PENGENDALIAN PENCEMARAN INDUSTRI KECIL DI DAERAH ALIRAN SUNGAI TUKAD BADUNG. I MadeTapa Yasa JurusanTeknik Sipil, Politeknik Negeri Bali Bukit Jimbaran,P.O.Box 1064 Tuban Badung-Bali Phone :+62-361-701981,Fax : +62-361-701128 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menentukan alternatif terbaik yang ditawarkan berdasarkan kriteria prioritas yang dipilih, untuk mengendalikan pencemaran industri skala kecil yang terjadi di daerah aliran sungai tukad Badung dan menentukan urutan kriteria prioritas yang digunakan sebagai dasar pertimbangan pemilihan teknologi alternatif pengendalian pencemaran industri skala kecil di daerah aliran sungai tukad Badung serta menganalisa keunggulan teknologi alternatif berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Dari analisis, maka teknologi Produksi Bersih merupakan alternatif yang terbaik untuk industri skala kecil, dibandingkan dengan pembuatan IPAL ( Intalasi Pengelolaan Air Bersih ) ataupun SPAL ( Saluran Pembuangan Air Limbah ). Produksi Bersih merupakan teknologi yang ramah lingkungan dan meminimasi limbah pada sumbernya mulai dari pemilihan bahan baku, proses, bahan bakar sampai pembuangan dan pemanfaatan kembali limbah yang dihasilkan. Teknologi ini dianggap paling murah karena limbah yang dihasilkan akan lebih sedikit dan kualitasnya lebih baik dan pengolahan yang diperlukan juga lebih murah. Penggunaan Teknologi Bersih sesuai untuk industri skala kecil karena salah satu pendekatan implementasi yang dilakukan adalah dengan mengutamakan kemauan atau sukarela pihak industri untuk melaksanakan. Tetapi komitmen ini perlu dipertegas dan dilaksanakan secara konsisten oleh pihak industri sehingga keuntungan tersebut memiliki banyak manfaat dan efisien produksi dapat ditingkatkan. Kata Kunci : Produksi Bersih, Pencemaran, Pengendalian
INDUSTRIAL POLLUTION CONTROL IN SMALL AREA FLOWING RIVER Tukad BADUNG. Abstract : This study aims to determine the best alternatives are offered based on the selected priority criteria, for controlling small-scale industrial pollution that occurred in the watershed and determine Tukad Badung order of priority criteria are used as the basis for consideration of alternative pollution control technologies selection of small scale industries in the watershed Tukad Badung and analyze the benefits of alternative technologies based on defined criteria. From the analysis, the Cleaner Production technology is the best alternative for small scale industries, compared with WWTP making (Clean Water Management Installation) or SPAL (Waste Water Treatment). Net production is environmentally friendly technologies and minimize waste at source from choosing raw materials, processes, fuel until disposal and reuse of waste generated. This technology is considered the most expensive because of waste generated will be less and quality is better and necessary processing is also cheaper. Use of Clean Technology is suitable for small scale industries because of one implementation approach taken is to prioritize the will or voluntary parties to implement the industry. But this commitment and it needs to be implemented consistently by the industry so that these gains have many benefits and efficient production can be improved. Keywords: Cleaner Production, Pollution, Control
PENDAHULUAN Sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia termasuk untuk menunjang pembangunan perekonomian masyarakat. Peningkatan jumlah dan kesejahtraaan penduduk serta peningkatan kegiatan pembangunan di berbagai bidang disamping menyebabkan peningkatan kebutuhan air bersih, juga menimbulkan potensi meningkatnya beban pencemaran terhadap sungai dan kerusakan lingkungan sungai. Oleh karena itu pencemaran air sungai dan kerusakan lingkungan perlu dikendalikan seiring dengan laju pelaksanaan pembangunan agar fungsi sungai dapat dipertahankan kelestariannya untuk tetap mampu memenuhi hajat hidup orang banyak dan dukungan terhadap pembangunan secara berkelanjutan.
G-1 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Daerah aliran sungai ( DAS ) sebagai bagian dari pembangunan wilayah sampai saat ini masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait. Permasalahan tersebut antara lain terjadinya erosi, pencemaran air sungai, banjir dan kekeringan, masih belum adanya keterpaduan antar sector, antar instansi dan kesadaran masyarakat yang rendah tentang pemanfaatan daerah aliran sungai. Menurun dan merosotnya kondisi DAS pada umumnya disebabkan oleh beberapa factor, antara lain adanya tekanan penduduk, tekanan pembangunan dan tekanan social ekonomi masyarakat di kawasan Daerah Aliran Sungai ( Soemarwoto 1978 ). Pencemaran air sungai adalah penambahan suatu bahan ke dalam sungai sehingga menyebabkan kualitas air sungai berubah serta kuantitas dan kualitas hidrobiota juga berubah. Pada dasarnya, secara alamiah sungai mampu menetralisir buangan yang masuk ke dalamnya melalui proses penguraian dan pengenceran, namun karena jumlah buangan yang masuk jauh melebihi batas kesanggupan sungai, akhirnya sungai berubah fungsi ( Odum, 1971 ). Selanjutnya Mason ( 1981 ) menyatakan bahwa limbah yang dibuang ke sungai yang berupa bahan organic secara bertahap akan hilang ( dieliminasi ) oleh aktifitas microorganism atau dengan kata lain mengalami pembersihan sendiri pada perairan sungai. Berkaitan dengan hal tersebut Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang criteria baku mutu air. Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menyatakan bahwa criteria mutu air merupakan suatu dasar baku mutu air yang berfungsi sebagai tolok ukur menentukan telah terjadinya pencemaran atau tidak tercemar. Mutu air atau kualitas air sungai, sangat dipengaruhi oleh adanya pembuangan benda-benda asing ke dalamnya, semakin banyak aktifitas dan padatnya pertumbuhan penduduk yang ada di sepanjang pinggir sungai semakin besar pula diperlukan untuk membersihkan dirinya sendiri. Tukad Badung merupakan sungai yang berada di tengah-tengah Kota Denpasar, memiliki panjang aliran 22,17 km dimana hulunya terletak di Kabupaten Badung, sedangkan bagian tengah dan hilirnya terletak di Kota Denpasar. Tukad Badung dahulu memiliki kegunaan yang sangat besar bagi masyarakat, yaitu sebagai bahan baku air minum, perikanan, pertanian namun sekarang setelah melewati wilayah perkotaan/pemukiman Tukad Badung telah teridikasi tercemar oleh berbagai bahan buangan, sehingga sungai tersebut kehilangan berbagai fungsi.Perkembangan Tukad Badung selama lima tahun terakhir ini sangat memprihatinkan, di daerah hulu terjadi erosi dan pendangkalan akibat hilangnya daerah resapan dan pembukaan lahan untuk perumahan ( Real estate ), sedangkan di tengah dan hilir khususnya di kawasan kota, sungai mengalami pencemaran akibat urbanisasi, industry pencelupan, limbah domestik dan kegiatan komersil lainnya. Pertumbuhan penduduk di sepanjang sungai ini semakin cepat dan pesat, penduduk disini pada umumnya melakukan kegiatan usaha rumah tangga yang limbahnya secara langsung maupun tidak langsung dibuang ke lingkungan sungai (Anon ,2001). Pencemaran yang terjadi di Tukad Badung sudah sangat menghawatirkan karena berbagai kegiatan yang terdapat di sepanjang daerah aliran sungai. Kegiatan-kegiatan tersebut seperti industry, perkantoran, bengkel, rumah sakit, pasar domestik dan lain-lain menyebabkan berbagai masalah pencemaran di sungai Badung. Pencemaran berupa limbah cair dan padat yang menyebabkan kualitas air sungai semakin menurun. Kegiatan industry skala kecil disepanjang Tukad Badung yang paling menghawatirkan karena secara umum proses produksinya sangat sederhana dan tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan tidak ada biaya khusus untuk pengolahan limbahnya, terutama limbah sablon/pencelupan, limbah tahu/tempe. Keadaan ini memerlukan upaya teknologi untuk mengatasi pencemaran dari industry skala kecil dan tetap berlangsungnya usaha tersebut. Beberapa teknologi alternative yang digunakan untuk mengendalikan pencemaran industri skala kecil antara lain adalah membangun instalasi pengolahan air limbah secara terpadu, pembuatan saluran pembuangan air limbah dan penerapan teknologi produksi bersih pada masing-masing industri ( Cleaner Production ). Ketiga alternatif ini mempunyai beberapa kriteria untuk mencapai tujuan pengendalian pencemaran industri skala kecil. Kriteria perioritas digunakan sebagai bahan pertimbangan pemilihan teknologi adalah dengan teknologi diatas dapat meningkatkan kualitas air limbah sehingga sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan dan mengurangi debit air limbah ( kuantitas air limbah ) dan pertimbangan biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan limbah berdasarkan pemilihan teknologi yang digunakan. Sehingga dirumuskan beberapa permasalahan yaitu : a. Apakah teknologi alternatif terbaik yang ditawarkan berdasarkan pertimbangan kriteria perioritas yang dipilih, untuk mengendalikan pencemaran industri skala kecil yang terjadi di Tukad Badung ? b. Bagaimana urutan kriteria perioritas yang digunakan sebagai dasar pertimbangan pemilihan teknologi alternatif pengendalian pencemaran industri skala kecil di Tukad Badung ? c. Apa keunggulan teknologi alternatif pengedalian pencemaran industri skala kecil yang terpilih berdasarkan kriteria perioritas yang telah ditetapkan ?
G-2
ISBN : 978-979-18342-2-3
BAHAN DAN METODE Bahan analisis sebagian besar dari data sekender seperti kondisi daerah aliran sungai Tukad Badung pada tulisan ini dipaparkan pengendalian pencemaran industri skala kecil pada aliran Tukad Badung, kemudian data data diolah secara kualitatif atau deskritif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengendalian pencemaran industri skala kecil perlu diperhatikan secara serius karena keberlanjutan industri skala kecil perlu dipertahankan. Salah satu tujuan dari pengendalian pencemaran industri skala kecil adalah agar industri tersebut tidak terkena peraturan lingkungan hidup yang mengharuskan industri tersebut ditutup karena limbahnya tidak diolah dan mencemari lingkungan. Industri skala kecil menyerap banyak tenaga kerja dan merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat menengah ke bawah. Sehingga berbagai upaya perlu dilakukan untuk membantu pengelolaan limbah yang dihasilkan industri skala kecil. Pada pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan pencemaran serta pemulihan daya tampung yang diatur dalam peraturan pemerintah. Dalam Hardjasoemantri (2001) dinyatakan bahwa untuk penanggulangan pencemaran, pemerintah dapat membantu golongan ekonomi lemah yang usahanya diperkirakan telah merusak atau mencemari lingkungan. Dari beberapa sentra industry skala kecil menunjukkan kondisi bahwa sebagian belum memiliki prasarana dan sarana pengolahan limbah, sedangkan yang telah memiliki prasarana yang dibangun oleh pengusaha itu sendiri atau bantuan oleh pemerintah, belum seluruhnya melakukan mekanisme pengolahan yang baik. Faktor tersebut antara lain besarnya biaya pengolahan sehingga tidak melakukan mekanisme yang seharusnya dilakukan. Sedangkan untuk Teknologi Bersih merupakan teknologi yang ramah lingkungan dan meminimisasi limbah pada sumbernya mulai dari pemilihan bahan baku, proses, bahan bakar sampai pembuangan dan pemanfaatan kembali limbah yang dihasilkan. Sehingga teknologi ini dianggap paling murah karena limbah yang dihasilkan akan lebih sedikit dan kualitasnya lebih baik sehingga pengolahan yang diperlukan juga lebih murah. Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan. Penggunaan teknologi produksi bersih sesuai untuk industry skala kecil karena salah satu pendekatan implementasi yang dilakukan adalah dengan mengutamakan kemauan atau sukarela pihak industri untuk melaksanakan. Tetapi komitmen ini perlu dipertegas dan dilaksanakan secara konsisten oleh pihak industri sehingga keuntungan tersebut memiliki banyak manfaat dan efisiensi produksi industri dapat ditingkatkan. Pengelolaan pada Produksi Bersih lebih mengutamakan prinsip minimisasi limbah yang bersifat pencegahan pencemaran. Minimisasi limbah adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan jalan reduksi pada sumbernya dan pemanfaatan limbah. Reduksi pada sumbernya dapat diterapkan dengan mengatur bahan baku dan bahan pembantu, operasi, proses serta produk yang dihasilkan. Pencegahan pencemaran yang merupakan salah satu prisip produksi bersih sangat bermanfaat karena : a. Mengurangi atau menghindarkan timbulnya polutan b. Menghindarkan pindahnya polutan dari satu medium ke medium lainnya. c. Meningkatkan pengurangan dan menghilangkan polutan d. Mengurangi resiko kesehatan e. Memajukan pengembangan teknologi pengurangan pada sumbernya f. Menggunakan energy, bahan dan sumber lebih efisien g. Mengurangi kebutuhan akan penegakan hokum yang mahal h. Membatasi tanggung jawab yang akan dating dengan kepastian yang lebih besar i. Menghindari pembersihan yang mahal di masa mendatang dan memajukan ekonomi yang lebih kompetitif ( Hardjasoemantri, 2001 ) Limbah yang masih keluar perlu diusahakan pemanfaatannya dengan jalan penggunaan ulang (reuse), daur ulang (recycle) atau perolehan kembali (recovery), baik oleh industri yang bersangkutan atau pihak lain. Daur ulang dapat dilakukan terintegrasi dalam sistem produksi dengan tujuan meningkatkan kinerja proses produksi atau meningkatkan hasil utama dan dapat pula dikerjakan setelah limbah keluar dari sistem proses dengan tujuan memanfaatkan limbah. Pemanfaatan limbah dapat menghemat biaya dan menghasilkan produk baru yang lebih bermanfaat sehingga merupakan sumber penghasilan bagi pihak lain. Menurut Hardjasoemantri (2001) bentuk teknologi proaktif yang akrab lingkungan (teknologi bersih) lebih banyak didasarkan pada konsep penggunaan kembali (reuse), pendaur ulang (recycle), pemanfaatan kembali (recovery) dan pengambilan kembali (recuperation) yaitu konsep 4 R dengan disertai pertimbangan peningkatan efektifitas dan efisiensi proses produksi. Konsep 4R pada dasarnya ditujukan untuk pendaur ulangan guna digunakan kembali, pemisahan ketidak murnian dari limbah sehingga dapat digunakan kembali dan pemanfaatan kembali limbah untuk menghasilkan bahan baku sekender atau
G-3 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
memanfaatkan limbah yang semula dianggap tidak berharga menjadi produk lain. Berbagai teknologi yang digunakan dalam konsep 4 R antara lain adalah teknologi absorpsi, osmosis terbalik, ion exchange, recovery nutrient dan energy serta bioteknologi. Menurut Soemantojo, (1996 dalam Soemantojo, 2000) keuntungan melaksanakan produksi bersih antara lain adalah : 1. Penggunaan sumber daya lebih efisien 2. Efisien produksi meningkat 3. Mencegah atau mengurangi terbentuknya limbah dan bahan pencemar pada umumnya 4. Mencegah dan mengurangi berpindahnya pencemar antar media 5. Mengurangi terjadinya resiko kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan 6. Mendorong dikembangkan dan dilaksanakan teknologi bersih dan produk akrab lingkungan 7. Mengurangi biaya penataan hokum 8. Mengurangi atau menghindari biaya pembersihan lingkungan 9. Meningkatkan daya saing internasional dan pendekatan pengaturan bersifat fleksibel dan sukarela Produk yang dihasilkan dapat dikatakan sebagai sustainable product yaitu suatu produk yang memenuhi kebutuhan tertentu dengan menggunakan sejumlah bahan dan energy yang paling sedikit dan menghasilkan sejumlah limbah dengan toksisitas serendah mungkin dalam seluruh daur hidupnya ( Tishner, 1998 dalam Soemantojo, 2000). Wupertal Institute Merumuskan tujuh aturan utama untuk barang yang eko efisien ( seven golden rules for eco-efficient goods ) yaitu : 1. Pendugaan dampak barang harus terintegrasi dalam seluruh daur hidup 2. Intensitas layanan proses dan barang harus ditingkatkan secara drastic 3. Intensitas bahan dari proses dan barang harus direduksi secara drastic 4. Intensitas energy dari proses dan barang harus direduksi 5. Penggunaan bahan selama pemrosesan dan bahan untuk barang harus direduksi 6. Emisi dan penggunaan racun harus dihilangkan/direduksi secara drastic 7. Memaksimalkan penggunaan bahan yang dapat diperbaharui yang memenuhi syarat ekologis Alternatif pilihan kedua adalah pembangunan SPAL yang dilakukan oleh industry itu sendiri. Pembangunan SPAL dan pengelolaannya membutuhkan biaya tambahan sehingga membebani pihak industry. Selain itu ada kendala lain yaitu penyediaan lahan khusus untuk mendirikan SPAL. Mendirikan SPAL merupakan prioritas kedua yang dapat dilakukan walaupun dalam teknologi produksi bersih juga masih membutuhkan SPAL dalam kapasitas yang lebih kecil, dengan demikian biayanya menjadi lebih murah. SPAL dalam kondisi yang sesuai kapasitas dan efisien akan menghasilkan efluen yang memenuhi syarat. Alternatif ketiga adalah pembangunan IPAL secara terpadu. Pembangunan IPAL membutuhkan biaya yang besar dan lahan yang luas dan khusus. Sehingga mendirikan IPAL merupakan pilihan ketiga. Jika Pemerintah atau investor bisa menyediakan sarana dan prasarana tersebut maka akan sangat baik, karena semua industri yang mengeluarkan limbah dapat diolah secara terpadu dan tentunya dengan kapasitas yang cukup besar. Disamping itu kalau semua industri bisa mengelola limbahnya dalam satu IPAL dan satu lokasi tentunya akan sangat mudah diawasi/dipantau. Dari analisis diatas maka teknologi produksi bersih merupakan alternative yang terbaik untuk industry skala kecil, sehingga pemerintah yang berwenang dalam pengembangan industri skala kecil dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup dapat melakukan kerjasama untuk menjamin keberlanjutan industri ini. Penyuluhan-penyuluhan dan sosialisasi serta penerapan pengembangan alternative teknologi produksi bersih perlu ditingkatkan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian menetapkan bahwa Pemerintah wajib memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri serta Pemerintah wajib melaksanakan atau membantu upaya pencegahan atau penanggulangan pencemaran khusus untuk industri kecil tertentu. Kementrian Lingkungan Hidup telah mempunyai program-prgram untuk implementasi produksi bersih termasuk industri kecil. Berbagai keberhasilan telah dicapai selama kurun waktu beberapa tahun, namun masih memiliki banyak hambatan terutama akibat terjadinya krisis ekonomi, yang pada akhirnya banyak industri yang mengabaikan dan menempatkan prioritas pengolahan limbah pada urutan yang terakhir dan lebih mengutamakan produksi yang sebesar-besarnya. Hambatan implementasi teknologi produksi bersih selain masalah krisis ekonomi tersebut diatas antara lain adalah pandangan pihak industri yang menganggap bahwa implementasi produksi bersih merupakan beban biaya tambahan, selain itu masih kurangnya informasi dan pengetahuan pihak industri sehingga masih diperlukan kerjasama diantara stakeholders. Pihak industri juga belum memiliki prioritas dalam penerapan teknologi produksi bersih dan masih rendahnya komitmen diantara pelaku industri. Implementasi yang diusahakan pemerintah saat ini
G-4
ISBN : 978-979-18342-2-3
ditujukan pada delapan sector skala prioritas yaitu lingkungan hidup, energy dan sumberdaya mineral, industri perdagangan, kehutanan dan perkebunan, pertanian, kesehatan dan social, pariwisata, seni dan budaya serta sector perhubungan ( Hilman, 2003 ). Implementasi yang dilakukan pemerintah melalui demontrasi proyek, publikasi teknis, technical assistance, pelatihan, seminar, buku panduan, proyek percontohan, pengembangan sistim informasi, pengembangan sistim insentif dan membentuk Pusat Nasional Produksi Bersih (National Center for Cleaner Production) serta penghargaan/award atas pelaksanaan produksi bersih di instansi pemerintah, sector industry dan lembaga swadaya masyarakat (Hilman,2003). Pusat Nasional Produksi Bersih berfungsi sebagai tempat untuk melakukan koordinasi kerja, kegiatan dan hal-hal yang terkait dengan penerapan produksi bersih di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mempercepat, mendorong, memotifasi serta mendiseminasikan kegiatan produksi bersih dengan menampung integrasi informasi, baik dari dalam atau luar negeri yang selanjutnya akan menjadi wadah dan akses bagi stakeholders untuk melakukan dialog/diskusi secara interatif, pengkajian, penelitian dan informasi penerapan produksi bersih. Usaha pemerintah ini diharapkan mampu mengendalikan pencemaran industri kecil yang memiliki modal sedikit dan pengetahuan yang terbatas dalam pengelolaan lingkungan, dan tujuan untuk mempertahankan keberlanjutan industri skala kecil dan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan dapat terwujud dengan melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk meningkatkan peran aktif pelaku usaha. Dengan demikian pemulihan kualitas air sungai dan lingkungannya khususnya daerah aliran sungai Tukad Badung dapat dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Penerapan teknologi produksi bersih saat ini masih perlu ditingkatkan dengan kerjasama berbagai pihak dan instansi-instansi yang terkait sehingga akan dicapai pembangunan dan pengembangan industry skala kecil yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pada akhirnya usaha ini akan menyelamatkan kualitas lingkungan daerah aliran sungai Tukad Badung.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Teknologi alternatif yang sesuai dengan keadaan dan permasalahan industri skala kecil di daerah aliran sungai Tukad Badung adalah Teknologi Produksi Bersih. 2. Kriteria prioritas yang digunakan sebagai dasar pemilihan teknologi adalah kualitas air limbah, besarnya debit air limbah dan biaya yang diperlukan untuk pengolahan limbah. 3. Teknologi Produksi Bersih dapat menghasilkan kualitas air limbah yang lebih baik karena dari awal perencanaan penyediaan bahan baku sudah diperhitungkan guna mengurangi limbah. Adanya pemilihan bahan baku dalam proses dapat meminimasi limbah yang dilakukan pada setiap tahapan kegiatan. Meminimasi limbah ini juga akan berpengaruh pada besarnya debit air limbah yang dikeluarkan. Sehingga dengan kualitas limbah yang lebih baik dan debit limbah yang lebih sedikit maka biaya pengolahan limbah yang dikeluarkan juga lebih sedikit. Saran 1. Informasi tentang Teknologi Produksi Bersih perlu disosialisasikan kepada pengusaha, khususnya industry skala kecil dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan dan pembinaan secara intensif dan berkelanjutan. 2. Setiap pengusaha dapat diberikan informasi tentang pengelolaan lingkungan agar setiap keuntungan yang diperoleh dapat disisihkan untuk perbaikan lingkungan yaitu dengan jalan membuat pengelolaan limbah ataupun dengan teknologi produksi bersih, sehingga limbah yang terbuang ke daerah aliran sungai sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan. Sehingga kualitas sungai Tukad Badung dapat dimanfaatkan untuk bahan baku air bersih, irigasi dan kegiatan yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA Asdak.A (1995), Hidrologi dan Pengelolaan Daerah aliran Sungai, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bapedal dan Lembaga Penelitian ITB. 1999. Pengendalian Pencemaran Industri Skala Kecil. Pengkajian Sistim Insentif dan Penggalangan Dana Pencemaran dan Pengembangan Usaha. Proyek Pengolahan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Bapedal dan Lembaga Penelitian ITB. Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah, (2001), Laporan Akhir Perencanaan Pengelolaan Sedimentasi Tukad Badung, PT Purnajasa Bima Pratama, Denpasar. Hardjasoemantri,K. 2002. Hukum Tata Lingkungan (Cetakan Ketujuh belas Edisi Ketujuh). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
G-5 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Hilman, M. 2003. Kebijakan Pemerintah dan Hambatan Implementasi Produksi Bersih. Makalah Seminar Nasional Sistem Manajemen Lingkungan 1 januari 2003.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PPSML UI. 2002. Sosialisasi Sistem Pengelolahan Limbah Industri Yang Tak Menyentuh Sungai ( Analisis Pengembangan Ekonomi LingkunganKasus DPS Cipinang) Proyek Peningkatan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kantor MenLH dan PPSML-UL Jakarta. Odum, (1993). Dasar-dasar Ekologi, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. SMIEP-TU dan PT. Sucofindo. 1992. Studi Khusus Mengenai Pengendalian Pencemaran Air Oleh Industri Kecil dan Menengah ( Hasil Survey).Small and Medium Industri Enterprice ProjectTechnical Assistance Unit dan PT. Sucofindo. Jakarta. Slamet, J.S. 1996. Kesehatan Lingkungan. UGM Press. Yogyakarta. Soemantojo, R. W. 2000. Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Dalam Industri. Makalah Pelatihan Manajemen Lingkungan,Kesehatan dan Keselamatan Kerja 28 Pebruari – 17 Maret 2000. Universitas Indonesia. Jakarta. Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Limbah. Universitas Indonesia (UI- Press), Jakarta. Sandi,Dkk, (2001), Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.
