Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI Jakarta, 15-16 Juni 2010
PENGEMBANGAN TEKNIK DETEKSI SUMBATAN SALURAN KELENJAR LIMFE DENGAN LIMFOSKINTIGRAFI TAHAP I Fadil N1, Maria E1, Eko P2, Edi2, dan Akmarijah2 1
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi - BATAN 2 Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto - Jakarta
ABSTRAK PENGEMBANGAN TEKNIK DETEKSI SUMBATAN SALURAN KELENJAR LIMFE DENGAN LIMFOSKINTIGRAFI TAHAP I. Penyakit Filariasis sudah diketahui sejak lama yaitu pada tahun 1866 oleh dokter berkebangsaan Jerman Otto Wuchererdan yang mendapati microfilaria dari pasien dengan haematuri dan chyluria di kota Bahia, Brazil. Di Indonesia terdapat daerah endemik antara lain Jakarta 623% untuk W. Bancrofti sedangkan untuk B Malayi terdapat beberapa daerah endemik. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama dibidang kedokteran khususnya di bidang kedokteran nuklir lokasi sumbatan saluran kelenjar limfe dapat di deteksi menggunakan teknik diagnostik limfoskintigrafi menggunakan kit Sulfur kolloid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh peranan limfoskintigrafi menggunakan sulfur kolloid yang dapat dimanfaatkan untuk membantu diagnostik terhadap sumbatan saluran kelenjar limfe. Metoda yang digunakan adalah penapisan pasien sebanyak 7orang, pemeriksaan laboratorium darah dan urin, pemeriksaan limfoskintigrafi untuk deteksi sumbatan saluran kelenjar limfe dengan sulfur colloid menggunakan kamera gamma. Hasil yang diperoleh adalah 7pasien bukan pengindap filariasis, tetapi terdapat sumbatan dan edeme tungkai bawah dengan berbagai sebab, tiga diantara pasien tidak berhasil pada penyuntikan (radioisotope terperangkap pada daerah injeksi/tidak masuk kedalam saluran kelenjar limfe). Metode yang selama ini digunakan untuk pemeriksaan sumbatan saluran kelenjar limfe adalah statik 2 jam pasca injeksi radiofarmaka, namun setelah penelitian ini berubah menjadi teknik secara dinamik dengan berbagai kekuntungan yang diperoleh, dan metode yang diperoleh ini akan dibakukan untuk prosedur rutin, khususnya di RS yang mempunyai fasilitas kedokteran nuklir. Kesimpulan walaupun jumlah pasien tidak sesuai baik dari jumlah dan kasus yang diharapkan namun metode yang diharapkan sudah dapat di aplikasi dan sesuai dengan keluaran yang diperlukan sesuai dengan matrik sasaran yang direncanakan. Kata Kunci
: Penyakit filariasis, saluran kelenjar limfe, sulfur kolloid, limfoskintigrafi.
ABSTRACT DEVELOPMENT OF DETECTION TECHNIQUE IN LYMPHATIC DUCT OBSTRUCTION WITH LYMPHOSCINTIGRAPHY PHASE I. Filariasis Disease have known for along ago, in the year 1866 by Otto Wuchererdan from Germany who was discovering microfilaria of patient with haematuri and chyluria in Bahia, Brazil. In Indonesia there are endemic area for example Jakarta 6- 23% cause by W. Bancrofti while for the B. Malayi there are some endemic areas. The science development in medical field especially as nuclear medicine of lymphatic duct obstructed location could be detected with diagnostic technique lymphoscintigraphy with sulfur colloid radiopharmaceutical. The aim of this study is to know characteristic lymphoscintigraphy with sulfur colloid benefit to assisted diagnostic in lymphatic duct obstruction. Method in this study was screening of 7patients, laboratories examination blood and urine sample, and than lymphoscintigraphy scan for detection lymphatic duct obstruction with sulfur colloid by gamma camera. Result to obtained 7 patients non filariasis diseases, but they have swelling in both of legs by many reason, three of them fail at injection and the radiopharmaceutical trapping in site of injection (not enter into lymphatic duct). The method during the time used for the examination lymphatic duct obstruction only static imaging 2 hours post radiopharmaceutical injection, and now we were changed with dynamic methods imaging with many advanced for diagnostic, and this methods will be routine procedure in nuclear medicine department. Conclusion although amount of inappropriate patients either from expected cases, we have founded new methods have earned in application and as according to needed output and planned target metric was done. Keywords: Filariasis diseases, lymphatic duct, sulfur colloid, lymphoscintigraphy.
