Penggunaan Bahasa Jawa pada Masyarakat Yogyakarta...............Erna Ikawati
69
PENGGUNAAN BAHASA JAWA PADA MASYARAKAT YOGYAKARTA Oleh: Erna Ikawati1 Abstract Structure a language determines the way speaker of looking at a culture. In javanese culture a good attitude is not to deviate from the agred valub. In the Yogyakarta area system taken into account the principle of descent through the father or mother’s lineage. While the uss of java language of manners and ngoko in socrety Yogyakarta can be devide into five patteras of social relationship. Keywords: Java language, manners, ngoko, Yogyakarta
1
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Padangsidimpuan
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
70
Pendahuluan Jogja memiliki kekhasan sendiri dalam segala abad atau budi bahasa kejawennya. Kata Jogja selama ini dibuat, disusun dan dimiliki oleh para penguasa orang Jawa generasi penerusnya. Para penguasa itu menganggap dan mempercayai bahwa menjadi seorang manusia dewasa adalah sama dengan menjadi seorang Jawa. Ada pertalian yang erat antara menjadi “Jawa” dan “mengerti”. Kemudian anggapan tersebut bagaimanapun juga toh dipercayai oleh (sebagaian) rakyatnya.2 Mengikuti langgam permainan berbudi bahasa, sebenarnya membuat seseorang mulai dengan mengangkat sesuatu arti masa yang mendahului. Kemudian dengan itu ia menghasikan sebuah arti yang baru; secara bebas; tak terduga dan berlebih-lebihan. Dengan demikian hal tersebut dalam arti tertentu; akan menunjuk pada sebuah pendapat mengenai bidang kebahasaan yang mengatakan bahwa sesuatu tak selalu harus mendahului peristiwa turut atau ujurnya. Bahkan makna itu sendiri sebenarnya hanya salah satu akibat dari gejala berbahasa. Makna bukanlah sebuah penampilan di dalam di balik bahasa tetapi sebuah akibat dari gejala keberbudibahasaan yang bisa jadi memang cair dan liar. Bahasa Jawa Krama dan Ngoko Kata Jawa biasanya dipakai dalam buku tata bahasa Jawa untuk menyatakan substitusi kata yang dahulu hanya boleh dipakai bila seorang pembica menyapa seseorang yang menurut norma Jawa mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi.3 Namun sering dengan demikian kompleksnya hubungan sosial maka bentuk karma ini juga dipergunakan dalam kasus di mana pembicara mempunyai kedudukan sosial yang sama atau bahkan lebih tinggi daripada lawan sapanya. Kata Ngoko, yaitu “ memakai bahasa ngoko” dalam tulisan dipakai untuk kata yang mempunyai pasangan krama.4 Bentuk Hormat dalam Bahasa Jawa Di antara orang Jawa berpendidikan tidak ada aspek bahasa Jawa yang lebih banyak menarik perhatian dan lebih banyak diperbincangkan daripada Susanto, Budi, Berbudi Bahasa Jawa Dikaji Ulang Dalam PELLBA 5 (pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Kelima), (Jogjakarta: Kanisius, 1992), hlm. 55-56. 3 Ublenbeck, EM, Kajian Morfologi Bahasa Jawa, (Jakarta : Djambatan, 1982), hlm. 308. 4 Ibid., hlm, 309. 2
Penggunaan Bahasa Jawa pada Masyarakat Yogyakarta...............Erna Ikawati
71
bentuk hormat yang beraneka ragam serta kaidah yang mengatur pemakaian bentuk ini secara benar. Gaya krama selanjutnya dapat dibagi dalam “ mudah-krama” (=krama mudah), “kramantra” (= krama antara) dan “werdah-krama” (krama tua; madya dapat dibagi menjadi “madya ngoko”, “madyantara” (=madya antara) dan “madya krama”, ngoko dapat dibagi menjadi ngoko yang sebenarnya dan “ngokoandhap”. Selanjutnya, Geertz membagi masyarakat bahsa Jawa ke dalam tiga golongan pembicara yang dinyatakan dengan definisi berikut:1) golongan nonpriyayi, penduduk kota yang terpelajar,2) petani dan penduduk kota yang tidak terpelajar, dan 3) priyayi yang dituliskan lain oleh Greerz disebut “The White Collar Elite” dalam masyarakat Jawa.5 Masyarakat Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Namun aliran modern menarik kebenarannya terhadap penelitian ini dan mengatakan bahwa masyarkat hanya terdapat dalam gambaran saja, menurut mereka masyarakat tidak dapat dilihat menurut waktu dan tempat sebagaiman kita melihat suatu barang yang konkrit dengan mata kepala.6 Dengan demikian, mereka keberatan kalau orang hanya memperlihatkan masyarakt ini dan bentuknya. Mereka lebih sibuk mengutamakan proses kemasyarakatan yang memberi hidup kepda kehidupan bersam itu. Selanjutnya, manusia hanya dapat sempurna dala golongan atau dalam masyarakatnya. Seorang manusia yang dilahirkan di tengah hutan dan dirawat monyet misalnya tidak akan mengenal pengetahuan manusia, tidak bisa berbicara normal, tak berbahasa dan sebagainya. Karena golongannya atau masyarakat itu ,manusia dapat bercakap artinya mempergunakan bahasa, mengenal adat-istiadat hidup bersama selanjutnya dapat hidup sebagai manusia dengan segala kebutuhan sosial itu dijamin dan dipelihara. Golongan dan masyarakat serta kebudayaan yang dimiliki 5 6
hlm. 47.
