Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
PENGEMBANGAN POLA TANAM INTERCROPPING KELAPA SAWIT (Elaeis Guineensis Jacq.) DAN JATI (Tectona Grandis) RAZAK PURBA1, JAYUSMAN2 dan Z. POELOENGAN1 1
2
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Jl. Brigjend. Katamso No. 51, Medan 20158 Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera, Kampus Aek Nauli, Parapat ABSTRAK
RAZAK PURBA, JAYUSMAN dan Z. POELOENGAN. 2003. Pengembangan Pola Tanam Intercropping Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan Jati (Tectona grandis). Pembukaan areal baru atapun peremajaan kelapa sawit, baik yang dilakukan oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat, masih menganut sitem monokultur. Areal perkebunan rakyat yang luasnya mencapai 35% dari total luas pertanaman kelapa sawit di Indonesia (diperkirakan antara 4,2 – 4,5 juta hektar) merupakan generasi pertama dalam penanamannya dan sebagian telah memasuki masa peremajaan. Untuk melaksanakan peremajaan ini para pekebun menghadapi masalah dengan tidak tersedianya biaya. Pendapatan yang diperoleh pada masa tanaman produktif yang seharusnya sebagian disisihkan untuk biaya peremajaan tidak dilakukan karena habis digunakan untuk kebutuhan biaya hidup sehari-hari. Hal ini perlu diatasi pada waktu mendatang dengan penerapan pola tanam intercropping kelapa sawit dan jati yang dapat menambah pendapatan para pekebun dari hasil panen jati pada saat kelapa sawit diremajakan. Intercropping kelapa sawit dan jati secara teknis dan biologis memungkinkan untuk dilakukan guna menambah pendapatan para pekebun. Pola pertanaman intercropping kelapa sawit dan jati ini dinilai cukup prospektif ditinjau dari aspek ketersediaan lahan, harga dan produktivitas, meskipun beberapa faktor pembatas masih harus dihadapi. Key words: Intercropping, peremajaan kelapa sawit, jati
PENDAHULUAN Perkebunan kelapa sawit mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai sumber devisa negara. Sampai saat ini minyak sawit (crude palm oil/CPO) mempunyai prospek pemasaran cerah di pasar dunia mengingat keragaman penggunaannya sangat tinggi disamping harganya yang kompetitif. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sampai akhir tahun 2002 diperkirakan antara 4,2–4,5 juta hektar, dan perluasannya akan terus berlanjut sejalan dengan animo para pekebun untuk melakukan pengembangan, baik dengan pola perkebunan besar swasta dan negara maupun pola perkebunan rakyat. Sebagian perkebunan besar negara dan swasta yang menyebar di pantai timur Sumatera Bagian Utara sudah memasuki pertanaman generasi ketiga atau keempat dengan pola peremajaan monokultur. Sementara itu perkebunan rakyat pertama dalam perjalanannya sudah memasuki tahap peremajaan (replanting). Menyoroti pola atau model peremajaan yang belum jelas pada perkebunan rakyat ini, kita dihadapkan pada masalah kelangsungan hidup dari perkebunan di satu pihak. Di lain pihak, sistem pertanaman monokultur, apalagi bila merupakan suksesi dari perusakan hutan (deforestation), sering dituding sebagai penyebab hilangnya biodiversitas flora dan fauna. Deforestasi merupakan tindakan sesaat menjawab kebutuhan bahan baku kayu nasional yang pada akhir tahun 2001 diperkirakan mencapai 80 juta m3. Dari kebutuhan tersebut hanya 60 juta m3 yang dapat dieksploitasi secara 167
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
