PENGEMBANGAN TEKNIK DETEKSI E545A GEN PIK3CA DENGAN TEKNIK Tm Shift SYBR Green I qPCR
FUAD AL AHWANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengembangan teknik deteksi E545A gen PIK3CA dengan teknik Tm shift SYBR green I qPCR adalah benar karya saya bersama dengan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Tesis ini disusun berdasarkan penelitian yang dibiayai oleh dana DIPA Laboratorium BMKD LIPI, Cibinong, dengan nomor kontrak 079.01.2.450083/2015.3403.002 atas nama Dr. Eng. Desriani, M.Si. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Mei 2017
Fuad Al Ahwani NIM P051140121
RINGKASAN FUAD AL AHWANI. Pengembangan teknik deteksi E545A gen PIK3CA dengan teknik Tm shift SYBR green I qPCR. Dibimbing oleh SUHARSONO dan DESRIANI Mutasi onkogen E545A ditemukan dalam frekuensi yang tinggi pada pasien kanker payudara di Singapura (13,8%). Mutasi E545A meningkatkan aktivitas kinase dari PI3K, serta memacu proliferasi, diferensiasi, dan kelangsungan hidup sel. Berdasarkan kedekatan geografis, Indonesia berpotensi memiliki posisi mutasi yang sama dengan Singapura. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknik deteksi E545A gen PIK3CA dengan pendekatan Tm shift SYBR green I qPCR. Pengembangan teknik dilakukan menggunakan plasmid rekombinan ekson 9 dan E545A sebagai sampel, serta dua primer spesifik alel dan satu primer reverse. Untuk mendapatkan kondisi optimum dari teknik Tm shift, dilakukan optimasi kondisi PCR dan rasio konsentrasi primer. Hasil optimasi menunjukkan kondisi PCR dengan suhu aneling 66,2 ° tanpa fase ekstensi, serta rasio primer long yang lebih tinggi berhasil mendiskriminasi ekson 9 dari E545A. Hasil real time PCR menunjukkan CT dan Tm yang berbeda pada ekson 9 dan E545A. Nilai CT dari ekson 9 adalah 13,41±0,23 dan E545A adalah 9,73±0,75. Tidak hanya pada kedua amplikon di atas, CT muncul pada ntc sebesar 29,79±1,28. Tm ekson 9 adalah 78,1±0,1 ° dan E545A adalah 80,20 °. Terdapat pergeseran suhu melting ±2 ° dari ekson 9 ke E545A. Uji presisi dari kondisi optimum pendekatan Tm shift SYBR green I qPCR menunjukkan konsisten yang tinggi, dengan nilai variasi intra dan inter assay kurang dari 10% dan 15%. Metode yang dikembangkan juga memiliki sensitivitas yang tinggi dan kualitas yang bagus. Teknik yang dikembangkan masih mampu mengenali E545A bahkan pada konsentrasi mutan yang rendah (1%). Kualitas pengujian yang baik ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) yang mendekati 1 dan % efisiensi 105%. Dengan demikian kita telah berhasil mengembangkan teknik Tm shift SYBR green I qPCR yang murah, sensitif, dan presisi / konsisten. Kata Kunci : E545A, ekson 9, Tm shift SYBR green I qPCR
SUMMARY FUAD AL AHWANI. Development of E545A PIK3CA gene Mutation Detection in Breast Cancer with Tm shift SYBR green I qPCR technique. Under the direction of SUHARSONO and DESRIANI. E545A is one of the oncogenic mutation that has found in high frequency in Singapore breast cancer patients (13,8%). E545A will increase kinase activity of PI3K and triggers proliferation, differentiation, and survival of cell. Based on geographical proximity, Indonesia have potential mutation position with Singapore. These reasearch aimed is to develop detection technique E545A of PIK3CA gene with Tm Shift SYBR Green I qPCR approach. Technique development was used recombinant plasmids exon 9 PIK3CA and exon 9 PIK3CA E545A as the templates and two allele specific primers plus one reverse primer. In order to get optimum condition of Tm shift technique, we will optimizing PCR condition and primers concentration ratio. As the result, PCR condition with annealing temperatur 66,2 ° and without extension phase has succeed to discriminated exon 9 from E545A. Real time PCR result was showed different CT and Tm of Exon 9 and E545A amplicons. CT value of Exon 9 is 13,41±0,23 and E545A is 9,73±0,75. Not only in two amplicons before, CT was appeared in ntc, as big as 29,79±1,28. Tm of exon 9 is 78,1±0,1 ° and E545A is 80,20 °, there is ±2 ° melt temperature shifting from exon 9 to E545A. Precision assay of optimum condition of Tm shift SYBR green I qPCR approach was showed high concistency, even when repeated in different day and replicate. It’s showed with intra and inter assay variation which less than 10% and 15%. The developed method also has high sensitivity and good quality. Tm shift SYBR green I qPCR will still recognize E545A even in low mutant concentration (1%). Quality of the developed method was showed with coefficient of determination (R2) that closer to 1 (>0,9953) and % Efficiency that around 105%. Therefore we succeed to develop the cheap, sensitive, and precision Tm shift SYBR green I qPCR technique. Key words : E545A, exon 9, Tm shift SYBR green I qPCR.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN TEKNIK DETEKSI E545A GEN PIK3CA DENGAN TEKNIK Tm Shift SYBR Green I qPCR
FUAD AL AHWANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.dr. Sri Budiarti
3
Judul Tesis : Pengembangan teknik deteksi E545A gen PIK3CA dengan teknik Tm Shift SYBR Green I qPCR Nama : Fuad Al Ahwani NIM : P051140121
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Suharsono, DEA Ketua
Dr Ir Eng Desriani, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Bioteknolgi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 9 Februari 2017
Tanggal Lulus :
5
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian besar yang berjudul Pengembangan diagnostik molekuler untuk kanker payudara berbasis PCR. Penelitian ini didanai oleh APBN LIPI, dengan kode DIPA: 079.01.2.450083/2015.3403.002. Penulis menjadi bagian dari penelitian tersebut dengan judul Pengembangan teknik deteksi E545A gen PIK3CA dengan teknik Tm Shift SYBR green I qPCR. Sebagian hasil penelitian sudah ditulis dalam bentuk artikel ilimiah, dan sudah diterima dengan perbaikan minor untuk dipublikasikan di Indonesian Journal of Biotechnology, yang merupakan jurnal nasional terakreditasi Dikti dengan nomor registrasi ISSN 0853-8654 (cetak) dan ISSN 2089-2241 (online). Terima kasih penulis ucapkan kepada kepada ayah, ibu, kaka, serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungan yang diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr Ir. Suharsono, DEA, Dr Eng. Desriani, MSi dan almarhumah Dr. Utut Widyastuti, MSi. atas bimbingannya dalam menyelesaikan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada staf laboratorium dan teman-teman laboratorium BMKD LIPI: Warisman Ali, Bugi Ratno Budiarto, Dina Athariah, Farida Mirnawati, Rismaya Khaerunisa, Senja Kinanti, Sabrina Syifa G, Ida Yusriani yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. Terimakasih juga ditunjukkan kepada semua temanteman Program Studi Bioteknologi Pascasarjana IPB tahun 2014 atas semangat kebersamaan dalam menyelesaikan tugas akhir ini khususnya Muhammad Yunus, Nichoker Gea, Luki Andreas Wibowo dan Allen Jhonny Borlay. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman alumni UHAMKA khususnya: Farits Alhadi, Mawar Afiah, Rismaya Khaerunisa dan Yasir Dzulfikor yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2017
Fuad Al Ahwani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2
TINJAUAN PUSTAKA Phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K) Mutasi PIK3CA dan Aktivasi Jalur PI3K TA Kloning Real Time qPCR Teknik deteksi dini
3 3 3 5 6 8
3
METODE
10
Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Preparasi Plasmid Rekombinan Ekson 9 dan E545A Pengembangan Teknik Tm shift SYBR green I qPCR Karakterisasi Metoda Deteksi E545A Analisis Data
10 10 10 13 14 15
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Preparasi Plasmid Rekombinan Ekson 9 dan E545A Pengembangan Teknik Tm shift SYBR green I qPCR Karakterisasi Metoda Deteksi E545A
16 20 26
SIMPULAN DAN SARAN
30
4
5
DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
31 38
7
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Desain primer Kombinasi suhu aneling dan rasio proporsi ketiga primer Uji Mann-Whitney U ekson 9 dan E545A Unit fluoresensi ekson 9 PIK3CA dan E545A Koefisien variasi intra dan inter assay
10 14 22 26 27
DAFTAR GAMBAR 1 Mutasi pada sisi antarmuka sub unit regulator p85-sub unit katalitik p110α 2 Frekuensi titik mutasi domain PI3Kα 3 Aktivasi Jalur PI3K 4 Mekanisme TA kloning 5 Plot amplifikasi real time PCR 6 Visualisasi hasil isolasi DNA genom 7 Visualisasi hasil gradien suhu dan purifikasi sampel target 8 Hasil transformasi dan PCR koloni 9 Visualisasi hasil isolasi plasmid 10 Hasil sekuensing ekson 9 dan E545A 11 Sekuens E545A: PIK3CA dan pseudogene 12 Prediksi puncak melting 13 Sekuens amplikon E545A 14 Hasil optimasi primer rev 15 Hasil optimasi 1 dan visualisasinya 16 Hasil real time optimasi 2 dan visualisasinya 17 Plot amplifikasi dengan suhu aneling 66,2° 18 Puncak melting E545A pada konsentrasi 10% (0,3 ng) 19 Plot amplifikasi dan Kurva standar pengujian qPCR 20 Hasil uji sensitivitas
4 4 5 6 7 16 17 17 18 18 19 20 21 21 23 25 26 27 28 29
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Kanker payudara adalah jenis kanker yang paling sering didiagnosa pada wanita. Menurut data International Agency for Research on Cancer WHO (2012), terdapat lebih kurang 1,67 juta kasus kanker payudara (25%), dengan 522.000 di antaranya mengalami kematian (14,7%). Mutasi protoonkogen menjadi onkogen merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya kanker payudara. Mutasi ini meyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas proliferasi, diferensiasi dan survival sel (Stare & Jozefowicz, 2008). Phosphatidylinositol-4,5-bisphosphate 3kinase, catalytic subunit alpha (PIK3CA), merupakan salah satu protoonkogen yang berubah menjadi onkogen yang disebabkan oleh mutasi dengan tingkat kejadian sebesar 16 - 45% dari total keseluruhan kasus kanker payudara (Margone et al. 2012). Mutasi yang terjadi pada PIK3CA menyebabkan terjadinya peningkatan laju proliferasi dan peningkatan transformasi onkogen. Sheer et al. (2016) melaporkan bahwa mutasi pada PIK3CA ditemukan pada awal terjadinya kanker. Hal ini menjadikan deteksi PIK3CA berpotensi digunakan untuk deteksi dini kanker payudara. Mutasi pada gen PIK3CA ditemukan tersebar pada semua ekson. Sebanyak 87,5% mutasi ditemukan pada ekson 9 (domain helikal) dan ekson 20 (domain kinase) (Mihalcea et al. 2015). Pada mutasi PIK3CA E545A ekson 9, terjadi perubahan asam glutamat menjadi arginin, yang disebabkan oleh perubahan basa c.1634 A C. Frekuensi mutasi E545A yang tinggi ditunjukkan pada beberapa negara di antaranya: Singapura sebanyak 13,8% (Liang et al. 2006) dan Meksiko sebanyak 11,5% (Castaneda et al. 2014). Mutasi pada PIK3CA menyebabkan timbulnya resistensi pada pengobatan dengan anti-HER2 pada pasien kanker payudara sub type HER-2. Pada kondisi terjadinya mutasi PIK3CA, maka pengobatan yang direkomendasikan pada pasien kanker payudara tersebut adalah kombinasi anti-HER2 dan PIK3CA inhibitor. Kombinasi keduanya terbukti mampu mencegah perkembangan tumor payudara. (Rexer et al. 2014; Al-Sukhun et al. 2016). Berangkat dari hal ini, menjadikan deteksi PIK3CA penting dilakukan yang dapat digunakan untuk memprediksi efektifitas anti-HER2 terhadap pasien kanker payudara sub tipe HER2. Produk kit deteksi mutasi PIK3CA telah tersedia secara komersil diproduksi oleh perusahaan diagnostik terkemuka seperti Roche, AmoyDx. Target deteksi mutasi yang dikembangkan umumnya menargetkan pada titik mutasi yang menjadi hotspot yaitu pada E542K, E545K dan H1047R. Kit yang dikomersilkan tersebut relatif mahal, terutama dikarenakan penggunaan probe untuk proses deteksi (Thornton & Basu, 2010). Terdapat beberapa teknik lainnya yang dilaporkan digunakan untuk deteksi PIK3CA seperti: SNApshoot (Hurst et al. 2009), beaming (Higgins et al. 2012), dan TaqMan (Botezatu et al. 2015). Umumnya teknik yang dilaporkan tersebut dikembangkan menggunakan alat-alat yang mahal. Teknik Tm shift SYBR green I qPCR dikenal memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan analisis data yang mudah. Hal ini disebabkan penggunaan 3 oligonukleotida tidak berlabel sebagai primer. Tidak hanya itu, penggunaan pewarna SYBR green I yang murah turut meningkatkan nilai ekonomis dari teknik
2
tersebut. Teknik ini mengandalkan pada kemampuan dua primer spesifik alel (PSA) untuk mengenali target yang berbeda. Penambahan GC tail dengan panjang yang berbeda pada ujung 5’ kedua primer, mampu meningkatkan kemampuan diskriminatif primer. Perbedaan panjang primer di atas, akan menyebabkan nilai Tm (melting temperature) dan CT yang berbeda dari produk PCR. Dengan demikian, analisis data dapat dilakukan dengan melihat pergeseran nilai Tm dan CT dari sampel normal ke mutan. Agar mendapatkan kondisi yang optimum untuk mengembangkan suatu teknik deteksi, diperlukan ketersediaan sampel dalam kuantitas yang cukup banyak. Namun demikian, ketersediaan sampel jaringan kanker payudara relatif terbatas. Plasmid rekombinan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti sampel klinis jaringan kanker payudara. Penggunaan plasmid rekombinan juga sudah banyak digunakan pada kegiatan penelitian yang serupa (Mei et al. 2010; Magnin et al. 2011; Gadiou et al. 2012; Da Silva et al. 2013; Desriani et al. 2016). Stabilitas yang tinggi dan kemudahan untuk diperbanyak, adalah alasan pemilihan penggunaan plasmid di atas (Das Silva et al. 2013). Berdasarkan kondisi di atas, pengembangan teknik deteksi gen PIK3CA E545A penting untuk dilakukan, terutama dikarenakan aktivitas onkogenik dan kemampuan resistensi yang ditimbulkannya terhadap anti HER-2. Disamping itu, pada beberapa negara, mutasi E545A PIK3CA ditemukan pada jumlah yang tinggi sedangkan produk komersialnya belum ditemukan dipasaran. Oleh sebab itu pada penelitian ini pengembangan teknik deteksi mutasi E545A gen PIK3CA dengan teknik Tm shift SYBR green I qPCR akan dilakukan. Untuk mengatasi kendala ketersediaan sampel jaringan kanker, maka proses pengembangan dilakukan menggunakan plasmid rekombinan yang masing-masing mengandung sampel PIK3CA normal dan PIK3CA E545A mutan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknik Tm shift SYBR green I qPCR, untuk mendeteksi mutasi E545A gen PIK3CA pada pasien kanker payudara.