G-6
ISBN : 978-979-18342-2-3
KAJIAN PENGELOLAAN PRASARANA LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN SUNGAI SAMPEAN KECAMATAN PANARUKAN KABUPATEN SITUBONDO Jupri Triwidagdo1 dan Sarwoko Mangkoedihardjo2 1
Mahasiswa Program Magister Teknik Prasarana Lingkungan Permukiman, Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp. 081-331133 502, email:
[email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp. 081-3311188118, email:
[email protected]
ABSTRAK Permasalahan pengelolaan prasarana lingkungan permukiman di pinggiran Sungai Sampean erat kaitannya dengan permasalahan air limbah, dan persampahan. Banyak masyarakat yang melakukan aktivitas seperti mandi, mencuci, membuang air limbah dan sampah langsung ke badan air penerima yaitu Sungai Sampean, dan sebagian masyarakat lainya melakukan aktivitas mandi, mencuci, membuang air limbah dan sampah di saluran irigasi. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi pengelolaan prasarana lingkungan permukiman di pinggiran sungai sampean Kecamatan Panarukan kabupaten situbondo yang difokuskan pada 4 desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Panarukan yaitu Desa Kilensari, Desa Paowan, Desa Wringinanom, dan Desa Sumberkolak. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk menganalisis beberapa aspek seperti : aspek teknis, aspek kelembagaan, dan aspek peran serta masyarakat. Metode pengambilan data dengan wawancara yang dilakukan terhadap 180 responden yang terdiri dari 60 responden di Desa Kilensari, 30 responden dari Desa Paowan, 55 responden dari Desa Sumberkolak, dan 35 responden dari Desa Wringinanom. Hasil evaluasi dalam penelitian ini menunjukkan prasarana air limbah perlu ditingkatkan dengan program MCK umum sebanyak 31 unit dan program WC pribadi sebanyak 7.763 unit, prasarana persampahan dengan pembangunan wadah sampah komunal sebanyak 64 buah. Peran pemerintah dalam pengelolaan prasarana lingkungan permukiman perlu ditingkatkan dari segi sumber daya aparatur, alokasi anggaran, koordinasi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan prasarana lingkungan permukiman khususnya bidang air limbah dan sampah, maupun koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Kesadaran dan peran serta masyarakat perlu ditingkatkan dengan pendekatan botoom-up oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo dengan melakukan sosialisasi dan penyuluhan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, lomba pengelolaan MCK umum dan kebersihan, serta adanya percontohan dalam hal pengelolaan prasarana lingkungan permukiman dalam skala RT, RW dan Desa. Selain itu perlu adanya pelembagaan peran serta masyarakat dengan memberi legitimasi terhadap peran serta masyarakat melalui aturan hukum. Kata Kunci : prasarana lingkungan permukiman, air limbah, persampahan, 1. PENDAHULUAN Permasalahan pengelolaan prasarana lingkungan permukiman di pinggiran Sungai Sampean erat kaitannya dengan permasalahan air limbah, dan persampahan. Banyak masyarakat yang melakukan aktivitas seperti mandi, mencuci, membuang air limbah dan sampah langsung ke badan air penerima yaitu Sungai Sampean, dan sebagian masyarakat lainya melakukan aktivitas mandi, mencuci, membuang air limbah dan sampah di saluran irigasi. Fasilitas prasarana lingkungan permukiman, seperti MCK (Mandi Cuci Kakus) telah tersedia, baik yang bersifat milik pribadi maupun komunal. Namun keberadaan fasilitas MCK ini masih belum memadai, karena tidak semua masyarakat memiliki MCK pribadi dan tidak mempunyai akses MCK umum. Sedangkan untuk fasilitas persampahan sebagian besar masyarakat belum memiliki pewadahan sampah, dimana penanganannya dilakukan dengan mengumpulkan sampah pada suatu lahan dan kemudian dibakar, atau ditumpuk begitu saja, selain itu dengan membuang di Sungai Sampean atau saluran irigasi.
G-7 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
2. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Latar belakang permasalahan Penelitian ini didasarkan atas kondisi prasarana lingkungan permukiman di pinggiran Sungai Sampean di Kecamatan Panarukan yang kurang memadai, dimana banyak masyarakat yang melakukan aktivitas seperti mandi, mencuci, membuang air limbah dan sampah langsung ke badan air penerima yaitu Sungai Sampean, dan sebagian masyarakat lainya melakukan aktivitas mandi, mencuci, membuang air limbah dan sampah di saluran irigasi b. Kajian pustaka Kajian pustaka diperlukan untuk mencari landasan teori sebagai pedoman dalam mencari data ataupun mengadakan evaluasi. Selama proses penelitian, tinjauan terhadap pustaka terus dilakukan untuk membandingkan hasil yang diperoleh dengan teori yang ada dan sebagai dasar dalam membuat perbaikan. c. Teknik pengumpulan data Data primer - Pada aspek teknis dilakukan dengan wawancara mengenai kondisi prasarana dan sarana pembuangan air limbah eksisting, ketersediaan lahan untuk pembangunan unit pengolahan limbah, sistem pewadahan sampah eksisting, dan sistem pengumpulan sampah. Pengambilan sampel untuk bidang air limbah meliputi, pengambilan sampel air Sungai Sampean yang diuji di laboratorium dilakukan sebanyak 2 titik, dan Pengambilan sampel air sumur untuk pengukuran kualitas air bersih yang akan diuji di laboratorium di Desa Kilensari, Desa Paowan, Desa Sumberkolak, dan Desa Wringinanom masing-masing sebanyak 2 titik. Pengambilan sampel untuk bidang persampahan dilakukan pada 60 KK di Desa Kilensari, 30 KK di Desa Paowan, 55 KK di Desa Sumberkolak, dan 35 KK di Desa Wringinanom untuk menghitung timbulan sampah. - Pada aspek kelembagaan dilakukan dengan wawancara tentang dukungan dan hambatan dinas pengelola prasarana lingkungan permukiman dalam pelayanan terhadap masyarakat serta bentuk kerjasama dengan dinas lain yang terkait. - Pada aspek peran saerta masyarakat dilakukan dengan wawancara terhadap masyarakat yang bermukim di pinggiran Sungai Sampean mengenai persepsi, kepedulian, dan kemauan masyarakat dalam memelihara prasarana lingkungan permukiman untuk air limbah dan persampahan. Data sekunder - Peta Kecamatan Panarukan. - Data Rencana Detail Tata Ruang Kota, kependudukan, topografi lahan dan hidrologi dari Bappeda Kabupaten Situbondo dan BPS Kabupaten Situbondo. - Struktur dalam Dinas Cipta Karya dan data pembagian kedudukan, tugas pokok dan fungsi tiap level dalam struktur dalam instansi. - Perundang-undangan yang terkait air limbah dan persampahan. - SNI tentang sistem persampahan dan air limbah, NSPM, SPM. d.
G-8
Analisis Data Melakukan identifikasi dan analisis terhadap aspek teknis dengan meninjau kondisi eksisting komponen prasarana lingkungan, yaitu, penyaluran air limbah, dan pengelolaan sampah, menghitung kebutuhan di lapangan dan membandingkannya dengan kriteria standar yang ada. Melakukan evaluasi prasarana lingkungan permukiman berdasarkan perundang-undangan, peraturan, maupun Pedoman yang dikeluarkan Kementrian Pekerjaan Umum, Kementrian Kimpraswil, Kementrian Kesehatan, dan Kementrian Lingkungan Hidup. Melakukan identifikasi dan analisis aspek kelembagaan dengan meninjau, faktor-faktor internal dan eksternal instansi yang terkait dengan pengelolaan prasarana lingkungan permukiman, peran instansi yang terkait dengan pengelolaan prasarana lingkungan permukiman dan kebijakan kerjasama antar instansi yang terkait dengan pengelolaan prasarana lingkungan permukiman berdasarkan peraturan pemerintah yang relevan. Dengan demikian diperoleh gambaran yang sistematis mengenai kondisi internal dan eksternal yang ada. Melakukan identifikasi dan analisis aspek peran serta masyarakat dengan meninjau potensi yang ada pada masyarakat di pinggiran Sungai Sampean meliputi kemampuan dan kemauan masyarakat di pinggiran Sungai Sampean untuk berperan aktif, yang dikaitkan dengan tingkat sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi.
ISBN : 978-979-18342-2-3
e.
Kesimpulan dan saran Mendapatkan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan berdasarkan tujuan yang telah ditentukan dan saran terhadap hal-hal yang belum dilakukan dalam penelitian.
3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Aspek Teknis Hasil uji laboratorium yang dilakukan terhadap sampel air bersih yang diambil dari sumur di Desa Kilensari, Desa Paowan, Desa Sumberkolak dan Desa Wringinanom dengan masing-masing 2 titik, menunjukkan bahwa rata-rata kualitas air bersih saat ini memenuhi baku mutu yang disyaratkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Tabel 1. Hasil Uji Laboratorium Sampel Air Sungai Sampean 1. No. Parameter Satuan Baku Mutu Hasil Analisa 1. BOD mg/L O2 3 4 Sumber : Hasil Uji Laboratorium Kualitas Lingkungan ITS, 2009
Keterangan Tidak memenuhi
Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Sampel Air Sungai Sampean 2. No. Parameter Satuan Baku Mutu Hasil Analisa 1. BOD mg/L O2 3 5 Sumber : Hasil Uji Laboratorium Kualitas Lingkungan ITS, 2009
Keterangan Tidak memenuhi
Berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap sampel air Sungai Sampean, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi pencemaran pada badan air tersebut. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 180 responden yang terdiri dari 60 responden di Desa Kilensari, 30 responden dari Desa Paowan, 55 responden dari Desa Sumberkolak, dan 35 responden dari Desa Wringinanom, masyarakat di Desa Kilensari melakukan buang air besar (BAB) di jamban rumah pribadi sebanyak 35 %, di MCK umum sebanyak 23 %, di saluran irigasi sebanyak 14 %, di pantai sebanyak 20 %, dan di Sungai sebanyak 8 %. Masyarakat di Desa Paowan melakukan buang air besar (BAB) di jamban rumah pribadi sebanyak 10 %, di MCK umum sebanyak 23 %, di saluran irigasi sebanyak 40 %, dan di Sungai sebanyak 27 %. Masyarakat di Desa Sumberkolak melakukan buang air besar (BAB) di jamban rumah pribadi sebanyak 13 %, di MCK umum sebanyak 27 %, di saluran irigasi sebanyak 35 %, dan di Sungai sebanyak 25 %. Masyarakat di Desa Wringinanom melakukan buang air besar (BAB) di jamban rumah pribadi sebanyak 14 %, di MCK umum sebanyak 23 %, di saluran irigasi sebanyak 29 %, dan di Sungai sebanyak 34 %. Alternatif yang dapat diterapkan pada permukiman di pinggiran Sungai Sampean untuk bidang air limbah yaitu : Sistem individual (Private system) : - Jamban keluarga + septic tank individu. - Jamban keluarga + cubluk. Sistem komunal (Communal system) : - MCK umum + Anaerobic Baffled Reactor (ABR). Tabel 3. Hasil Analisis Kebutuhan MCK Dengan Menggunakan Anaerobic Baffled Reactor (ABR) Dan WC Pribadi Untuk Permukiman di Pinggiran Sungai Sampean.
No.
Lokasi
Jumlah KK Rata-Rata Yang Tidak Jumlah Jumlah Memiliki Jiwa Jiwa/KK WC Umum
Jumlah MCK Umum Eksisting (Unit)
Program MCK Umum (Unit)
Program WC Pribadi (Unit)
1. Desa Kilensari
2.804
3,56
9.983
3
15
6.383
2. Desa Paowan
260
3,27
851
1
3
51
3. Desa Sumberkolak
300
3,34
1.001
2
3
-
4. Desa Wringinanom
1.358
3,04
4.129
4
10
1.329
Jumlah Total
4.722
15.964
10
31
7.763
Keterangan
1 Unit MCK umum melayani 200 jiwa (SNI 03-2399-2002)
G-9 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 180 responden yang terdiri dari 60 responden di Desa Kilensari, 30 responden dari Desa Paowan, 55 responden dari Desa Sumberkolak, dan 35 responden dari Desa Wringinanom, Masyarakat di Desa Kilensari membuang sampah di bak individual sebanyak 47 %, di pekarangan rumah sebanyak 8 %, di lahan kosong secara komunal sebanyak 5 %, di pantai sebanyak 18 %, di saluran irigasi sebanyak 10 %, dan di Sungai sebanyak 12 %. Masyarakat di Desa Paowan membuang sampah di bak individual sebanyak 17 %, di bak sampah umum/ komunal sebanyak 7 %, di pekarangan rumah sebanyak 13 %, di lahan kosong secara komunal sebanyak 3 %, di saluran irigasi sebanyak 33 %, dan di Sungai sebanyak 27 %. Masyarakat di Desa Sumberkolak membuang sampah di bak individual sebanyak 13 %, di bak sampah umum/ komunal sebanyak 16 %, di pekarangan rumah sebanyak 11 %, di lahan kosong secara komunal sebanyak 5 %, di saluran irigasi sebanyak 31 %, dan di Sungai sebanyak 24 %. Masyarakat di Desa Wringinanom membuang sampah di pekarangan rumah sebanyak 8 %, di lahan kosong secara komunal sebanyak 26 %, di saluran irigasi sebanyak 43 %, dan di Sungai sebanyak 23 %. Volume total timbulan sampah untuk permukiman di pinggiran Sungai Sampean sebesar 35,49 m3/hari dengan rincian di Desa Kilensari sebesar 16,22 m3/hari, di Desa Paowan sebesar 5,01 m3/hari, di Desa Sumberkolak sebesar 5 m3/hari, dan di Desa Wringinanom sebesar 9,25 m3/hari. Alternatif yang dapat diterapkan pada permukiman di pinggiran Sungai Sampean untuk bidang persampahan yaitu :Wadah komunal. saat ini wadah komunal baru tersedia di Desa Paowan dengan volume 2 m3, dan di Desa Sumberkolak dengan volume 3 m3. Tabel 4. Hasil Analisis Kebutuhan Wadah Komunal Untuk Permukiman di Pinggiran Sungai Sampean. Volume Volume Volume Bak Komunal Wadah Wadah Timbulan Yang Komunal Komunal Yang No. Lokasi Keterangan Sampah Dibutuhkan Eksisting Diperlukan 3 (buah) (m / hari) 3 3 (m ) (m ) 1. Desa Kilensari 16,22 16,22 33 2.
Desa Paowan
5,01
2,00
3,01
7
Volume 1 buah bak
3.
Desa Sumberkolak
5,00
3,00
2,00
5
komunal = 0,5 m
4.
Desa Wringinanom
9,25
-
9,25
19
3
Aspek Kelembagaan Saat ini terdapat 170 pegawai di Dinas Cipta Karya Kabupaten Situbondo, diantaranya 34 orang berpendidikan SMP, 67 orang berpendidikan SMA, 11 orang berpendidikan D3, 56 orang berpendidikan Sarjana (S1), 2 orang berpendidikan Magister (S2). Berdasarkan latar belakang pendidikan pegawai tersebut, sebagian SDM di Bidang Perumahan dan Permukiman serta Bidang Kebersihan dan Pertamanan tidak sesuai dengan bidang dalam mengelola prasarana lingkungan permukiman terutama bidang air limbah dan persampahan. Dalam kaitannya dengan good governance, maka dibutuhkan aparatur pemerintahan yang memiliki kompetensi yang baik. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Situbondo perlu melakukan beberapa langkah, antara lain : Peningkatkan keahlian dan pengetahuan sumber daya aparatur, baik melalui pendidikan formal dengan memberikan kesempatan kepada pegawai untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, maupun lewat pendidikan non formal seperti kursus, diklat, atau pelatihan. Perbaikan pada sistem rotasi maupun promosi dalam penempatan posisi dan jabatan pada personil aparatur berdasarkan kompetensi Perekrutan calon pegawai baru harus memperhatikan kesesuaian latar belakang pendidikan dengan penempatan kerja, sehingga akan tercipta kualitas sumber daya aparatur yang mampu menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik melalui peningkatan kinerja pelayanan di berbagai sektor publik, khususnya bidang air limbah dan persampahan. Anggaran belanja Pemerintah Kabupaten Situbondo pada tahun 2008 sebesar Rp. 614.265.825.375,55 dan tahun 2009 sebesar Rp. 677.594.934.208,73 terjadi peningkatan sebesar 10,31 % dari tahun sebelumnya. Adapun alokasi anggaran untuk Dinas Cipta Karya pada tahun 2008 sebesar Rp. 31.154.712.976,70 atau sebesar 5,07% dari total anggaran 2008 dan tahun 2009 sebesar Rp. 37.800.158.910,70 atau sebesar 5,58% dari total anggaran tahun 2009. Anggaran untuk Dinas Cipta Karya tersebut naik sebesar 0,51% dari tahun
G-10
ISBN : 978-979-18342-2-3
sebelumnya. Berdasarkan alokasi anggaran yang ada untuk bidang air limbah dan persampahan, saat ini Pemerintah Kabupaten Situbondo belum bisa memenuhi semua kebutuhan dan pemenuhan dalam pengelolaan prasarana lingkungan permukiman, khususnya bidang air limbah dan persampahan. Alternatif yang dapat dilakukan apabila kemampuan APBN dan APBD belum mampu untuk membiayai pemenuhan dalam pengelolaan prasarana lingkungan permukiman yaitu dengan melakukan kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Apabila ditinjau dari model koordinasi kelembagaan antar instansi, maka pengelolaan prasarana lingkungan permukiman di Kabupaten Situbondo saat ini lebih dominan berjalan sendiri-sendiri pada masing-masing instansi. Tidak adanya koordinasi mulai saat sosialisasi hingga pelaksanaan program membuat pembangunan menjadi tidak efektif dan efisien, seperti menumpuknya pelaksanaan program dalam satu desa atau satu lokasi. Koordinasi sering kali dibahas dalam setiap rapat tetapi sulit untuk dilaksanakan. Dinas Cipta Karya, Dinas Kesehatan, maupun Kantor Lingkungan Hidup banyak memiliki kegiatan yang sejenis terutama dalam sosialisasi bidang air limbah, namun tidak terkoordinasi dengan baik. Masalah ini juga terjadi dalam hubungan antar unit dalam organisasi. Beberapa unit dalam satu organisasi memiliki kegiatan serupa tanpa bisa dikendalikan oleh pimpinan. Kondisi ini dapat semakin parah apabila tidak dikoordinasikan dalam pelaksanaan program, dari semenjak perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi. SKPD
SKPD
Koordinasi : Komunikasi Konsultasi
SKPD
Tujuan Pemerintah Daerah
Pelaksanaan Program
SKPD
Gambar 1. Model Koordinasi Yang Dapat Diterapkan Bagi Antar Instansi/ SKPD di Kabupaten Situbondo. Aspek Peran Serta Masyarakat Berdasarkan wawancara terhadap 180 responden yang terdiri dari 60 responden di Desa Kilensari, 30 responden dari Desa Paowan, 55 responden dari Desa Sumberkolak, dan 35 responden dari Desa Wringinanom, masyarakat di Desa Kilensari yang pernah mendapatkan informasi tentang bahaya yang ditimbulkan oleh buang air kotor/ limbah & sampah sembarangan sebanyak 58 %. Masyarakat di Desa Paowan yang pernah mendapatkan informasi tentang bahaya yang ditimbulkan oleh buang air kotor/ limbah & sampah sembarangan sebanyak 73 %. Masyarakat di Desa Sumberkolak yang pernah mendapatkan informasi tentang bahaya yang ditimbulkan oleh buang air kotor/ limbah & sampah sembarangan sebanyak 85 %. Masyarakat di Desa Wringinanom yang pernah mendapatkan informasi tentang bahaya yang ditimbulkan oleh buang air kotor/ limbah & sampah sembarangan sebanyak 73 %. Masyarakat di Desa Kilensari yang berpendapat bahwa pihak yang berperan dalam penanganan terhadap prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) adalah pemerintah sebanyak 78 %. Masyarakat di Desa Paowan yang berpendapat bahwa pihak yang berperan dalam penanganan terhadap prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) adalah pemerintah sebanyak 87 %. Masyarakat di Desa Sumberkolak yang berpendapat bahwa pihak yang berperan dalam penanganan terhadap prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) adalah pemerintah sebanyak 78 %. Masyarakat di Desa Wringinanom yang berpendapat bahwa pihak yang berperan dalam penanganan terhadap prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) adalah pemerintah sebanyak 69 %. Masyarakat di Desa Kilensari yang peduli terhadap kondisi pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) sebanyak 85 %, dan tidak peduli sebanyak 15 %. Masyarakat di Desa Paowan yang peduli terhadap kondisi pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) sebanyak 93 %, dan tidak peduli sebanyak 7 %. Masyarakat di Desa Sumberkolak yang peduli terhadap kondisi pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) sebanyak 93 %, dan tidak peduli sebanyak 7 %. Masyarakat di Desa Wringinanom yang peduli terhadap kondisi pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) sebanyak 89 %, dan tidak peduli sebanyak 11 %.
G-11 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Masyarakat di Desa Kilensari yang mau terlibat dalam pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) sebanyak 82 %, dan tidak mau terlibat sebanyak 18 %. Masyarakat di Desa Paowan yang mau terlibat dalam pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) sebanyak 90 %, dan tidak mau terlibat sebanyak 10 %. Masyarakat di Desa Sumberkolak yang mau terlibat dalam pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) sebanyak 89 %, dan tidak mau terlibat sebanyak 11 %. Masyarakat di Desa Wringinanom yang mau terlibat dalam pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) sebanyak 83 %, dan tidak mau terlibat sebanyak 17 %. Masyarakat di Desa Kilensari yang mau berpartisipasi dalam pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) dengan kerja secara fisik secara sukarela sebanyak 24 %, kerja secara fisik dengan dibayar sebanyak 49 %, dan hanya mau membayar saja sebanyak 27 %. Masyarakat di Desa Paowan yang mau berpartisipasi dalam pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) dengan kerja secara fisik secara sukarela sebanyak 67 %, kerja secara fisik dengan dibayar sebanyak 23 %, dan hanya mau membayar saja sebanyak 10 %. Masyarakat di Desa Sumberkolak yang mau berpartisipasi dalam pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) dengan kerja secara fisik secara sukarela sebanyak 55 %, kerja secara fisik dengan dibayar sebanyak 25 %, dan hanya mau membayar saja sebanyak 20 %. Masyarakat di Desa Wringinanom yang mau berpartisipasi dalam pengelolaan prasarana lingkungan (air kotor/limbah & sampah) dengan kerja secara fisik secara sukarela sebanyak 49 %, kerja secara fisik dengan dibayar sebanyak 20 %, dan hanya mau membayar saja sebanyak 31 %. Upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Situbondo untuk meningkatkan kesadaran/peran serta masyarakat dalam pengelolaan prasarana lingkungan permukiman yang terkait dengan air kotor/ limbah dan persampahan adalah : Melakukan sosialisasi dan penyuluhan yang mudah dimengerti oleh masyarakat akan pentingnya prasarana air kotor/ limbah dan persampahan yang baik. Penyuluhan dilakukan pada sekolah-sekolah, RT, RW, Desa dan kelompok pengajian (majlis taklim) dengan menggandeng tokoh masyarat, kyai atau ulama. Untuk bidang air kotor/ limbah perlu mengusulkan agar dilakukan lomba pengelolaan MCK umum setiap tahunnya dengan hadiah bantuan stimulus. Hal ini dilakukan agar masyarakat tertarik untuk ikut menjaga dan terlibat dalam pengelolaan MCK umum. Untuk bidang persampahan perlu mengusulkan agar dilakukan lomba kebersihan baik antar RT, RW, maupun antar Desa setiap tahunnya dengan hadiah bantuan stimulus untuk peningkatan prasarana persampahan. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang ada turut merasa bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan di sekitarnya. Mengusulkan adanya percontohan dalam hal pengelolaan prasarana lingkungan permukiman dalam skala RT, RW dan Desa. Pendekatan secara botoom-up oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo dalam pelayanan terhadap masyarakat perlu segera direalisasikan. Salah satu cara yang konkret yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo untuk mewujudkan hal tersebut adalah Pelembagaan (institusionalisasi) peran serta masyarakat. Bentuk atau cara yang bisa dilakukan dalam pelembagaan peran tersebut adalah salah satunya, memberi legitimasi terhadap peran serta masyarakat melalui aturan hukum. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengelolaan prasarana lingkungan permukiman di pinggiran Sungai Sampean untuk prasarana air limbah dan persampahan masih belum memadai, alternatif yang dapat dilakukan yaitu, Prasarana pengolahan air limbah untuk permukiman di pinggiran Sungai Sampean yang dapat diterapkan yaitu model jamban keluarga dengan septic tank individu dan model MCK umum. Prasarana persampahan untuk permukiman di pinggiran Sungai Sampean yang dapat diterapkan yaitu wadah sampah komunal. 2. Peran pemerintah dalam pengelolaan prasarana lingkungan permukiman belum berjalan dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh sumber daya aparatur yang masih rendah, alokasi anggaran rendah, belum adanya koordinasi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan prasarana lingkungan permukiman khususnya bidang air limbah dan sampah, maupun koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. 3. Kesadaran dan peran serta masyarakat belum tercipta dengan baik seperti masih banyak masyarakat yang melakukan aktivitas buang air besar dan membuang sampah di saluran irigasi maupun di sungai.
G-12
ISBN : 978-979-18342-2-3
5. REFERENSI Aarne P., Vesilind, Morrel W., Reinhart D., (2002), Solid Waste Engineering, Brooks & Cole Publishing Company, New York. Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo (2008), Kecamatan Panarukan Dalam Angka 2008. Kementerian Kesehatan (1990), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, Jakarta. Kementerian Pekerjaaan Umum (1994), SNI 19-3864-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. Kementerian Pekerjaan Umum, Dirjen Cipta Karya (2000), Petunjuk Teknis Spesifikasi Cubluk Kembar, Jakarta Kementerian Pekerjaan Umum (2002), SNI 03-2398-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Tangki Septik dengan Sistem Resapan. Kementerian Pekerjaan Umum (2002), SNI 03-2399-2002 Tata Cara Perencanaan Bangunan MCK Umum LAN RI, (2007), Model Partisipasi Masyarakat dalam Pelayanan Publik di Beberapa Negara Terpilih, Hasil Kajian LAN RI. Nazir, M. (1988), Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. Pemerintah Kabupaten Situbondo (2005), Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Situbondo, Bappeda Kabupaten Situbondo, Situbondo Tchobanoglous, G., (1991), Waste Water Engineering Collection and Pumping Waste Water, Mc.Graw-Hill Book Co., New York Tchobanoglous G., Theisen H., and Vigil S., (2003), Integrated Solid Waste Management, Mc. Graw Hill Publishing Company, New York.
