Linguistika Akademia Vol.1, No.1, 2012: 115~126 ISSN: 2089-3884
KESALAHAN PENGGUNAAN KOLOKASI BAHASA JAWA OLEH PENUTUR NON JAWA Ari Dianto e-mail:
[email protected] ABSTRACT The aim from this research is to analyze unacceptable collocation used to say by non Javanese speaker that speak up by Javanese Language. The other aim is for recognizing the mistakes of non Javanese speaker in saying the collocation in order to be able to communicate with the native speaker. The data that the writer has got is from the speeches of Student in UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Those data then are analyzed by the collocation theory that is able to determine the lexical mistake in such collocation. The non Javanese speaker is often do the lexical mistake when they say Banku pecah, the word of pecah is not acceptable nearby the word of Ban, because the word of pecah customary nearby the name of utensil such as glass, plate, etc. The word of pecah had to be changed by word of njeblug for the correct collocation in Javanese Language.
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ketidaklaziman dalan kolokasi yang sering di ujarkan para penutur non jawa yang berkomunikasi dengan Bahasa Jawa.Hal ini ditujukan agar para penutur non jawa mampu mengetahui kesalahan dalam menyandingkan kata sehingga dapat berkomunikasi dengan masyarakat jawa dengan lebih baik. Penelitian ini mendapatkan data dari para penutur non jawa yang yang terdapat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Data-data tersebut kemudian diteliti dengan teori kolokasi yang mghasilkan analisis kesalahan leksikal dalam menyandingkan kata. Penutur sering melakukan kesalahan leksikal saat berujar Banku pecah, kata pecah tidaklah tepat disandingkan dengan kata ban, karena kata pecah hanya lazim disandingkan dengan kata benda pecah belah seperti gelas, piring, dll. Kata pecah seharusnya diganti dengan kata njeblug. Kata kunci: kolokasi, penutur non Jawa, lazim,kesalahan leksikal.
A. PENDAHULUAN Fenomena pendatang dari luar suku jawa yang kebanyakan adalah mahasiswa mengakibatkan percampuran budaya dan bahasa. Suku
116
Jawa dengan bahasa Jawa yang merupakan bahasa asli menjdi bahasa komunikasi antara para pendatang ini dengan penduduk sekitar. Selain Baahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa pemersatu kebudayaan dan kesenjangan bahasa yang berbeda, para pendatang ini berusaha untuk belajar menggunakan bahasa asli masyarakat di Jawa agar tercapai kesan yang lebih akrab dan harmonis. Dalam prakteknya, pare penutur non jawa ini seringkali mengucapkan kosakata yang kurang tepat baik pada tataran fonologi, sintaksis, atau gramatikalnya. Yang peneliti lebih menaruh perhatian adalah fenomena kolokasi atau sanding kata bahasa Jawa yang sering tidak lazim dipadankan oleh penutur non jawa ini. Ketika seorang penutur non Jawa menucapkan kalimat motormu enak ditumpaki, penutur asli jawa pasti akan merasa ada sesuatu yang tidak lazin dari padanan kata motormu dengan kata enak. Ketidaklaziman ini akibat dari penyandingan kata yang tidak sesuai. Kata enak selayaknya tidak berkolokasi dengan kata motor, karena kata enak muncul untuk menjelaskan rasa enak suatu makanan. Seharusnya penutur menyandingkan kata motor dengan kata penak yang berarti nyaman. Penelitian ini akan mengungkap fenomena kolokasi semacam itu yang sering dituturkan oleh penutur non jawa sehingga para pendatang dapat lebih hati-hati lagi untuk memadankan kata sehinggga tercepai komunikasi yang baik dalam berbahasa Jawa. Data yang diambil oleh peneliti adalah ujaran ujaran para mahasiswa yang berasal dari suku non Jawa yang berujar menggunakan Bahasa Jawa di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.Kemudian peneliti menganalisis ketidaklaziman kolokasikolokasi yang terdapat pada ujaran para penutur non Jawa tersebut menggunakan teori kolokasi. B. LANDASAN TEORI Dalam Oxford Collocations Dictionary (2002:vii) dijelaskan bahwa kolokasi sebagai ”the way words combine in a language to produce a natural-sounding speech and writing”. Sejalan dengan Baker (1992:47), kolokasi ialah kecenderungan sejumlah kata untuk bergabung secara teratur dalam suatu bahasa, tetapi kata yang mana dapat berkolokasi dengan kata yang lain tidak ada Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 115 – 126