Manfaat Penelitian Diharapkan teknik deteksi PIK3CA E545A yang didapatkan pada studi ini memiliki nilai yang ekonomis, sensitif, cepat dan masif, serta dapat mendukung terlaksananya personal terapi di Indonesia.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K) Sejak ditemukan pada tahun 1980, anggota dari lipid kinase yaitu PI3K mempunyai peranan sebagai regulator pada banyak proses selular (Liu et al. 2009). Enzim ini meregulasi berbagai proses penting sel, seperti: 1) metabolisme; 2) proliferasi; 3) adesi; 4) pertumbuhan; 5) apoptosis; dan 6) perbaikan sel (Harle et al. 2013). Disregulasi komponen jalur PI3K, menginisiasi pertumbuhan dan perkembangan sel kanker (Zheng et al. 2015). Tidak hanya itu, mutasi pada jalur PI3K berperan pada peningkatan angiogenesis, serta kemampuan bertahan hidup dari tumor ketika jumlah nutrisi terbatas (Engelman 2009; Grunt & Mariani, 2013; Porta et al. 2014). Enzim PI3K merupakan molekul heterodimer yang terbagi atas tiga kelas utama, dibedakan berdasarkan struktur, spesifitas substrat, distribusi jaringan, mekanisme aktivasi dan fungsinya. Ketiga kelas tersebut adalah kelas I (A danB), II, dan III (Backer 2010). Di antara ketiga kelas di atas, hanya enzim kelas IA yang berperan pada regulasi proliferasi sel dan tumorigenesis (Zhao & Vogt, 2008). Kelas I A PI3K terdiri dari subunit katalitik p110α dan subunit regulator p85α (Backer 2010). Sub unit regulator berperan memediasi pengikatan reseptor, aktivasi, dan lokalisasi dari enzim PI3Kα. Interaksi antara kedua subunit, menyebabkan autoinhibisi aktivitas enzim PI3Kα. Pada mamalia, terdapat tiga gen penyandi subunit katalitik, yaitu: PIK3CA, PIK3CB dan PIK3CD. Masing-masing gen tersebut menyandi tiga isoform sub unit katalitik p110 : p110 α , p110β dan p110δ (Hynes & MacDonald, 2009; Liu et al. 2009; Mukohara 2015). Ekspresi dari sub unit p110δ hanya terbatas pada sistem imun saja, sedangkan p110 α dan p110β diekspresikan di banyak tempat (Liu et al. 2009). Sub unit katalitik p110α terdiri atas 5 domain, yaitu : 1) N-terminal p85binding domain yang berinteraksi dengan subunit regulrator p85 (p85BD); 2) Rasbinding domain (RasBD) yang memediasi aktivasi oleh anggota famili RAS dari GTPase kecil; 3) domain C2; 4) domain helikal; dan 5) domain katalitik C-terminal. Sub unit regulator p85α terdiri atas 5 domain, yaitu: 1) domain pengikatan p110; 2) dua domain Scr-homology 2 (SH2) yang mengapit domain pengikatan p110; dan 3) domain homologi BCR (BH) yang terletak pada daerah pemanjangan N-terminal (Liu et al. 2009; Backer 2010). Kompleks heterodimer p110α-p85α hadir pada sel normal, berperan dalam menstabilkan sub unit p110 α dan inaktivasi aktivitas PI3K α (Liu et al. 2014).
Mutasi PIK3CA dan Aktivasi Jalur PI3K Mutasi pada gen PIK3CA diketahui mampu meningkatkan aktivitas kinase enzim PI3Kα. Pada keadaan normal, mutasi PIK3CA diregulasi secara ketat. Terdapat dua mekanisme aktivasi enzim PI3Kα, yaitu: 1) mutasi pada sisi perikatan subunit regulator p85α-sub unit katalitik p110α, dan 2) regulasi protein PTEN (Phosphatase and Tensin Homolog).
4
Pada mekanisme pertama, aktivasi enzim PI3Kα melalui perubahan konformasi dari kedua subunit di atas (Echeverria et al. 2015). Perubahan konformasi disebabkan oleh mutasi pada sisi pertemuan antara subunit regulator p85α dan subunit katalitik p110 α. Burke et al (2012) menjelaskan mutasi tersebut terjadi pada domain kedua subunit, di antaranya: 1) sisi pertemuan nSH2-helikal; (2) sisi pertemuan iSH2-C2; 3) sisi pertemuan kinase-ABD; dan 4) sisi pertemuan ABD-iSH2.
Inhibisi nSH2
Mutasi E542K/E545K Mutasi N345K Mutasi R38C/R88K
Gambar 1 Mutasi pada sisi antarmuka subunit regulator p85-sub unit katalitik p110α (Burke et al. 2012) Residu E542 dan E545 terletak pada daerah domain helikal yang berkontak dengan nSH2. Pada sel normal, interaksi keduanya menyebabkan inaktivasi dari PI3Kα. Mutasi residu di antara kedua domain akan mengaktivasi PI3K, dengan melemahkan interaksi di antara keduanya (Carson et al. 2008; Chaussade et al. 2009; Mandelker et al. 2009; Gabelli et al. 2014). Mutasi pada sisi tersebut menyebabkan aktivasi enzim PI3Kα, serta diketahui memiliki aktivitas onkogenik yang tinggi dibanding mutasi lainnya (Mandelker et al. 2009). Variasi mutasi pada kedua titik cukup tinggi. Menurut Gymnopoulos et al. (2007), E542K, E545K dan E545A memiliki frekuensi yang paling tinggi dibanding varian lainnya (Gambar 2) . Mutasi E542K disebabkan adanya subtitusi basa G A pada c.1624, dan merubah asam glutamat menjadi lisin. Mutasi E545K disebabkan subtitusi basa G A pada c.1633, dan merubah asam glutamat lisin. Mutasi E545A disebabkan subtitusi basa A C pada c.1634, dan merubah asam glutamat menjadi alanin. Mutasi pada salah satu atau ketiga titik, menyebabkan pergeseran dari satu β-sheet domain nSH2 (377 ke 383). Akibat pergeseran tersebut, celah tempat interaksi awal kedua domain menjadi kosong. Residu phosphotyrosine (pY) pada Receptor Tyrosine Kinase (RTK) akan mengikat celah yang kosong tersebut pada domain nSH2, dan akan mengaktivasi enzim PI3Kα (Carson et al. 2008).
Gambar 2 Frekuensi titik mutasi domain PI3Kα (Kalinsky et al. 2009)
5
Enzim PI3Kα memfosforilasi PIP2 (phosphatidylinositol-4,5- biphosphate) di membran, menjadi PIP3 (phosphatidylinositol-3-4,5- triphosphate) (Zhao & Vogt, 2008; Liu et al. 2009; Miller et al. 2011). PIP3 adalah second messanger yang penting untuk meregulasi berbagai proses multiseluler. PIP3 selanjutnya akan mengikat domain PH (pleckstrin homology) pada daerah N- terminal dari AKT (Ebi et al. 2013). Hal ini akan menyebabkan perubahan konformasi pada AKT, sehingga dua residu asam amino (T308 dan S473) untuk fosforilasi akan terbuka. Selanjutnya T308 difosforilasi oleh PDKI dan S473 oleh PDK2 untuk aktivasi penuh dari AKT. AKT akan memfosforilasi banyak protein lain di antaranya: GSK3 (glycogen synthase kynase 3, MDM2, BAD, dan FOXO. Protein – protein diatas akan mempengaruhi berbagai proses selular seperti: 1) peningkatan proliferasi, angiogenesis dan survival sel, dan 2) penghilangan kemampuan apoptosis dan perbaikan DNA (Yuan & Cantley, 2008; Engelman 2009; Miller et al. 2011) (Gambar 3).
Gambar 3 Aktivasi Jalur PI3K
TA KLONING Mesin PCR digunakan sebagai perangkat utama dalam bidang bioteknologi dan biologi molekuler. Salah satu aplikasi PCR pada bidang bioteknologi adalah kloning gen. TA kloning merupakan teknik kloning yang memanfaatkan penggunaan instrumen PCR untuk pembentukkan plasmid rekombinan. Teknik ini memanfaatkan reaksi PCR untuk menambahkan sisi komplemen dari produk PCR, serta ligasi produk PCR ke dalam vektor. Teknik ini memanfaatkan penggunaan Taq DNA polimerase yang tidak memiliki aktivitas eksonuklease 3’-5’, serta vektor pGEM-T easy yang memiliki tonjolan basa T pada ujung 3’ nya (Souii et al. 2013). Enzim taq DNA polimerase diisolasi dari bakteri termofilik Thermus aquaticus. Enzim ini dapat bertahan pada suhu yang tinggi. Taq DNA polimerase memiliki kemampuan untuk mengamplifikasi produk PCR hingga ukuran 6 kb.
6
Memiliki keamampuan untuk mengamplifikasi DNA dari arah 5’-3’, tetapi tidak pada arah sebaliknya (3’-5’). Dengan demikian tidak memiliki kemampuan proofreading, untuk memperbaiki kesalahan pembacaan. Pada tahap pos ekstensi, teknik ini akan menambahkan basa A pada ujung 3’ dari produk PCR. Enzim T4 DNA ligase akan mengikat basa A pada produk PCR tersebut, dengan basa T pada ujung 3’ dari plasmid pGEM-T easy (Gambar 4) (Hoseini & Sauer, 2015). Penggunaan teknik TA kloning memungkinkan pengikatan DNA dengan plasmid, tanpa menggunakan bantuan enzim restriksi. Penggunaan TA kloning umumnya dilakukan apabila DNA insert dan vektor tidak memiliki sisi restriksi yang sama. Kemudahan yang dimiliki oleh metode TA kloning menyebabkan aplikasi yang luas dari metode tersebut, di antaranya: 1) pengembangan teknik deteksi mutasi (Gadiou et al. 2012; Mahdieh & Rabbani, 2013; Desriani et al. 2016), dan 2) analisis gen (Liu et al. 2016).
