PENGEMBANGAN STANDAR PENGUJIAN KADAR AIR DAN PERKECAMBAHAN BENIH BEBERAPA JENIS TANAMAN HUTAN UNTUK MENUNJANG PROGRAM PENANAMAN HUTAN DI DAERAH Oleh
Dede J. Sudrajat, Nurhasybi 1
Abstrak Standardized method in physical and physiological seed quality testing is very important to support a controlling system toward quality of commercialized seeds distribution through seed certification scheme that will provide a guarantee to producer, distributor and seed user. This research is aimed at developing the methods for moisture content determination and germination testing of forest tree seeds of 10 species i.e. Agathis loranthifolia, Albizia procera, Alstonia scholaris, Calliandra callothyrsus, Dalbergia latifolia, Maesopsis emenii, Manilkara kauki, Schleicera oleosa, Styrax benzoin, and Toona sureni. The treatments in selection of the appropriate method for moisture content determination using oven method on the temperature 130 - 133°C (1-, 2-, 3-, and 4 hours) and temperature 103 ± 2°C (16-, 18-, 20-, 22-, and 24 hours). The selection of germination testing method included 3 factors of treatments, i.e. sowing media or paper methods, pretreatments, and germination conditions. The result showed that the selected method for moisture content testing of A. loranthifolia, A. procera, A. scholaris, C. callothyrsus, D. latifolia, M. emenii and T. sureni seeds is the oven method on the temperature 103 ± 2°C for 24 hours. For S. benzoin, M. kauki and S. oleosa seeds, moisture contens testing can be carried out by oven method on the temperature 130 133°C. The germination method for A. procera, A. scholaris, C. callothyrsus, D. latifolia, and T. sureni is conducted in germinator by top of paper and for A. loranthifolia by between papers. For the other seeds, germination is done in green house used sand media for S. benzoin and M. kauki and mixture sand and soil (1:1 v/v) for M. emenii and S. oleosa. The effective treatment for breaking the dormansi is soakingthe seeds in H2SO4 (A. procera), drying-soaking for 3 days (S. benzoin and M. kauki), soaking in water for 24 hours (D. latifolia and S. oleosa), soaking in hot water (C. callothyrsus) and soaking in KNO3 (M. emenii). Germination condition in the germinator is temperature 24-30°C, RH 90-95%, and light for 8 hours per day, while in green house for germination of M. emenii, S. oleosa, S. benzoin and M. kauki, the germination box is covered by transparent plastic to increase temperature and RH for 2 – 3 weeks. The methods are considered to be applied in the testing of moisture content and germination of the seeds. Keywords: forest tree, germination, moisture content, seed, standard
1
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Perbenihan - Bogor
I.
PENDAHULUAN
Luas lahan kritis di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 59 juta ha. Upaya reboisasi hingga tahun 2008 diperkirakan baru mencapai 10% atau 3 – 5 juta ha (Harun, 2008). Berbagai program penanaman harus terus dilakukan untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut dan sebagai upaya mitigasi untuk mengurangi bencana yang diakibatkan oleh keberadaan lahan kritis. Upaya tersebut jelas memerlukan dukungan ketersediaan benih bermutu dalam jumlah yang memadai dan tepat waktu. Kepastian mutu suatu kelompok benih yang diedarkan dan digunakan untuk penanaman sangat diperlukan untuk menjamin baik pengguna, pengedar, maupun pengada. Aspek legal dari mutu benih ini memerlukan perangkat berupa metode pengujian yang standar. Metode ini diharapkan mampu memberikan hasil yang seragam apabila pengujian terhadap suatu kelompok benih dilakukan oleh institusi yang berbeda. Standar metode pengujian mutu benih yang ada selama ini mengacu pada ketentuan ISTA (2006). Namun untuk jenis-jenis tanaman hutan hanya sedikit yang telah masuk dalam ketentuan tersebut dan sebagian besar didominasi oleh jenisjenis temperate. Sampai