TAHAP KEDUA
PENGENALAN DIRI Pengantar Umum Saudara-saudari, para calon anggota KSM terkasih! Anda telah menyelesaikan paruh pertama “Ziarah Totus Tuus”. Di dalam Tahap Pertama (Pengenalan Dunia), Anda telah mengenal dunia dengan segala hal yang terkait dengannya. Aneka pengalaman kita berhadapan dengan segala “hiruk-pikuknya, pernak-pernik” kehidupan dunia atau yang kita rangkum dalam istilah “roh dunia”, membantu kita semua untuk semakin mengerti ke mana biduk kehidupan kita ini diarahkan agar menemukan maknanya yang sejati. Namun, peziarahan ini mesti dilalui secara perlahan-lahan, setahap demi setahap. Karena itu, di dalam Tahap Kedua perjalanan ini, dengan bantuan rahmat Tuhan, kita berusaha untuk mempersempit perhatian kita kepada “dunia yang lebih kecil tetapi sangat unik dan kompleks”, yakni diri kita sendiri. Karena itu, kita hendak menggunakan waktu yang memadai untuk melihat, menilai diri kita sendiri di bawah terang Sabda Tuhan dan ajaran Gereja serta tuntunan ajaran Santo Montfort. Diharapkan, dengan bantuan semua sarana itu, yang Ilahi maupun manusiawi, dapat meneropong dan akhir mampu mengenal seluk-beluk kehidupan atau diri kita kita apa adanya. Melalui doa, refleksi, sharing, kita akan semakin memahami identitas diri kita, memahami latar belakang sikap dan cara kita berpikir, bertindak, merangkai dan meraih cita-cita. Berkenaan dengan itu, Santo Montfort di dalam bukunya, Bakti Sejati kepada Maria (BS), memberikan peta perjalanan kepada kita: “Selama minggu pertama mereka harus memakai segala doa dan latihan kesalehannya untuk memohon pengenalan diri dan penyesalan atas dosa-dosanya. … . Mereka harus minta penerangan dari Tuhan dan Roh-Nya yang kudus dengan kata-kata berikut ini, „Tuhan, semoga aku dapat melihat‟, atau „Semoga aku mengenal diriku sendiri‟, atau „Datanglah, ya Roh Kudus.‟ Setiap hari mereka harus mendoakan Litani Roh Kudus dengan doa yang mengikutinya, seperti diberikan pada bagian pertama karya ini. Mereka harus berlindung kepada Perawan teramat suci dan meminta kepadanya rahmat yang penting ini, dasar semua rahmat yang lain, dengan mendoakan setiap hari Ave Maris Stella dan Litani kepadanya” (BS 228). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
28
Pertemuan Pertama
SIAPAKAH AKU? 01. Doa Pembuka: Veni Creator Spiritus (Datanglah Roh Kudus)
02. Pengantar Tema Seorang pemuda, sebut saja namanya “Mau Senang”, dijatuhi hukuman yang sangat berat karena telah melakukan serangkain pencurian yang disertai dengan pembunuhan. Dalam beberapa kali sidang, didukung bukti-bukti kuat yang disampaikan para saksi, para hakim menyatakan bahwa dia secara sah telah melakukan tindakan yang dituduhkan kepadanya oleh jaksa penutut. Akhirnya, tibalah hari pembacaan keputusan hakim. Pada saat itu, di antara kaum keluarga para korban dan para pengunjung, hadir juga ibunya, yang telah lama hidup menjanda. “Mau Senang” adalah andalan masa senjanya kelak. Namun, dia sedang menanti dengan harap-harap cemas. Kecemasan si ibu terbukti. Hakim yang membacakan keputusan yang menyatakan bahwa terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup. Ibu itu menangis meraung-raung. Namun, tidak demikian halnya dengan “Mau Senang” sendiri. Dia tampak tenang menghadapi keputusan itu. Usai sidang, “Mau Senang” dibawa keluar. Namun, sebelum masuk ke dalam mobil tahanan, ibunya berlari masih sambil menangis ke arah putranya itu dan memeluknya dengan erat. Namun, tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh jeritan kesakitan sang ibu. Rupanya, ketika dipeluk, dia mengigit telinga ibunya hingga putus. Menyadari apa yang telah terjadi, beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu berkomentar dengan nada kesal, “Wah, dasar anak tak tahu diri! Sudah dihukum seumur hidup, masih juga berbuat jahat. Telinga ibunya sendiri pun digigit sampai putus! Wah, wah, wah, anak jahanam!” Wartawan yang penasaran kemudian menanyakan perilaku “Mau Senang”. “Mengapa Anda tega menggigit telinga ibu Anda sampai putus?” Si terpidana dengan tenang menjawab, “Andaikata dia melarang atau menghukum saya ketika saya tanpa izin sering mengambil uang recehan di atas meja kerja di kamarnya sejak masa kecil, saya pasti tidak akan mengalami hukuman seperti ini?” Si “Mau Senang” telah masuk ke dalam jebakan dan perangkap “pembentukan karakter” yang keliru. Dia tidak memperoleh bantuan yang memadai untuk dalam proses pertumbuhan dirinya sejak masa kecil. Dia tidak mampu membuat pembedaan antara yang baik dan benar dan yang tidak baik atau salah. Demikian pula, dia tidak mengetahui kekurangan dan kelebihan dirinya. Ringkasnya, dia hampir tidak mengenal identitas sejati dirinya.