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
117
hubungannya secara logis. Hal ini juga ditegaskan oleh Sei dan Pain (2000:167) bahwa kolokasi ialah sekelompok kata yang sering muncul bersama. Terkait kolokasi, J.R. Firth juga mengemukakan pendapatnya bahwa kolokasi sandingan kosakata-kosakata dalam teks yang lazim dan tersendiri. Miasalnya dalam bahasa inggris kata green bersandingkata dengan grass, dark dengan night dan sebangsanya (Alwasilah, 1993: 69). Arti kolokasi diperoleh dari kata-kata itu secara individual, tetapi kalau salah satu kata diganti dengan kata yang mirip, maka kolokasi itu menjadi tidak wajar atau lazim dan tidak berterima. Misalnya, kolokasi meraih cita-cita berterima, tetapi mendapat citacita tidak berterima, walaupun kata meraih dan mendapat adalah dua kata yang mirip artinya. Setiap bahasa mempunyai kebiasaannya masing-masing. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata buka dapat berkolokasi dengan puasa menjadi buka puasa, tetapi dalam bahasa Inggris kata buka puasa tidak lazim diterjemahkan dengan open the fast. Yang lazim adalah break the fast. Dalam bahasa Indonesia, kata mati dapat bersanding dengan lampu menjadi lampu mati. Kata mati bersinonim dengan kata meninggal dunia, mangkat, berpulang ke rahmatullah, tetapi sinonim kata mati tidak lazim bergabung dengan kata lampu. Dalam bahasa Indonesia, tidak lazim dikatakan *lampu meninggal dunia/mangkat/berpulang ke rahmatulah. Jangkauan kolokasi suatu kata ditentukan oleh banyaknya arti yang dimilikinya. Semakin umum arti suatu kata semakin luas jangkauan kolokasinya (Larson, 1984; Baker, 1992). Dalam Bahasa Indonesia, ada kata menanak dan memasak. Kata memasak lebih umum artinya daripada menanak. Kata menanak dapat berkolokasi dengan nasi (menanak nasi), tetapi *menanak sayur, menanak ikan tidak ada. Kata memasak dapat berkolokasi dengan ikan, sayur, daging, nasi. Jangkauan kolokasi tidak tetap. Setiap waktu dapat bertambah dengan kolokasi baru maupun kolokasi yang unik. Menurut Baker (1992) dan Shei dan Pain (2000), pada dasarnya ada lima jenis kolokasi: 1. Kolokasi umum, yaitu jenis kolokasi yang digunakan seharihari. Kolokasi dengan makna ini adalah kolokasi yang tidak
Kesalahan Penggunaan Kolokasi Bahasa Jawa… (Ari Dianto)
118
2.
3.
4.
5.
berhubungan dengan profesi, hobi, atau budaya tertentu, tetapi artinya dipahami oleh kita semua; Kolokasi dengan makna unik. Kata seperti adu kaldu mempunyai arti unik. Biasanya adu berkolokasi dengan jago, jotos, panco, kata yang berhubungan dengan kekerasan. Tetapi dalam adu kaldu yang diadu cairan. Memang yang diadu kaldu yang bermerk Royco melawan kaldu yang bermerk lain; Kolokasi yang berhubungan dengan register. Kolokasi ini tidak lazim dalam bahasa sehari-hari. Tetapi dalam lingkungan kerja tertentu atau profesi tertentu cukup lazim. Dalam bahasa pendidikan kolokasi seperti metode belajar-mengajar, tes awal, tes akhir, tes tengah semester, semester genap, semester ganjil, anak berbakat, dsb. Dalam bidang hak asasi manusia, terdapat kolokasi penjualan anak, pelecehan seksual, hak melekat, kebebasan berbicara, hak pendidikan dan pengajaran, dsb. Kolokasi dengan arti khusus. Idiom dan ungkapan-ungkapan yang tetap (fixed), keduanya tidak dapat diganti urutan katanya. Kata-katanya tidak dapat ditambah, diganti, dihilangkan, maupun diubah struktur gramatikalnya, dalam arti, keduanya berbeda. Idiom artinya tidak dapat dipahami melalui arti setiap kata secara individual, tetapi melalui arti kata-kata secara keseluruhan. Misalnya, kata daun muda artinya wanita atau pria muda atau belasan tahun; jam karet artinya suka terlamat . Sebaliknya, ungkapan tetap artinya masih dapat dipahami melalui arti kata secara individual. Misalnya, hiruk, pikuk, hilir-mudik, pulang-pergi, dan naikturun; Kolokasi yang berhubungan dengan budaya tertentu. Dalam budaya Indonesia, terdapat kolokasi lumbung padi, mandi kembang, duduk bersila, arisan keluarga, mudik lebaran, dsb.