tahun 2008, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) Bogor telah meneliti metode pengujian mutu fisik dan fisiologis benih beberapa jenis tanaman hutan dan 7 jenis di antaranya telah masuk dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu Acacia mangium, Paraserianthes falcataria, Pinus merkusii, Eucalyptus urophylla, E. deglupta, Swietenia macrophylla, dan Gmelina arborea. Mutu fisik dan fisiologis minimal yang disyaratkan dalam suatu standar mutu benih adalah kadar air, kemurnian, berat 1000 butir (mutu fisik) dan daya berkecambah (mutu fisiologis). Dalam penelitian ini, penentuan metode uji hanya dilakukan pada pengujian kadar air dan perkecambahan. Untuk analisa kemurnian dan berat 1000 butir mengadopsi langsung prosedur ISTA (2006) karena metode tersebut lebih umum dan dapat diterapkan pada berbagai jenis benih. Tulisan ini membahas pemilihan metode pengujian mutu fisik dan fisiologis (kadar air dan perkecambahan) benih beberapa jenis, yaitu Agathis loranthifolia (dammar), Albizia procera (kihiyang), Alstonia scholaris (pulai), Calliandra callothyrsus (kaliandra), Dalbergia latifolia (sonobritz), Maesopsis emenii (kayu afrika), Manilkara kauki (sawo kecik), Schleicera oleosa (kesambi), Styrax benzoin (kemenyan) dan Toona sureni (suren). Untuk meningkatkan keakuratan metode terpilih digunakan beberapa kelompok benih yang mewakili sebaran tumbuhnya karena ada kemungkinan terjadinya variasi respon terhadap metode uji akibat perbedaan karakteristik kelompok benih (dormansi, daya simpan) yang berasal dari tempat tumbuh berbeda (Kusumawardhani, 1997; Tompsett, 1991). Metode uji yang dihasilkan ini diharapkan dapat dijadikan bahan bagi penyusunan pedoman pengujian mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan atau SNI uji mutu benih di
Indonesia yang dapat diterapkan di daerah-daerah sesuai dengan sebaran tumbuh jenis-jenis tersebut. Metode pengujian yang tepat memungkinkan dapat memprediksi mutu benih dengan lebih baik sehingga keberhasilan pembangunan hutan dapat lebih terencana dan terlaksana dengan baik. II.
METODOLOGI
2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 tahun dari tahun 2004 - 2008. Setiap tahun dilakukan penelitian terhadap 2 jenis tanaman hutan. Pengunduhan benih dilakukan di beberapa lokasi yang diperkirakan mewakili sebaran tumbuh jenis-jenis tersebut (Tabel 1). Pengujian laboratorium dilakukan di BPTP Bogor. Tabel 1 Kelompok Benih yang Dipergunakan dalam Penelitian
A.loranthifolia
2004
Jumlah Kelompok Benih 2
A.scholaris
2004
2
D.latifolia C. callothyrsus M.emenii
2005 2005 2006
3 3 3
S. oleosa T. sureni
2006 2007
3 4
S.benzoin
2007
2
M. kauki
2008
5
A. procera
2008
3
Jenis
Waktu Penelitian
Asal Kelompok Benih Gunung Walat (Sukabumi) dan Batu Raden (Purwokerto) Teluk pulai dan Musi Rawas (Sumatera Selatan) Lampung, Wonogiri, Kediri Kediri, Ciamis, Wonogiri Rumpin (Bogor), Situraja (Sumedang), dan Sukabumi Situbondo, Ponorogo, Singaraja (Bali) Cibugel (Sumedang), Cugenang (Cianjur), Aeknauli (Sumatera Utara), Singaraja (Bali) Aeknauli (Sumatera Utara) dan Pasir Hantap (Sukabumi) Alas purwo (Banyuwangi), Benoa (Bali), Mokmer (Bali), Kaliurang (Yogyakarta), Lombar (Lombok) Sindang Barang (Cianjur), Darmaraja (Sumedang), Cisauk (Tanggerang)
2.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk penentuan standar pengujian mutu benih ini adalah benih beberapa jenis tanaman hutan (sesuai dengan Tabel 1). Setiap jenis diwakili oleh beberapa kelompok benih yang diunduh dari beberapa sebaran tumbuh (populasi) berbeda. Pada setiap populasi pohon dipilih 10 - 15 pohon induk untuk