Ibid., hlm. 330-333. Shadily, Hasan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993),
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
72
itu telah membedakan pemuda dari hewan-hewan lainnya. Manusia dan masyarakat itu saling mempengaruhi dan rupa-rupanya manusia tak dapat diperbedakan satu sama lain, di mana ada manusia di sana terdapat masyarakat sebaliknya.7 Kebudayaan Perilaku sosial dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan, menurut ilmu antropologi “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakannya dengan belajar yaitu hanya beberapa tindakan naluris berupa refleks beberapa tindakan akibat proses fisiologi atau kelakuan apabila ia sedang mambabi buta. Dengan demikian, “budaya” adalah ”daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa itu, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta , karsa dan rasa itu.8 Hubungan Bahasa dan Kebudayaan Ihwal ada tidaknya hubungan antara bahasa dan kebudayaan telah menjadi perhatian dari berbagai pihak dan berbagai latar belakang. Bahwa adakah hubungan antara bunyi, kata dan kalimat suatu bahasa dengan cara-cara para penutur bahasa tersebut menghadapi dunia dan perilaku di dalamnya, tampak begitu kokoh. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan ada 3 pernyataan; pertama, struktur sebuah bahasa menentukan cara para penutur bahasa tersebut memandang dunia versi yang lebih lunak, yaitu: struktur bahasa tidaklah menentukan pandangan terhadap dunia tetapi tetap sangat mempengaruhi kecenderungan para penutur sebuah bahasa dalam memilih suatu perdagangan tertentu terhadap dunia.
180.
7
Ibid., hlm. 59.
8
Koentjoroningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), hlm.
Penggunaan Bahasa Jawa pada Masyarakat Yogyakarta...............Erna Ikawati
73
Kedua,
berlawanan dengan pernyataan pertama, yakni bahwa kebudayaan menemukan cerminannya dalam bahasa yang dipergunakan; karena orang menghargai hal-hal tertentu dan melakukannya dengan cara tertentu, maka orang juga menggunakan bahasanya dengan cara yang mencerminkan apa yang mereka hargai dan mereka lakukan. Dalam perdagangan ini tuntunan-tuntunan kultural tidak menentukan struktur sebuah bahasa, tetapi tuntunan-tuntunan itu pasti mempengaruhi bagaimana bahasa digunakan dan mungkin menentukan mengapa bentuk-bentuk tertentu mereka gunakan. Ketiga, merupakan pernyataan yang “netral” yakni hanya ada sedikit atau sama sekali tidak ada relasi antara bahasa dan kebudayaan. 9 Selanjutnya setiap kelompok mempunyai ciri pemberian khusus (characteristic); walaupun satu sama lain ada kode linguistik yang bersamaan (common linguistic code). Setiap anggota masyarakat ujaran mempunyai kebersamaan dalam perangkat-perangkat budaya seperti politik dan etik, kebersamaan dalam mengklasifikasikan gejala-gejala itu serta makna yang diberikan terhadap klasifikasi ini. Masyarakat (ujaran) diikat kebersamaan dalam sejarahnya berdiri dan menyepakati sistem nilai budaya mereka. Mereka mengetahui cara yang baik dan salah dalam melakukan sesuatu seperti berpakaian, makan, minum dan bagaimana mendidik anak-anak mereka. Dan mereka pun mempunyai cara tersendiri dalam mengkomunikasikan semua ini dengan perantara bahasa. Demikian hubungan kebudayaan dengan bahasa.10 Identitas Orang Jawa Bagaimana orang dapat menyebutkan identitas dirinya sebagai We The Javanese misalnya dan bagaimana pula orang lain dapat menganggap pengakuan itu benar. Jawaban yang ideal adalah bila kedua kriteria pendukung itu hadir semuanya, tipe etnis dan kulturalnya. Apabila hanya hadir salah satu maka kriteria kultur lebih signifikan. Anak-anak keturunan imigrasi di Amerika Serikat secara kultural adalah orang Amerika karena mereka show the attitude among the children he plays with, and grows up to the same profession that hey elect.