lestari dari sekitar 64 juta hektar hutan produksi yang tersisa (DARORI, 2001). Di antara beragam kayu yang dihasilkan, kemampuan memasok kayu jati olahan hanya sebesar 0,8 juta m3/tahun dari kebutuhan sebesar 2,5 juta m3 (SIAHAAN, 2001). Untuk menutupi defisit seperti yang dialami kayu jati maka peran hutan tanaman maupun hutan rakyat semakin penting. Kemampuan kelapa sawit untuk menghasilkan pendapatan (income) yang permanen dan berkesinambungan serta animo masyarakat untuk mengembangkan jati membuat kedua tanaman ini layak dipertimbangkan sebagai salah satu komponen dari suatu sistem kultur teknis yang lebih sustainable. Kelapa sawit akan menghasilkan pendapatan sejak awal karena sudah dapat dipanen pada usia 2,5-3 tahun setelah tanam. Sementara itu, jati yang baru layak dipanen pada usia 20-25 tahun akan menjadi sumber biaya melakukan peremajaan tanaman, baik kelapa sawit maupun jati. Dengan demikian masalah kelangkaan sumber pendapatan sehari-hari apabila menanam jati secara monokultur akan dapat diatasi dengan hasil panen kelapa sawit. Demikian juga masalah yang timbul di dalam peremajaan kelapa sawit akan dapat diatasi karena jati akan siap menjadi sumber pembiayaan, bukan saja untuk peremajaan tersebut tetapi juga untuk selama masa kelapa sawit belum menghasilkan. Di dalam makalah ini disajikan latar belakang saintifik, desain dan pengembangan sistem agroforestry yang melibatkan introduksi jati ke dalam kultur teknis kelapa sawit. Tujuannya adalah untuk melihat berbagai prospek dan pembatas dalam upaya mengembangkan pola intercropping kelapa sawit dan jati yang hasilnya diharapkan dapat berguna untuk mendapatkan suatu model perkebunan kelapa sawit yang lebih sustainable. Intercropping kelapa sawit dan jati Intercropping merupakan sistem kultur teknis dari suatu tanaman utama dan tanaman pendamping (companion) yang dilakukan secara simultan atau sekuensial pada satu unit lahan yang sama. Dengan demikian baik tanaman utama maupun tanaman pendamping harus mempunyai preferensi yang sama terhadap tanah dan iklim namun harus komplementer dilihat dari segi pertumbuhan maupun sisi ekonomis. Kelapa sawit dan jati keduanya adalah sun-loving plant yang dapat tumbuh di berbagai tipe tanah dan iklim. Tabel 1 menggambarkan tipe tanah dan iklim yang disukai oleh kedua tanaman tersebut. Tabel 1 memperlihatkan bahwa ada kesamaan preferensi terhadap faktor agroklimat dari kelapa sawit dan jati. Hanya saja untuk kebutuhan air kedua tanaman tersebut secara umum menunjukkan preferensi yang berbeda. Apabila ditanam di daerah beriklim monsoon maka jati akan tumbuh dengan baik sementara kelapa sawit berkurang produktivitasnya karena kekeringan mendorong terbentuknya bunga jantan dan menyebabkan aborsi bunga atau bakal bunga. Apabila terjadi kekeringan selama 3-6 bulan maka produksi TBS akan menurun sebesar 8–23% (Harahap dan Latif, 1998). Penerapan pola intercropping di daerah beriklim basah tampaknya lebih memungkinkan mengingat jati tumbuh dan menghasilkan kayu jati berkualitas baik di Johore (Malaysia) yang mempunyai curah hujan rata-rata lebih besar dari 2500 mm per tahun (Tee et al., 1995). Ditinjau dari segi biologi dan pertumbuhan, baik kelapa sawit maupun jati memiliki beberapa sifat komplementer yang tidak akan menyulitkan intercropping keduanya. Sistem perakaran, kecepatan pertumbuhan meninggi, kerapatan tajuk menunjukkan bahwa kedua tanaman tidak akan berkompetisi terhadap hara, air dan sinar matahari apabila desain pertanaman dilakukan dengan baik (Tabel 2).
168
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 2 memperlihatkan bahwa kelapa sawit dan jati memiliki pola perakaran yang berbeda. Dengan demikian kompetisi di permukaan tanah relatif kecil karena jati dapat menggunakan hara dan air di lapisan yang lebih dalam. Sebaliknya, kelapa sawit dapat memanfaatkan daun jati yang gugur sebagai serasah di permukaan tanah. Pertumbuhan meningginya yang lebih cepat membuat percabangan jati dapat jauh berada di atas kanopi kelapa sawit, sehingga memungkinkan kelapa sawit dapat mengeksploitasi secara baik sinar matahari langsung maupun lateral. Tabel 1. Preferensi kelapa sawit dan jati terhadap berbagai faktor tumbuh Faktor agroklimat Tanah
Kelapa sawit
Jati
Tanah mineral dari berbagai jenis dan berdrainase baik Tanah aluvial berdrainase baik dengan pH netral (5-7)
Curah hujan
2000 sampai 3000 mm/tahun tanpa bulan kering