diambil benihnya. Kemudian buah atau polong yang dikumpulkan diekstraksi untuk mengeluarkan benihnya. Bahan lainnya yang digunakan adalah kertas merang, pasir, tanah, cocopeat, H2SO4, KNO3, GA3, aquades, bak kecambah, plastik transparan, dan lain-lain. Peralatan yang digunakan meliputi bak kecambah, germinator, oven, timbangan analitik, termohigrometer, lux meter, gelas piala, kamera, penggaris, kaliper, label, kantong plastik dan lain-lain. 2.3 Prosedur kerja 2.3.1 Kajian literatur Pengumpulan data hasil penelitian dilakukan di beberapa institusi yang menangani perbenihan khususnya pengujian benih tanaman hutan. Institusi tersebut adalah insititusi lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Balai Perbenihan Tanaman Hutan, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada dan institusi lainnya. Kajian ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran metode yang terbaik yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Metode-metode tersebut dijadikan perlakuan untuk pengujian laboratorium. 2.3.2 Penggujian laboratorium a. Penentuan metode pengujian kadar air Contoh uji diambil dari kelompok benih yang telah dikompositkan (dicampur) dengan menggunakan seed devider sample. Contoh untuk uji kadar air benih adalah 5g untuk setiap ulangan (4 ulangan tiap kelompok benih). Perlakuan dalam penentuan metode tersebut menggunakan metode oven pada suhu 130 - 133°C (1, 2, 3 dan 4 jam) dan suhu 103 ± 2°C (16, 18, 20, 22 dan 24 jam) (ISTA, 2006). Rancangan acak lengkap dengan uji Duncan digunakan untuk menentukan metode terbaik pada setiap kelompok benih. Penetapan metode terbaik didasarkan pada kecenderungan metode yang memberikan hasil paling baik pada setiap kelompok benih yang diuji untuk setiap jenis. b. Penentuan metode uji perkecambahan benih Contoh uji merupakan benih murni (benih yang tidak tercampur dengan benih jenis lain dan atau kotoran) yang diambil dari benih komposit. Contoh uji untuk perkecambahan adalah 100 butir untuk setiap ulangan (4 ulangan tiap kelompok benih). Penentuan metode uji perkecambahan dilakukan dengan menguji 3 faktor yang mempengaruhi perkecambahan, yaitu media tabur/metode perkecambahan, perlakuan pendahuluan, dan lingkungan perkecambahan. Media tabur meliputi pasir, tanah, cocopeat, arang aktif, dan campurannya), sedangkan metode uji meliputi uji di atas kertas (UDK), uji antar kertas (UAK) dan uji kertas digulung didirikan dalam plastik (UKDdp). Perlakuan pendahuluan disesuaikan dengan karakter benihnya, seperti perlakuan rendam air dingin 24 jam, rendam air panas (80°C) dan dibiarkan dingin selama 24 jam, rendam-jemur selama 1 hingga 6 hari, pengikiran kulit benih pada bagian ujung kotiledon, perendaman dalam H2SO4 (2 N selama 24 jam dan 20
N selama 30 menit – 1 jam) dan perendaman dalam KNO3 0,2%, dan perendaman dalam larutan GA3 0,05%. Faktor lingkungan perkecamabahan yang diuji dalam penelitian ini adalah suhu, kelembaban, dan lama pencahayaan yang dibutuhkan dalam proses perkecambahan benih. Rancangan acak faktorial dan uji Duncan digunakan untuk menentukan kombinasi perlakuan terbaik untuk uji perkecambahan suatu jenis. Penentuan kecambah normal dilakukan dengan mengklasifikasikan tipe kecambah ke dalam 3 - 4 kelas untuk setiap jenis berdasarkan panjang kecambah (kotiledon dan radikel), sistem perakaran, perkembangan tunas, muncul dan berkembang daun. Setiap kelas tersebut disapih ke dalam polibag dan diamati serta diukur perkembangannya hingga pada tingkat bibit siap tanam. Kelas tipe kecambah yang memberikan pertumbuhan baik di persemaian dijadikan kriteria kecambah yang dikategorikan normal. Hitungan awal dan akhir perkecambahan didasarkan pada metode grafik. Hitungan awal diperoleh dari nilai puncak kecepatan berkecambah harian yang menunjukkan tahap awal perkecambahan. Hitungan akhir didasarkan pada nilai perkecambahan maksimal yang diperoleh dengan rumus (Djavanshir and Pourbeik, 1976): GV = di mana: GV DGS N GP A
III.
= = = = =
Nilai perkecambahan Kecepatan berkecambah harian Frekwensi atau jumlah DGS yang dihitung selama uji Persentase berkecambah Konstanta (8 jika kecepatan berkecambahnya ≥ 10, dan 10 jika kecepatan berkecambahnya < 10).