Surana, Bahasa dan Kebudayaan dalam Padma, Jurnal Seni dan Budaya Fakultas Bahasa dan Seni UNESA (Surabaya: Vol. 2 No. 1 Januari, 2003). hlm. 69-77. 10 Al Wasilah, A. Chaedar, Pengantar sosiologi Bahasa (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 71. 9
74
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
Mereka telah menginternalisasai seluruh perangkat keyakinan-keyakinan kultural dari masyarakat baruna sera meninggalkan perangkat keyakianan kultural dari kelompok orang tuanya daripada mereka berasal Benedict dalam Asofie. 11 Orang Jawa mempunyai klasifikasi unik bagi mereka yang terlibat langsung di dalam interaksi kultural Jawa. Dalam budaya Jawa, perilaku yang baik adalah tidak menyimpang dari nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Ukuran perbuatan atau perilaku sikap yang baik menurut pandangan orang Jawa dala, kehidupan sosial antara lain: 1. Mau bekerja sama dengan orang lain 2. Saling tolong menolong 3. Bergotong royong 4. Rukun 5. Hormat kepada orang lain terutama yang lebih tua atau orang yang menduduki jabatan tinggi. Secara pribadi orang dikatakan baik apabila ia : 1. Bersikap jujur 2. Disiplin dalam menaati peraturan atau norma-norma yang berlaku 3. Patuh pada instruksi atasan atau perintah orang tua. Dalam tata pergaulan kemasyarakatan pun orang selalu mengacu pada budaya atau nilai budaya yang berlaku. Wujud nilai budaya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari adalah tata krama, sopan santun, tata susila. Tata krama dan laim sebagainya itu bersumber dari budaya,karenanya tat krama ini akan mengatur pola interaksi antara warga dalam masyarakat. Kondisi Masyarakat Yogyakarta 1. Sistem Kemasyarakatan Sistem ini mempunyai peranan penting untuk melihat ganbarab kehidupan dan persepsi masyarakat terhadap keluarga beserta budaya. Dengan demikian budaya yang dianut oleh masyarakat dapat dipahami. Ikatan pokok kekerabatan adalah “daerah” atau “keturunan” maupun karena perkawinan, untuk “keturunan” biasanya diambil tokoh tertentu sebagai pusat perhitungan.
Asoefi, Dardiri, Ketika orang Jawa bukan lagi orang Jawa. Tinjauan Sosingualistik dalam bahasa “ Verba”. (Surabaya: Jurnal Ilmu Bahasa Vol. @ No. 1 Oktober, 2000). hlm. 10-12. 11
Penggunaan Bahasa Jawa pada Masyarakat Yogyakarta...............Erna Ikawati
75
2. Prinsip Keturunan Di daerah Yogyakarta sistem prinsip keturunan diperhitungkan melalui garis keturunan pria (ayah) maupun wanita (ibu). Dalam antropologi prinsip keturunan ini disebut dengan istilah prinsip bilateral (=bilateral descent). Prinsip bilateral ini untul masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, pada umumnya dapat kita lihat pada misalnya dalam peristiwa perkawinan. Menurut adat yang berlaku seoang wanita sah menjadi isteri seorang pria, jika pernikahan dilakukan oleh ayah kandung sebagai walinya. Kalau tidak misalnya, ayah kandung sudah meninggal dunia, dapat ditunjuk salah seorang saudar kandung pria. 3. Sistem Pelapisan Sosial Menurut Koentjoroningrat sistem pelapisan sosial atau disebut juga stratifikasi sosial yang hampir terdapat pada setiap masyarakat di dunia ini, tumbuh karena di dalam masyarakat itu terdapat perbedaan status atau tingkat sosial yang dimiliki oleh setiap individu sebgai warga negara masyarakat. Dengan demikian dapat dibenarkan apabila orang mengatakan bahwa di dalam pelapisan sosial itu terlihat adanya suatu ciri-ciri yang menunjukkan persamaan tingkat sosial dan hubungan yang intim di antara individu-individu dalam kelompoknya atau pelapisannya. Di dalam pelapisan sosial, oarang benar-benar tertutup dan dibatasi oleh status resmi. Kebalikannya adalah pelapisan