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
29
Jika merujuk kepada ajaran iman kita, kita semua hampir pasti sepakat bahwa “kedirian” adalah anugerah istimewa yang kita terima dari Tuhan. Kesadaran akan diri dan hidup sebagai anugerah Tuhan inilah yang mendorong seorang penulis suatu ketika mengatakan dalam doanya, “Tuhan, saya bersyukur karena Engkau telah menganugerahkan kehidupan kepadaku. Aku tidak pernah menyesal bahwa aku pernah hidup.” Keistimewaan hidup kita adalah bahwa kita diciptakan oleh Tuhan sebagai pribadi yang unik. Inilah yang menegaskan kebesaran kasih Tuhan atas kita. Setiap pribadi selalu memiliki dua sisi yang menyatu tak terpisahkan seperti sekeping mata uang. Ada sisi yang terang-benderang di dalam hidup kita. Inilah kelebihan-kelebihan, bakat-bakat, talenta-talenta yang kita miliki, yang membuat kita menjadi pribadi yang istimewa ketika semuanya itu dioptimalisasi, diolah/dikembangkan semaksimal mungkin. Umumnya, manusia lebih gampang untuk menempatkan dirinya pada sisi ini. Namun, di bagian lain diri kita, ada wilayah yang suram, bahkan mungkin gelap. Bagian ini yang kerap ditutup rapat-rapat. Itulah kerapuhan, kelemahan, keterbatasan kita. Nah, justru dengan dua sisi itulah kita bertumbuh menjadi seorang pribadi yang unik. Pertumbuhan diri kita ke arah maksimal tidak berjalan sendiri. Ada banyak faktor pendukung lainnya. misalnya, latar belakang keluarga, aneka pengalaman sejak masa kecil hingga masa dewasa awal, latar belakang pendidikan, pergaulan, lingkungan hidup, dan masih banyak faktor lainnya. Jadi, selain rahmat Tuhan, dua faktor lainnya amat menentukan (berpengaruh) atas perkembangan hidup kita hingga membentuk diri kita hingga saat ini, yakni faktor internal (diri kita sendiri) dan faktor ekternal (dari luar: lingkungan masyarakat, orang lain). Faktor lingkungan dan orang lain tentu ikut menentukan pertumbuhan hidup kita. Namun, kendati tetap ada di dalam diri kita. Jika kita hanya mengikuti apa yang “berkenan dan menyenangkan orang lain”, ada bahaya bahwa kita menjadi “robot”. Kita dapat menemukan banyak contoh. Misalnya saja, seorang anak yang begitu dikekang atau diatur oleh orangtuanya sehingga di kemampuan di dalam dirinya terpendam dan malahan mati, akan mengalami kesulitan untuk bertumbuh menjadi diri yang sejati. Dia akan bertindak sesuai dengan pola “ayah atau ibu” (yang dominan). Jika hal ini tidak disadari, betapa malanglah hidupnya! Dengan kesadaran demikian, mungkin kita akan lebih mudah untuk “meneliti dan melihat diri secara objektif”. Kita dapat bersyukur atas semua kelebihan yang kita miliki dan berterima kasih atas semua kekurangan atau kerapuhan yang ada (melekat) di dalam diri kita. Ini adalah titik di mana kita “dapat menjadi” pribadi yang seimbang. Tokoh: Bunda Maria Kini, marilah kita mencoba becermin pada toko istimewa kita, Bunda Maria. Apa yang Bunda Maria alami dalam masa pengembangan dirinya? Injil Lukas menampilkan sisi kepribadiannya bagi kita. Ketika menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel, Bunda Maria dengan sadar dan realistis melihat kenyataan dirinya sendiri. Berita mengenai panggilan untuk menjadi Ibu Allah Putra ditanggapinya dengan hati-hati bahkan heran. Kepada malaikat, dia menyatakan, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luk 1: 34)
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
30
Kendati demikian, Bunda Maria tidak hanya berpegang kesadaran mengenai keadaan atau status dirinya. Sebagai pribadi beriman, dia percaya akan rencana Allah atas hidupnya. Maka, ketika Malaikat Gabriel menyatakan bahwa Roh Kudus akan menaungi dia dan bahwa kemahakuasaan Allah tidak seluruhnya dapat dipahami oleh manusia, Bunda Maria dengan rendah menyatakan jawabannya. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1: 38a). Persetujuannya itu kemudian ditegaskan lagi dalam “Madah Pujiannya” yang mengungkapkan kekagumannya atas rencana dan karya-karya Allah. “Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatanperbuatan besar kepadaku” (Luk 1: 49; 2: 15, baca khususnya Luk 1: 46-55). Selain itu, Bunda Maria juga belajar dari orang-orang lain. Nah, bagaimana orang lain melihat Bunda Maria?
Tuhan Yesus, Putranya, menyatakan, “Ibu-Ku melakukan kehendak Allah” (Lih. Mrk 3: 35; Mat 12: 50) Penginjil Matius menulis, “Yusuf suaminya, … seorang yang tulus hati” (Mat 1: 19) Penginjil Lukas menulis, “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan … “ (Luk 1: 42) Penginjil Lukas menulis, “Ia menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (Luk 1: 19, 51) Penginjil Yohanes menulis bahwa melalui Bunda Maria, Tuhan Yesus melakukan “… yang pertama dari tanda-tandanya” (lih. Yoh 2: 11) Jemaat (Gereja) Perdana mengatakan, “Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama … serta Maria, ibu Yesus” (Kis 1: 14)
Allah pun menyatakan siapakah Maria! “Salam, hai engkau yang dikaruniai”; “Tuhan menyertai engkau!” (Luk 1: 28) “Engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” (Luk 1: 30) “Engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki … Yesus” (Luk 1:31) “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau” (Luk 1: 35) Santo Montfort juga mengemukakan pandangannya mengenai Bunda Maria. Dia mengatakan bahwa “Saya bersaksi dengan para Kudus, bahwa Maria yang dipenuhi Allah adalah taman firdaus Adam Baru. … . Maria adalah dunia agung yang penuh dengan Allah, di mana terdapat berbagai keindahan dan harta yang tak terkatakan. Maria adalah kedermawanan dari Yang Mahatinggi” (BS 6). “Setelah semuanya ini kita harus berseru bersama Rasul Paulus, ATak ada mata yang pernah melihat, tak ada telinga yang pernah mendengar dan tak ada hati manusia yang pernah mengerti@ (1Kor 2:9) apa artinya keelokan, keluhuran dan keunggulan Maria, mukjizat terbesar dalam tata rahmat, alam dan kemuliaan” (BS 12). Lantas, bagaimana pandangan St. Montfort mengenai identitas manusia. Di dalam tulisannya, Cinta dari Kebijaksanaan Abadi (CKA), St. Montfort mengatakan bahwa: “… manusia adalah karya seni-Nya yang ulung dan mengagumkan, … gambar yang hidup dari keindahan dan kesempurnaanNya. … Dia membentuk bagi manusia suatu tubuh yang seluruhnya berupa cahaya dan … . Segala-galanya dalam manusia semula terang tanpa kegelapan, indah tanpa kejelekan, murni tanpa kecemaran, teratur tanpa kekacauan, dan tanpa noda atau ketidaksempurnaan apapun. … . Pendek kata, ia begitu ilahi … » (CKA 35-38). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
31
Namun, di pihak lain dan dengan cara pandang yang lain pula, St. Montfort menyoroti kenyataan kerapuhan manusia dengan bahasa yang amat tajam. Mari kita dengar apa yang dikatakan misionaris pengembara itu di dalam tulisannya, Bakti Sejati kepada Maria (BS): “Dari kodrat, kita ini lebih sombong dari burung merak, lebih berlekat hati kepada dunia dari kodok, lebih garang dari kambing, lebih dengki dari ular, lebih rakus dari babi, lebih marah dari harimau dan lebih lambat dari penyu, lebih lemah dari batang ilalang dan lebih berubah-ubah dari penunjuk arah angin” (BS 79).
03. Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi pribadi dan bersama: a) Apakah saya dapat secara tulus dan jujur menerima diriku dengan segenap hati? b) Jika belum, bagian manakah atau aspek apakah di dalam diriku yang cenderung aku tolak? c) Teladan apakah yang dapat saya petik dari Bunda Maria dalam proses penerimaan diriku secara realistis (apa adaku)?
04. Niat: Saya mendaraskan “Litani Roh Kudus” untuk memperoleh Kebijaksanaan sehingga dapat mengenal dan menerima diriku dengan tulus dan jujur. Setelah itu:
Aku memuji Tuhan atas mujizat hidupku; dan
Aku menyadari dua segi negatif (kelemahan-kelemahan yang dapat diubah) dalam kepribadianku dan memikirkan cara konkret untuk memperbaikinya.
05. Pewartaan Sabda: Lukas 1: 39-45 Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana."
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
32
06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Marilah kita mengucapkan atau menyanyikan “Ave Maris Stella” dan merenungkan misteri Maria. Rangkaian Pertama: Maria, Tabut Perjanjian. “Berangkatlah Maria … langsung berjalan ke pegunungan … ke rumah Zakaria dan memberi salam kepada Elizabet.” Rangkaian Kedua: Maria, Sumber Sukacita. “Ketika mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya… .” Rangkaian Ketiga: Maria, cetak tuang Allah. “… siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Rangkaian Keempat: Maria, cetak tuang para kudus: “Ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.” Rangkaian Kelima: Maria, tokoh iman. “Berbahagialah ia yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya, akan terlaksana.”
07. Doa Penutup: Litani Santa Perawan Maria
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
33
Pertemuan Kedua
SIAPAKAH AKU BERSAMA ORANG LAIN? 01. Doa Pembuka: Datanglah Roh Kudus atau “Allah yang tidak berubah, semoga aku mengenal diriku sendiri!” atau “Tuhan, semoga aku dapat melihat!” (Kedua doa singkat itu diucapkan berulang-ulang.)
02. Pengantar Tema Relasi pribadi kita dengan orang lain sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh gambaran kita mengenai diri sendiri. Apakah relasi kita dengan orang lain itu menjadi positif dan konstruktif atau sebaliknya malah menjadi negatif dan destruktif, titik tolaknya tetap ada pada gambaran diri yang telah terbentuk. Mari kita lihat sebuah berikut ini. Seorang gadis, kita sebut saja namanya, “Sesa” (Serba Salah), ingin mencoba menghayati hidup sebagai biarawati/religius. Dia memasuki sebuah kongregasi. Dia mempunyai banyak bakat. Namun, dalam hidupnya di komunitas itu, tampaknya dia tidak menemukan apa yang dia cari. Bakat-bakatnya pun tak berkembang dengan optimal. Dia begitu sering mengeluh mengenai banyak hal. Di mata dia tidak ada yang positif. Situasi hidup dalam komunitas, relasi pribadinya dengan para pembimbing dan teman-teman sepanggilan dilihat sebagai hal yang negatif. Dia merasa bahwa orang lain selalu menjadi ancaman bagi keberadaan atau hidupnya. Hidup terasa bagaikan sebuah beban yang amat berat untuk dipikul. Hidupnya penuh dengan dukalara dan air mata. Gadis ini rupanya telah jatuh ke dalam negative-self esteem atau kompleks rendah diri yang sangat akut. Di mana sebetulnya akar persoalan yang dialami oleh gadis itu. Jawabannya terletak pada pengalaman luka batin mendalam pada masa kecilnya. Sebagai seorang anak dia telah menerima perlakuan yang sangat tidak adil dari kedua orangtuanya. Dia kerap tidak diberi makan. Kadang-kadang dia diikat seperti anjing. Lain kali dia diberi makan yang berbeda dari saudara-saudarinya yang lain. Jika ada lauk yang enak, dia tidak pernah mendapat bagian. Dia mengalami kekerasan emosional dan psikis pada masa awal kehidupannya. Dia ditolak oleh orangtuanya. Entah apa alasannya?! Memasuki usia sekolah menengah pertama, perlakuan tidak adil masa kecil hingga masa SD sudah berkurang. Namun, gambaran dirinya sebagai orang yang tidak berguna dan ditolak layaknya sampah telah terlanjur tertanam kuat dalam dirinya. Namun, bersamaan dengan itu, muncul juga kesadaran dalam hatinya bahwa dia adalah pribadi yang pantas dihargai. Oleh karena itu, sebagai bentuk perjuangan untuk mendapatkan pengakuan akan “harga dirinya” yang telah hilang di masa silam, kini dia membentuk benteng pertahanan yang kuat. Para pembimbing yang menyampaikan kritikan, nasehat, dan teguran yang agak tegas kepada dia dan teman-temannya dilihat sebagai representasi kedua orangtuanya. Dia tidak bersedia untuk melakukan nasehat para pembimbingnya. Dia terus-menerus melawan dan melawan dengan pelbagai macam cara. Jika ditegur, kadang-kadang dia melawan dengan kata-kata, atau juga dia menangis sejadiKerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
34
jadinya. Dan masih banyak mekanisme pertahanan diri yang dia gunakan menghadapi para pembimbingnya. Ungkapan-ungkapan verbal bernada kebencian menyatakan bahwa perasaan terluka masih terus bersarang di dalam hatinya. Akhirnya, dia meninggalkan tarekat karena merasa hidup di biara bagaikan neraka. Padahal neraka itu persis berada di dalam dirinya, yang kemudian dia proyeksikan kepada orang lain di sekitarnya. Inti persoalannya adalah bahwa penolakan terhadap dirinya menyebabkan dia kehilangan fondasi yang okoh bagi pengembangan atas pelbagi potensi dalam dirinya. Cara pandang negatif-destruktif dalam dirinya begitu kuat berpengaruh terhadap pola relasinya dengan dirinya sendiri dan dengan sesama. Dia tidak merasa aman di dalam dirinya sendiri dan tidak merasa aman dalam berelasi dengan orang lain. Jika demikian, relasi pribadi dengan Allah pun menjadi sangat sulit. Dia tidak akan dapat memahami dan mengalami Allah sebagai Bapa yang penuh kasih dan maharahim, atau Allah itu mahabaik karena dia jarang menerima kebaikan dan pengampunan dari sesama, terutama dari kedua orangtuanya. Konsep demikian akan sulit dia terima selama pengalaman luka itu tidak diolah secara intensif hingga dia mengalami perdamaian dengan diri sendiri dan dengan orang-orang yang menjadi penyebab luka batinnya itu. Nah, kini kita berpaling kepada Bunda Maria. Bagaimana Kitab Suci berbicara mengenai relasi Bunda Maria dengan sesamanya? Bunda Maria mengenal dan mengalami relasi dengan orang-orang di sekitar dirinya?
