PENGEMBANGAN TEKNIK INOKULASI BUATAN Ganoderma boninense Pat. PADA BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
DEDE RISANDA
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK DEDE RISANDA. Pengembangan Teknik Inokulasi Buatan Ganoderma boninense Pat. Pada Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA. Penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh infeksi cendawan Ganoderma boninense merupakan penyakit penting yang menyerang kebun-kebun kelapa sawit yang telah mengalami peremajaan. Cendawan G. boninense merupakan patogen tular tanah yang merupakan parasitik fakultatif dengan kisaran inang yang luas dan mempunyai kemampuan saprofitik yang tinggi. Patogen ini tergolong ke dalam cendawan akar putih (white rot fungi) yang mampu mendegradasi lignin, selulosa, dan polisakarida lainnya. Patogenisitas G. boninense tidak hanya terjadi pada tanaman tua saja, tetapi juga dapat terjadi pada bibit atau tanaman muda kelapa sawit. Untuk dapat menimbulkan penyakit, patogen ini membutuhkan inokulum awal yang cukup besar. Hal ini menjadi sangat penting dalam mengambil keputusan ketika seseorang melakukan uji keefektifan metode pengendalian atau evaluasi ketahanan terhadap penyakit dengan melakukan inokulasi buatan. Oleh karena itu, telah dilakukan suatu percobaan yang bertujuan untuk mengevaluasi beberapa macam medium tumbuh bagi G. boninense yang dapat menjadi sumber inokulum yang tetap virulen sehingga diperoleh teknik inokulasi buatan yang tepat. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian terdiri atas persiapan sumber inokulum. Medium tumbuh uji terdiri dari (i) kontrol (INO-0); (ii) sumber inokulum kayu akasia (INO-1); (iii) sumber inokulum kayu karet (INO-2); (iv) sumber inokulum dalam bentuk media PDA; (v) sumber inokulum dalam bentuk campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4); (vi) sumber inokulum pelepah sawit (INO-5). Percobaan dilakukan dengan percobaan acak lengkap. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragamnya dengan program Statistical Analysis System (SAS). Selanjutnya tiap perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan uji jarak berganda Duncan untuk melihat perbedaan tiap perlakuan pada taraf 5%. Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan teknik inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen berpengaruh sangat nyata pada keparahan penyakit (%KpP), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot akar. Hasil uji lanjut dari keparahan penyakit (%KpP) menunjukkan perbedaan nyata dengan kontrol (tanpa patogen) tetapi tidak berbeda nyata antar medium tumbuh yang berbeda. Berdasarkan data yang diperoleh, inokulasi G. boninense dengan medium tumbuh kayu akasia, kayu karet, media PDA, campuran serbuk gergaji + dedak, serta pelepah sawit selama 3 bulan telah mampu menimbulkan keparahan penyakit (%KpP) yang berat pada bibit kelapa sawit. Berdasarkan kemudahan didapat, murah dan cepat tumbuh, direkomendasikan pelepah kelapa sawit ukuran 50 cm 3 sebagai medium tumbuh terbaik untuk sumber inokulum G. boninense yang sudah dapat menimbulkan keparahan penyakit tertinggi (KpP 93,8%).
PENGEMBANGAN TEKNIK INOKULASI BUATAN Ganoderma boninense Pat. PADA BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
DEDE RISANDA A44104067
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Skripsi
:
Pengembangan Teknik Inokulasi Buatan Ganoderma boninense Pat. Pada Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Nama Mahasiswa :
Dede Risanda
NRP
A44104067
:
Disetujui Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc. NIP. 130536665
Diketahui Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. NIP. 131124019
Tanggal lulus: ___________________
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, lahir pada tanggal 13 Juli 1984 di Tebing-Tinggi, Sumatera Utara. Orang tua bernama Bpk Riswan dan Ibu Samariah. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Tebing-Tinggi, Sumatera Utara pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Sumatera Utara. Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), dan diterima di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama di IPB, penulis aktif sebagai penanggung-jawab Badan Pengawas Angkatan (BPA) periode 2004-2005, penanggung-jawab Kerohanian Islam Kelas HPT periode 2005-2006, pengurus aktif Dewan Kerohanian Mahasiswa An-Naml (DKM An-Naml) periode 2005-2006, Kepala Biro Aplikasi Pertanian Badan Eksekutif Mahasiswa Departemen Pertanian IPB (BEM-A IPB) periode 20062007. Penulis penerima beasiswa Pedamping UKM Mahasiswa dari Program Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) tahun 2005-2006, penerima beasiswa Bank BRI tahun 2006-2007, penerima beasiswa PT. Pijar Nusa Pasifik tahun 2007-2008. Penulis juga sebagai Staf Pengajar Bimbingan Test Alumni (BTA Group) cabang Bogor tahun 2006-2008. Penulis juga sebagai asisten praktikum mata kuliah HPT Benih dan Pasca Panen tahun 2006-2007 dan mata kuliah HPT Tahunan 2007-2008. Karya tulis yang pernah dibuat: Keefektifan Steinernema spp. dan Xenorhabdus spp. sebagai Biopestisida dalam Pertanian Organik (L-ramp IPB 2006), Cara Praktis Pengendalian Kecoa di Lingkungan Perumahan (PKMP 2007), Potensi Kitosan Limbah Cangkang Rajungan Untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa (PKMP 2008), dan Pengembangan Formulasi Umpan dan Rancangan Perangkap Untuk Pengendalian Kecoa (PKMP 2008). Penulis penerima juara 2 Lomba Linnean Games pada Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) di Bali pada tahun 2007.
PRAKATA
Segala puji dan rasa syukur yang tiada terputus kepada Maha Pencurah Nikmat, Sang Maha Pencipta inspirasi dan motivasi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dia jugalah yang telah mengutus manusia paripurna, sosok teladan dalam mencari kesuksesan dunia dan akhirat, baginda nabi besar Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam, semoga selawat serta salam senantiasa tercurah atasnya. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, memberikan ilmu dan perhatian penuh kepada penulis selama penelitian dan proses penulisan skripsi ini. 2. Dhamayanti Adidharma, PhD selaku dosen penguji tamu yang memberikan masukan dan menambah wawasan kepada penulis. 3. Seluruh dosen dan staf pegawai di lingkungan Departemen Proteksi Tanaman atas ilmu dan layanan terbaik yang telah diberikan kepada penulis. 4. Saudara Sigit, Weni dan Nazly selaku mahasiswa S2 Program Studi Entomologi-Fitopatologi atas semua diskusi singkat yang padat informasi, dan kepada Bpk. Dadang selaku laboran atas bantuan dan layanan yang telah diberikan. 5. Alfa Alifia Pradikta, Landes Bronson Sibarani, eka, dan windi serta rekanrekan Departemen Proteksi Tanaman seperjuangan lainnya atas tahun-tahun yang menyenangkan dan tak terlupakan. 6. Rekan-rekan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian 2006-2007, bersama kalian dapat aku pahami makna kata ‘mahasiswa’ yang bukan hanya sekedar buku, cinta, dan pesta. Ingat, tindakan kecil lebih bernilai daripada omongan besar. 7. Rekan-rekan Pondokan Al-Izzah di Balebak Darmaga, yang penuh perhatian, dan tempat curahan hati yang setia menemani. Kalau bukan karena kalian aku mungkin kehilangan semangat. Akhirnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibunda tercinta atas setiap tetes keringat dan air mata yang dicurahkan sematamata demi keberhasilan anak-anaknya. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang memerlukan.
Bogor, Agustus 2008
(Dede Risanda)
PRAKATA
Segala puji dan rasa syukur yang tiada terputus kepada Maha Pencurah Nikmat, Sang Maha Pencipta inspirasi dan motivasi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dia jugalah yang telah mengutus manusia paripurna, sosok teladan dalam mencari kesuksesan dunia dan akhirat, baginda nabi besar Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam, semoga selawat serta salam senantiasa tercurah atasnya. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 8. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, memberikan ilmu dan perhatian penuh kepada penulis selama penelitian dan proses penulisan skripsi ini. 9. Dhamayanti Adidharma, PhD selaku dosen penguji tamu yang memberikan masukan dan menambah wawasan kepada penulis. 10. Seluruh dosen dan staf pegawai di lingkungan Departemen Proteksi Tanaman atas ilmu dan layanan terbaik yang telah diberikan kepada penulis. 11. Saudara Sigit, Weni dan Nazly selaku mahasiswa S2 Program Studi Entomologi-Fitopatologi atas semua diskusi singkat yang padat informasi, dan kepada Bpk. Dadang selaku laboran atas bantuan dan layanan yang telah diberikan. 12. Alfa Alifia Pradikta, Landes Bronson Sibarani, eka, dan windi serta rekanrekan Departemen Proteksi Tanaman seperjuangan lainnya atas tahun-tahun yang menyenangkan dan tak terlupakan. 13. Rekan-rekan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian 2006-2007, bersama kalian dapat aku pahami makna kata ‘mahasiswa’ yang bukan hanya sekedar buku, cinta, dan pesta. Ingat, tindakan kecil lebih bernilai daripada omongan besar. 14. Rekan-rekan Pondokan Al-Izzah di Balebak Darmaga, yang penuh perhatian, dan tempat curahan hati yang setia menemani. Kalau bukan karena kalian aku mungkin kehilangan semangat. Akhirnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibunda tercinta atas setiap tetes keringat dan air mata yang dicurahkan sematamata demi keberhasilan anak-anaknya. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang memerlukan.
Bogor, Agustus 2008
(Dede Risanda)
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ...............................................................................
1
Tujuan Penelitian ...........................................................................
4
Manfaat Penelitian .........................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tumbuhan ......................................................................
5
Penyakit Busuk Pangkal Batang Kelapa Sawit ..............................
7
Penyebab Penyakit ................................................................ Sebaran dan Arti Penting Penyakit BPB ............................... Gejala ....................................................................................
7 8 9
Patogenisitas Ganoderma ..............................................................
11
Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang .....................................
13
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu .........................................................................
16
Isolat Ganoderma boninense .........................................................
16
Persiapan Sumber Inokulum ..........................................................
16
Persemaian Bibit Kelapa Sawit ......................................................
17
Inokulasi Buatan ...........................................................................
18
Rancangan Percobaan ....................................................................
18
Pengamatan ....................................................................................
18
Tingkat Keparahan Penyakit ................................................. Bobot Akar ............................................................................ Vigor Tanaman ………………………………………….....
18 20 20
Analisis Data ..................................................................................
21
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
22
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ………………………………………………………
32
Saran ……………………………………………………………..
32
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
33
LAMPIRAN …………………………………………………………....
37
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kriteria skor kerusakan nekrotik akar .....................................................
19
2. Sidik ragam perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap keparahan penyakit (%KpP) dan bobot akar (g) …………………………………………….
23
4. Pengaruh perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap keparahan penyakit (%KpP) ...................................................................................................
24
4. Pengaruh perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap rata-rata jumlah daun .......
29
5. Laju pertumbuhan spesifik tanaman (r) yang diukur tiap 3 minggu …...
30
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kriteria penentuan keparahan penyakit (%KpP) berdasarkan skoring nekrotik pada akar kelapa sawit ………………………………………..