sosial tidak resmi. Yang terakhir ini setiap anggotanya masih mungkin mengubah status dirinya. Pelapisan sosial ini biasanya di dasarkan atas keadaan ekonomi, pendidikan dan umur.12 Kelurahan kadipaten yang memiliki penduduk sebagian adalah kaum bangsawan, maka pelapisan sosial resmi masih nampak. Maupun sudah tidak begitu ketat seperti dulu. Dengan demikian sistem pelapisan sosial yang nampak terdiri dari golongan bangsawan dan golongan rakyat. Golongan bangsawan disebut juga ningrat atau priyayi, yaitu mereka yang termasuk kerabat raja, keturunan kerabat raja atau saudara-saudaranya raja (= santono dalem). Golongan bangsawan, ningrat atau priyayi disebabkan karena mereka yang benarbenar memiliki hubungan darah dengan raja atau saudara-saudara raja, mereka yang menjalankan tugas yang diberikab oleh raja kepadanya, dan pada waktu dulu mereka yang dapat menjadi pegawai pemerintah koloni Hindia Belanda.
12
Koentjoroningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipt, 1990), hlm. 64.
76
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
4. Sistem Religi/Kepercayaan Setelah kedatangan orang Hindia, maka suku bangsa Jawa banyak memeluk agama Hindu dan Budha, terbukti banyak didirikannnya candi-candi yang bersifat Hindu dan Budha. Begitu pula dengan kedatangan agama Islam, agama ini juga banyak dipeluk oleh penduduk. Naman demikan kepercayaan lama masih tetap dilestarikam. Dengan demikian yang hidup dalam pikiran orang Jawa adalah suatu konsep campuran yang disebut sebagai buaya Jawa. Penggunaan Bahasa Jawa Krama dan Ngoko dalam Berbagai Pola Hubungan Sosial 1. Pola Hubungan Sosial Antara Suami-Isteri-Anak a. Hubungan sosial antara suami dan isteri Komunikasi sehari-hari yang dilakukan oleh suami kepada isteri menggunakan bahasa Jawa ngoko, sebaliknya isteri dengan manggunakan bahasa Jawa Kromo. Akan tetapi isteri sering kali menggunakan bahasa Jawa ngoko. Termasuk di dalamnya ketika suami akan menyuruh isterinya, terlebih dahulu akan didahului dengan kata minta tolong. Hal ini dapat kita ihat pada data berikut: dengan kata minta tolong. Hal ini dapat kita lihat pada contoh berikut: Suami : Bu, tolong aku tukokno rokok neng warung! Isteri : Oh inggih, Gudang Garam punapa Sampoerna? b. Hubungan sosial antara ayah dengan ank pria Bahasa yang digunakan ayah ketika berbica dengan anaknya ialah bahasa Jawa Ngoko, sebaliknya ank menggunakan bahasa Jawa kromo. Kondisi semacam ini tidak mutlak semuanya. Di antara mereka ternyata ada keluarga yang anaknya menggunakan bahasa Jawa ngoko, jika berbicara dengan ayahnya. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut: Ayah : kowe arep menyang endhi Le? Anak pria : badhe kesah Surabaya c. Hubungan sosial antara ayah dengan anak wanita Tidak berbeda dengan bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga lain, bahasa yang digunakan ayah berbicara dengan ank wanita adalah bahasa Jawa ngoko. Begitu juga jika ayah akan memberi tugas kepada ank wanitanya dengan cara langsung seperti
Penggunaan Bahasa Jawa pada Masyarakat Yogyakarta...............Erna Ikawati
77
diterapkan pada anak pria. Percakapan tersebut terlihat pada contoh berikut: Ayah : Nduk, apa kowe ora ngrewangi ibumu ta? Anak wanita : Inggih Pak, sekedap malih d. Hubungan sosial antara ibu dengan anak pria Bahasa yang digunakan ibu berbicara dengan ank pria adalah dengan bahasa Jawa ngoko. Sebaliknya, anak pria menggunakan bahasa Jawa kromo tetapi ada beberapa anak pria yang menggunakan bahasa Jawa ngoko. Selanjutnya apabila ibu akan memberi tugas kepada ank prianya, menggunakan bahasa Jawa ngoko dengan sebutan le atau tole. Komunikasi tersebut dapat