Bunda Maria mengenal Bapa Yosef sebagai pribadi “yang tulus hati” (Mat 1: 19), peka terhadap kebutuhan keluarga (Mat 2: 20), yang hadir dan mendampingi dia pada saat-saat sulit (Luk 2: 48). Bapa Yosef membangkitkan di dalam diri Bunda Maria “kepekaan akan kebutuhan orang lain” (Yoh 2: 3). Bunda Maria terkesan atas (dan menghargai) keputusan Yesus, Putranya, untuk mengabdi kepada Allah saja: “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk 2: 49). Tuhan Yesus membangkitkan di dalam diri Bunda Maria “dorongan yang kuat untuk menjadi murid-Nya” (Mrk 3: 33i) serta panggilan untuk berpartisipasi di dalam karya keselamatan-Nya (Yoh 2: 4). Bunda Maria terkesan oleh kegembiraan dan keterbukaan Elisabet bagi Roh Kudus (Luk 1: 41). Melalui Elisabet, Bunda Maria menemukan “dorongan kuat untuk memuji Tuhan” (Kidung Maria, Luk 1: 46-55). Bunda Maria mengagumi kepolosan antusiasme para Gembala dan keterbukaan mereka terhadap Kabar Gembira (Luk 2: 8-20). Para gembala membangkitkan di dalam diri Bunda Maria sikap “merenungkan” jalan Allah yang mengherankan/mengagumkan, dan “menyimpan semuanya di dalam hati” (Luk 2: 19-51). Bunda Maria mengagumi kemampuan Simeon dalam membaca tanda-tanda zaman, untuk melepaskan yang lama dengan rela dan menyambut yang baru dengan antusias (Luk 2: 27-32). Simeon membangkitkan di dalam diri Bunda Maria kemampuan “untuk berdiri dekat salib Yesus” untuk melepaskan Dia demi kepentingan umat manusia (Yoh 19: 25). Bunda Maria juga terkesan oleh cinta kasih mesra Yohanes Rasul dan pengarang Injil terhadap dirinya dan Tuhan Yesus (Yoh 19: 26i). Yohanes membangkitkan di dalam diri Bunda Maria “perutusan untuk membentuk murid-murid sejati Tuhan Yesus”. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
35
Kemudian, bagaimana Santo Montfort memandang relasi antara Allah dan Bunda Maria serta umat beriman (manusia) dengan Bunda Maria? Mari kita perhatikan apa yang dikemukakan St. Montfort di dalam tulisannya, Bakti Sejati kepada Maria (BS). Menurut St. Montfort, relasi yang terjalin antara Allah dengan Bunda Maria membuat “Allah Putra telah turun ke dalam rahim Maria yang murni sebagai Adam baru ke dalam taman firdaus-
Nya: Ia mau menemukan kesenangan-Nya di sana dan di dalam ketersembunyian Ia melakukan mukjizat-mukjizat rahmat. Allah yang telah menjadi manusia ini menemukan di sana kebebasan-Nya dalam keadaan terkurung di dalam rahim Maria, dan Dia telah mengembangkan kekuatan-Nya dalam kemuliaan yang penuh dengan membiarkan diri dikandung oleh gadis itu. Ia menemukan kemuliaan bagi Diri-Nya dan bagi Bapa-Nya dengan menyembunyikan kesemarakan-Nya terhadap segala makhluk di dunia ini, kecuali hanya membukanya kepada Maria. Ia meluhurkan kedaulatan dan keagungan-Nya dengan bergantung pada Perawan yang jelita itu pada saat Ia dikandung, dilahirkan dan dipersembahkan di Bait Allah, selama tiga puluh tahun hidup-Nya yang tersembunyi dan sampai kematian-Nya pada saat mana Maria dengan setia mendampingi-Nya. Dengan cara itu Tuhan mau membawa kurban yang satu dan sama bersama Maria. Dia mau dikurbankan melalui persetujuan Maria dengan Bapa yang kekal, seperti dulu Ishak dikurbankan karena persetujuan Abraham dengan kehendak Allah. Memang Maria yang menyusui-Nya, memberi-Nya makan, merawat, membesarkan dan mengurbankan-Nya untuk kita” (BS 18).
Berkenaan dengan relasi antara umat beriman (manusia) dengan Bunda Maria, St. Montfort menyatakan bahwa relasi itu membangkitkan di dalam diri kita “… panggilan untuk mengenakan keserupaan dengan Yesus”. Mengapa? St. Montfort memberi jawaban dengan menyatakan bahwa: “Maria adalah Maria adalah 'cetakan Allah', yang diciptakan oleh Roh Kudus untuk memberi bentuk alamiah kepada Sang Manusia Ilahi lewat persatuan hipostatik dan memberi bentuk ilahi kepada manusia lewat rahmat. Cetakan ini tidak mempunyai kekurangan apapun dari segi ilahi. Barangsiapa dituangkan ke dalamnya dan mau dibentuk akan menerima ciri-ciri khas Yesus Kristus, sungguh Allah. Semuanya itu berjalan dengan lembut dan memperhitungkan kelemahan manusia tanpa banyak kesusahan dan usaha. Lagi pula, ini adalah cara yang aman, tanpa risiko menyimpang, karena setan tak pernah dan tak akan pernah menyentuh Maria. Maria adalah suci dan tak bernoda, tanpa cela dosa sedikitpun” (RM 17).
03. Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi pribadi dan bersama: Setelah saya berefleksi mengenai relasi-relasiku dan becermin pada Bunda Maria: a) Kemampuan apa saja di dalam diriku yang perlu diperkuat dalam relasiku dengan orang lain? b) Apakah ada segi-segi tertentu dalam diriku yang perlu diperhatikan dan diolah secara khusus lebih lanjut?