19
2. Kondisi perakaran bibit kelapa sawit 3 bulan setelah inokulasi (bsi) ….
26
3. Grafik rata-rata tinggi tanaman ...............................................................
29
4. Vigor tanaman dilihat dari tinggi tanaman, jumlah daun, dan kebugaran tanaman antar perlakuan .........................................................................
30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Tabel 1. Hasil uji sidik ragam perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap keparahan penyakit (%KpP) dan bobot akar (g) ………………………
38
2. Hasil uji pengaruh perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap keparahan penyakit (%KpP) ...................................................................
38
3. Hasil uji pengaruh perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap rata-rata jumlah daun …………………………………………………..
39
4. Laju pertumbuhan spesifik tanaman (r) yang diukur tiap 3 minggu …..
39
Gambar 1. Biakan G. boninense berumur 60 hari pada masing-masing medium tumbuh yang diuji sebagai sumber inokulum awal, terdiri dari kayu akasia (INO-1), kayu karet (INO-2), media PDA (INO-3), campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4), dan pelepah sawit (INO-5) .................
40
2. Bibit kelapa sawit yang telah dipelihara selama 3 bulan (pre-nursery) dan siap diinokulasi dengan sumber inokulum .......................................
40
3. Inokulasi buatan cendawan G. boninense pada perakaran kelapa sawit dengan 5 macam sumber inokulum awal, terdiri dari kayu akasia (INO-1), kayu karet (INO-2), media PDA (INO-3), campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4), dan pelepah sawit (INO-5) .............................
41
4. Kriteria penentuan keparahan penyakit (%KpP) berdasarkan skoring nekrotik pada akar kelapa sawit .................................................
41
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) merupakan tanaman komoditas perkebunan yang penting di Indonesia sebagai penghasil minyak nabati beserta beberapa produk turunan lainnya. Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri andalan yang menghasilkan devisa bagi negara. Disamping itu, krisis energi yang melanda dunia mengharuskan kita untuk mencari energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable energy). Potensi minyak kelapa sawit sebagai salah satu bahan baku biofuel menggantikan bahan bakar minyak bumi atau fosil membuat permintaan akan minyak kelapa sawit dunia semakin tinggi. Sejak tahun 2007, Indonesia merupakan produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, dengan rata-rata produktivitas 2,6 ton CPO/ ha/ tahun (Dahuri 2008). Industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri andalan penghasil devisa negara, karena ditinjau dari segi ekonomi harga minyak dunia telah mencapai US$ 136,04/barrel (Anonim 2008), selain itu industri kelapa sawit berperan dalam menyediakan kebutuhan minyak dalam negeri, dan mampu menyerap tenaga kerja hingga lebih dari 3,5 juta orang (Depperin 2007). Saat ini penyakit busuk pangkal batang sudah merupakan penyakit yang penting, terutama pada kebun-kebun kelapa sawit yang telah mengalami peremajaan. Semakin sering suatu kebun telah mengalami peremajaan maka semakin tinggi persentase kejadian penyakit BPB. Hal ini terjadi karena setelah cendawan menginfeksi tanaman, areal pertanaman akan terus terkontaminasi dan inokulum patogen akan terakumulasi sejalan dengan semakin seringnya penanaman kelapa sawit (Semangun 2000; Sinaga et al. 2003; Susanto et al. 2005). Mulanya penyakit BPB hanya menyerang tanaman tua berumur 25 tahun, lalu tanaman yang lebih muda berumur 10 hingga 15 tahun, bahkan telah dilaporkan dapat menyerang tanaman berumur 4 tahun, terutama pada perkebunan yang telah mengalami peremajaan (Ariffin et al. 2000). Pada saat ini penyakit BPB telah dilaporkan dapat menyerang tanaman belum menghasilkan yang berumur ≤ 1 tahun (Ariffin et al. 2000; Susanto 2002; Sinaga et al. 2003).
Franqueville (2004), melaporkan bahwa penyakit BPB dapat juga terjadi pada planlet dan bibit kelapa sawit. Kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai 100%, bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman terserang (Abadi 1987; Ariffin et al. 2000). Penyebab penyakit ini adalah Ganoderma boninense Pat. yang merupakan cendawan patogen tular tanah. Seperti umumnya patogen tular tanah, keberadaannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang sangat kompleks, apalagi penyakit BPB bersifat sistemik dan monosiklik (Susanto 2002; Sinaga et al. 2003). Patogen tular tanah mempunyai kemampuan saprofitik yang tinggi dan parasitik fakultatif dengan kisaran inang yang luas, memiliki beberapa macam stuktur patogen untuk bertahan dalam keadaan lingkungan yang kurang mendukung perkembangannya; seperti miselia resisten, basidiospora, dan klamidospora; serta dapat bertahan lama di dalam tanah meskipun tidak ada inang (Sinaga 1986; Sudantha 1997; Ariffin et al. 2000; Flood et al. 2000; Sinaga et al. 2003; Susanto et al. 2005). Dengan demikian patogen tidak kesulitan untuk mendapatkan makanan untuk membangun inokulum yang cukup banyak sehingga mampu melakukan infeksi pada tanaman maupun untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Semangun 2000). Ganoderma boninense adalah kelompok cendawan busuk putih (white rot fungi), cendawan ini bersifat lignolitik (Susanto 2002; Paterson 2007). Oleh sebab itu, cendawan ini mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dalam mendegradasi lignin dibandingkan kelompok lain. Komponen penyusun dinding sel tanaman adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Selulosa merupakan bagian terbesar yang terdapat dalam dinding sel tanaman, yaitu berkisar antara 39-55 persen, kemudian lignin 18-33 persen, dan hemiselulosa 21-24 persen (Martawijaya et al. 2005). Dengan demikian, untuk dapat menyerang tanaman, cendawan tersebut harus mampu mendegradasi ketiga komponen tersebut. Spesies Ganoderma yang patogenik pada kelapa sawit mempunyai kisaran inang yang luas. Pada habitat alami di hutan, cendawan ini dapat menyerang tanaman berkayu. Selain menyerang kelapa sawit, spesies Ganoderma dapat menyerang tanaman perkebunan lain seperti kelapa, karet, teh, kakao, serta
berbagai macam jenis pohon tanaman hutan seperti Acacia, Populus, dan Macadamia (Ariffin et al. 2000). Penularan penyakit BPB terutama terjadi melalui kontak akar tanaman sehat dengan sumber inokulum yang dapat berupa sisa-sisa tanaman sakit atau akar tanaman sakit. Akar-akar tanaman kelapa sawit muda, tertarik kepada tunggul yang membusuk yang mengandung banyak hara dan kelembaban tinggi. Agar dapat menginfeksi akar tanaman sehat, cendawan harus mempunyai bekal makanan (food base) yang cukup (Semangun 2000). Basidiospora yang dihasilkan tubuh buah tidak dapat menyebabkan terjadinya infeksi langsung pada tanaman kelapa sawit sehat, tetapi mempunyai kemampuan saprofitik untuk mengkoloni substrat dan membangun inokulum yang berpotensi untuk menginfeksi tanaman sehat (Paterson 2007). Umur tanaman yang semakin dewasa, akan membuat sistem perakarannya semakin panjang sehingga tingkat probabilitas terjadinya inokulasi dengan inokulum semakin tinggi (Susanto 2002). Di lapangan, sangat sulit untuk menentukan gejala serangan dini pada tanaman. Hal ini terjadi karena perkembangan penyakit yang sangat lambat. Gejala mudah dilihat apabila sudah gejala lanjut atau sudah membentuk tubuh buah, akibatnya tindakan pengendalian sudah sulit untuk dilakukan. Yulianti (2001) melaporkan, bahwa inokulasi alami Ganoderma boninense selama 5 bulan setelah inokulasi (bsi) belum menunjukkan gejala BPB pada pangkal batang dan tajuk. Hal ini juga dilaporkan oleh Sinaga et al. (2003), bahwa inokulasi alami dengan kelapa sawit sakit sebagai sumber inokulum pada bibit umur satu tahun mampu menimbulkan gejala awal busuk pangkal batang (berupa kelayuan daun) pada 7 bsi. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa sumber inokulum pada medium yang cocok dan yang dapat mempertahankan virulensi patogen memegang peran penting untuk keberhasilan teknik inokulasi buatan suatu patogen sehingga mampu menginfeksi dan menimbulkan gejala. Oleh karena itu, diperlukan suatu percobaan untuk memperoleh medium yang cocok untuk pertumbuhan G. Boninense sebagai sumber inokulum, sehingga dapat diperoleh teknik inokulasi buatan yang tepat dan cepat untuk mengevaluasi ketahanan tanaman atau keefektifan pengendalian BPB.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengevaluasi beberapa macam medium tumbuh G. boninense sebagai sumber inokulum sehingga dapat diperoleh teknik inokulasi buatan patogen yang tepat pada bibit kelapa sawit berumur 3 bulan.
Manfaat Penelitian Mendapatkan metode inokulasi buatan G. boninense yang tepat dan cepat dalam mengevaluasi ketahanan tanaman, keefektifan taktik maupun strategi pengendalian BPB.