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Metode Pengukuran Kadar Air Kadar air adalah hilangnya berat ketika benih dikeringkan sesuai dengan teknik atau metode tertentu. Metode pengukuran kadar air yang diterapkan dirancang untuk mengurangi oksidasi, dekomposisi atau hilangnya zat yang mudah menguap bersamaan dengan pengurangan kelembaban sebanyak mungkin (ISTA, 2006). Dalam penentuan uji kadar air digunakan 2 metode oven, yaitu metode temperatur rendah 103±2°C dan metode temperatur tinggi 130 - 133°C. Kedua metode tersebut dapat digunakan dalam penentuan kadar air (Bonner, 1995). Metode pengeringan oven telah mempertimbangkan bahwa hanya air saja yang diuapkan selama pengeringan. Namun, bagaimanapun juga senyawa yang mudah menguap mungkin ikut menguap yang akan menyebabkan hasil pengukuran
over estimation. Sebagai contoh, pada beberapa benih Abies sebagian resin ikut menguap ketika benih dibelah sehingga kadar air yang dihasilkannya lebih tinggi (Bonner, 1991 dalam Poulsen, 1994). Dengan demikian, kadar air yang ditentukan dengan metode oven mungkin saja tidak merepresentasikan kadar air benih yang sesungguhnya (Poulsen, 1994). Namun, bagaimanapun juga metode pengeringan oven merupakan metode yang digunakan sebagai metode standar (Edwards, 1987; ISTA, 1999; ISTA 2006) bila dibandingkan dengan metode lainnya yang masih harus dikalibrasi. Pemilihan metode pengukuran kadar air yang paling tepat adalah apabila cara tersebut mampu memberikan nilai kadar air tertinggi (Willan, 1985). Metode-metode yang memberikan kadar air tertinggi pada pengujian beberapa metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Metode Penentuan Kadar Air Benih Beberapa Jenis Tanaman Hutan Perlakuan Benih Sebelum Dikeringkan
Jenis A. loranthifolia
-
A. procera
-
A. scholaris
-
C. calothyrsus
-
D. latifolia
-
M. kauki
Digiling, pengeringan awal Digiling atau dipotongpotong menjadi 4 bagian Digiling, pengeringan awal Digiling, pengeringan awal -
M. eminii S. oleosa S. benzoin T. sureni
Metode Uji Metode jam Metode jam Metode jam Metode jam Metode jam Metode jam Metode jam Metode jam Metode jam Metode jam
oven 103±2°C, selama 24 oven 103±2°C, selama 24 oven 103±2°C, selama 24 oven 103±2°C, selama 24 oven 103±2°C, selama 24 oven 130 - 133°C, selama 4 oven 103±2°C, selama 24 oven 130 - 133°C, selama 2 oven 130 - 133°C, selama 4 oven 103±2°C, selama 24
Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum sebagian besar benih, yaitu A. loranthifolia, A. procera, A. scholaris, C. calothyrsus, D. latifolia dan T. sureni tidak memerlukan perlakuan awal mengingat jenis benih ini relatif berukuran kecil sehingga bila dilakukan pengeringan memungkinkan untuk menerima panas yang
merata pada seluruh bagian benih. Benih-benih ini dapat diukur kadar airnya dengan pengeringan pada oven suhu 103±2°C selama 24 jam. Beberapa benih berukuran besar seperti M. kauki, S. oleosa, dan S. benzoin harus digiling (griding) terlebih dahulu sebelum dioven. Hal ini sesuai dengan aturan ISTA (2006) yang menyarankan benih-benih berukuran besar dan berminyak harus digiling terlebih dahulu sebelum dikeringkan. Selain itu, pada ketiga jenis benih ini mengandung minyak yang cukup tinggi sehingga pengukurannya lebih efektif menggunakan perlakuan awal (predrying), yaitu pengeringan pada suhu 70°C selama 2 jam yang kemudian dilanjutkan dengan