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
36
c) Bagaimana Bunda Maria memberi inspirasi kepada saya untuk terus bertumbuh menuju kepada “keserupaan dengan Putranya, Tuhan kita Yesus Kristus”? 04. Niat: Saya mendoakan Litani Roh Kudus supaya memperoleh kebijaksanaan dalam mengenal jati diriku dengan sungguh-sungguh. Kemudian: Saya memuji Allah atas karunia-karunia yang Dia anugerahkan kepada orang-orang lain dan
atas semua yang pernah saya pelajari dari mereka dan masih terus belajar mengenal diriku melalui mereka. Saya memilih salah satu sifat Bunda Maria yang dikembangkan dalam dirinya melalui orang-
orang lain. Saya memikirkan cara konkret untuk memberi tempat kepada sifat itu dalam hidupku (misalnya, kepekaan atas kebutuhan orang lain, kesederhanaan dan kerendahan hati).
05. Pewartaan Sabda: Amsal 31: 10. 25-31. Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata. … . Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan, ia tertawa tentang hari depan. Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya. Ia mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya. Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia: Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua. Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji. Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang!
06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Marilah kita mendaraskan atau menyanyikan “Ave Maris Stella” dan merenungkan keistimewaan Bunda Maria dalam relasi dengan Allah dan dengan umat beriman. Rangkaian pertama: Penjelmaan. “Hanya Maria mendapat kemurahan di mata Allah …” (BS 16). Rangkaian kedua: Kunjungan kepada Elisabet. “Yesus Kristus mau mulai mujizat-mujizat-Nya melalui Maria” (BS 19). Rangkaian ketiga: Kelahiran di Betlehem. “Dengan wanita ini, di dalam dia, dan dari dia, Roh Kudus telah menghasilkan karya seni-Nya” (BS 20). Rangkaian keempat: Yesus dipersembahkan. “Memang Maria yang menyusui-Nya, memberi Dia makan, merawat, memberaskan dan mengurbankan Dia untuk kita” (BS 18). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
37
Rangkaian kelima: Kerajaan Yesus dan Maria. “Kerajaan Yesus ada terutama di dalam hati, artinya di dalam batin manusia … . Demikian pula Kerajaan Perawan tersuci ada di dalam hati manusia” (BS 38).
07. Doa Penutup: Litani Santa Perawan Maria.
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
38
Pertemuan Ketiga
SIAPAKAH AKU INI DI DALAM PERBUATAN-PERBUATANKU? 01. Doa Pembuka: Datanglah Roh Kudus atau “Allah yang tidak berubah, semoga aku mengenal diriku sendiri!” atau “Tuhan, semoga aku dapat melihat!” (Sebaiknya kedua doa singkat terakhir itu diucapkan berulang-ulang dengan kerinduan besar.)
02. Pengantar Tema Diri kita terungkap di dalam aneka tindakan dan perilaku hidup kita. Kebersatuan keduanya adalah hal yang sangat umum dalam konteks pertumbuhan wajar kehidupan kita sebagai manusia. Antara kehidupan dan tindakan atau pola perilaku kita tak terpisahkan. Oleh karena itu, sangatlah tidak masuk akal jika seorang yang sehat mental mengatakan bahwa dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Jika terjadi demikian, mesti ada sesuatu yang tidak beres di dalam diri orang itu. Orang akan dengan mudah mengatakan bahwa orang demikian adalah pribadi yang mengalami keretakan diri. Tindakannya hanya didorong oleh “naluri” yang layak dilaksanakan oleh hewan. Kita pasti ingat apa yang pernah dikatakan oleh Tuhan Yesus kepada para murid-Nya, “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Mat 7: 16). Yang dimaksudkan Yesus adalah soal sikap batin orang yang meluap di dalam tindakan nyata. Di dalam dan melalui aneka tindakan konkret, entah sadar atau tidak sadar, setiap orang menyatakan jatidirinya. Kedirian kita yang sesungguhnya bukan terletak pada apa yang kita katakan melainkan terutama pada cara kita berpikir, bersikap, bertindak. Beberapa waktu silam, sebuah majalah nasional mewartakan kesulitan aparat kemanan dan hukum dalam menggali bukti-bukti legal berkaitan dengan dua kasus besar di lembaga perpajakan dan keuangan. Dikatakan bahwa orang-orang yang terlibat di dalam persoalan itu telah dipanggil dan diperiksa. Namun, yang menarik adalah bahwa mereka begitu kerap menyatakan bahwa mereka tidak ingat lagi apa yang telah terjadi. Singkatnya, mereka menderita sakit lupa ingatan (amnesia). Terlepas dari apakah kesehatan ingatan para tersangka itu kelak dapat pulih kembali atau tidak, kita coba melihat masalah itu sebagai sebuah contoh. Di bagian awal kita sudah menyatakan bahwa dari hasil tindakan-tindakan kitalah, orang dapat mengenal jatidiri kita. Nah, jika demikian, melalui perbuatan-perbuatan para tersangka itu tadi, kita dapat mengenal jatidiri mereka. Siapakah mereka sesungguhnya? Mungkin ada yang akan mengatakan bahwa orang-orang seperti itu adalah pribadi yang tidak bertanggung jawab, termasuk dalam soal yang amat penting. Mungkin yang lain akan memberi komentar bahwa para “pasien amnesia” dadakan itu adalah pembohong, yang berlindung di balik pernyataan, “Tidak tahu! Tidak ingat!” Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
39
Nah, berkenaan dengan diri kita sendiri, bagaimana kita menyatakan kesejatian diri kita dalam dan melalui pelbagai tindakan kita? Kesejatian di sini mesti kita tempatkan dalam cara pandang yang seimbang. Artinya, kita mau melihat atau menilai diri kita secara utuh. Kita menyadari kelebihankelebihan yang kita miliki dan kekurangan-kekurangan atau keterbatasan yang melekat dalam diri kita. Di satu pihak kelebihan, kekuatan atau talenta dapat membantu kita untuk bertumbuh lebih maksimal. Di pihak lain, ada bagian-bagian di dalam diri kita yang justru mungkin menjadi penghambat bagi perkembangan semua talenta yang dimiliki, jika kelemahan-kelemahan seperti itu tidak disadari dan tidak diakui serta diterima dengan tulus hati dan kemudian berusaha untuk mengolahnya. Seperti yang telah kita bahas di dalam pertemuan sebelumnya, pengenalan seluruh diri atau pengenalan diri secara utuh akan membantu kita untuk bertumbuh semaksimal mungkin. Pada tahap yang paling sederhana adalah kita sungguh menyadari dua sisi kehidupan kita yang menyatu dan saling terkait, yakni kekuatan dan kelemahan kita. Kesadaran semacam inilah yang membuat kita dapat terus-menerus maju menuju ke kepenuhan hidup atau keutuhan diri. Kini, kita coba melihat apa yang dikemukakan Kitab Suci mengenai tokoh Bunda Maria. Melalui sejumlah perbuatan (tindakan) dan pengalaman penting kehidupannya, Bunda Maria perlahan-lahan menemukan jatidirinya.
“… Anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus” (Mt 1: 20). Melalui pengalaman kehamilannya, Bunda Maria menemukan bahwa dirinya “karuniai” (penuh rahmat) dan ia menjadi “subur” kendatipun tetap perawan (Luk 1: 27-28). “Berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda” (Luk 1: 39). Melalui peristiwa kunjungannya kepada Elisabet, saudarinya, Bunda Maria menemukan bahwa ia menjadi “sumber kegembiraan” dan “sarana pengudusan”. “Dibaringkan-Nya di dalam palungan …” (Luk 2: 7). Cara Bunda Maria terlibat di dalam peristiwa kelahiran Tuhan Yesus memampukan dia menghargai Sabda Bahagia mengenai “orang miskin di hadapan Allah”. “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2: 19). Melalui tindakan “merenungkan” aneka pengalaman hidupnya, Bunda Maria menemukan dirinya sebagai “wanita bijaksana dan tokoh doa”. “Mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan” (Luk 2: 22). Dengan mempersembahkan Putranya, Bunda Maria menemukan dirinya sikap “dermawan dan ketaatan” kepada kehendak Allah. “Ada pesta perkawinan di Kana yang di Galilea dan ibu Yesus ada di situ” (Yoh 2: 1). Campur tangan Bunda Maria menunjukkan “kepekaan dirinya akan kebutuhan orang lain” dan “panggilannya untuk menjadi murid Yesus”.
Bagaimana pandangan dan ajaran St. Montfort mengenai tema yang sama? Di dalam Bakti Sejati kepada Maria (BS), St. Montfort mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan kita itu tidak sempurna alias mengandung begitu banyak cacat-cela. Selengkapnya dia mengatakan sebagai berikut: “Biasanya Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
40
perbuatan-perbuatan kita yang baik dinodai dan dibusukkan oleh dasar yang jahat di dalam diri kita sendiri. Tuangkan saja air yang bersih dan bening ke dalam bejana yang berbau busuk, atau anggur ke dalam tong yang telah diasamkan oleh anggur lain; air yang bening dan anggur yang baik itu akan menjadi buruk dan mudah terjangkit bau yang busuk. Demikianlah juga apabila Allah menuangkan embun surgawi rahmat-Nya atau anggur enak cinta kasih-Nya ke dalam bejana jiwa kita, yang telah menjadi asam oleh dosa asal dan dosa pribadi, kurnia-kurnia-Nya akan menjadi busuk dan tercemar oleh ragi yang buruk, yaitu dasar yang jahat yang telah ditinggalkan oleh dosa di dalam diri kita. Pekerjaan-pekerjaan kita terjangkit baunya, biarpun pekerjaan-pekerjaan itu berasal dari keutamaan yang paling luhur” (BS 78). Namun, yang menarik dan penting adalah bahwa St. Montfort tidak sekadar mengungkapkan dan menunjukkan realitas kehidupan kita yang rapuh, melainkan juga menunjukkan cara untuk “menyempurnakan” semua perbuatan atau tindakan kita, yakni dengan: “Membaktikan diri dengan cara ini kepada Yesus melalui Maria berarti menaruh segala amal bakti kita ke dalam tangan Maria. … . Maka marilah kita mohon kepada Bunda dan Ratu kita yang baik, agar setelah menerima pemberian kita yang tidak berarti, ia berkenan memurnikannya, menguduskannya, dan memperindahnya sedemikian rupa, sehingga menjadi layak bagi Allah” (RM 37). Bunda Maria melakukan hal ini untuk kita karena kasihnya yang besar kepada kita dan kepada Allah serta demi kemuliaan Allah semata. Karena itu, ketika berbicara mengenai manfaat yang akan dirasakan oleh orang yang dengan setia menghayati “pembaktian seluruh diri kepada Kristus melalui Bunda Maria” (lihat: BS Bab VII), St. Montfort mengatakan bahwa “Dalam cintanya yang besar Perawan suci bersedia menerima perbuatan-perbuatan kita yang diserahkan ke dalam tangannya yang perawan. Ia menambahkan keindahan dan semarak yang mengagumkan kepadanya. Selanjutnya, tanpa kesulitan, dia mempersembahkannya kepada Yesus Kristus sehingga dengan begitu Tuhan menerima lebih banyak hormat daripada kalau kita sendiri yang mempersembahkannya dengan tangan kita yang penuh dosa” (BS 224). Untuk lebih memahami pendapat tersebut, marilah kita memperhatikan ilustrasi yang disampaikan oleh St. Montfort berikut ini:
“Bayangkan bahwa seorang petani, yang ingin meraih persahabatan dan kerelaan raja, mendekati ratu dan menawarkan seluruh hasil garapannya, sebuah apel, agar mau memberikannya kepada raja. Ratu menerima pemberian yang tak berharga itu, meletakkan apel itu di dalam sebuah pinggan emas yang indah dan besar, lalu memberikannya kepada raja atas nama petani itu. Maka apel itu, yang pada hakekatnya tidak berarti apa-apa, menjadi suatu hadiah yang pantas bagi sri baginda, karena dia terkesan oleh pinggan emas tempat apel diletakkan dan pribadi yang menyampaikannya” (BS 147).
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
41
03. Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi pribadi dan bersama: a) Kelebihan-kelebihan apakah di dalam diriku yang perlu lebih ditegaskan melalui perbuatanperbuatanku? b) Sisi kelemahan manakah yang perlu saya perhatikan dan membutuhkan pertobatan pribadi terus-menerus? c) Inspirasi apakah yang saya timba dari St. Montfort dalam mengembangkan diri saya agar semakin serupa dengan Kristus?
04. Niat: Saya mendaraskan doa Litani Roh Kudus agar memperoleh untuk mengenal diriku sesungguhnya. Kemudian: Saya mengucap syukur kepada Allah karena saya mengalami begitu banyak kegiatan dalam
hidup yang membuat saya bertumbuh dan berkembang. Saya memilih salah satu sifat Bunda Maria, yang tampak di dalam perbuatan-perbuatannya,
dan saya memikirkan cara konkret untuk mengintegrasikan sifat itu di dalam hidupku sendiri.
05. Pewartaan Sabda: Yohanes 2: 1-5 Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; Yesus dan murid-murid-Nya diundang juga ke perkawinan itu. Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya: "Mereka kehabisan anggur." Kata Yesus kepadanya: "Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba." Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!"