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tumbuhan Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk dalam kingdom Tumbuhan, divisi Embryophyta Siphonagama, kelas Angiospermae, ordo Monocotyledonae, famili Arecaceae (dahulu disebut Palmae), Subfamili Cocoideae, genus Elaeis dan spesies Elaeis guineensis Jacq., Elaeis oleifera, dan Elaeis odora (Pahan 2006). Kelapa sawit termasuk tumbuhan pohon, tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, serta bercabang banyak. Buahnya kecil dan apabila masak, berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak, khususnya sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula). Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera (Dipperin 2008). Tipe dura mempunyai cangkang cukup tebal antara (2−8) mm dan tidak terdapat lingkaran sabut pada bagian luar tempurung apabila dibelah secara melintang. Daging buah relatif tipis dengan persentase daging buah terhadap buah bervariasi antara (35−50)%. Kernel (daging biji) biasanya besar dengan kandungan minyak yang rendah. Dalam persilangan, tipe dura ini digunakan sebagai induk betina. Sedangkan tipe pisifera ketebalan tempurungnya sangat tipis, bahkan hampir tidak ada (0−0,5) mm tetapi daging buahnya tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tinggi, sedangkan daging biji sangat tipis. Tipe pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan jenis lain. Tipe ini dikenal sebagai tanaman betina yang steril sebab bunga betina gugur pada fase ini. Oleh sebab itu,
dalam persilangan dipakai sebagai induk jantan. Penyerbukan silang antara pisifera dan tenera menghasilkan tipe tenera. Tipe tenera mempunyai sifat-sifat yang berasal dari dua induknya yaitu dura dan pisifera. Tipe inilah yang banyak ditanam di perkebunan-perkebunan pada saat ini. Tebal cangkang sedang, berkisar antara (0,5−4) mm dan terdapat lingkaran serabut di sekelilingnya. Persentase daging buah terhadap buah tinggi antara (60−96)%. Tandan buah yang dihasilkan oleh tenera lebih banyak daripada dura, tetapi ukuran tandannya relatif lebih kecil. Kelapa sawit tumbuh baik pada daerah iklim tropis, dengan suhu antara (24−32) oC dengan kelembaban yang tinggi dan curah hujan 200 mm per tahun. Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80% pericarp dan 20% buah yang dilapisi kulit yang tipis, kandungan minyak dalam pericarp sekitar (30−40)% (Tambun 2002). Sistem perakaran kelapa sawit merupakan akar serabut yang dibagi menjadi akar primer, akar sekunder dan akar tertier. Kedalaman akar mencapai ± 1 m dan panjang akar yang tumbuh menyamping mencapai 6 m. batang kelapa sawit tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium dengan diameter mencapai 90 cm dan ketinggian kurang dari 12 m. Panjang pelepah mencapai 9 m dengan jumlah anakan daun sekitar 125−200 di kiri dan kanan. Umur 12−14 bulan setelah tanam, kelapa sawit mulai berbunga dan mulai dipanen pada umur 2−4 tahun setelah tanam. Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu: minyak sawit (CPO), minyak yang berasal dari sabut kelapa sawit dan minyak inti sawit (CPKO), minyak yang berasal dari inti kelapa sawit. Pada umumnya minyak sawit mengandung lebih banyak asam-asam palmitat, oleat, dan linoleat jika dibandingkan dengan minyak inti sawit. Minyak sawit merupakan gliserida yang terdiri dari berbagai asam lemak, sehingga titik lebur dari gliserida tersebut tergantung pada kejenuhan asam lemaknya. Semakin jenuh asam lemaknya semakin tinggi titik lebur dari minyak sawit tersebut (Tambun 2002).
Penyakit Busuk Pangkal Batang Kelapa Sawit Penyebab Penyakit Sejak 1920 patogen penyebab BPB di Afrika Barat telah diidentifikasi berasal dari genus Ganoderma. Spesies Ganoderma yang menyebabkan penyakit BPB dilaporkan berbeda-beda di setiap negara (Ariffin et al. 2000). Di Indonesia diketahui penyebab BPB adalah spesies Ganoderma boninense. Hasil penelitian Abadi (1987) menunjukkan, bahwa penyebab BPB pada beberapa perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara adalah G. boninense, walaupun diketahui terdapat bentuk basidiokarp yang bervariasi dari seluruh basidiokarp yang dikumpulkan. Moncalvo (2000), memasukkan G. boninense ke dalam grup cendawan yang menyerang tanaman palem-paleman. Grup ini dibagi dalam tiga kelompok besar dan ada kelompok yang tidak masuk dalam klasifikasi. Pengelompokkan ini berhubungan dengan daerah asal dimana spesies Ganoderma ditemukan. Ganoderma boninense dinyatakan berasal dari Asia Tenggara, Jepang, dan Kawasan Pasifik Australia, selain itu G. boninense diketahui memiliki kategori penyebaran geografik yang meliputi wilayah Jepang, Indonesia, Asia Tenggara, Papua New Guinea, dan Australia, dengan inang sebagian besar adalah tanaman palem-paleman. Cendawan G. boninense termasuk salah satu kelompok jamur kayu filum Basidiomycota, Ordo Aphyllophorales, dan famili Ganodermataceae dahulu disebut Polyporaceae (Alexopoulus et al. 1996). Cendawan G. boninense memiliki morfologi basidiokarp yang sangat bervariasi; ada yang bertangkai atau tidak, tumbuh horizontal atau vertikal, ada yang rata atau mengembung, dan ada yang terbentuk lingkaran konsentris. Semangun (2000) mengemukakan, bahwa basidiokarp G. boninense awalnya tampak sebagai bongkol kecil berwarna putih yang berkembang membentuk piringan menyerupai kipas tebal (console bracket like). Basidiokarp yang dibentuk seringkali berdekatan, bersambungan, dan saling menutupi sehingga menjadi suatu susunan yang besar. Konveks atau bagian atas permukaan basidiokarp memiliki warna yang bervariasi, coklat muda hingga coklat tua, tampak mengkilap khususnya pada basidiokarp muda, memiliki zonazona, dan kurang rata. Permukaan bawah basidiokarp berwarna putih pucat,
memiliki lapisan pori yang merupakan tempat pembentukan basidium dan basidiospora. Hasil penelitian Abadi (1987)
menunjukkan,
bahwa
basidiokarp
Ganoderma boninense yang ditemukan di Sumatera Utara memiliki lapisan kutis (atas) yang terdiri dari sel-sel berukuran 20-30 µm x 4-10 µm dengan ketebalan 0,1 mm. Diameter pori 150-400 µm, dengan disepimen (jaringan antara) sebesar 30-60 µm. Basidiospora berbentuk bulat panjang, berwarna keemasan, bagian atas kurang rata, berduri, terkadang memiliki vakuola. Cendawan G. boninense memiliki pemanjangan basidiospora dan keseragaman konteks warna coklat. Basidiospora yang dibentuk mencapai 9-13 µm x 5-7 µm. Basidiospora umumnya digunakan untuk perbanyakan secara seksual, dibentuk di dalam basidia yang berada pada pori-pori bagian bawah tubuh buah. Masing-masing basidium akan menghasilkan empat jenis basidiospora yang memiliki genotip beragam (Seo & Kirk 2000).
Sebaran dan Arti Penting Penyakit BPB Penyakit BPB pertama kali dideskripsikan pada tahun 1911 di Republik Kongo, Afrika Barat. Pada tahun 1931 di Malaysia dilaporkan penyakit BPB menyerang tanaman kelapa sawit berumur 25 tahun pada perkebunan yang telah diremajakan, tetapi tidak sampai menimbulkan kerugian secara ekonomi. Pembudidayaan kelapa sawit secara besar-besaran pada akhir tahun 1960 menyebabkan perkembangan BPB meningkat dan mampu menyerang tanaman kelapa sawit yang lebih muda berumur 10 hingga 15 tahun. Patogen penyebab penyakit BPB dapat menginfeksi tanaman kelapa sawit lebih cepat 12 hingga 24 bulan setelah tanam dengan tingkat serangan yang lebih berat pada tanaman berumur 4 hingga 5 tahun terutama pada lahan generasi kedua dan ketiga (Ariffin et al. 2000). Di Indonesia serangan BPB awalnya rendah pada tanaman kelapa sawit berumur 7 tahun, selanjutnya serangan meningkat sebesar 40% ketika tanaman kelapa sawit mencapai usia 12 tahun (Ariffin et al. 2000). Pada lahan generasi keempat serangan BPB terjadi lebih awal dan menyerang tanaman berumur 1 hingga 2 tahun (Sinaga et al. 2003). Susanto (2002) menyatakan bahwa penyakit
BPB dapat menyerang bibit-bibit kelapa sawit sejak di persemaian. Hal ini diduga karena patogen penyebab BPB semakin menyebar pada lahan yang sering diremajakan. Pernyataan ini diperkuat oleh Subronto et al. (2003) bahwa pada lahan generasi pertama serangan penyakit
ini sangat
rendah, dengan
bertambahnya generasi tanam berikutnya maka persentase serangan akan semakin tinggi, dan gejala penyakit sudah dapat terlihat pada awal pertumbuhan tanaman. Sinaga et al. (2003) mengemukakan, bahwa penyakit BPB ini sudah merupakan ancaman bagi berbagai perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terutama pada kebun yang telah mengalami peremajaan berulang, bahkan pada kebun yang telah mengalami peremajaan tiga kali dengan tanaman belum menghasilkan (TBM), kejadian penyakit sudah terjadi hingga 11%. Hasil penelitiannya menunjukkan, semakin sering kebun sawit mengalami peremajaan atau pada areal pertanaman kelapa sawit sebelumnya ditanami dengan kopi, karet atau tanaman lain, maka semakin rendah keragaman, kelimpahan, dan pemerataan agens biokontrol yang ditemukan. Berkurangnya keberadaan, keragaman, dan kelimpahan agens antagonis (kurang dari 105 cfu/g tanah) akan menyebabkan tingginya kejadian penyakit BPB. Penyakit BPB dapat menyebabkan kehilangan hasil secara langsung terhadap minyak sawit dan penurunan bobot tandan buah segar (fresh bunch fruit) (Susanto et al. 2005). Kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai 80% (Yulianti 2001) hingga 100%, bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman yang terserang (Abadi 1987).
Gejala Pada tanaman yang terserang, belum tentu ditemukan tubuh buah Ganoderma boninense pada bagian pangkal batang, namun kita dapat mengidentifikasi serangan lewat daun tombak yang tidak terbuka sebanyak ± 3 daun. Basidiokarp yang dibentuk awalnya berukuran kecil, bulat, berwarna putih, dengan pertumbuhan yang cepat hingga membentuk basidiokarp dewasa yang memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang variatif. Umumnya basidiokarp berkembang sedikit di atas dan mengelilingi bagian pangkal batang yang sakit. Ukuran basidiokarp yang bertambah besar menunjukkan perkembangan penyakit
semakin lanjut dan akhirnya menyebabkan kematian pada tanaman (Ariffin et al. 2000). Pada tanaman muda gejala eksternal ditandai dengan menguningnya sebagian besar daun atau pola belang di beberapa bagian daun yang diikuti klorotik. Daun kuncup yang belum membuka ukurannya lebih kecil daripada daun normal dan mengalami nekrotik pada bagian ujungnya. Selain itu tanaman yang terserang juga kelihatan lebih pucat dari tanaman lain yang ada disekitarnya (Ariffin et al. 2000; Sinaga et al. 2003; Yanti & Susanto 2004), pertumbuhannya terhambat dan memiliki daun pedang (spear leaves) yang tidak membuka. Gejala pada tingkat serangan lanjut adalah selain adanya daun tombak yang tidak terbuka yaitu adanya nekrosis pada daun tua dimulai dari bagian bawah. Daun-daun tua yang mengalami nekrosis selanjutnya patah dan tetap menggantung pada pohon. Pada akhirnya tanaman akan mati dan tumbang. Gejala yang tampak pada daun menandakan bahwa penampang pangkal batang telah mengalami pembusukan sebesar 50% atau lebih. Gejala yang khas sebelum tubuh buah terbentuk adalah terjadi pembusukan pada pangkal batang. Pada jaringan batang yang busuk, lesio tampak sebagai daerah berwarna coklat muda disertai adanya daerah berwarna gelap berbentuk pita tidak beraturan (Ariffin et al. 2000; Susanto 2002). Serangan lebih lanjut dapat mengakibatkan tanaman kelapa sawit tumbang, karena jaringan kayu pada bagian pangkal batang mengalami pelapukan (Yanti & Susanto 2004). Secara mikroskopis gejala internal akar sakit mirip seperti batang yang terinfeksi. Jaringan korteks akar yang sakit berubah warna dari putih menjadi coklat (Susanto 2002). Jaringan kortikel berwarna coklat dan mudah untuk didisintegrasikan, selain itu stele menjadi kehitaman. Pada akar tanaman tua bagian permukaan sebelah dalam eksodermis ditemukan tanda penyakit berupa hifa berwarna keputihan (Ariffin et al. 2000). Pada serangan yang sudah lanjut, jaringan korteks rapuh dan mudah hancur. Hifa biasanya terdapat di jaringan korteks, endodermis, xylem, dan floem (Ariffin et al. 2000; Susanto 2002).