pengeringan pada suhu 130 133°C selama 4 jam (M. kauki dan S. benzoin) dan 2 jam (S. oleosa). Untuk benih berukuran besar dan berkulit keras lainnya seperti M. emenii, benih harus digiling atau dipotong-potong menjadi 4 bagian untuk mempermudah menguapan dari dari jaringan benih. Metode pengeringan kedua jenis benih ini dapat dilakukan dengan metode oven suhu 103 ± 2°C, selama 24 jam. 3.2 Metode Perkecambahan Metode uji perkecambahan benih di laboratorium ditujukan untuk mengetahui jumlah maksimal benih yang dapat berkecambah pada kondisi optimal (Scholer dan Stubsgaard, 1994). Metode uji di laboratorium merupakan metode yang memberikan kondisi yang terkontrol yang memungkinkan benih dapat tumbuh serempak, cepat dan sempurna/normal (ISTA, 2006). Kondisi ideal yang distandarkan tersebut dimaksudkan agar hasil pengujian suatu kelompok benih yang dilakukan di suatu laboratorium memberikan hasil yang sama bila kelompok benih tersebut diuji di laboratorium lainnya. Dalam penelitian ini, beberapa faktor yang mempengaruhi proses perkecambahan berlangsung optimal diuji dengan menggunakan beberapa kelompok benih. Dari beberapa pengujian menunjukkan bahwa perlakuan perkecambahan memberikan hasil yang bervariasi pada setiap kelompok benih yang diuji dari suatu jenis. Hal ini disebabkan sifat fisik dan fisiologis benih ditentukan oleh faktor pertumbuhan, genetik dan lingkungan sehingga dalam satu jenis yang berbeda asal (tempat tumbuhnya) kemungkinan mempunyai sifat yang berbeda termasuk responnya terhadap beberapa metode pengujian (Schmidt, 2000). Dengan demikian pemilihan metode yang didasarkan pada hasil pengujian beberapa kelompok benih yang mewakili sebaran tumbuhnya akan menghasilkan metode yang lebih representatif dan dapat dijadikan standar yang lebih akurat dan operasional. Rekapitulasi metode uji yang mempunyai kecenderungan menghasilkan perkecambahan terbaik dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Penelitian Pemilihan Metode Uji Perkecambahan Beberapa Benih Tanaman Hutan Jenis
Agathis loranthifolia Albizia procera
Kondisi alat pengecambah Suhu Kelembaban Cahaya Metoda Substrat o ( C) relatif (%) uji 24-30 90-95 Lampu Kertas UAK, TL 8 merang UKDdp jam/hari 24-30 90-95 Lampu Kertas UDK TL 8 merang jam/hari
Alstonia scholaris
24-30
90-95
60-75
Lampu TL 8 jam/hari Lampu TL 8 jam/hari Lampu TL 8 jam/hari -
Caliandra calothyrsus
24-30
90-95
Dalbergia latifolia
24-30
90-95
Manilkara kauki
29-34
Maesopsis
29-34
Kertas merang
UDK
Kertas merang
UDK
Kertas merang
UDK
Pasir
Rumah kaca, bak kecambah ditutup plastik transpara n Rumah
60-75
-
Pasir :
Uji perkecambahann Hitungan Hitungan Praperlakuan pertama akhir 5 hari 9 hari
Rendam dalam larutan H2SO4 2N, 24 jam, kemudian cuci dengan air mengalir. -
8 hari
16 hari
9 hari
21 hari
Rendam air panas biarkan dingin 24 jam Rendam air dingin 24 jam
6 hari
16 hari
8 hari
11 hari
Jemur/keringkan selama 8 jam, rendam 16 jam, diulang 3 kali (3 hari)
18 hari
42 hari
Rendam dalam
34 hari
50 hari
Kecambah normal Panjang hipokotil telah mencapai 3 kali panjang benih Panjang hipokotil telah mencapai 3 kali panjang benih
Panjang hipokotil telah mencapai 3 kali panjang benih Panjang hipokotil telah mencapai 3 kali panjang benih Panjang hipokotil telah mencapai 3 kali panjang benih Munculnya sepasang daun pertama
Munculnya daun
Jenis