G-13 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
G-14
ISBN : 978-979-18342-2-3
ANALISA TINGKAT KEBISINGAN LALU-LINTAS KENDARAAN DI JALAN EMBONG MALANG SURABAYA (Tutug Dhanardono, Aries Purwanto, Heri Justiono,) Jurusan Teknik Fisika FTI-ITS ABSTRAK Lalu-lintas kendaraan bermotor di Jalan Embong Malang Surabaya (JEMS) dapat mengganggu, baik secara psikis maupun fisis, terhadap lingkungan di sekitarnya,. Tingkat Kebisingan lalu lintas kendaraan bermotor ini selalu berfluktuasi dan berulang secara periodik tertentu, sehingga diperlukan pengukuran selama selang waktu periodik tertentu untuk mengevaluasi kebisingan yang berfluktuasi tersebut. Pada penelitian ini akan dievaluasi tingkat kebisingan akibat lalu lintas kendaraan bermotor di Jalan Embong Malang Surabaya yang mengganggu lingkungan dengan besaran definitif Tingkat Kebisingan Ekuivalen (Leq), Day-night Average Sound Level (DNL), dan Community Noise Equivalent Level (CNEL). Data primer diperoleh dari pengukuran selama 24 jam, selama satu minggu, dengan pengambilan data setiap 5 menit sekali. Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh bahwa nilai Leq adalah 75.46 dBA, DNL adalah 79.41, dBA, CNEL adalah 79.88 dBA. Keywords: Bising lingkungan, Leq, DNL,CNEL I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Bunyi yang diakibatkan oleh bermacam-macam sumber sumber bunyi yang ada pada suatu daerah sehingga meyebabkan komunitas penduduk daerah tersebut terganggu disebut sebagai kebisingan lingkungan. Pada daerah kota besar ataupun kota metropolitan seperti Surabaya, area pemukiman sekitar jalan raya merupakan salah satu area yang terkena kebisingan lingkungan cukup besar, kontinyu dan berlangsung terus-menerus. Banyaknya jalan raya dengan kepadatan lalu-lintas yang tinggi di dalam kota besar menyebabkan daerah yang terkena kebisingan lingkungan dari jalan raya juga cukup luas, sehingga kebisingan lingkungan akibat dari lalu-lintas jalan raya di kota besar merupakan salah satu penyumbang kebisingan lingkungan yang cukup tinggi selain kegiatan lndustri. Masalah kebisingan lingkungan yang diakibatkan oleh jalan raya pada umumnya kurang diperhatikan karena pengaruhnya tidak langsung terasa oleh penduduk yang menetap di daerah tersebut, namun kebisingan lingkungan yang kontinyu dan berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan pengaruh-pengaruh yang merugikan peda penduduk yang menetap di daerah tersebut. Kebisingan lingkungan yang kontinyu serta terus – menerus melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan dapat berdampak kerugian fisik maupun phsykis . Dampak kebisingan lingkungan yang berupa kerugian fisik sebagai contoh adalah rusaknya organ-organ pendengaran serta penurunan kemampuan mendengar lebih cepat dari usia ideal seseorang. Dampak phsykis yang diakibatkan kebisingan lingkungan sebagai contoh adalah : emosional yang tinggi serta perubahan perilaku dalam berbicara tanpa disadari. Jalan Embong Malang ,Surabaya adalah salah satu contoh jalan yang mewakili jalan-jalan lain di kota Surabaya yang mempunyai kharakteristik berupa kepadatan lalulintas yang tinggi serta kontinyu selama 24 jam. Evaluasi kebisingan lingkunga sangat diperlukan di daerah pemukiman di sekitar jalan raya, karena dapat memberikan informasi seberapa besar tingkat kebisingan lingkungan selama 24 jam yang diterima penduduk yang bermukim disekitar jalan raya tersebut. Hasil evaluasi kebisingan lingkungan dapat digunakan untuk menilai apakah fungsi area disekitar jalan raya tersebut sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan ataukah belum, sehingga dalam pembangunan kota dimasa mendatang dapat dipilih fungsi area yang lebih cocok dengan tingkat kebisingan serta kondisi lingkungan di daerah tersebut. Tingkat kebisingan lingkungan pada daerah di sekitar jalan raya selain kontinyu juga berfluktuasi dari waktu ke waktu selama 24 jam. Untuk menentukan tingkat kebisingan lingkungan yang diterima daerah tersebut selama 24 jam memerlukan pengukuran selama 24 jam pula. Namun dalam perkembanganya, banyak sekali metode pengukuran yang digunakan untuk menghitung tingkat kebisingan lingkungan baik oleh pemerintah melalui surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan maupun lembaga International lainnya, misalnya : EPA di Inggris dan FHWA di Amerika. Metode tersebut dikembangkan sesuai karakter kebisingan lingkungan di masing-masing lokasi. Dengan mengacu pada pengukuran kontinyu yang ideal selama 24 jam, dapat dikembangkan metode pengukuran yang nilai keakuratanya mendekati pengukuran kontinyu yang ideal selama 24 jam namun dengan frekuensi pembacaan pada saat pengukuran yang lebih kecil, sehingga dapat mengefisienkan waktu pengukuran.
G-15 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kebisingan lingkungan pada daerah pemukiman sekitar Jalan Embong Malang Surabaya dengan besaran definitif Leq, Ldn, dan CNEL. 1.3 Permasalahan Permasalahan dalam penelitian penelitian tentang kebisingan lingkungan yang diakibat lalu-lintas kendaraan di Jalan Embong Malang ini adalah : Bagaimana menentukan nilai parameter kebisingan lingkungan, yaitu Leq24jam, DNL, dan CNEL di pemukiman sekitar Jalan Embong Malang, Surabaya ? 1.4. Batasan Masalah Penentuan nilai kebisingan lingkungan selama 24 jam hanya untuk daerah di luar ruangan/ bangunan. Daerah penelitian hanya mencakup daerah pemukiman yang terletak dekat sekali dengan jalan raya. Hari aktif yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis diasumsikan mempunyai pola kebisingan harian yang sama, sehingga cukup diwakili pada satu titik ukur. II. DASAR TEORI Parameter Kebisingan Lingkungan. Tingkat gangguan kebisingan di kawasan pemukiman, perkantoran, rumah sakit dsb, dinyatakan oleh tidak terpenuhinya paramater yang dipakai untuk menilai kebisingan lingkungan, yaitu besaran-besaran definitif yang direkomendasikan untuk dipakai sebagai acuan. Besaran-besaran tersebut antara lain adalah Tingkat kebisingan ekuivalen, Day-Night Average Sound Level, Community Noise Equivalent Level. Equivalent Sound Level ( Leq ). Tingkat tekanan bunyi ekuivalen ( Leq ) adalah tingkat tekanan bunyi yang mewakili tingkat tekanan bunyi yang berubah terhadap waktu dalam selang atau periode waktu tertentu (misal 1 jam, 8 jam, 24 jam, 1 minggu, 1 bulan). Tingkat Tekanan bunyi ekuivalen dinyatakan dalam besaran dBA dan dapat dinyatakan dengan persamaan : Lpi 1 n L eq 10 log t i . 10 10 dBA T i 1 atau n
L pi
L eq 10 log p i .10 10
dBA
i 1
dimana : pi
: fraksi waktu.(ti/T) t1 : durasi waktu saat terjadi Lp1 Leq : tingkat tekanan bunyi ekuivalen ,dBA. T : waktu total pengukuran.
Untuk total waktu pengukuran 24 jam maka T = 24, dan Tingkat tekanan bunyi ekuivalen dapat ditulis : Lpi 1 n 10 L eq , 24 jam 10 log t . 10 dBA i 24 i 1 Tingkat Tekanan Bunyi ekuivalen dalam satu minggu dapat dinyatakan dengan persamaan :
4 .10 0.1xLeq ( hr aktif ) 10 0.1xLeq ( hr pendek ) 10 0.1xLeq ( akhir pekan ) 10 0.1xLeq ( hr libur ) L eq 10 log 7 dalam satuan dBA Day Night Average Sound Level (Ldn) Salah satu parameter yang sering digunakan untuk menilai kebisingan lingkungan adalah Day-Night Sound Level, Ldn, Besaran ini mewakili tingkat kebisingan selama 24 jam, yang dibagi dalam 2 interval waktu yaitu siang (pukul 0.7.00 – 22.00= 15 jam) dan malam (pukul 22.00 – 07.00 = 9 jam). Day-Night Average Sound Level dinyatakan dengan persamaan :
G-16
ISBN : 978-979-18342-2-3
1 DNL 10 log 15 x 10 0.1xL d 9 x 10 0.1x (L n 10 ) 24
dBA
Dalam waktu satu minggu, Day-Night Average Sound Level dapat ditulis :
4.100.1xLdn(hr aktif) 100.1xLdn(hrpendek) 100.1xLdn(akhirpekan) 100.1xLdn(hr libur) DNL(1minggu) 10 log 7 dalam satuan dBA Community Noise Equivalent Level (CNEL). CNEL pertama kali diperkenalkan di California namun juga dipakai di Denmark, dengan tujuan mengevaluasi serta meberikan aturan standar kebisingan di suatu komunitas orang. CNEL pada dasarnya adalah tingkat kebisingan rata-rata selama 24 jam dalam skala dB(A), setelah menambahkan beban sebesar 5 dB(A) pada interval waktu sore hari ( pukul 19.00 sampai dengan 22.00 ),dan setelah menambahkan beban kebisingan sebesar 10 dB(A) pada interval waktu malam hari ( pukul 22.00 sampai dengan 07.00 ). Nilai CNEL bisa diperoleh dai persamaan :
1 CNEL 10 log 12 x 100.1xL d 3 x 100.1x ( L e 5) 9 x 100.1x ( L n 10 ) 24
dBA dimana : Ld = tingkat kebisingan ekuivalen siang hari, dBA. Le = tingkat kebisingan ekuivalen sore hari, dBA Ln = tingkat kebisingan ekuivalen malam hari, dBA. Dalam waktu satu minggu CNEL dapat ditulis sebagai :
4.10CNEL (hr aktif ) 10CNEL (hr pendek ) 10CNEL (akhir pekan ) 10CNEL (hr libur ) CNEL(1 min ggu) 10 log 7 dalam satuan dBA III. METODOLOGI PENELITIAN. 3.1. Penentuan objek penelitian. Pada penelitian mengenai kebisingan lingkungan akibat lalulintas kendaraan, yang dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah jalan Embong Malang Surabaya. Jalan Embong Malang Surabaya dijadikan sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut : Lokasi jalan Embong Malang Surabaya yang terletak di pusat kota Surabaya, sehingga diperkirakan mempunyai dampak kebisingan yang besar terhadap masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Arus lalulintas jalan Embong Malang Surabaya tergolong sedang tetapi kontinyu. Jarak pemukiman di sekitar Embong Malang Surabaya rata-rata sangat dekat dengan garis tepi jalan. Aktivitas penduduk di sekitar jalan Embong Malang Surabaya cukup beragam . Banyak sekali aktivitas penduduk yang memakan waktu kerja cukup lama dilakukan di luar area perumahan (out door). Tidak ada sumber kebisingan lain yang cukup besar selain dari lalu-lintas kendaraan di lokasi pemukiman sekitar jalan Embong Malang Surabaya. Panjang ruas jalan Embong Malang Surabaya tergolong yang tidak terlalu panjang sehingga memudahkan dalam mengambil jumlah titik pengukuran. 3.2. Pengambilan Data Penentuan Titik Ukur. Pada penelitian ini ditentukan 3 titik ukur yang letaknya disebelah kanan Jalan Embong Malang, Surabaya (dari arah Jalan Basuki Rahmat) dengan pertimbangan pada daerah sebelah kanan jalan merupakan daerah pemukiman berupa rumah toko (ruko) serta banyak sekali aktivitas kerja outdoor masyarakat yang memakan waktu cukup lama, sedangkan disebelah kiri berupa gedung-gedung dan pusat perbelanjaan. Dengan melihat pola arus lalu-lintas sepanjang lajur jalan ditentukan 3 buah titik ukur, titik 1 terletak di ruas sebelah timur (dekat Jl. Tunjungan), titik 2 terletak di ruas tengah, dan titik 3 terletak di ruas bagian Barat (dekat Jl. Blauran)
G-17 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Penentuan jadwal pengambilan data. Jadwal pengambilan data disusun dengan pertimbangan pembagian hari dalam 1 minggu. Dari 7 hari dalam 1 minggu bisa dibagi menjadi 4 kategori, yaitu sebagai berikut : Hari aktif atau hari kerja yaitu mulai hari Senin sampai Kamis Hari pendek yaitu hari Jum’at. Akhir pekan yaitu hari Sabtu. Hari Libur umum yaitu hari Minggu. Tabel 3.1 : Jadwal pengukuran selama 24 jam NO HARI TANGGAL WAKTU 1 SELASA 5 APRIL 05 00.00 – 24.00 2 RABU 6 APRIL 05 00.00 – 24.00 3 KAMIS 7 APRIL 05 00.00 – 24.00 4 JUM’AT 8 APRIL 05 00.00 – 24.00 5 SABTU 9 APRIL 05 00.00 – 24.00 6 MINGGU 10 APRIL 05 00.00 – 24.00 7 JUM’AT 15 APRIL 05 00.00 – 24.00 8 SABTU 16 APRIL 05 00.00 – 24.00 9 MINGGU 17 APRIL 05 00.00 – 24.00 10 JUM’AT 29 APRIL 05 00.00 – 24.00 11 SABTU 30APRIL 05 00.00 – 24.00 12 MINGGU 1 MEI 05 00.00 – 24.00
POSISI TTK UKUR 1 2 3 1 1 1 2 2 2 3 3 3
KETERANGAN Hari aktif Hari aktif Hari aktif Hari pendek Akhir pekan Hari libur Hari pendek Akhir pekan Hari libur Hari pendek Akhir pekan Hari libur
3.3.Pengolahan Data Untuk mengolah data hasil pengukuran tingkat kebisingan dilakukan sesuai dengan digram alir berikut ini : Mulai Hitung Leq, DNL dan CNEL 24 jam pada titik ukur I
Hitung Leq, DNL dan CNEL 24 jam pada titik ukur II
Hitung Leq, DNL dan CNEL 24 jam pada titik ukur III
Hitung Leq, DNL dan CNEL 1 minggu pada titik ukur I Hitung Leq, DNL dan CNEL 1 minggu pada titik ukur II Hitung Leq, DNL dan CNEL 1minggu pada titik ukur III Hitung Leq, DNL dan CNEL 1 minggu rata-rata dari titik ukur I, II, dan III Selesai
G-18
ISBN : 978-979-18342-2-3
IV. HASIL DAN DISKUSI 4.1.Hasil Perhitungan Tabel 4.1 : Perhitungan Leq24jam, DNL ( Day-Night Average Sound Level ) dan CNEL (Community Noise Equivalent Level) pada Titik I TITIK I NO HARI Leq(24 jam) DNL CNEL 1 Selasa, 5 April 2005 76.30 80.06 80.49 2 Jum’t, 8 April 2005 75.59 78.92 79.35 3 Sabtu, 9 April 2005 77.30 81.62 81.96 4 Minggu, 10 April 2005 76.25 81.71 81.96
Tabel 4.2 : Perhitungan Leq24jam, DNL ( Day-Night Average Sound Level ) dan CNEL (Community Noise Equivalent Level) pada Titik II TITIK I NO HARI Leq(24 jam) DNL CNEL 1 Selasa, 6 April 2005 77.45 81.04 81.64 2 Jum’t, 15 April 2005 75.69 79.94 80.36 3 Sabtu,16 April 2005 76.51 80.26 80.74 4 Minggu, 17 April 2005 75.05 79.56 79.92 Tabel 4.3 : Perhitungan Leq24jam, DNL ( Day-Night Average Sound Level ) dan CNEL (Community Noise Equivalent Level) pada Titik III TITIK I NO HARI Leq(24 jam) DNL CNEL 1 Selasa, 7 April 2005 71.90 75.90 76.45 2 Jum’t, 29 April 2005 71.27 75.31 75.76 3 Sabtu, 30 April 2005 71.01 75.55 75.97 4 Minggu, 1 Meil 2005 70.54 74.43 74.96 Tabel 4.4 : Perhitungan Leq, DNL, dan CNEL dalam 1 minggu pada titik I,II,III NO TITIK UKUR Leq(minggu) DNL(minggu) CNEL(minggu) 1 I 76.36 80.45 80.83 2 II 76.91 80.60 81.14 3 III 71.52 75.58 76.10 Tabel 4.5 : Perhitungan Leq, DNL, dan CNEL pada titik I,II,III 1 minggu rata-rata NO PARAMETER KEBISINGAN LINGKUNGAN dBA 1 Leq(1 minggu rata-rata) 76.46 2 DNL (1 minggu rata-rata) 79.41 3 CNEL (1 minggu rata-rata) 79.88 4.2. Diskusi Leq(24jam), DNL dan CNEL Titik I, II, III Pada Jenis Hari Yang Sama. Kolom Leq(24jam) dari tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 menunjukan tingkat kebisingan equivalent selama 24 jam untuk masing-masing hari dan titik pengukuran. Pada hari aktif nilai Leq(24jam) titik I dan titik II hampir sama yaitu 75 dB(A) walupun dengan hari pengukuran yang berbeda sedangkan untuk titik III adalah yang terendah yaitu 71.9 dB(A). Untuk hari jumat nilai titik I dan II juga hampir sama yaitu sekitar 75 dB(A) sedangkan pada titik III mempunyai nilai yang terendah yaitu 71.27 dB(A). Pada hari Sabtu Leq(24jam) titik I dan II hampir sama yaitu dengan pembulatan menunjukan nilai 77 dB(A) kecuali titik III mempunyai nilai terendah yaitu 71.01 dB(A). untuk hari Minggu seperti halnya hari aktif, hari Jumat dan hari Sabtu titik I dan titik II mempunyai selisih 1.2 dB(A) yaitu 76.25 dB(A) untuk titik I dan 75.05 untuk titik II, namun selisih desibel yang lebih kecil dari 3 dB, bisa dianggap sama. Titik III pada hari Minggu mempunyai nilai Leq(24jam) terendah yaitu 70.54 dB(A).
G-19 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Kolom 2 dari tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 merupakan kolom yang menunjukan nilai DNL masing-masing hari pengukuran sesuai pertitik ukur. Berbeda dengan Leq(24jam), DNL lebih menunjukan nilai tekanan kebisingan terhadap suatu daerah dalam siang-malam. Pada hari aktif nilai DNL titik I dan II menunjukan nilai hampir sama yaitu 80 dan 82 dB(A) sedangkan titik III menunjukan nilai terendah, yaitu 76 dB(A). Hal tersebut juga diperlihatkan untuk hari Jum’at, Sabtu dan Minggu. Titik I dan II menunjukan nilai yang hampir sama yaitu dengan selisih sekitar 1 dB(A) dan titik III menunjukan nilai yang paling rendah, lebih rendah 6 sampai 7 dB(A) dari titik I dan II. Paremeter selain Leq(24jam) dan DNL yang digunakan untuk mengevaluasi kebisingan lingkungan adalah CNEL. CNEL menunjukan tekanan tingkat kebisingan pada suatu daerah dengan pembagian hari dalam siang-sore dan malam hari. Kolom III tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 menunjukan nilai CNEL masing-masing hari pengukuran per titik ukur Tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 memperlihatkan , pada hari aktif nilai CNEL untuk titik I dan II memeperlihatkan nilai yang sama yaitu berturut-turut 80.49 dan 81.64 hanya berbeda 1.15 dB(A) sedangkan nilai terendah ditunjukan oleh titik III, yaitu 76.45. Hari Jum’at, Sabtu dan Minggu juga menunjukan nilai CNEL titik I dan II yang hampir sama, keduanya hanya mempunyai selisih 1 sampai 2 dB(A). sedangkan titik terendah ditunjukan oleh titik III. Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa titik I dan II mempunyai tingkat kebisingan lingkungan yang hampir sama nilainya, hal tersebut berarti kondisi lalu-lintas sebagai sumber utama di Jalan Embong Malang, Surabaya pada titik I dan II tak banyak berubah sedangkan pada titik III merupakan titik yang mempunyai tingkat kebisingan lingkungan terendah dibandingkan dengan titik I dan II. Hal tersebut dikarenakan pada titik III terdapat dua tikungan dan traffik light sehingga laju kendaraan di titik tersebut cenderung berkurang. Selain faktor tersebut di titik III merupakan titik dimana arus lalu-lintas Jalan Embong Malang, Surabaya pecah menjadi 3, yaitu ke arah Jalan Blauran, ke arah Jalan Kedung Doro dan ke arah Jalan Tidar. Leq(24jam), DNL dan CNEL Hari Aktif, Hari Jum’at, Hari Sabtu dan Hari Minggu Pada Titik Ukur Yang Sama. Kondisi tingkat kebisingan titik I ditunjukan dalam tabel 4.1. Tabel 4.1 menunjukan bahwa nilai Leq(24jam) untuk hari aktif, Jum’at, Sabtu dan Minggu berkisar antara 75 dB(A) sampai 77 dB(A). Nilai Leq(24jam) yang terendah adalah pada hari jumat yaitu sebesar 75.59 sedangkan yang tertinggi adalah hari Sabtu yaitu sebesar 77.30, namun selisih Leq(24jam) sebesar2 dB(A) masih bisa dikatakan mempunyai Leq(24jam) yang sama. Seperti halnya Leq(24jam) nilai DNL di titik I yang paling rendah adalah hari jumat yaitu sebesar 78.92 dB(A) dan yang paling tinggi adalah hari Minggu yaitu sebesar 81.71 dB(A). Selisih nilai DNL hari Minggu dan hari Jum’at adlah sebesar 2.8 dB(A). Jadi selisih kurang dari 3 dB(A) masih dalam kategori bernilai sama. Untuk CNEL , nilai terendah adalah pada hari jumat yaitu sebesar 79.35 dB(A). Nilai CNEL tertinggi adalah pada hari Sabtu dan Minggu, yaitu sebesar 81,96 dB(A). selisih CNEL untuk hari jumat dan hari Minggu adalah sebesar 2.61 dB(A). Secara keseluruhan masing-masing hari di titik I mempunyai nilai tingkat kebisingan terendah pada hari jum’at namun tingkat kebisingan lingkungan dalam parameter Leq(24jam), DNL dan CNEL di titik I untuk keseluruhan hari adalah sama, karena selisih nilai kebisingan lingkungan tertinggi dengan yang terendah dalam parameter yang sama, kurang dari 3 dB(A). Sedikit berbeda dengan titik I, pada titik II nilai Leq(24jam), DNL dan CNEL yang paling tinggi adalah pada hari aktif yaitu berturut-turut 77.45 dB(A), 81.04 dB(A), 81.64 dB(A). sedangkan yang terendah nilai Leq(24jam), DNL dan CNEL adalah pada hari Minggu yaitu berturut-turut nilainya 75.05 dB(A), 79.56dB(A), 79.92 dB(A). Selisih nilai tertinggi Leq(24jam), DNL dan CNEL dengan nilai terendahnya adalah berturut-turut 2.4 dB(A), 1.48 dB(A) dan 1.72 dB(A). Dari selisih ini bisa disimpulkan bahwa setiap hari dititik II mempunyai Leq(24jam) yang sama besar, mempunyai DNL yang sama besar dan mempunyai CNEL yang sama besar juga. Untuk titik III kondisi tingkat kebisingan hari aktif, hari Jum’at, hari Sabtu dan hari Minggu sama seperti titik II, yaitu nilai Leq(24jam), DNL dan CNEL yang tertinggi adalah hari aktif sedangkan yang terendah adalah hari Minggu. Dari analisa harian per titik ukur ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Titik I dan titik II mempunyai pola kebisingan lingkungan yang sama yaitu tertinggi pada hari aktif dan terendah pada hari Minggu. Hal tersebut merupakan hal yang umum sebab pada hari aktif kepadatan lalu-lintas cenderung tinggi sedangkan pada hari libur (hari Minggu) kepadatan lalu-lintas cenderung berkurang. Khusus untuk titik I, tingkat kebisingan lingkungan tertinggi justru pada hari Minggu sementara yang terendah adalah hari Jum’at. Hal ini diakibatkan kondisi disekitar titik I yang berhadapan langsung dengan bangunan perhotelan, pusat perbelanjaan serta tempat hiburan malam.
G-20
ISBN : 978-979-18342-2-3
Pada tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 didalam masing-masing titik ukur pada hari pengukuran yang sama tampak bahwa nilai Leq(24jam) selalu lebih kecil dari DNL maupun CNEL, hal tersebut berarti bahwa nilai tekanan kebisingan yang mengenai daerah di sekitar Jalan Embong Malang Surabaya selama siang-malam maupun siang-soremalam melebihi ekuivalent dari tingkat kebisingan yang berfluktuasi selama 24 jam. Hal tersebut akibat dalam perhitungan dikenakan penambahan sebesar 10 dB(A) untuk malam hari (pada DNL) dan penambahan sebesar 5 dB(A) pada sore hari pada (CNEL). Nilai DNL dan CNEL pada hari dan titik yang sama tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 menunjukan nilai yang hampir selalu sama untuk ketiga titik ukur, artinya pembagian hari menjadi 2 waktu yaitu siang-malam pada DNL dan pembagian hari menjadi 3 waktu siang-sore-malam pada CNEL tidak berpengaruh pada nilai akhir hasil perhitungan. Tingkat Kebisingan Lingkungan Mingguan Jalan Embong Malang, Surabaya. Leq(1minggu) menunjukan nilai tingkat kebisingan yang equivalent dengan fluaktuasi Leq(24jam). Leq(1minggu) merupakan hasil rata-rata kebisingan lingkungan terhadap waktu selama 7 hari dari Leq(24jam) setiap titik ukur. Sedangkan Leq(24jam) merupakan rata-rata logaritmis tingkat kebisingan dari titik I, II dan III. Hal tersebut juga berlaku untuk DNL dan CNEL. Kolom 3 tabel 4.5 memperlihatkan Leq(1minggu) untuk masing-masing titik ukur. Dari tabel 4.5 terlihat bahwa nilai Leq(1minggu) untuk titik III mempunyai harga terendah yaitu 71.52 dB(A) sementara titik II dan titik III mempunyai harga yang sama yaitu 76 dB(A). Dari tabel tersebut menunjukan bahwa titik III merupakan titik yang mempunyai Leq(1minggu) terendah dari kedua titik ukur lainya. Untuk DNL(24jam) dan CNEL(24jam) diperlihatkan oleh tabel 4.5 kolom 4 dan 5. Sama seperti Leq(24jam), nilai DNL(24jam) dan CNEL(24jam) tertinggi adalah titik II yang nilainya sama dengan titik I karena hanya berbeda sekitar 1 dB(A), sementara nilai terendah adalah titik III. Data tersebut memperlihatkan bahwa pola harian dan mingguan dari titik I, II dan III adalah sama. Secara keseluruhan kondisi tingkat kebisingan didaerah sekitar Jalan Embong Malang, Surabaya ditunjukan pada tabel 4.6. Nilai Leqmingguan, DNLmingguan dan CNELmingguan berturut-turut 75.46 dB(A), 79.41 dB(A) dan 79.88 dB(A). V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan. Dari keseluruhan data hasil perhitungan dan pembahasan penelitian tingkat kebisingan di Jalan Embong Malang Surabaya (JEMS), yang merupakan jalan satu arah yaitu dari arah Timur ke Barat, didapatkan kesimpulan bahwa : Nilai Tingkat Kebisingan ekuivalen (Leq), Day-Night Average Sound Level(DNL), dan Community Noise Equivalent Level (CNEL) pada poisisi di ujung bagian barat (titik ukur III) mempunyai nilai yang paling rendah ≈ 71 dBA , sedangkan pada posisi ujung bagian Timur (titik ukur I) dan posisi bagian tengah (titik ukur II) mempunyai nilai yang hampir sama ≈ 76 dBA. Dalam perhitungan 1 minggu rata-rata nilai Leq(24 jam) = 75.46 dB(A), DNL = 79.41 dB(A), dan CNEL = 79.88 dB(A) . 5.2 Saran. Penelitian kebisingan lingkungan pada suatu daerah terutama yang sumber utamanya adalah suatu jalan raya memang diperlukan pengukuran kontinyu selama 24 jam. Meskipun penelitian ini telah dapat memberikan informasi seberapa besar tingkat kebisingan lingkungan suatu daerah namun ada beberapa hal yang masih menjadi kelemahan, antara lain : pengukuran ketiga titik ukur tidak dapat dilakukan secara bersamaan, penelitian hanya dilakukan pada lingkungan luar gedung atau perumahan , penelitian hanya dalam rentang daerah kurang dari 10 meter dari ruas jalan serta waktu pengukuran yang tidak lebih dari 3 minggu. Untuk itu pada penelitian selanjutnya diharapkan bisa melengkapi kelemahan-kelemahan yang ada sehingga selain diperoleh informasi yang lebih akurat juga mencakup daerah yang lebih luas. 6. REFERENSI 1. B. J. Smith; et al.. 1996. “Acoustics and Noise Control”; Addison Wesley Longman Ltd.; Essex. 2. Bruel And Kjaer. 2001. “Environmental Noise”. Bruel And Kjaer : Naerum, Denmark. 3. Cyril M. Harris, Ph.D.1991. “Handbook Of Accoustical Measurement And Noise Control 3rd edition”, McGraw-Hill, Inc : New York. 4. EPA. 1999. “Environmental Criteria For Road Traffic Noise”.EPA : Sydney. 5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-48/MENLH/11/1999. 6. “U.S. Departement Of Housing And Urband Development . 1989 Noise Element City Of Ecinitas General Plan”. California.