Patogenesitas Ganoderma Ganoderma boninense adalah kelompok cendawan busuk putih (white rot fungi), cendawan ini bersifat lignolitik (Susanto 2002; Paterson 2007). Oleh sebab
itu, cendawan ini mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dalam mendegradasi lignin dibandingkan kelompok lain. Komponen penyusun dinding sel tanaman adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Cendawan G. boninense memperoleh energi utama dari selulosa, setelah lignin berhasil didegradasi, selain itu karbohidrat seperti zat pati dan pektin, diperoleh meskipun dalam jumlah kecil (Paterson 2007). Selulosa merupakan bagian terbesar yang terdapat dalam dinding sel tanaman, yaitu berkisar antara 39-55 persen, kemudian lignin 18-33 persen, dan hemiselulosa 21-24 persen (Martawijaya et al. 2005). Dengan demikian, untuk dapat menyerang tanaman, cendawan tersebut harus mampu mendegradasi ketiga komponen tersebut (bahan-bahan berligno-selulosa). Lignin merupakan polimer senyawa aromatik yang membungkus komponen polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) dinding kayu baik secara fisik maupun secara kimiawi, sehingga akan meningkatkan ketahanan kayu sebagai material komposit yang resisten terhadap serangan mikroorganisme. Lignin tersusun melalui stuktur kompleks polimer yang menghubungkan tiga unit monomerik dengan ikatan karbonkarbon dan aril eter. Unit monomerik lignin terdiri dari koniferil, sinapil, dan ρ-kumaril alkohol. Lignoselulosa pada kelapa sawit sama halnya seperti selulosa dan hemiselulosa yang berasosiasi dengan lignin, memiliki kemampuan untuk melindungi tanaman dari serangan mikroorganisme,
meningkatkan
ketahanan
tanaman,
dan
memberikan
perlindungan terhadap dinding sel dan jaringan xylem tanaman. Cendawan Ganoderma memiliki kemampuan untuk mengurai lignin menjadi karbon dioksida dan air dengan cara memutus struktur cincin monomer dari lignin, sehingga memudahkan untuk akses energi melalui selulosa. Enzim yang digunakan untuk memutus struktur monomer lignin adalah lignolitik. Enzim ini diklasifikasikan menjadi dua bagian, ligninolitik yang dapat mendegradasi dengan cepat termasuk manganase peroksidase (MnP), lakase, dan lignin peroksidase (LIP). Cendawan busuk putih juga menghasilkan ligninolitik yang tidak diklasifikasikan bergantung dari peroksidase dan lakase (fenol oksidase, LAC) yang mengalami proses oksidase. Enzim peroksidase yang terkandung dalam ligninolitik memerlukan peroksida untuk dapat bekerja dengan baik. Lakase mengoksidasi fenol dalam lignin menjadi radikal fenoksi yang dapat
didegradasi lebih lanjut menjadi struktur lain. Lakase berperan dalam degradasi lignin melalui oksidasi gugus fenol menjadi quinon, pengoksidasinya melalui proses dimetilasi yang akan mengubah metoksi menjadi metanol (Susanto 2002; Paterson 2007). Delignifikasi dapat berupa proses perombakan lignin atau pelepasan lignin dari ikatannya dengan selulosa. LIP dapat menyerang tanaman dengan cara mendegradasi lignin terkadang juga selulosa (Seo & Kirk 2000). Selulosa merupakan polimer dari 800−12.000 unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Rantai komponen glukosa cukup panjang sehingga harus dipecah satu persatu. Komponen ini terdiri dari kristal selulosa, selulosa amorfik, selulosa rantai pendek, selobiose, dan glukosa (Paterson 2007). Di alam molekul glukosa tersusun dalam bentuk fibril yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen. Fibril tersebut sebagian bersifat kristalin dan pada kayu dibungkus oleh lignin yang berperan sebagai pelindung selulosa terhadap enzim pemecah selulosa. Selulosa dapat dihidrolisis oleh enzim kelompok endo β-glukanase, ekso β-glukanase, dan β-glukosidase (Susanto 2002; Paterson 2007). Hemiselulosa pada kayu tersusun dari galaktomanan, glukomanan, arabinogalaktan, dan xilan. Galaktomanan, manan, dan fragmen oligosakarida rentan terhadap enzim α-D-galaktosidase, endo β-D-manase, ekso β-D-manase, dan ekso β-D-manan manobiohidrolase (Susanto 2002; Paterson 2007). Patogenisitas Ganoderma tidak hanya terjadi pada tanaman tua, tetapi dapat terjadi pada planlet dan bibit kelapa sawit (Susanto 2002; Franqueville 2004), tetapi untuk dapat menimbulkan penyakit, cendawan ini membutuhkan inokulum yang cukup besar. Keistimewaan Ganoderma adalah mampu bertahan pada jaringan kayu tua atau sisa-sisa tanaman di dalam tanah, sehingga menyebabkan sumber penyakit bersifat persisten di lapang. Pada tanaman tahunan infeksi Ganoderma pada jaringan kayu akan berkembang perlahan dan meluas pada kondisi yang mendukung perkembangannya. Material tanaman yang sudah tertulari Ganoderma dapat menjadi sumber inokulum potensial, dan dapat menulari tanah selama beberapa bulan, sehingga patogen dapat melakukan invasi ke bagian tanaman lain pada saat mulai menanam (Flood et al. 2000).
Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Spesies Ganoderma yang patogenik pada kelapa sawit mempunyai kisaran inang yang luas. Pada habitat alami di hutan, cendawan ini dapat menyerang tanaman berkayu. Selain menyerang kelapa sawit, spesies Ganoderma dapat menyerang tanaman perkebunan lain seperti kelapa, karet, teh, kakao, serta berbagai macam jenis pohon tanaman hutan seperti Acacia, Populus, dan Macadamia (Ariffin et al. 2000). Penularan penyakit BPB terutama terjadi melalui kontak akar tanaman sehat dengan sumber inokulum yang dapat berupa akar dan batang sakit. Akarakar tanaman kelapa sawit muda, tertarik kepada tunggul yang membusuk yang mengandung banyak hara dan kelembaban tinggi. Agar dapat menginfeksi akar tanaman sehat, cendawan harus mempunyai bekal makanan (food base) yang cukup (Semangun 2000). Kejadian penyakit BPB pada kelapa sawit meningkat pada kebun yang sebelumnya atau ditanam bersamaan dengan kelapa, terutama pada kebun yang terdapat sisa-sisa tunggul kelapa yang terbenam di dalam tanah. Ganoderma menginfeksi tanaman lebih awal 12 hingga 24 bulan pada tanaman kelapa sawit berumur 4 hingga 5 tahun yang ditanam bersamaan dengan tanaman kelapa. Daur penyakit meningkat 40% hingga 50% setelah tanaman berumur 15 tahun. Situasi seperti inipun terjadi pada kebun kelapa sawit yang telah diremajakan (Ariffin et al. 2000). Menurut pengamatan Susanto (2002); Sinaga et al. (2003) Ganoderma dapat hidup pada tunggul kayu karet dan kakao. Kebun yang banyak mempunyai tunggul karet, kelapa sawit, kelapa atau tanaman hutan lain akan cenderung mempunyai penyakit yang tinggi. Tunggul-tunggul itu berfungsi sebagai sumber inokulum potensial Ganodema. Oleh karena itu disarankan pada waktu tanam ulang, sisa-sisa tanaman itu dimusnahkan. Infeksi oleh Ganoderma dimulai ketika Ganoderma melakukan kontak dengan akar tanaman. Sumber-sumber inokulum seperti akar dan batang sakit berpotensi untuk menularkan penyakit BPB. Sisa-sisa tanaman sakit yang kontak dengan akar tanaman sehat dapat meningkatkan penyebaran penyakit meskipun tidak melibatkan basidiospora. Di lain pihak ada yang menyatakan bahwa penyebaran penyakit selain melalui kontak akar sakit dengan akar sehat,
basidiospora yang disebarkan oleh angin berpotensi menularkan penyakit. Peranan basidiospora dalam distribusi penyakit BPB hingga saat ini masih menjadi kontra, karena untuk dapat menimbulkan penyakit BPB, basidiospora membutuhkan miselium yang memiliki tipe mating sama, sehingga dapat membentuk miselium sekunder dan tubuh buah. Susanto (2002) memperkuat pernyataan tersebut bahwa penyakit yang disebabkan oleh kontak akar harus berasal dari spesies Ganoderma yang sama. Studi yang dilakukan di Malaysia menunjukkan bahwa Ganoderma yang ada di areal kebun, tidak berasal dari penyebaran basidiospora dari satu kebun ke kebun yang lain. Basidiospora yang dihasilkan tubuh buah tidak dapat menyebabkan terjadinya infeksi langsung pada tanaman kelapa sawit sehat, tetapi mempunyai kemampuan saprofitik untuk mengkoloni substrat dan membangun inokulum yang berpotensi untuk menginfeksi tanaman sehat (Paterson 2007). Basidiospora berpengaruh secara nyata terhadap epidemiologi penyakit, tetapi tidak meningkatkan kejadian penyakit. Basidiospora dibebaskan dan disebarkan oleh bantuan angin. Penyebaran spora juga dibantu oleh kumbang Oryctes rhinoceros yang larvanya banyak ditemukan pada batang kelapa sawit yang membusuk. Terdapat beberapa faktor krusial yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit BPB antara lain umur tanaman, jenis tanah, status hara, teknik penanaman, dan tanaman yang ditanam sebelum pembukaan lahan baru. Penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit awalnya menyerang tanaman tua berumur lebih dari 25 tahun, tetapi sekarang ini dapat menyerang tanaman yang berumur 5-15 tahun (Ariffin et al. 2000). Serangan Ganoderma pada kelapa sawit meningkat sejalan dengan semakin tuanya umur tanaman. Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa umur tanaman mempengaruhi tingkat perkembangan penyakit. Umur tanaman yang semakin dewasa, akan membuat sistem perakarannya semakin panjang sehingga tingkat probabilitas terjadinya inokulasi dengan inokulum semakin tinggi (Susanto 2002). Selain itu kerusakan tanaman akibat serangan patogen akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya daur pertanaman dalam suatu kebun. Hal ini terjadi karena substrat bagi Ganoderma akan semakin tersedia atau inokulum semakin tinggi populasinya.