06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Marilah kita mendaraskan atau menyanyikan “Ave Maris Stella” dan bersama St. Montfort kita merenungkan pengaruh atau kegiatan Bunda Maria di dalam hati manusia. Rangkaian pertama: Bunda Rahmat. “Maria diberi nama „Bunda rahmat‟, Mater gratiae, karena dialah yang melahirkan dan menghidupkan Pencipta segala rahmat” (RM 8).
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
42
Rangkaian kedua: Bendahara segala rahmat. “Allah telah memilih dia sebagai bendahara, pengurus dan penyalur segala rahmat-Nya sehingga segala rahmat dan anugerah-Nya melewati tangannya” (RM 10). Rangkaian ketiga: Ibu anak-anak Allah. “Seperti di dalam tata kodrati setiap anak memiliki seorang bapak dan ibu, demikian juga di dalam tata rahmat seorang anak sejati dari Gereja mempunyai Allah sebagai Bapak dan Maria sebagai Ibu” (RM 11). Rangkaian keempat: Maria membentuk anggota-anggota Yesus. “Oleh karena Maria telah membentuk Kepala kaum pilihan, Yesus Kristus, ia juga harus membentuk para anggota Kepala itu, yaitu kaum Kristen sejati” (RM 12). Rangkaian kelima: Maria memberi rahmat untuk memikul salib-salib. “Salib-salib yang Maria berikan kepada mereka yang mempercayakan diri kepadanya dirasakan lebih banyak manisnya daripada pahitnya, menjadi semacam salib yang dilapisi gula” (RM 22).
07. Doa penutup: Litani Santa Perawan Maria.
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
43
Pertemuan Keempat
SIAPAKAH AKU INI DI DALAM COBAAN-COBAANKU? 01. Doa Pembuka: Datanglah Roh Kudus atau “Allah yang tidak berubah, semoga aku mengenal diriku sendiri!” atau “Tuhan, semoga aku dapat melihat!” (Kedua doa singkat terakhir itu diucapkan berulangulang dengan kerinduan besar.)
02. Pengantar Tema “Tiada gading yang tak retak. Tiada manusia yang sempurna!” Demikian bunyi peribahasa lama. Memang tak ada seorang manusia pun di dunia ini yang sempurna. Yang adalah manusia-manusia atau pribadi-pribadi yang berjuang menuju kepada kesempurnaan. Oleh karena ketidaksempurnaan itu, kita kerap jatuh ke dalam pencobaan, tantangan, dan kesulita. Hidup tidak pernah selalu mulus. Maka, benarlah apa yang dikatakan sebuah peribahasa lainnya, “Vita est militia!” Hidup ini adalah “medan” perjuangan. Berkenaan dengan itu, saya lalu teringat akan kisah seorang gadis yang saya kenal hanya lewat surat beberapa tahun silam. Gadis ini menderita gagal ginjal. Bertahun-tahun dia berjuang untuk menerima penderitaannya itu. Ketika dia merasakan penderitaannya bertambah berat karena frekuensi cucidarah semakin tinggi, 2-4 kali sepekan, dia menulis sepucuk surat kepadaku. Di dalam surat itu dia juga menyertakan sebuah puisi dengan judul “Vita est militia!” Hidup adalah perjuangan. Dia mengungkapkan bahwa semua penyakit, apapun bentuknya tidak pernah dapat menghapus harapannya akan kasih dan kebaikan Allah. Dia yakin sepenuhnya bahwa Allah adalah Bapa yang Mahabaik yang hanya menghendaki kebaikan dan kebahagiaan manusia, termasuk dirinya. Mengapa gadis itu mampu bertahan dalam menghadapi tantangan dalam bentuk penderitaan fisiknya? Jawabannya tidak lain adalah imannya yang kokoh akan kasih dan kebaikan Allah. Dia melihat segala yang diciptakan Tuhan adalah indah dan agung sekaligus mengungkapkan keindahan dan keagungan Sang Pencipta sendiri. Saya yakin sekali bahwa pada suatu saat di dalam kehidupan ini, kita pun pernah mengalami pencobaan yang berat, yang tidak dengan serta-merta kita terima dan kita peluk. Menghadapi pencobaan hidup, kita akan mengalami kebingungan, mungkin juga menjadi linglung … apa yang mesti saya buat? Atau yang lebih repot lagi kita akan mempertanyakan keadilan Allah? Kita mungkin juga menuduh dan mengutuk Allah. Apalagi kita termasuk orang yang setia dalam menghayati iman kita dalam hidup sehari-hari.
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
44
Nah, justru di sinilah kita menemukan jejak kerapuhan yang menyadarkan kita ternyata masih ada begitu banyak segi dalam kehidupan kita yang mesti diolah dan dimatangkan. Itulah proses yang membantu kita untuk bertumbuh dalam kemanusiaan kita juga dalam dimensi transendental kehidupan kita. Melalui pengalaman sukar atau aneka pencobaan hidup, kita belajar untuk semakin mengenal dan menerima diri kita secara utuh. Berkenaan dengan hal tersebut, kita dapat memandang model-model pribadi beriman yang bertumbuh mencapai kematangan melalui pengalaman “malam gelap” kehidupan mereka sendiri. Kita melihat di sini ada dua tokoh penting: Bunda Maria dan Bapa Yosef.
Penginjil Matius melukiskan, “Pada waktu Maria, ibu Yesus, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri” (Mat 1: 18). Sebagai manusia, bagi Bapa Yusuf, pengalaman itu sangat mengejutkan dan menyakitkan. Namun, penginjil masih mengatakan lebih lanjut bahwa “Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati, dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di depan umum …” (Mat 1: 19). Di dalam pengalaman itu, Bapa Yusuf menyadari dia adalah pribadi yang tulus hati.
“Tampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata, „Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesri dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Mat 2: 13). Ini adalah tantangan lain yang dialami oleh Bapa Yusuf. Namun, justru di dalam kesulitan itu, dia belajar untuk “mencari dan melaksanakan kehendak Allah” yang nyata di dalam dan lewat suara hati dan mimpinya. “Maria melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2: 7). Di situ Bunda Maria dan Bapa Yusuf menghadapi kenyataan kemiskinan dengan “sikap iman yang mendalam dan penyerahan diri” kepada rencana Penyelenggaraan Ilahi. “Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: „Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan -- dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri -- …‟” (Luk 2: 34i). Melalui nubuat itu, secara mendalam Bunda Maria menemukan dirinya “diikutsertakan” di dalam karya keselamatan Putranya.
“Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya sendiri …” (Yoh 19: 25). Dengan berdiri di dekat salib Putranya, Bunda Maria menyatakan: sikap pribadi yang “sungguh percaya” dan tahu bahwa janji-janji Tuhan akan terlaksana (Luk 1: 45).
Kini, apa yang dikatakan St. Montfort? Di dalam Suratnya kepada para Sahabat Salib, St. Montfort menulis, “… Jika kamu menderita dengan cara yang tepat, salib itu akan menjadi kuk yang sangat lembut, karena Kristus sendiri akan memanggulnya bersamamu. Salib itu akan menjadi dua sayap Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
45
bagi jiwamu yang terangkat ke surga; Ia akan menjadi tiang kapal yang akan membawa kamu dengan lancer dan mudah ke pelabuhan keselamatan. Pikullah salibmu dengan tabah dan oleh salib itu yang dipikul dengan baik kamu akan diterangi bila mengalami kegelapan rohani, sebab barangsiapa tidak menderita apa-apa oleh percobaan, tidak tahu apa-apa (lih. Sir 34: 9). Pikullah salibmu dengan gembira dan kamu akan dinyalakan oleh cinta ilahi; sebab hanya lewat penderitaan orang dapat hidup dalam kasih murni Kristus” (Surat Edaran kepada Sahabat-sahabat Salib, 34; lih. CKA 176). St. Montfort menasehati kita untuk memikul salib-salib kehidupan kita dengan tabah dan gembira, dengan dua alasan, yakni pertama, karena kita akan menerima inspirasi ketika mengalami kegelapan rohani; kedua, agar kita dapat hidup dalam kasih murni Kristus”. Singkatnya, Kristus-lah satusatunya sumber kekuatan yang memampukan kita untuk memanggul salib “pencobaan” hidup kita hari demi hari. Nasehat dan peneguhan ini sejalan dengan ajaran Tuhan Yesus sendiri mengenai “syarat-syarat” kemuridan yang Dia ajukan, yakni bahwa “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mrk 8: 34). Dengan perkataan lain, memanggul salib adalah sebuah keharusan mutlak bagi setiap pengikut Kristus. Di dalam Bakti Sejati kepada Maria (BS), St. Montfort menyatakan bahwa “… kita harus berjuang keras mengatasi banyak kesulitan besar, tetapi Bunda dan Ratu yang baik itu mendekatkan diri kepada para pelayannya yang setia. Dia akan menerangi mereka di saat-saat yang gelap, memberi kejernihan dalam kebimbangan, menyemangati dalam ketakutan, mendukung dalam perjuangan dan kesulitan” (BS 152). Selain itu, dia menegaskan juga bahwa “Bunda yang baik ini, yang seutuhnya dipenuhi dengan rahmat dan pengurapan Roh Kudus, memaniskan semua salib yang diberikan kepada mereka dalam air gula kelembutan keibuannya dan dalam pengurapan cinta kasih yang murni” (BS 154). Dengan pernyataan tersebut, St. Montfort hendak menyampaikan pesan bahwa kendati kita mesti melewati jalan salib dalam mengikuti Kristus, kita tidak perlu takut karena kita tidak sendirian. Tuhan yang telah terlebih dahulu memanggul salib-Nya demi keselamatan dan kebahagiaan abadi kita akan menyertai dan meneguhkan kita. Di jalan salib itu, kita juga menemukan Bunda Maria yang tidak hanya “menemani” Putranya menuju ke kalvari tetapi juga memikul salib bersama dengan Putranya. Oleh karena itu, Bunda Maria tahu apa yang mesti dilakukan untuk membantu kita memanggul salib kehidupan kita masing-masing. 03. Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi pribadi dan bersama: Setelah berefleksi mengenai saat-saat pencobaan yang kualami dan setelah becermin pada pengalaman Bunda Maria dan Bapa Yusuf, aku mencoba untuk menemukan: a) Sumber-sumber batin apakah yang perlu dikuatkan di dalam diriku pada saat-saat menghadapi pencobaan? b) Apakah reaksi-reaksi saya mungkin kurang tepat sehingga saya perlu mewaspadai dan mengoreksinya? c) Bagaimana ajaran St. Montfort bergema di dalam hatiku? Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
46
04. Niat: “Orang yang tidak berpengalaman, hanya mengetahui sedikit” (Sir 34: 10). Saya mendoakan Litani Roh Kudus agar memperoleh kebijaksanaan untuk mengenal diriku sesungguhnya melalui cobaancobaan. Kemudian: Saya mengucap syukur kepada Allah atas tanda-tanda yang diberikan kepada saya melalui
segala cobaan bahwa saya sedang bertumbuh dalam kebijaksanaan. Saya memilih salah satu sikap batin Bunda Maria dan Bapa Yusuf yang menjadi kentara di
dalam hidup mereka melalui cobaan-cobaan yang mereka alami, dan saya memikirkan cara konkret untuk mengintegrasikannya di dalam hidupku.
05. Pewartaan Sabda: 2Korintus 12: 7-10 Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. 06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Marilah kita mendaraskan atau menyanyikan “Ave Maris Stella” kemudian dalam persatuan dengan Maria kita merenungkan cobaan-cobaan yang dialami Tuhan Yesus. Rangkaian pertama: Yesus dicobai. “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar” (Luk 4: 1-2). Rangkaian kedua: Yesus ditolak. “Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi” (Luk 4: 28-30). Rangkaian ketiga: Yesus dikhianati. “Tetapi, lihat, tangan orang yang menyerahkan Aku, ada bersama dengan Aku di meja ini. Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!" (Luk 22: 21-22) Rangkaian keempat: Yesus diolok-olok. “Lalu Yesus ditangkap dan dibawa dari tempat itu. Ia digiring ke rumah Imam Besar. Dan Petrus mengikut dari jauh. … Dan orang-orang yang menahan Yesus, mengolok-olokkan Dia dan memukuli-Nya. Mereka menutupi muka-Nya dan bertanya: "Cobalah Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
47
katakan siapakah yang memukul Engkau?" Dan banyak lagi hujat yang diucapkan mereka kepadaNya” (Luk 22: 54.63-65). Rangkaian kelima: Yesus disalibkan. “Ketika mereka sampai di tempat yang bernama Tengkorak, mereka menyalibkan Yesus di situ dan juga kedua orang penjahat itu, yang seorang di sebelah kananNya dan yang lain di sebelah kiri-Nya. Yesus berkata: „Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.‟ Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya” Luk 23: 33-34). 07. Doa Penutup: Litani Santa Perawan Maria
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
48