G-21 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
G-22
ISBN : 978-979-18342-2-3
IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI TINGKAT KEBISINGAN JALAN EMBONG MALANG SURABAYA Tutug Dhanardono, Bambang Lelono Widjiantoro, Rizky Prasetio Santoso (Jurusan Teknik Fisika FTI-ITS)
ABSTRAK Pemakaian Model jaringan Syaraf Tiruan untuk keperluan prediksi telah banyak dilakukan dalam berbagai ilmu, dalam bidang teknik, kedokteran, ekonomi, dan lain-lain. Dalam penelitian ini ditentukan model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) terbaik untuk memprediksi tingkat kebisingan Jalan Embong Malang Surabaya (JEMS). Dari hasil analisa untuk prediksi 1 minggu ke depan dengan data pelatihan dimana Input dari model adalah data masa 2 minggu sebelumnya (t-2), masa 1 minggu sebelumnya (t-1) dan masa sekarang (t), sedangkan target adalah masa 1 minggu yang akan datang (t+1). Dari data ini diperoleh model terbaik dengan menggunakan struktur 3 – 15 – 11 – 1 dimana jumlah node hidden layer 1 dan 2 adalah 15 dan 11, dengan fungsi aktivasi masing – masing adalah logsig dan tansig. Nilai Root Mean Square Error (RMSE) yang diperoleh model adalah 0,008605 dengan jumlah epoch sebesar 185 untuk kinerja tujuan RMSE 10-4 Keseluruhan model yang dilatih diuji dengan menggunakan data validasi untuk prediksi 2 minggu ke depan. Sebagai inputan adalah (t-1), (t), dan (t+1). Sedangkan target adalah (t+2). Pengujian validasi untuk keseluruhan Jaringan Syaraf Tiruan untuk memprediksi 2 minggu ke depan baik untuk 1 dan 2 hidden layer belum mampu menghasilkan model yang bagus karena JST hanya mampu mengenali pola data training yang mengakibatkan model validasi terjadi underfitting dan overfitting Kata kunci: Kebisingan , JST, RMSE, Underfitting, Overfitting 1. PENDAHULUAN Menurut data statistik yang diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur tercatat bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jawa Timur selalu meningkat dari tahun ke tahun1). Hal ini akan berdampak pada perubahan pola tingkat kebisingan di semua ruas jalan di Jawa Timur akibat lalu lintas kendaraan bermotor. Gangguan kebisingan lalu lintas merupakan salah satu masalah yang memerlukan perhatian dan penanganan secara serius, karena dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada penduduk yang bermukim di sekitar sepanjang jalan raya. Jalan Embong Malang Surabaya (JEMS) merupakan salah satu ruas jalan yang sangat strategis karena lokasinya berada di tengah kota, oleh karena itu digolongkan sebagai salah satu jalan protocol di Surabaya. Kepadatan lalu lintas kendaraan Jalan Embong Malang cukup tinggi dan dari tahun ketahun terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah kendaraan di Jawa Timur, sehingga potensi jalan tersebut sebagai sumber kebisingan cukup tinggi pula. Oleh karena itu perlu dilakukan survey dan perhitungan untuk memprediksi tingkat kebisingan yang terjadi di masa datang. yang nantinya dapat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan langkah – langkah pengendalian bising. Penelitian ini mengembangkan suatu model yang mampu memprediksi tingkat kebisingan menggunakan Jaringan Syaraf tiruan. Sebelumnya telah diadakan penelitian yang dilakukan untuk memprediksi tingkat kebisingan dengan menggunakan model matematik yang menghasilkan TTB sebagai fungsi waktu.
2.TEORI PENUNJANG 2.1 Kebisingan Sumber kebisingan utama dalam pengendalian bising lingkungan dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok (Tutug Dhanardono, Anik Prasetyowati, 2005) : Bising Interior, berasal dari manusia, alat – alat rumah tangga, atau mesin – mesin gedung. Dinding – dinding pemisah, lantai, pintu dan jendela harus mengadakan perlindungan yang cukup terhadap bising – bising ini di dalam gedung. Bising Luar, bising yang berasal dari luar atau dari sekitar lingkungan, yaitu dari traffic (darat, rel, udara), dari kegiatan industri, pusat keramaian (pasar, pertokoan,dll).
G-23 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
2.2 Tingkat tekanan bunyi beban – A (LA) Persepsi manusia terhadap bunyi bervariasi, tergantung pada frekuensi dari bunyi tersebut. Beban A adalah standar pengukuran yang sering digunakan, karena mencerminkan hubungan yang sesuai dengan percobaan – percobaan yang subyektif. Karena itu digunakan bila bertujuan untuk melihat dampaknya terhadap manusia. 2.3 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Syaraf Tiruan merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia yang selalu mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia. Jaringan Syaraf Tiruan ini memiliki kemampuan yang baik dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan sistem nonlinear, seperti dalam hal prediksi tingkat kebisingan. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan Arsitektur Jaringan Syaraf tiruan merupakan kumpulan dari node-node yang disusun secara berbaris yang disebut layer dari Input, Hidden dan Output. Layer Input dan Output umumnya terdiri dari 1 layer, sedang layer Hidden dapat terdiri lebih dari 1 layer. Jumlah node dalam setiap layer dapat tak terbatas, tergantung pada permasalahan yang ingin diselesaikan.
i
j wji
wkj
k wok
0
Layer Output Layer Input
Layer Hidden
Gambar 1 : Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan dengan 1 layer Input, 2 layer Hidden, dan 1 layer Output Berdasarkan ada tidaknya acuan pada saat proses belajar berlangsung, kaidah belajar dikelompokkan menjadi dua, yaitu belajar dengan pengawasan (supervised learning) dan belajar tanpa pengawasan. Pada penelitian ini digunakan proses belajar dengan pengawasan, dimana setiap pemberian set belajar pemakai sudah memberikan output yang diinginkan. Penyesuaian bobot dilakukan berdasarkan output saat itu dengan output yang diinginkan. Ada beberapa parameter yang turut menentukan keberhasilan suatu proses pembelajaran (Norgaard M,RvnO, Poulsen N.K, Hansen LK ; 2000), yaitu : Inisialisasi bobot Bobot interkoneksi dari JST yang akan dilatih biasanya diinisialisasikan dengan harga yang kecil. Salah satu pilihan yang dapat digunakan adalah memilih nilai bobot vij dan wjk pada suatu rentang kawasan nilai antara – 0,5 dan 0,5 atau beberapa interval lain yang seimbang. Kecepatan belajar (α) Parameter kecepatan belajar menunjukkan intensitas dalam proses belajar. Parameter ini juga menentukan efektivitas dan konvergensi dari pelatihan dengan menentukan harga pada 0 < α < 1 Kesalahan belajar dan batas iterasi Untuk menghindari proses jaringan terjebak dalam suatu looping yang terus menerus maka sebelumnya diberikan batasan iterasi maksimum yang diperbolehkan. Sedangkan untuk mendapatkan performansi system yang diinginkan maka diberikan batasan error maksimum.
G-24
ISBN : 978-979-18342-2-3
2.4 Fungsi Aktivasi Linier Fungsi linier (identitas) didefinisikan sebagai fungsi yang memiliki nilai output yang sama dengan nilai inputnya dan dirumuskan sebagai :
y x............................................................(1)
Gambar 2 : Fungsi Aktivasi : Liniear (identitas) 2.5 Fungsi Aktivasi Logsig Fungsi ini digunakan untuk jaringan syaraf yang dilatih dengan metode backpropagation. Fungsi sigmoid biner (logsig) memiliki nilai pada range 0 sampai 1. Oleh karena itu, fungsi ini sering digunakan untuk jaringan syaraf yang membutuhkan nilai output yang terletak pada interval 0 sampai 1. Namun, fungsi ini bisa juga digunakan oleh jaringan syaraf tiruan yang nilai outputnya 0 atau 1. Fungsi sigmoid biner dirumuskan sebagai :
1 .......... .......... .......... ....( 2) 1 e x f ' x f x 1 f x
y f x Dengan :
2.6 Fungsi Aktivasi Tansig Fungsi sigmoid bipolar (Tansig) hampir sama dengan fungsi sigmoid biner (Logsig), hanya saja output dari fungsi Tansig mempunyai range antara 1 sampai -1. Fungsi Tansig dirumuskan sebagai berikut :
1 e x y f x .......... .......... .......... ......( 3 ) 1 e x Dengan : f ' x 1 f x .1 f x 2 2.7 Feed Forward Tahapan ini dimulai dengan memberikan suatu pola masukan pada jaringan. Misal untuk satu vektor masukan X = (X1,X2,....,Xn). Tiap unit mendistribusikan pola masukan tersebut ke unit pengolah lapisan hidden. Masing – masing unit hidden (Zj,j = 1,....,p) menjumlahkan bobot sinyal input. NET input untuk unit hidden ke j adalah : n
Z _ in j Voj X i .Vij .......................(3) i 1
Dengan menganggap bahwa aktivasi dari sinyal ini sama dengan NET input maka output dari sinyal adalah :
Z j f ( Z _ in j )...................................(4) Signal ini dikirim ke semua unit dalam lapisan output. Masing – masing unit output (Yk, k = 1,.....,m) menjumlahkan sinyal input bobotnya,yaitu : p
Y _ ink Wok Z j .W jk .....................(5) i 1
Output sinyalnya menjadi :
Yk f (Y _ ink )......................................(6)
G-25 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
2.8 Back Propagation Backpropagation merupakan algoritma pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot yang terhubung dengan neuron – neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya(Kusumadewi, Sri ; 2004). Algoritma backpropagation menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot – bobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error ini, tahap perambatan maju (forward propagation) harus dikerjakan terlebih dahulu. Pada saat perambatan maju, neuron – neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan. Tahapan propagasi balik dimulai dengan membandingkan respon jaringan keseluruhan dengan output yang diinginkan. Masing – masing unit output (Yk, k = 1,.....,m) menerima korespondensi pola target ke pola training input. Informasi error dihitung dengan :
k (t k y k ) f ' (Y _ ink )........................(7) Koneksi bobot dihitung untuk mengupdate Wjk :
W jk . k .Z j ......................................(8) Koneksi bias dihitung untuk mengupdate Wok :
Wok . k ..........................................(9) Masing – masing unit hidden (Zj,j = 1,....,p) menjumlahkan delta input dari unit – unit dalam lapisan : m
_ in j k .W jk ...............................(10) k 1
Informasi error dihitung dengan mengalikan terhadap turunan fungsi aktivasinya :
j _ in j . f ' ( Z _ in j )........................(11) Koneksi bobot dihitung untuk mengupdate Vij :
Vij . j . X i ........................................(12) Koneksi bias dihitung untuk mengupdate Voj :
Voj . j ...............................................(13) 2.9 Update Bobot & Bias Masing – masing unit output (Yk, k = 1,.....,m) mengupdate bias (o = 0,....p) dan bobotnya (j = 0,....p) dengan persamaan
W jk
/ ok ( new )
W jk
/ ok ( old )
W jk .......... .......... (14 )
Masing – masing unit hidden (Zj,j = 1,....,p) mengupdate bias (o = 0,...,n) dan bobotnya (i = 0,...,n) dengan persamaan :
V ij / oj ( new
)
V ij / oj ( old
)
V ij / oj .......... .......... ......( 15 )
2.10 Penskalaan Penskalaan pada jaringan syaraf tiruan diperlukan untuk mempercepat konvergensi pada saat training dilakukan. Hasil dari skala adalah data dibawa pada range 0 sampai 1. Umumnya sebelum scaling dilakukan, data ditranformasi lebih dahulu menjadi zero mean dan unity standard deviation. Namun transformasi ini tidak diperlukan karena dengan langsung menskala didapatkan hasil yang sama. Rumus yang dipakai untuk menskala adalah sebagai berikut :
XA
X minX ...............(16) maxX minX
Dengan : XA = data yang sudah terskala X = data mentah 2.11 Root Mean Square Error (RMSE) Ukuran kebaikan dari model yang dikembangkan dapat dilihat dari nilai RMSE. Semakin kecil nilai RMSE maka model semakin baik. Rumus untuk mencari nilai RMSE adalah sebagai berikut (www.mathworks.com/NN toolbox/RMSE.html, 2005):
G-26
ISBN : 978-979-18342-2-3
N
2
y t yˆ t i 1 .......... ........( 17 ) N
RMSE
Dengan : y t = data target jaringan syaraf tiruan
yˆt = data hasil simulasi jaringan syaraf tiruan N
3.
= jumlah data
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian Lokasi penelitian adalah Jalan Embong Malang Surabaya dengan titik pengukuran di depan BANK EKONOMI.
Waktu pengukuran Pengukuran dilakukan pada setiap hari Rabu (5 x Rabu), mulai tanggal 29 Maret 20006 sampai 26 April 2006. Pengambilan Data
waktu : WIB
29 Maret 2006 (t-2) 5 April 2006 (t-1) 12 April 2006 (t) 19 April 2006 (t+1) 26 April 2006 (t+2)
12.30 – 12.40 12.30 – 12.40 12.30 – 12.40 12.30 – 12.40 12.30 – 12.40
Waktu pengukuran adalah pada suatu saat jam sibuk, yaitu pukul 12.30 WIB. (Dari hasil survey awal selama 1 hari, yaitu hari Rabu, 22 Maret 2006), jam sibuk dimulai pukul 06.30 WIB hingga pukul 19.00 WIB dan puncak jam sibuk terjadi pada pukul 09.30 WIB, 12.30 WIB, dan 15.30 WIB. Dari penentuan kam sibuk ini dipilih salah satu, yaitu jam 12.30 WIB.
Prosedur Pengukuran Posisi SLM NA-24 tegak lurus dengan objek pengukuran (kendaraan bermotor) Ketinggian SLM NA-24 ditentukan 1,3 meter dari permukaan jalan dan jarak dari trotoar ditentukan 3 meter. Pengukuran dilakukan selama 10 menit, dengan pencatatan data (sampling) setiap 5 detik.
3.4 Arsitektur Jaringan Pada pemodelan menggunakan Jaringan Syaraf tiruan ini akan digunakan model bervariasi yaitu dengan 3 inputan, jumlah hidden layer 1 dan 2 , serta 1 output dengan kinerja atau error tujuan RMSE 10-4. 3.5 Pelatihan Jaringan Pada pelatihan jaringan ini ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu : 1. Normalisasi Data di skala sehingga datanya terletak pada range [0,1]. 2. Jumlah Hidden ditentukan 1 dan 2 dimana untuk 1 hidden memakai fungsi Tansig sedangkan 2 hidden memakai fungsi tansig dan Logsig. 3. Nilai Lapisan bobot dan bias awal dengan range -0,5 sampai 0,5. 4. Nilai Learning Rate adalah 0,5. 5. Maksimum Iterasi ditentukan sebesar 5000 6. Root Mean Square Error ditentukan dengan nilai 10-4. 7. Jumlah Node untuk 1 hidden ditentukan node bervariasi yaitu 5,10,15,20 dan 25. sedangkan node untuk 2 hidden ditentukan 10 & 7,15 & 11, serta 20 & 15. 8. Jumlah Inputan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3.
G-27 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Jika faktor diatas telah ditentukan, maka dilakukan pelatihan. Fflow chart pelatihan sebagai berikut : Start
Normalisasi Data Masukkan Data
Set Bobot Awal Set Jumlah Hidden Set Learning Rate Set Error Max
Melakukan Pembelajaran dengan Levenberg-Marquardt
Apakah RMSE Memenuhi Kriteria 0.0001
Tidak
Ya Evaluasi Output dengan JST
Simpan Bobot Akhir
Stop
Gambar 3 : flow chart training JST Langkah – langkah pelatihan dari model adalah sebagai berikut : 1. data dinormalisasi dengan dilakukan penskalaan. 2. Masukkan data input dan target. 3. Tentukan jumlah hidden layer dan algoritma pelatihan. Algoritma pelatihan yang digunakan adalah Levenberg - Marquardt. 4. Tentukan pula maksimum iterasi, nilai bobot awal dan batas RMSE. 5. Lakukan pembelajaran hingga memenuhi criteria 6. Simpan bobot akhir pelatihan 7. Evaluasi output dengan JST ada 2 macam, yaitu dari nilai RMSE dan hasil visual. 3.6 Validasi Jaringan Untuk membuktikan pemodelan baik, maka perlu dilakukan validasi terhadap model .Validasi dapat dilakukan dengan memberikan model suatu input dan target yang tidak di latih ( dalam hal ini data digeser sebesar N+1) saat training. Adapun flow chart validasi sebagai berikut :
G-28
ISBN : 978-979-18342-2-3
Gambar 6 flow chart validasi JST Langkah – langkah validasi dari model adalah sebagai berikut : 1. normalisasi data dengan penskalaan 2. masukkan data validasi pada bobot akhir pelatihan. 3. evaluasi output validasi dengan JST validasi dengan menghitung RMSE dan menampilkan hasil visual.
4. DATA DAN ANALISA Pada BAB I telah disebutkan bahwa tujuan utama dari penelitian ini adalah mencari model Jaringan Syaraf Tiruan untuk memprediksi tingkat kebisingan jalan embong malang pada titik 3. Grafik pengukuran mulai (t-2) hingga (t+2) adalah sebagai berikut : Data pengukuran (t-2)
TTB ( dB A )
90 80 70 60 50 0
100
200
300 400 detik ( sekon )
500
600
Gambar 8 data pengukuran ke t-2 Data pengukuran (t-1)
TTB ( dB A )
90 80 70 60 50 0
100
200
300 400 detik ( sekon )
500
600
Gambar 9 data pengukuran ke t-1
G-29 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Data pengukuran (t)
TTB ( dB A )
90 80 70 60 50 0
100
200
300 400 detik ( sekon )
500
600
500
600
Gambar 10 data pengukuran ke t Data pengukuran (t+1)
TTB ( dB A )
90 80 70 60 50 0
100
200
300 400 detik ( sekon )
Gambar 11 data pengukuran ke t+1 Data pengukuran (t+2)
TTB ( dB A )
90 80 70 60 50 0
100
200
300 400 detik ( sekon )
500
600
Gambar 12 data pengukuran ke t+2 Sebelum data diinputkan, maka harus dinormalisasi terlebih dahulu dengan menggunakan persamaan 16. berikut ini adalah grafik data t-2 hingga t+2 yang sudah dinormalisasi Pengambilan data kebisingan dimulai dari detik ke 5 dan diakhiri pada detik ke 600, artinya pada detik ke 5 dihitung sebagai data ke 1, detik ke 10 sebagai data ke 2, hingga detik ke 600 dihitung sebagai data ke 120. Pemodelan pada penelitian ini akan menggunakan JST – MLP (Multi Layer Percepton) dengan struktur NNAR (Neural Network AutoRegresivet), dimana untuk data pelatihan variabel input mengandung input masa lampau dan masa sekarang dan output masa yang akan datang. Pada pemodelan ini, hanya mengandung 3 input dan 1 target dimana untuk data yang dilatih digunakan data pada masa 2 minggu sebelumnya (t-2), 1 minggu sebelumnya (t-1) dan masa sekarang (t) sedangkan target menggunakan data 1 minggu berikutnya (t+1). Untuk data validasi data inputan menggunakan data (t-1),(t), dan (t+1), sedangkan target menggunakan data (t+2). 4.1 Hasil Iterasi 1 Hidden layer Dari hasil iterasi yang bervariasi untuk 1 hidden layer , untuk error tujuan RMSE sebesar 10-4 terlihat semakin banyak jumlah hidden node maka iterasi untuk mencapai tujuan semakin cepat. Karena penentuan nilai bobot dan bias awal.
G-30
ISBN : 978-979-18342-2-3
Tabel 1 perbandingan kinerja JST pada RMSE 10-4 untuk 1 hidden layer Jumlah Hidden Node Stop Iteration (Epochs) Error Training Yang Tercapai (RMSE) 5 5000 0,0234009 10 5000 0,0116243 15 5000 0,00526191 20 5000 0,0015717 25 499 0,00098121 4.2 Hasil Iterasi 2 Hidden layer Dari gambar iterasi yang bervariasi untuk 2 hidden layer , untuk error tujuan RMSE sebesar 10-4 dengan penambahan bobot dan bias semakin cepat mencapai tujuan error walau terjadi fluktuasi dan secara kebetulan error terkecil terjadi pada hidden node 15 & 11. Alasan adanya fluktuasi sama seperti penjelasan diatas karena penentuan bobot dan bias awal. Tabel 2 perbandingan kinerja JST pada RMSE 10-4 untuk 2 hidden layer Jumlah Hidden Node Stop Iteration (Epochs) Error Training Yang Tercapai (RMSE) 10 & 7 220 0,0000752904 15 & 11 185 0,0000740394 20 &15 127 0,0000942467 4.3 Hasil Pelatihan 1 Hidden layer Berdasarkan hasil bobot baru, data training diinputkan pada JST. Hasil trial and error terlihat untuk 1 hidden layer dengan variasi error tujuan RMSE 10-4 mampu menghasilkan model yang paling bagus. Nilai RMSE terkecil terdapat pada percobaan dengan jumlah node 25, yaitu sebesar 0,00991.
Tabel 3 Nilai RMSE training 1 hidden layer untuk error tujuan RMSE 10-4 Jumlah Hidden Node RMSE DATA PELATIHAN 5 0,14527 10 0,10782 15 0,07254 20 0,03965 25 0,00991
Gambar 13 hasil training 1 hidden, 25 hidden node, error tujuan 10-4 Selain itu dari hasil visualisasi untuk node 25 pada RMSE 10-4 juga menunjukkan hampir tidak ada error pada model JST karena hasil model JST yang berupa garis putus – putus warna merah berhimpitan dengan target yang berupa garis solid berwarna biru (gambar 13).
G-31 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
4.4 Hasil Pelatihan 2 Hidden layer Hasil trial and error terlihat untuk 2 hidden layer dengan RMSE 10-4 mampu menghasilkan model yang paling bagus. Selain itu dari hasil visualisasi untuk node 15 & 11 pada RMSE 10-4 juga menunjukkan hampir tidak ada error pada model JST karena hasil model JST yang berupa garis putus – putus warna merah berhimpitan dengan target yang berupa garis solid berwarna biru (gambar 14). Secara logika ketika menambah jumlah node, maka nilai error menjadi semakin kecil. Akan tetapi terlihat error yang tercapai justru berfluktuasi. Nilai ini muncul dikarenakan penetapan bobot awal yang mempengaruhi iterasi secara langsung sehingga nilai error yang dihasilkan secara kebetulan nilai RMSE yang terbaik ada pada hidden node 15 & 11. Tabel 4 Nilai RMSE training 2 hidden layer untuk error tujuan RMSE 10-4 Jumlah Hidden Node RMSE DATA PELATIHAN 10 & 7 0,008677 15 & 11 0,008605 20 & 15 0,009708
Gambar 14 : hasil training 2 hidden, 15 & 11 hidden node, error tujuan 10-4 4.5 Hasil Validasi 1 Hidden layer Perbedaan yang cukup jelas antara proses training dan validasi adalah pada proses training jika belum memenuhi kondisi (Error Error Max ) maka jaringan akan terus melakukan iterasi sekaligus merubah nilai bobot keseluruhan. Untuk proses validasi tidak perlu lagi melakukan proses iterasi karena bobot awal yang digunakan adalah bobot akhir hasil proses training. Tabel 5 Nilai RMSE validasi 1 hidden layer untuk error tujuan RMSE 10-4 Jumlah Hidden Node RMSE DATA VALIDASI 5 0,23129 10 14,77700 15 1,17230 20 1,03630 25 2,00640
Gambar 15 : hasil validasi 1 hidden, 25 hidden node, error tujuan 10-4
G-32
ISBN : 978-979-18342-2-3
Akibatnya hasil visualisasi model JST pada 1 hidden layer ini tergolong kategori jelek. Ini dapat dilihat pada keseluruhan gambar, dimana model JST tidak ada yang mendekati target baru yang sudah ditetapkan. Artinya JST hanya mengenali data – data yang ikut dilatih, ketika diuji dengan data baru terjadi yang disebut overfitting, yaitu keadaan dimana hasil model berada diluar range yang sudah ditetapkan (0 sampai 1) pada pengujian RMSE 10-4 akibat noise data yang besar serta underfitting, yaitu keadaan dimana hasil model tetap berada di range 0 sampai 1 akan tetapi berfluktuasi secara stabil di range tertentu semisal 0,7 hingga 0,8 akibat noise data yang terlalu kecil.