Letak kebun tidak terlalu berpengaruh sebab penyakit ini banyak ditemui di daerah pantai maupun daerah pedalaman. Laporan awal menyebutkan bahwa penyakit BPB banyak terjadi pada daerah pantai, tetapi laporan terakhir menyebutkan bahwa BPB banyak terjadi di daerah pantai maupun daerah pedalaman. Demikian juga untuk jenis tanah, laporan awal menyatakan bahwa penyakit BPB jarang ditemukan di tanah gambut dan serangan berat banyak terjadi pada tanah laterit. Namun sekarang, serangan Ganoderma dapat terjadi pada semua jenis tanah antara lain: podsolik, hidromorfik, alluvial, dan tanah gambut. Luka pada tanaman berperan sebagai titik mula atau membantu tempat masuknya Ganoderma ke tanaman. Luka pada tanaman ini dapat disebabkan oleh faktor biologis misalnya gigitan tikus, tupai, babi hutan, dan serangga. Faktor yang kedua adalah luka mekanis, misalnya akibat parang, cangkul ataupun alat berat. Tanaman yang lemah akan mudah terserang patogen. Lemahnya tanaman ini dapat disebabkan karena kurangnya hara bagi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebun yang dipupuk dengan unsur hara makro seperti nitrogen (N), potassium (P), dan kalium (K) dapat meningkatkan kesehatan tanaman. Akan tetapi kekurangan akan unsur hara mikro seperti boron (B) dan tembaga (Cu) serta magnesium (Mg) dapat meningkatkan kejadian penyakit (Ariffin et al. 2000).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), sejak awal Oktober 2007 hingga akhir Juni 2008.
Isolat Ganoderma boninense Isolat Ganoderma boninense diperoleh dari kultur murni hasil isolasi tubuh buah pada tanaman sakit asal Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Marihat-Pematang Siantar, Sumatera Utara. Perbanyakan cendawan dilakukan pada media selektif yang dimodifikasi pada suhu 26 oC selama 14 hari. Komposisi media selektif sebagai berikut; bagian A: Bacto-pepton (5 g), Agar (20 g), MgSO4.7H2O (0,25 g), K2HPO4 (0,5 g), dan air destilata (900 ml); bagian B: Streptomisin sulfat (0,05 g), Chloramphenicol (100 g), Etanol (3 ml), Ridomil 25% WP (0,3 ml), dan Asam Laktat (0,3 ml). Setelah dilakukan perbanyakan cendawan selama 14 hari, hingga koloni hifa menebal, maka koloni ini yang digunakan sebagai sumber inokulum awal.
Persiapan Sumber Inokulum Medium tumbuh yang diuji untuk sumber inokulum terdiri atas kayu akasia, kayu karet, pelepah sawit yang berukuran 5 cm x 5 cm x 2 cm, media PDA, dan campuran serbuk gergaji + dedak 1:1 (w/w). Semua bahan kemudian dipindahkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 40 oC. Selanjutnya direndam dengan air steril selama 12 jam, setelah itu ditiris hingga tidak ada air yang menetes, kemudian dimasukkan ke dalam plastik polipropilen tahan panas berukuran 15 cm x 20 cm. Untuk medium tumbuh patogen dalam bentuk campuran serbuk gergaji + dedak 1:1 (w/w), semua bahan dicampur hingga merata kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan dipadatkan. Bagian mulut plastik diberi cincin poly vinil clorida dan ditutup dengan kapas, setelah itu disterilisasi dalam autoklaf pada 15 Psi selama 60 menit pada suhu 121 oC. Setelah dingin dipindahkan ke dalam laminar air flow untuk melakukan infestasi dengan
inokulum. Infestasi inokulum dilakukan pada sisi kanan dan kiri. Untuk medium tumbuh patogen dalam bentuk media PDA digunakan cawan petri berdiameter 9 cm dan dilakukan infestasi inokulum di tengah cawan. Inokulum berupa sepotong biakan patogen berdiameter 0,5 cm pada media selektif yang telah berumur 14 hari. Selanjutnya biakan diinkubasi selama 2 bulan dengan suhu 27 oC, kecuali pada medium tumbuh patogen dalam bentuk media PDA, biakan diinkubasi selama 14 hari. Biakan selanjutnya siap untuk digunakan sebagai sumber inokulum awal G. boninense.
Persemaian Bibit Kelapa Sawit Benih kelapa sawit berasal dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Marihat-Pematang Siantar, Sumatera Utara. Persemaian bibit kelapa sawit sehat dilakukan pada media semai yang dicampur dengan pasir steril perbandingan 1:1 (w/w). Campuran media tanam steril dimasukkan ke dalam polibag kecil berukuran 5 cm x 12 cm (pre-nursery). Masing-masing polibag diisi 1 kg media. Benih kelapa sawit yang digunakan adalah tipe Tenera (hasil persilangan tipe Dura dengan Pisifera). Benih yang telah memiliki plumula dan radikula ditanam pada lubang sedalam 5 cm di dalam polibag dengan posisi mata tunas di atas. Pemupukan awal dengan NPK dilakukan 1 bulan setelah persemaian dengan dosis satu butir pupuk per tanaman. Bibit ditumbuhkan pada tempat yang diberi naungan secukupnya hingga umur 3 bulan. Pemeliharaan bibit kelapa sawit meliputi penyiraman yang dilakukan satu kali sehari, penyiangan dilakukan dengan cara pencabutan secara periodik 2 minggu sekali atau tergantung keadaan lingkungan. Setelah bibit kelapa sawit berumur 3 bulan dipindahkan ke polibag besar berukuran 25 cm x 25 cm (main-nursery). Media tanam yang digunakan berupa tanah, sebelumnya tanah disterilkan dengan fumigan vapam 90 mg/kg. Vapam ditambahkan ke media tanam dan diaduk rata, setelah itu media tanam disungkup plastik selama 2 minggu. Selanjutnya sungkup dibuka, media dikeringanginkan selama 1 minggu. Sebanyak 5 kg tanah steril dimasukkan ke dalam polibag untuk menanam bibit kelapa sawit hasil pre-nursery.
Inokulasi Buatan Setelah bibit kelapa sawit berumur 4 bulan (dihitung dari tahap persemaian), individu tanaman yang sehat dipilih untuk diinokulasi dengan 5 macam sumber inokulum awal. Semua sumber inokulum diinokulasikan dengan cara kontak langsung pada akar tanaman. Sumber inokulum dalam bentuk media PDA dibagi menjadi 6 bagian tiap cawan, sebanyak 2 bagian diinokulasikan pada setiap tanaman. Sumber inokulum dalam bentuk campuran serbuk gergaji + dedak dibagi menjadi 6 potong tiap kantong plastik, setiap potong berdiameter 8 cm dan tebal 1 cm, diinokulasikan pada setiap tanaman. Pengamatan dilakukan pada 3 bulan setelah inokulasi (bsi) dengan mengukur persentase bercak nekrotik akar. Polibag diatur sesuai dengan perlakuan dan diberikan naungan.
Rancangan Percobaan Rancangan Percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Sumber inokulum awal yang digunakan terdiri atas (i) kontrol, tanpa inokulum patogen (INO-0); (ii) sumber inokulum pada medium tumbuh kayu akasia (INO1); (iii) sumber inokulum pada medium tumbuh kayu karet (INO-2); (iv) sumber inokulum pada medium tumbuh PDA (INO-3); (v) sumber inokulum pada medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4); (vi) sumber inokulum pada medium tumbuh pelepah sawit (INO-5). Penempelan sumber inokulum dilakukan di perakaran tanaman. Masing-masing perlakuan dengan 4 ulangan dan tiap ulangan terdiri atas 2 tanaman, sehingga terdapat 48 unit perlakuan.
Pengamatan Pengamatan dilakukan setelah 3 bulan perlakuan dengan peubah yang diamati adalah tingkat keparahan penyakit (%KpP), bobot akar, dan vigor tanaman. 1. Tingkat Keparahan Penyakit Pengamatan keparahan penyakit dilakukan setelah pembongkaran bibit kelapa sawit, yaitu 7 bulan sejak persemaian atau 3 bsi berbagai sumber inokulum G. boninense. Hal ini dilakukan karena gejala awal BPB pada tajuk secara umum terjadi (7-12) bsi. Persentase bercak nekrotik pada akar digunakan untuk
menentukan tingkat keparahan penyakit dengan menggunakan metode skor 0 hingga 4, dengan kriteria skoring seperti tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria skor kerusakan nekrotik akar (Sinaga 30 September 2007, komunikasi pribadi) Nilai Skor 0 1 2 3 4
Area Nekrosis 0 ≤ x < 1% nekrotik yang ada bukan karena infeksi G. boninense 1 < x < 20% nekrotik yang terjadi berkembang hingga kurang dari 20% 20 ≤ x < 40% nekrotik yang terjadi berkembang 20 – 40% 40 ≤ x < 60% nekrotik yang terjadi berkembang 40 – 60% x > 60% nekrotik yang terjadi berkembang hingga lebih dari 60%
Nekrotik pada akar ditunjukkan oleh;
Keterangan: 0 = nekrotik yang ada bukan karena infeksi G. boninense 1 = nekrotik yang terjadi berkembang hingga kurang dari 20% 2 = nekrotik yang terjadi berkembang 20 – 40% 3 = nekrotik yang terjadi berkembang 40 – 60% 4 = nekrotik yang terjadi berkembang hingga lebih dari 60%
Gambar 1 Kriteria penentuan keparahan penyakit (%KpP) berdasarkan skoring nekrotik pada akar kelapa sawit
Keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus Townsen & Hüberger dalam Aripin et al. 2003; 4
(n KpP =
i
vi )
i 0
ZN
100 %
Keterangan: KpP = keparahan penyakit (%) n = jumlah akar nekrotik v = nilai skor dari masing-masing kategori N = jumlah akar yang diamati Z = nilai skor tertinggi 3. Bobot Akar Perhitungan bobot akar dilakukan dengan menimbang akar bibit kelapa sawit yang telah dibongkar menggunakan timbangan digital. Tanaman yang telah dibongkar, dipotong sampai mendekati pangkal batang, kemudian dicuci bersih.