Gambar 4 Mekanisme TA kloning
Real Time qPCR Amplifikasi dan deteksi asam nukleat adalah teknik yang paling banyak digunakan pada penelitian biologi saat ini. Real time PCR adalah salah satu perangkat yang paling sering digunakan pada kegiatan amplifikasi dan deteksi asam nukleat (Morlan et al. 2009; Lang et al. 2011). Real time PCR memiliki beberapa kelebihan dibanding PCR konvensional, dintaranya: 1) mampu memonitor produk PCR secara real-time; 2) tidak dibutuhkan analisis sesudah PCR untuk mengidentifikasi produk PCR; dan 3) ketidakhadiran analisis pasca PCR akan mereduksi waktu percobaan dan potensi terjadinya kontaminasi (Saunders & Lee, 2013). Reaksi real time PCR membutuhkan penggunaan molekul pewarna untuk memonitor kehadiran produk PCR. Molekul tersebut memiliki kemampuan untuk berpendar pada saat berikatan dengan dsDNA. Molekul tersebut sering dikombinasikan pada reaksi PCR dengan dua cara, yaitu: 1) dilabelkan pada probe;
7
atau 2) dikombinasikan sebagai pewarna dalam reaksi PCR. Meskipun spesifik, tetapi penggunaan oligonukleotida berlabel relatif lebih kompleks dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Terdapat dua metode pelabelan oligonukleotida, yaitu: End labelling dan Nick translation. Pada metode pertama, P (fosfat) pada ujung 5’ dihilangkan menggunakan alkaline phosphatase. Fosfat tersebut selanjutnya diganti dengan fosfat berlabel 32-P, oleh alkaline phosphatase. Berbeda dengan metode pertama, pelabelan dengan Nick translation memanfaatkan aktivitas DNAse I, DNA polimerase I dan dNTP berlabel. DNAse I akan memotong ikatan fosfodiester antara basa pada ujung 5’ dari salah satu utas DNA. DNA polimerase I akan menambahkan dNTP berlabel pada bagian yang terpotong, sesuai dengan basa komplemennya. Dengan kedua metode tersebut, dihasilkan oligonukleotida berlabel yang akan berpendar ketika berikatan dengan gen target (Vasavirama 2013). Berbeda dengan pendekatan sebelumnya, molekul pewarna seperti SYBR Green I dinilai relatif lebih sederhana. Teknik ini dapat langsung dikombinasikan dengan oligonukleotida tidak berlabel, dalam reaksi PCR. Pewarna tersebut juga memiliki kemampuan untuk berpendar ketika berikatan dengan gen target. Oleh karena itu memungkinkan untuk memonitor reaksi PCR secara langsung. Harga yang relatif terjangkau dan konfirmasi produk PCR yang mudah, adalah beberapa alasan pemilihan SYBR Green I dibanding pewarna lainnya. Proses amplifikasi dalam real time PCR diperlihatkan dalam plot amplifikasi. Plot amplifikasi terdiri atas sumbu X yang menunjukkan jumlah siklus, serta sumbu Y yang menunjukkan besarnya cahaya yang dipancarkan (RFU). Terdapat dua fase pada siklus amplifikasi, yaitu: fase eksponensial dan fase plateau. Pada fase eksponensial, produk PCR akan mengganda setiap siklus. Ketika jumlah komponen reaksi terbatas, maka reaksi PCR akan melambat dan memasuki fase plateau (siklus 28 - 40) (Saunders & Lee, 2013) (Gambar 5). Pada tahap awal siklus amplifikasi, cahaya yang dipancarkan berada di bawah garis threshold. Disebabkan jumlah produk PCR yang rendah. Peningkatan jumlah siklus akan meningkatkan akumulasi produk, dan cahaya yang dipancarkan akan meningkat melewati threshold (Gambar 5). Jumlah siklus ketika cahaya yang dipancarkan melewati garis threshold disebut dengan CT (cycle threshold) (Saunders & Lee, 2013). Eksponensial
0.3
Fluoresensi
Plateau 0.2
Nilai CT 0.1
Garis threshold 0 0
10
20
30
Siklus
Gambar 5 Plot amplifikasi
40
8
Pada pengujian real time PCR berbasis SYBR green I, nilai CT sangat dipengaruhi oleh panjang produk dan unit fluoresensi yang dihasilkan. Menurut Colborn et al. (2008), produk dengan ukuran yang panjang akan membawa lebih banyak SYBR Green I. Sehingga cahaya yang dipancarkan akan semakin besar, dan nilai CT akan semakin kecil. Perbedaan nilai CT dapat digunakan untuk membedakan sampel target. Panjang produk yang berbeda juga akan menghasilkan nilai Tm (melting temperature) yang berbeda. Nilai Tm diperloleh dengan mendenaturasi produk secara perlahan, pada akhir proses PCR. Melalui proses tersebut akan diketahui suhu ketika 50% dsDNA menjadi ssDNA (DNA utas tunggal). Teknik Tm shift SYBR green I qPCR yang dikembangkan memanfaatkan variasi nilai CT dan Tm, untuk membedakan targetnya.
Teknik deteksi dini Kanker payudara merupakan penyakit yang sangat mematikan. Rendahnya tingkat keberlangsungan hidup pada pasien kanker payudara, disebabkan oleh keterlambatan pemberiaan pengobatan. Kesalahan penentuan terapi juga menjadi penentu pada keberlangsungan hidup pasien tersebut. Hal ini karena kanker payudara disebabkan oleh faktor yang bervariasi. Berikut dijelaskan beberapa teknik dan kit yang digunakan untuk mendeteksi penyebab kanker payudara. Mamogram merupakan salah satu pendekatan untuk deteksi dini kanker payudara, terutama pada wanita yang memiliki faktor resiko penyakit tersebut. Dilakukan dengan menggunakan mesin, yang mampu mengeluarkan sinar X dengan level rendah. Dua plate pada mesin akan menekan payudara di bagian tengah. Sinar X akan dipancarkan, dan masuk ke dalam jaringan payudara. Komputer selanjutnya akan mengambil gambaran dari payudara tersebut. Analisis dilakukan dengan melihat perubahan jaringan payudara, pada gambar yang dihasilkan. Meskipun memiliki kemampuan potensi dini, tetapi mamogram tidak mampu mendeteksi gen penyebab kanker tersebut. Mengetahui gen penyebab kanker sangat penting, terutama untuk menentukkan pengobatan yang diberikan. Saat ini, PIK3CA sebagai salah satu gen yang dominan pada kanker payudara menjadi subjek yang banyak menarik perhatian. Efek onkogenik dan perannya yang penting dalam menentukkan pemilihan pengobatan pada pasien kanker, adalah beberapa daya tarik dari gen tersebut. Saat ini perkembangan teknik deteksi mutasi pada gen PIK3CA sudah banyak tersedia, baik yang masih pada tahap publikasi hingga sudah diperjual belikan secara komersial dalam bentuk kit. Teknik ARMS PCR (Board et al. 2008); SnaPshot (Hurst et al. 2009); TaqMan (Morlan et al. 2009); BEAming (Higgins et al. 2012); dan HRM (Dirican et al. 2014) adalah beberapa teknik deteksi PIK3CA yang sudah dipublikasikan. Kit PIK3CA Mutation Analysis Kit for Real-Time PCR, PNAclamp PIK3CA Mutation detection kit dan Amoy DX PIK3CA FIVE mutation detection kit adalah beberapa kit untuk mendeteksi mutasi gen PIK3CA yang telah diperjualbelikan secara komersil. Selain memiliki kemampuan deteksi dini, teknik dan kit di atas juga mampu mendeteksi gen penyebab kanker secara tepat. Teknik dan kit di atas umumnya memanfaatkan penggunaan molekul pewarna yang berperan sebagai “reporter”, untuk mendeteksi target yang diinginkan, seperti probe berlabel dan pewarna
9
fluoresensi. Pada bagian ini akan dijelaskan teknik deteksi yang memanfaatkan penggunaan molekul reporter di atas. Teknik TaqMan adalah salah satu teknik deteksi yang memanfaatkan penggunaan probe berlabel untuk mendeteksi gen PIK3CA. Pelacak pada pengujian TaqMan terdiri dari fluorophore pada ujung 5’ dan quencher pada ujung 3’. Pada saat tidak berikatan dengan DNA, cahaya yang dipancarkan oleh fluorophore akan diserap oleh quencher. Pelacak akan menempel pada daerah yang diamplifikasi oleh set primer yang digunakan. Selama proses PCR, Taq DNA polimerase akan mengamplifikasi daerah yang diapit oleh kedua primer. Pada saat bertemu dengan fluorphore pada probe, maka aktivitas eksonuklease 5’-3’ dari polimerase akan memotong fluorophore. Fluorophore yang terpotong akan memancarkan cahaya, dan ditangkap oleh mesin thermal cycler. Cahaya tersebut digunakan untuk mendeteksi produk PCR yang dihasilkan (Vasavirama 2013). Alel Spesifik PCR (AS-PCR) adalah salah satu teknik deteksi yang memanfaatkan penggunaan pewarna interkalasi untuk mendeteksi gen PIK3CA. Tm shift SYBR Green I qPCR merupakan modifikasi dari teknik ini. Pewarna akan berikatan dengan DNA utas ganda, selama proses PCR. Pada saat berikatan dengan dsDNA, SYBR green I akan memancarkan cahaya 1000 kali lebih besar dibanding dalam keadaan bebas (Dragen et al. 2012). Cahaya tersebut selanjutnya akan ditangkap oleh mesin thermal cycler, dan digunakan untuk mendeteksi produk yang dihasilkan. Teknik AS-PCR menggunakan dua primer forward spesifik alel (PSA), dengan panjang yang berbeda, untuk mendeteksi sampel target. Perbedaan panjang primer akan menyebabkan perbedaan ukuran produk PCR, sehingga memudahkan proses diskriminasi sampel hanya dengan menggunakan elektroforesis gel (Chen 2016). Pada real time PCR, diskriminasi dimungkinkan dengan melihat nilai Tm dan CT dari produk PCR. Penggunaan pelacak berlabel seperti pada TaqMan umumnya relatif kurang ekonomis untuk diterapkan pada sampel dalam jumlah besar. Berdasarkan kemudahan dan kesederhanaanya, penggunaan pewarna SYBR Green I dinilai relatif lebih terjangkau. Oleh karena itu cocok diaplikasikan pada sampel dalam jumlah besar. Teknik Tm shift SYBR green I qPCR yang dikembangkan adalah modifikasi dari teknik alel spesifik PCR. Teknik ini dinilai memiliki nilai ekonomis yang sama dengan teknik AS-PCR. Penggunaan teknik ini tidak hanya memungkinkan untuk mendeteksi dini, tetapi juga mampu mendeteksi mutasi E545A gen PIK3CA. Seperti yang dikembangkan pada kegiatan penelitian ini.
10
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari 2016 sampai Oktober 2016, bertempat di Laboratorium Biologi Molekuler dan Kesehatan Diagnostik (BMKD) dan Laboratorium Genomic dan Perbaikan Mutu Tanaman LIPI, Cibinong.
Bahan Penelitian Sampel penelitian berasal dari jaringan beku kanker payudara, yang diperoleh dari rumah sakit M. Djamil Padang. Jaringan kanker payudara berasal dari pasien dengan sub tipe tumor HER2. Sumber genom ekson 9 gen PIK3CA dan E545A berasal dari jaringan beku kanker payudara. Preparasi plasmid rekombinan dan optimasi pengembangan teknik Tm shift SYBR green I menggunakan primer seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Desain primer Kegiatan
Primer PCR ekson 9 : FW_E9 Preparasi R_E9 plasmid E545A rekombinan FW_E545A R_E545A Optimasi Op. Primer R pengemban FW gan teknik R_1 Tm shift R_2 SYBR Op. 1 & 2 green I FW_L qPCR FW_S R
Sekuens 5’-ccagaggggaaaaatatgac-3’ 5’-gggccggatccattttgcattacctgtg’-3’
Amplikon
210 bp
5’-gggccggatccccagaggggaaaatatgac-3’ 5’-attttgcattacctgtg-3’ 5’- gcgggcctacacgagatcctctctctga-3’ 5’-gggccggatccattttagcacttacctgtg-3’ 5’-attttagcacttacctgtg-3’
5’-gcgggcagggcggctcctctctctgaaatcaccgc-3’ 5’-gcgggctcctctctctgaaatcactga-3’ 5’-gggccggatccattttagcacttacctgtg-3’
81 bp 70 bp 89 bp 82 bp
Preparasi plasmid rekombinan ekson 9 dan E545A Isolasi DNA Genom Isolasi genom dilakukan dengan menggunakan jaringan beku kanker payudara yang diperoleh dari rumah sakit M. Djamil Padang. Isolasi DNA genom dilakukan dengan menggunakan Pure Link Genomic DNA mini kit dari Invitrogen. Jaringan beku payudara dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifugasi 1,5 mL, yang berisi 180 µL pure link genome digestion buffer dan 20 µL proteinase K. Jaringan dihomogenkan dengan vorteks, serta diinkubasi dengan penangas kering pada suhu 55°C selama + 3 jam. Campuran tersebut lalu disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 13.000 rpm pada suhu 10°C.