Kondisi alat pengecambah Suhu Kelembaban Cahaya Metoda Substrat o ( C) relatif (%) uji tanah kaca, bak (1;1 kecambah v/v) ditutup plastik transpara n 29-34 60-75 Pasir Rumah kaca
Uji perkecambahann Hitungan Hitungan Praperlakuan pertama akhir larutan KNO3 0,2% , 30 menit
Rendam air dingin 24 jam
12 hari
28 hari
Munculnya sepasang daun pertama
Styrax benzoin
29-34
60-75
-
Pasir
Jemur/keringkan selama 8 jam, rendam 16 jam, diulang 3 kali (3 hari)
20 hari
30 hari
Munculnya daun pertama
Toona sureni
24-30
90-95
Lampu TL 8 jam/hari
Kertas merang
-
4 hari
14 hari
Panjang hipokotil telah mencapai 3 kali panjang benih
eminii
Schleicera oleosa
Rumah kaca, bak kecambah ditutup plastik transpara n UDK, UAK
Keterangan: UDK=Uji di Atas Kertas; UAK=Uji Antar Kertas; UKDdp = Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik
Kecambah normal pertama
Untuk benih berukuran kecil (A. loranthifolia, A. procera, A. scholaris, C. calothyrsus, D. Latifolia dan T. sureni), pengujian dilakukan pada germinator dengan menggunakan substrat kertas merang pada cawan petri. Untuk benih-benih yang relatif besar (M. emenii, M. kauki, S. Oleosa dan S. benzoin) yang tidak mungkin menggunakan substrat kertas merang dan cawan petri, pengujian dilakukan di runah kaca dengan media pasir, campuran pasir, atau media campuran pasir dengan organik lainnya pada bak kecambah. Pada Tabel 3, substrat atau media yang digunakan untuk perkecambahan benih bervariasi tergantung dari karakterisktik benihnya. Pada benih-benih kecik, perkecambahan dilakukan pada germinator dengan metode UDK, UAK dan UKDdp. Dari 6 jenis yang diuji dalam germinator, hampir semuanya dapat diuji dengan UDK, kecuali benih A. loranthifolia yang lebih optimal diuji dengan UAK atau UKDdp. Untuk media tabur benih M. emenii dan S. oleosa, media campuran pasir dan tanah (1:1 v/v) memberikan perkecambahan terbaik, sedangkan untuk benih M. kauki dan S. benzoin, media pasir menghasilkan perkecambahan yang paling optimal. Media pasir dan campurannya dalam prakteknya lebih mudah disterilkan sehingga mampu menekan serangan jamur ketika proses perkecambahan berlangsung. Penggunaan media pasir banyak disarankan dalam pengujian benih yang dikeluarkan ISTA (1999). Menurut Hamzah (1984), media pasir relatif lebih cepat menyerap panas dan menguapkan air sehingga mampu menjaga kondisi media pada suhu yang relatif tinggi yang kemungkinan dibutuhkan untuk mempercepat perkecambahan benih yang berkulit keras seperti keempat jenis di atas. Faktor lainnya pada Tabel 3 adalah perlakuan pendahuluan untuk meningkatkan kecepatan dan keserempakan perkecambahan pada benihbenih yang mengalami dormansi. Sebagian benih yang diuji, yaitu A. loranthifolia, A. scholaris, dan T. surenii tidak memerlukan perlakuan pendahuluan, sedangkan benih lainnya yang mempunyai kulit yang lebih keras dan mengalami dormansi memerlukan perlakuan pendahuluan. Dari hasil penelitian, setiap jenis mempunyai perlakuan yang berbeda untuk meningkatkan keberhasilan perkecambahannya. Untuk benih A. procera, perendaman dalan larutan H2SO4 cukup efektif memecahkan dormansi kulit benih jenis tersebut. H2SO4 efektif digunakan untuk jenis-jenis legum yang berkulit keras. Menurut Levitt (1974), pencelupan benih dalam larutan H2SO4 akan mengakibatkan rusaknya kulit benih. Kerusakan kulit benih ini diikuti dengan membukanya lumen sel macrosclereid yang menyalurkan air ke dalam jaringan benih (Nikoleave, 1977) yang akan merangsang perkecambahan benih lebih cepat. Untuk benih D. latifolia dan S. oleosa, perlakuan pendahuluannya dapat dilakukan dengan rendaman dalam air dingin selama 24 jam,