1200 sampai 2500 mm/tahun dengan 3-5 bulan kering (ch < 50 mm)
Tinggi tempat
Dataran rendah hingga 500 m di atas permukaan laut
Hingga 500-600 permukaan laut
m
di
atas
Tabel 2. Biologi dan pertumbuhan kelapa sawit dan jati Karakter Sistem perakaran Kecepatan meninggi (cm/tahun) Tajuk Pengguguran daun 1 2
Kelapa sawit Jati Akar serabut Æ akar menyebar di Akar tunggang Æ penyebaran akar lapisan atas di lapisan lebih dalam 60 – 80 1 180 – 190 2 Kanopi padat Kanopi ringan Menggugurkan daun Tidak menggugurkan daun
Diukur pada umur 6 dan 8 tahun (PURBA et al., 1993) Rerata pertumbuhan diukur berdasarkan tinggi tanaman umur 10 tahun (TEE et al., 1995)
POLA TANAM INTERCROPPING KELAPA SAWIT – JATI (Pengalaman dari Kunjungan ke Balung River Plantation, Tawau, Sabah, Malaysia) Kelapa sawit umumnya ditanam dengan pola segitiga sama sisi dengan kerapatan 120 - 143 pohon per hektar, sedangkan jati ditanam berbaris dengan kerapatan sampai 1500 pohon per hektar. Di Balung River Plantation, kelapa sawit ditanam dengan kerapatan 128 pohon per hektar dan jati ditanam di antara dua tanaman kelapa sawit sehingga kerapatannya juga 128 pohon per hektar (Gambar 1). Jati ditanam 18 bulan setelah kelapa sawit. Pola tanam seperti ini ternyata mengakibatkan pelepah kelapa sawit yang berumur 6-7 tahun tumbuh membentuk sudut yang lebih sempit (erect), sehingga tandan buah sulit berkembang (Gambar 2). Mengingat kedua tanaman adalah sun-loving plant yang tidak mentoleransi penaungan berat, maka kerapatan tanam dapat dikurangi hingga hanya 120 pohon atau kurang per hektar, baik kelapa sawit maupun jati. Pengurangan populasi kelapa sawit ditengarai tidak akan menurunkan kemampuan tanaman ini sebagai sumber pendapatan bagi pekebun. Penanaman jati yang 18 bulan lebih lambat dari penanaman kelapa sawit dinilai sudah cukup tepat. Pada saat kunjungan dilakukan pada September 2002, tinggi kanopi jati yang berumur 4 dan 6 169
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
tahun (ditanam pada tahun 1996 dan 1998) telah berada di atas kanopi kelapa sawit yang ditanam pada tahun 1994 dan 1996 (Gambar 3). Pola tanam seperti ini juga mengakibatkan cabang pertama dan kedua jati tidak berkembang, akibat kalah bersaing dengan kelapa sawit, sehingga tidak perlu dilakukan pemangkasan. Namun demikian untuk memperoleh batang tunggal pemangkasan perlu dilakukan apabila ditemui tunas yang berlebihan, terutama pada saat jati berumur 6 bulan. Pemangkasan dapat dilakukan dengan kekerasan 30%, yaitu 30% cabang dipangkas dan sisanya dibiarkan. Penyulaman dilakukan 2 kali setahun sampai tanaman berumur 2 tahun dengan mengganti tanaman yang mati dan yang pertumbuhannya jelek (kerdil, bengkok, pangkal batang berlubang, luka terbakar, benjol, patah atau gundul). Penjarangan tampaknya tidak perlu dilakukan dalam pola intercropping. Pemupukan jati dapat dimulai pada saat sebelum tanam dengan memberi pupuk organik (kompos) sebanyak 1-2 kg yang dicampur dengan 50 gram pupuk NPK dan 50-100 gram dolomit untuk setiap lubang tanam. Pemupukan lanjutan diberikan 2 kali setahun. Pemupukan pertama dilakukan 1-3 bulan setelah tanam dengan NPK sebanyak 30-100 gram per pohon. Pemupukan kedua dilakukan pada saat jati berumur 6-12 bulan setelah tanam dengan NPK sebanyak 60-200 gram per pohon. Hama dan penyakit pada jati berbeda dengan yang menyerang kelapa sawit. Untuk menghindarkan infestasi silang dari hama/penyakit maka tanaman yang di-intercropping-kan haruslah dari taksa botani yang berbeda (SHANKER and SOLANKI, 2000). Adapun hama yang menyerang jati antara lain: • hama yang menyerang akar yaitu uret (Lepidiota stigma) dan uter (Phasus damor), • hama yang menyerang batang yaitu rayap (Neotermes tectonae), bubuk kayu basah (Xyloborus destruens) dan oleng-oleng (Duomitus ceramicus), • hama yang menyerang daun yaitu hama daun jati (Phyrausta machaeralis) dan belalang (Valanga nigricornis).