11
Supernatan diambil dan dicampurkan dengan 10 µL RNAse. Divorteks dan diinkubasi selama 2 menit pada suhu ruang. Larutan dicampur dengan 200 µL genomic lysis binding buffer dan 200 µL etanol 96%. Larutan tersebut divorteks dan disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 13.000 rpm pada suhu 10°C. Supernatan dipindahkan ke spinx coloumn, dan dicuci dengan 500 µL washing buffer I. Sentrifugasi dilakukan kembali, selama 5 menit pada kecepatan 13.000 rpm dan suhu 10°C. Supernatan dibuang dan pelet dicuci kembali dengan 500 µL washing buffer II. Sentrifugasi dilakukan kembali dengan kondisi yang sama. Sebelum proses elusi, tube spinx coloumn diganti dengan tabung mikrosentrifugasi 1,5 mL. Pelet pada bagian dasar spinx coloumn lalu dielusi dengan menambahkan 50 µL elution buffer dan inkubasi + 2 menit di suhu ruang. Dilakukan sentrifugasi kembali, untuk menurunkan supernatan yang mengandung DNA genom ke dalam tabung mikrosentrifugasi 1,5 mL. Pembuatan kompeten sel. Kultur DH5α diinkubasi di atas shaker pada suhu 37°C selama semalam. Sebanyak 3-5% kultur DH5α ditransfer ke dalam 50 µL media pertumbuhan. Kultur diinkubasi dengan pengocok selama + 2 jam untuk menghasilkan OD 0,5 – 0,6. Inkubasi dilakukan kembali di dalam es selama 15 menit. Kultur ditransfer ke tabung mikrosentrifugasi 1,5 mL, serta disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 13.000 rpm dan suhu 4°C. Supernatan dicampur dengan + 750 µL CaCl2, diresuspensi dan diinkubasi di es selama 20 menit. Sentrifugasi dilakukan kembali selama 15 menit pada kecepatan 3.000 rpm dan suhu 4°C. Pelet yang dihasilkan, dicampur dengan 75 µL CaCl2 dan 5 µL gliserol. Dilakukan uji kontaminasi kompeten sel, dengan meletakkan ke dalam media LB (tanpa antibiotik) dan LB + ampisilin. Stok kompeten sel yang tidak terkontaminasi lalu disimpan pada suhu 80°C. PCR ekson 9 gen PIK3CA Amplifikasi ekson 9 menggunakan teknik nested PCR dengan mesin Kyratec super thermal cycler (Australia). Primer yang digunakan mengacu dari Bachman et al. (2006). Reaksi PCR tambahan dilakukan untuk menambahkan situs restriksi BamH1 pada ujung 3’ dari produk PCR ekson 9, dengan menggunakan primer yang telah ditambahkan situs BamH1 (Tabel 1). Urutan primer dan ukuran amplikon disajikan pada tabel 1. Reaksi PCR menggunakan volume akhir 50 µL, yang terdiri dari: 25 µL Kapa taq hotstart DNA polymerase, 10 pmol primer, 1 µL DNA genom dan 22 µL nuclese free water. Reaksi amplifikasi terdiri dari: 1 siklus pradenaturasi 95°C selama 3 menit; 35 siklus yang terdiri dari: denaturasi 95°C selama 30 detik, aneling 57°C selama 30 detik, dan ekstensi 72°C selama 30 detik; 1 siklus pos ekstensi 72°C selama 5 menit. Konfirmasi hasil PCR menggunakan mesin elektrophorator MupidExu dengan 1% gel agarosa. Amplikon yang dihasilkan berukuran 210 bp. PCR E545A Reaksi PCR menggunakan mesin Kyratec super thermal cycler dari Australia. Urutan primer dan ukuran amplikon disajikan pada Tabel 1. Kondisi dan komposisi PCR, sama seperti pada reaksi PCR tambahan ekson 9 PIK3CA. Konfirmasi hasil
12
PCR menggunakan mesin elektrophorator Mupid-Exu dengan 1% gel agarosa. Amplikon E545A berukuran 210 bp. Reaksi PCR dilakukan dalam volume akhir 50 µL yang mengandung: 25 µL Kapa taq hotstart DNA polymerase; 10 pmol primer 1 µL; 1 µL DNA genom dan 22 µL Nuclease free water. Reaksi amplifikasi dilakukan menggunakan kondisi PCR yang sama dengan sebelumnya. Purifikasi Purifikasi produk PCR dilakukan dengan menggunakan kit Wizard SV Gel and PCR clean-up system dari promega (USA). Produk PCR dicampur dengan 100µL membrane binding solution dan divorteks. Larutan tersebut ditransfer ke spinx coloumn dan diinkubasi pada suhu ruang selama 3 menit. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 13.000 rpm dan suhu 22°C selama 3 menit. Pelet dilarutkan dengan 700 µL membrane wash buffer, dan disentrifugasi kembali dengan kondisi yang sama. Pelet disentrifugasi 3X pada kecepatan 13.000 rpm dan suhu 22°C selama 5 menit. Pelet pada bagian dasar spinx coloumn dielusi dengan 25µL nuclease free water. Untuk membantu proses elusi, dilakukan inkubasi selama 1 menit pada suhu 22°C sebelum disentrifugasi dengan kondisi yang sama. DNA hasil purifikasi akan lepas dari spinx coloumn, dan pindah ke dalam tabung mikrosentrifugasi 1,5 mL dibagian bawahnya. Hasil purifikasi selanjutnya disimpan di dalam es. Transformasi Sebanyak 50 µL sel kompeten dicampur dengan 10 µL produk ligasi Selanjutnya, dilakukan Inkubasi pada es selama 30 menit. Untuk membantu proses transformasi, dilakukan perlakuan kejut panas pada suhu 42°C selama 45 menit. Inkubasi dilakukan kembali di es selama 5 menit. Sel kompeten yang telah membawa produk ligasi lalu ditumbuhkan dalam 1 mL media LB cair. Inkubasi campuran di atas menggunakan shaker pada kecepatan 200 rpm selama 1 jam dengan suhu 37°C. Sebanyak + 950 supernatan dibuang, dan + 50 µL supernatan sisanya diresuspensi dengan pelet. Hasil transformasi lalu disebar pada media LB padat yang berisi 100 µg/µL ampisilin, 0,5 mM IPTG dan 80 µL /mL X-gal dan diinkubasi pada suhu 37°C selama semalam. Koloni yang mengandung plasmid rekombinan akan berwarna putih, sedangkan plasmid non rekombinan berwarna biru. Dari koloni yang tumbuh dipilih beberapa koloni berwarna putih untuk pembuatan replika dan PCR koloni. PCR koloni dilakukan dengan menggunakan komposisi dan kondisi PCR yang sama dengan proses amplifikasi. Replika koloni rekombinan dikultur dalam 5 mL media LB cair yang mengandung 100 µg/µL ampisilin. Inkubasi dilakukan kembali pada kecepatan 200 rpm dengan suhu 37°C selama semalam. Isolasi plasmid rekombinan Isolasi plasmid dilakukan dengan menggunakan High Speed plasmid mini kit dari geneaid. Proses ekstraksi di awali dengan pembuatan kultur sel transforman, yang diinkubasi selama semalam pada suhu 37°C. Kultur di sub aliquot ke dalam tabung mikrosentrifugasi 1,5 mL dan disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 3 menit dan suhu 10°C. Pelet dicampur dengan 200 µL buffer PD 1, divorteks, dan dicampur dengan 200 µL buffer PD 2. Campuran dihomogenkan
13
dengan membolak-balikan tabung + 10 X. Inkubasi dilakukan selama 2 menit sebelum ditambahkan dengan 300 µL buffer PD3. Campuran dihomogenkan kembali dengan cara yang sama. Sentrifugasi dilakukan kembali dengan kondisi yang sama. Pelet dilarutkan dengan 600 µL washing buffer dan disentrifugasi dengan kondisi yang sama seperti di atas. Pelet yang mengandung plasmid rekombinan dielusi dengan 50 µL elution buffer. Pelet diinkubasi selama 2 menit pada suhu kamar. Sentrifugasi dilakukan kembali pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit pada suhu 10°C. Supernatan yang mengandung plasmid rekombinan disimpan dalam es. Verifikasi hasil isolasi plasmid menggunakan gel agarosa 1%. Plasmid rekombinan disekuensing dengan direct sequencing, oleh lembaga 1st base di Singapura. Sekuensing dilakukan untuk memastikan keberhasilan proses kloning. Analisis Prediksi Kurva Melting Prediksi kurva melting dilakukan untuk mengetahui kemiripan nilai Tm dan puncak melting antara Ekson 9 E545A gen PIK3CA dengan E545A pseudogene ces. Tahap ini bertujuan untuk menentukkan apakah E545A pseudogene bisa digunakan sebagai pengganti E545A gen PIK3CA, pada kegiatan pengembangan teknik deteksi ini. Prediksi kurva menggunakan software POLAND yang tersedia secara online (http://www.biophys.uniduesseldorf.de/local/POLAND/poland.html) (Abtahi et al. 2011).
Pengembangan teknik Tm shift SYBR green I qPCR Optimasi primer reverse Kehadiran mutasi tambahan pada ujung 3’ dari E545A, menyebabkan optimasi primer dengan orientasi reverse (rev) menjadi hal yang penting. Optimasi dilakukan menggunakan dua jenis primer rev dengan GC content yang berbeda. Kedua jenis primer rev masing-masing dikombinasikan oleh primer forward yang pada kondisi tertentu dapat mengenali ekson 9 PIK3CA dan E545. Urutan primer dan ukuran amplikon disajikan pada tabel 1. Reaksi PCR dilakukan dalam tabung terpisah dengan volume akhir 10 µL , yang terdiri dari: 3 ng plasmid rekombinan, 3,6 µL nuclease free water, 5 µL Kapa SYBR Fast qPCR master mix (2X) universal, 10 pmol primer. Reaksi amplifikasi terdiri dari: 1 siklus predenaturasi pada 95°C selama 3 menit; 34 siklus yang terdiri dari: Denaturasi 95°C selama 10 detik, aneling 55 °C selama 30 detik, dan ekstensi 72°C selama 30 detik. Kurva pelelehan diperoleh dengan menaikkan suhu secara perlahan dari 65°C - 95°C pada laju pelelehan 0,2°C/detik. Optimasi konsentrasi primer dan suhu aneling Optimasi dilakukan pada mesin CFX 96 thermal cycler dari Biorad. Reaksi PCR dilakukan dalam satu tabung tunggal. Dua primer spesifik alel dan satu primer reverse berada dalam satu tabung PCR. Primer spesifik alel yang mengenali ekson 9 disebut primer long, sedangkan primer spesifik alel yang mengenali E545A disebut primer short. Urutan dan ukuran amplikon disajikan pada tabel 1. Optimasi menggunakan rasio konsentrasi primer, dan kondisi PCR yang berbeda-beda (Tabel 2).
14
Tabel 2 Kombinasi suhu aneling dan rasio proporsi ketiga primer Opt. 1A B 2A B
Primer Long (µM) 0,02 0,0175 0,03 0,03
Primer Short (µM) 0,02 0,02 0,0175 0,0170
Primer Rev (µM) Suhu Aneling (°) 0,02 54,4-60 0,02 62 0,02 63-65 0,03 65-68
Reaksi PCR dilakukan dalam satu tabung tunggal dengan volume akhir 10
µL, yang terdiri dari : 3 ng DNA plasmid, 10 pmol primer, 5 µL Kapa SYBR fast master mix (2X) Universal, dan 3,23 µL nuclease free water. Reaksi amplifikasi untuk tipe 1 terdiri dari: 1 siklus predenaturasi pada 95°C selama 3 menit; 34 siklus, terdiri dari: denaturasi 95° selama 10 detik, aneling 54,4°-62°C selama 30 detik, dan ekstensi pada 72° selama 3 menit. Reaksi amplifikasi untuk tipe 2 terdiri dari: 1 siklus predenaturasi pada 95°C selama 3 menit; 34 siklus, terdiri dari: denaturasi 95°C selama 10 detik dan aneling pada 65°-68°C selama 30 detik. Kurva melting dan nilai Tm dari produk PCR, diperoleh dengan menaikkan suhu reaksi secara perlahan, dari 65°C - 95°C dengan laju kecepatan 0,2°C/s. Verifikasi hasil qPCR dilakukan pada elektrophorator Mupid-Exu dengan elektroforesis gel agarosa 3,5%. Gel diwarnai dengan EtBr, dan divisualisasi dengan UV transluminator dari Major Science.
Karakterisasi metoda deteksi E545A Uji Presisi Uji presisi dilakukan dengan menguji kembali teknik Tm shift SYBR green I qPCR yang dikembangkan, menggunakan kedua sampel target. Dilakukakan tiga kali proses PCR dengan tiga kali ulangan. Selanjutnya hasil yang diperoleh, lalu dibandingkan untuk mengetahui konsistensi atau reprodusibilitas dari teknik tersebut. Analisis koefisien determinasi (R2) dan Efisiensi amplifikasi (E) qPCR Analisis R2 dan E dilakukan untuk mengetahui kualitas pengujian qPCR yang dilakukan. Dilakukan dengan melakukan 10X pengenceran bertingkat pada 3 ng sampel E545A, sebanyak tujuh titik. Nilai CT dan Log jumlah salinan setiap pengenceran, digunakan untuk memperoleh nilai R2. Nilai slope yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan nilai Efisiensi, pada pengujian tersebut. Uji sensitivitas Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui konsentrasi terendah sampel E545A, yang bisa dikenali oleh teknik yang dikembangkan pada kehadiran sampel normal. Pengujian ini sangat penting dilakukan, terutama karena jaringan kanker yang diperoleh sering mengandung kombinasi keduanya. Uji sensitivitas dilakukan dengan mencampur masing-masing 3ng plasmid rekombinan E545A dengan ekson 9 dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu: 100%, 50%, 25%, 15%, 10%, 5%, 1%, dan 0%.
15
Analisis data Pada penelitian ini, analisis data yang digunakan terdiri dari: Uji MannWhitney U, % koefisien variasi (CV), koefisien determinasi dan efesiensi amplifikasi. Uji Man-Whitney U digunakan untuk menganalisis distribusi GC dalam amplikon ekson 9 dan E545A. Koefisien variasi digunakan untuk mengetahui presisi atau konsistensi dari teknik yang dikembangkan. Terdiri atas dua jenis, yaitu: intra assay (antar pengulangan dalam satu tahap PCR) dan inter assay (antar pengulangan pada tahap PCR yang berbeda). Koefisien determinasi diperoleh dengan memplotkan nilai CT dan log jumlah salinan pada setiap pengenceran. Jumlah salinan DNA diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut (Gadiou et al. 2012): Masa (gr) 𝑥 Bilangan Avogardo Jumlah salinan DNA = 10^9 𝑥 650 𝑥 panjang sampel Efisiensi amplifikasi diperlukan untuk mengetahui seberapa baik reaksi qPCR yang terjadi. Menurut Karlen et al. (2007), efisiensi amplifikasi diperoleh dengan persamaan: E = 10-1/slope dan % Efisiensi = (E-1) x 100%.