Pada umumnya sanding kata terdiri atas dua kata, bagian pertama dan bagian kedua. Arti sanding kata ditentukan oleh kata kedua. Dalam bahasa Indonesia ada sanding kata kursi makan dan kursi malas, kata kursi yang pertama, karena bersanding kata dengan makan berarti ‘kursi untuk makan yang terletak di meja Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 115 – 126
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
119
makan’, sedangkan kata kursi yang kedua, karena bersanding kata dengan kata malas, maka berarti ‘kursi untuk bersantai’. Secara tradisional dan konvensional keteraturan dalam suatu bahasa dilihat sebagai aturan-aturan atau kaidah dalam tata-bahasa. Belakangan ini sejumlah peneliti mulai meneliti sanding kata sebagai jenis keteraturan khusus (Kennedy, 1990:216). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanding kata dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu sanding kata gramatikal dan sanding kata leksikal. Kalau sanding kata gramatikal memperlihatkan adanya keteraturan atau dapat diramalkan dengan suatu kaidah, sebaliknya sanding kata leksikal bersifat mana suka (arbitrary) atau tidak ada hubungan logis antara kemunculan kata pertama dan kemunculan kata kedua (Baker, 1992:47). C. ANALISIS Peneliti menyajikan hasil analisa ini dengan menganalisis data bahasa berupa ujaran-ujaran mahasiswa yang berasal dari luar suku jawa, kemudian dalam berbahasa jawa sering terjadi ketidaklaziman penyandingan katanya/ kolokasinya. Dalam kasus ini, ketidaklaziman kolokasi leksikal menjadi perhatian besar bagi peneliti untuk dianalisis. Sanding kata leksikal ditandai dengan bergabungnya dua kata yang kedengaranya tidak lazim dalam bahasa jawa , sehingga kolokasi tersebut tidak lazim dalam bahasa jawa. No 1 2 3 4 5 6 7
Kolokasi yang tidak lazim Banyu kaline putih. Angine banter banget. Aku madhang bakmi. Mau bapak wis ngombe pil. Suaramu gedhe banget nak omong. Adhimu sinau ngepit ta? Asep kae jan dokoh moco buku.
Kolokasi yang lazim Banyu kaline bening. Angine gedhe banget Aku mangan bakmi Mau bapak wis nguntal pil. Suaramu sero banget nak omong? Adhimu ajar ngepit ta? Asep kae jan karem moco buku.
Kesalahan Penggunaan Kolokasi Bahasa Jawa… (Ari Dianto)
120
8 9 10 11
12 13 14 15 16
Aku wingi mangan sate jaran atos banget. Lapangane cilik? Ojo adus nang kali lho, banyune banter. Kowe arep ora tak jak lungo menyang Malioboro? Jamku murup ki. Kuliahe mangkat urung? Ati-ati nak mlaku, kuwi segamu wutah. Omahmu wis ngunduh pari urung? Balonku pecah kelungguhan.
Aku wingi mangan sate jaran alot banget. Lapangane ciut? Ojo adus kali lho, banyune santer. Kowe gelem ura tak jak lungo menyang Malioboro? Jamku mlaku ki. Kuliahe lekas urung? Ati-ati nak mlaku, kuwi segone tibo. Omahmu wis panen pari urung? Balonku njebluk kelungguhan.