4.6 Hasil Validasi 2 Hidden layer Untuk hasil visualisasi model JST pada 2 hidden layer ini tergolong kategori jelek seperti pada 1 hidden layer. Ini dapat dilihat pada keseluruhan gambar, dimana model JST tidak ada yang mendekati target baru yang sudah ditetapkan. Artinya JST hanya mengenali data – data yang ikut dilatih, ketika diuji dengan data baru terjadi yang disebut overfitting, yaitu keadaan dimana hasil model berada diluar range yang sudah ditetapkan (0 sampai 1) pada pengujian RMSE 10-4 akibat noise data yang besar serta underfitting, yaitu keadaan dimana hasil model tetap berada di range 0 sampai 1 akan tetapi berfluktuasi secara stabil di range tertentu semisal 0,7 hingga 0,8 akibat noise data yang terlalu kecil. Tabel 6 Nilai RMSE Validasi 2 hidden layer untuk error tujuan RMSE 10-4 Jumlah Hidden Node RMSE DATA VALIDASI 10 & 7 1,409600 15 & 11 0,724430 20 & 15 0,568970
Gambar 16 : hasil validasi 2 hidden, 15 & 11 hidden node, error tujuan 10-4
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam penelitian ini telah dilakukan pemodelan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan untuk memprediksi tingkat kebisingan jalan Embong Malang Surabaya pada titik ukur 3. kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : 1. Pemodelan terbaik diperoleh saat menggunakan data training untuk memprediksi 1 minggu ke depan dengan menggunakan 2 hidden layer dengan jumlah node masing – masing 15 dan 11, RMSE tujuan 10-4 serta jumlah Epoch sebesar 185, dimana nilai RMSE training sebesar 0,008605. 2. Pengujian validasi Jaringan Syaraf Tiruan untuk memprediksi 2 minggu ke depan baik untuk 1 dan 2 hidden layer belum mampu menghasilkan model yang bagus karena JST hanya mampu mengenali pola data training yang mengakibatkan model validasi terjadi underfitting dan overfitting.
G-33 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
5.2 Saran Untuk pengembangan penelitian ini, maka disarankan : 1. Dengan menggunakan model terbaik model prediksi kebisingan dikembangkan untuk meningkatkan kinerja model agar mampu memprediksi 2 minggu kedepan atau lebih. 2. Dilakukan pengukuran tambahan selain data kebisingan seperti jenis kendaraan, dan jumlah kendaraan agar kinerja model mampu untuk prediksi 2 minggu ke depan atau lebih
6. DAFTAR PUSTAKA 1. Hanselman, Duane;Littlefield, Bruce . 1997. Matlab, Bahasa Komputasi Teknis ( Komputasi, Visualisasi, Pemrograman ) . Andi. Yoyakarta. 2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-48/Menlh/11/1996 Tentang Baku Tingkat Kebisingan. 3. Kusumadewi, Sri. 2004. Membangun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab & Excel Link. Graha Ilmu.Yogyakarta. 4. Norgaard M,RvnO, Poulsen N.K, Hansen LK (2000). Neural Network For Modelling and control of Dynamics. Springer Verlag 5. Smith, BJ, RJ Peters and Stephaine Owen .1995. Acoustic And Noise Control . Second Edition. Addison Wesley longman Ltd. Essex 6. RMSE (Rooth Mean Square Error). 2005. <www.mathworks.com/NN toolbox/RMSE.html >. 7. Tutug Dhanardono, Anik Prasetyowati 2005 “Penentuan Model Matematis Tingkat Kebisingan Dan Waktu Untuk Memprediksi Tingkat Kebisingan Jalan Embong Malang Surabaya Di Masa Datang”. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Akustik dan Getaran 2005 (VibrAstic 2005) Gedung Rektorat ITS Surabaya, 13 – 14 Desember 2005.
G-34
ISBN : 978-979-18342-2-3
POTENSI PENGELOLAAN SAMPAH MENUJU ZERO WASTE YANG BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG Sriliani surbakti Mahasiswa Program PascaSarjana Jurusan Teknik Lingkungan FTSP ITS e-mail :
[email protected] 2 Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Wahyono Hadi, MSc 1
ABSTRAK Pengelolaan sampah di Kecamatan Kedungkandang belum komprehensif karena keterbatasan sistem pengelolaan sampah sehingga perlu dilakukan kajian potensi sumber sampah menuju Zero Waste yang berbasis masyarakat melalui 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Zero Waste adalah mulai dari produksi sampai berakhirnya suatu proses produksi dapat dihindari terjadi “produksi sampah” atau diminimalisir terjadinya “sampah” Hasil analisa data sekunder dan data primer yang diperoleh di Kecamatan Kedungkandang terdiri dari 12 Kelurahan yaitu 9 kelurahan yang terlayani dan 3 Kelurahan tidak terlayani oleh Dinas Kebersihan karena masih status perdesaan. Kelurahan yang belum terlayani oleh Dinas Kebersihan adalah Kelurahan Arjowinangun, Tlogowaru dan Wonokoyo. Sedangkan Kelurahan yang terlayani Dinas Kebersihan dengan jumlah timbulan sampah di Kelurahan Kota lama adalah 12 m3/hari, Buring 8 m3/hari, Kedungkandang 15 m3/hari, Lesanpuro 13 m3/hari. Sawojajar 70 m3/hari, Madyopuro 23 m3/hari, dan Cemorokandang 5 m3/hari. Dari jumlah timbulan sampah yang dihasilkan, ternyata di Kelurahan Sawojajar terdapat jumlah timbulan sampah terbesar dikarenakan besarnya jumlah penduduk dan besarnya aktifitas masyarakat. Berdasarkan hasil quisioner maka 98 % menyetujui implementasi pelaksanaan pengelolaan sampah menuju Zero Waste yang berbasis masyarakat dengan konsep 3 R serta hasil dari sosialisasi yang dilakukan cukup mendapat respon dari masyarakat sehingga Kelurahan Sawojajar sebagai percontohan untuk diberikan pengolahan sampah dengan recycle yaitu pelatihan daur ulang sampah. Dari hasil daur ulang sampah yang di implementasikan maka mengurangi jumlah timbulan sampah di Kecamatan Kedungkandang. Kata Kunci : Sampah Menuju Zero Waste, Berbasis Masyarakat 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan persampahan sebagai salah satu utilitas yang dapat mempengaruhi perkembangan kota, sehingga membutuhkan penanganan yang benar karena keberadaan volume sampah yang semakin hari semakin bertambah besar seiring pertambahan jumlah penduduk, sedangkan sampah bersifat sebagai polutan yang mencemari tanah, air, udara dan estetika pandangan suatu kota serta dapat mengganggu kesehatan. Penanganan sampah yang bersifat komprehensif di Kecamatan Kedungkandang belum sepenuhnya terwujud, untuk itu diharapkan dapat mendorong kearah komprehensif sudah mulai muncul. Hal demikian diperlukan waktu yang cukup lama dalam pelaksanaan kearah komprehensif sehingga pelaksanaan melalui konsep 3R diperlukan secara bertahap dikarenakan Kecamatan Kedungkandang memiliki cukup padat penduduknya, yaitu data luas terbangun sebesar 3989.44 Ha, dengan jumlah penduduk 172.663 jiwa, dan kepadatan penduduk sebesar 43.28 jiwa/Ha (Malang dalam angka, 2006). Kecamatan Kedungkandang terdiri dari dua belas Kelurahan, diantaranya sembilan kelurahan status perkotaan yang dilayani oleh Dinas Kebersihan dan tiga kelurahan lainnya adalah status perdesaan dimana masih terdapatnya TPS-TPS liar yaitu di Kelurahan Cemorokandang, Kelurahan Wonokoyo, Kelurahan Arjowinangun, Kelurahan Tlogowaru, hal ini dikarenakan belum semuanya ditangani oleh Dinas Kebersihan karena status perdesaan dan disamping itu pengaruh dari kurangnya budaya kebersihan dan dilatarbelakangi tingkat pendidikan yang rendah. Untuk itu pada wilayah studi ini diarahkan kepada potensi pengelolaan sampah menuju Zero Waste yang berbasis masyarakat di mulai dari tingkat kelurahan.
G-35 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
1.2. Perumusan Masalah 1. Masih banyaknya tumpukan sampah yang masuk ke TPA 2. Melakukan kajian potensi sumber sampah menuju zero waste yang berbasis masyarakat melalui 3 R ( Reuse, Reduce, Recycle) yang berbasis masyarakat di Kecamatan Kedungkandang Kota Malang 1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan : Mengetahui potensi konsep 3R yang dapat diimplementasikan di tingkat Kelurahan sehingga dapat mengurangi jumlah timbulan sampat di TPA Melakukan pengelolaan sampah menuju Zero Waste yang berbasis masyarakat melalui konsep 3R (( Reuse, Reduce, Recycle) 1.4. Manfaat Penelitian : Mengetahui bagaimana sistem untuk memilah sampah pada sumbernya dan nilai ekonomis dari sampah. Mengetahui potensi sampah dan pemanfaatannya di Kecamatan Kedungkandang Kota Malang 2. DASAR TEORI Sampah sebagai limbah yang bersifat padat terdir dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (SNI 19 – 2454 – 2002). a. Laju Timbulan Sampah Laju timbulan sampah baik untuk sekarang maupun dimasa mendatang merupakan dasar dari perencanaan, perancangan, dan pengkajian potensi pengelolaan persampahan menuju Zero Waste. Apabila pengamatan lapangan belum tersedia, maka untuk menghitung besaran sistem dapat digunakan angka timbulan sampah sebagai berikut ( E. Damanhuri, 2004) : Satuan timbulan sampah kota besar = 2– 2,5 liter/orang.hari atau 0,4 – 0,5 kg/orang.hari Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil = 1,5-2 liter/orang.hari atau 0,3-0,4 kg/orang.hari Berdasarkan kriteria pada SNI 19-3964-2002 untuk kota besar lebih dari 500.000 jiwa maka Kota Malang masuk kota besar. b. Densitas Densitas sampah adalah berat sampah yang diukur dalam satuan kilogram dibandingkan dengan volume sampah yang diukur tersebut (kg/m3). Densitas sampah sangat penting dalam menentukan jumlah timbulan sampah. Penentuan densitas sampah ini dilakukan dengan cara menimbang sampah yang disampling dari sumber sampah (E. Pandebesie, 2005). c. Komposisi Sampah Komposisi sampah yang dihasilkan dari Kecamatan Kedungkandang menunjukkan bahwa komposisi sampah yang terbesar adalah sampah organik (Anonim, 2007). Dari data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kebersihan Kota Malang bahwa Kecamatan Kedungkandang memiliki volume sampah pertahun seperti pada tabel berikut. Tabel : Volume Sampah M3 / Tahun di Kecamatan Kedungkandang VOLUME SAMPAH M3/TAHUN KECAMATAN 2003 2004 2005 KEDUNGKANDANG 57.601 58.320 70.200 Sumber : Dinas Kebersihan 2009
2006 51.542
d. Potensi Pengelolaan Sampah Menuju Zero Waste Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Zero Waste adalah mulai dari produksi sampai berakhirnya suatu proses produksi dapat dihindari terjadi “produksi sampah” atau diminimalisir terjadinya “sampah”, ( Urip Santoso, 2009). Konsep Zero Waste ini salah satunya dengan menerapkan prinsip 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Pemikiran konsep zero waste adalah pendekatan serta penerapan sistem dan teknologi pengolahan sampah perkotaan skala individual dan skala kawasan secara terpadu dengan sasaran untuk dapat mengurangi volume sampah sesedikit mungkin. Konsep 3R adalah merupakan dasar dari berbagai usaha untuk mengurangi limbah sampah dan mengoptimalkan proses produksi sampah, (Ari Suryanto, dkk, 2005). pola operasional pengolahan sampah dengan konsep 3R
G-36
ISBN : 978-979-18342-2-3
Sumber Sampah
(Reduce dan Reuse)
Timbulan Sampah Pemilahan Pewadahan
Pengumpulan (Reuse)
Pewadahan
(R1 (Reduce dan R2) dan Reuse)
Pengangkutan
(Reuse)
(Reduce dan Reuse) (Reuse)
Pengolahan
Pembuangan Akhir (Reduce dan Reuse)
e. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Pengelolaan sampah berbasis masyarakat (Community Based Solid Waste Management / CBSWM) adalah suatu pendekatan pengelolaan sampah yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan, dikontrol, dan di evaluasi bersama masyarakat, ( Environmental Services Program (ESP) DKI, 2006). Berbasis masyarakat karena produsen utama adalah masyarakat sehingga, masyarakat harus bertanggung jawab terhadap sampah yang masyarakat produksi. CBSWM ini tujuannya adalah kemandirian masyarakat dalam mempertahankan kebersihan lingkungan melalui pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Prinsip –prinsip CBSWM adalah : Partisipasi masyarkat Kemandirian Efisiensi Perlindungan Lingkungan dan keterpaduan Berikut Sistem atau Model Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
SAMPAH RUMAH TANGGA
SAMPAH BASAH (ORGANIK)
KOMPOS
SAMPAH KERING (NON – ORGANIK)
DIDAUR ULANG
DIGUNAKAN KEMBALI
DIMUSNAHKAN
G-37 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah ini merupakan aspek yang terpenting untuk diperhatikan dalam sistem pengelolaan sampah dengan konsep 3R. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah menuju Zero Waste terbagi atas 4 tahap, yaitu : a) partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan b) partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan c) partisipasi masyarakat pada tahap pemanfaatan d) partisipasi masyarakat dalam tahap pengawasan dan monitoring Proses pengelolaan sampah dengan basis partisipasi aktif masyarakat terdiri dari beberapa tahapan proses, antara lain : 1. Mengupayakan agar sampah dikelola, dipilah dan diproses tahap awal mulai dari tempat timbulan sampah itu sendiri (dalam hal ini mayoritas adalah lingkungan rumah tangga). Upaya ini setidaknya dapat mengurangi timbulan sampah yang harus dikumpulkan dan diangkut ke TPS sehingga bebannya menjadi berkurang. 2. Pada fase awal di tingkat rumah tangga setidaknya diupayakan untuk mengolah sampah organik menjadi kompos atau sampah kertas dikumpulkan menurut jenisnya sehingga memungkinkan untuk di daur ulang. 3. Pewadahan dan pengumpulan dari wadah tempat timbulan sampah sisa yang sudah dipilah ke tempat pemindahan sementara. Pada tahapan ini beban kerja petugas pembuangan sampah menjadi lebih ringan 3. METODOLOGI 3.1. Identifikasi Kebutuhan Data Data diproleh pada penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data langsung lokasi studi, yaitu mengetahui kondisi eksisting. Prolehan data dilakukan dengan cara interview dan observasi. 3.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengambilan data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu : 1. Aspek Teknis Data yang diperlukan ditinjau dari aspek teknis yaitu, : Sawojajar sebagai 1. Data Administratif Kecamatan Kedungkandang Malang dan data Kelurahan ruang lingkup kegiatan 2. Data jumlah penduduk kecamatan kedungkandang 3. Data kondisi eksisting Kecamatan Kedung Kandang 4. Jumlah pemulung dan jumlah pengepul di Kelurahan Sawojajar serta volume sampah yang dihasilkan 2. Aspek peran serta masyarakat Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan persampahan di Kecamatan Kedungkandang maka dilakukan dengan membagikan kuisioner sekaligus dilakukan wawancara. Hal ini dilakukan untuk menggali kondisi dan potensi masyarakat terhadap pengelolaan sampah. 3. Aspek Finansial Aspek finansial ini berfungsi untuk mengetahui harga jual sampah yang diperoleh dari pemulung dan pengepul 2. Pengambilan data primer Data Primer diperoleh dengan cara survei lapangan yang meliputi sampling laju timbulan sampah dan komposisi sampah, Quisioner, sosialisasi dan pelatihan pengolahan sampah. a. Penggunaan hasil quisioner Penggunaan quisioner dalam penerapan Zero Waste dengan konsep 3R ini adalah : Sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisa konsep 3R di wilayah studi Untuk mengetahui respon warga mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan Jumlah sampel untuk quisioner dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
n = N / (1+ Ne2 ) Dimana : N = Ukuran / jumlah populasi e = Batas ketelitian yang diinginkan (10 %) Waktu sampling : frekuensi pengambilan sampel dilakukan tujuh hari secara berturut-turut di RT dan RW yang berbeda yang mewakili lokasi penelitian Kecamatan Kedungkandang
G-38
ISBN : 978-979-18342-2-3
Prosedur pengambilan sampel timbulan sampah : 1. Dibagikan kantong plastik ke masing- masing rumah tangga 2. Dicatat jumlah unit masing-masing penghasil sampah 3. Dikumpulkan kantong plastik yang sudah terisi sampah 4. Diangkut semua kantong plastik ketempat pengukuran untuk diukur 5. Ditimbang dan dicatat berat sampah kemudian sampah dipilah berdasarkan komposisi sampah 6. Ditimbang dan dicatat berat sampah agar dapat menghitung komponen sampah Bahan dan alat untuk menghitung laju timbulan sampah dan komposisi sampah: 1. Alat pengukur volume berupa kotak berukuran 20 cm x 20 cm x 100 cm atau 40 liter 2. Timbangan 3. Wadah Platik ukuran besar 4. Sarungtangan 5. Masker 6. Sampah Permukiman 7. Sampah Pasar 8. Sampah TPS di Kelurahan Sawojajar Metode pengukuran komposisi sampah 1. Pengukuran komposisi sampah dilakukan dengan cara memasukkan sampah dari beberapa sampah rumah tangga secara acak ke bak pengukur berukuran 500 liter. 2. Sampah dipisahkan berdasarkan komponen sampah dan ditimbang berat komponen masing-masing sampah 3. Dihitung komposisi sampah masing-masing komponen Metode Densitas sampah 1. Dimasukkan sampah ke bak pengukur 20cm x 20cm x 100cm hingga penuh 2. Diangkat alat tersebut kira-kira setinggi 20 cm, lalu dihentakkan sampai 3 kali 3. Diukur ketinggian sampah pada bak pengukur tersebut setelah dihentakkan 4. Dihitung densitas dampah Sehingga dari data-data tersebut yang sudah diperoleh maka dapat dianalisa jumlah timbulan sampah, komposisi sampah yang dapat diolah dengan konsep 3R, komposisi sampah yang tidak dapat diolah dengan konsep 3R, pengelolaan sampah dengan konsep 3R yang berbasis masyarakat. 4. HASIL DAN DISKUSI Berdasarkan hasil analisa penelitian bahwa jumlah timbulan sampah di Kelurahan Sawojajar yang paling besar adalah di RT 1 RW 4 sebesar 0,33 Kg/orang/hari. Hasil komposisi sampah rumah tangga yang dapat diolah dengan konsep 3R selama 7 hari dilakukan pengamatan ternyata diperoleh prosentase yang paling tinggi sampah basah (organik) adalah 0,83-0,89. Sementara prosentase komposisi anorganik sangat rendah yaitu 0,01 sampai 0,03, rata-rata potensi komposisi sampah yang dapat diolah dengan konsep 3R seperti pada diagram. 1%
1% 4% 7%
1% 3%
1%
3%
Sampah Basah Plastik Kertas HPS Kain Kaleng Duplek 79%
Aqua gelas Koran Residu
Dari sampel sampah yang diambil seberat 100 Kg di TPS maka komposisi sampah yang tidak bisa diolah (tidak dapat dimanfaatkan kembali) dengan konsep 3R akan menjadi Residu untuk dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Rerata residu adalah sebesar 0,01. Berdasarkan hasil kuisioner dalam perencanaan ini adalah sebesar 94,8 % menyetujui dilakukan reduksi sampah dengan konsep 3R. Untuk perhitungan potensi reduksi sampah adalah sebagai berikut : Jumlah keluarga yang berpotensi melakukan reduksi 3R adalah : KK = 94,8 % x jumlah KK = 94,8 % x 10690 = 10134,12 ≈ 10.134 KK
G-39 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
5. KESIMPULAN Pengelolaan sampah menuju Zero Waste yang berbasis masyarakat adalah adalah pengelolaan sampah yang di mulai dari produksi sampai berakhirnya suatu proses produksi dapat dihindari terjadi “produksi sampah” atau diminimalisir terjadinya “sampah yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan, dikontrol, dan di evaluasi bersama masyarakat dengan tujuan untuk mengetahui potensi konsep 3R yang dapat diimplementasikan di tingkat Kelurahan sehingga dapat mengurangi jumlah timbulan sampat di TPA dan melakukan pengelolaan sampah menuju Zero Waste yang berbasis masyarakat melalui konsep 3R (( Reuse, Reduce, Recycle). Berdasarkan dari hasil dan analisa maka diperoleh sebagai berikut : 1. Kecamatan Kedungkandang memiliki 12 Kelurahan yaitu 9 kelurahan yang terlayani oleh Dinas Kebersihan dan 3 Kelurahan tidak terlayani oleh Dinas Kebersihan yaitu Kelurahan Arjowinangun, Tlogowaru dan Wonokoyo karena masih status perdesaan dan tidak terdapatnya pengepul di Kelurahan tersebut, sementara gabungan pembuangan sampah yang dilayani oleh Dinas Kebersihan yaitu Kelurahan Mergosono jumlah sampah yang dihasilkan rendah sehingga pembuangan sampah digabung ke TPS Gadangkompos di Kecamatan Sukun, Kelurahan Bumiayu pembuangan sampah ke TPS Buring di Kelurahan Buring, sedangkan Kelurahan yang terlayani oleh Dinas Kebersihan adalah Kelurahan Kota lama dengan jumlah timbulan sampah adalah 12 m3/hari, Kelurahan Buring 8 m3/hari, Kedungkandang 15 m3/hari, Lesanpuro 13 m3/hari. Sawojajar 70 m3/hari, Madyopuro 23 m3/hari, dan Cemorokandang 5 m3/hari. Dari jumlah timbulan sampah yang dihasilkan ternyata di Kelurahan Sawojajar yang cukup besar jumlah timbulan sampah dan terdapatnya 2 pengepul dan jumlah pemulung cukup besar yang masuk ke Kelurahan Sawojajar, hal ini disebabkan besarnya jumlah penduduk dan besarnya aktifitas masyarakat akibat faktor ekonomi yang cukup. Dengan potensi konsep 3 R yang yang dapat di implementasikan di tingkat kelurahan Sawojajar maka residu yang terangkut ke TPA adalah sebesar 1 %, hal ini membawa dampak positip yaitu dapat mengurangi jumlah timbulan sampah yang ada di TPA Supiturang Kota Malang yang berarti mengurangi gas Methan (CH4) dan karbondioksida (CO2) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan mengurangi pencemaran terhadap komponen udara, air, dan tanah. 2. Kelurahan Sawojajar sebagai percontohan untuk dilaksanakan pengelolaan sampah menuju Zero Waste yang berbasis masyarakat. Hal ini dikarenakan Kelurahan Sawojajar Kecamatan Kedungkandang sangat berpotensi untuk dilakukan pengelolaan sampah menuju Zero Waste yang berbasis masyarakat dengan konsep 3 R, dimana hasil kajian prosentase potensi komposisi sampah yang dapat diolah dengan konsep 3R adalah sebagai berikut : sampah basah (organik) dengan rata-rata adalah : 79 %, Plastik (anorganik) dengan rata-rata: 7 %, Kertas HVS (anorganik) dengan rata-rata : 4 %, Kain (anorganik) dengan ratarata 1 %, Kaleng (anorganik) dengan rata-rata 1 %, Duplek (anorganik) dengan rata-rata 3 %, Aqua gelas dengan rata-rata 1%, Koran (anorganik) dengan rata-rata 3%. Komposisi sampah yang tidak bisa diolah (tidak dapat dimanfaatkan kembali) dengan konsep 3R akan menjadi Residu untuk dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Rerata residu ke TPA adalah sebesar 1 %
6. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5.