PTKMR-BATAN, FKM-UI, KEMENKES-RI
143
Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI Jakarta, 15-16 Juni 2010
I. PENDAHULUAN Penyakit Filariasis sudah diketahui sejak lama yaitu pada tahun 1866 oleh dokter berkembangsaan Jerman Otto Wuchererdan yang mendapati microfilaria dari pasien dengan haematuri dan chyluria di kota Bahia, Brazil. Sejak itu dimulai penemuan berbagai macam obat antifilariasis dan juga tindakan bedah telah dilakukan untuk mengurangi penderitaan pasien, namun demikian secara statistik angka morbiditas (kesakitan) tetap tinggi karena berhubungan dengan tingkat sosioekonomi dan kebersihan lingkungan pemukiman yang rendah. Filarisis yang terdapat
pada
manusia
yang
utama
menyebabkan penyakit hanya 6 spesies antara lain yaitu W Bancrofti (90% tersebar di dunia pada manusia) dan B Malayi (10%, dapat hidup pada manusia,
monyet dan
kucing) beberapa kasus ada yang disebabkan oleh B Timori, ketiganya menyerang sistem limfatik
dan
filaria
lainnya
adalah
Onkoserkiasis (onchocerca volvulus), Loiasis (loa- loa) dan Dirofilariasis (mansonella streptocerca). Filaria merupakan cacing yang hidup di berbagai jaringan di tubuh manusia, cacing
ini
tidak
meletakan
telurnya
melainkan secara tetap menghasilkan larva microfilaria, sehingga dapat ditemui pada kulit atau darah. Sering infeksi dari manusia ke manusia melalui insek (arhropoda borne). Cacing filarial dapat berkembang di daerah perkotaan pada air yang kotor (W Bancrofti) juga di pedesaan (B Malayi) di lahan persawahan maupun di rawa-rawa. Kasus
PTKMR-BATAN, FKM-UI, KEMENKES-RI
filariasis
jarang
yang
menyebabkan
kematian,
namun
demikian
kecacatan
anggota badan, terutama, payudara (pada wanita), testis dan skrotum (pada pria) ekstremitas atas maupun bawah dapat terjadi dan akan berakhir menjadi apa yang kita kenal sebagai elefantiasis. Penyebaran kasus filariasis terutama pada daerah khatulistiwa dan kasus terbanyak berada di benua Afrika dan Asia, namun yang terpantau hanya sebagian kecil, kemungkinan adanya rasa malu
pada
penderita
untuk melakukan
pengobatan sehingga penyakit yang diderita selama bertahun-tahun. Di Indonesia terdapat daerah endemik antara lain Jakarta 6-23% untuk W. Bancrofti sedangkan untuk B Malayi terdapat beberapa daerah endemik. Secara epidemiologi vektor Culex Fatigan, Aedes, Anopheles dan Mansonia Uniformis sebagai penyebar W Bancrofti di daerah urban yang hidup di air yang kotor sedangkan untuk B Malayi hidup di daerah rural dengan vector spesies Mansonia dan Anopheles yang hidup di daerah berawarawa dan persawahan. Vektor nyamuk dapat bervariasi seperti Anopheles Farauti, Aedes Kochi
dan
dewasa
lain-lain.