Gambar 1. Jati ditanam di antara dua tanaman erect kelapa sawit
170
Gambar 2. Pelepah kelapa sawit tumbuh lebih dengan kerapatan 128 ph/ha
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Gambar 3. Intercropping pada saat jati umur 4 tahun dan kelapa sawit umur 6 tahun (kiri) dan jati umur 6 tahun dan kelapa sawit umur 8 tahun (kanan)
Penyakit-penyakit yang menyerang jati antara lain (ZAKARIA dan LEE, 1999): • penyakit layu bibit yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas solanacearum, • penyakit karat daun yang diakibatkan serangan spora Olivea tectonae, • penyakit bintik daun oleh Colletotrichum gleosporioides, • penyakit akar putih yang disebabkan oleh Corticium salmonicolor, • penyakit kanker batang yang diakibatkan oleh Fusarium. PROSPEK DAN KETERBATASAN INTERCROPPING KELAPA SAWIT - JATI Areal perkebunan rakyat yang luasnya mencapai 35% dari total pertanaman kelapa sawit Indonesia merupakan generasi pertama dan sebagian sudah memasuki masa peremajaan. Dalam pelaksanaan peremajaan para pekebun dihadapkan pada kesulitan biaya. Sebenarnya biaya peremajaan ini dapat disediakan oleh para pekebun dengan menyisihkan sebagian dari pendapatannya selama tanaman masih produktif. Akan tetapi karena pendapatan yang terbatas hal tersebut tidak dapat dilakukan. Berbeda dengan di Sri Lanka di mana peremajaan karet rakyat disubsidi oleh pemerintah dalam bentuk seluruh biaya bahan tanaman dan sebagian biaya pekerja (RODRIGO et al., 2001). Namun biaya peremajaan kelapa sawit tidak akan menjadi masalah bila intercropping dengan jati berjalan dengan baik. Dengan harga per log kayu jati berumur 20-25 tahun yang dapat mencapai RM 5.000 (tahun 1995), maka dari 120 pohon yang ditanam dan dipanen akan diperoleh suatu nilai yang substantial (TEE et al., 1995).
171
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Silvikultur jati umumnya memerlukan tenaga kerja dan input lainnya yang lebih sedikit dibandingkan kelapa sawit. Introduksi jati dan tanaman hutan lainnya ke dalam sistem pertanaman kelapa sawit secara teknis tidak menambah beban pekebun. Hal ini khususnya untuk pekebun kecil (smallholder) maupun pekebun rakyat. Pola intercropping jarang diterapkan di perkebunan besar terutama karena kurangnya insentif, resiko pemasaran dan keamanan serta tidak cukupnya pengetahuan mengenai pola pertanaman ini (RODRIGO et al., 2001). Pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat mungkin dapat lebih diarahkan pada pola pertanaman intercropping ini. Pengembangan pola intercropping ini memerlukan pemahaman terhadap pertumbuhan pohon dan korelasinya dengan pemanenan hasil akhir. Untuk sekedar tumbuh, pohon jati jenis pionir yang mampu tumbuh pada berbagai jenis tanah dan kondisi iklim. Namun, produktivitasnya (pertambahan pertumbuhan per satuan waktu/tempat) akan sangat dibatasi oleh berbagai faktor tumbuh. Hasil kayu pohon jati secara kuantitas (volume) lebih mudah dicapai, namun kualitasnya (kekuatan kayu, keawetan dan sifat anatomi, fisik, kimia dan lainnya) akan sangat dipengaruhi oleh umur panen, tanah dan iklim. Pola adaptasi dan pertumbuhan awal pohon kehutanan berbeda untuk setiap jenis. Hal yang sering terjadi adalah pertumbuhan pohon yang menjanjikan pada saat awal, namun berubah menurun dengan cepat dan kemudian stagnan pada fase pertumbuhan lanjut. Dengan daur hidup yang panjang, reaksi tanaman hutan terhadap kondisi tumbuh seringkali baru tampak beberapa tahun setelah penanaman. Kegagalan tersembunyi ini akan sering terjadi pada kegiatan introduksi jenis baru ke dalam sistem pertanaman yang telah mapan, seperti halnya intercropping kelapa sawit dan jati. Pemahaman terhadap aspek teknis dan ekologis pola pertanaman intercropping perlu diikuti dengan memperhatikan juga aspek sosial, ekonomi dan pasar. Pemahaman yang didominasi oleh aspek teknis semata tidak akan mampu menjawab berbagai permasalahan yang timbul dalam pengembangan penanaman jenis kayu tertentu. Diperlukan pembaruan kerangka pikir dari yang bersifat teknis semata kepada pelibatan aspek ekonomi dan kelembagaan (KARTODIHARDJO, 2000). KESIMPULAN DAN SARAN Pola tanam intercropping kelapa sawit dan jati cukup prospektif ditinjau dari segi pengembangan perkebunan model agroforestry yang lebih sustainable. Meskipun demikian pengembangannya harus tetap memperhatikan faktor pembatas yang ada, bukan saja masalah kultur teknis (silvikultur) tetapi juga masalah sosial ekonomi, pasar dan kelembagaan. Pengembangan model intercropping kelapa sawit dan jati masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Sebaiknya dilakukan kegiatan “site species mapping” terlebih dahulu untuk mengetahui kesesuaian faktor edafis (elevasi, jenis tanah, pH, dan lain-lain) maupun faktor klimatis (curah hujan, kelembaban, temperatur, dan lain-lain) sebelum dilakukan pengembangan pola tanam intercropping ini. Pengembangan bertahap – skala penelitian kemudian skala semi komersial dan dilanjutkan skala komersial – sangat dianjurkan. DAFTAR PUSTAKA DARORI. 2001. Tinjauan prospek dan aspek sosial ekonomi tanaman jati di Sumatera Utara. Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Jati 2001. Program Ilmu Kehutanan USU, Medan, 4-6 September 2001.