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi plasmid rekombinan ekson 9 dan E545A Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan plasmid rekombinan ekson 9 dan E545A. Plasmid rekombinan digunakan sebagai template pada kegiatan pengembangan teknik Tm shift SYBR green I qPCR. Isolasi genom merupakan langkah awal dalam kegiatan preparasi plasmid rekombinan. Dilakukan menggunakan jaringan beku pasien kanker payudara. Jaringan beku memiliki kelebihan dibanding sumber genom lainnya, seperti FFPE. Terutama pada tingkat keberhasilan isolasi DNA, dimana jaringan beku (100%) lebih besar dibanding FFPE (76%). Hal ini karena fiksasi formaldehid pada sampel FFPE, berpotensi mendegradasi DNA genom (Wang et al. 2013). Verifikasi isolasi genom yang diperoleh, dilakukan menggunakan elektroforesis gel agarosa 1%. Penggunaan konsentrasi agarosa yang rendah, baik untuk memisahkan fragmen DNA dengan ukuran yang besar seperti DNA genom (Lee et al. 2012). Visualisasi hasil isolasi genom menunjukkan pita berukuran >20.000 pb, seperti yang ditunjukkan pada gambar 6. Pita tersebut merepresentasikan DNA genom. 1kb+
DNA genom >20.000 pb
Gambar 6 Visualisasi hasil isolasi DNA genom Isolasi dan ampifikasi kedua gen dilakukan menggunakan pendekatan PCR yang berbeda, yaitu ekson 9 menggunakan nested PCR dan E545A menggunakan PCR standar. Penggunaan nested PCR pada ekson 9, bertujuan untuk menghindari amplifikasi sekuens homolog dari gen tersebut. Menurut Sanchez-Cespedes (2009), ekson 9 memiliki homologi yang tinggi dengan beberapa gen di kromosom 16 dan 22. Pseudogene cat eye syndrome merupakan gen homolog ekson 9 yang terletak pada kromosom 22. Diperkirakan gen ini memiliki 98% homologi dengan ekson 9. Gen homolog tersebut diketahui memiliki urutan basa yang sama dengan mutan E545A ekson 9, kecuali pada dua basa di c.1658 dan c.1659 (Tornesello et al. 2014). Kemiripan antara pseudogene dan mutan E545A ekson 9, menjadi alasan penggunaan pseudogene pada kegiatan pengembangan teknik deteksi ini. Kesamaan urutan basa antara keduanya, memudahkan proses isolasi dengan hanya menggunakan PCR standar. Gradien PCR dilakukan untuk mendapatkan suhu aneling terbaik dari reaksi PCR kedua sampel target. Dilakukan dengan lima suhu aneling yang berbeda, yaitu: 54°, 55° , 57°, 58°, dan 59°. Visualisasi hasil gradien di atas, menunjukkan pita
17
tunggal dengan ukuran 210 pb pada semua suhu (Gambar 7A). Hal ini menunjukkan kelima suhu merupakan suhu aneling optimum untuk amplifikasi kedua sampel target. Untuk mendapatkan hasil PCR yang stabil, maka dipilih suhu 57° untuk kegiatan PCR berikutnya. Purifikasi produk PCR dilakukan untuk menghilangkan pengotor di dalamnya. Kehadiran pengotor bisa mengganggu tahap kloning berikutnya. Visualisasi hasil purifikasi hanya menunjukkan pita tunggal berukuran 210 bp, baik pada elusi 1 maupun elusi 2. Hasil tersebut menunjukkan keberhasilan proses purifikasi (Gambar 7B). A 1kb+
54
55
57
58
59
B 1kb+
Eks 9
E545A
210 pb
210 pb
Gambar 7 Visualisasi hasil gradien suhu dan purifikasi sampel target. A) Gradien suhu; dan B) purifikasi ekson 9 dan E545A Ligasi DNA adalah salah satu tahap penting pada kegiatan preparasi plasmid rekombinan. Dilakukan dengan memanfaatkan kehadiran situs komplemen pada produk PCR (poli A) dan vektor pGEM-Teasy (basa T) (Chen et al. 2009; Souii et al. 2013). Enzim T4 DNA ligase akan mengkatalis pembentukkan ikatan fosfodiester antara basa A dan basa T tersebut (Shuman 2009). Hasil ligasi ditransformasi ke dalam sel kompeten e.coli DH5α, yang memiliki laju pertumbuan dan efisiensi transformasi yang tinggi (Kostylev et al. 2015). Verifikasi hasil transformasi dilakukan menggunakan seleksi biru putih. Hasil transformasi kedua gen menunjukkan masing-masing 8 koloni berwarna putih (Gambar 8A & B). PCR koloni berwarna putih tersebut, dilakukan untuk memastikan keberhasilan proses transformasi. Visualisasi hasil PCR, menunjukkan pita tunggal berukuran 210 pb pada semua koloni (Gambar 8C). Pita tersebut merepresentasikan ekson 9 dan E545A. B
A
C
1kb+
Ekson 9
E545A
210 pb
Gambar 8 Hasil transformasi dan PCR koloni. A) Replika ekson 9; B) E545A; dan C) Visualisasi hasil PCR koloni kedua sampel target
18
Isolasi plasmid rekombinan dilakukan terhadap koloni di atas. Visualisasi hasil isolasi plasmid memperlihatkan topologi plasmid yang berbeda. Terlihat dari munculnya beberapa pita dengan ukuran di antara 2.000-4.000 bp (Gambar 9A). Perbedaan topologi disebabkan oleh aktivitas enzim DNA topoisomerase di dalam sel E.coli (Higgins & Vologodskii, 2016). Enzim tersebut akan merubah topologi plasmid dari sirkular hingga superkoil. Perbedaan topologi akan menyebabkan perbedaan kemampuan pergerakan plasmid di atas gel agarosa. Plasmid sirkular memiliki pergerakan yang jauh lebih lambat dibanding superkoil. 1 kb+
Ekson 9
E545A
4.000 pb 2.000 pb
Gambar 9 Visualisasi hasil isolasi plasmid Identifikasi plasmid rekombinan dilakukan menggunakan direct Sanger sequencing. Hasil sekuensing menunjukkan, berhasil didapatkan plasmid rekombinan ekson 9 dan ekson 9 E545A. Tidak ditemukan mutasi pada ekson 9 (Gambar 10A). Sebaliknya pada sampel ekson 9 E545A, mutasi tidak hanya pada titik E545A (c.1634 A C), tetapi juga pada c.1658 (G C) dan delesi (basa T) di c.1659 (Gambar 10B). Dua mutasi di c.1658 dan c.1659 tidak seharusnya dimiliki oleh ekson 9 E545A. A c.1634A
c.1658G & 1659T
B c.1634C
c.1658C & 1659
Gambar 10 Hasil sekuensing ekson 9 dan E545A. A) Ekson 9; dan B) Ekson 9 E545A Berdasarkan beberapa studi sebelumnya, pola mutasi di atas dimiliki oleh sekuens pseudogene cat eye syndrome (ces) di kromosom 22 (Tornesello et al. 2014; Wang et al. 2014). Kemunculan pseudogene ces pada reaksi amplifikasi ekson 9 gen PIK3CA, merupakan hal yang umum terjadi. Hal ini karena terdapat homologi yang tinggi antara keduanya, yaitu 98% (Muller et al. 2007; Vorkas et al. 2010; Baker et al. 2012). Kedua gen hanya berbeda dua basa di c.1658 dan c.1659,
19
dimana tidak terdapat mutasi pada ekson 9 E545A. Dengan demikian hasil sekuensing ekson 9 E545A, merupakan milik dari pseudogene ces. Ketidakhadiran sampel ekson 9 E545A PIK3CA, menjadi masalah yang perlu di atasi. Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut, di antaranya: gen sintetik, site directed mutagenesis, dan penggunaan sekuens homolog. Kedua pendekatan sebelumnya, membutuhkan tambahan waktu dan biaya. Penggunaan sekuens homolog Ekson 9 545A seperti pseudogene ces dinilai lebih mudah dan ekonomis dibanding pendekatan sebelumnya. Hal ini karena memiliki susunan yang hampir sama dengannya. Meskipun demikian, analisis lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui apakah sampel pseudogene bisa digunakan pada penelitian ini. Terutama karena perbedaan dua basa di c.1658 dan c.1659. Analisis dilakukan dengan membandingkan profil puncak dan Tm, antara ekson 9 E545A dan E545A pseudogene. Analisis prediksi puncak melting Analisis prediksi puncak melting digunakan untuk mengetahui kesamaan nilai Tm dan puncak melting antara ekson 9 E545A dan E545A pseudogene. Pemilihan Tm dan puncak melting sebagai indikator dalam analisis ini, disebabkan karena kedua paramater digunakan sebagai alat diskriminasi pada teknik yang dikembangkan. Tahap ini sangat penting untuk menentukkan kelayakan sampel E545A pseudogene, sebagai template pada kegiatan penelitian ini. Analisis dilakukan menggunakan software POLAND. Prediksi puncak melting dengan menggunakan software ini, juga dilakukan oleh beberapa penelitian (Rasmussen et al. 2007; Abtahi et al. 2011). Pemilihan software ini, salah satunya disebabkan oleh kemudahan proses pengoperasiannya dibandingkan software sejenis lainnya. Tidak hanya itu, POLAND lebih akurat dalam memprediksi kurva melting yang dihasilkan secara in vivo, dibanding MELTSIM. Jumlah puncak melting yang diprediksi dari software POLAND juga terbukti konsisten dengan data fisik hasil real time PCR (Rasmussen et al. 2007). Analisis diawali dengan memasukkan sekuens E545A gen PIK3CA dan E545A pseudogene ces (Gambar 11A & B). Kedua sekuens mendapatkan tambahan sekuens primer forward long diujung 5’, serta sekuens primer revererse 1 diujung 3’ (Tabel 1). A E545A
c.1658 & 59
B E545A
c.1658 & 59
Gambar 11 Sekuens E545A: PIK3CA dan pseudogene. A) E545A PIK3CA; dan B) E545A pseudogene
20
Hasil analisis kedua sekuens menunjukkan pola puncak, tinggi puncak dan nilai Tm yang sama ( + 80°) (Gambar 12). Perbedaan dua basa (c.1658 dan c.1659), tidak mempengaruhi nilai Tm dari kedua sampel. Oleh karena itu berdasarkan kesamaan di atas, maka sampel E545A pseudogene dapat digunakan sebagai template mutan, pada kegiatan pengembangan teknik deteksi mutan E545A gen PIK3CA. A 0.20
260 nm 280 nm Theta
0.25 0.20
0.15
Fluoresensi
Fluoresensi
B
260 nm 280 nm Theta
0.20
0.10 0.20
0.05
0.15 0.20
0.10 0.20
0.05
0.20
0.20
0.00 0.20
40
80
0.00 100 0 T/°C
0.20
40
80
100 0
T/°C
Gambar 12 Prediksi Puncak melting. A)E545A PIK3CA; dan B) E545A pseudogene ces
Pengembangan teknik Tm shift SYBR green I qPCR Optimasi primer reverse Pada perancangan primer untuk optimasi teknik PCR, terdapat penambahan GC tail pada ujung 5’ primer forward (fw) (Tabel 1). Basa tambahan tersebut menyebabkan terkonsenstrasinya distribusi GC pada sisi 5’ produk PCR. Ketidakseimbangan distribus GC menyebabkan terbentuknya dua kurva pada satu produk PCR. GC yang dominan pada salah satu sisi produk PCR menyebabkan proses denaturasi menjadi bertahap. Diawali pada daerah kaya AT ketika suhu rendah dan ketika suhu cukup tinggi, dilanjutkan pada daerah yang kaya GC (Abtahi et al. 2011). Kehadiran kurva ganda harus dihindari, terutama untuk kepentingan diagnostik. Sebagai langkah untuk mencegah hal diatas, perlu dilakukan pencarian primer reverse (rev) terbaik. Optimasi primer rev dilakukan menggunakan dua primer rev dengan GC content yang berbeda. Primer rev 1 dirancang memiliki GC content yang lebih tinggi dari primer rev 2 (Gambar 13). Kehadiran basa tambahan di sisi 5’ primer rev 1 menyebabkan GC content yang lebih tinggi. Basa tambahan tersebut, diharapkan dapat menyeimbangkan distribusi GC di sisi 3’ produk PCR.
21
5GC + BamHI
Gambar 13 Sekuens amplikon E545A. Ket: Primer rev 1 (merah) dan primer rev 2 (hijau) Penambahan basa disisi 5’ pada primer 1, meningkatkan kualitas puncak yang dihasilkan. Terlihat puncak amplikon primer rev 1 lebih langsing, tinggi, dan meruncing dibanding rev 2. Puncak tambahan yang hadir pada amplikon primer rev 2, juga tidak terlihat pada primer rev 1. Basa tambahan tersebut juga meningkatkan nilai Tm yang dihasilkan. Nilai Tm amplikon rev 1(78,2°) lebih besar dibanding rev 2 (75,4°) (Gambar 14). Hal ini karena terdapat hubungan linier antara GC content dengan nilai Tm, di mana semakin besar GC content maka nilai Tm akan semakin besar (Khandelwal & Bhyravabhotla, 2010). Berdasarkan hasil di atas, maka dipilih primer rev 1 untuk kegiatan optimasi berikutnya. Puncak melting 78,2
-d (RFU)/dT
75,4
Non spesifik
Suhu (°C)
Gambar 14 Hasil optimasi primer rev. Puncak melting E545A primer rev 1 dan (merah) primer rev 2 (biru) Analisis distribusi GC ekson 9 dan E545A Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa ketidakseimbangan distribusi GC akan menyebabkan terbentuknya bimodal curve. Secara statistik, peluang terjadinya bimodal curve dalam suatu amplikon bisa diketahui. Salah satunya dengan menggunakan uji Mann-Whitney U (Abtahi et al. 2011). Uji MannWhitney U adalah analog non parametrik dari Student t-test dan sangat cocok untuk sampel dengan ukuran yang kecil (< 20) (Jabado et al. 2010).