Morfologi
(makrofilaria)
hidup
cacing dalam
pembuluh limfe, kelenjar limfe, jaringan ikat atau rongga badan. Bentuk filiform, panjang 2-70 cm. Cacing betina bersifat ovivar, mengeluarkan embrio yang seringkali masih terbungkus
oleh
dinding
telur
yang
memanjang, embrio ini dikenal sebagai microfilaria yang beredar di dalam darah atau
144
Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI Jakarta, 15-16 Juni 2010
jaringan subkutan, melanjutkan siklus jika
Calcutta India.
dihisap oleh hospes perantara (inssekta)
biasanya
yang
microfilaria dalam darah dan eosinofilia.
akan
tumbuh
menjadi
beberapa
Pada keadaan terakhir ini
tidak
dapat
Diagnosis
bersarung dan ditemukan dalam darah pada
menemukan microfilaria dalam darah, cairan
malam hari (periodisitas nokturna), dan
hidrochele dan urin. Filariasis limfatik yang
tumbuh dalam otot thorak nyamuk menjadi
dikenal sebagai elephantiasis terdapat risiko
bentuk infektif kemudian hidup dalam kepala
pada lebih dari satu milar penduduk pada 80
dan
mudah
negara. Lebih dari 120 juta telah terjangkit,
berpindah ketika sedang menggigit penderita.
dan lebih dari 40 jutanya secara serius dalam
Dalam tubuh nyamuk siklus berlangsung 10-
kondisi yang jelek dan sepertig dari yang
14 hari. Sedangkan microfilaria B Malayi
terinfeksi hidup didaerah India, sepertiga lagi
bersifat periodic nokturna atau subperiodik
di Afrika dan sepertiga sisanyanya didaerah
nokturna, dengan hospes perantara adalah
Asia selatan, pasifik dan Amerika. Dengan
spesies Mansonia dan Anopheles. Secara
perkembangan ilmu pengetahuan terutama di
klinis tidak semua
penderita W Bancrofti
bidang kedokteran khususnya di bidang
menjadi sakit. Mikrofilaria pada umumnya
kedokteran nuklir sumbatan atau lokasi
tidak
nyamuk
sehingga
menimbulkan
menimbulkan
ditegakan
lagi
stadium. Pada W Bancrofti mikrofilaria
labium
dapat
ditemukan
dengan
gejala,
yang
daerah sumbatan aliran kelenjar limfe dapat
adalah
cacing
dideteksi menggunakan teknik diagnostik
perubahan
dewasa terutama pada kedua daerah inguinal,
limfoskintigrafi
alat kelamin, payudara, tungkai dan lengan.
nanocolloid.
Pada daerah ini terjadi radang pembuluh dan
kelenjar limfe) dapat timbul secara primer
kelenjar limfe yang mungkin dapat disertai
(aplastik atau hipoplastik limfatik akibat
dengan demam; limfeangitis, limfeadenitis,
bawaan, dimana onset dapat spontan karena
funiculitis, epididimitis, orchitis dan abses.
trauma, atau pasca operasi atau radiasi)
Karena
limfe
maupun sekunder (akibat operasi, trauma,
berakibatkan; varix limfe, limfeskrotum,
neoplasma atau inflamasi termasuk infeksi
limfochele, chylochele, chyluria dan edema,
filariasis). Dengan teknik nuklir ini untuk
akibat
deteksi saluran kelenjar limfe bermula ketika
terjadi
terakhir
kerusakan
mungkin
sistem
elephantiasis
menggunakan
Limfedema
(pembengkakan
(patogenesisnya belum diketahui dengan
probe
pasti) pada lengan, tungkai dan alat kelamin
Hickernell et al. yang menggunakan detektor
(10- 50% dari pria yang terkena filariasis
NaI(Tl) untuk mendeteksi tumor yang kecil
terutama hidrochele,
penis dan scrotum).
sebagai akibat dari metastase pada nodul
Elephantiasis ini pertama kali diperkenalkan
limfe yang normal. Kemudian dikembangkan
pada tahun 1870 oleh Briton, Lewis di kota
detektor untuk medium energi menggunakan
PTKMR-BATAN, FKM-UI, KEMENKES-RI
multidetektor
kit
dikembangkan
oleh
145
Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI Jakarta, 15-16 Juni 2010
detector CsI(Na) untuk radioisotope
111
In1
Tujuan penelitian ini adalah untuk
yang dilanjutkan dengan pengembangan
mengetahui
detektor untuk probe imaging esophagus
limfoskintigrafi menggunakan nanocolloid
menggunakan gabungan tujuh probe CdTe
yang dapat di manfaatkan untuk membantu
dan dilanjutkan dengan HgI2. Milster et al.