Adhar Sigh,Ram, 2006, Penelitian Sampah Plastik untuk Kontruksi Jalan Raya, New Delhi. Anonim, 2007, Penyusunan Master Plan Persampahan Kota Malang. Anonim, 2006, Malang dalam Angka Kota Malang, 2006. Arie S, 2008, Aspek Inovasi Dalam Implementasi 3 R Sampah : Kajian Dalam Perspektif Intitusional Ari Suryanto,Dody dkk, 2005, Kajian Potensi Ekonomis Dengan Penerapan 3R pada Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kota Depok 6. Aryanti, dkk, 2000, Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Di lingkungan Perumahan, Vol 16 N0 2. Jurnal Puslitbangkim, Jakarta 7. Damanhuri, E dkk 1989, Pengkajian Laju Timbulan Sampah di Indonesia, Pus lit. Bang. Pemukiman Dept PU-LPM ITB. 8. Enviromental servisec program (ESP) DKI, 2006, Modul Pelatihan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. 9. E.HSU, Cm. Kuo, 2004, Recycling Rates of Waste Home Appliances in Taiwan. 10. Ellina S. Pandebesie, 2005, Teknik Pengelolaan Sampah, Surabaya
PREDIKSI CUACA MARITIM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN G-40
ISBN : 978-979-18342-2-3
Syamsul Arifin(1) , Aulia Siti A(2) , Bambang L.W(3), Andre Kresnawan(4) Jurusan Teknik Fisika FTI ITS Surabaya Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya 60111 Telp : +6231-5947188 Fax : +6231-5923626 E-mail : (1)
[email protected], (2)
[email protected], (3)
[email protected], (4)
[email protected]
Abstrak Beberapa metode yang digunakan untuk peramalan cuaca secara statistik diantaranya adalah Auto Regressive (AR), AR – Integrated Moving Average (ARIMA) kedua metode tersebut telah digunakan untuk peramalan suhu udara, sedangkan bebrapa peramalan dengan teknik kepakaran untuk peramalan parameter cuaca yang lebih luas lagi yaitu untuk pemodelan atmosfir dan terakhir pemodelan aktivitas matahari. Ternyata ditemui pula beberapa kelemahan dari metode konvensional ini. Sistem kepakaran telah banyak digunakan dalam berbagai bidang, baik pada pengambilan keputusan, sistem pengendalian dan untuk peramalan. Kadang ditemui beberapa pengetahuan yang tidak presisi, tidak pasti, ambigu dan ada pula yang tidak eksak dialam ini. Jaringan Syaraf Tiruan adalah salah satu sistem kepakaran yang merepresentasikan jaringan pada otak manusia dalam pengambilan keputusan, mampu menyederhanakan sistem komplek dan mempunyai kelebihan dalam pembelajaran dan mampu beradaptasi. Pada makalah ini diuraikan tentang JST sebagai peramal cuaca maritim. Peramalan didasarkan dari data meteorologi yang diperoleh dengan model struktur JST adalah MLP (Multi Layer Perceptron) dan dipilih salah satu yang terbaik berdasarkan parameter RMSE (Root Mean Square Error) dan VAF(Variance Accounted For). Hasil validasi perancangan prediktor terhadap cuaca maritim menghasilkan parameter spesifikasi untuk prediksi arus laut dengan nilai RMSE = 0,137 dan VAF = 58,7 %, untuk ketinggian gelombang laut RMSE = 0,132dan VAF = 18,7%. Sedangkan curah hujan menghasilkan nilai RMSE = 0,299 dan VAF = 26,122 %. Kata kunci : prediksi, Cuaca Maritim, Jaringan Syaraf Tiruan. 1. Pendahuluan Adanya pemanasan global akan memberi dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan jiwa warga di dunia ini. Meskipun pada Laporan PBB tahun 2007, untuk negara dekat kutub akan sedikit diuntungkan, tetapi hal ini cenderung menyebabkan banyak kejadian yang harus diantisipasi oleh beberapa ilmuwan di dunia ini. Salah satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang beberapa tahun mendatang, dampak kelanjutannya adalah kegagalan panen di beberapa negara [Laporan PBB, 2007]. Naiknya suhu udara memicu topan yang lebih dahsyat, terutama di kawasan Asia [Laporan UNEP PBB, 2007]. Sedangkan di berbagai wilayah di Indonesia memiliki variabilitas suhu yang tidak menentu sehingga berdampak pada kondisi cuaca yang berbeda – beda. Indonesia yang berada pada posisi di tengah dunia, terbentang dari 6o.08’ LU hingga 11o15’ LS dan dari 94o45’ BT hingga 141o05’ BT dikenal sebagai negara tropis. Selama ini iklim yang terjadi di Indonesia secara makro dapat dibedakan kedalam dua musin, yaitu kemarau dan penghujan. Tetapi sejak tahun 1991 pola ini tidak dapat diprediksi saat kapan, kedua musim tersebut terjadi. Indikasi kenaikan permukaan laut yang semakin meningkat sejak tahun 1980 an. Beberapa wilayah di Indonesia dengan suhu panas telah menimbulkan hujan di sejumlah wilayah di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi [Laporan BMG, Mei 2007], dan ini belum menunjukkan pola secara regional bahwa Indonesia berada pada musim tertentu. Keakurasian tentang hasil peramalan untuk kondisi saat ini sangat sulit diperoleh. Karena model matematis peramalan sulit untuk diperoleh. Untuk mengetahui kondisi tahun ini, dilakukan penelitian tentang deret waktu anomali suhu permukaan laut (SST) nino 3,4. Intensitas El Nino dapat didefinisikan sebagai luas daerah diatas sumbu dari deret waktu anomali SST [37]. Pola cuaca dan iklim yang tidak beraturan akan mengganggu sarana transportasi laut. Frekuensi gangguan angin kencang / badai angin barat dan angin timur yang silih berganti berpeluang mengganggu lalu lintas perhubungan laut dan penyebarangan antar pulau. Beberapa kejadian kecelakaan yang dialami transportasi laut, baik tenggelamnya kapal maupun tabrakan antar kapal. Bila dilihat dari faktor penyebab terjadinya kecelakaan : karena sebab kesalahan manusia (human error) 41 %, bencana alam (force majeur) 38% dan akibat struktur kapal (hull structure) 21% [MTI, Volume 2, 1-2-3 Langkah, 2007]. Seperti kejadian 15 Januari 2009 tenggelamnya kapal motor Teratai Prima di Perairan Majene Sulawesi Barat. 14 Januari 2009, tenggelamnya kapal Kargo Bangka Jaya Expres akibat ombak besar di perairan Tanjung Berikat, Bangka Belitung, dan beberapa kejadian lain.
G-41 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Metode Logika Fuzzy – sebagai salah satu metode yang didasarkan pada kesamaan cara dalam pengambilan keputusan oleh manusia, diadopsi oleh Zadeh (1964) dalam proses pengambilan keputusan. Metode ini telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang ilmu. Baik ilmu dasar (Ekonomi, Matematika, Biologi, Psikologi), bidang elektronik (kontrol pada AC, mesin cuci, setrika, mesin foto copy, kamera, robot, dsb), bidang industri (pencapuran semen di industri semen Denmark, 1973, Kontrol mesin uap – 1973 , kontrol proses distilasi, dsb) dan mulai diaplikasiakan pada industri di Jepang mulai tahun 1985 an, untuk bidang transportasi (Kontrol pada sistem rambu lalulintas, kereta listrik, sistem parkir, kontrol kecepatan kendaraan, sistem manuvering kapal, dsb), bidang militer (kontrol rudal, autopilot, detektor radar, dsb), maupun bidang yang lain. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merupakan suatu badan penghimpun data meterologi yang tersebar di seluruh pulau di Indonesia. Salah satu tugas dari BMKG adalah melakukan prediksi cuaca di Indonesia berdasarkan data – data meteorologi yang terekam sebelumnya. Data diperoleh dari citra satelit, weather ballon, weather radar, yang oleh forecaster data ini dianalisa untuk prediksi cuaca pada waktu berikutnya. Akan tetapi hasil dari ramalan tetap bersifat subyektif, karena model matematis untuk menentukan pola cuaca sangat rumit untuk diperoleh. Pola prediksi seperti ini cenderung menghasilkan eror akibat human error. Kejadian anomali iklim di Indonesia, yang secara harafiah, anomali iklim adalah pergeseran musim dari rata-rata normalnya. Empat faktor dominan penyebab anomali iklim adalah SST NINO, arah angin, beda tekanan udara permukaan di Darwin dan Tahiti, serta Indian Ocean Dipole. Dalam antisipasi anomali iklim, diperlukan langkah-langkah strategis seperti: mengefektifkan informasi prakiraan iklim dan teknik menghadapinya, Antisipasi lebih diperlukan untuk menghadapi El-Niño karena bencana yang ditimbulkannya lebih serius daripada La-Niña. Anomali iklim terjadi karena beberapa sebab, namun yang banyak dibicarakan orang adalah karena terjadinya fenomena ENSO (El-Niño Southern Oscillation), yang dikaitkan dengan kondisi anomali suhu permukaan laut di zona NINO 3.4 (5oLU-5oLS, 170oBB-120oBB). Selain anomali suhu permukaan laut di zona NINO 3.4, faktor dominan lain adalah arah angin pasat, perbedaan tekanan antara Darwin dan Tahiti dan yang disebut-sebut belakangan banyak mempengaruhi kondisi iklim Indonesia adalah Indian Ocean Dipole Mode (IOD) yang mengaitkan suhu permukaan laut di Samudera Hindia dengan yang di Pasifik. Beberapa metode peramalan untuk cuaca telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain adalah : Bogren and Gustavsson (1994) – peramalan suhu daratan dengan menggunakan intervensi meteorologi, Basile, Butini and Selvi (1994) melakukan peramalan untuk suhu udara dengan menggunakan neural network, Frohling (1994) meramal suhu daratan dengan neural network, HS4Cast meramal suhu udara. Kualitas ramalan dari peneliti – peneliti tersebut didasarkan pada standard deviasi untuk peramalan 3 jam yang akan datang [G. Schaffar and S. Hertl, 2004]. Peramalan terhadap kejadian hujan untuk daerah Kanada telah dilakukan oleh Jim Murtha berdasarkan data suhu dewpoint, penyebaran dewpoint, laju perubahan penyebaran dewpoint, kecepatan angin dan coverage awan [Jim Murtha, 2004]. Pada makalah ini dideskripsikan tentang suatu perancangan metode alternatif dalam peramalan cuaca yang selama ini digunakan oleh BMKG di Indonesia. Berdasarkan analisa dari hasil metode ini dapat dikembangkan untuk prediksi beberapa parameter cuaca mikro. Sistem prediksi ini dengan mengimplementasikan jaringan syaraf tiruan metode backpropagation Levenberg-Marquadt yang sangat handal dalam melakukan forecasting dan regresi sebuah sistem nonlinear yang tidak diketahui fungsi matematisnya. 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Unsur-Unsur Cuaca dan Iklim Ada beberapa unsur yang mempengaruhi cuaca dan iklim, yaitu suhu udara, tekanan udara, kelembaban udara dan curah hujan. 2.2 Gerakan Air Laut Ada tiga hal yang akan dibahas sehubungan dengan gerakan air laut ini yaitu arus laut, gelombang laut dan pasang surut air laut. Arus laut (sea current) adalah gerakan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas) maupun secara horizontal (gerakan ke samping). Perubahan arah arus dari pengaruh angin ke pengaruh gaya coriolis dikenal dengan spiral ekman. Curah hujan merupakan banyaknya air hujan yang turun dalam 1hari dengan satuan mm/day. Sehingga semakin tinggi curah hujan suatu daerah semakin tinggi pula tingkat kemungkinan hujan yang deras di suatu daerah tersebut. Berdasarkan bagaimana terbentuknya hujan, dimana uap air mengembun di udara karena tingkat kelembaban udara yang tinggi disertai perubahan baik suhu, tekanan dan kecepatan angin maka uap air berubah menjadi titik-titik air dan jatuh. Dengan menganalisa banyak perubahanperubahan karakter cuaca ini dapat diprediksi banyak curah hujan yang akan terjadi di keesokan harinya.
G-42
ISBN : 978-979-18342-2-3
Gelombang dan arus laut adalah disturbensi yang dibangkitkan oleh turbulensi angin yang bergesekan dengan permukaan laut sehingga tercipta gelombang dan arus laut. Arus laut diukur sedalam 5 meter dari permukaan laut. Dengan spesifikasi cuaca yang sudah ada yaitu kecepatan angin, suhu, tekanan, dan kelembaban udara maka dengan mengimplementasikan jaringan syaraf tiruan diharapkan dapat diprediksi pada waktu yang akan datang. 2.3 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan saraf tiruan (JST) adalah salah satu algoritma pembelajaran mesin yang meniru cara kerja jaringan saraf makhluk hidup. Jaringan saraf tiruan dapat digunakan sebagai alat untuk memodelkan hubungan yang kompleks antara masukan dan keluaran pada sebuah sistem untuk menemukan pola-pola pada data. x1 x0= 1 w1
w0
x2 w2
A c t iv a tio n F u n c tio n
o
wd xd
Gambar 1. Struktur Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
Parameter dalam perancangan JST adalah : (i) jumlah neuron atau node , (ii) nilai bobot (weight), (iii) bentuk fungsi aktivasi dan (iv) jumlah lapisan (layer) 3. Perancangan JST sebagai Prediktor Perancangan JST dilakukan dengan topologi jaringan seperti terlihat pada Gambar 2. Variabel cuaca sebagai masukan yaitu kecepatan angin, tekanan udara, kelembaban udara, dan suhu di-capture dari alam dengan menggunakan sensor beserta rangkaian elektronik lainnya. Data tersebut di interfacing-kan ke komputer dan diproses secara matematis menggunakan software yang didalamnya sudah terdapat model matematis dari struktur JST sehingga didapat variabel fisis kecepatan arus laut, ketinggian gelombang, dan curah hujan rata-rata pada keesokan harinya. Software tersebut dibangun menggunakan bahasa pemrograman visual basic. Sedangkan software yang digunakan untuk melakukan pembelajaran & validasin adalah Matlab. Data yang digunakan untuk JST rancangan sebagai prediktor, diperoleh dari BMKG Perak 2 Surabaya pada rentang Januari 2006 - Desember 2007. Jumlah data adalah 729 data input-output per hari dengan 4 jenis data input dan 3 jenis data output, yaitu : untuk data masukan pada JST : (i) kecepatan angin (m/s), (ii) kelembaban udara (%), (iii) tekanan udara (mBarr) dan (iv) suhu udara (0C). Sedangkan keluaran dari prediktor JST adalah : (i) curah hujan (mm/day), (ii) ketinggian gelombang laut (m) dan (iii) kecepatan arus laut (cm/s). Data tersebut dibagi menjadi 2 yaitu 500 data untuk pembelajaran dan 229 data untuk validasi. Data input output variabel proses dapat dilihat pada lampiran.
. Gambar 2. Blok skema Jaringan Syaraf Tiruan rancangan
G-43 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Identifikasi JST dilakukan berdasarkan beberapa variabel-variabel fisis masukan dan keluaran. Perancangan Topologi JST dilakukan dengan berbagai nilai dengan tujuan diperoleh RMSE yang terkecil. Pada perancangan ini telah disiapkan 404 jenis struktur dengan karakter yang berbeda-beda untuk dilakukan pembelajaran dan validasi. Jenis struktur 404 memiliki perbedaan di setiap strukturnya sebagai berikut : Prepocessing data (2): Distribusi Normal & Min-max. Fungsi aktifasi pada layer output (2): logsig & purelin. Banyak hidden layer (3) : 1,2,3 hidden layer. Banyak hidden node : 5 pada layer ke 1 (5,10,20,40,50), 6 pada layer ke 2 (5,8,10,12,14,16) ,dan 3 pada layer ke 3(3,5,7). Pada setiap struktur dilakukan pembelajaran sebanyak 3 kali untuk dideroleh nilai RMSE yang terkecil. Dan dalam setiap pembelajaran digunakan 1000 iterasi dengan learning rate (α) 0,01. Beberapa tipe struktur dilakukan pembelajaran dan divalidasi, untuk diidentifikasi nilai RMSE-nya. Nilai RMSE yang terkecil, digunakan sebagai model prediktor. 3.1. Pembelajaran Jaringan Syaraf Tiruan Untuk mendapatkan model prediksi dengan JST dengan performansi yang baik, dilakukan dengan cara trial error terhadap parameter : jumlah hidden node, jumlah hidden layer, fungsi aktifasi layer pada keluaran, dan metode scalling data yang digunakan. Pergantian struktur sesuai dengan desain struktur yang sudah dipersiapkan sebanyak 404 model struktur uji.Tujuan dari proses pembelajaran ini adalah untuk mendapatkan bobot dan struktur yang menghasilkan output paling baik. Kriteria yang digunakan untuk menilai baik tidaknya output model adalah Root Mean Square Error (RMSE) dan Variance Accounted For (VAF) dengan menggunakan 500 data untuk pembelajaran yang telah disiapkan.
VAF 1
var y (t ) yˆ (t ) x100% ........... var y (t )
.(1)
Validasi dilakukan untuk tingkat akurasi dari model JST berdasarkan parameter RMSE dan VAF. Saat RMSE mendekati nol (0) dan nilai VAF mendekati 100%, merupakan parameter dari validasi yang dilakukan. Saat parameter RMSE dan VAF tidak terpenuhi, proses pembelajaran dilakukan kembali, untuk mendapat bobot yang tepat. 3.2 Perancangan Software dan Hardware Berdasar struktur JST yang terbaik, dilakukan implementasi secara online dalam bentuk software & hardware rangkaian elektronik. Pada rancangan hardware digunakan sebagai piranti pengambilan besaran fisis cuaca. Besaran-besaran fisis cuaca yang dibutuhkan sebagai inputan di-capture oleh sensor dan diinterfacing-kan ke komputer. Data tersebut oleh komputer diproses secara matematis oleh software yang sudah ditanam model matematis JST. Hardware Weather forecasting station merupakan sebuah alat yang dapat memprediksi gangguan cuaca maritim dalam hal ini adalah ketinggian gelombang laut, arus laut beserta curah hujan satu hari berikutnya hanya dengan mengukur beberapa variabel fisis di hari sebelumnya. Variabel fisis yang diukur adalah tekanan udara(mbar), suhu(oC), kelembaban udara (%), kecepatan angin(V). Sistem pengukuran yang dipakai sesuai dengan standart diagram blok sebuah sistem pengukuran digital dengan 2 buah pemrosesan sinyal yaitu microcontroller dan PC. Model dari JST yang sudah dipilih dari proses validasi, diimplementasikan dalam bentuk sebuah software yang dibangun menggunakan bahasa pemrograman visual basic. Model matematis dari JST ini digunakan untuk memproses secara matematis dari data input yang dmasukkan sehingga keluarannya adalah nilai besaran fisis cuaca prediksi yaitu kecepatan arus laut, ketinggian gelombang laut, dan curah hujan.
G-44
ISBN : 978-979-18342-2-3
Menu Data variabel cuaca Input
Tombol Proses Matematis dari Model JST Prediksi Data variabel cuaca output hasil perhitungan menggunakan model JST
Gambar 3. Rancangan GUI software Pada rancangan software tedapat 3 titik utama yang perlu diperhatikan. Yaitu titik data masukan, proses, dan keluaran - hasil prediksi. Titik data masukan merupakan titik dimana software mendapat masukan nilai data tertentu baik secara langsung memasukkan pada kolom-kolom pengisian data ataupun secara online dari hardware. Sedangkan pada titik proses berupa tombol proses sebagai activator perhitungan matematis prediksi. Sedangkan pada titik output berbentuk kolom output hasil dari perhitungan proses. Dititik keluaran inilah hasil prediksi ditampilkan.
Gambar 4. Rancangan Software 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Data masukan pada JST rancangan yang berfungsi sebagai prediktor adalah : (i) kecepatan angin (m/s), (ii) kelembaban udara (%), (iii) tekanan udara (mBarr) dan (iv) temperatur udara (0C). Sedangkan keluaran JST adalah : (a) curah hujan ( mm/day), (b) ketinggian gelombang laut (m) dan (c) kecepatan arus laut (cm/s). Jumlah pasangan data masukan-keluaran yang digunakan 729 data, dalam kurun waktu 3 tahun pengukuran, yang diperoleh dari stasiun cuaca BMKG Tanjung Perak Surabaya. Sebagian data sebanyak 500 data digunakan untuk pembelajaran JST dengan struktur Multi Layer Perceptron (MLP) didalamnya terdapat 3 layer utama, yaitu (1) layer masukan, (2) hidden layer dan (3) layer keluaran. Penggunaan fungsi aktifasi pada hidden layer adalah logsig dan pada keluaran layer adalah purelin & logsig.Algoritma pembelajaran yang digunakan adalah Levenberg Marquardt, dan prepocessing data perlu dilakukan untuk mendapatkan konvergensi yang cepat. Prepocessing dilakukan dengan cara scalling dan validasi saat identifikasi JST. Dilakukan 2 cara saat prepocessing yaitu dengan strategi distribusi Normal dan Min – Max yang dipilih berdasarkan nilai RMSE dan VAF saat proses validasi [1].
G-45 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Pada metode Distribusi Normal sangat efektif untuk data acak, tingkat akurasi yang tinggi karena titik bobot berada pada nilai rata – rata dalam rentang nilai standard deviasi. Sedangkan kekurangannya adalah, perhitungan yang terlalu rumit, tidak efektif untuk data yang bernilai diluar rentang maksimum dan minimum. Dan tidak cocok untuk data yang bernilai negatif. Pada Metode Min-Max, terdapat kelebihan pada perhitungan yang cukup mudah, dapat digunakan untuk tipe data apapun termasuk data yang bernilai negatif, sedangkan kekurangannya adalah bila ada data baru menjadi tidak valid dikarenakan hasil scalling bernilai > 1. Gambar 5 - 12 dibawah merupakan scalling terhadap variabel cuaca yang digunakan sebagai masukan dan keluaran pada JST dengan metode min – max. 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 -0,2 0
100
200
300
400
500
600
700
800
700
800
700
800
Gambar 5. Grafik kecepatan angin, scalling dengan min-max 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
100
200
300
400
500
600
Gambar 6. Grafik kelembaban udara, scalling dengan min-max 1,5 1 0,5 0 0
100
200
300
400
500
600
-0,5 Gambar 7. Grafik tekanan udara, scalling dengan min-max
G-46
ISBN : 978-979-18342-2-3
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
100
200 300 400 500 600 Gambar 8. Grafik suhu udara, scalling dengan min-max
700
800
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 -0,2 0
100
200
700
800
200 300 400 500 600 700 Gambar 10. Grafik tinggi gelombang laut, scalling dengan min-max
800
300
400
500
600
Gambar 9. Grafik curah hujan, scalling dengan min-max 1,5 1 0,5 0 0
100
0
100
1,5 1 0,5 0 200
300
400
500
600
700
800
-0,5 Gambar 11 Grafik arus laut, scalling dengan min-max Hasil scalling data yang terlihat pada Gambar 5 – 8 di atas merupakan masukan pada JST. Proses pembelajaran JST dilakukan melalui beberapa strategi, kemudian dipilih berdasarkan nilai RMSE terbaik. Hasil dari struktur JST ini adalah sebuah prediksi variabel fisis cuaca maritim berupa arus laut, ketinggian gelombang laut dan curah hujan. Sehingga hasil akhir dari rancang model ini adalah 3 buah struktur model JST dengan 3 keluaran variabel yang berbeda seperti yang sudah dibicarakan tadi. Dilakukan pembelajaran sebanyak 3 kali untuk satu buah strukturnya dan dipilih bobot yang terbaik berdasarkan parameter RMSE.
G-47 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Pembelajaran terhadap variabel arus laut, ketinggian gelombang laut, dan curah hujan dilakukan dengan berbagai macam struktur. Setiap struktur dilakukan pembelajaran sebanyak 3 kali dan dipilih dengan tingkat RMSE yang terbaik. Dan seluruh struktur dilakukan pembelajaran untuk dibandingkan hasil RMSE yang terbaik. RMSE yang terbaiklah yang dipilih sebagai prediktor baik arus laut , ketinggian gelombang laut, maupun curah hujan. Pembelajaran yang dilakukan untuk seluruh struktur yang dimungkinkan dengan perbedaan hidden layer, hidden node, dan fungsi aktifasi di layer keluaran. Proses selanjutnya adalah validasi dimana kedua buah struktur dengan bobot – bobotnya yang sudah tepat dibandingkan nilai RMSE-nya untuk dipilih salah satu yang terbaik. Data validasi menggunakan data yang 299 data. Pembelajaran yang dilakukan dengan JST untuk variabel arus laut, tinggi gelombang laut dan curah hujan dilakukan seperti berikut :
4.1 Arus Laut Pembelajaran terhadap arus laut dilakukan dengan berbagai struktur dan dipilih saat RMSE terkecil. Pada nilai RMSE terkecil inilah yang akan dipilih untuk divalidasi lebih lanjut. Setelah dibandingkan maka terlihat struktur yang memiliki nilai RMSE terendah yaitu pada struktur 4-5-1. Pada fungsi aktifasi akhir logsig memiliki RMSE sebesar 0,105 dan VAF 49,53% sedangkan pada fungsi aktifasi akhir purelin memiliki RMSE sebesar 0,109 dan VAF 62,8%. Struktur 4-5-1 artinya adalah 3 layer yaitu 4 node layer masukan,1 hidden layer yang terdiri dari 5 hidden node, dan 1 layer keluaran. Kedua struktur yang dipilih ini memiliki parameter RMSE sama-sama yang terendah.
4.2 Ketinggian Gelombang Laut Pembelajaran terhadap ketinggian gelombang laut, dilakukan dengan berbagai struktur yang kemudian dipilih saat struktur dengan RMSE terkecil. Struktur dengan nilai RMSE terkecil inilah yang akan dipilih untuk divalidasi lebih lanjut. Setelah dibandingkan maka terlihat struktur yang memiliki nilai RMSE terendah yaitu pada struktur 4-15-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig dan 4-40-10-7-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. Pada fungsi aktifasi akhir logsig memiliki RMSE sebesar 0,083 dan VAF 76,66% sedangkan pada fungsi aktifasi akhir purelin memiliki RMSE sebesar 0,1641 dan VAF 51,67%. 4-15-1 artinya adalah 3 layer yaitu 4 node layer masukan,1 hidden layer yang terdiri dari 15 hidden node, dan 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig. Sedangkan struktur 4-40-10-7-1 maksudnya adalah 5 layer yaitu 4 node layer masukan,3 hidden layer yang terdiri dari 40 hidden node pada layer 1, 10 hidden node pada layer 2, 7 hidden node pada layer 3, dan 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. 4.3 Curah Hujan Pembelajaran terhadap curah hujan dilakukan dengan cara yang sama seperti 2 variabel diatas.. Struktur dengan nilai RMSE terkecil inilah yang akan dipilih untuk divalidasi lebih lanjut. Setelah dibandingkan maka terlihat struktur yang memiliki nilai RMSE terendah yaitu pada struktur 4-10-8-3-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig dan 4-40-5-3-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. Pada fungsi aktifasi akhir logsig memiliki RMSE sebesar 0,099 dan VAF 26,122% sedangkan pada fungsi aktifasi akhir purelin memiliki RMSE sebesar 0,092 dan VAF 32,42%. struktur 4-10-8-3-1 maksudnya adalah 5 layer yaitu 4 node layer masukan,3 hidden layer yang terdiri dari 10 hidden node pada layer 1, 8 hidden node pada layer 2, 3 hidden node pada layer 3, dan 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig. Sedangkan struktur 4-40-5-3-1 maksudnya adalah 5 layer yaitu 4 node layer masukan,3 hidden layer yang terdiri dari 40 hidden node pada layer 1, 5 hidden node pada layer 2, 3 hidden node pada layer 3, dan 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. disini terdapat 2 buah penebalan warna merah di setiap fungsi aktifasi, hal ini dikarenakan parameter pembanding memang ada dua yaiti RMSE dan VAF. Tetapi yang paling diutamakan adalah RMSEnya. Sehingga yang tetap jadi acuan adalah nilai parameter RMSE. 4.4 Metode Distribusi Normal Pada langkah berikutnya adalah melakukan pembelajaran menggunakan metode preprocessing distribusi normal. Sama seperti pada metode sebelumnya, data yang di-scalling adalah data masukan dan keluaran baik untuk pembelajaran maupun untuk validasi. Setelah melakukan pembelajaran, data di scalling lagi untuk dikembalikan ke range data awal sehingga didapat data yang sebenarnya. Pada langkal awal,dicari nilai rata-rata dan standart deviasinya terlebih dahulu.. Data masukan-keluaran setelah di-scalling menghasilkan pola grafik seperti ditunjukkan di bawah ini.