22
Tahap ini penting dilakukan sebelum proses real time PCR, untuk mencegah terjadinya false pada hasil pengujian yang diperoleh. Diawali dengan membagi basa amplikon ke dalam dua kelompok, baik pada ekson 9 maupun E545A. Setiap kelompok dibagi menjadi kelompok yang lebih kecil, setiap 10 basa. Dilakukan perhitungan nilai U untuk setiap kelompok. Nilai yang diperoleh dibandingkan dengan nilai U tabel pada taraf signifikansi 0,05 (Tabel 3). Hasil perhitungan statistik menunjukkan, nilai U hitung pada kedua amplikon, lebih besar dibanding U tabel (Tabel 3). Nilai tersebut menunjukkan distribusi GC seimbang pada kedua sekuens amplikon. Dengan demikian tidak terdapat potensi bimodal curve di dalamnya. Tabel 3 Uji Mann-Whitney U ekson 9 dan E545A Amplikon Kelompok Sub %GC Kelompok 1 -10 basa 80% 11-20 basa 40% Kelompok 1 21-30 basa 70% (1-50 basa) 31-40 basa 40% 41-50 basa 30% Ekson 9
U tabel (0,05)
8,5 > 1(0,05) Kelompok 2 (51-82 basa)
Kelompok 1 (1-50 basa)
51-60 basa 61-70 basa 71-82 basa 1-10 basa 11-20 basa 21-30 basa 31-40 basa 41-50 basa
50% 30% 75% 90% 70% 40% 80% 20% 8 > 1 (0,05)
E545A Kelompok 2 (51-89 basa)
51-60 basa 61-70 basa 71-80 basa 81-89 basa
50% 40% 40% 75%
Optimasi konsentrasi primer dan suhu aneling Konsentrasi primer dan kondisi PCR yang tepat, sangat dibutuhkan untuk bisa mendapatkan hasil PCR terbaik. Terutama pada kehadiran tiga jenis primer yang berbeda dalam satu tabung PCR. Optimasi ini dibagi menjadi dua kegiatan utama, yaitu: 1) optimasi menggunakan konsentrasi primer mismatch (long) dan suhu aneling yang rendah, tanpa fase ekstensi; dan 2) dengan konsentrasi primer mismatch dan suhu aneling yang tinggi, tanpa fase ekstensi. Optimasi dengan kondisi satu menunjukkan hasil yang kurang baik. Terlihat dengan dihasilkan empat puncak pada kedua sampel target. Puncak tersebut masing-masing memiliki Tm: 78°, 78.9°, 84.2°, dan 87° (Gambar 15). Tidak hanya itu, visualisasi elektroforesis optimasi satu juga menunjukkan empat pita. Pita di antaranya berukuran: 1000 pb, 400 pb, 89 pb, dan 82 pb. Setiap pita mewakili puncak di atas.
23
Nilai Tm berbanding lurus dengan panjang basa suatu amplikon (Khandelwal & Bhyravabhotla, 2010). Dengan membandingkan keduanya diketahui bahwa: 1) pita berukuran 1000 pb merupakan milik puncak dengan Tm 87°; 2) pita 400 pb merupakan milik puncak dengan Tm 84,2°; 3) pita berukuran 89 pb merupakan milik puncak dengan Tm 78,9°; dan 4) pita berukuran 82 pb merupakan milik puncak dengan Tm 78° (Gambar 15A & B). Hasil di atas menunjukkan, kondisi optimasi satu tidak bisa digunakan untuk mendiskriminasi sampel target. Pola puncak untuk E545A juga masih kurang baik. Perlu dilakukan optimasi berikutnya. A
Puncak melting 78
-d (RFU)/dT
200 000
78,9
150 000 100 000
84,2 75,4
50 0 70
65 B
1kb+
75
80 Suhu (°C)
Ekson 9
85
95
90
E545A
1000 pb
400 pb
89 pb 82 pb Gambar 15 Hasil optimasi 1 dan visualisasinya. A) Puncak melting dengan suhu aneling 62°C; dan B) visualisasinya. Produk non spesifik yang muncul pada optimasi satu akan menekan pembentukkan produk spesifik. Sehingga dapat menurunkan efisiensi dari reaksi amplifikasi. Amplifikasi non spesifik salah satunya disebabkan oleh suhu aneling yang berada di bawah kondisi optimum (Kennedy & Oswald, 2011). Peningkatan suhu aneling dapat mereduksi amplifikasi non spesifik, dan meningkatkan amplifikasi produk spesifik. Tidak hanya itu, penggunaan fase ekstensi untuk
24
produk PCR <100 pb juga menyebabkan amplifikasi non spesifik (Saunders & Lee, 2013). Penghilangan fase ekstensi akan mengurangi peluang terjadinya amplifikasi non spesifik. Profil puncak E545A yang kurang baik kemungkinan disebabkan oleh dominasi primer short terhadap primer long. Hal ini karena aktivitas ekstensi primer mismatch (long) hanya 15%, dibanding primer non mismatch (Dorak 2006). Konsentrasi primer short yang rendah pada optimasi satu, semakin menurun aktivitas ekstensi primer long. Penggunaan konsentrasi primer mismatch yang tinggi diharapkan akan memperbaiki profil puncak E545A. Berdasarkan hal di atas, maka penggunaan konsentrasi primer long dan suhu aneling yang tinggi, serta tanpa fase ekstensi digunakan pada optimasi berikutnya. Sesuai dengan teori di atas, penggunaan optimasi dua terbukti mampu meningkatkan kemampuan diskriminasi dari teknik yang dikembangkan baik pada formulasi 2A dan 2B. Keduanya menunjukkan pola Tm shift yang sama. Didapatkan suhu 65° dan 66,2° sebagai suhu terbaik. Pada suhu tersebut, puncak target dari ekson 9 (78,1±0,10°) dan E545A (80,20°) tampak lebih dominan dibanding puncak non target (Gambar 16A). Terjadi pergeseran suhu melting sebesar ±2° dari ekson 9 ke E545A. Teknik Tm shift yang dikembangkan, memanfaatkan pergeseran suhu melting tersebut sebagai alat diskriminiasi kedua amplikon. Pada suhu tersebut, puncak target kedua amplikon memiliki tinggi yang sama. Tetapi apabila dibandingkan dari tinggi puncak target dengan non target, maka suhu 66,2° menunjukkan hasil yang lebih baik. Terlihat pada suhu 65°, puncak non target ekson 9 cukup tinggi dan hampir mendekati puncak target (data tidak ditunjukkan). Tetapi tidak pada suhu 66,2° (Gambar 16A). Sehingga dipilih suhu 66,2° sebagai suhu aneling terbaik. Puncak melting di bawah dan di atas kedua suhu tersebut, menunjukkan tinggi puncak target yang tidak sama. Terlihat puncak ekson 9 lebih dominan dibanding puncak E545A (Gambar 16B). Hasil PCR diperkuat oleh hasil elektroforesis 3,5% gel agarosa. Visualisasi hasil elektroforesis kedua amplikon menunjukkan baik pita puncak target maupun non target. Pada suhu terbaik, yaitu 66,2° pita target memiliki ukuran yang lebih tebal dibanding non target. Terlihat dengan pita berukuran 82 pb di ekson 9 dan 89 bp di E545A, yang lebih tebal dibanding pita lainnya (Gambar 16C). Dengan demikian elektroforesis juga bisa digunakan sebagai alat diskriminasi untuk ekson 9 dan E545A. Berdasarkan hasil optimasi yang telah dilakukan, maka didapatkan kondisi terbaik teknik Tm shift SYBR green I qPCR. Berikut beberapa hasil yang diperoleh: 1) Primer rev 1; 2) Rasio konsentrasi primer sebagai berikut: 0,03 µM (long): 0,0170 µM (short): 0,03 µM (rev); 3) Suhu aneling 66,2°; dan 4) tanpa fase ekstensi. Dengan kondisi tersebut, terjadi pergeseran suhu melting ± 2°C dari ekson 9 dan E545A. Oleh sebab itu maka teknik ini disebut dengan teknik Tm shift SYBR green I qPCR.
25
Puncak melting
A
82
-d(RFU)/dT
78,01 + 0,1
Suhu (°C) Puncak melting
B
78,01 + 0,1 -d(RFU)/dT
82
Suhu (°C) C
1kb+ Ek9 E45A N
Ek9
E545A N
Ek9 E545A N Ek9 E545A N
Gambar 16 Hasil real time optimasi 2 dan visualisasinya. A) 66,2°; B) 68°; dan C) visualisasinya. Ket: 68° (hitam), 67°(merah), 66,2° (biru) dan 65° (hijau)
Tidak hanya nilai Tm, nilai CT kedua produk juga menunjukkan nilai yang berbeda. Pada kondisi terbaik (optimasi 2B), diperoleh nilai CT ketiganya sbb: 1) Ekson 9 (13,41±0,23); 2) E545A (9,73±0,75); dan 3) ntc (29,79±1,28) (Gambar 17). Kehadiran ntc merupakan hal yang lumrah, terutama ketika menggunakan pewarna non spesifik seperti SYBR green I (Yang et al. 2007). Nilai CT ntc > 5
26
dapat diabaikan (Bustin et al. 2009). Hal ini karena masih bisa dibedakan antara CT ntc dengan sampel.
RFU
Amplifikasi
9,73
13,41
29,79
Siklus Gambar 17 Plot amplifikasi dengan suhu aneling 66,2°. Ket: Ekson 9 (biru), E545A (hijau), dan ntc (merah) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, unit fluoresensi yang tinggi akan menghasilkan nilai CT yang rendah. Unit fluoresensi amplikon dihitung dengan menggunakan model Colborn et al. (2008). Model tersebut berasumsi bahwa setiap satu pasang basa AT menghasilkan dua unit fluoresensi, sedangkan satu pasang basa GC menghasilkan dua unit. Semakin tinggi unit fluoresensi suatu amplikon, maka semakin cepat sinyal melewati garis threshold (Thornton & Basu, 2011). Oleh sebab itu, E545A dengan unit fluoresensi yang tinggi menghasilkan nilai CT yang rendah (Tabel 4). Perbedaan nilai CT memberikan alternatif alat diskriminasi tambahan, selain nilai Tm. Tabel 4 Unit fluoresensi ekson 9 PIK3CA dan E545A Produk PCR Ukuran GC% Ekson 9 82 bp 50% E545A 89 bp 56,2%
Floresens unit 122 Unit 125 Unit
Karakterisasi Metoda Deteksi E545A Uji Presisi Pada kegiatan diagnostik, teknik deteksi harus memiliki presisi yang baik. Presisi ditunjukkan oleh konsistensi teknik dalam mengenali targetnya. Hasil yang berubah - ubah, menunjukkan teknik memiliki presisi yang tidak baik. Uji presisi dilakukan untuk mengetahui seberapa konsisten teknik Tm shift SYBR green I qPCR dalam mengenali sampel target. Pengujian dilakukan dengan mengulang proses deteksi menggunakan kondisi terbaik yang diperoleh. Pengulangan dibuat dalam beberapa hari yang berbeda, dengan tiga pengulangan di setiap harinya. Secara statistik presisi dihitung dengan menggunakan koefisien variasi (CV). Terdiri atas dua perhitungan , yaitu: 1) intra
27
assay, dari hasil pengulangan pada hari yang sama; dan 2) inter assay, pengulangan pada hari yang satu dengan hari lainnya. Koefisien variasi intra > 10% dan inter > 15%, menunjukkan presisi yang baik dari teknik yang dikembangkan (Schulteiss & Stanton, 2009; Widyastuti 2014). Hasil perhitungan koefisien variasi intra dan inter assay kedua sampel menunjukkan nilai 0. Menurut Schulteiss & Stanton (2009), nilai tersebut menunjukkan presisi yang baik dari teknik yang dikembangkan. Terlihat dengan konsistensi nilai Tm yang diperoleh pada kedua sampel, baik pada hari yang sama maupun hari yang berbeda. Tabel 5 Koefisien variasi intra dan inter assay Amplikon
Intrarun
Ekson 9
1 2 1 2
E545A
Tm (°C) 78,20 78,20 80,20 80,20
Mean Tm (°C) 0 0
CV Intra (%) 0 0 0 0
CV Inter (%) 0 0
Analisis Koefisien determinasi (R2) dan Efisiensi amplifikasi (%E) qPCR Koefisien determinasi (R2) dan Efisiensi amplifikasi merupakan parameter yang umum digunakan untuk menentukkan keberhasilan pengujian qPCR. Pengujian qPCR dikatakan baik apabila nila R2 (0,995 – 1) dan % E: 90 – 105%. Apabila berada di atas dan di bawah nilai yang diinginkan, maka pengujian qPCR memiliki kualitas yang buruk. Hal ini di antaranya disebabkan oleh kehadiran inhibitor dan amplifikasi non spesifik, pada proses qPCR (Kubis et al. 2013). Hasil qPCR pada pengenceran bertingkat menunjukkan teknik yang dikembangkan, masih mampu mengenali sampel E545A hingga pada konsentrasi 10% (0,3 ng). Terlihat puncak yang dihasilkan masih bisa dibedakan dengan puncak ekson 9 (Gambar 18). Nilai tersebut menunjukkan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan direct sekuensing, yang hanya mampu mengenali 15-25% mutasi gen PIK3CA (Ang et al. 2015).