Pada kalimat yang Banyu kaline putih, bagi orang jawa kalimat ini terdengar sangat tidak wajar karena putih biasa berkolokasi dengan kulit, wedhang bukan untuk banyu. Dalam bahasa jawa, kata banyu lazim berkolokasi dengan bening yang berarti jernih. Sehingga kalimat yang benar adalah Banyu kaline bening. Pada kalimat Angine banter banget, para penutur bukan asli jawa sering keliru memadankan kata angin dengan banter, padahal kalimat ini sangatlah aneh bagi telinga penutur bahasa jawa asli. Kemungkinan penutur memilih kata ini karena banter merupakan alih Bahasa Indonesia dari kata kencang. Namun kolokasi tersebut tidak lazim, bagi penutur asli jawa lazim mendengar kalimat yang berbunyi Angine gedhe banget, sehingga yang benar adalah kolokasi kata angin dengan gedhe, bukan banter. Banyak kasus pula saat, saat penutur bukan asli jawa berujar Aku madhang bakmi. Kalimat ini mungkin mereka anggap sudah lazim, namun perlu diketahui bahwasanya kata madhang berarti makan dengan nasi. Andaikata penutur hanya berujar aku madhang, kalimat ini sudahlah lazim terdengar, tetapi dengan penambahan bakmi sebagai objek yang dimakan, seharusnya kata madhang Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 115 – 126
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
121
diganti dengan mangan agar lazim terdengar. Jadi kata madhang tidaklah lazim jika berkolokasi dengan kata bakmi, roti, pecel, atau sebangsanya yang bukan nasi. Kata mangan lazim terdengar jika disandingkan dengan kata bakmi. Dalam kalimat ke empat Mau bapak wis ngombe pil, kata ngombe akan terasa aneh terdengar, karena ngombe dalam pemahaman orang jawa adalah minum, dan kata minum tidak bisa disandingkan dengan kata pil karena keduanya bertolak belakang. Kata pil merujuk pada suatu benda padat sedangkan kata minum merujuk kegiatan mengkonsumsi benda cair. Dalam bahasa Jawa, jika kita menkonsumsi obat yang berbentuk cair, kalimat tersebut mungkin akan terdengar lazim, namun jika yang dikonsumsi adalah benda / obat berbentuk padat seperti pil dan kapsul, kata minum harus diganti dengan kata nguntal. Sehingga kata minum tidaklah lazim untuk berkolokasi dengan kata pil. Kalimat tersebut lazim terdengar oleh penutur jawa jika kata pil disandingkan dengan kata nguntal. Pada kalimat Suaramu gedhe banget nak mbengok? , terjadi ketidaklaziman kolokasi dengan menyandinkan kata suara dan gedhe. Para penutur non jawa sering menyepadankan kata Bahasa Indonesia kencang untuk mengalihbahasakan ke dalam kata gedhe, padahal kata gedhe hanya lazim berkolokasi dengan kata benda yang mempunyai ruang seperti omah, kandang, awak, dan sebangsanya. Signifikasinya adalah bahwa suara bukanlah benda yang memiliki ruang, sehingga dalam masyarakat tutur bahasa jawa untuk mengungkapkan besarnya folume suara yang dihasilkan, digunakan kata sero bukan gedhe. Jadi kata suaramu lazim diujarkan jika berkolokasi dengan kata gedhe sehingga menjadi pasangan kata suaramu sero banget bukan suaramu gedhe banget. Pada kalimat selanjutnya, yang menyatakan Adhimu sinau ngepit ta? Kalimat pertanyaan diatas terdapat ketidaklaziman kolokasi kata sinau dengan kata pit. Bagi masyarakat jawa kata sinau dipahami sebagai proses belajar dengan menggunakan media buku, padahal pada kalimat tersebut media yang digunakan adalah pit/ sepeda. Ketidak laziman kolokasi pada kalimat diatas akan teratasi jika kata sianu diganti dengan kata ajar. Pemahaman kalimat yang akan muncul jika kata sianu diganti dengan kata ajar adalah prose belajar/ latihan mengendarai sepeda. Kata ajar sering Kesalahan Penggunaan Kolokasi Bahasa Jawa… (Ari Dianto)
122