172
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
HARAHAP, I.Y. dan SYAFRUL LATIF. 1998. Model pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan dan hasil kelapa sawit. J. Penelitian Kelapa Sawit, 6(1): 19-38. KARTODIHARDJO, H. 2000. Kebijakan pembangunan hutan (jati): memperbarui kerangka pikir teknis menuju kerangka pikir ekonomis dan kelembagaan. Makalah utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian, Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, 22 Nopember 2000. PURBA, A.R., R.A. LUBIS and A.U. LUBIS. 1993. Estimation of the combining abilities of the different dura and tenera origins studied in the first oil palm Elaeis guineensis breeding cycle at Marihat RCEC. Proc PORIM Int. Conf. Malaysia, pp. 36-54. RODRIGO, V.H.L., S. THENAKOON and C.M. STIRLING. 2001. Priorities and objectives of smallholder rubber growers and the contribution of intercropping to livelihood strategies : a case study from Sri Lanka. Outlook on Agriculture, 30(4): 261-266. SHANKER, C. and K.R. SOLANKI. 2000. Agroforestry : an ecofriendly land-use system for insect management. Outlook on Agriculture, 29(2): 91-96. SIAHAAN, A.E. 2001. Manajemen tanaman jati super di perkebunan PT. Pinago Utama, Sumatera Selatan. Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Jati 2001. Program Ilmu Kehutanan USU, Medan, 4-6 September 2001. TEE, B., M.F. PATEL and A. CHIEW. 1995. Teak in Sabah, a Sustainable Agroforestry : the Harris Salleh Experience. Sejati Sdn Bhd, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, p. 77. ZAKARIA, M. and L.S. SEE. 1999. Penyakit dan Gangguan terhadap Tanaman Jati di Peringkat Tapak Semaian dan Ladang di Semenanjung Malaysia. Institut Penyelidikan Perhutanan Malaysia (FRIM), p. 20.
DISKUSI Pertanyaan: 1.
Makalah ini hanya merupakan makalah yang sifatnya perumpamaan dan dalam makalah ini belum ada penelitian-penelitian yang konkrit mendukung model intercropping antara kelapa sawit dan jati. Maka dari itu diperlukan tambahkan hasil-hasil penelitian yang mendukung argumentasi yang dimaksud.
2.
Dalam makalah ini belum dicantumkan tentang sistem pertanaman intercropping yang dilakukan. Apakah sistem pertananaman jati dilakukan setelah kelapa sawit yang ditanam terlebih dahulu sampai umur yang ditentukan atau bagaimana masih kurang jelas? Hal tersebut perlu dicantumkan misalnya menganut pada sistem yang dilakukan di Malaysia atau negara lain yang telah melakukan pola pertanaman secara intercropping.
3.
Apakah sudah ada laporan tentang hasil pola intercropping khususnya ditinjau dari produksi dan produktivitas baik pada tanaman kelapa sawit sendiri maupun tanaman jati, disamping keuntungan model intercropping maupun kelemahannya dan sekaligus dibandingkan dengan model monokultur (tanaman tunggal) kelapa sawit.
173
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Jawaban: 1.
Argumentasi kami dasarkan pada hasil-hasil penelitian terdahulu seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
2.
Sistem pertanaman yang dilakukan telah kami paparkan pada halaman 5-6,
3.
Kami belum pernah membaca hasil penelitian sistem intercropping kelapa sawit – jati, namun hasil praktek di lapangan dan prospek penerapan sistem ini telah kami paparkan pada halaman 7 dan 8.
174