80,20
\ Gambar 18 Puncak melting E545A pada konsentrasi 10% (0,3ng) Pembuatan kurva standar diperlukan untuk mendapatkan nilai R2. (Karlen et al. 2007). Kurva standar diperoleh dengan memplotkan Log salinan sampel sebagai sumbu X dan nilai CT sebagai sumbu Y (Karlen et al. 2007), yang diperoleh pada
28
setiap pengenceran. Nilai CT ditunjukkan pada gambar 19A. Persamaan regresi linier dari kurva standar menunjukkan slope sebesar -3,2 dan nilai R2 0,9953 (Gambar 19B). Pengujian terbaik memiliki slope sebesar -3,2 dan R2 > 0,988. Hasil tersebut merupakan nilai yang ideal untuk pengujian qPCR. Menurut Kubis et al. 2013), nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan akurasi pengenceran dan presisi pemipetan yang baik, pada pengujian qPCR yang dilakukan (Kubis et al. 2013). Amplifikasi
RFU
A
12,16
9,45
19,09 15,11
23,02
25,51 27,4
Siklus B
30
CT
20
y = -3,2x + 94,842 R² = 0,9953
10 0 0
5
10
15
20
25
30
LOG Jumlah salinan Gambar 19 Plot amplifikasi dan Kurva standar pengujian qPCR. A) Plot amplifikasi pengenceran bertingkat 3 ng – 0,0000003 ng, dan B) Kurva standar E545A Uji Sensitivitas Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui sensitivitas teknik yang dikembangkan dalam mengenali sampel E545A. Terutama pada kehadiran sampel ekson 9. Pengujian ini sangat penting terutama ketika jaringan yang digunakan mengandung sel normal dan mutan. Pengujian dilakukan mencampur sampel E545A dan ekson 9 dengan konsentrasi : 100%, 50%, 25%, 10%, 5%, 1%, dan 0%. Hasil uji sensitivitas pada konsentrasi 100% - 10%, memperlihatkan pola puncak E545A, dengan puncak 80,2° yang lebih tinggi dibanding puncak non target (Gambar 20A). Penggunaan konsentrasi sampel E545A yang lebih rendah (5% 1%) masih menunjukkan pola puncak yang berbeda dari puncak ekson 9 (Gambar 20B & C). Hasil tersebut menunjukkan bahwa teknik yang dikembangkan masih mampu mengenali hingga 1% sampel E545A dari 99% sampel ekson 9. Hasil
29
tersebut relatif lebih baik dibanding teknik sekuensing, yang sudah banyak digunakan sebelumnya. Puncak melting
82°
-d(RFU)/dT
A
Suhu, celsius Puncak melting
B -d(RFU)/dT
82°
Suhu, celsius Puncak melting
C
-d(RFU)/dT
78,2°
Suhu, celsius
Gambar 20 Hasil uji sensitivitas. A) 10% E545A; B) 1% E545A; dan C) 0% E5445A
30
5 SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Pengembangan teknik deteksi mutasi E545A dengan metode Tm shift SYBR green I qPCR telah berhasil dilakukan. Kondisi terbaik teknik di atas yang mampu membedakan sampel normal dan sampel mutan E545A, adalah: 1) Kondisi PCR optimasi 2B dengan suhu aneling 66,2°C tanpa fase ekstensi; dan 2) Komposisi primer: 0,03 µM (primer long) : 0,00175 µM (primer short) : 0,03 µM (primer short). Pada kondisi di atas, terjadi nilai Tm bergeser + 2°C dari ekson 9 ke E545A. Tidak hanya itu, nilai CT juga bergeser + 3,68 dari E545A ke ekson 9.
SARAN Pengujian teknik deteksi E545A yang dikembangkan, dengan DNA hasil isolasi jaringan kanker payudara perlu dilakukan. Untuk validasi hasil deteksi maka teknik ini dibandingkan dengan hasil genotyping PCR sekuensing pada DNA sampel yang sama.
31
DAFTAR PUSTAKA Abtahi H, Sadeghi MR, Shabani M, Edalatkhah H, Hadavi R, Akhondi MM, Talebi S. 2011. Causes of bimodal melting currve: asymmetric guanine-cytosine (GC) distribution causing two peaks in melting curve and affecting their shapes. Afr J Biotechnol. 10(50):10196-10203 Al-Sukhun S, Lataifeh S, Al-Sukhun R. 2016. Defining the prognostic and predictive role of PIK3CA mutations: sifting through the conflicting data. Curr Breast Cancer. 8(2): 73-79 Ang D, O’Gara R, Schiling A, Beadbing C, Warrick A, Troxell ML, Corless CL. 2013. Novel Method for PIK3CA Mutation Analysis Locked Nucleic AcidPCR Sequencing. J Mol Diagn. 15(3): 312-318. Arsenic R, Treue D, Lehmann A, Hummel M, Dietel M, Denkert C, Budczies J. 2015. Comparison of targeted next-generation sequencing and sanger sequencing for the detection of PIK3CA mutations in breast cancer. BMC Clin Pathol. 15(20):1-9 Backer JM. 2010. The regulation of class 1A PI 3-kinases by inter-subunit interaction. Curr Top Microbiol Immunol. 346: 87-114 Baker CL, Vaughn CP, Samowitz WS. 2012. A PIK3CA pyrosequencing-based assay that excludes pseudogene interference. J Mol Diagn. 14(1): 56-60 Baris I, Etlik O, Koksal V, Ocak Z, Baris ST. 2013. SYBR green dye-based probefree SNP genotyping: Introduction of T-Plex real-time PCR assay. Anal Biochem. 441: 225-231 Biorad. 2006. Real-time pcr application guide. Hercules (USA): Bio-Rad Laboratories Inc Board RE, Thelwell NJ, Revetto PF, Little S, Ranson M, Dive C, Hughes A, Whitcombe D. 2008. Multiplexed assays for detection of mutations in PIK3CA. Clin Chem. 54(4):757-760 Botezatu IV, Nechaeva IO, Stroganova AM, Senderovich AI, Kondrativa VN, Shelepov VP, Licthentein AV. 2015. Asymmetric real-time PCR multiplex melting curve analysis with TaqMan probes for detecting PIK3CA mutations. Data Brief. 5: 913-917 Bouchalova K, Cizkova M, Cwiertka K, Trojanec R, Friedecky D, Hajduch M. 2010. Lapatinib in breast cancer-the predictive significance of HER1 (EGFR), HER2, PTEN, and PIK3CA genes and lapatinib plasma level assessment. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub. 154(4): 281-288 Burke JE, Perisic O, Masson GR, Vadas O, Williams RL. 2012. Oncogenic mutations mimic and enhance dynamic events in the natural activation of phosphoinositide 3-kinase p110α (PIK3CA). Proc Natl Acad Sci USA. 109(38):15259-15264 Bustin SA, Benes V, Garson JA, Hellemans J, Huggett J, Kubista M, Mueller R, Nolan T, Pfaffl MW, Shipley GL et al. 2009. The MIQE guidelines: minimum information for publication of quantitative real-time PCR experiments. 55(4): 611-622
32
Carson JD, Van Aller G, Lehr R, Sinnamon RH, Kirkpatrick RB, Auger KR, Dhanak D, Copeland RA, Tummino PJ, Luo L. 2008. Effects on the lipid kinase activity of phosphoinositide 3-kinase. Biochem J. 409(2): 519-524 Castaneda CA, Lopez-Ilasacaca M, Pinto JA, Chirinos-Arias M, Doimi F, Neciosup SP, Rojas KI, Vidaurre T, Balko JM, Arteaga CL, Gomez HL. 2014. PIK3CA mutations in peruvian patients with HER2-amplified and triple negative nonmetastatic breast cancers. Hematol Oncol Stem Cell Ther. 7(4): 142-148 Chaussade C, Cho K, Mawson C, Rewcastle GW, Shepherd PR. 2009. Functional differences between two classes of oncogenic mutation in the PIK3CA gene. Biochem Biophys Res Commun. 381: 577-581 Chen C. 2016. Development of a melting curve-based allele-specific PCR of apolipoprotein E (APOE) genotyping method for genomic DNA, guthrie blood spot, and whole blood. PLOS One. 11(4): 1-11 Chen S, Songkurman P, Liu J, Wang GL. 2009. A versatile zero background Tvector system for gene cloning and functional genomics. Plant Physiol. 150(3):1111-1121 Colborn JM, Byrd BD, Koita OA, Krogstad DJ. 2008. Estimation of copy number using SYBR Green: confounding by AT –rich DNA and by variation in amplicon length. Am J Trop Meed Hyg. 79(6): 887-892 Cossu-Roca P, Orru S, Muroni MR, Sanges F, Sotgiu G, Ena S, Pira G, Murgia L, Manca A, Uras MG et al. 2015. Analysis of PIK3CA mutations and activation pathways in triple negative breast cancer. Plos One. 10(11): 1-14 Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Westfall MV. 2011. Handbook of Molecular and Celullar Methods in Biology and Medicine. Third- Ed. Boca Raton (USA): CRC Press. Da Silva JL, Leite GGS, Bastos GM, Lucas BC, Shinohara DK, Takinami JS, Miyata M, Fajardo CM, Luchessi AD, Leite CQF et al. 2013. Plasmid-based controls to detect rpoB mutations in mycobacterium tubercolosis by quantitative polymerase chain reaction-high-resolution melting. Mem Inst Oswaldo Cruz. 108(1): 106-109 Demes M, Bartsch H, Scheil-Bertram S, Mucke R, Fisseler-Eckhoff A. 2012. Realtime PCR data processing shown by the analysis of colorectal specific candidate genes, ERCC1, RRM1, and TS in relation to β2M as endogenous control. Appl Sci. 2: 139-159 Desriani, Budiarto BR, Harahap WA, Warisman MA, Omposunggu AVC, Athariah D, Mirnawati F, Yussriani I, Ahwani FA, Kurniawan AR. 2016. Data provision of PIK3CA gene diversity and recombinant plasmids preparation for control DNA in developing trastuzumab predictive response diagnostic kit. Biodiversitas. 17(2): 647-652 Dirican E, Kava Z, Gullu G, Peker I, Ozmen T, Gulluoglu BM, Kaya H, Ozer A, Akkiprik M. 2014. Detection of PIK3CA gene mutations with HRM analysis and association with IGFBP-5 expression levels in breast cancer. Asian Pac J Prev. 15(21): 9327-9333 Dogruluk T, Tsang YH, Espitia M, Chen F, Chen T, Chong Z, Appadurai V, Dogruluk A, Eterovic AK, Bonnen PE et al. 2015. Identification of variantspecific functions of PIK3CA by rapid phenotyping of rare mutations. Cancer Res. 75(24): 5341-5354
33
Dorak MT. 2006. Real-time PCR. New York (USA): Taylor & Francis Group Dragen AI, Pavlovic R, McGivney JB, Cassas-Finet JR, Bishop SE, Strouse RJ, Schenerman MA, Geddes CD. 2012. SYBR Green I: fluorescence properties and interaction with DNA. J Fluoresc. 22(4): 1189-1199 Dunlap J, Le C, Shukla A, Patterson J, Presnell A, Heinrich MC, Corless CL, Troxell ML. 2010. Phosphatidylinositol-3-kinase and AKT1 mutations occur early in breast carcinoma. Breast Cancer Res Treat. 120(2): 409-418 Ebi H, Costa C, Faber AC, Nisthala M, Kotani H, Juric D, Pelle PD, Song Y, Yano S, Mino-Kenudson M et al. 2013. PI3K regulates MEK/ERK signaling in breast cancer via the Rac-GEF, P-Rex1. Proc Natl Acad Sci USA. 110(52): 21124-21129 Echeverria I, Liu Y, Gabelli SB, Amzel M. 2015. Oncogenic mutations weaken the interaction that stabilize the p110α-p85α heterodimer in phosphoinositidylinositol 3-kinaseα. The FEBS Journal. 282(18): 3258-3542 Ellis MJ, Perou CM. 2013. The genomic landscape of breast cancer as a therapeutic roadmap. Cancer Discov. 3(1): 27-34 Engelman JA. 2009. Targeting PI3K signaling in cancer: opportunities, challenges and limitations. Nat Rev Cancer. 9(8): 550-562 Gabelli SB, Echeverria L, Alexander M, Duong-Ly KC, Chave-Moreira D, Brower ET, Volgstein B, Amzel LM. 2014. Activation of PII3Kα by physiological effectors and by oncogenic mutations: structural and dynamic effects. Biophys Rev. 6: 89-95 Gadiou S, Ripl J, Januorova B, Jarosova J, Kundu K. 2012. Real-time PCR assay for the discrimination and quantification of wheat and barley strains of Wheat dwarf virus. Virus Genes. 44(2): 349-355 Grunt TW, Mariani GL. 2013. Novel approaches for molecular targeted therapy of breast cancer: interfering with PI3K/AKT/mTOR signaling. Curr Cancer Drug Targets. 13(2): 188-204. Gymnopoulos M, Elsliger MA, Vogt PK. 2007. Rare cancer-specific mutations in PIK3CA show gain of function. Proc Natl Sci USA. 104(13): 5569-5574 Harle A, Lion M, Lozao N, Husson M, Harter V, Genin P, Merlin JL. 2013. Analysis of PIK3CA exon 9 and 20 mutations in breast cancers using PCRHRM and PCR-ARMS: correlation clinicophatological criteria. Oncol Rep. 29(3): 1043-1052 Higgins MJ, Jelovac D, Barnathan E, Blair B, Slater S, Powers P, Zorzi J, Jeter SC, Oliver GR, Fetting J et al. 2012. Detection of tumor PIK3CA status in metastatic breast cancer using peripheral blood. Clin Cancer Res. 18(12): 3462-3469 Higgins NP, Vologodskii AV. 2016. Topological behavior of plasmid DNA. Microbiol Spectr. 3(2): 1-48 Hoseini SS, Sauer MG. 2015. Molecular cloning using polymerase chain reaction, an educational guide for cellular engineering. J Biol Eng. 9(2): 1-12 Hurst CD, Zuiverloon TCM, Hafner C, Zwarthoff EC, Knowles MA. 2009. A SNaPshot assay for the rapid detection of four common hotspot codon mutations in the PIK3CA gene. BMC Research Notes. 2(66):1-6 Hynes NE, MacDonald G. 2009. ErbB receptors and signalling pathways in cancer. Curr Opin Cell Biol. 21(2): 177-184