4. Vigor Tanaman Pengamatan terhadap vigor tanaman dilakukan dengan melihat peubah kuantitaif seperti tinggi tanaman dan jumlah daun, juga dilakukan pengamatan terhadap peubah kualitatif seperti warna daun (kebugaran tanaman). Pengamatan vigor tanaman dilakukan dengan melihat perbandingan akhir antar perlakuan. Pengamatan dilakukan pula terhadap laju pertumbuhan tanaman (r). Laju pertumbuhan tanaman (r) dihitung tiap 3 minggu dengan menggunakan rumus;
( ln Nt ln Ni ) r = ( t 1)
Keterangan : r
= laju pertumbuhan tanaman (cm)
Ni = tinggi tanaman (cm) pada hari ke-0
Nt = tinggi tanaman (cm) setelah waktu ke-t t
= selang waktu pengukuran antara Ni dan Nt
Analisis Data Data diolah dengan menggunakan paket program Statistical Analysis System (SAS) for windows ver 6.12 (SAS Institute 1990). Pengaruh perlakuan dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan dengan taraf = 0.05 (Mattjik & Sumertajaya 2002). Untuk mengklarifikasi bercak nekrotik pada akar disebabkan oleh Ganoderma maka perlu dilakukan re-isolasi patogen. Jaringan akar yang terkena bercak nekrotik dipotong kecil (5 mm), kemudian didisinfeksi dengan clorox (NaOCl) 1% selama 2 menit, dibilas dengan aquades steril sebanyak dua kali. Setelah ditiriskan pada kertas saring, kemudian ditumbuhkan pada media selektif dalam petridish pada suhu 26 oC selama 14 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inokulasi buatan G. boninense dengan periode inkubasi 3 bulan pada akar bibit kelapa sawit (umur 3 bulan) belum menunjukkan adanya gejala BPB baik pada pangkal batang maupun pada tajuk tanaman. Akan tetapi, setelah tanaman dibongkar nampak gejala berupa nekrotik pada akar. Yulianti (2001) juga melaporkan, bahwa inokulasi buatan G. boninense pada akar hingga 5 bulan setelah inokulasi (bsi) belum menunjukkan gejala BPB pada pangkal batang dan daun, hanya terlihat gejala nekrotik akar. Sinaga et al. (2003) melaporkan bahwa inokulasi alami dengan kelapa sawit sakit sebagai sumber inokulum pada bibit umur satu tahun sudah mampu menimbulkan gejala awal busuk pangkal batang (berupa kelayuan daun) pada 7 bsi. Secara mikroskopis gejala akar yang terserang ditunjukkan oleh adanya bercak nekrotik berwarna coklat dan menghitam, kemudian meluas seiring dengan perkembangan penyakit. Selain itu akar terinfeksi mengalami pembusukkan dengan zona pembusukkan yang tidak teratur, sehingga akar menjadi rapuh dan hancur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ariffin et al. (2000); Semangun (2000); Susanto (2002), bahwa akar tanaman yang terserang BPB sangat rapuh, jaringan kortikel menjadi berwarna coklat, mudah untuk didisintegrasikan, stele menjadi kehitaman, terkadang pada bagian permukaan sebelah dalam eksodermis ditemukan tanda penyakit berupa hifa berwarna keputihan dan umumnya disertai pembusukkan berwarna coklat muda dengan jalur-jalur tidak teratur yang berwarna lebih gelap. Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan teknik inokulasi buatan dengan berbagai macam medium tumbuh patogen berpengaruh sangat nyata pada keparahan penyakit (%KpP) tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot akar tanaman selama periode 3 bsi (Tabel 2). Keparahan penyakit (%KpP) ditentukan berdasarkan presentase bercak nekrotik pada akar kelapa sawit. Hasil uji lanjut dari %KpP menunjukkan perbedaan nyata dengan kontrol (tanpa patogen) tetapi tidak berbeda nyata antar medium tumbuh yang berbeda (Tabel 3). Selain itu, diketahui bahwa periode inkubasi 3 bulan setelah inokulasi telah mampu menimbulkan %KpP yang sangat berat pada bibit kelapa sawit (KpP > 60%).
Perlakuan kontrol (inokulasi tanpa G. boninense) tidak menunjukkan adanya infeksi atau %KpP = 0%, meskipun terdapat bercak nekrotik pada akar kurang dari 1%, tetapi tidak meluas dan masuk ke dalam kriteria bercak nekrotik bukan karena infeksi G. boninense. Diduga nekrotik terjadi karena pengaruh faktor biotik lain.
Tabel 2 Sidik ragam perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap keparahan penyakit (%KpP) dan bobot akar (g) KpP (%) Sumber
Bobot Akar (g)
DB F-hit
Nilai-p
F-hit
Nilai-p
58.78
0.0001*
2.52
0.0678
Perlakuan
5
Galat
18
-
-
Total
23
-
-
CV
-
12.9
20.4
2
-
0.9
0.4
R *
berpengaruh sangat nyata
Hasil re-isolasi akar yang menunjukkan nekrotik pada media selektif Ganoderma 7 hari setelah isolasi (hsi), nampak pertumbuhan koloni miselium G. boninense pada masing-masing perlakuan. Re-isolasi pada bagian akar yang mengalami nekrotik dengan perlakuan tanpa inokulasi patogen (INO-0) tidak tumbuh koloni G. boninense, tetapi yang ditemukan adalah cendawan kontaminan seperti Aspergillus sp. dan Pennicillium sp.. Hal ini diyakini karena pada tanah walaupun telah disterilkan, Aspergillus sp. dan Pennicillium sp. yang merupakan cendawan tanah yang kosmopolit bisa saja menginfeksi tanah kembali. Perlakuan G. boninense pada medium tumbuh yang berbeda sebagai sumber inokulum tidak menyebabkan %KpP yang berbeda, tetapi berbeda sangat nyata dengan perlakuan tanpa inokulasi (INO-0). Hal ini menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit uji tidak membawa patogen dan inokulum G. boninense uji memiliki virulensi tinggi untuk menginfeksi bibit kelapa sawit.
Tabel 3 Pengaruh perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap keparahan penyakit (%KpP)
Perlakuan *
Nilai Tengah Keparahan Penyakit (%)
INO-0 (tanpa inokulasi G. boninense)
0a
INO-1 (medium tumbuh kayu akasia)
84.4 b
INO-2 (medium tumbuh kayu karet)
81.3 b
INO-3 (medium tumbuh PDA)
87.5 b
INO-4 (medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak)
81.3 b
INO-5 (medium tumbuh pelepah sawit
93.8 b
*
INO-0 = Kontrol (tanpa inokulasi G. boninense); INO-1 = Medium tumbuh patogen pada kayu akasia; INO-2 = Medium tumbuh patogen pada kayu karet; INO-3 = Medium tumbuh patogen pada PDA; INO-4 = Medium tumbuh patogen pada campuran serbuk gergaji + dedak; INO-5 = Medium tumbuh patogen pada pelepah sawit
a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang berganda Duncan (α = 0.05)
Miselium G. boninense tumbuh sangat baik pada medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4) dan medium tumbuh pelepah sawit (INO-5). Kolonisasi seluruh medium tumbuh hanya dibutuhkan waktu selama 1 bulan. Pertumbuhan koloni paling baik terjadi pada medium tumbuh PDA. Kolonisasi seluruh medium tumbuh hanya dibutuhkan waktu selama 1 minggu. Pada hari ketiga, pertumbuhan miselium sudah mencapai 5 cm, sedangkan pada medium tumbuh yang lain masih tumbuh sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh adanya zat makanan tersedia yaitu dalam bentuk PDA. Pada medium tumbuh yang lain yaitu kayu akasia dan kayu karet pertumbuhan miselium sangat lambat, karena medium tumbuh yang terlalu keras sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 2 bulan dan enzim degradasi yang cukup untuk memenuhi zat makanan tersedia seperti karbon, asam amino, dan asam lemak tersedia. Abadi (1987) melaporkan bahwa G. boninense dapat tumbuh lebih baik jika pada medium tumbuh ditambahkan sumber karbon yang berupa dextrose, fruktosa, galaktosa, sakarosa, maltosa, laktosa, dan selulosa.
Kemampuan patogen untuk tumbuh dan mempertahankan virulensi patogen pada medium tumbuh memegang peran penting untuk melakukan inisiasi penyakit pada bibit kelapa sawit. Medium tumbuh alami dalam bentuk pelepah sawit, kayu aksia, kayu karet, dan campuran serbuk gergaji + dedak terbukti mampu mempertahankan virulensi patogen dibandingkan medium semialami yaitu PDA, walaupun membutuhkan waktu yang lama untuk mempersiapkan sumber inokulum dari mediun tumbuh alami. Pertumbuhan miselium G. boninense tumbuh paling baik pada medium PDA, namun inokulasi dengan sumber inokulum pada media PDA menyebabkan keparahan penyakit (%KpP) relatif lebih rendah dibandingkan dengan sumber inokulum pelepah sawit (Tabel 3). Diyakini, karena pada PDA yang merupakan media semialami G. boninense dapat menurun virulensinya, jadi walaupun %KpP pada PDA tidak berbeda nyata maka lebih dianjurkan menggunakan inokulum pada pelepah sawit walaupun lama untuk mempersiapkan sumber inokulum tetapi virulensi tidak menurun. Keuntungan produksi massal sumber inokulum dengan medium tumbuh PDA adalah dalam waktu yang singkat dapat diproduksi sumber inokulum yang banyak untuk inokulasi pada bibit kelapa sawit dan inokulum dapat dibagi menjadi sumber inokulum dengan volume kecil sehingga memudahkan pengaturan dosis dan dapat digunakan sebagai sumber inokulum yang efisien. Susanto (2002) melaporkan, ada tiga masalah utama pada skrining kelapa sawit terhadap BPB yaitu (1) membutuhkan waktu yang lama untuk penyediaan sumber inokulum, (2) membutuhkan luasan permukaan pertumbuhan inokulum yang besar, dan (3) teknik deteksi dini untuk mengetahui tanaman tersebut sudah terinfeksi atau belum. Medium tumbuh patogen pada pelepah sawit (INO-5) memiliki tekstur yang lebih lunak dibandingkan dengan medium tumbuh patogen pada kayu akasia (INO-1) dan kayu karet (INO-2) sehingga membantu penetrasi dapat terjadi dengan mudah. Sebaliknya bila lapisan permukaan inang atau medium tumbuh uji keras maka dibutuhkan energi yang lebih besar. Dari hasil uji patogenesitas, medium tumbuh patogen pada pelepah sawit (INO-5) yang berukuran 50 cm3 dapat menimbulkan keparahan penyakit (%KpP) tertinggi 3 bsi. Diyakini, tingkat
keparahan penyakit dapat terus bertambah bersamaan dengan pertumbuhan tanaman dan periode waktu pengamatan yang semakin lama. Penurunan bobot segar akar berhubungan dengan rusaknya sistem perakaran (nekrosis dan mati). Jaringan akar yang sakit akan berubah warna dari putih menjadi coklat. selanjutnya jaringan akar akan rapuh dan mudah hancur (Gambar 2). Penurunan bobot akar tanaman berhubungan dengan kemampuan patogen untuk hidup dan berkembang di dalam jaringan sel tanaman. Ketika cendawan mampu memanfaatkan bahan-bahan yang berada pada inang (akar tanaman) sebagai food base-nya yang baru, cendawan akan mampu melanjutkan siklus patogenesis hingga menimbulkan kerusakan pada sistem perakaran.