diagnostik
mengembangkan modul kamera skintilasi
kelenjar limfe terutama akibat filariasis,
untuk kamera gamma yang berakhir pada
sehingga dapat membantu dalam tindak
pengembangan probe untuk deteksi saluran
lanjut dalam penanggulangannya.
kelenjar limfe intraoperatif yang sudah banyak
digunakan
Pada
awal
peranan
sumbatan
penelitian
saluran
ini
akan
pemeriksaan saluran kelenjar limfe pada
limfoskintigrafi ini telah digunakan terutama
orang normal untuk mengetahui efektivitas
untuk menilai aliran dan dan nodul limfe
dan kemampuan nanoolloid menggunakan
pada penderita kanker payudara, melanoma,
teknik limfoskintigrafi pada beberapa orang
dan lain-lain keadaan sehingga dengan teknik
sukarelawan, kemudian dilanjutkan pada
yang sama dapat dilakukan pula terhadap
penderita yang diduga menderita filariasis
kasus filariasis. Salah satu pengobatan untuk
dan dinilai posisi, luas, dan nodul- nodul
kasus filariasis selain pengobatan adalah
pada saluran limfe mana yang terkena, uji ini
pengangkatan kelenjar yang sudah terkena
diperlukan untuk mengetahui efektivitas
filarial,
kerja nanocolloid yang dihasilkan dari hasil
teknik
ini.
terhadap
jauh
Teknik
sehingga
saat
seberapa
limfoskintigrafi
dapat dilakukan pra dan pasca tindakan
litbang
bedah untuk menilai aliran limfe tersebut.
Limfoskintigrafi akan dilakukan pada rumah
Untuk
sakit yang mempunyai fasilitas kedokteran
limfoskintigrafi
kit
awal
yang
digunakan adalah antimony trisulfide yang
PTNBR-BATAN
Bandung.
nuklir (RSPAD).
saat ini sudah lama ditinggalkan, radiocolloid yang digunakan saat ini adalah mikrosulfur
II. TATA KERJA
atau nanocolloid (yaitu sulfur colloid yang
telah
melalui
menghilangkan
filter
millipore
seluruh
partikel
untuk
kelenjar limfe untuk cacing filaria dan
juga dengan human serum albumin (HSA).
darah rutin (khususnya eosinofil) pada
Nanocolloid ini inilah yang dikembangkan
bagian
oleh PTNBR - BATAN Bandung yang akan
akibat filariasis.
PTKMR-BATAN, FKM-UI, KEMENKES-RI
penderita
menilaihasil pemeriksaan darah, cairan
diameter lebih besar dari 0.22 µ) atau dapat
gangguan saluran kelenjar limfe terutama
identifikasi
filariasis pada berbagai stadium dengan
dengan
diuji cobakan kepada pasien-pasien dengan
Melakukan
Patologi
klinik/
parsitologi
RSPAD.
Melakukan pemeriksaan limfoskintigrafi pada daerah yang terkena filariasis menggunakan
99m
Tc nanocolloid pada
146
Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI Jakarta, 15-16 Juni 2010
rumah sakit yang mempunyai fasilitas
menggunakan region of interest lokasi
kedokteran nuklir (RSPAD).
yang akan dihitung, kemudian tentukan
Melakukan penghitungan uptake, nodul
identifikasi lokasi sumbatan termasuk
dan posisi sumbatan saluran kelenjar
daerah normal sekitar nodul dan saluran
limfe pada lokasi yang terkena dengan
kelenjar limfe yang normal
kelenjar
limfe
sekitarnya
sebagai
Nilai
yang
diperoleh
dilakukan
background.
pengolahan termasuk tingkat efektivitas
Dibandingkan dengan posisi pada orang
dari kit nanocolloid tersebut.
normal saluran kelenjar limfe kemudian dihitung secara manual dari hasil uptake
IV. HASIL
yang telah diperoleh sebelumnya.
