
0,85
0,98
1,1
1,38
1,86
A 1,0
0,22
0,46
0,83
0,95
1,05
1,41
1,71
2,15
A 1,5
0,21
0,34
0,52
0,69
0,87
1,03
1,31
1,72
A 2,0
0,34
0,48
0,74
0,85
0,95
1,15
1,45
1,86
B 0,5
0,47
0,63
0,88
0,98
1,03
1,18
1,18
1,18
B 1,0
0,52
0,84
1,4
1,69
1,79
1,86
1,94
1,97
B 1,5
0,51
0,64
0,91
0,99
1,04
1,08
1,13
1,2
B 2,0
0,52
0,72
1,02
1,07
1,2
1,43
1,49
1,54
K 0,5
0,46
0,73
1,26
1,74
1,95
2,48
3,22
4,33
K 1,0
0,17
0,25
0,46
0,49
0,55
0,61
0,63
0,68
K 1,5
0,5
0,71
1,16
1,33
1,42
1,68
1,99
2,32
K 2,0
0,48
0,64
0,87
0,93
1,11
1,14
1,25
1,57
T 0,5
0,27
0,37
0,68
0,81
0,91
1,04
1,04
1,04
T 1,0
0,41
0,55
0,93
1,02
1,36
1,86
2,23
2,49
T 1,5
0,24
0,3
0,55
0,68
0,72
0,74
0,81
0,9
T 2,0
0,47
0,65
1,17
1,69
2,2
2,71
3,29
3,73
2 1,10 1,20 1,10 1,00 0,80 1,20 1,60 1,10 0,80 1,60 1,40 1,60 1,30 0,60 0,60 0,90 1,00
Minggu Setelah Tanam (MST) 3 4 5 6 2,20 2,80 3,30 1,70 2,30 2,70 3,70 1,70 2,00 2,40 3,40 1,60 1,80 2,30 2,80 1,60 2,40 2,90 3,70 0,80 1,20 1,40 1,20 1,20 2,10 2,10 2,20 2,20 1,00 0,90 0,90 1,00 0,90 0,90 1,30 0,90 2,30 3,40 3,70 2,10 1,50 1,50 1,70 1,40 1,50 1,50 1,90 1,70 1,30 1,30 1,60 1,30 0,60 0,60 0,60 0,60 0,70 1,00 1,60 0,80 0,90 0,90 1,00 0,90 1,80 2,30 2,80 1,40
7 3,90 4,10 4,10 3,50 4,00 1,20 1,50 0,90 1,40 4,80 1,80 1,80 1,60 0,60 1,60 1,30 3,00
8 4,30 4,60 4,60 3,50 4,50 1,30 1,50 0,90 1,50 4,70 1,90 2,20 1,70 0,60 2,00 1,30 3,30
d. Jumlah daun Jenis Media Kontrol A 0,5 A 1,0 A 1,5 A 2,0 B 0,5 B 1,0 B 1,5 B 2,0 K 0,5 K 1,0 K 1,5 K 2,0 T 0,5 T 1,0 T 1,5 T 2,0
1 0,80 0,90 0,80 0,60 0,60 1,00 1,20 0,90 1,00 1,20 1,10 1,10 0,90 0,70 0,60 0,90 1,00
e. Jumlah akar Minggu Setelah Tanam (MST)
Jenis Media
1
2
3
4
5
6
7
8
Kontrol
0,50
3,40
5,50
6,50
7,20
7,80
8,50
8,80
A 0,5
0,20
3,20
3,90
4,80
5,30
6,10
6,80
7,10
A 1,0
0,00
2,60
4,30
5,10
5,90
6,60
7,50
8,40
A 1,5
0,00
3,10
3,80
4,20
4,50
4,70
5,00
5,40
A 2,0
0,10
3,30
4,20
4,70
4,90
5,20
5,60
6,40
B 0,5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,10
1,20
2,10
2,90
B 1,0
0,00
0,00
0,00
0,00
0,10
0,50
0,80
2,00
B 1,5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,10
0,20
0,60
B 2,0
0,00
0,00
0,00
0,00
0,10
0,40
0,70
1,20
K 0,5
0,00
0,40
1,30
2,30
3,90
6,10
6,50
7,40
K 1,0
0,40
1,10
2,00
2,30
2,60
3,20
3,80
4,20
K 1,5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,50
1,10
2,20
K 2,0
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,80
1,80
2,50
T 0,5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,50
1,00
1,80
2,00
T 1,0
0,00
0,00
0,10
0,10
0,70
2,30
2,90
4,50
T 1,5
0,60
0,70
0,70
0,80
1,30
1,70
2,00
3,00
T 2,0 Keterangan :
0,00
0,10
1,00
2,00
3,90
4,80
5,80
7,90
Kontrol A 0,5 A 1,0 A 1,5 A 2,0 B 0,5 B 1,0 B 1,5 B 2,0 K 0,5 K 1,0 K 1,5 K 2,0 T 0,5 T 1,0 T 1,5 T 2,0
: MS (Kontrol) : MS + AdSO4 0,50 mg/l : MS + AdSO4 1,00 mg/l : MS + AdSO4 1,50 mg/l : MS + AdSO4 2,00 mg/l : MS + BAP 0,50 mg/l : MS + BAP 1,00 mg/l : MS + BAP 1,50 mg/l : MS + BAP 2,00 mg/l : MS + Kinetin 0,50 mg/l : MS + Kinetin 1,00 mg/l : MS + Kinetin 1,50 mg/l : MS + Kinetin 2,00 mg/l : MS + Thidiazuron 0,50 mg/l : MS + Thidiazuron 1,00 mg/l : MS + Thidiazuron 1,50 mg/l : MS + Thidiazuron 2,00 mg/l
Lampiran 4 Hasil analisisi sidik ragam a. Jumlah tunas adventif 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum
Db 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169
JK 22,79 69,00 91,79 31,65 79,70 111,35 46,00 111,70 157,70 55,22 126,90 182,12 60,45 140,50 200,95 68,82 158,50 227,32 75,29 189,20 264,49 83,21 217,50 300,71
KT 1,42 0,45
F Hit 3,16
Pr > F 0,0001
1,98 0,52
3,80
<,0001
2,88 0,73
3,94
<,0001
3,45 0,83
4,16
<,0001
3,78 0,92
4,11
<,0001
4,30 1,04
4,15
<,0001
4,71 1,24
3,81
<,0001
5,20 1,42
3,66
<,0001
db 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169
JK 61,15 141,20 202,35 86,42 165,70 252,12 136,45 156,40 292,85 165,45 173,50 338,95 171,84 186,98 358,83 204,00 199,20 403,20 225,42 208,20 433,62 277,55 218,10 495,65
KT 3,82 0,92
F Hit 4,14
Pr > F <,0001
5,40 1,08
4,99
<,0001
8,53 1,02
8,34
<,0001
10,34 1,13
9,12
<,0001
10,74 1,24
8,67
<,0001
12,75 1,30
9,79
<,0001
14,09 1,36
10,35
<,0001
17,35 1,43
12,17
<,0001
b. Jumah tunas lateral 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat percobaan Umum Perlakuan Galat percobaan Umum Perlakuan Galat percobaan Umum Perlakuan Galat percobaan Umum Perlakuan Galat percobaan Umum Perlakuan Galat percobaan Umum Perlakuan Galat percobaan Umum Perlakuan Galat percobaan Umum
c. Pertambahan tinggi 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum
db 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169
JK 3,05 9,63 12,68 5,66 18,74 24,41 12,31 43,61 55,92 22,60 74,47 97,06 32,39 110,12 142,51 52,86 192,76 245,62 89,16 307,59 396,75 144,76 474,24 619,00
KT 0,19 0,06
F Hit 3,03
Pr > F 0,0002
0,35 0,12
2,89
0,0004
0,77 0,29
2,70
0,0009
1,41 0,49
2,90
0,0004
2,02 0,72
2,81
0,0005
3,30 1,26
2,62
0,0012
5,57 2,01
2,77
0,0006
9,05 3,10
2,92
0,0003
JK 6,20 45,10 51,30 16,38 76,50 92,88 33,58 141,60 175,18 58,61 145,30 203,91 116,25 215,10 331,35 186,80 300,40 487,20 298,65 368,70 667,35 347,18 449,20 796,38
KT 0,39 0,29
F. Hit 1,31
Pr > F 0,1948
1,02 0,50
2,05
0,0134
2,10 0,93
2,27
0,0054
3,66 0,95
3,86
<,0001
7,27 1,41
5,17
<,0001
11,68 1,96
5,95
<,0001
18,67 2,41
7.75
<.0001
21,70 2,94
7,39
<,0001
d. Jumlah daun 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum
Db 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169
Jumlah akar 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum Perlakuan Galat Percobaan Umum
Db 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169 16 153 169
JK 6,29 45,80 52,09 320,82 209,70 530,52 609,71 323,80 933,51 829,75 447,40 1277,15 997,58 673,60 1671,18 1079,25 1196,40 2275,65 1143,80 1715,90 2859,70 1176,40 2960,10 4136,50
KT 0,39 0,30
F hit. 1,31
Pr > F 0,20
20,05 1,37
14,63
<,0001
38,11 2,12
18,01
<,0001
51,86 2,92
17,73
<,0001
62,35 4,40
14,16
<,0001
67,45 7,82
8,63
<,0001
71,49 11,22
6,37
<,0001
73,53 19,35
3,80
<,0001
Lampiran 5 Kondisi tanaman binahong pada akhir pengamatan (8 MST)
Keterangan : Kontrol : MS A 0,5 : MS + AdSO4 0,50 mg/l A 1,0 : MS + AdSO4 1,00 mg/l A 1,5 : MS + AdSO4 1,50 mg/l A 2,0 : MS + AdSO4 2,00 mg/l B 0,5 : MS + BAP 0,50 mg/l B 1,0 : MS + BAP 1,00 mg/l B 1,5 : MS + BAP 1,50 mg/l B 2,0 : MS + BAP 2,00 mg/l K 0,5 : MS + Kinetin 0,50 mg/l K 1,0 : MS + Kinetin 1,00 mg/l K 1,5 : MS + Kinetin 1,50 mg/l K 2,0 : MS + Kinetin 2,00 mg/l T 0,5 : MS + Thidiazuron 0,50 mg/l T 1,0 : MS + Thidiazuron 1,00 mg/l T 1,5 : MS + Thidiazuron 1,50 mg/l T 2,0 : MS + Thidiazuron 2,00 mg/l