Gambar 2 Kondisi perakaran bibit kelapa sawit 3 bulan setelah inokulasi (bsi)
Cendawan G. boninense mampu hidup sebagai saprofit dengan memanfaatkan sisa-sisa akar atau bagian tanaman yang sudah terdekomposisi di dalam tanah. Inokulasi alami penyakit BPB terjadi karena adanya kontak antara akar tanaman sehat dengan akar tanaman sakit atau dengan sisa-sisa tanaman sakit. Agar dapat menginfeksi akar tanaman sehat, cendawan harus mempunyai bekal makanan (food base) yang cukup (Semangun 2000). Pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit muda, biasanya tertarik kepada sisa-sisa akar atau bagian tanaman terinfeksi patogen karena banyak mengandung eksudat akar yang terdiri dari asam amino, karbohidrat, dan biasanya kelembaban juga tinggi. Tahap penyerangan patogen terhadap akar tanaman sehat terjadi melalui inokulasi, penetrasi, infeksi serta kolonisasi. Setelah kontak dengan permukaan akar tanaman, cendawan harus menembus dinding sel yang terdiri dari selulosa,
sel parenkim atau kutikula yang melapisi dinding sel untuk melanjutkan siklus patogenesis. Setelah mampu menembus dinding sel, cendawan belum dapat menggunakan zat makanan dari inangnya karena isi sel inang tidak selalu mengandung senyawa dalam bentuk yang siap untuk diabsorbsi dan digunakan oleh patogen. Patogen harus mendegradasi menjadi molekul yang lebih kecil. Penetrasi patogen pada tumbuhan inang dapat dilakukan secara pasif dan secara aktif. Penetrasi yang dilakukan Ganoderma melalui reaksi enzimatik. Cendawan mampu mendegradasi lignin dengan sistem enzim pengoksidasi fenol seperti polifenoloksidase, lakase, dan tirosinase. Polifenoloksidase mengkatalisis ohidroksilasi fenol dan mengoksidasi o-dihidrat fenol menjadi o-quinon dengan menggunakan molekul oksigen. Lakase mengoksidasi fenol dalam lignin menjadi radikal fenoksi yang dapat didegradasi lebih lanjut menjadi struktur lain. Tirosinase mengkatalisis hidroksi monofenol menjadi o-difenol dan mengoksidasi o-difenol menjadi quinon. Selulosa dapat dihidrolisis oleh enzim kelompok endo β-glukanase, ekso β-glukanase, dan β-glukosidase. Hemiselulosa pada kayu tersusun
dari
galaktomanan,
glukomanan,
arabinogalaktan,
dan
xilan.
Galaktomanan, manan, dan fragmen oligosakarida rentan terhadap enzim α-Dgalaktosidase, endo β-D-manase, ekso β-D-manase, dan ekso β-D-manan manobiohidrolase (Susanto 2002; Paterson 2007). Teknik inokulasi buatan dengan patogen pada berbagai macam medium tumbuh terhadap penurunan bobot segar akar belum menunjukkan terjadinya penurunan yang berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi cendawan belum mempengaruhi faktor pertumbuhan tanaman seperti bobot akar tanaman sampai dengan periode 3 bsi. Dapat diduga periode yang pendek dalam penelitian kemungkinan belum secara nyata memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sawit yang terinfeksi patogen. Diyakini, akar-akar bibit kelapa sawit yang masih halus belum dapat menjadi tempat infeksi bagi cendawan, sehingga nekrotik akar yang terjadi belum dapat menurunkan berat massa akar. Gambar 3. menunjukkan bahwa penggunaan berbagai medium tumbuh uji tidak berbeda untuk peubah tinggi tanaman. Walaupun demikian pada gambar 3
terlihat bahwa penggunaan medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak mempunyai rataan paling tinggi dibandingkan medium tumbuh yang berbeda. Tabel 4. menunjukkan bahwa rata-rata jumlah daun pada medium tumbuh yang berbeda sebagai sumber inokulum menunjukkan perbedaan yang nyata antara medium tumbuh yang berbeda. Dimana nilai tengah jumlah daun tertinggi ditunjukkan oleh pengunaan medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4). Dapat diduga, penggunaan medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4) menunjukkan kemampuan tumbuh dan vigor tanaman yang paling baik (Gambar 4). Diyakini, karena medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4) memiliki kandungan organik yang dapat membantu pertumbuhan tanaman dan memicu pertumbuhan cendawan saprofit disekitar perakaran. Dengan demikian, cendawan saprofit mampu berkompetisi dengan patogen melalui kompetisi ruang dan nutrisi. Hasil re-isolasi akar yang menunjukkan nekrotik pada media selektif Ganoderma 7 hari setelah isolasi (hsi), nampak pertumbuhan koloni miselium G. boninense pada masing-masing perlakuan. Re-isolasi pada bagian akar yang mengalami nekrotik dengan perlakuan tanpa inokulasi patogen (INO-0) tidak tumbuh koloni G. boninense, tetapi yang ditemukan adalah cendawan kontaminan seperti Aspergillus sp. dan Pennicillium sp.. Hal ini diyakini karena pada tanah walaupun telah disterilkan, Aspergillus sp. dan Pennicillium sp. yang merupakan cendawan tanah yang kosmopolit bisa saja menginfeksi tanah kembali. Secara umum kebugaran tanaman bibit kelapa sawit yang telah diinokulasi dengan berbagai sumber inokulum uji ditunjukkan oleh terbukanya daun secara sempurna serta mempunyai warna daun hijau. Periode inkubasi yang pendek belum menunjukkan gejala kelayuan pada daun.
rata-rata tinggi tanaman (cm)
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 INO-0
INO-1
INO-2
INO-3
INO-4
INO-5
Perlakuan
Gambar 3 Grafik rata-rata tinggi tanaman
Tabel 4 Pengaruh perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap rata-rata jumlah daun Jumlah Daun Perlakuan Nilai Tengah INO-0 (tanpa inokulasi G. boninense)
14.3 b
INO-1 (medium tumbuh kayu akasia)
11.8 b
INO-2 (medium tumbuh kayu karet)
14.5 b
INO-3 (medium tumbuh PDA)
12.8 b
INO-4 (medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak)
18.5 a
INO-5 (medium tumbuh pelepah sawit
14.0 b
*
INO-0 = Kontrol (tanpa inokulasi G. boninense); INO-1 = Medium tumbuh patogen kayu akasia; INO-2 = Medium tumbuh patogen kayu karet; INO-3 = Medium tumbuh patogen dalam bentuk media PDA; INO-4 = Medium tumbuh patogen dalam bentuk campuran serbuk gergaji + dedak; INO-5 = Medium tumbuh patogen pelepah sawit
a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang berganda Duncan (α = 0.05)
INO-0 INO-1 INO-2 INO-3 INO-4 INO-5 Gambar 4 Vigor tanaman dilihat dari tinggi tanaman, jumlah daun, dan kebugaran tanaman antar perlakuan Tabel 5 Laju pertumbuhan spesifik tanaman (r) yang diukur tiap 3 minggu Perlakuan
Ulangan INO-0
INO-1
INO-2
INO-3
INO-4
INO-5
1
0.15
0.16
0.24
0.18
0.11
0.18
2
0.15
0.18
0.22
0.13
0.16
0.21
3
0.12
0.16
0.14
0.22
0.16
0.21
4
0.15
0.24
0.23
0.23
0.26
0.20
Rata-rata
0.14
0.18
0.21
0.19
0.17
0.2
Laju pertumbuhan spesifik tanaman (r) berkisar dari (0.14-0.21) cm/tiga minggu. Laju pertumbuhan tertinggi mencapai 0.21 cm ditunjukkan pada perlakuan medium tumbuh patogen pada kayu karet (INO-2), sedangkan pada perlakuan medium tumbuh patogen pada pelepah sawit (INO-5), medium tumbuh patogen pada PDA (INO-3), medium tumbuh patogen pada kayu akasia (INO-1), medium tumbuh patogen pada campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4), serta medium tumbuh tanpa inokulasi patogen (INO-0), laju pertumbuhan spesifik tanaman berturut-turut dari tinggi ke rendah 0.21 cm, 0.20 cm, 0.19 cm, 0.18 cm, dan 0.14 cm.
Secara statistik laju pertumbuhan tanaman yang diukur tiap 3 minggu belum menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan. Hal ini diduga karena periode perlakuan selama 3 bulan pada tanaman kelapa sawit belum menimbulkan pengaruh yang berarti terhadap laju pertumbuhan. Diyakini, terdapat korelasi positif antara periode perlakuan dengan laju pertumbuhan tanaman. Semakin lama periode perlakuan maka semakin besar penghambatan pertumbuhan tanaman. Akan tetapi, periode inkubasi 3 bulan sudah cukup untuk menimbulkan keberhasilan inokulasi G. boninense hingga mampu menginfeksi, mengkolonisasi dan menimbulkan gejala. Berdasarkan cepat tumbuh, tidak menurunkan virulensi patogen yang ditunjukkan dengan KpP = 93.8%, mudah didapat dan murah maka direkomendasikan penggunaan pelepah kelapa sawit sebagai medium tumbuh G. boninense.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Teknik inokulasi buatan G. boninense dengan menggunakan berbagai medium tumbuh, seperti kayu akasia atau kayu karet atau media PDA atau campuran serbuk gergaji + dedak atau pelepah sawit dapat digunakan untuk menguji ketahanan tanaman kelapa sawit terhadap infeksi G. boninense atau keefektifan taktik pengendalian busuk pangkal batang. Periode inkubasi 3 bulan setelah inokulasi (bsi) patogen dengan medium tumbuh kayu akasia atau kayu karet atau media PDA atau campuran serbuk gergaji + dedak atau pelepah sawit sudah dapat menunjukkan keberhasilan infeksi patogen sehingga menimbulkan gejala nekrotik pada akar. Pelepah sawit (INO-5) merupakan medium tumbuh G. boninense yang direkomendasikan untuk menjadi sumber inokulum pada inokulasi buatan G. boninense pada kelapa sawit, tanpa menurunkan virulensi patogen. Periode inkubasi 3 bulan setelah inokulasi (bsi), tidak ada perbedaan yang nyata diantara medium tumbuh uji terhadap keparahan penyakit (%KpP) dalam bentuk nekrotik akar.
Saran Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk melihat periode inkubasi G. boninense pada tajuk tanaman kelapa sawit dengan berbagai medium tumbuh patogen.