dipasangkan dengan kegiatan /praktek belajar dengan media langsung bukan teori, seperti: ajar manah, ajar nyanyi, ajar moco, ajar mlaku, dll. Jadi Pada kalimat Adhimu sinau pit ta? Kolokasi sinau pit harus diganti dengan kolokasi kata ajar dan kata pit sehingga tersusun kalimat yang lazim bagi penutur asli jawa yaitu, Adhimu ajar pit ta? Kalimat Asep kae jan dokoh moco buku, penutur non jawa berusaha mengungkapkan kegemaran Asep membaca buku dengan menyandingkan kata dokoh dengan kata moco. Namun telah terjadi ketidaklaziman kolokasi pada kedua kata tersebut. Kata dokoh berasosiasi dengan sifat gemar dalam kegiatan mengkonsumsi makanan. Sehingga kuranglah tepat jika menyandingkan kata dokoh dengan kegemaran bukan mengkonsumsi makanan. Untuk menjadikan lazim kolokasi diatas bagi penutur jawa, kegemaran membaca lazim disandingkan dengan kata karem. Jadi kata dokoh tidaklah lazim terdengar jika berkolokasi dengan kata moco. Agar kolokasi tersebut menjadi lazim hendaknya kata dokoh diganti menjadi keta karem sehingga terbentuk kalimat yang lazim yaitu, Asep kae jan karem moco buku. Pada kalimat Aku wingi mangan sate jaran atos banget kembali terulang ketidaklaziman kolokasi yang dituturkan oleh penutur non jawa. Si penutur sebenarnya berusaha mengemukakan ide bahwa daging sate yeng telah dimakanya sukar untuk dimakan dengan menyandingkan kata sate jaran atos. Padahal untuk pemahaman bahasa jawa kata atos hanya dapat disandingkan dengan kata benda yang bertekstur padat seperti, watu, bata, dll. Kemudian untuk mengungkapkan kesukaran mengkonsumsi makanan seperti sate yang mempunyai tekstur daging yang berserat menjadi lazim jika kata sate jaran disandingkan dengan kata alot sehingga terbentuk kalimat yang dapat dipahami penutur asli jawa. Jadi kolokasi kata sate jaran dengan kata atos kuranlah tepat. Yang lebih pas adalah dengan mengganti kata atos dengan kata alot. Kalimat selanjutnya yang terdapat ketidaklaziman kolokasi leksikal bahasa jawa terdapat pada pasangan kata lapangan dengan kata cilik. Penutur non jawa berusaha mengemikakan keadaan lapangan yang tidak begitu luas dengan memasangkan kata lapangan dan cilik. Namun bagi penutur asli jawa, kolokasi tersebut sangatlah tidak wajar, karena untuk kata cilik, lazim dipasangkan Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 115 – 126
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
123
dengan kata benda yang mempunyai bidang ruang seperti watu, lemari, dll. Sedangkan untuk menyatakan benda yang berbidang datar seperti sawah dan lapangan, lazimnya disepadankan dengan kata ciut untuk menjelaskan ukuran bidang datar tersebut. Dapat disimpulkan bahwa kata lapangan tidak lazim disandingkan dengan kata cilik namun harus disandingkan dengan kata ciut agar terdengar lazim bagi penutur asli jawa. Sama seperti kasus diatas kata banyu yang disandingkan dengan kata banter kuarang begitu familiar. Seharusnya kata banter diganti dengan kata santer. Karena banter hanya lazim disandingkan untuk benda yang dapat berjalan/ bergerak seperti motor, mobil, pit, dll. Untuk menyatakan kecepatan air/ banyu hendaknya penutur menggunakan kolokasi kata banyune dengan kata santer, yaitu menjelaskan bahwa aliran air sungai sedang mengalir deras. Pada kalimat Tanya Kowe arep ora tak jak lungo menyang Malioboro? Sekilas tidak diketahui ketidaklaziman kolokasinya, namun bagi penutur asli jawa, sanding kata antara kata arep dan kata kowe kuranglah pas. Dalam kalimat Tanya tersebut, konteks kalimat Tanya adalah menanyakan persetujuan seseorang dengan menggunakan kata arep, tapi bagi penutur jawa kata arep hanya digunakan persetujuan untuk menerima suatu barang. Sedangkan untuk menyataakan persetujuan untuk melakukan suatu hal hendaknya kata arep diganti dengan kata gelem. Kesimpulanya kata kowe tidak dapat disandingkan dengan kata arep namun kata kowe harusnya disandingkan dengan kata gelem sehingga kalimat yang benar adalah Kowe gelem ora tak jak lungo menyang Malioboro? Penulis kembali menemukan ketidaklaziman kalimat yang biasa diucapkan oleh penutur non jawa seperti pada kalimat Jamku murup. Untuk menyatakan kerja suatu alat seperti jam tidaklah lazim bagi masyarakat tutur jawa jika disandingkan dengan kata murup. Karena kata murup lazim digunakan untuk menunjukan bahwa suatu alat bekerja sesuai dengan lazimnya, namun kata murup hanya bisa disandingkan dengan kata benda yang menunjukan alat yang dapat menghasilkan cahaya dan suara atau audio-visual seperti Televisi, Radio, Komputer, dan sebangsanya. Untuk alat penunjuk waktu seperti jam kata yang lazim digunakan adalah kata mlaku. Kata mlaku bukan berarti jam yang berjalan sendiri dan punya kaki, namun mlaku disini adalah jalanya/ berputarnya jarum jam. Jadi kata Kesalahan Penggunaan Kolokasi Bahasa Jawa… (Ari Dianto)