dilihat pada contoh berikut: Ibu : Le, mbok ya nang budhal kana, mengko keri lho Anak pria : Mangke rumiyin bu, nengga sarengan kemawon. e. Hubungan sosial antara ibu dengan anak wanitanya Dalam berkomunikasi ibu dengan anak wanitanya, tidak jauh berbeda dengan ank prianya yakni dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Sebaliknya, anak wanita tersebut dalam berbicara dengan ibunya menggunakan bahasa Jawa kromo. Apabila ibu menyuruh anak wanitanya, bahasa yang digunakan adalah Jawa ngoko, dengan menyebut nama anak atau dengan nduk, baru menyebut pa yang akan diperhatikannya. 2. Pola Hubungan Sosial antara Saudara Kandung a. Hubungan sosial antara kakak dengan adik pria Hubungan sosial antara kakak dengan adik pria menggunakan bahasa Jawa ngoko, kondisi ini tampak ketika kakak menyuruh adiknya. Kakak langsung menyuruh pada adiknya tentang apa yang harus dikerjakan. Sebaliknya, jika adik minta tolong kepada kakaknya untuk membantu menyelesaikan masalah, maka adik akan menyebut minta tolong. Komunikasi antara kakak dengan adik dapat kita lihat seperti berikut: Kakak : Dik, kowe kok orang bantu ibu nang burita? Adik : Tulung sampeyan disik, aku engko tak nyusul. b. Hubungan sosial antara kakak pria dengan adik wanita Komunikasi antara kakak dengan adiknya wanita menggunakan bahasa Jawa ngoko. Kakaknya bersikap membimbing, mengawasi dan melindungi
78
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
adiknya. Sebaliknya, jika kakak menyuruh adiknya langsung menyebutnya apa yang menjadi perintahnya. c. Hubungan sosial antara kakak wanita dengan adik wanita Bahasa yang digunakan kakak wanita dalam berbicara dengan adik wanita dalam berbicara dengan adik wanita adalah Jawa ngoko. Demikian pula pembicaraan adik dengan kakak wanitanya. Mereka dapat bertemu jika keduanya tidak bepergiam. Aktivitasnya di rumah seperti mencuci dan memasak merupakan media untuk berkomunikasi. Dalam pertemuan itu hal-hal yang dibicarakan adalah masalah keluarga, keperluan pribadi sekolah dan masalah pekerjaan. Jika dibandingkan dengan anggota keluarga yang lain, hubungan mereka relatif lebih akrab. d. Hubungan sosial antara kakak wanita dengan adik pria Komunikasi antara kakak wanita dengan adik pria menggunakan bahasa Jawa ngoko. Dalam hal menyuruh, waktu bertemu dan sikap antara kakak adiknya tidak jauh berbeda dengan hubungan antara kakak pria dengan adik wanitanya. 3. Pola Hubungan Sosial antara Anak dengan Bibi/Paman, Pakdhe/Budhe a. Hubungan sosial antara anak dengan bibi/ perempuan, padhe/ budhe Seorang anak menggunakan bahasa Jawa ktomo, apabila berkomunikasi dengan paman, bibi, pakdhe dan budhenya. Bagi paman, bibi, pakdhe, dalam berkomunikasi dengan keponakannya, cukup menggunakan bahasa Jawa ngoko. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan data 2,3 dan 4. b. Hubungan anak dengan saudara dekat Dalam pembicaraan ini yang dimaksud dengan saudara dekat adalah tunggal simbah. Bahasa yang digunakan oleh anak, saat berkomunikasi dengan saudara dekatnya adalah bahasa Jawa ngoko, akan tetapi, jika berbicara dengan anggota keuarga saudara dekat ang tinggal di tempatjauh, menggunakan bahasa Jawa kromo. c. Hubungan anak dengan saudara jauh Dalam berkomuikasi antara anak dengan saudara jauh, menggunakan bahasa Jawa kromo. Walaupun jarang sekali bertemu, tetapi pada saat mempunyai hajat dapat dilakukan. Di antara anak dengan keluarga jauh, jarang sekali minta tolong, karena rasa sungkan. Hanya saja jika ada masalah-masaah yang perlu diselesaikan, mereka pun akan
Penggunaan Bahasa Jawa pada Masyarakat Yogyakarta...............Erna Ikawati
79