DAFTAR PUSTAKA Abadi AL. 1987. Biologi Ganoderma boninense Pat pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dan pengaruh beberapa mikroba tanah antagonistic terhadap pertumbuhannya [Disertasi]. PPS IPB. Bogor. 147 p. Agrios GN. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Edisi ketiga. Munzir Busnia, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Pathology. Third edition. Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Micology. New York: John Willey & Sons, Inc. [Anonim]. 2008. Harga minyak dunia di New York menukik jadi US$ 136. http://www.inilah.com/berita/2008/07/09/37442. [9 Juli 2008]. Ariffin D, Idris AS, Singh G. 2000. Status of Ganoderma in oil palm. Di dalam: Flood J, Bridge PD, Holderners M. (Editor), Ganoderma Disease of Perenial Crops. CABI Publishing, Wallingford, UK. hlm 49-68. Aripin K, Lubis L, Zulnayati. 2003. Pengaruh jenis tanah terhadap serangan jamur akar putih (Rigidoporus mikroporus Swarrzt. FR) van ov pada tanaman karet. [laporan penelitian]. hhtp://www.library.usu.ac.id. [23 juli 2008]. Cook RJ, Baker KF. 1996. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. St. Paul, Minnesota, USA: The American Phytopathological Society. Dahuri R. 2008. Kedaulatan Pangan Bangsa. hhtp://www.targetmdgs.org. [28 Juli 2008]. [Depperin] Departemen Perindustrian. 2008. Gambaran sekilas industri minyak kelapa sawit 2007. http://www.depperin.go.id. [15 Juli 2008]. [Depperin] Departemen Perindustrian. 2007. Pengembangan industri CPO, sudah sampai dimana?. http://www.bumn.go.id. [15 Juli 2008]. Ekowati N. 1992. Penambahan Gliocladium spp. pada pupuk kotoran ayam untuk pengendalian Rhizoctonia solani Kuhn. Pada jagung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fisher F, Norman, Cook B. 1998. Fundamentals of Diagnostic mycology. Philadelphia: W.B. Saunder Company. Flood J, Bridge PD, Holderners M. 2000. Ganoderma Disease of Perennial Crops. UK: CABI Publishing. Franqueville H de. 2004. An overview of major oil palm and coconut disease. Biotechnology Symposium. France: CIRAD, Campus International de Baillarguet. Hadiwiyono, Sinaga MS, Tjahjono B, Anas I. 1997. Evaluasi kemangkusan Trichoderma viridae, Gliocladium fimbriatum dan Pseudomonas kelompok fluoresen sebagai agens pengendali hayati Ganoderma boninense Pat. pada balok kayu kelapa sawit. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 9(2): 26-31.
Hersanti, Santosa E, Kurniawati S. 1999. Pemberian abu sekam kelapa sawit dan inokulasi jamur mikoriza vesicular-arbuskular (MVA) untuk menekan penyakit bercak coklat (Alternaria solani Sor.) pada tanaman tomat. Di dalam: Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. Purwokerto, 16-18 September 1999. hlm 317-321. Kurniawati S. 2002. Eksplorasi cendawan antagonis dari rizosfir kelapa sawit untuk pengendalian hayati busuk pangkal batang (Ganoderma boninense Pat.) [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Bogor-Indonesia: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Hlm 7-10. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, IPB Press. Moncalvo JM. 2000. Systematics of Ganoderma. Di dalam: J Flood, PD Bridge, M Holderness, editor. Ganoderma Diseases of Perrennial Crops. UK: CABI Publishing. hlm 23-45. Noorhajati N, Sinaga MS, Sastiono A. 1993. potensi antagonisme Gliocladium sp. dan Trichoderma sp. serta penambahan zeolit pada limbah media jamur merang untuk pengendalian rebah kecambah tomat. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 6(2): 106-114. Pahan I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya. Paterson RRM. 2007. Ganoderma disease of oil palm-a white rot perspective necessary for integrated control. Crop Protection 26(1369-1376). Rayati DJ, Arifin S, Subhan TA. 1993. Potensi belerang dalam mengendalikan Ganoderma pseudoferreum, penyebab penyakit akar merah anggur pada teh. Proc. Kongres Nasional XVII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Yogyakarta. Rossiana N. 1992. Penekanan serangan Rhizoctonia solani kuhn. pada kedelai oleh Gliocladium sp. dan Trichoderma. [tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. SAS Institute. 1990. SAS/STAT User’s Guide, Version 6, Vol 2. 4th ed. Cary (North Carolina): SAS Institute. Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Ed ke4 (revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Seo GS, Kirk PM. 2000. Ganodermataceae: nomenclature and classification. Di dalam: J Flood, PD Bridge, M Holderness, editor. Ganoderma Diseases of Perrennial Crops. UK: CABI Publishing. hlm 3-22. Sinaga MS. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sinaga MS, Bonny PWS, Susanto A. 2003. Keragaman mikroorganisme rhizosfer kelapa sawit dan patogenesitas Ganoderma boninense Pat. sebagai dasar pengendalian penyakit busuk pangkal batang. Laporan Akhir Hibah Bersaing IX. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sinaga MS. 1986. Biological control of some soli-borne fungal patogens of soybean (Glycine max (L.) Merr.) with Gliocladium spp. [dissertation]. Los Banos: University of the Philippines. Sinaga MS. 1993. Prospek Gliocladium sebagai agen biokontrol patogen tular tanah. Wahana Informasi dan Alih Teknologi Pertanian, Agrotek 1(2). Subronto, Purba RY, Suprianto E, Setiowati RD. 2003. Upaya mendapatkan bahan tanaman kelapa sawit yang toleran Ganoderma boninense. Pusat Penelitian Kelapa Sawit 13(1). Sudantha IM. 1997. Pengendalian patogen tular tanah pada tanaman kedelai secara hayati menggunakan bahan organik dan jamur Trichoderma harzianum. Di dalam: Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Nasional PFI. Palembang, 27-29 Oktober 1997. hlm 197-204. Susanto A. 2002. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat, penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit [disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Susanto A, PS Sudharto, RY Purba. 2005. Enhancing biological control of basal stem root disease (Ganoderma boninense) in oil palm plantations. Mycopathologia 159(1): 153-157. Tambun R. 2002. Proses Pembuatan Asam Lemak Secara Langsung Dari Buah Kelapa Sawit. USU Digital Library. Medan: Program Studi Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara. Tutupary et al. 2004. Resistensi Plasma Nutfah Kentang terhadap Tiga Isolat Patogen Hawar Daun (Phytopthora infestans). HAYATI. Vol 11, No.2. Juni 2004. hlm 47-52. Wiyono S & Sinaga MS. 1994. Keefektifan Gliocladium fimbriatum Gilman & Abbott terhadap patogen busuk batang pada kedelai dan toleransinya terhadap pestisida. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 7(1): 5-10. Yanti F & Susanto A. 2004. Cara praktis isolasi tubuh buah Ganoderma boninense pada medium Potato Dextrose Agar (PDA). Pusat Penelitian Kelapa Sawit 12(2-3). Yulianti S. 2001. Pemanfaatan mikoriza vesikula arbuskula dan Gliocladium fimbriatum (Gilman & Abbott) untuk pengendalian penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma boninense Pat) pada kelapa sawit [Skripsi]. IPB Bogor. Yusnawan E, Tjokrosoedarmo AH, Widyastuti SM. 1999. Pertumbuhan miselium dan pembentukan tubuh buah Ganoderma spp. Pada medium serbuk gergaji dari berbagai jenis kayu. Di dalam: Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. Purwokerto, 16-18 September1999. hlm 607-611.
Yusnita & Sudarsono. 2004. Metode Inokulasi dan Reaksi Ketahanan 30 Genotipe Kacang Tanah terhadap Penyakit Busuk Batang Sclerotium. HAYATI. Vol 11, No. 2. Juni 2004. hlm 53-58.
LAMPIRAN
Tabel
Lampiran 1 Hasil uji sidik ragam perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap keparahan penyakit (%KpP) dan bobot akar (g) KpP (%) Sumber
Bobot Akar (g)
DB F-hit
Nilai-p
F-hit
Nilai-p
58.78
0.0001*
2.52
0.0678
Perlakuan
5
Galat
18
-
-
Total
23
-
-
CV
-
12.9
20.4
R2
-
0.9
0.4
*
berpengaruh sangat nyata
Lampiran 2 Hasil uji pengaruh perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap keparahan penyakit (%KpP)
Perlakuan *
Nilai Tengah Keparahan penyakit (%)
INO-0 (tanpa inokulasi G. boninense)
0a
INO-1 (medium tumbuh kayu akasia)
84.4 b
INO-2 (medium tumbuh kayu karet)
81.3 b
INO-3 (medium tumbuh PDA)
87.5 b
INO-4 (medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak)
81.3 b
INO-5 (medium tumbuh pelepah sawit
93.8 b
*
INO-0 = Kontrol (tanpa inokulasi G. boninense); INO-1 = Medium tumbuh patogen kayu akasia; INO-2 = Medium tumbuh patogen kayu karet; INO-3 = Medium tumbuh patogen dalam bentuk media PDA; INO-4 = Medium tumbuh patogen dalam bentuk campuran serbuk gergaji + dedak; INO-5 = Medium tumbuh patogen pelepah sawit
a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang berganda Duncan (α = 0.05)
Lampiran 3 Hasil uji pengaruh perlakuan inokulasi buatan dengan berbagai medium tumbuh patogen sebagai sumber inokulum terhadap rata-rata jumlah daun
Jumlah Daun Perlakuan Nilai Tengah INO-0 (tanpa inokulasi G. boninense)
14.3 b
INO-1 (medium tumbuh kayu akasia)
11.8 b
INO-2 (medium tumbuh kayu karet)
14.5 b
INO-3 (medium tumbuh PDA)
12.8 b
INO-4 (medium tumbuh campuran serbuk gergaji + dedak)
18.5 a
INO-5 (medium tumbuh pelepah sawit
14.0 b
*
INO-0 = Kontrol (tanpa inokulasi G. boninense); INO-1 = Medium tumbuh patogen kayu akasia; INO-2 = Medium tumbuh patogen kayu karet; INO-3 = Medium tumbuh patogen dalam bentuk media PDA; INO-4 = Medium tumbuh patogen dalam bentuk campuran serbuk gergaji + dedak; INO-5 = Medium tumbuh patogen pelepah sawit
a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang berganda Duncan (α = 0.05)
Lampiran 4 Laju pertumbuhan spesifik tanaman (r) yang diukur tiap 3 minggu Perlakuan
Ulangan INO-0
INO-1
INO-2
INO-3
INO-4
INO-5
1
0.15
0.16
0.24
0.18
0.11
0.18
2
0.15
0.18
0.22
0.13
0.16
0.21
3
0.12
0.16
0.14
0.22
0.16
0.21
4
0.15
0.24
0.23
0.23
0.26
0.20
Rata-rata
0.14
0.18
0.21
0.19
0.17
0.2
Gambar
Lampiran 1 Biakan G. boninense berumur 60 hari pada masing-masing medium tumbuh yang diuji sebagai sumber inokulum awal, terdiri dari kayu akasia (INO-1), kayu karet (INO-2), media PDA (INO3), campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4), dan pelepah sawit (INO-5).
Lampiran 2 Bibit kelapa sawit yang telah dipelihara selama 3 bulan (prenursery) dan siap diinokulasi dengan sumber inokulum
INO-1
INO-2
INO-4
INO-3
INO-5
Lampiran 3 Inokulasi buatan cendawan G. boninense pada perakaran kelapa sawit dengan 5 macam sumber inokulum awal, terdiri dari kayu akasia (INO-1), kayu karet (INO-2), media PDA (INO-3), campuran serbuk gergaji + dedak (INO-4), dan pelepah sawit (INO-5).
Keterangan: 0 = nekrotik yang ada bukan karena infeksi G. boninense 1 = nekrotik yang terjadi berkembang hingga kurang dari 20% 2 = nekrotik yang terjadi berkembang 20 – 40% 3 = nekrotik yang terjadi berkembang 40 – 60% 4 = nekrotik yang terjadi berkembang hingga lebih dari 60%
Lampiran 4 Kriteria penentuan keparahan penyakit (%KpP) berdasarkan skoring nekrotik pada akar kelapa sawit.