Hasil yang diperoleh adalah 7 pasien bukan pengindap filariasis, tetapi terdapat
III. METODE
sumbatan dan edeme tungkai bawah dengan
Penderita berbaring di meja pemeriksaan,
berbagai sebab, tiga diantara pasien tidak
kemudian
dilakukan
persiapan
untuk
pada
duah
buah
99m
Tc nanocolloid
syringe
pada
penyuntikan
(radioisotope
terperangkap pada daerah injeksi/ tidak
akuisisi peralatan kamera gamma. Preparasi radiofarmaka
berhasil
disposable
masuk kedalam saluran kelenjar limfe). Metode yang selama ini digunakan untuk
dengan wingnedle dan stopcock triways.
pemeriksaan sumbatan saluran kelenjar limfe
Suntikan bersama-sama pada posisi kedua
adalah statik 5, 10, 15, 20, 30, 60, dan 120
ekstremitas
bersamaan
menggunakan
menit pasca injeksi radiofarmaka subkutan
wing needle kemudian stuwing pada
masing
kedua
bersamaan
penelitian ini berubah menjadi teknik secara
dengan dilakukan start pada peralatan
dinamik dengan berbagai kekuntungan yang
kamera gamma.
diperoleh, dan metode yang diperoleh ini
ekstremitas dilepas
Selama pemeriksaan penderita berdiam
akan
masin
dibakukan
2
mCi,
untuk
namun
prosedur
setelah
rutin,
sampai pemeriksaan dinyatakan selesai
khususnya di rumah sakit yang mempunyai
yang telah di set pada peralatan kamera
fasilitas kedokteran nuklir.
gamma, by count atau by time. Data
disimpan
dan
diolah
menurut
ketentuan dengan mengambil, nilai secara kualitatif,
diikuti
dengan
kuantitatif
PTKMR-BATAN, FKM-UI, KEMENKES-RI
147
Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI Jakarta, 15-16 Juni 2010
Pasien sebelum disuntik
Persiapan di meja pemeriksaan
Hasil dinamik sekuensial
Disuntik kiri dan kanan
Spot pada tungkai bawah
Gambar 1. Skema pemeriksaan pasien dengan gangguan saluran kelenjar limfe
Inc., Philippines Copyright 1984; page 718- 719.
V. KESIMPULAN Walaupun jumlah pasien tidak sesuai
3.
UNIVERSITAS INDONESIA, Kuliah Parasitologi Buku I. 1980, hal. 27- 35
4.
James M, Woolfenden and Barber H B., Design and Use of Radiation Detector Probes for Intraoperative Tumor detection Using Tumor-Seeking Radiotracers. In; Nuclear Medicine Annual Raven press Ltd. New York America 1990, p. 151- 173.
5.
WHO/TDR, Filariasis. Online oct 2001.No66
6.
FARID AH, KAMAL SA, WEIL GZ et al., Filariasis elimination in Egypt: Impact of Low Microfilaraemics as Sources of Infection for Mosquitoes. Eastern Mediterranean Health Journal, Vol. 9 No 4. 2003
7.
WILLIAMS, S., Lymphoscintigraphy, In: Thoracic Imaging on the Internet and Nuclear Medicine on the Internet. Copyright Aunt Minnie 2006.
8.
WHO, Lymphatic Filariasis, Media Centre, 2006.
baik dari jumlah dan kasus yang diharapkan namun metode yang diharapkan sudah dapat diaplikasi dan sesuai dengan keluaran yang diperlukan sesuai dengan matrik sasaran yang direncanakan.
SARAN Perlu di dapat kasus filariasis agar dapat kepastian sumbatan saluran kelenjar limfe
seperti
apa
sehingga
dapat
memprediksi ke depan akibat yang akan terjadi pada daerah sumbatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA 1.
BROWN, HW., Nematoda darah dan jaringan pada manusia: Dalam; Dasar parasitologi klinis. Edisi ketiga. PT. Gramedia Jakarta, 1982, hal. 223- 237.
2.
PARKER, SP., Encyclopedia of Science & Technology. 5th ed. McGraw-Hill
PTKMR-BATAN, FKM-UI, KEMENKES-RI
TDR
News
WHO
148