sedangkan untuk benih C. callothyrsus harus direndam dalam air panas dan dibiarkan dinggi selama 24 jam. Untuk benih Maesopsis emenii, perendaham dalan KNO3 0,2% selama 30 menit menghasilkan perkecambahan yang cukup baik. Perlakuan lainnya adalah jemur-rendam selama 3 hari yang efektif meningkatkan perkecambahan benih S. benzoin dan M. kauki. Pada benih jenis lainnya seperti jati (T. grandis), perlakuan jemur-rendam selama 6 hari juga mampu meningkatkan perkecambahan benih dan digunakan sebagai standar dalam pengujian benih jati di India (Subramanian et al., 1999). Kondisi lingkungan alat pengecambahan yang dipertimbangkan dalam penentuan metode uji adalah suhu, kelembaban, dan lama pencahayaan. Untuk benih A. loranthifolia, A. procera, A. scholaris, C. calothyrsus, D. latifolia, dan T. sureni pengujian pada germinator dengan suhu 24 - 30°C, kelembaban 90 - 95%, dan lama pencahayaan 8 jam (intensitas cahaya 200 lux) memberikan hasil terbaik bagi perkecambahan benih-benih tersebut. Kondisi tersebut secara umum telah sesuai dengan persyaratan optimal proses perkecambahan (Scholer and Stubsgaard, 1989; Willan, 1985; Sutopo, 2004). Untuk benih M. emenii, M. kauki, S. oleosa, dan S. benzoin, kondisi awal (2 - 3 minggu setelah tabur) bak kecambah ditutup plastik transparan untuk meningkatkan suhu dan kelembaban lingkungan perkecambahan. Penutupan bak kecambah tersebut mampu menciptakan kisaran suhu 29 40°C dengan kelembaban 82 - 98% dari rata-rata kisaran suhu dan kelembaban di rumah kaca 29 - 34°C dan 60 - 75%. Setelah kulit benih pecah dan mulai tumbuh tunas (2 - 3 minggu), plastik tutup bak kecambah dibuka untuk memberikan kondisi pertumbuhan yang lebih baik. Penghitungan kecambah normal didasarkan pada kriteria kecambah normal yang berkorelasi dengan daya hidup dan pertumbuhannya di persemaian. Pada pengujian di rumah kaca, kecambah normal ditandai dengan munculnya daun pertama untuk benih M. emenii dan S. benzoin serta munculnya sepasang daun pertama untuk benih S. oleosa dan M. kauki. Untuk pengujian di germinator, panjang hipokotil mempunyai korelasi yang tinggi dengan penampilan semai selanjutnya. Pada pengujian ini panjang hipokotil 3 - 4 panjang benih umumnya mampu tumbuh baik setelah dipindahkan ke persemaian. Penentuan hitungan awal dan hitungan akhir dilakukan pada metode uji terbaik. Hitungan awal perkecambahan diperoleh dari nilai puncak kecepatan berkecambah yang menggambarkan tahap awal dari perkecambahan (Sadjad, 1980; Djavanshir dan Pourbeik, 1976). Untuk penentuan batas akhir perkecambahan dilakukan dengan menggunakan nilai perkecambahan dari Djavanshir dan Pourbeik (1976) dimana akhir pengujian perkecambahan terjadi pada saat nilai perkecambahan mencapai nilai
maksimum. Nilai perkecambahan maksimum tersebut terjadi pada saat perkecambahan kumulatif mencapai titik puncaknya. Cara ini merupakan bentuk penyederhanaan proses yang sebenarnya terjadi, menurut Kamil (1979) secara morfologis sulit ditentukan kapan perkecambahan benih dan pertumbuhannya dimulai, keluarnya radikel dan plumula hanya sebagian hasil proses pertumbuhan yang telah terjadi sebelumnya.
IV.
KESIMPULAN
1.