34
International Agency for Research on Cancer World Health Organization. 2012. GLOBOCAN 2012: Estimated cancer incidence, mortality and prevalance worldwide in 2012. [Internet]. [diunduh 1 Mei 2016]. Tersedia pada: globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_cancer.aspx Jabado OJ, Conlan S, Quan PL, Hui J, Palacios G, Hornig M, Briese T, Lipkin WI. 2010. Nonparametric Methods fo the Analysis of Single Color Pathogen Microarrays. BMC Bioinformatics. 11(354): 1-12 Jensen JD, Knoop A, Laenkholm AV, Grauslund M, Jensen MB, Santoni-Rugiu E, Anderson M, Ewertz M. 2012. PIK3CA mutations, PTEN, and pHER2 expression and impact on outcome in HER2-positive early stage breast cancer patients treated with adjuvant chemotherapy and trastuzumab. Ann Oncol. 23(8): 2034-2042 Jiang BH, Liu LZ. 2010. PI3K/PTEN signaling in angiogenesis and tumorigenesis. Adv Cancer Res. 102: 19-65 Kalinsky K, Jacks LM, Heguy A, Patil S, Drobnjak M, Bhanot UK, Hedvat CV, Traina A, Solit D, Gerald W et al. 2009. Clin Cancer Res. 15(16): 5049-5059 Karlen Y, McNair A, Perseguers S, Mazza C, Mermod N. 2007. Statistical significance of quantitative PCR. BMC Bioinformatics. 8(131): 1-16 Kennedy S, Oswald N. 2011. PCR troubleshooting and optimization: the essential guide. Norfolk (UK): Caister Academic Press Khandelwal G, Bhyravabhotla. 2010. A phenomological model for predicting melting temperatures of DNA sequences. PLOS One. 5(8): 1-9 Kostylev M, Otwell AE, Richardson R, Suzuki Y. 2015. Cloning should be simple: Escherichia coli DH5α-mediated assembly of multiple DNA fragments with short end homologies. PloS ONE. 10(9): 1-15 Kubis P, Materniak M, Kuzmak J. 2013. Comparison of nested PCR and qPCR for the detection and quantitation of BoHV6 DNA. J Virol Methods. 194(1-2): 94-101 Lang AH, Drexel H, Geller-Rhomberg S, Stark N, Winder T, Geiger K, Muendlein A. 2011. Optimized allele-specific real-time PCR assays for the detection of common mutations in KRAS and BRAF. J Mol Diagn. 13(1): 23-28 Lee EYHP, Muller WJ. 2010. Oncogenes and tumor suppressor genes. Cold Spring Harb Perspect Biol. 2(10): 1-18 Lee PY, Costumbrado J, Hsu CY, Kim YH. 2012. Agarose gel electrophoresis for the separation of DNA fragments. J Vis Exp. 62: 1-5 Liu P, Cheng H, Roberts TM, Zhao JJ. 2009. Targeting the phospoinositide 3-kinase (PI3K) pathway in cancer. Nat Rev Drug Discov. 8(8): 627-644 Liu P, Gao X, Guo X, Wang T, Yang F, Hu G. 2016. Cloning and biological analysis of Apx IVA gene of porcine actiobacillus pleuropneumonia. Microbiol: An Int J. 1(1):1-4 MacConaill LE. 2013. Existing and emerging technologies for tumor genomic profiling. J Clin Oncol. 31(15):1815-1824 Magnin S, Viel E, Baraquin A, Valmary-Dalgano S, Kantelip B, Pretet JL, Mougin C, Bigand M, Girardo B, Borg C et al. 2011. A multiplex SnaPshot assay as rapid mehod for detecting KRAS and BRAF mutations in advanced colorectal cancers. J Mol Diagn. 13(5): 485-492 Mahdieh N, Rabbani B. 2013. An overview of mutation detection methods in genetic disorders. Iran J Pediatr. 23(4):375-388.
35
Mandelker D, Gabelli SB, Schmidt-Kittler O, Zhu J, Cheong I, Huang CH, Kinzler KW, Vogelstein B, Amzel LM. 2009. A frequent kinase domain mutation that changes the interaction between PI3Kα and the membrane. Proc Natl Acad Sci USA. 106(40): 16996-17001 Margone FR, Bobrovnitchaia IG, Salaorni S, Manuli E, Nagai MA. 2012. PIK3CA exon 20 mutatios are associated with poor progosis breast cancer patients. Clinics. 67(11): 1285-1290 Markman B, Dienstmann R, Tabernero J. 2010. Targeting PI3K/Akt/mTOR pathway - beyond rapalogs. Oncotarget. 1(7): 530-543 Mei W, Zhen-Wu D, Jia-nan L, Yang S, Ya-li W, Gui-zhen Z. 2010. Improved allele-specific polymerase chain reaction for single nucleotid polymorphism genotyping. Chem Res Chinese Universities. 26(2): 259-262 Mihalcea CE, Morosanu AM, Murarasu D, Puiu L, Cinca S, Voinea SC, Mirancea N. 2015. Particular molecular and ultrastructural aspacts in invasive mammary carcinoma. Romanian J Morphol Embryol. 56(4): 1371-1381 Miled N, Yan Y, Hon WC, Perisic O, Zvelebil M, Inbar Y, Schneidman-Duhovny D, Wolfson HJ, Backer MJ, Williams RL. 2007. Mechanism of two classes of cancer mutations in the phosphoinositide 3-kinase catalytic subunit. Science. 317(5835): 239-242 Miller TW, Balko JM, Arteaga CL. 2011. Phosphatidylinositol 3-kinase and antiestrogen resistance in breast cancer. J Clini Oncol. 29(33): 4452-4461 Morlan J, Baker J, Sinicropi D. 2009. Mutation detection by real-time PCR: a simple, robust and highly selective method. PloS ONE. 4(2): 1-11 Mukohara T. 2015. PI3K mutations in breast cancer: prognostic and therapeutic implications. Dov Med Press. 7: 111-123. Muller CI, Miller CW, Hofmann WK, Gross ME, Walsh CS, Kawamata N, Luong QT, Koeffler HP. 2007. Rare mutations of the PIK3CA gene in malignancies of the hematopoietic system as well as endometrium, ovary, prostate, and osteosarcomas, and discovery of a PIK3CA pseudogene. Leuk Res. 31(1): 2732 Osborn AJ, Dickie P, Neilson DE, Glaser K, Lynch KA, Gupta A, Dickie BH. 2015. Activating PIK3CA alleles and lymphangiogenic phenotype of lymphatic endothelial cells isolated from lymphatic malformations. Hum Mol Genet. 24(4): 926-938 Pang B, Cheng S, Sun SP, An C, Liu ZY, Feng X, Liu GJ. 2014. Prognostic role of PIK3CA mutations and their association with hormone receptor expression in breast cancer: a meta-analysis. Sci Rep. 4(6255): 1-9 Parson DW, Jones S, Zhang X, Lin JC, Leary RJ, Angenendt P, Mankoo P, Carter H, Siu IM, Galia GL et al. 2008. An integrated genomic analysis of human glioblastomamultiforme. Science. 321(5897): 18017-1812 Porta C, Paglino C, Mosca A. 2014. Targeting PI3K/Akt/mTOR signaling in cancer. Front Oncol. 4(64):1-11 Rasmussen JP, Saint CP, Monis PT. 2007. Use of DNA melting simulation software for in silico diagnostic assay design: targeting regions with complex melting curves and confirmation by real-time PCR using intercalating dyes. BMC Bioinformatics. 8(107):1-11 Rexer BN, Chanthaphaychith S, Dahlman KB, Artega CL. 2014. Direct inhibition of PI3K in combination with dual HER2 inhibitors is required for optimal
36
antitumor activity in HER2+ breast cancer cells. Breast Cancer Res. 16(1): R9 Sanchez-Cespedes M. 2009. PIK3CA (phosphoinositide-3-kinase, catalytic, alpha polypeptide). Atlas Genet Cytogenet Oncol Haematol. 14(3): 293-295 Samuels Y, Waldman T. 2010. Oncogenic mutations of PIK3CA in human cancers. Curr Top Microbiol Immunol. 347: 21-41 Saunders NA, Lee MA. 2013. Real-time PCR: advanced technologies and applications. Salisbury (UK): Caister Academic Press Schultheiss OC, Stanton SJ. 2009. Assessment of salivary hormones. Harmon-Jones E, Beer JS, Editor. New York (USA): Guilford Press Shuman S. 2009. DNA ligases: progress and prospects. J Biol Chem. 284(26): 17365-17369 Souii A, M’Hadheb-Gharbi M, Gharbi J. 2013. Ameri J Res Comm. 1(5): 18-35 Stare SM, Jozefowicz JJ. 2008. The effects of environmental factors on cancer prevalance rates and specific cancer mortality rates in a sample of OECD developed countries. Int J Appl Econ. 5(2): 92-115 Stemke-Hale K, Gonzalez-Angulo AM, Lluch A, Neve RM, Kuo WL, Davies M, Carey M, Hu Z, Guan Y, Sahin A et al. 2008. An integrative genomic and proteomic analysis of PIK3CA PTEN and AKT mutation in breast cancer. Cancer Res. 68(15): 6084-6091 Thomas RK, Baker AC, Debiasi RM, Winckler W, Laframbiose T, Lin WM, Feng W, Zander T, MacCohnaill L, Lee JC et al. 2007. High-troughput oncogene mutation profiling in human cancer. Nat Genet. 39(3): 347-351 Thornton B, Basu C. 2010. Real-time PCR (qPCR) primer design using free online software. Biochemi Mol Biol Educ. 39(2): 145-1154 Tornesello ML, Annunziata C, Buonaguro L, Losito S, Greggi S, Buonaguro FM. 2014. TP53 and PIK3CA gene mutations in adenocarcinoma, squamous cell carcinoma and high-grade intraepithelial neoplasia of the cervix. J Transl Med. 12(255): 1-9 Vasavirama K. 2013. Molecular probes and their applications. Int J LifeSc Bt & Pharm Res. 2(2): 32-42 Vorkas PA, Poumpouridou N, Agelai S, Kroupis C, Georgoullias V, Lianidou ES. 2010. PIK3CA hotspot mutation scanning by a novel and highly sensitive high-resolution small amplicon melting analysis. J Mol Diagn. 12(5): 697704 Wang JH, Gouda-Vossos A, Dzamko N, Halliday G, Huang Y. 2013. DNA extraction from fresh-frozen and formalin-fixed, paraffin embedded human brain tissue. Neurosci Bull. 29(5): 649-654 Wang L, Hu H, Pan Y, Wang R, Li Y, Yu Y, Li H, Cai D, Sun Y, Chen H. 2014. PIK3CA mutations frequently coexist with EGFR/KRAS mutations in nonsmall cell lung cancer and suggest poor prognosis in EGFR/KRAS wildtype subgroup. PLoS ONE. 9(2): 1-10 Widyastuti P, Ariyanto A, Triningsih, Susilo VY, Lestari W. 2014. Validasi kit radioimmunoassay aflatoksin B1. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains IX. 5(1):518-522 Yang ZZ, Habib M, Shuai JB, Fang WH. 2007. Detection of PCV2 DNA by SYBR Green I-based quantitative PCR. J Zhejian Univ Sci B. 8(3): 162-169
37
Yuan F, Xu J, Ji LD, Fei LJ, Liu PP, Zhang LN. Application of Tm-shift genotyping method in genetic studies. Yi Chuan. 34(11): 1484-1490 Yuan TL, Cantley LC. 2008. PI3K pathway alterations in cancer: variations on a theme. Oncogene. 27(41): 5497-5510 Zhao L, Vogt PK. 2008. Helical domain and kinase domain mutations in p110alpha of phosphatidylinositol 3-kinase induce gain of function by different mechanisms. Proc Natl Acad Sci USA. 105(7): 2652-2657 Zheng D, Zhu G, Liao S, Yi W, Luo G, He J, Pei Z, Li G, Zhou Y. 2015. Dysregulation of the PI3K/Akt signaling pathway affects cell cycle and apoptosis of side population cells in nasopharyngeal carcinoma. Oncol Lett. 10(1): 182-188 .
.
38
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang 04 Desember 1989 dari Ayah Muhammad Hasani dan Ibu Mistiana. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA PGRI 109 tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana dengan tugas akhir berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Polong Kedawung (Parkia roxburghii G.Don) Pada Tahap Pascaimplantasi Lanjut Terhadap Fertilitas Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Betina Jalur Sprague Dawley pada tahun 2012. Pada tahun 2014 penulis kembali melanjutkan pendidikan di Mayor Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.