G-48
ISBN : 978-979-18342-2-3
Gambar 12. Grafik kecepatan angin, scalling dengan distribusi normal
Gambar 13.Grafik kelembaban udara, scalling dengan distribusi normal
Gambar 14. Grafik arus laut, scalling dengan distribusi normal Setelah melakukan pen-scalling-an data baik data masukan maupun keluaran, maka selanjutnya melakukan pelatihan atau pembelajaran untuk mendapatkan bobot baru yang tepat dan memiliki RMSE terendah. Begitu halnya seperti pada metode sebelumnya, data scalling ini dibagi menjadi 2 untuk pembelajaran sebanyak 500 pasangan data masukan-keluaran dan 229 pasangan data masukan-keluaran digunakan untuk validasi. Pada tahap pembelajaran, pada akhirnya didapat bobot-bobot yang sesuai disetiap strukturnya. Sedangkan struktur yang akan dipembelajaran sudah dipersiapkan beberapa model struktur. Untuk scalling menggunakan metode distribusi normal ini dipersiapkan 202 jenis struktur yang berbeda-beda spesifikasi modelnya baik secara hidden layer,hidden node, dan jenis fungsi aktifasi dilayer keluaran. Jenis aktifasi dilayer keluaran menggunakan purelin dan logsig dimana fungsi aktifasi tersebut dipilih salah satu yang menghasilkan nilai validasi terbaik. Hasil dari struktur JST ini adalah sebuah prediksi variabel fisis cuaca maritim berupa arus laut, ketinggian gelombang laut dan curah hujan. Sehingga hasil akhir dari rancang model ini adalah 3 buah struktur model JST dengan 3 keluaran variabel yang berbeda seperti yang sudah dibicarakan tadi. Dilakukan pembelajaran sebanyak 3kali untuk satu buah strukturnya dan dipilih bobot yang terbaik berdasarkan parameter RMSE.
G-49 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Pada metode ini, sama seperti metode sebelumnya yaitu perlakuan pembelajaran baik untuk variabel arus laut, ketinggian gelombang laut, dan curah hujan dilakukan dengan berbagai macam struktur. Setiap struktur di-pembelajaran sebanyak 3 kali dan dipilih dengan tingkat RMSE yang terbaik. Dan seluruh struktur di-pembelajaran untuk dibandingkan hasil RMSE yang terbaik. RMSE yang terbaiklah yang dipilih sebagai prediktor baik arus laut , ketinggian gelombang laut, maupun curah hujan. Pembelajaran yang dilakukan untuk seluruh struktur yang dimungkinkan dengan perbedaan hidden layer, hidden node, dan fungsi aktifasi di layer keluaran.Proses selanjutnya adalah validasi dimana kedua buah struktur dengan bobot – bobotnya yang sudah tepat dibandingkan nilai RMSE-nya untuk dipilih salah satu yang terbaik. Data validasi menggunakan data yang 299 data. Pembelajaran yang dilakukan dengan JST untuk metode ini dengan variabel keluaran arus laut, tinggi gelombang laut dan curah hujan. Arus Laut Berdasarkan pembelajaran untuk variabel arus terlihat struktur yang memiliki nilai RMSE terendah yaitu pada struktur 4-10-16-3-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig dan 4-5-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. Pada fungsi aktifasi akhir logsig memiliki RMSE sebesar 0,299 dan VAF 29,67% sedangkan pada fungsi aktifasi akhir purelin memiliki RMSE sebesar 0,205 dan VAF 36,01%. 4-10-16-3-1 maksudnya adalah 5 layer yaitu 4 node layer masukan,3 hidden layer yang terdiri dari 10 hidden node pada layer 1, 16 hidden node pada layer 2, 3 hidden node pada layer 3, dan 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig. Sedangkan struktur 4-5-1 maksudnya adalah 3 layer yaitu 4 node layer masukan,1 hidden layer yang terdiri dari 5 hidden node dan 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. Ketinggian Gelombang Laut Pembelajaran pada ketinggian gelombang dengan struktur yang memiliki nilai RMSE terkeciladalah 4-5-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig dan 4-5-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. Pada fungsi aktifasi akhir logsig memiliki RMSE sebesar 0,193 dan VAF 31,62% sedangkan pada fungsi aktifasi akhir purelin memiliki RMSE sebesar 0,189 dan VAF 34,8%. 4-5-1 artinya adalah 3 layer yaitu 4 node layer masukan,1 hidden layer yang terdiri dari 5 hidden node, dan 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig dan purelin. Curah Hujan Struktur dengan RMSE terendah pada pembelajaran curah hujan adalah struktur 4-15-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig dan 4-20-14-1 untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. Pada fungsi aktifasi akhir logsig memiliki RMSE sebesar 0,174 dan VAF 34,2 % sedangkan pada fungsi aktifasi akhir purelin memiliki RMSE sebesar 0,145 dan VAF 43,2%. struktur 4-15-1 maksudnya adalah 3 layer yaitu 4 node layer masukan,1 hidden layer yang terdiri dari 15 hidden node 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran logsig. Sedangkan 4-20-14-1 maksudnya adalah 4 layer yaitu 4 node layer masukan,2 hidden layer yang terdiri dari 20 hidden node pada layer 1, 14 hidden node pada layer 2, dan 1 layer keluaran untuk fungsi aktifasi pada layer keluaran purelin. 4.2.2 Validasi Validasi bertujuan untuk mengetahui kehandalan dari JST yang telah dibangun, apakah mampu mengidentifikasi masukan yang belum pernah diterima sebelumnya (dalam proses pembelajaran). Data yang digunakan untuk masukan JST yang akan digunakan dalam proses validasi adalah data-data yang belum pernah di-traning-kan sama sekali pada jaringan syaraf tiruan yang telah dibangun. Pada proses validasi terdapat 229 pasangan data masukan-keluaran yang sudah disiapkan dipakai sebagai data masukan untuk struktur JST yang sudah di pembelajaran dengan bobot-bobot yang sudah sesuai. Hasil keluarannya dibandingkan dengan dengan keluaran dari data 229 pasangan data tadi untuk didapat RMSE dan VAFnya kembali. RMSE dan VAF inilah sebagai parameter akhir penentuan model struktur mana yang akan dipakai dan dipercaya sebagai prediktor gangguan cuaca kemaritiman ini. Dengan menvalidasi setiap struktur-struktur yang sudah terpilih saat pembelajaran maka dibuat tabel untuk membandingkan setiap struktur dengan parameter RMSE dan VAF hasil validasi. Tabel pembandingan sebagai berikut :
G-50
ISBN : 978-979-18342-2-3
Tabel 1. Validasi keluaran JST Prepocessing
Arus (Cm/dtk)
H. Gelombang (m)
Curah Hujan (mm)
Dist. Normal MINMAX Dist. Normal MINMAX Dist. Normal MINMAX
F. Aktivasi Akhir
Struktur
Logsig Purelin Logsig Purelin Logsig Purelin Logsig Purelin Logsig Purelin Logsig Purelin
4 - 10 - 16 - 3 - 1 4-5- 1 4-5- 1 4-5- 1 4-5- 1 4- 5 - 1 4 - 15 - 1 4 - 40 - 10 - 7 - 1 4 - 15 - 1 4 - 20 - 14 - 1 4 - 10 - 8 - 3 - 1 4 - 40 - 5 - 3 - 1
Training RMSE VAF(%) 0,299 29,670 0,205 36,010 0,105 49,530 0,109 62,800 0,193 31,620 0,189 34,800 0,083 76,660 0,164 51,670 0,174 34,200 0,145 43,169 0,099 26,122 0,092 32,415
Validasi RMSE VAF(%) 0,239 48,400 0,223 24,689 0,137 58,700 0,142 52,900 0,217 31,200 0,202 24,900 0,132 18,720 0,229 49,730 0,172 42,197 0,666 30,917 0,299 26,123 2,213 26,326
Dari tabel diatas maka dapat dibandingkan hasil validasi berupa parameter RMSE dan VAF. RMSE terkecil merupakan pilihan terbaik dan VAF terbesarlah yang terbaik pula. Tabel diatas merupakan perbandingan pada setiap variabel keluaran yaitu arus laut, ketinggian gelombang dan curah hujan. Di setiap variabel keluaran terdapat perbedaan baik dari metode preprocessingnya, fungsi aktifasi di layer keluaran dan struktur yang sudah dipilih saat pembelajaran berdasarkan RMSE saat pembelajaran. Validasi Arus Laut Pada prediksi arus laut, telah dibandingkan hasil keluaran validasi berdasarkan parameter RMSE dan VAF. Struktur yang terbaik berada pada struktur 4-5-1 dimana preprocessing menggunakan metode minmax dan fungsi aktifasi pada layer keluaran adalah logsig. Hasil nilai RMSE setelah proses validasi adalah 0,137 dengan VAF adalah 58,7%. Validasi Ketinggian Gelombang Laut Pada prediksi ketinggian gelombang laut struktur yang terbaik berada pada struktur 4-15-1 dimana preprocessing menggunakan metode min-max dan fungsi aktifasi pada layer keluaran adalah logsig. Hasil nilai RMSE setelah proses validasi adalah 0,132 dengan VAF adalah 18,7%. Validasi Curah Hujan Pada prediksi curah hujan, setelah dibandingkan hasil keluaran validasi berdasarkan parameter RMSE dan VAF. Struktur yang terbaik berada pada struktur 4-10-8-5-1 dimana preprocessing menggunakan metode min-max dan fungsi aktifasi pada layer keluaran adalah logsig. Hasil nilai RMSE setelah proses validasi adalah 0,299 dengan VAF adalah 26,1%. Struktur inilah yang digunakan untuk memprediksi rata-rata kecepatan arus laut di hari berikutnya. Pada struktur model JST menggunakan prepocessing data metode distribusi normal tidak bisa dipilih meskipun mempunyai RMSE dan VAF yang lebih baik dikarenakan hasil keluaran setelah dikembalikan pada range data yang sebenarnya sangat rentan bernilai negatif. Hal ini disebabkan rata-rata curah hujan berada di sekitar 0, sehingga distribusi data menjadi dapat bersifat negatif. Meskipun error curah hujan cukup tinggi tetapi untuk memprediksi besok hujan atau tidak, sistem sudah dapat memprediksi cukup baik. 84% dari 100% data validasi yang diujikan, sistem sudah dapat memprediksi dengan benar apakah hujan atau tidak hujan dikeesokan harinya. Sehingga dari 229 data uji, sistem sudah dapat memprediksi dengan benar apakah besok hujan atau tidak sebanyak 192 data. Sedangkan data yang lain adalah gagal atau salah memprediksi. Analisa logika dalam validasi hujan ini dikatakan berhasil memprediksi jika sistem prediksi yang dibangun dapat menampilkan nilai yang sama seperti kondisi yang sebenarnya. Yaitu bernilai angka curah hujan tertentu jika kondisi sebenarnya adalah hujan dan tidak menampilkan nilai tertentu atau nilai yang dihasilkan cukup kecil (<1mm/day) jika kondisi yang sebenarnya adalah tidak hujan. Dengan analisa logika inilah maka dapat dicari tingkat keberhasilan prediksi apakah terjadi hujan atau tidak dikeesokan hari. Analisa tingkat keberhasilan prediksi ini diproses secara automatis menggunakan software MATLAB. Pada penilitian sebelumnya menggunakan metode Fuzzy hanya dapat memprediksi dengan ketepatan 69%. Dengan membandingkan pada penelitian sebelumnya, sistem prediksi dengan metode JST ternyata masih lebih unggul dari pada dengan metode Fuzzy logic. Tetapi masih memiliki error yang cukup besar dalam memprediksi curah hujan.
G-51 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Jika dilihat dari hasil validasi yang dilakukan, jaringan syaraf tiruan sudah mampu mengidentifikasi proses yang belum pernah diterimanya pada saat pembelajaran. Sehingga bobot hasil pembelajaran bisa diterima sebagai model hasil pembelajaran. Dan digunakan sebagai bobot untuk validasi. Dan selanjutnya bobot inilah yang digunakan sebagai prediktor gangguan cuaca maritim menggunakan metode JST dan diimplementasikan ke dalam software yang dibangun menggunakan bahasa pemrograman visual basic. 5. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada perancangan prediktor gangguan cuaca maritim menggunakan metode Jaringan Syaraf Tiruan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Struktur model JST yang digunakan adalah seperti berikut : o Untuk prediksi arus laut model struktur yang dipakai adalah 4-5-1, metode preprocessing data min-max dan fungsi aktifasi layer output adalah logsig. o Untuk prediksi ketinggian gelombang laut model struktur yang dipakai adalah 4-15-1, metode preprocessing data min-max dan fungsi aktifasi layer output adalah logsig. o Untuk prediksi curah hujan model struktur yang dipakai adalah 4-10-8-3-1, metode preprocessing data min-max dan fungsi aktifasi layer output adalah logsig. Hasil validasi perancangan prediktor gangguan cuaca maritim menggunakan metode Jaringan Syaraf Tiruan menghasilkan parameter spesifikasi seperti berikut : o Untuk prediksi arus laut menghasilkan nilai RMSE = 0,137 dan VAF = 58,7 %. o Untuk prediksi ketinggian gelombang laut menghasilkan nilai RMSE = 0,132 dan VAF = 18,72 %. o Untuk prediksi curah hujan menghasilkan nilai RMSE = 0,299 dan VAF = 26,122 % dan dapat memprediksi hujan di keesokan harinya sebesar 84%. DAFTAR PUSTAKA 1. Noorgard, ”Nerural Network”, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., Reading, 2000 2. Bokosurtanak, “Konsep Dasar Indraja dan Pengolahan Citra”, Bandung 1995. 3. Inggrid, “Iklim Indonesa”, Surabaya 2000. 4. S. Aditya, “Terbentuknya Hujan”, Jogjakarta 1998. 5. R.H.Nielsen., “Neurocomputing”, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., Reading, Massachusetts, 1990. 6. Widjiantoro, “Jaringan Syaraf Tiruan”, Bumi Permai, Jakarta, 2000. 7. .. 8. Arifin, Syamsul, dkk, 2009, Prediksi Cuaca Maritim Dengan Adaptif Neuro Fuzzy Inference System Untuk Deteksi Anomali Ketinggian Gelombang Laut, Laporan Research Grant.
G-52
ISBN : 978-979-18342-2-3
G-53 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
G-54
ISBN : 978-979-18342-2-3
PENENTUAN ALTERNATIF UNIT DAN PEMANFAATAN DALAM PERENCANAAN PENUTUPAN TPA DETERMINATION OF ALTERNATIVE UNIT AND END-USES IN LANDFILL CLOSURE PLAN ON A MUNICIPAL SOLID WASTE LANDFILLS Danang Hadisuryo1 and Benno Rahardyan2 Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB Jalan Ganesha No. 10 Bandung 40132 1
[email protected], 2
[email protected] Abstrak Kegiatan di TPA yang dioperasikan secara open dumping berpotensi untuk menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi TPA yang disebut sebagai eksternalitas, hal tersebut akan berdampak pada biaya awal penutupan TPA dengan sistem operasi yang tidak ramah lingkungan. Dalam Penutupan TPA pasca operasi dibutuhkan perencanaandan dan desain yang baik. Di Propinsi Jawa Barat terdapat 49 TPA lama yang siap untuk ditutup. Dalam perencanaan penutupan TPA lama dibutuhkan prastudi analisis biaya penutupan, studi analisis biaya penutupan ini mengambil beberapa contoh TPA yaitu: Pasir Impun, Leuwi Gajah, dan Sarimukti. Perancangan dan pemanfaatan penutupan akhir suatu TPA harus memperhatikan faktor-faktor seperti karakteristik tanah atau lahan urug yang terbentuk, densitas dari lahan urug yang terbentuk yang mempengaruhi penurunan tanah (settlement), pengawasan terhadap leacheate dan gas yang terbentuk, jenis vegetasi, dan lapisan akhir (final cover. Pra studi tentang pembiayaan untuk penutupan lahan TPA akan di klasifikasikan menjadi 4 alternatif, alternatif 1: pemanfaatan sebagai lahan pertanian dan perkebunan, alternatif 2: dilakukan pemanfaatan menjadi lahan hutan, alternatif 3: taman dan tempat rekreasi, alternatif 4: TPA dioperasikan kembali sebagai lokasi sarana daur ulang. Dalam makalah ini yang akan lebih detail di bahas adalah TPA Leuwigajah. TPA Leuwigajah lebih baik untuk dimanfaatkan sebagai Taman dan sarana olahraga, serta dapat difungsikan sebagian untuk pembukaan kembali TPA. Untuk unit penutupannya disarankan untuk pemakaian lapisan geomembrane dalam kaitannya untuk penggunaan TPA kembali sebagai sarana pengolahan sampah berbasis daur ulang, sebagai fungsi penahan dan pengotrol leachate. Kata Kunci : penutupan lahan urug, alternatif, penutupan, pemanfaatan Abstract : The landfill activities which operated by open dumping has the potential to cause negative impacts on the environment and communities around the landfill area, the so-called externalities, this will affect the initial cost of closing the landfill with the operating system is not environmentally friendly. In the post-closure landfill operations needed a good plan and design. In West Java Province, there are 49 old landfill that is ready to close. In the old landfill closure plan required prestudy closing cost analysis, cost analysis study of this closure have take some examples of the landfill, there are: Pasir Impun Landfill, Leuwigajah Landfill, and Sarimukti Landfilli. The design and utilization of the end closure of a landfill must take into several factors such as soil characteristics or landfill formed, the density of landfill formed affecting soil degradation (settlement), leacheate and supervision of gas formed, types of vegetation, and the final layer (final cover). Early studies of the financing for the closure of the landfill will be classified into 4 alternatives, alternative 1: use as agricultural and and holticultural, alternative 2: be a forest land use, alternative 3: parks and recreation area, alternative 4: landfill operated again. In this paper which will be discussed in more detail at Leuwigajah.landfill. TPA Leuwigajah better to use as a park and sports facilities, and can be functioning as reopening of the landfill as waste treatment facilities which is based on 3R. Recommended unit for closure should use Geomembrane layer for order to re-use of the landfill purpose, as a function of the hold and to control leacheate. Key words: landfill closure, alternatives, post closure, end uses
G-55 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
PENDAHULUAN Setiap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah pasti memiliki umur operasional yang ditinjau dari kapasitas lahan urug dan timbulan sampah yang masuk ke TPA. Setelah TPA penuh atau selesai beroperasi, maka dibutuhkan perancangan penutupan TPA yang baik dan sesuai standar agar tidak terjadi pencemaran lebih lanjut pada lingkungan sekitar situs lahan urug atau TPA (Viraraghavan, 1997). Selain dilakukan penutupan pada TPA lama, akan lebih baik jika dilakukan pemanfaatan atau rehabilitasi lahan pasca TPA agar lahan tersebut tidak menjadi lahan kritis dan tanpa fungsi. Pemerintah Indonesia dalam UU no 18 tahun 2008 menyatakan pada BAB XVI Ketentuan Peralihan Pasal 44 ayat 2 bahwa “Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.”. Hal ini mengakibatkan masing-masing kota dan kabupaten wajib untuk menutup TPA lama mereka yang menggunakan sistem pembuangan terbuka dan menggantinya dengan TPA dengan sistem berbasis sanitary landfill atau controlled landfill terhitung 5 tahun sejak undang-undang ini diberlakukan. Dalam UU no 18 tahun 2008, permasalahan penutupan TPA pasca operasi hanya diatur tentang penutupan TPA yang menggunakan sistem terbuka, tanpa diikuti dengan aturan atau panduan dalam penutupan TPA-TPA tersebut. Di Provinsi Jawa Barat terdapat 59 TPA resmi, dari jumlah tersebut hanya 5 saja yang mempunyai luas lebih dari 10 ha, sisanya memiliki luas situs dibawah 10 ha, bahkan terdapat 10 TPA dengan luas situsnya 1 ha atau kurang. Keseluruhan dari TPA resmi di Jawa Barat dioperasikan secara “open dumping”, sehingga memberikan kontribusi terhadap pencemaran air yaitu dengan meresapnya air lindian kedalam air tanah, juga terangkutnya lindian bersama-sama dengan air larian (runoff), dan terhadap pencemaran udara yaitu melalui hembusan asap pembakaran sampah di TPA (BPLHD JABAR, 2008). Sementara itu, 12 TPA yang semula dirancang sebagai sanitary landfill, ternyata tidak dioperasikan sesuai rencana karena terbatasnya tenaga operator yang terlatih, atau terbatasnya sarana penunjang untuk mengoperasikan TPA tersebut (BPLHD JABAR, 2008). Kondisi sebagian besar TPA di Jawa Barat tersebut memiliki masalah seperti diatas, terlebih lagi dengan hal tersebut membuat ketidakstabilan pada lahan urug yang terbentuk sehingga mempersulit dalam perencanaan penutupan. Perancangan dan pemanfaatan penutupan akhir suatu TPA harus memperhatikan faktor-faktor seperti karakteristik tanah atau lahan urug yang terbentuk, densitas dari lahan urug yang terbentuk yang mempengaruhi penurunan tanah (settlement), pengawasan terhadap leacheate dan gas yang terbentuk, jenis vegetasi, dan lapisan akhir (final cover). Penurunan permukaan tanah (settlement) dari lahan urug merupakan issue utama dalam perancangan dan pemanfaatan penutupan TPA yang mana dibutuhkan pembangunan suatu bangunan diatas lahan urug tersebut. Karena untuk lahan urug dengan proses kompaksi yang buruk serta banyaknya terjadi presipitasi dan perkolasi, settlement akan berlangsung dengan cepat dan lebih ekstensive. Sekitar 90 persen dari keseluruhan settelement akan terjadi pada lima tahun pertama, dan sisanya akan secara sangat perlahan terjadi dalam kurun waktu sekitar 25 tahun setelahnya (Tchobanoglous, 1993). Hal-hal yang penting dilakukan untuk penutupan lahan urug atau TPA menurut wasteage.com yaitu “Site Closure Checklist” menerangkan sebagai berikut (O’leary, 1992) : 1. Pra perencanaan (pre planning) Mengidentifikasi perencanaan bentuk topografi; mempersiapkan perencanaan drainase; spesifikasi sumber untuk material penutup; mempersiapkan vegetasi untuk penutup dan rencana landscaping; spesifikasi prosedur enginering. 2. Tiga bulan sebelum penutupan (three month before closure) Review perencanaan penutupan; menentukan deadline rencana penutupan; mempersiapkan time table untuk prosedur penutupan; pemberitahuan dan pengumuman terhadap rencana penutupan. 3. Pelaksanaan penutupan (at closure) Penempatan pagar atau batas pada tempat pemugaran atau penutupan untuk mempersempit akses masuk; mengangkat sampah dan puing serta menempatkannya pada sel akhir sebagai penutup; menempatkan penutup pada setiap sampah yang terlihat. 4. Tiga bulan setelah penutupan (three month after closure) Menyelesaikan drainase yang dibutuhkan; menyelesaikan gas kolektor atau venting system, fasilitas penampung leacheate, serta alat monitor gas dan air tanah; Mempertebal penutup tanah yang diperlukan diatas lahan urug; Penanaman vegetasi di atas penutup akhir. Pemanfaatan lahan bekas TPA bergantung pada karakteristik dari lahan urug tersebut. Pemanfaatan lahan bekas TPA biasanya dimanfaatkan sebagai taman atau tempat rekreasi dan berbagai sarana yang tidak memerlukan pembangunan bangunan berat. Membangun bangunan diatas lahan bekas TPA sangat sulit sekali, disebabkan karena perbedaan area dan waktu settlement, serta timbulan gas.
G-56
ISBN : 978-979-18342-2-3
METODOLOGI Penentuan pemanfaatan dalam perencanaan penutupan TPA di Provinsi Jawa Barat dapat didapatkan dengan cara menginventarisasi keseluruhan unit atau komponen yang diperlukan dan membuat kriteria alternatif pemanfaatan. Penentuan unit dan pemanfaatan yang terpilih kemudian disesuaikan dengan kondisi eksisting TPA studi di Jawa Barat.
Inventarisasi Unit-unit yang Dibutuhkan Dalam Penutupan TPA Penentuan Kriteria Alternatif untuk Final Cover /top soil Dalam Penutupan TPA Penentuan Kriteria Alternatif Pemanfaatan / Reklamasi pada TPA yang Ditutup Pemilihan Unit-unit dan Pemanfaatan yang Sesuai dengan TPA Studi Biaya Penutupan TPA Studi dengan Unit dan Pemanfaatan Terpilih Gambar 1. Skema metodologi penentuan biaya penutupan Suatu lahan bekas TPA dapat dilaksanakan pembangunan sesuai dengan jenis pemanfaatannya setelah dilakukan rehabilitasi lahan, dengan pemasangan tanah penutup akhir yang telah disesuaikan dengan jenis rencana pemanfaatan yang telah direncanakan sebelumnya. Pembangunan suatu pemanfaatan dapat berupa penempatan unit-unit konstruksi khusus yang sesuai dengan pemanfaatan tertentu. Tahap-tahap dalam perencanaan penutupan TPA, dibutuhkan tanah penutup akhir yang terdiri dari lapisan dasar (tanah lokal, puing), lapisan impermeabel (geomembrane/clay), lapisan drainase (kerikil, pasir,dll), lapisan pelindung (tanah merah/tanah lokal), lapisan pendukung vegetasi (tanah humus), dan vegetasi. Komposisi lapisan-lapisan tersebut tergantung pada jenis karakteristik dari lahan urug. Fungsi yang diharapkan dari penutup akhir (final cover) adalah Desain tanah penutup akhir harus memiliki dua fungsi untuk lahan, yaitu Memastikan bahwa pemanfaatan jangka panjang yang direncanakan pada lahan bekas TPA tersebut harus mencegah terjadinya efek buruk terhadap lingkungan kedepannya. Kedua ialah mendukung pertumbuhan tanaman vegetasi dan mendukung pemanfaatan lainnya. Dalam tahap penentuan jenis pemanfaatan yang direncanakan pada suatu lahan bekas TPA bergantung pada banyak faktor diantaranya ialah faktor lokasi dan sosial kemasyarakatan yang dijelaskan didalam skematisasi penentuan alternatif pemanfaatan yang terdapat pada Gambar 2. Dalam penentuan alternatif konfigurasi tanah penutup akhir, lebih dikhususkan pada perihal pemakaian geosintetik pada tanah penutup akhir yang ditentukan pada unsur kondisi kritis yang terdapat disekitar lahan bekas TPA, hal tersebut dijelaskan pada skematisasi penentuan konfigurasi penutup akhir pada Gambar 3. Setelah dilakukan penentuan jenis pemanfaatan dan konfigurasi tanah penutup akhir, dilakukan inventarisasi unit penunjang pemanfaatan dan penutupan yang mencakup unit pengendalian pencemaran lingkungan, unit tanah penutup akhir, unit vegetasi, dan unit pelengkap/mewah, dan unit sarana prasarana umum. Setelah dilakukan inventarisasi unit-unit yang sesuai dengan jenis pemanfaatan yang terpilih, dilakukan perencanaan akhir penutupan berupa layout desain pemanfaatan. Layout pemanfaatan disesuaikan dengan kontur lahan, bila diperlukan dilakukan pembentukkan lansekap khusus yang direncanakan untuk mengakomodasi peletakkan unit pelengkap pemanfaatan yang dipilih untuk menunjang situs yang direncanakan.