Metode pengujian kadar air benih yang dapat dipertimbangkan sebagai metode standar adalah: (1). metode oven suhu 103 ± 2°C selama 24 jam untuk benih A. loranthifolia, A. procera, A. scholaris, C. calothyrsus, D. latifolia dan T. sureni; (2). digiling dan metode oven suhu 103 ± 2°C selama 24 jam untuk benih M. emenii; (3). digiling, pengeringan awal (predrying), dan metode oven 130 - 133°C selama 4 jam untuk benih S. benzoin dan M. kauki, dan 2 jam untuk benih S. oleosa. Metode uji perkecambahan yang dapat dipertimbangkan sebagai metode standar adalah UDK untuk benih A. procera, A. scholaris, C. calothyrsus, D. latifolia dan T. surenii, dan untuk A. loranthifolia lebih optimal menggunakan UKDdp dan UAK. Media pasir dapat digunakan untuk benih S. benzoin dan M. kauki, sedangkan campuran pasir dan tanah (1:1 v/v) memberikan hasil yang lebih baik untuk perkecambahan benih M. emenii dan S. oleosa. Perlakuan pendahuluan untuk mematahkan dormansi benih yang dapat digunakan bervariasi untuk setiap jenis yang meliputi perendaman H2SO4 untuk benih A. procera, jemur/keringkan selama 8 jam dan rendam 16 jam diulang 3 kali (3 hari) untuk benih S. benzoin dan M. kauki, pendaman dalam air dingin selama 24 jam untuk benih D. latifolia dan S. oleosa, perendaman dalam KNO3 2% selama 30 menit untuk benih M. emenii, dan perendaman dalam air panas dan dibiarkan dinggi selama 24 jam untuk benih C. callothyrsus. Tiga jenis benih lainnya, yaitu A. loranthifolia, A. scholaris and T. sureni tidak memerlukan perlakuan pendahuluan. Lingkungan peralatan perkecambahan yang optimal untuk benih A. loranthifolia, A. procera, A. scholaris, C. callothyrsus, D. latifolia dan T. sureni adalah germinator dengan pencahayaan 8 jam (suhu 24-30°C dan kelembaban 90-95%), sedangkan untuk benih M. emenii, M. kauki, S. oleosa dan S. benzoin adalah bak kecambah yang ditutup plastik selama 2 - 3 minggu di rumah kaca.
2.
3.
4.
V.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bonner, F. T. 1995. Measurement and Management of Tree Seed Moisture. Technical Note. No. 1. Danida Forest Seed Centre Djavanshir, K and H. Pourbeik. 1976. Germination Value a New Formula. Silvae Genetics 25 (2) Edwards, D.G.W. 1987. Methods and Procedures for Testing Tree Seeds in Canada. Forestry Technical Report 36. Canadian Forestry Service. Ottawa Hamzah, Z. 1984. Ilmu Tanah Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu, Direksi Perum Perhutani. Jakarta Harun, R. 2008. Upaya dan Permasalahan Rehabilitasi Lahan Kritis. Website Perum Perhutani. November 2008. Jakarta ISTA. 1999. International Rules for Seed Testing: Rules 1999. Seed Science and Technology; Suplement. Zurich. Switzerland ISTA. 2006. International Rules for Seed Testing: Edition 2006. The International Seed Testing Association. Bassersdorf. CH-. Switzerland Kamil, J. 1979. Teknologi Benih 1. Universitas Andalas. Penerbit Angkasa Raya. Padang Kusumawardhani, E. 1997. Pengaruh Daerah Asal Sumber Benih dan Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Viabilitas Benih Kemiri (Aleurites moluccana Willd.). Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. (Skripsi, tidak diterbitkan) Levitt, J. 1974. Introduction to Plant Physiology. CV. Mosby Company USA. pp. 277-286 Nikoleave, MG. 1977. Factor Controlling Seed Dormancy Pattern. North Holland Publishing Co. Amesterdam, pp. 51-74 Poulsen, K.M. 1994. Seed Testing. Lecture Note No. C-8, July 1994. Danida Forest Seed Centre. DK-3050 Humlebaek. Denmark Sadjad, S. 1980. Panduan Pembinaan Mutu Benih Tanaman Kehutanan di Indonesia. Kerjasama Ditjen Kehutanan dengan Institut Pertanian Bogor. Bogor Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dengan Indonesia Forest Seed Project. PT. Gramedia Jakarta Scholer, E . and F. Stubsgaard. 1994. Seed Testing. Lecture Note No. C8. Danida Forest Seed Centre. Humlebaek. Denmark Subramanian, K., N. Kala., Siddappa, and B.G. Singh. 1999. Research Milestones 1988-1998. Institute of Forest Genetics and Tree Breeding. Indian Council of Forest Research and Education. Coimbatore
2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13.
14.
15. 16.
17.
Sutopo, L. 2004. Teknologi benih. Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 18. Tompsett, P.B. 1991. A Review of the Literature on Storage of Dipterocarps Seeds. Fourth Round-table Conference on Dipterocaps. Biotrop special publication No. 41. Bogor. Indonesia Willan, R.L. 1985. A Guide to Forest Seed Handling. FAO. United Nation. Rome. Italy