membicarakannya. Masalah-masalah yang sering dibicarakan ada kaitannya dengan sekolah, keadaan kampung, keluarga dan pekerjaan. 4. Pola Hubungan Sosial antara Anak dengan Luar Kerabat a. Hubungan sosial antara anak dengan tetangga Bahasa Jawa ngoko merupakan bahasa yang digunakan berhubungan dengan tetangga yang seusia atau berumur lebih muda. Sedangkan dalam berkomunijasi dengan tetangga yang usianya lebih tua menggunakan bahasa Jawa kromo. Demikian halnya jika anak minta tolong kepada tetangganya yang lebih muda atau seusianya, ank secara langsung menyuruhnya. Akan tetapi jika anak minta bantuan kepada tetangga yang lebih tua maka terlebih dahulu ia menyatakan apakah tetangga tersebut mempunyai waktu, apabila ya maka anak minta tolong. b. Hubungan sosial antara anak dengan teman-temannya Hubungan dan sikap yang terjadi antara anak dengan teman- temannya tidak jauh dengan prinsip-prinsip pergaulan atau penentuan sikap antara anak dengan tetangganya. 5. Pola Hubungan Sosial Antara Suami Isteri dengan Mertua a. Hubungan sosial anatara suami dengan mertua Suami terhadap mertua, baik ayah maupun ibu selalu menghormati,. Boleh dikata tidak ditemukan suami (menantu) yang memakai bahasa Jawa ngoko, ketika berkomunikasi dengan mertuanya. Selain dianggap kurang sopan, dan tidak menghargai atau tidak mengerti unggah-unggah, sikap ini dipandang sebagai hal yang tabu. Hal tersebut dapat kita lihat pada komunikasi berikut: Menantu : Punapa bapak kaliyan Ibu sampun adhahar? Mangga sareng-sareng kemawon! Mertua : Wis mari kok, ya apa were anane. b. Hubungan sosial antara isteri dengan mertua Hubungan antar isteri dengan mertua tidak begitu jauh berbeda dengan hubungan dan sikap yang terdapat dalam hubungan antar suami dengan mertua, seperti pada data di atas.
80
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
Penutup Penggunaan Bahas Jawa krama di Jogja cukup tinggi, ini dibuktikan dari hampir semua pola hubungan sosial yang ukup ada tetap menggunakan seperti apa yang dipolakan Geertz. Bebetapa ketaatan dalam penggunaan bahasa krama antara lain seperti: isteri terhadap suami, anak pria terhadap ayah, anak pria terhadap ibu, anak dengan budhe/ pakdhe, anak dengan tetanggga yang usianya lebih tua dan menantu dengan mertua. Ada beberapa kasus dimana terjadi ketidaktaatan dan penggunaan bahasa Jawa krama terjadi pada hubungan anak dengan saudara dekat (yang rumahnya dekat) menggunakan bahasa ngoko, sedangkan saudara dekat yang rumahnya jauh menggunakan kromo. Naman hal ini dapat dijelaskan bahwa hubungan pembicaraan dengan saudaranya tersebut sejajar, sedangkan hubungan yang timbul akibat pergaulan sehari membuat mereka menjadi akrab dan tidak lagimenggunakan krama, sedangkan saudara yang rumahnya jauh dengan jarangnya komunikasi menyebabkan rasa hormat dan segan untuk tidak menggunakan krama. Referensi Al Wasilah, A. Chaedar, Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa, 1993. Asoefi, Dardiri. 2000. Ketika orang Jawa bukan lagi orang Jawa. Tinjauan Sosingualistik dalam bahasa “ Verba”, Surabaya: Jurnal Ilmu Bahasa Vol. @ No. 1 Oktober 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud: 1996. Koentjoroningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990. Shadily, Hasan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993. Surana, Bahasa dan Kebudayaan dalam Padma, Jurnal seni dan Budaya Fakultas Bahasa dan Seni UNESA, Surabaya: Vol. 2 No. 1 Januari 2003. Susanto, Budi. 1992. Yogya (kar): Berbudi Bahasa Jawa Dikaji Ulang dalam PELLBA 5 (Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Kelima). Jogjakarta: Kanisius, 1992. Ublenbeck, EM, Kajian Morfologi Bahasa Jawa, Jakarta: Djambatan, 1982.