G-57 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Unit-unit yang Dibutuhkan dalam Perencanaan Penutupan 1. Sistem pengoleksi gas (gas collection system) Sebagai pengontrol gas yang terbentuk di lahan urug. Dilengkapi oleh pipa vertikal atau horizontal sebagai pengoleksi landfill gas (LFG). 2. Sistem drainase air hujan (storm water control) Sebagai pengontrol run-off dari hujan serta mencegah erosi pada top soil. 3. Sistem pengoleksi leachate (leachate collection system) Leachate bisa dikendalikan dengan menempatkan liner pada bagian dasar landfill dan menginstal leachate collection pipe untuk menyalurkan leachate sebelum leachate tersebut keluar dari landfill (Juanda, 2009). 4. Tanah penutup akhir (Vegetative layer) Lapisan tanah akhir yang disertai dengan penanaman vegetasi untuk cegah erosi. 5. Pagar dan buffer area Sebagai penanda batas situs pemanfaatan dan area transisi dengan pemukiman. 6. Lapisan ventilasi untuk gas methane (methane gas venting layer) Sebagai penangkap gas methane yang terbentuk, dilengkapi oleh flare atau dengan pemanfaatan gas methane tingkat lanjut. 7. Sumur monitor (Ground Water Monitoring) Sebagai fasilitas dalam memantau keadaan air tanah di sekitar situs. Berbagai Alternatif Pemanfaatan dalam Perencanaan Penutupan Akhir penggunaan TPA umumnya ditentukan sebelumnya dalam tahap desain dan perencanaan. Apapun, jenis penggunaan akhir harus sesuai dengan yang terdapat dalam rencana penggunaan lahan regional atau tata kota. Berikut merupakan berbagai alternatif pemanfaatan yang akan di kembangkan : a) Pemanfaatan sebagai taman dan tempat rekreasi Rehabilitasi lahan bekas TPA dengan menciptakan taman dan fasilitas rekreasi di daerah pinggiran kota adalah salah satu pemanfaatan yang sering dilakukan dalam rangka pemenuhan persentase ruang terbuka hijau pada suatu kota. Kondisi-kondisi kemasyarakatan di sekitar lokasi sangat menentukan dalam pertimbangan untuk penggunaan sebagai taman atau tempat rekreasi dalam merehabilitasi lahan tersebut (Tchobanoglous, 1993). Pada umumnya, pembangunan tempat rekreasi menggunakan bangunan (unit rekreasi) tertentu untuk menunjang fungsinya sebagai tempat rekreasi, dan mungkin membutuhkan teknik-teknik konstruksi yang khusus dalam membangun unit rekreasi tersebut. (Christensen, 1994). b) Digunakan sebagai hutan (forestry area) Reklamasi untuk tujuan kehutanan diterapkan terutama pada TPA yang berada di sekitar atau dekat dengan hutan, karena rencana penutupan lebih mudah terintegrasi dengan pengaturan tersebut. Biasanya, spesies dari hutan di sekitarnya dipakai untuk penanaman lahan tersebut untuk dengan tujuan menggabungkan ekosistem dari situs yang direhabilitasi dengan lingkungan sekitar (Crawford, 1985). Penanaman pohon harus dilakukan dengan tujuan menciptakan penutupan lahan bekas TPA dengan ekosistem hutan, dan bukan untuk memproduksi kayu, karena pertumbuhan pohon tersebut kemungkinan besar akan sulit tumbuh di lahan bekas TPA. Ini berarti bahwa produksi kayu tidak bisa menjadi tujuan utama, walaupun dimungkinkan hasilnya dapat dipanen (Tchobanoglous, 1993). c) Pemanfaatan sebagai lahan pertanian dan perkebunan (tidak direkomendasikan) Reklamasi TPA sering terintegrasi kembali dengan areal pertanian. Petani sangat ingin merebut kembali daerah-daerah tersebut karena, sudah merupakan praktek umum untuk mengkonversi tanah terlantar menjadi kawasan produktif pertanian. Hasil pertanian relatif rendah karena rendahnya kesuburan tanah. (Tchobanoglous, 1993). Konsep pemanfaatan sebagai lahan pertanian atau perkebunan bertujuan untuk mengakomodasi petani-petani yang terdapat disekitar lahan bekas TPA agar dapat menggarap lahan pasca dilakukannya remediasi terhadap lahan bekas TPA. Pemanfaatan ini tidak dijadikan rekomendasi pada perencanaan penutupan lahan bekas TPA, hal tersebut dikarenakan kemungkinan tercemarnya hasil panen atau tanaman produksi oleh sampah dibawahnya. Untuk meminimalisasi pencemaran terhadap tanaman produksi dibutuhkan ketebalan tanah yang sangat tebal. d) Digunakan untuk tempat pemprosesan sampah tingkat lanjut Reklamasi untuk tujuan sebagai area pemprosesan sampah tingkat lanjut yang didalamnya terdiri dari berbagai teknik pengolahan sampah seperti komposting, daur ulang sampah non organik, dan lain lain. Pemanfaatan sebagai tempat pemprosesan sampah dilakukan apabila suatu daerah atau kota mengalami keterbatasan lahan yang strategis untuk pengolahan sampah, sehingga dibutuhkan lahan bekas TPA yang strategis dan dapat di rehabilitasi.
G-58
ISBN : 978-979-18342-2-3
HASIL DAN DISKUSI Dalam menentukan estimasi biaya penutupan suatu TPA di Jawa Barat dibutuhkan observasi kondisi eksisting TPA yang ditinjau dari segi sistem operasi TPA, kondisi aktual sekitar TPA baik lingkungan dan kemasyarakatan, dan masalah teknis penutupan seperti kesediaan tanah dan pendanaan.
Pengumpulan informasi yang tersedia Fasilitas penunjang landfill Ketinggian sel (lahan urug) Topografi dan luas daerah Sejarah operasi Perencanaan lahan/penutupan,etc. Rencana tata ruang daerah/kota,etc.
Tidak Tidak Lengkap Lengka
p
Memiliki sejarah operasi yang baik dan fasilitas penunjang landfill tersedia dan lengkap, seperti : Gas collection system, Drainase, Leachate collecting system, Top soil,etc
Terdapat kondisi sensitif (seperti dekat dengan sungai dan air tanah)
Lengkap
Tidak Tidak Lengkap Lengkap
Tidak terdapat kondisi sensitif (dekat dengan sungai dan air tanah)
Mempertimbangkan dampak dari rencana penutupan dan reklamasi lahan. Aspek pendanaan, pencemaran lingkungan, dan gangguan kemasyarakatan
Diperlukan lapisan geosintetik pada final cover.
Final cover tidak perlu menggunakan lapisan geosintetik
Gambar 2. Skema penentuan alternatif final cover dan komponen yang dibutuhkan (diadaptasi dari (Tchobanoglous, 1993), (F.G. Simon, 2004) dan (Mohan, 1996)) Dapat dilihat dari Gambar 2 yaitu skema penentuan alternatif penutupan dan unit yang diperlukan. Kondisi sensitif yang dimaksudkan pada skema diatas yaitu kondisi dimana karena keberadaan TPA tersebut dapat mengakibatkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya (contoh: air tanah). Hasil akhir skema diatas berupa alternatif topsoil dengan menggunakan geosintetik atau tidak. Penggunaan geosintetik pada topsoil harus mempertimbangkan pendanaan yang tersedia karena biaya pemasangan geosintetik tergolong cukup mahal, oleh karena itu penggunaan geomembrane harus dibatasi untuk TPA yang terdapat kondisi sensitif dan berpotensi mencemari lingkungan lebih lanjut. Penentuan estimasi biaya dalam perencanaan penutupan TPA atau lahan bekas urug dapat dilakukan dengan menginventarisasikan komponen atau unit yang diperlukan terlebih dahulu serta dilakukan penentuan alternatif pemanfaatan (reklamasi) yang sesuai dengan lokasi TPA dan tata ruang wilayah. Dalam penentuan alternatif final cover juga harus diperhatikan perencanaan pasca operasi/pemanfaatan lahan yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan mengetahui rencana pemanfaatan sebuah TPA, final cover dapat disesuaikan dengan perencanaan yang sesuai dengan pemanfaatan yang ditentukan dengan tetap tidak mengindahkan syarat-syarat penentuan final cover pada skema di Gambar 2. Berikut adalah skema penentuan alternatif pemanfaatan pada perencanaan penutupan TPA :
G-59 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Pengumpulan informasi yang tersedia Keadaan sosial kemasyarakatan Fasilitas penunjang landfill Topografi dan luas daerah Sejarah operasi Rencana tata ruang daerah/kota
Terdapat suatu kebutuhan penting terhadap lokasi sarana pengelolaan sampah
Pertimbangan rencana tata ruang daerah/kota dan pertimbangan kepentingan lokasi dalam konteks pengelolaan persampahan
Pertimbangan lokasi TPA terhadap ruang lingkup sekitar : Hutan Pemukiman penduduk, lokalisasi industri Areal perkebunan dan pertanian sekitar
Penyesuaian rencana tata ruang daerah/kota yang telah ada dengan pertimbangan ruang lingkup pasca operasi dan pertimbangan kepentingan lokasi dalam konteks sarana pengelolaan persampahan serta kompensasi terhadap lingkungan/masyarakat sekitar.
Penentuan pemanfaatan sesuai pertimbangan berdasarkan lokasi, rencana tata ruang, dan kepentingan lokasi dalam hal sarana pengolahan sampah. Penentuan pemanfaatan sebagai areal hutan dan/atau lahan pertanian/perkebunan dan/atau taman/tempat rekreasi dan/atau saran daur ulang sampah.
Kota/daerah membutuhkan area khusus pengolahan sampah dengan tujuan daur ulang sampah.
Diperuntukkan untuk lokasi pemprosesan sampah yang berbasis daur ulang
Gambar 3. Skema penentuan alternatif pemanfaatan pada perencanaan penutupan TPA. (diadaptasi dari (Crawford, 1985) dan (Tchobanoglous, 1993)) Dalam mempertimbangkan jenis pemanfaatan pada suatu rencana rehabilitasi lahan bekas TPA, diperlukan pertimbangan terhadap ruang lingkup sekitar lahan bekas TPA termasuk keadaan sosial kemasyarakatan, rencana tata ruang daerah/kota yang telah tersedia, serta pertimbangan kepentingan lokasi dalam konteks pengelolaan persampahan bagi kota/daerah atau area regional tertentu. Pada suatu daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, kebutuhan lahan untuk sarana pengelolaan persampahan akhir sangat terbatas, lahan dengan lokasi strategis atau dekat dengan daerah pelayanan dapat memperkecil biaya pengelolaan sampah, untuk itu dalam konteks perencanaan penutupan lahan bekas TPA, perlu dipertimbangkan kepentingan lokasi lahan terhadap sarana pengelolaan persampahan dan kebutuhan daerah pelayanan di sekitarnya, sehingga dalam rencana penutupan dan pemanfaatannya dapat dibangun sarana pengelolaan sampah yang berbasis daur ulang seperti komposting dan usaha daur ulang. Pada Gambar 3 Merupakan skema pemilihan alternatif pemanfaatan yang dijadikan pola pikir dalam penyusunan penentuan pemanfaatan pada Tabel 3 tentang pertimbangan dalam penentuan alternatif pemanfaatan berdasarkan lokasi TPA. Pada Tabel 1 dibawah ini diuraikan kriteria kesesuaian suatu lahan bekas TPA bagi ke-empat bentuk pemanfaatan yang dilakukan estimasi pembiayaan pada studi ini.
G-60
ISBN : 978-979-18342-2-3
Tabel 1. Aspek kriteria kesesuaian untuk masing-masing pemanfaatan (diadaptasi dari (Tchobanoglous, 1993), (Biffaward, 2005) dan (Crawford, 1985)) Aspek kriteria Tempat rekreasi Area hutan Lahan produksi kesesuaian Relatif dekat dengan Relatif dekat Relatif dekat pemukiman Aspek lokasi dengan hutan dengan area Diutamakan pada pertanian kontur yang cenderung datar Diperlukan fasilitas Diperlukan fasilitas pengendali Fasilitas pengendali pengendali pencemaran lingkungan pencemaran Aspek lingkungan lingkungan yang secukupnya lingkungan yang lengkap lengkap Dibutuhkan pohon Dibutuhkan Dibutuhkan kayu yang sejenis tanaman produksi tanaman hias dan Aspek vegetasi dengan ekosistem yang sesuai lokasi rumput sekitar tersebut. Kebutuhan tanah Sedang Sedang Besar penutup akhir Kebutuhan infrastruktur Sangat diperlukan Tidak diperlukan Diperlukan (jalan, transportasi umum, dll) Bila terdapat konflik Dibangun dalam hal Pemanfaatan sesuai memiliki rehabilitasi lahan, dibangun pada Aspek sosial sosial, fungsi kompensasi tidak memiliki unsur wilayah masyarakat kemasyaratan fasilitas umum pada masyarakat agraris Aspek pembiayaan (Crawford, 1985) Aspek keselamatan Aspek pemeliharaan Tingkat kesulitan pelaksanaan (Crawford, 1985)
Biaya mahal dalam konstruksi bangunan fasilitas umum
Biaya relatif lebih murah
Biaya mahal dalam konstruksi tanah penutup
Perlu perhatian khusus Diperlukan biaya pemeliharaan yang besar
Tidak memerlukan perhatian khusus
Perlu khusus
Tidak memerlukan biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan kecil
Relatif sulit
Relatif mudah
Relatif mudah
perhatian
Sarana olahraga Relatif dekat dengan pemukiman Diutamakan pada kontur yang cenderung datar Diperlukan fasilitas pengendali pencemaran lingkungan yang lengkap Dibutuhkan tanaman penunjang sarana Besar
Sangat diperlukan Bila terdapat konflik sosial, memiliki fungsi kompensasi pada masyarakat Biaya mahal dalam konstruksi bangunan fasilitas umum dan biaya tanah penutup Perlu perhatian khusus Diperlukan biaya pemeliharaan yang besar Relatif sulit
Pada Tabel 2. Diuraikan pertimbangan alternatif pemanfaatkan yang sesuai terhadap TPA studi dengan mengikuti skematisasi pada Gambar 3. Tabel 2. Pertimbangan alternatif pemanfaatan lahan bekas TPA (Untuk luas lahan dan sistem operasi, (BPLHD JABAR, 2008)) Aspek Sosial Luas Sejarah Kemasyarakatan Nama TPA Fasilitas Operasi
TPA Sarimukti
25,2 ha
TPA Leuwigajah
Luas 25,1
awal ha,
Controlled landfill
Letak pemukiman jauh dari situs sehingga tidak diperlukan pemanfaatan sebagai fasilitas umum.
Open dumping dan
Ada penolakan warga terhadap pembukaan
Pertimbangan Lokasi TPA Dekat dengan kawasan hutan, lokasi yg baik untuk penanganan sampah Kab. Bandung Barat. Dekat dengan pemukiman, dan
Alternatif Pemanfaatan
Alternatif 1 : Areal hutan alternatif
Alt 1 sarana
:
Taman, olahraga, G-61
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
Nama TPA
TPA Pasir Impun
TPA Jelekong
TPA Cicabe
Luas Fasilitas
Sejarah Operasi
setelah longsor menjadi 75,1 ha akibat perluasan
terjadi longsor
4,05 ha
Sanitary landfill di Operasi awal dan Open dumping di operasi ke-2
Aspek Sosial Kemasyarakatan TPA kembali, diperlukan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan TPA terdahulu. Lokasi TPA berada di tengah kota, terdapat perumahan swasta disekitarnya, butuh RTH
9 ha
Controlled landfill
Mayoritas mata pencaharian warga sekitar adalah petani
4,5 ha
Controlled landfill
Lokasi TPA berada di tengah kota, warga membutuhkan RTH
Pertimbangan Lokasi TPA
Alternatif Pemanfaatan
merupakan lokasi terbaik untuk sarana persampahan di Bandung
serta difungsikan sebagai sarana pemprosesan sampah
Sangat dekat dengan pemukiman perkotaan Sangat dekat dengan pemukiman pedesaan Dekat dengan pemukiman perkotaan
Taman dan tempat rekreasi dengan sarana olahraga.
Alternatif : Tempat rekreasi (Taman hutan) Taman dan tempat rekreasi dengan sarana olahraga
Tabel 3. Kondisi eksisting masing-masing TPA studi
40-60
TPA Pasir Impun 15
TPA Jelekong 15-20
TPA Cicabe 10-15
Ada
Tidak Ada
Telah dibuat
Tidak ada
Telah dibuat
Ada
Tidak Ada
Perlu diperbaiki
Ada
Ada Ada
Ada Tidak Ada
Tidak Ada Telah dibuat
Ada Butuh perbaikan
Perlu diperbaiki Tidak ada Telah dibuat
cukup
Tidak mencukupi
Tidak cukup
Tidak cukup
Tidak cukup
Area Sensitif
Sungai Cipandauan
Sungai kecil < 1km, rawan longsor,
Pemukiman 0,05km
Pemakaian Geosintetik
Tidak diperlukan
Diperlukan
Tidak diperlukan
Keterangan
TPA Sarimukti
TPA Leuwigajah
Tinggi Sel (m) Instalasi Gas Vent Pengolah Leachate Buffer zone Drainase Tanah Penutup Lokal
10-15
<
Pemukiman <0,1 km, ada sungai kecil Tidak diperlukan
Pemukiman < 0,1 km Tidak diperlukan
Pada Tabel 4 dijelaskan rancangan penutupan pada masing-masing TPA studi yang mengikuti pola skematisasi pada Gambar 3 dan kondisi eksisting pada Tabel 3 yang menjelaskan mengenai alternatif pemanfaatan lahan TPA dengan mempertimbangkan ruang lingkup TPA dan kedekatan lokasi TPA dengan sebagaimana pemanfaatan lahan di sekitarnya. Tabel 4. Rancangan unit penutupan pada masing-masing TPA Unit TPA TPA TPA perencanaan Sarimukti Leuwigajah Pasir Impun
TPA Jelekong
TPA Cicabe
Tidak Diperlukan Tidak diperlukan
Tidak diperlukan Tidak diperlukan
Tidak diperlukan Tidak diperlukan
Pemakaian geomembrane Lapisan Geonet
Tidak Diperlukan Tidak diperlukan
Pemakaian geotekstile
Tidak Diperlukan
Diperlukan
Tidak Diperlukan
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Lapisan
Tebal
Tebal
Tebal
Tebal
Tebal
G-62
Diperlukan Diperlukan
ISBN : 978-979-18342-2-3
Unit perencanaan
TPA Sarimukti
TPA Leuwigajah
TPA Pasir Impun
TPA Jelekong
TPA Cicabe
penopang Lapisan Impermeable Lapisan Drainase Lapisan Pelindung
15 cm
30 cm
30 cm
Tebal 45 cm
-
Tebal 45 cm
15 cm Tebal 45 cm Tebal 30 cm Ketebalan 100 cm
30 cm Tebal 45 cm Tebal 30 cm Ketebalan cm
Ketebalan 60 cm
Ketebalan cm
Lapisan vegetasi Kebutuhan pupuk Jenis vegetasi Drainase Buffer Zone & pagar Tipe gas vent Sumur monitor
Tebal 30 cm Ketebalan 105 cm
Ketebalan 45 cm
Tebal 30 cm Ketebalan cm
30
Ketebalan 30 cm
Ketebalan 15 cm
Ketebalan cm
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Pohon kayu dan vetiver Penyempurnaa n drainase Tidak diperlukan Vertikal (tiap 100 m) Diperlukan
Rumput gajah dan vetiver
Rumput gajah
Rumput Gajah
Rumput Gajah
Penyempurnaan drainase Perlu pagar Vertikal (tiap 100 m) Diperlukan
Penyempurnaa n drainase
Penyempurnaan drainase
Perlu pagar
Perlu pagar
Vertikal
Vertikal
Diperlukan
Diperlukan
Diperlukan Perlu pagar Vertikal (tiap 100 m) Diperlukan
15
30 15
Keterangan : *berdasarkan “Table 7.2. Possible restoration strategies” (Crawford, 1985). Pada Tabel 4 dan Tabel 2 diuraikan kebutuhan unit-unit yang dibutuhkan dalam perencanaan masingmasing TPA studi. Pada Gambar 4 ditampilkan desain layout untuk TPA studi Leuwigajah sesuai dengan pemanfaatan yang direncanakan.
Monumen dan View point
Tempat rekreasi Tambahan jogging track pada akhir timbunan kompos
Fasilitas daur ulang sampah Fasilitas Olahraga Puskesmas dan Balai pertemuan warga
Timbunan penyimpanan kompos Gambar 4. Desain layout Leuwigajah
Dibutuhkan pemanfaatan yang bersifat fasilitas umum sebagai kompensasi warga disekitar TPA Leuwigajah. Kompensasi tersebut dimaksudkan untuk penempatan fasilitas pengelolaan sampah berbasis daur ulang di lahan bekas Leuwigajah, hal tersebut karena masih terdapat stigma negatif terhadap fasilitas pengolahan sampah oleh warga sekitar. Kelanjutan dari makalah ini akan dibahas tentang estimasi pembiayaan dalam perencanaan penutupan dan pemanfaaatan lahan bekas TPA. Untuk pembiayaan perencanaan penutupan keseluruhan, harus dilengkapi dengan biaya pengerjaan penutupan serta biaya maintenance dan monitoring selama 30 tahun kedepan atau sampai TPA stabil yaitu lahan yang telah tidak memproduksi lindi, gas landfill dan, settlement telah selesai. Dalam estimasi pembiayaan perencanaan penutupan perlu diketahui Luas dari urugan sampah yang akan ditutup final cover, biaya pengerjaan (final cover, pembuatan drainase, pemasangan gas,dll), dan biaya maintenance dan monitoring selama kurang lebih 30 tahun.
G-63 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010
KESIMPULAN Selain dilakukan penutupan pada TPA lama, akan lebih baik jika dilakukan pemanfaatan atau rehabilitasi lahan pasca TPA agar lahan tersebut tidak menjadi lahan kritis dan tanpa fungsi. Pemanfaatan yang direkomendasikan yaitu pemanfaatan sebagai area hutan/ habitat liar, sebagai taman/tempat rekreasi, dan pemakaian lahan sebagai sarana pemprosesan sampah berbasis daur ulang. Pemanfaatan yang cocok untuk lahan bekas TPA Leuwigajah ialah sebagai tempat rekreasi yang didalamnya termasuk unit puskesmas dan balai pertemuan, juga direncanakan sebagai sarana olahraga. di sebagian wilayah tersebut direncanakan untuk sarana pengelolaan sampah berbasis daur ulang yang melayani Kota Metropolitan Bandung Barat. Dibutuhkan pemanfaatan yang bersifat fasilitas umum sebagai kompensasi warga sekitar fasilitas. Pemanfaatan yang direkomendasikan untuk lahan bekas TPA Sarimukti direncanakan sebagai area hutan/habitat liar. Pada alternatif lain direncanakan sebagai sarana pengelolaan sampah berbasis daur ulang, hal tersebut dilakukan untuk memfasilitasi penanganan persampahan di wilayah Kabupaten Bandung Barat. Pemanfaatan yang direkomendasikan untuk lahan bekas TPA Jelekong direncanakan sebagai area taman hutan, Pemanfaatan yang direkomendasikan untuk lahan bekas TPA Cicabe dan TPA Pasir Impun ialah pemanfaatan sebagai taman/tempat rekreasi. Dalam penentuan pemanfaatan suatu lahan bekas TPA harus diikuti oleh rencana desain tanah penutup akhir yang sesuai sebagai penunjang fungsi pemanfaatan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Biffaward. 2005. Planning for Resource Communities, Vol 1 Waste Infrastructure & Management. Biffaward. BPLHD JABAR. 2008. Kajian Naskah Akademis Persampahan di Jawa Barat. BPLHD JABAR. Christensen, Thomas H, Cossu R, and Stegmann Reinan. (1994). Landfill of Waste. Mc Graw Hill Singapore. Crawford, John F, and Smith, Paul G. 1985. Landfill Technology. Butterworths. F.-G. Simon, W.W. Müller. 2004. Standard and alternative landfill capping design in Germany. Environmental Science & Policy 7 (2004) 277–290. Federal Institute for Materials Research and Testing, Unter den Eichen 87. Juanda, Muhamad. 2009. Redesign Leuwigajah Landfill (sebuah laporan tugas akhir program S-1). Teknik Lingkungan ITB. Mohan R.K., Herbich J.B., Hossner L.R., Williams F.S. 1996. Reclamation of Solid Waste Landfills by Capping with Dredged Material. Journal of Hazardous Materials 53 (1997) 141- 164. Tchobanoglous, G, H. Theisen, and S.A.Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management, International Editions. Mc Graw Hill Singapore. Viraraghavan,T., Mahendraker, V., Mihial, D. J. 1997. Landfill closure plans and post-closure care-cover design and maintenance. Journal of Solid Waste Technology & Management; Vol. 24 Issue 1, p37, 0p.
G-64
ISBN : 978-979-18342-2-3