124
jam layaknya disandingkan dengan kata mlaku bukan disandingkan dengan kata murup. Kalimat yang juga sering diujarkan olehh penutur non jawa adalah Kuliahe mangkat urung? Pada kalimat ini, terdapat kolokasi antara kata kuliahe dengan mangkat yang tidak lazim dalam kebahasaan jawa. Kuliah yang berupa kegiatan belajar tidak lazim di sandingkan dengan kata mangkat yang mempunyai arti berangkat. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi Kuliahnya sudah berangkat belum? Akan terlihat jelas kesenjangan makna yang diinginkan dengan ujaran yang terucap. Dalam hal ini, kolokasi yang lazim adalah kata mangkat diganti menjadi kata lekas, sehingga kalimat yang diucapkan menjadi kuliahnya sudah mulai belum? Jelaslah bahwa terjadi ketidak laziman kolokasi peda kalimat tersebut. Ati-ati, kuwi segamu wutah, kalimat ini juga terjadi penyandingan kata antara kata segamu yang berarti nasimu dengan kata wutah yang berarti tumpah. Ketidaktepatanya terdapar pada kalimat wutah yang menerangkan bahwa nasi yang dibawa tumpah. Padahal kata tumpah dalam bahasa jawa berarti tumpah untuk benda/ makanan yang berwujud cair seperti yang terdapat pada kolokasi wedange wutah, jangane wutah, banyune wuta, dll. Karena yang diterangkan adalah nasi/ sego, maka kata wutah tidaklah tepat. Pasangan kolokasi dari kata segamu seharusnya adalah tibo, karena nasi adalah benda padat. Jadi kolokasi kata segamu dengan kata wutah tidaklah tepat, seharusnya kata wutah diganti dengan kata tibo. Selanjutnya, pada kalimat Omahmu wis ngunduh pari urung? Kolokasi kata ngunduh dengan pari tidaklah lazim dalam tuturan Bahasa Jawa. Kata ngunduh yang berarti memetik hanya lazim disandingkan dengan kata benda berupa buah-buahan. Sedangkan kata pari yang merupakan tanaman yang ditanam di sawah lazim disandingkan dengan kata panen. Sehingga seharusnya kalimat yang diujarkan menjadi Omahmu wis panen pari urung? Pada kalimat selanjutnya adalah Balonku pecah kelungguhan, juga terdapat ketidaklaziman kolokasi yangterdapat pada pasangan kata balonku dengan kata pecah. Para penutur non jawa sring menuturkan kalimat ini, namun bagi peutur asli Jawa, kolokasi ini kurang tepat karena kata pecah tidak lazim disandingkan Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 115 – 126
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
125
dengan balon. Yang lazim disandingkan dengan kata ini adalah barang pecah belah seperti piring, gelas, dll. Untuk mengevaluasi kesalahan ini patutlah kata pecah diganti menjadi kata njebluk yang lazim digunakan untuk menyatakan balon yang meletus. D. KESIMPULAN Penelitian ini telah memaparkan ketidaklaziman kolokasi yang terdapat pada ujaran-ujaran para penutur asli non jawa yang berada di Yogyakarta yang sering melakukan kesalahan sanding kata/ kolokasi dalam berbahasa Jawa.Kesimpulan yang dapat ditarik adalah kesalahan kolokasi gramatikal sering terjadi dalam ujaran yang dilakukan oleh penutur non jawa. Peneliti juga memberikan saran kepada para penutur non jawa untuk lebih memahami arti suatu leksikal bahasa jawa agar dapat terjadi komunikasi yang baik dalam berbahasa jawa. E. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaedar. 1993. Beberapa Mdhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa. Baker, Mona. 1992. In Other Words:A Course book on Translation. London: Routledge. Kennedy, Graeme D. 1990. “Collocations:Where Grammar and Vocabulary Teaching Meet”. Conference Language Teaching Methodology for the nineties Larson, Mildred. 1984. Meaning Based-Translation. London:University Press of America. Oxford Collocations Dictionary for students of English. 2002. Oxford: Oxford University Press. Shei C.C dan Helen Pain. 2000. ”An ESL Writer’s Collocation Aid”. Jurnal “Computer Assisted Language Learning”. Vol. 13, No. 2, pp.167-182.
Kesalahan Penggunaan Kolokasi Bahasa Jawa… (Ari Dianto)
126
Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 115 – 126